BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS.
A. Kajian Teoritis 1. Teori Keagenan Teori keagenan merupakan turunan dari teori ekonomi neoklasik Adam Smith (1776), yang menjelaskan bahwa manajer perusahaan yang bukan sepenuhnya pemilik perusahaan, tidak dapat diharapkan berkinerja baik sesuai dengan tujuan pemiliknya. Teori keagenan (agency theory) terkenal setelah Jensen dan Meckling (1976) mempublikasikan hasil penelitian mereka mengenai teori perusahaan yang dilihat dari perilaku managerial. Teori keagenan didefinisikan oleh Jansen dan Meckling (1976) sebagai suatu kontrak di mana satu atau lebih pemilik (principal) menggunakan orang lain atau manajer (agen) guna menjalankan aktivitas perusahaan.
Dalam
teori
keagenan,
principal
yang
dimaksud
adalah
pemegang/pemilik saham, sedangkan agen merupakan manajemen yang mengelola harta pemilik. Principal menyediakan fasilitas serta dana untuk operasi perusahaan dan agen sebagai pengelola wajib untuk mengelola perusahaan sebagaimana dipercayakan oleh pemegang saham (principal), guna meningkatkan kemakmuran principal melalui peningkatan nilai perusahaan. Sebagai imbalannya, agen akan mendapatkan bonus, gaji dan kompensasi lainnya (Sanjaya, 2004; Sulistyanto, 2004).
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9 Antara agent dan principal ingin memaksimalkan fungsi masing-masing melalui informasi yang dimiliki. Akan tetapi di satu sisi, agent mempunyai informasi yang lebih banyak daripada principal, sehingga dapat menimbulkan adanya asimetri informasi. Informasi yang lebih banyak yang dimiliki manajer dapat memicu untuk melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan manajer guna memaksimalkan fungsinya. Sedangkan bagi principle, hal ini akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi. Maka dari itu, terkadang ada kebijakan tertentu yang dilakukan oleh manajemen perusahaan tanpa sepengetahuan pemilik modal atau investor. Masalah
keagenan
dapat
terjadi
apabila
prinsipal
tidak
menentukan/mengetahui apa yang dilakukan oleh agen. Masalah keagenan ini dapat terbagi menjadi dua hal, yaitu Pertama, dikenal sebagai keputusan merugikan (adverse selection), apabila agen gagal dalam memberikan kemampuannya. Kedua, adalah moral hazard, yaitu keadaan dimana agen melalaikan tanggungjawab atau bertindak atas kepentingannya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan prinsipal/perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan masalah/konflik keagenan terjadi antara lain kerena pembuatan keputusan aktivitas pencarian dana (financing decision) serta pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan. Selain itu, dari perspektif teori agensi laba sangat rentan dengan adanya manipulasi oleh manajemen (Sanjaya, 2004; Suliatyano, 2004).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10 Dalam mengatasi masalah keagenan dan mengurangi biaya keagenan (agency cost), di dalam teori keagenan dapat dilakukan dengan mekanisme kontrol, salah satunya adalah dengan peningkatan pendanaan melalui hutang. Jensen (1986), berpendapat bahwa dengan hutang, maka perusahaan wajib mengembalikan pinjaman dan membayar beban bunga secara periodik. Kondisi ini menyebabkan manajer (agen) untuk bekerja keras guna meningkatkan laba sehingga dapat memenuhi kewajiban dari penggunaan hutang tersebut. Konsekuensinya adalah perusahaan menghadapi biaya keagenan hutang dan risiko kebangkrutan (Crutchley dan Hansen, 1989). Utang yang besar juga menimbulkan resiko yang besar bagi pemberi hutang, sehingga biaya hutang akan menjadi lebih besar juga. Biaya hutang yang besar tersebut merupakan monitoring cost bagi manajemen, karena biaya bunga sifatnya tetap dan biaya yang tinggi tersebut dapat membuat manager berusaha menggunakan dana tersebut untuk investasi yang benar. Peningkatan hutang dapat diartikan oleh pihak luar mengenai kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban di masa mendatang atau adanya resiko bisnis yang rendah, hal tersebut akan direspon secara positif oleh pasar. (Brigham, 1999). Miller dan Modigliani (1963) mengungkapkan pengaruh kebijakan hutang terhadap nilai perusahaan, yang berpendapat bahwa dengan memasukan pajak maka hutang perusahaan semakin besar dan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Hasil penelitian ini disempurnakan dengan munculnya teori trade off (Brealey dan Myer, 1991) yaitu teori yang memperhatikan biaya keagenan dengan financial
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11 distres. Temuan ini menyatakan bahwa kebijakan untuk meningkatkan hutang memang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi akan menurun pada titik tertentu sebagai akibat adanya biaya keagenan dan kemungkinan kebangkrutan. Financial distress terjadi jika perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi kewajiban hutangnya sehingga perusahaan terancam kebangkrutan. Oleh karena itu financial distress perlu diperhitungkan karena mengurangi nilai perusahaan.
2. Teori Sinyal Teori sinyal dalam penelitian ini digunakan guna menjelaskan bahwa laporan keuangan digunakan untuk memberi sinyal positif ataupun sinyal negatif kepada penggunanya. Sumeth Tuvaratragool (2013) melakukan penelitian mengenai pengaturan perbandingan rasio keuangan dalam memberi sinyal adanya financial distress dengan menggunakan teknik multi ukur (IMM) yang terdiri dari emerging market, skor model, analisis komparatif rasio, dan analisis tren rasio dan model logit sebagai benchmarking ukuran, hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa informasi dalam laporan keuangan dapat dijadikan media guna mengetahui sinyal adanya kebangkrutan atau kegagalan perusahaan. Teori sinyal juga menjelaskan bagaimana seharusnya sinyal-sinyal suatu keberhasilan atau kegagalan manajemen (agent) disampaikan kepada pemilik (principal). Dimana dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaan seperti kreditor dan investor. Asimetri informasi akan terjadi apabila manajer mempunyai informasi internal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12 perusahaan yang lebih banyak dan dapat mengetahui informasi tersebut lebih cepat dibandingkan pihak eksternal. Beberapa model teori penyebab kebangkrutan juga dikemukakan Azis dan Dar (2006), dimana ada beberapa tipe model teori yang menentukan sebab-sebab kebangkrutan yang mana oleh dijelaskan pada tabel dibawah ini; Tabel 2.1 Model teori penyebab kebangkrutan Model
Ciri Utama
Balance sheet decomposition measures (BSDM)/ teori entropy. (lihat Theil, 1969; Lev, 1973; Booth, 1983)
Salah satu cara mengidentifikasi kesulitan keuangan adalah dengan mendeteksi perubahan struktur neraca, dengan argumentasi bahwa perusahaan mencoba menjaga ekuilibrium struktur keuangannya. Jika laporan keuangan mencerminkan perubahan yang signifikan dalam komposisi aset dan kewajiban dalam neracanya maka kemungkinan besar tidak mampu menjaga ekuilibriumnya. Jika perubahan-perubahan ini tidak dikontrol di masa depan, perusahaan akan mengalami kesulitan keuangan.
Gambler’s ruin theory (lihat Scott, 1981; Morris, 1998)
Pada pendekatan ini, perusahaan dianggap pemain judi yang secara berulang mempunyai peluang untuk rugi, dengan melanjutkan operasinya sampai networth-nya sama dengan nol (bangkrut). Dengan asumsi sejumlah kas awal yang miliki pada suatu periode tertentu, ada kemungkinan bersih secara positif bahwa arus kas perusahaan akan terus menerus negatif pada periode berjalan dan pada akhirnya mengarah pada kebangkrutan.
