1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang awalnya menyerang saraf tepi, dan selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, system muskulo retikulo endotelia, mata, otot, tulang, testis dan organ lain kecuali system saraf pusat. Bila tidak terdiagnosis dan diobati secara dini, akan menimbulkan kecacatan menetap yang umumnya akan menyebabkan penderitanya dijauhi, dikucilkan, diabaikan oleh keluarga dan sulit mendapatkan pekerjaan. Mereka menjadi sangat tergantung secara fisik dan finansial kepada orang lain yang pada akhirnya berujung pada kemiskinan (Depkes, 2008). Penyakit kusta pada umunya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian dan kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, preventif dan kuratif serta pemulihan kesehatan dibidang penyakit kusta, seharusnya kusta sudah dapat diatasi dan tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Akan tetapi mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta (Rachmat,2008).
2
Penanganan kusta dikomunitas sebagai population at risk sesuai dengan tiga dari delapan tujuh Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium, yaitu memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya, (Susanto, 2010). Berdasarkan pendekatan epidemiologi, penyakit kusta merupakan masalah yang cukup serius karena jumlah populasi beresiko (population at risk) dan terpapar oleh penyakit kusta sangat besar (Susanto, 2010). Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), jumlah kasus kusta tahun 2009 di dunia berjumlah 497.791 kasus.
Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia dengan
jumlah 16.549 kasus. Pada tahun 2010 Indonesia melaporkan 17.012 kasus baru dan 1.822 diantaranya, ditemukan sudah dalam keadaan cacat tingkat 2 (cacat yang tampak). Berdasarkan data Profil Kesehatan Jawa timur 2012, penemuan penderita Kusta di Indonesia merupakan urutan ketiga di bawah India dan Brazil. Dan secara nasional, Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang penderita kusta terbanyak di antara provinsi lainnya. Rata-rata penemuan penderita Kusta di Provinsi Jawa Timur per tahun antara 4.000-5.000 orang. Pada tahun 2012, penemuan penderita baru di Indonesia sebanyak 18.853 orang, sedangkan penemuan penderita baru di Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.807 orang (25,5% dari jumlah penderita baru di Indonesia). Berdasarkan hasil survey peneliti di wilayah Malang Timur, masih ditemukan penderita kusta di wilayah Kedung Kandang sebanyak 47 penderita. 37 penderita terbaru ditemukan di tahun 2013-2014 dan menduduki urutan pertama angka kejadian kusta tertinggi di Kota Malang. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pemberantasan penyakit kusta di dunia, maka Indonesia telah ikut melaksanakan program MDT (Multi Drug Therapy) sejak tahun 1983 yaitu 1tahun setelah WHO merekomendasikan
3
MDT (Multi Drug Therapy) untuk kusta. Upaya penanggulangan penyakit Kusta dipengaruhi oleh ketidakteraturan berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan program pengobatan
Multi Drug Therapy (MDT). Menurut Avianty
(2005) dalam Budiman (2010), kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya reaksi individual. Jika individu tidak mematuhi apa yang telah menjadi ketetapan dapat dikatakan tidak patuh. Kepatuhan minum obat di pengaruhi oleh beberapa variabel yaitu variabel umur, pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap, dan peran pengawas minum obat (PMO). Ketidakteraturan berobat dapat menimbulkan suatu kondisi putus obat (default). Jika seorang penderita PB (Pausi Bassiler) tidak mengambil atau meminum obatnya lebih dari 3 bulan (tidak menyeleseaikan pengobatan sesuai waktu yang telah ditetapkan) maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter PB (Pausi Bassiler). Dan jika seorang MB (Multi Bassiler) tidak mengambil atau meminum obatnya lebih dari 6 bulan (tidak menyeleseaikan pengobatan sesuai waktu yang telah ditetapkan) maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter MB (Multi Bassiler). Selama mengikuti program pengobatan MDT (Multi Drug Therapy), penderita secara rutin harus mengambil obat untuk pengobatan selama satu bulan di Puskesmas. Obat yang pertama kali dalam bentuk Blister ini wajib diminum di depan petugas dan selanjutnya diteruskan dirumah (Depkes RI,2006). Ketidakpatuhan berobat dan menghilangnya penderita tanpa melanjutkan pengobatan menimbulkan banyak masalah dalam keberhasilan upaya penanggulan penanggulan penyakit kusta (Panigoro, 2007). Menurut Saranani (2005) pengobatan yang adekuat dan teratur minum obat akan mengurangi infeksiusitas penderita yang menular, dan ketidakpatuhan minum obat pada penderita kusta akan berakibat sangat
4
buruk bagi penderita karena akan menimbulkan resistensi obat-obatan anti kusta. Bila Penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit syaraf yang dapat memperburuk keadaan, disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur (Depkes RI, 2008). Pengobatan kusta yang memerlukan jarak lama antara 6-12 bulan, biasanya memiliki resiko tinggi dalam ketidakteraturan berobat dan minum obat. Dalam perjalanannya penyakit kusta sering mengalami reaksi yang disebut dengan reaksi kusta yang apabila tidak cepat ditangani atau terlambat penanganan akan menimbulkan cacat yang permanen, inilah salah satu yang sangat ditakuti dari penyakit ini meskipun tidak menimbulkan kematian namun akan mengurangi produktifitasnya dan bila tingkat cacatnya berat akan menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Akan tetapi dengan penanganan yang tepat dan cepat dapat mencegah dan mengurangi tingkat kecacatan sehingga pasien akan sembuh tanpa meninggalkan cacat dan akan bisa produktif lagi (Dewi, 2014). Melihat masalah diatas, kusta perlu mendapat perhatian. Salah satu kunci pemberantasan kusta, untuk mencapai kesembuhan penyakit kusta diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat bagi penderita. Upaya yang dapat dilakukan tenaga kesehatan untuk mempercepat eliminasi penyakit kusta adalah dengan melakukan promosi kesehatan tentang kepatuhan dan ketepatan minum obat secara konsisten dan berkesinambungan. Tenaga kesehatan dapat berperan sebagai care giver dan konselor yang berfungsi untuk mendampingi serta memantau pengobatan penderita kusta (Dewi, 2014). Namun keterbatasan tenaga kesehatan yang ada tidak memungkinkan dapat dilakukannya pengontrolan rutin ke tiap-tiap penderita kusta setiap harinya. Maka