Cash Management Theory (lihat Aziz et al., 1998; Laitinen and Laitinen, 1998).
Perencanaan keseimbangan kas jangka pendek adalah perhatian utama bagi setiap perusahaan. Ketidakseimbangan antara arus kas masuk dan keluar akan berarti kegagalan pada fungsi manajemen kas perusahaan, jika terjadi terus menerus dapat mungkin terjadi kesulitan keuangan perusahaan, hingga kebangkrutan.
Sumber Aziz dan Dar (2006)
Dari ketiga teori di atas, dalam tulisan ini penulis menggunakan balance sheet decomposition measures (BSDM)/teori entropy. Secara ilustrasi dalam teori
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13 entropy, perusahaan akan menyimpan kekayaannya dalam bentuk aset fisik esuai dengan konsep entropi, kekayaan tersebut makin lama akan rusak atau dengan kata lain menurun nilainya. Perusahaan akan berusaha mempertahankan entropi kekayaannya agar tidak rusak dengan mengeluarkan sejumlah biaya. Dalam kesulitan keuangan, teori ini fokus pada dekomposisi neraca. Pada umumnya Perusahaan mencoba untuk menjaga keseimbangan struktur keuangan mereka. Perubahan yang signifikan dalam neraca menunjukkan ketidakmampuan dalam menjaga keseimbangan, dan jika perubahan ini menjadi tak terkendali di masa depan, maka dapat diketahui telah terjadi
kesulitan keuangan di perusahaan
tersebut (Kilgour, 2011). dengan demikian dapat dikatakan dikatakan bahwa prediksi kesulitan keuangan dapat dilakukan melalui analisa laporan keuangan Perusahaan dengan menggunakan rasio-rasio keuangan.
3. Kesulitan keuangan. Beberapa model prediksi kebangkrutan telah dikemukakan oleh beberapa peneliti melalui kajian empris. Pada tahun 1968, Edward Altman menggunakan Multiple Discriminant Analysis untuk mengidentifikasikan rasio-rasio keuangan guna menghasilkan suatu model yang dapat memprediksi kemungkinan perusahaan untuk bangkrut. Hayes, dkk (2010) serta Odipo dan Sitati (2010) menyatakan bahwa model ini mengalami revisi sehingga menjadi model baru yang telah disesuaikan agar model dapat dilakukan pada perusahaan private dan tidak hanya pada perusahaan manufaktur go public. Model Altman Z-Score
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14 mengkategorikan perusahaan dengan skor < 1,23 untuk potensi kebangkrutan. Skor 1,23 – 2,90 dikategorikan sebagai grey area, dan skor > 2,90 dikategorikan sebagai perusahaan tidak berpotensi kebangkrutan. Model yang kemudian dikenal sebagai Revised Altman’s Z-Score dengan fungsi diskriminan (Altman, 2000): Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,988X5 Dimana: X1 = Working Capital/Total Asset X2 = Retained Earnings/Total Asset X3 = Earning Before Interest and Taxes/Total Asset X4 = Book Value of Equity/Book Value of Total Debt X5 = Sales/Total Asset
Model lainnya adalah Model Grover yang diciptakan dengan melakukan penelitian
dan
pendesainan
kembali
terhadap
model
Altman
Z-Score.
menggunakan sampel sesuai dengan model Altman Z-Score pada tahun 1968, Jeffrey.S.Grover dengan menambahkan 13 rasio keuangan baru dengan menggunakan 35 perusahaan yang bangkrut dan 35 perusahaan yang tidak dari tahun 1982 sampai 1996. Model Grover mengklasifikasikan perusahaan bangkrut dengan nilai kurang atau sama dengan -0,02 (Z ≤ -0,02). Sedangkan untuk perusahaan diklasifikasikan tidak bangkrut adalah lebih atau sama dengan 0,01 (Z ≥ 0,01). Jeffrey.S.Grover (2001) menemukan fungsi sebagai berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15 Score = 1,650X1 + 3,404X3 – 0,016ROA + 0,057 Dimana : X1 = Working capital/Total assets X3 = Earnings before interest and taxes/Total assets ROA = net income/total assets
Model kebangkrutan lainnya dilakukan oleh Gordon L.V.Springate (1978). dibuat dengan mengikuti prosedur model Altman dihasilkan model prediksi kebangkrutan
yang dikenal sebagai model Springate. Model Springate
mengkategorikan perusahaan dengan skor Z > 0,862 adalah perusahaan tidak berpotensi bangkrut, sebaliknya dengan skor Z < 0,862 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berpotensi untuk bangkrut. Model ini menggunakan 4 rasio keuangan yang diambil dari 19 rasio keuangan berdasarkan pada berbagai literatur yang ada sehingga ditemukan rumus berikut: Z = 1,03 A + 3,07 B + 0,66 C +0,4 D Dimana: A = Working Capital/Total Asset B = Net Profit before Interest and Taxes/Total Asset C = Net Profit before Taxes/Current Liabilities D = Sales/Total Asset
Model prediksi kebangkrutan berikutnya dihasilkan pada tahun 1983 oleh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16 Zmijewski yang merupakan hasil dari riset selama 20 tahun yang ditelaah ulang. Pada model ini, jika skor yang diperoleh sebuah perusahaan melebihi 0, maka dapat diprediksi berpotensi untuk mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika skor yang kurang dari 0, maka perusahaan diprediksi berpotensi untuk tidak mengalami kebangkrutan. Model ini memiliki rumus sebagai berikut: X = -4,3 - 4,5X1 + 5,7X2 – 0,004X3 Dimana : X1 = ROA (Return on Asset) X2 = Leverage (Debt Ratio) X3 = Likuiditas (Current Ratio)
Klasifikasi perusahaan yang mengalamai kesulitan keuangan juga telah banyak dikemukakan oleh beberapa peneliti. Berikut ini adalah beberapa definisi yang telah ditemukan dan dikemukakan. Hofer (1980) dan Whitaker (1999) mendefinisikan kesulitan keuangan, apabila dalam beberapa tahun perusahaan mengalami (net operating income) laba bersih operasi negative. Hal yang sama dengan Almilia dan Kristijadi (2003) yang mengindikasikan kesulitan keuangan dengan indikasi beberapa tahun mengalami (net operating income) laba bersih operasi negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran deviden. Menurut Lau (1987) dan Hill et al., (1996) dalam (Spica, 2004), kesulitan keuangan
diartikan
dengan
adanya
pemberhentian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tenaga
kerja
atau
17 menghilangkan pembayaran deviden. Sedangkan Brigham dan Gapenski (1997) mengemukakan bahwa semakin besarnya pembiayaan dari hutang dan beban bunga tetap, maka semakin besar pula probabilitas bahwa penurunan earning akan mengarah kepada kesulitan keuangan. Dengan demikian hutang dapat pula menyebabkan kesulitan keuangan. Whitaker (1999) mengukur kesulitan keuangan Perusahaan dengan mengklasifikasikkan adanya arus kas yang lebih kecil dari hutang jangka panjang yang jatuh tempo saat ini, kemudian Kahya dan Theodossiou (1999) mengemukakan bahwa Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampu labaan, dan aset tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan dibandingkan terhadap perusahaan yang sehat. Menurut Elloumi dan Gueyie (2001), kesulitan keuangan diindikasikan dengan perusahaan yang memiliki laba per lembar saham (EPS/Earning Per Share) negatif dan menurut Brigham dan Daves (2003), kesulitan keuangan diawali ketika perusahaan tidak mampu memenuhi jadwal pembayaran atau ketika arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tidak dapat memenuhi kewajibannya. Almilia (2004) mengkategorikan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan sebagai perusahaan yang delisting sementara Brigham dan Houston (2006) dalam Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi (2012), mengatakan bahwa salah satu penyebab kebangkrutan perusahaan adalah rasio hutang yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (debt ratio). Rumus untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18 menghitung debt ratio adalah total hutang dibagi total aktiva (Brigham dan Houston 2006 : 103). Dari beberapa pengklasifikasian di atas, dapat dikatakan bahwa kesulitan keuangan dapat diperoleh melalui informasi dan gambaran perkembangan keuangan perusahaan, yang mana secara umum lebih luas dan mencerminkan keadaan yang sesunguhnya. Dengan melakukan interpretasi, melalui hubungan antara posisi aktiva dengan posisi pasiva, posisi neraca dengan posisi laba rugi dan posisi laba rugi dengan posisi laba rugi lainnya. Dengan melakukan analisa dan interpretasi ini, manajemen dapat mengetahui kondisi Perusahaan ketika menghadapi kesulitan keuangan (Hasymi; 2007). Beberapa contoh interpretasi dalam hubungan antar posisi laporan keuangan diantaranya adalah jika saldo kas dan setara kas serta total equitas semakin menurun, maka menunjukkan ketidakmampuan Perusahaan dalam memenuhi kewajiban telah jatuh tempo baik kepada vendor atau supplier, kondisi ini menggambarkan bahwa Perusahaan tengah mengalami kesulitan keuangan. Sebagai contoh rasio likuiditas yang dapat memberikan gambaran kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi, rasio likuiditas dapat diukur menggunakan : a) Rasio kas dan setara kas, dimana membandingkan kas dan setara kas dengan hutang lancar. Rasio ini menggambarkan berapa persen kemampuan kas dan setara kas guna menjamin pembayaran hutang jatuh tempo/hutang lancar. Hanya saja belum ada batasan berapa persentase
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19 sebaiknya kemampuan kas dalam menjamin hutang lancar. Akan tetapi dapat dikatakan jika rasio ini terus menurun dari tahun ke tahun, maka dapat dikatakan Perusahaan tengah mengalami kesulitan keuangan. b) Rasio lancar, yaitu membandingkan aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio ini merupakan Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki. Contoh rasio berikutnya adalah rasio solvabilitas yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya apabila perusahaan saat itu mengalami likuidasi. Rasio ini dapat diukur dangan cara: a) Rasio hutang atas harta, merupakan perbandingan keseluruhan hutang perusahaan dengan harta yang dimiliki perusahaan. b) Rasio hutang atas equitas, merupakan perbandingan seluruh hutang perusahaan dengan jumlah equitas. Masih banyak rasio keuangan lainnya yang dapat memberikan gambaran keuangan Perusahaaan pada saat itu. Pembahasan berikut adalah beberapa rasio keuangan yang akan digunakan dalam penelitian ini.
4. Rasio Keuangan Seperti telah dijelaskan di atas, guna memproleh gambaran mengenai perkembangan keuangan suatu perusahaan, perlu dilakukan analisa atau interprestasi terhadap data keuangan dari perusahaan yang bersangkutan, dimana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20 data keuangan tersebut tercermin didalam laporan keuangan. Ukuran yang sering digunakan dalam analisa keuangan adalah rasio. Laporan Keuangan dibuat untuk dapat digunakan dalam analisa yang penting yaitu dalam menganalisis kesehatan keuangan perusahaan. Menurut Kown ( 2004 ; 107 ) : “Hasil dari menganalisis laporan keuangan adalah rasio keuangan berupa angka-angka dan rasio keuangan harus dapat menjawab pertanyaanpertanyaan”. Analisis laporan keuangan meliputi pemeriksaaan keterkaitan angka–angka didalam laporan keuangan serta trend angka –angka dalam beberapa periode, salah satu tujuan dari analisa laporan keuangan menggunakan kinerja perusahaan yang lalu guna memprediksi bagaimana keadaan yang akan terjadi dimasa datang yang mana menurut Van Horne ( 2005 : 234) : “Rasio keuangan adalah alat yang digunakan untuk menganalisis kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Kita menghitung berbagai rasio karena dengan cara ini kita bisa mendapat perbandingan yang mungkin akan berguna daripada berbagai angka mentahnya sendiri”. Laporan keuangan melaporkan posisi perusahaan pada satu waktu tertentu dan operasinya dalam suatu periode. Namun, nilai utama dari laporan keuangan adalah bahwa laporan keuangan tersebut dapat digunakan dalam membantu meramalkan masa depan baik keuntungan maupun deviden. Dari sisi investor, meramalkan masa depan adalah tujuan utama dari analisa laporan keuangan, sedangkan dari sisi manajemen, analisa laporan keuangan dapat bermanfaat untuk membantu dan mengantisipasi keadaan di masa depan dan sebagai titik awal dalam melakukan perencanaan serta langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21 perusahaan di masa mendatang (Brigham & Houston 2009 : 94). Berikut adalah beberapa rasio keuangan yang akan digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini, diantaranya adalah ; 2.1. Rasio Likuiditas Rasio likuiditas merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Van Horne dan Wachowicz 2005 : 206). Rasio likuiditas menunjukkan hubungan antara kas dengan aktiva lancar lainnya dengan kewajiban lancarnya yang ada pada perusahaan (Brigham & Houston 2009 : 95). Beberapa jenis rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas adalah berikut; a) Current Asset to Current Liabillities (Rasio aset lancar terhadap hutang lancar). Merupakan Rasio lancar untuk mengukur likuiditas Perusahaan dalam arti digunakan guna mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban hutang jangka pendeknya menggunakan aktiva lancar yang dimiliki, dan dapat juga mengungkapkan tingkat keamanan suatu Perusahaan (margin of safety) atas kreditur jangka pendek. Jika hutang lancar melebihi aktiva lancar (angka rasio lancar di bawah 1), maka perusahaan diasumsikan mengalami kesulitan dalam melunasi hutang jangka pendeknya. Sebaliknya, Jika rasio lancarnya terlalu tinggi, maka dapat dikatakan bahwa Perusahaan kurang efesien dalam mengelola aktiva lancarnya. Menurut Brigham dan Houston (2001) rasio lancar mengukur kemampuan aktiva lancar dalam membayar hutang lancar. Aktiva lancar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22 biasanya terdiri dari : kas, surat berharga, piutang, dan persediaan. Hutang lancar terdiri dari hutang dagang, wesel bayar jangka pendek, hutang jangka panjang yang akan jatuh tempo, pajak yang belum dibayar dan biaya-biaya yang belum dibayar lainnya .. b) Net Working Capital to Total Asset (Rasio Modal Kerja terhadap Total Aktiva). Rasio pertama yang digunakan sebagai alat diskriminan adalah rasio modal kerja terhadap total aktiva, ini seringkali dijumpai dalam studi kasus permasalahan perusahaan, ini adalah ukuran bersih pada aktiva lancar perusahaan terhadap modal perusahaan. Rasio ini digunakan untuk mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva likuid bersih dengan total aktiva. Aktiva likuid bersih atau modal kerja didefinisikan sebagai total aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja turun lebih cepat daripada total aktiva dan menyebabkan rasio ini menurun. c) Current Assets to Total Assets (aset lancar terhadap total aset). Rasio ini merupakan struktur aset dan jumlah dalam bentuk aset lancar per setiap uang yang diinvestasikan dalam aset. Aktiva lancar merupakan bagian yang penting bagi bisnis karena mereka adalah aset yang digunakan untuk dana operasi sehari-hari dan membayar biaya-biaya dan termasuk didalamya meliputi kas, akun persediaan piutang, surat berharga, biaya dibayar dimuka dan aset lancar lainnya yang dapat segera dikonversi menjadi kas .