5
dari itu diperlukan seseorang yang bisa dipercaya menjadi seorang pengawas minum obat (PMO). Menurut Depkes RI (2008), pengawas minum obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita kusta dalam meminum obatnya secara teratur dan tuntas. Pengawas minum obat (PMO) bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, tokoh masyarakat atau petugas kesehatan. Pengawas minum obat (PMO) berperan untuk memantau keteraturan penderita dalam meminum obat sesuai dengan dosis dan waktu yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program kusta, peneliti mengetahui bahwa masih ada 3 dari 11 penderita baru (8%) yang tidak teratur dalam mengambil obat dan 2 dari 26 penderita lama (5%) sempat menjadi defaulter karena tidak tahan dengan efek samping dan lama pengobatan. Penderita memiliki pengawas minum obat (PMO) dan seluruh PMO tersebut adalah keluarga pasien yang tinggal serumah dan mampu memantau pasien setiap hari. Selain itu, sebelum menjadi seorang PMO, anggota keluarga yang ditunjuk sudah diberi pelatihan singkat tentang bagaimana penyakit kusta dan harus mengawasi pasien untuk minum obat secara teratur. Hal ini kemungkinan terjadi karena tidak efektifnya kinerja PMO. Menurut (Nurhayati,2013), kinerja PMO yang baik akan membuat pasien lebih termotivasi dalam menjalani pengobatan dengan teratur sehingga keberhasilan pengobatan dapat tercapai. Sebaliknya jika kinerja PMO tidak baik maka akanmempengaruhi motivasi pasien dalam menyelesaikan program pengobatan. Pasien yang memiliki kinerja PMO baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar dibandingkan pasien yang memiliki kinerja PMO buruk. Kegagalan pengobatan dan dan kurang kedisiplinan bagi penderita Kusta sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran pengawas minum obat
6
(PMO). Pengawas minum obat (PMO) sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal (Depkes,2008). Kolaborasi petugas kesehatan dengan keluarga yang ditunjuk untuk mendampingi ketika penderita minum obat, juga faktor yang perlu dievaluasi untuk menentukan tingkat keberhasilannya (Purwanta,2005). Kepatuhan minum obat merupakan faktor yang paling menentukan kesembuhan penderita penyakit kusta. Kepatuhan minum obat penderita kusta sangat membutuhkan pengawasan agar penderita tidak lupa minum obat sehari-hari dan tidak putus obat (default dandrop out). Melihat kondisi tersebut peneliti ingin melihat kepatuhan penderita kusta dalam mengikuti program pengobatan MDT (Multi Drug Therapy) sehingga peneliti mengambil judul “Hubungan Kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap Kepatuhan Minum Obat pada Penderita Kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang“ .
1.2 Rumusan Masalah 1. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : “ Apakah terdapat hubungan kinerja Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang ?”
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta.
7
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mendeskripsikan gambaran kinerja pengawas minum obat (PMO) pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 2. Mendeskripsikan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 3. Menganalisis hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Peneliti Menambah wawasan dalam penyusunan karya tulis, khususnya tentang hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) terhadap kepatuhan minum obat pada penderita kusta di Puskesmas Kedungkandang Kota Malang serta menjadi pengalaman berharga untuk peneliti dan kemudian sebagai referensi untuk penelitian berikutnya. 1.4.2 Bagi Puskesmas Sebagai masukan kepada puskesmas dalam upaya peningkatan pemantauan pengobatan penderita kusta melalui pengawas minum obat (PMO) sampai selesai berobat dan dinyatakan Release from Treatment (RFT). 1.4.3 Bagi Peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
8
1.5 Keaslian Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Resty,2010) tentang hubungan kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan keteraturan berobat pasien TB Paru dengan hasil pasien yang memiliki kinerja PMO baik memiliki kemungkinan untuk teratur berobat 5,23 kali lebih besar dibanding pasien yang memiliki kinerja PMO buruk dan secara statistic hubungan tersebut signifikan. Penelitian di atas menunjukkan adanya hubungan antara kinerja pengawas minum obat (PMO) dengan keteraturan penderita untuk mengikuti program pengobatan. Sedangkan dalam penelitian (Nurvita, 2013) hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan pengawas minum obat (PMO) dan kepatuhan berobat pada penderita TB Paru di Puskesmas Limboto Kab. Gorontalo. Dukungan pengawas minum obat yang baik menunjukkan adanya hasil yang significant terhadap tingkat kepatuhan berobat pada penderita TB Paru. Dengan adanya dukungan dan pengawasan langsung dari pengawas minum obat (PMO) membuat penderita lebih termotivasi dalam menjalani dan menyelesaikan pengobatan.
1.6 Batasan Penelitian Menghindari luasnya pembahasan dan kajian dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi penelitian pada : 1. Peneliti hanya meneliti penderita kusta di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 2. Peneliti hanya meneliti penderita kusta yang kooperatif di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang. 3. Peneliti hanya meneliti kepatuhan minum obat pada penderita kusta wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Kota Malang.