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23 d) Net Working Capital to Current Assets (aset lancar-hutang lancar) terhadap aset lancar). Rasio ini menunjukkan pembiayaan yang digunakan untuk membiayai hutang lancar, juga mengungkapkan ekuitas jangka panjang dan kewajiban lancar ini dibiayai sebagian dari aktiva lancar. Mereka menunjukkan margin ketersediaan modal kerja dari sumber jangka panjang (Gupta 2009 : 35).
2.2. Rasio Solvabilitas. Rasio solvabilitas atau disebut juga dengan rasio leverage. Menurut Darsono dan Ashari (2005 : 54) rasio solvabilitas merupakan rasio yang digunakan untuk mengetahui
kemampuan
perusahaan
dalam
melunasi
kewajibannya
jika
perusahaan mengalami likuidasi. Rasio solvabilitas menggambarkan sejauh mana perusahaan menggunakan dana
utang atau pengungkit keuangan (financial
leverage). Rasio leverage dalam penelitian ini antara lain adalah berikut ; a) Total Debt to Equity (Total Hutang terhadap Modal). Rasio hutang terhadap modal/Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio perbandingan antara total hutang dengan total modal (Husnan, 2003:70). Menurut Robert Ang (1997) rasio hutang terhadap modal menunjukkan komposisi total hutang terhadap total ekuitas, apabila semakin tinggi nilai DER, menunjukkan semakin besar beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur). Rasio antara sumber dana dari hutang (pihak eksternal) terhadap sumber dana ekuitas (pihak internal) umum disebut sebagai Debt to equity
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24 Ratio (Brigham,1983). Semakin tinggi rasio ini, menunjukkan semakin besar pula modal pinjaman yang digunakan guna membiayai aktiva perusahaan (Brigham dan Houston, 2006). Jika Rasio hutang terhadap modal perusahaan semakin tinggi, maka semakin besar pula financial leverage, serta semakin besar pula porsi dana kreditur yang dipakai untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi Rasio ini, maka semakin berisiko perusahaan dalam menghadapi kemungkinan tidak dapat membayar semua hutangnya. Rasio hutang terhadap modal dapat menunjukkan struktur modal yang digunakan perusahaan (Husnan, 2004) dan rasio hutang terhadap modal dapat digunakan untuk proksi rasio solvabilitas (Syahib Natarsyah, 2000). Modigliani dan Miller (1968) mengatakan bahwa nilai perusahaan dapat meningkat dengan meningkatnya DER dikarenakan adanya efek dari corporate tax shield. Sehingga dengan menggunakan hutang, perusahaan membayar pajak penghasilan yang relatif lebih kecil, maka nilai perusahaan yang menggunakan hutang dapat lebih besar. b) Long-term Debt to Equity (Hutang Jangka Panjang terhadap Modal). Hutang jangka panjang terhadap modal (LDER) dapat diinterpretasikan semakin rendah rasio ini, menunjukan semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam membayar hutang jangka panjangnya. Besarnya hutang dalam struktur modal perusahaan sangat penting dalam memahami perimbangan antara risiko dengan laba yang didapat. Hutang membawa risiko karena dalam setiap hutang umumnya akan menimbulkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25 keterikatan bagi perusahaan dalam bentuk kewajiban membayar bunga dan cicilan kewajiban pokoknya secara berkala.Menurut Kuswadi (2004) perusahaan dengan kewajiban yang terlampau tinggi dapat mengalami kesulitan dalam mendapatkan tambahan dana dari pihak luar. Jika kewajiban dapat dimanfaatkan dengan efektif dan laba yang didapat cukup untuk menutup beban bunga secara berkala, maka laba yang diberikan kepada para pemegang saham akan dapat dijelaskan melalui leverage keuangan. Leverage keuangan akan tercipta ketika laba bersih perusahaan meningkat sebagai akibat dari penggunaan pinjaman yang memiliki beban bunga. c) Equity to Total Aktiva (Modal terhadap Total Aktiva). Merupakan ukuran mengenai jumlah kecukupan modal atau ekuitas sendiri yang diukur dengan rasio total modal dibagi total aset. Rasio ini adalah indikator tingkat ketahanan permodalan Perusahaan. Equity to Total Asset merupakan salah satu rasio solvabilitas yang membandingkan antara modal dengan total aset, yang artinya adalah seberapa besar total aset yang diperoleh atau dibiayai dari modal. Belum ada batasan yang pasti tentang suatu indikator yang baik terhadap rasio ini. Namun apabila hasilnya hanya 20%, maka dapat dikatakan bahwa 80% aset dibiayai dari hutang. d) Long Term Debt tot Total Assets (Hutang Jangka Panjang terhadap Total Aktiva).
Rasio
hutang
jangka
panjang
terhadap
total
aktiva
menggambarkan seberapa besar dana yang dipinjam guna membiayai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26 aktiva perusahaan. Semakin besar rasio ini, maka semakin tinggi resiko kegagalan yang dihadapi perusahaan, karena besar kemungkinan bagi perusahaan untuk tidak dapat melunasi kewajiban jangka panjangnya. Dari analisis rasio ini juga dapat dilihat kinerja keuangan perusahaan dari tahun ke tahun dengan memperhatikan laju pertumbuhan hutang jangka panjang terhadap total aktivanya.variabel hutang jangka panjang terhadap total aset diukur sebagai rasio dengan membandingkan nilai buku total hutang jangka panjang terhadap nilai buku total aset pada perusahaan (Gupta & Newberry, 1997). Hal ini dilakukan guna mengetahui pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan. e) Hutang Lancar terhadap Total Aktiva. Rasio jumlah hutang lancar terhadap total aktiva merupakan perbandingan antara jumlah hutang lancar terhadap total aktiva yang ada di perusahaan dan dinyatakan dalam persentase (Barlian &Sundjaja, 2001:78). Rasio ini menggambarka pendanaan hutang bagi perusahaan dengan cara menunjukkan besarnya aktiva perusahaan yang dibiayai oleh hutang jangka pendek. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar resiko keuangan yang dapat mengganggu capaian profitabilitas perusahaan. Semakin kecil rasio ini maka semakin baik atau semakin kecil resiko keuangan. Dari sisi kreditur, semakin tinggi persentase pendanaan berasal dari ekuitas pemegang saham, maka semakin besar pula perlindungan bagi pemberi pinjaman.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27 2.3. Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas merupakan rasio yang menghubungkan laba antara penjualan dengan investasi (Van Horne & Wachowicz 2005 : 222). Rasio profitabilitas dapat mengungkapkan tingkat profitabilitas suatu perusahaan, dimana untuk perusahaan harus dapat menciptakan keuntungan untuk dapat melangsungkan operasinya. Profitabilitas adalah tujuan akhir dari kebijakan dan keputusan yang diambil oleh perusahaan. Rasio profitabilitas juga menunjukkan gabungan efek dari manajemen aktiva, likuiditas, dan hutang dari hasil-hasil operasi (Brigham & Houston 2009 : 107). Rasio profitabilitas dalam penelitian ini adalah; a) Net Profit to Total Asset (ROA). Return on Assets (ROA) termasuk salah satu rasio profitabilitas. Rasio ini cukup sering digunakan, karena mampu memperlihatkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan untuk kemudian dapat diproyeksikan untuk masa mendatang. Aktiva disini adalah keseluruhan harta perusahaan, baik aktiva yang diperoleh dari modal sendiri maupun dari aktiva dari modal asing yang digunakan oleh perusahaan. ROA merupakan rasio laba bersih terhadap total aktiva yang mengukur pengembalian atas total aktiva (ROA) setelah bunga dan pajak (Brigham dan Houston : 2001:90). ROA juga digunakan untuk mengukur efektivitas keseluruhan dalam menghasilkan laba melalui aktiva yang tersedia; daya untuk menghasilkan laba dari modal yang diinvestasikan (Van Horne dan Wachowicz: 2005:235). Horne dan Wachowicz
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28 menghitung ROA dengan menggunakan rumus laba bersih setelah pajak dibagi dengan total aktiva. Menurut Bambang Riyanto (2001:336), bahwa istilah ROA dengan Rate of Return on Investment (ROI/Net Earning Power Ratio), yaitu kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan neto setelah pajak. b) Net Income After Tax Equity (ROE). Return On Equity (ROE) yaitu rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih. Rasio ini menjelaskan hubungan antara laba setelah pajak dengan modal yang digunakan perusahaan. Modal sendiri di sini adalah saham biasa, agio saham, laba ditahan, saham preferen dan cadangan-cadangan lain. Return On Equity tidak lain merupakan rentabilitas ekonomi. Bagi perusahaan umumnya rentabilitas lebih penting dari pada laba, karena laba yang besar belum merupakan ukuran bahwa perusahaan telah bekerja secara efisien (Riyanto, 2000). Return On Equity dirmuskan sebagai Net Income after tax dibagi equity. ROE pada umumnya disajikan dalam persentase. Semakin tinggi rasio ini menunjukan bahwa kinerja perusahaan baik atau efisien, nilai equity perusahaan akan meningkat seiring peningkatan rasio ini c) Operating Profit Margin (Rasio Laba Bersih terhadap Penjualan). Persentase laba bersih adalah rasio laba setelah pajak terhadap penjualan bersih. Ini menunjukkan keuntungan yang tersisa setelah dikurangi semua biaya produksi, administrasi, pembiayaan, dan pajak penghasilan yang diakui. Dengan demikian, ini adalah salah satu langkah terbaik dari hasil
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29 keseluruhan dari suatu perusahaan. Ukuran ini sering dilaporkan pada trend line, untuk menilai kinerja dari waktu ke waktu. Hal ini juga digunakan untuk membandingkan hasil bisnis dengan pesaingnya.Rasio laba merupakan pengukuran jangka pendek, karena tidak mengungkapkan tindakan perusahaan untuk mempertahankan profitabilitas dalam jangka panjang. Rasio ini juga mengukur keefektifan manajemen dalam menjalankan usaha. Rasio ini mencoba mengukur seberapa jauh tingkat keuntungan yang diperoleh dibandingkan volume penjualan yang terjadi. Tingkat laba atas penjualan yang rendah tidak terlalu buruk jika sebuah usaha memang dioperasikan dengan margin keuntungan yang rendah namun volume penjualan tinggi. d) EBIT to Sales (Laba Operasi terhadap Penjualan). Lumbantoruan (2004:351) mengemukakan bahwa: “Jenis-jenis laba terdiri dari laba kotor, laba operasi, laba bersih, laba ditahan dan laba per saham”. Dimana Laba Operasi, adalah selisih antara laba kotor dan biaya-biaya operasi yang terdiri dari atas biaya penjualan, serta biaya umum dan administrasi. Tingkat laba operasi merupakan perbandingan antara laba operasi dan penjualan bersih. Dalam laba operasi belum dihitung biaya bunga dan pajak, karena biaya bunga ditentukan oleh besarnya hutang perusahaan (bukan keputusan operasional melainkan financial), sehingga besarnya pajak ditentukan oleh golongan pajak perusahaan yang berbedabeda menurut besarnya laba yang dicapai. Tingkat laba operasi merupakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30 ukuran yang tepat untuk menilai efisiensi manajemen. Perusahaan yang laba operasionalnya yang tinggi dapat dinilai sebagai perusahaan yang kuat dan menguntungkan. Membagi EBIT dengan Penjualan digunakan untuk mengetahui hubungan antara laba sebelum bunga dan pajak dan penjualan bersih. Jika Rasio mendekati angka 1, mengindikasikan profitabilitas yang lebih besar. e) Earning Before Interest and Taxes to Total Assets (Rasio EBIT terhadap Total Aktiva). Rasio ini megukur kemampu labaan, yaitu tingkat pengembalian aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. EBIT di sini dimaksudkan sebagai laba operasi. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran sebarapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman. Rasio EBIT terhadap total aktiva menunjukkan laba bersih sebelum bunga dan pajak yang dapat dihasilkan dari setiap Rp 1,00 aktiva perusahaan. Rasio ini mengukur kemampuan tingkat pengembalian dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak dengan total aktiva.
2.4. Rasio Aktivitas. Rasio aktivitas merupakan pengukuran rasio yang mengukur bagaimana
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31 perusahaan mengelola aktivanya (Van Horne & Wachwowicz 2012:172). Dengan mengukur rasio aktivitas perusahaan, bisa dilihat seberapa besar aktivitas perusahaan dalam memanfatkan sumber dananya, dimana semakin efektif dalam memanfaatkan dana, semakin cepat pula perputaran dana. Rasio aktivitas dalam penelitian ini adalah berikut ; a) Sales to Total Assets (Rasio Penjualan terhadap Total Aktiva). Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan yang menggambarkan kemampuan peningkatan penjulan dari aktiva perusahaan yang merupakan suatu ukuran dari kemampuan menajemen. Dalam faktanya signifikan dari ukuran rasio ini tidak dapat ditampakkan semuanya tapi karena relasi yang unik diantara variabel dalam model ini, rasio penjualan/total aktiva menjadi rangking kedua dalam kontribusi keseluruhan ketepatan model diskriminan. Rasio penjualan terhadap total aktiva menunjukkan efektifitas penggunaan seluruh aktiva perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap Rp 1,00 yang diinvestasikan dalam bentuk aktiva perusahaan. Rasio ini mengukur kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi persaingan dan sebagai ukuran kinerja manajemen serta menunjukkan efektifitas penggunaan seluruh harta perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk harta perusahaan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32 b) Sales to Current Assets (Penjualan terhadap Aktiva lancar). Rasio penjualan terhadap aktiva lancar mengukur seberapa baik sebuah perusahaan dalam memanfaatkan aset dalam menghasilkan penjualan. Rasio ini adalah yang paling valid dalam industri di mana perusahaan memiliki mayoritas persediaan sendiri. Rasio penjualan terhadap aktiva lancar paling baik diukur selama beberapa periode dan perlu dibandingkan dengan rata-rata industrinya, sebagaimana jumlah Aktiva Lancar dapat bervariasi antara perusahaan dan industri yang berbeda. Menurunnya rasio ini secara umum bertanda negatif dimana menunjukkan perusahaan mungkin mengalami perlambatan produksi atau menurunya jumlah persediaan. c) Working Capital Turnover (Perputaran modal kerja).Selama perusahaan menjalankan kegiatan usaha, modal kerja selalu mengalami perputran. Setiap perusahaan apabila menggunakan dananya berharap dana tersebut kembali berserta keuntungan melalui kegiatan usaha yang dilakukannya. Biasanya penerimaan kembali dana atau kas tersebut tidak bersamaan dengan waktu pengeluarannya. Dimana diantara pengeluaran dan penerimaan tersebut diperlukan beberapa tahap. Menurut Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti (2004:116), perputaran modal kerja (working capital turnover) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur berapa kali modal kerja berputar dalam satu periode (biasanya dalam satu tahun). Beberapa literatur mengatakan bahwa perputaran modal kerja adalah rasio
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33 yang menghubungkan penjualan dengan modal kerja yang dapat mengindikasikan perputaran modal kerja dalam periode tertentu. Working capital turnover digunakan untuk mengukur perputaran modal kerja bersih yaitu tingkat perputaran modal kerja bruto atau aktiva lancar (Bambang Riyanto, 2000:57). Efisiensi penggunaan modal kerja ditunjukkan dengan jumlah rupiah penjualan neto yang diperoleh bagi setiap rupiah modal kerja (Jumingan 2009:132). Dari hubungan antara penjualan neto dengan modal kerja dapat juga mengetahui apakah perusahaan bekerja dengan modal kerja yang rendah atau dengan model kerja yang tinggi .
2.5. Rasio Laba Ditahan terhadap Total Aktiva. Rasio ini mengukur profitabilitas kumulatif perusahaan. Usia perusahaan dinyatakan secara implisit dalam rasio ini sebagai contoh, sebuah perusahaan baru relatif mungkin akan menunjukkan rasio laba ditahan/total aktiva yang rendah karena tidak adanya waktu untuk menambah laba kumulatifnya. Oleh karena itu, dapat dibuktikan bahwa perusahaan baru nampak berbeda dari analisis ini, dan kesempatan/peluang untuk diklasifikasikan dalam golongan bangkrut relatif lebih tinggi dari yang lainnya, dari pada perusahaan-perusahaan yang lebih tua. Rasio laba ditahan terhadap total aktiva menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 aktiva perusahaan dijamin oleh saldo laba ditahan. Rasio ini merupakan ukuran dari profitabilitas kumulatif perusahaan. Usia perusahaan dinyatakan secara implicit dalam rasio ini. Bila perusahaan mulai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34 merugi, tentu saja nilai dari total laba ditahan dan rasio menjadi negatif.
2.6. Company Size (Ukuran Perusahaan). Ukuran perusahaan merupakan suatu faktor yang penting bukan hanya sebagai proksi pada biaya keagenan (dimana dapat diharapkan lebih tinggi pada perusahaan dengan ukuran yang lebih besar) tetapi juga disebabkan biaya transaksi yang berhubungan dengan penerbitan saham sehubungan dengan ukuran perusahaan (Smith, 1977). Menurut Ferry dan Jones (dalam Sujianto, 2001), ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah penjualan, rata–rata total penjualan dan rata– rata total aktiva. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ukuran perusahaan merupakan ukuran mengenai besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dapat memiliki akses yang lebih baik dalam mempeoleh sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga dalam memperoleh pinjaman dari kreditur juga akan lebih mudah karena perusahaan dengan ukuran besar memiliki probabilitas yang lebih besar dalam memenangkan persaingan ataupun bertahan dalam industri. Sedangkan, perusahaan dengan skala kecil lebih besar kemungkinannya dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang tiba-tiba. Oleh karena itu, memungkinkan bagi perusahaan besar bahwa tingkat leverage-nya akan lebih besar dari perusahaan yang berukuran kecil.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
2.7. Market value of Equity to Book Value of Debt. Rasio ini merupakan salah satu rasio yang digunakan dalam skala pengukuran kebangkrutan Altman Z-Score untuk Perusahaan Manufaktur. Pada rasio ini, Nilai pasar ekuitas diperoleh melalui keseluruhan lembar saham perusahaan yang beredar dan mengalikannya dengan harga pasar per lembar saham biasa. Sementara hutang mencakup nilai buku hutang yang diperoleh dari total kewajiban lancar dengan kewajiban jangka panjang. Rasio ini menambahkan aspek nilai pasar yang jarang digunakan oleh studi terhadap kebangkrutan. Rasio ini juga tampaknya menjadi salah satu variabel penentu kebangkrutan yang efektif dibandingkan rasio serupa umumnya digunakan. Rasio ini juga menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban dari nilai pasar modal sendiri (saham biasa).
B. Literatur review Arfaoui & Goaied (2009), meneliti rasio-rasio keuangan yang berpengaruh pada model kesulitan keuangan pada Perusahaan di Tunisia dengan pendekatan regresi logistik. Dengan menggunakan sampel dari 214 perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan, dan yang tidak, dengan menggunakana definisi Perusahaan yang mengalami kesulitan keuanga adalah mereka yang memilik hutang bunga jatuh tempo lebih atau sampai dengan 90 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk perusahaan manufaktur (gross profit/sales) dan (net
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36 income/sales) adalah rasio yang paling signifikan. Soo ; Nor & Yatim (2001),
menguji beberapa rasio keuangan dalam
memprediksi kemungkinan kesulitan keuangan dengan menggunakan model logit pada perusahaan di Malaysia, dimana kategori perusahaan-perusahaan yang bermasalah secara finansial adalah mereka yang telah memperoleh perlindungan pengadilan terhadap kreditor mereka di bawah UU Perusahaan Malaysia (1965) Bagian 176. Menggunakan sampel 26 perusahaan bermasalah dan 42 perusahaan sehat, menemukan bahwa Sales/Current Asset; Current Asset/Current Liabilities; Percentage change in net income dapat mengindikasikan kesulitan keuangan pada Perusahaan di Malaysia. Mokhamad Iqbal Dwi Nugroho dan Wisnu Mawardi (2012), meneliti tentang prediksi kesulitan keuangan menggunakan formula Altman Z-Score 1995, dengan berdasarkan pada teori Brigham dan Houston (2006), yaitu, bahwa rasio hutang yang semakin meningkat dari tahun ke tahun akan menyebabkan Perusahaan mengalami kebangkrutan atau jika perusahaan tersebut memiliki laba operasi bernilai negatif selama dua tahun berturut – turut. Sampel dalam penelitian tersebut adalah sebanyak 88 perusahaan manufaktur go public yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2008-2010 dan menemukan 10 perusahaan termasuk ke dalam Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan dan 78 perusahaan yang sehat. Dalam penelitian tersebut, rasio yang digunakan adalah Altman Z-Score modifikasi 1995 sebagai berikut, Net Working Capital to Total Assets (X1); Retained Earnign to Total Assets (X2); EBIT to Total Assets (X3); dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37 Book Value of Equity to Total Liabilities (X4). Dengan menggunakan analis diskriminan, ditemukan persamaan sebagai berikut ; Z = -0,175 + 0,059 X1 +0,846 X2 + 3,777 X3 + 0,069 X4 Dimana Fungsi diskriminan distress memiliki presentase tingkat kebenaran dalam mengklasifikasi sebesar 73,3% dan fungsi diskriminan non distress memiliki presentase tingkat kebenaran dalam mengklasifikasi sebesar 86,2%. Hasymi (2007) Menganalisa penyebab kesulitan keuangan pada suatu Perusahaan konstruksi dengan mengklasifikan bahwa Perusahaan mengalami kesulitan keuangan sebagai suatu kondisi dimana arus kas perusahaan tidak mampu melunasi kewajiban-kewajiban saat ini sesuai dengan Ross & Westerfield (1996). Dalam penelitian tersebut ditemukan faktor internal yang menyebabkan kesulitan keuangan yang dialami perusahaan konstruksi tersebut. Diantaranya adalah kesulitan kas yang ditunjukan rasio kas terhadap hutang lancar dan rasio lancar yang terus menurun dari tahun ke tahun. Kemudian tingginya hutang yang ditunjukan meningkatnya rasio hutang atas harta dan hutang atas ekuitas dari tahun ke tahun juga menjadi penyebab kesulitan keungan yang dialami Perusahaan. Selain itu dalam penelitan di atas faktor eksternal juga turut menyumbang penyebab kesulitan keuangan perusahaan, seperti naiknya harga BBM dan naiknya tingkat suku bunga pinjaman. Lusiana & Kristijadi (2003), meneliti rasio-rasio keuangan yang dapat memprediksi memprediksi kesulitan keuangan perusahaan di Indonesia. Menggunakan data laporan keuangan dari BEJ (sekarang BEI) tahun 1998-2001,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38 dimana perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan adalah selama 2 tahun mengalami laba bersih negatif dan lebih dari satu tahun tidak membagikan deviden. Menggunakan regersi logit, ditemukan bahwa rasio keuangan yang dominan dalam menentukan kesulitan keuangan adalah laba bersih dibagi penjualan (profit margin); hutang lancar dibagi total aktiva (financial leverage); aktiva lancar dibagi hutang lancar; pertumbuhan laba bersih dibagi total aktiva (rasio pertumbuhan). Ardiyanto (2011), melakukan penelitain menganai prediksi rasio keuangan terhadap kondisi kesulitan keuangan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2005–2009, dimana perusahaan yang memiliki laba per lembar saham atau Earning Per Share (EPS) negatif dikategorikan mengalami kesulitan keuangan dan data tahun 2008-2009 digunakan sebagai penentu kesulitan keuangan atau tidak. Pengkategorian kesulitan keuangan ini sesuai dengan Elloumi dan Gueyie (2001). Dengan menggunakan regresi logistik, penelitian tersebut memprediksi rasio keungan pada 1-3 tahun sebelum kesuitan keuangan dan ditemukan pada model analisis 1 tahun sebelum kesulitan keuangan, bahwa current assets/current liabillities berpengaruh positif dan signifikan, dan rasio Working Capital/Total Assets berpengaruh negatif dan signifikan. Sedangkan untuk model analisis 2 tahun dan 3 tahun sebelum kesulitan keuangan rasio nett income/total assets berpengaruh negatif dan signifikan. Kartika Susanti (2013), meneilti rasio keuangan yang dapat mempesdiksikan kesulitan keuangan di Indonesia. Dengan populasi sebanyak 63 perusahaan de-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39 listed dibandingkan dengan 63 Perusahaan sehat yang memiliki ukuran perusahaan yang sama yang termasuk dalam LQ45 dalam periode 2004-2011, menggunakan regresi logit ditemukan bahwa current liabilities/total assets (CL/TA) dan market value of equity/total liabilities (MVE/TL) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap model prediksi kesulitan keuangan. Berikut adalah tabel beberapa penelitian terdahulu mengenai prediksi kesulitan keuangan yang menjadi referensi dalam penelitian ini. Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No .
Peneliti
Kategori kesulitan keuangan
sampel penelitian
Metode penelitian
Hasil penelitian
1 Arfaoui & Memilik Total 214 Goaied hutang bunga Perusahaan (2009) jatuh tempo Tunisia lebih atau sampai dengan 90 hari
Regresi Rasio yang signifikan Logistik pada perusahaan manufaktur : 1. Gross profit/sales 2. Net Income/Sales
2 Soo; Nor; Yatim (2001)
Regresi Rasio yang signifikan; Logistik 1. Sales to current asset; 2. Current asset to current liabilities; 3. Percentage change in net income.
Memperoleh Total 68 perlindungan perusahaan pengadilan di Malaysia terhadap kreditor sesuai UU Perusahaan Malaysia
3
Dwi Rasio hutang Total 88 Analisis Rasio yang signifikan; Nugroho meningkat dari Perusahaan Diskrimi- 1. Nett working & Wisnu tahun ke tahun Manufaktur nan capital to total asset Mawardi atau laba 2. RE to total asset; Indonesia (2012) operasi negatif (20083. EBIT to total asset; dua tahun 2010) 4. Book value equity to berturut-turut total liabillity
4
Hasymi (2007)
Arus kas tidak 1 Penelitian Penyebab kesulitan dapat memenuhi Perusahaan deskriptif keuangan; kewajiban saat Konstruksi 1. rasio hutang atas ini. harta;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40 2. rasio hutang atas ekuitas 3. Naiknya harga BBM; 4. Naiknya suku bunga pinjaman. 5 Lusiana & Mengalami Perusahaan Kritijadi Laba bersih di (2003) negatif selama Indonesia 2 tahun dan (1998tidak 2001) membagikan deviden 2 tahun berturut-turut
Regresi Rasio yang signifikan; Logistik 1. Laba bersih dibagi penjualan 2. Hutang lancar dibagi total aktiva 3. Aktiva lancar dibagi hutang lancar 4. Pertumbuhan Laba bersih dibagi total aktiva
Ardiyanto Perusahaan Perusahaan (2011) yang memiliki manufaktur EPS negatif. 2005-2009
Regresi Model analisis 1 tahun Logistik CACL berpengaruh positif dan WCTL berpengaruh negatif, Model analisis 2 dan 3 tahun; NITA berpengaruh negatif.
6
7
Kartika Susanti (2013)
Perusahaan 189 LQ45 yang de- perusahaan listing dari BEI (2004-2011)
Regresi Signifikan pada Logistik (CL/TA) dan (MVE/TL)
Dari beberapa referensi penelitian di atas, dapat dikatakan bahwa rasio keuangan dapat membantu dalam memprediksi kesulitan keuangan yang dialami oleh Perusahaan. Beberapa rasio keuangan tersebut diantaranya adalah berikut; Tabel 2.3 rasio keuangan yang berpengaruh terhadap kesulitan keuangan 1 Laba kotor/Penjualan
9 Ekuitas/Total hutang
2 Laba bersih/Total Aktiva
10 Modal kerja/Total hutang
3 Laba bersih/Penjualan
11 Modal kerja/Total aktiva
4 Percentage change in net income
12 Nilai pasar saham/Total hutang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41 5 Penjualan/Hutang lancar
13 Total hutang/Total aktiva
6 Aktiva lancer/Hutang lancar
14 Total hutang/Ekuitas
7 Laba ditahan/Total aktiva
15 Hutang lancer/Total aktiva
8 Laba operasional/Total aktiva
16
Pertumbuhan laba bersih/Total aktiva
C. Kerangka Pemikiran Banyak peneliti telah menghubungkan rasio – rasio keuangan dengan kesulitan keuangan perusahaan, dan memberikan beragam hasil serta model prediksi. Mendeteksi kesulitan keuangan dini diperlukan agar manajemen dapat mengambil langkah dan tindakan yang tepat sebelum kesulitan keuangan berkembang lebih jauh dan menjadi potensi kebangkrutan. Sebagian besar studi tentang model prediksi kesulitan keuangan berangkat dari analisis rasio keuangan yang terdapat pada laporan keuangan. Hal ini dikarenakan laporan keuangan memiliki banyak informasi mengenai prospek serta pencapaian perusahaan pada satu waktu, dan kemudian untuk mengontrol besaran pengaruh variabel sistematis yang diuji (Lev dan Sunder, 1979 : 187-188). Brigham dan Ehrhardt (2008) menyatakan bahwa empat pokok bagian dalam laporan keuangan adalah neraca, laporan laba rugi, laporan laba ditahan dan laporan arus kas. Dimana Laporan keuangan memberikan informasi penting tentang kinerja operasi dan posisi keuangan suatu perusahaan (Altman 1982; Brigham & Ehrhardt 2008; Fitzpatrick 1931; Gibson & Frishkoff 1986, dan Stickney, Brown & Wahlen 2007). Untuk menilai kekuatan dan kelemahan dari sebuah perusahaan digunakanlah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42 rasio yang diambil dari laporan keuangan untuk memungkinkan analisis (Plat 1989), karena secara teoritis dan praktis, sejumlah besar rasio keuangan dapat dihasilkan dari laporan keuangan. Dalam hal memprediksi kesulitan keuangan, penggunaan rasio keuangan untuk mendeteksi gejala perusahaan yang gagal dapat dilihat kembali pada tahun 1930-an (misalnya, studi dari Fitzpatrick 1931, dan Merwin 1942), dimana berdasarkan
studi
tersebut,
rasio
memprediksi kesulitan keuangan.
keuangan Dengan
terbukti
bermanfaat
dalam
demikian, penelitian-penelitian
selanjutnya dilakukan dengan menggunakan rasio keuangan sebagai variabel untuk sinyal kesulitan keuangan atau kegagalan bisnis. Beaver (1966, hal 80) menjelaskan teori analisis rasio keuangan dengan membandingkan hubungan antara konsep-konsep arus kas dan rasio sebagai berikut: 1. Semakin besar likuditas aset, semakin kecil kemungkinan kegagalan. 2. Semakin besar aliran likuiditas aset bersih dari operasi, semakin kecil kemungkinan kegagalan. 3. Semakin besar jumlah hutang yang dimiliki, semakin besar kemungkinan kegagalan. 4. Semakin besar pengeluaran dana untuk operasi, semakin besar kemungkinan kegagalan. Beaver (1966, hlm. 102) menyimpulkan bahwa analisis rasio dapat berguna dalam prediksi kesulitan keuangan setidaknya selama lima tahun sebelum
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43 kegagalan. Studi awal seperti Altman (1968), Beaver (1966) dan Tamari (1966) hanya menggunakan rasio keuangan untuk membuat prediksi dari kesulitan keuangan, sementara beberapa studi lain menggunakan kombinasi antara rasio keuangan dan faktor-faktor non-keuangan dalam prediksi mereka . Hal ini menunjukkan perubahan konseptual dalam pemodelan kesulitan keuangan atau kegagalan bisnis. Namun demikian, adalah jelas bahwa rasio keuangan banyak digunakan dalam model prediksi akhir-akhir ini. Oleh karena itu cukup beralasan untuk berhipotesis bahwa rasio keuangan tetap dapat memberikan informasi yang berguna dalam memprediksi kesulitan keuangan dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian, analisis rasio tidak hanya digunakan untuk menafsirkan perhitungan keuangan, melainkan juga dapat menjadi peranan penting dalam mengembangan model prediksi kesulitan keuangan. Pada penelitian ini kondisi kesulitan keuangan dicoba untuk dideteksi pada 1 tahun; 2 tahun dan 3 tahun sebelum kesulitan keuangan terjadi, dengan kerangka pemikiran berikut ;
Rasio Likuiditas Rasio Solvabilitas Rasio Profitabilitas Rasio Aktivitas Rasio Laba ditahan pada total aset Ukuran Perusahaan Nilai Pasar saham pada nilai buku hutang
Prediksi 1 tahun sebelum Financial Distress
Prediksi 2 tahun sebelum Financial Distress
Prediksi 3 tahun sebelum Financial Distress
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44 D. Hipotesis. Dari uraian kajian teoritis dan kerangka pemikiran di atas serta berdasarkan teori BSDM/entropy dimana rasio keuangan perusahaan dibandingkan sekaligus secara bersamaan dan membedakan perusahaan melalui rasio tunggal dengan nilai cut-off untuk mengklasifikasikan perusahaan mengalami kesulitan keuangan atau tidak (Monti & Moriano 2010 ). Maka dari itu, peneliti hendak menguji rasio-rasio keungan, apakah rasio dapat memprediksi kesulitan keuangan. Salah satunya yaitu rasio likuiditas dengan hipotesis berikut ; H1 : Rasio likuiditas dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H1a : Rasio likuiditas dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H1b : Rasio likuiditas dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
Selain rasio likuiditas, penulis juga menggunakan rasio solvabilitas dalam memprediksi 1 – 3 tahun sebelum kesulitan keuangan, maka dari itu hipotesis yang berikut adalah : H2 : Rasio solvabilitas dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H2a : Rasio solvabilitas dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H2b : Rasio solvabilitas dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
Sesuai teori BSDM bahwa rasio keuangan perusahaan dibandingkan sekaligus secara bersamaan, maka rasio berikut yang hendak diuji adalah rasio profitabilitas dengan hipotesis berikut ;
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45 H3 : Rasio profitabilitas dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H3a : Rasio profitabilitas dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H3b : Rasio profitabilitas dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
Perubahan-perubahan pada neraca keuangan juga dipengaruhi oleh penjualan (sales) perusahaan, maka dari itu perlu untuk membandingkan variabel penjualan dengan elemen yang terdapa di neraca dengan menggunakan rasio aktivitas. Maka dari itu hipotesis berikut adalah ; H4 : Rasio aktivitas dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H4a : Rasio aktivitas dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H4b : Rasio aktivitas dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
Rasio berikut adalah membandingkan laba ditahan dengan total aset, dimana keduanya merupakan elemen dalam neraca keuangan. Maka dari itu hipotesis yang berikut adalah berikut; H5 : Rasio laba ditahan pada total aset dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H5a : Rasio laba ditahan pada total aset dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H5b : Rasio laba ditahan pada total aset dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46 Ukuran perusahan dihitung menggunkan Log total aset. Sesuai dengan ciri utama balance sheet decomposition measure/entropy theory, perubahan strutur neraca dapat mengidentifikasi kesulitan keuangan. Sama halnya dengan perubahan total aset perusahaan diaharapkan dapat mendeteksi kesulitan keuangan perusahaaan, maka dari itu hipotesis yang berikut adalah ; H6 : Ukuran perusahaan dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H6a : Ukuran perusahaan dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan H6b : Ukuran perusahaan dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan
Salah satu elemen yang paling sering digunakan dalam mendeteksi kesulitan keuangan adalah hutang perusahaan. Dengan rasio ini Perusahaan diharapkan memiliki kemampuan dalam memenuhi kewajiban dari nilai pasar modal sendiri. Maka dari itu hipotesis berikut adalah ; H7 : Nilai pasar saham pada nilai buku hutang dapat memprediksi 1 tahun sebelum kesulitan keuangan H7a : Nilai pasar saham pada nilai buku hutang dapat memprediksi 2 tahun sebelum kesulitan keuangan. H7b : Nilai pasar saham pada nilai buku hutang dapat memprediksi 3 tahun sebelum kesulitan keuangan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/