BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Sejarah Setiap manusia pasti memiliki masa lalu. Masa lalu yang pantas dikenang, baik yang menyenangkan maupun yang membuat manusia sedih dalam hidupnya. Setiap detik, menit, jam, hari, bulan, tahun dan seterusnya yang telah dilewati oleh manusia merupakan bagian dari masa lalu. Masa lalu sering disebut dengan istilah sejarah. Dilihat dari asal usul kata, sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu Syajaratun yang artinya pohon, keturunan, asal usul atau silsilah. Dalam bahasa Inggris (history), Bahasa Yunani (historia), Bahasa Jerman (geschicht). Sejarah, dalam bahasa Indonesia dapat berarti riwayat kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi atau riwayat asal usul keturunan (terutama untuk raja-raja yang memerintah). Umumnya sejarah dikenal sebagai informasi mengenai kejadian yang sudah lampau. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, mempelajari sejarah berarti mempelajari dan menerjemahkan informasi dari catatan-catatan yang dibuat oleh orang perorang, keluarga, dan komunitas. Pengetahuan akan sejarah melingkupi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Ilmu Sejarah mempelajari berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan dimasa lalu. Sejarah dibagi kedalam beberapa sub dan bagian khusus lainnya seperti kronologi, historiograf, genealogi, paleografi, dan kliometrik. Orang yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah disebut sejarawan. Atas dasar diantaranya:
ini, para sejarawan mendefenisikan tentang sejarah,
Nouruzzaman Shiddiqie mendifinisikan sejarah “sebagai peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat”. Pengertian sejarah berbeda dengan pengertian ilmu sejarah. Sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lalu manusia sedangkan ilmu sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. a. Karakteristik ilmu sejarah Unik, artinya peristiwa sejarah hanya terjadi sekali, dan tidak mungkin terulang peristiwa yang sama untuk kedua kalinya. Penting, artinya peristiwa sejarah yang ditulis adalah peristiwaperistiwa yang dianggap penting yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan manusiaabadi, artinya peristiwa sejarah tidak berubah-ubah dan akan selalu dikenang sepanjang masa. b. Sejarah Sebagai Peristiwa, Kisah, Ilmu dan Seni 1. Sejarah sebagai peristiwa. Sejarah sebagai peristiwa adalah kejadian, kenyataan, aktualitas yang sebenarnya telah terjadi atau berlangsung pada masa lalu. 2. Sejarah Sebagai Kisah Sejarah sebagai kisah adalah cerita berupa narasi yang disusun berdasarkan pendapat seseorang, memori, kesan atau tafsiran manusia terhadap suatu peristiwa yang terjadi pada masa lampau.Disebut sejarah sebagai subyek yang artinya sejarah tersebut telah mendapatkan penafsiran dari penyusunan cerita sejarah. Dalam hal ini sejarawan mempunyai peran sebagai ”The Man Behind the Gun”, artinya mereka menyusun cerita sejarah berdasarkan jejak-jejak sejarah namun tetap dipengaruhi oleh sudut pandang sejarawan itu sendiri.
3. Sejarah Sebagai Ilmu Sejarah sebagai ilmu adalah suatu susunan pengetahuan tentang peristiwa dan cerita yang terjadi didalam masyarakat manusia pada masa lalu yang disusun secara sistematis dan menggunakan metode yang didasarkan atas asas-asas, prosedur dan metode serta teknk ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah. Syarat pokok sejarah disebut sebagai ilmu adalah: a). Obyek yang definitif. b). Adanya formulasi kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. c). Metode yang efisien. d). Menggunakan sistem penyusunan tertentu. 4. Sejarah sebagai Seni Sejarah sebagai seni merupakan cara bagaimana membuat pembaca sejarah tertarik atas informasi kejadian masa lalu yang disajikan karena unsur keindahan yang disertakan didalam menyajikan informasi sejarah dimasa lalu sehingga akan mencapai sasaran penyampaian informasi sejarah. Sejarah berperan sebagai seni sangat terkait sekali dengan cara penulisan sejarah itu sendiri. c. Guna Sejarah Keberadaan suatu ilmu yang ada didunia ini tidak akan langgeng tanpa adanya kesadaran akan manfaatnya bagi manusia. Demikian pula dengan ilmu sejarah. Dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, ilmu sejarah memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Guna Edukatif (memberi pendidikan) Nilai sejarah terletak pada kenyataan, apa yang terjadi pada masa lalu memberikan pelajaran bagi manusia yang telah melewatinya. Guna edukatif berarti sejarah bisa memberikan
kearifan dan kebijaksanaan bagi yang mempelajarinya karena semangat sebenarnya dari kepentingan mempelajari sejarah adalah nilai kemasakiniannya. 2. Guna Instruktif (memberi pengajaran) Guna Instruktif artinya sejarah dapat memberikan pelajaran mengenai sesuatu baik keterampilan maupun pengetahuan. 3. Guna Inspiratif (memberi inspirasi) Guna Inspiratif artinya kejadian dan peristiwa yang terjadi pada masa lalu dapat memberikan ilham, ide-ide atau inspirasi bagi manusia pada masa sekarang. Contoh: kebesaran kerajaan-kerajaan pada masa lalu di Nusantara memberikan ilham kepada para pendiri bangsa untuk membangun kembali kebesaran masa lampau tersebut. 4. Guna Rekreatif (memberi kesenangan) Sejarah merupakan suatu kreasi seni, sehingga dapat menghadirkan kesenangan batin. Contoh: kita berkunjung ke Candi Borobudur, dengan berkunjung kesana kita bisa membayangkan pembangunan pada masa itu. Dimulai dari jumlah pekerjanya, arsiteknya, lama pembangunan dan tujuannya dan sebagainya sehingga dalam hati dan pikiran kita akan menembus dimensi waktu. d. Periodisasi dan Kronologi Sejarah 1). Periodisasi sejarah Sejarah memiliki dua dimensi yaitu dimensi spasial (ruang) dan dimensi temporal (waktu). Konsep waktu dalam sejarah meliputi waktu atau tempo (time) yaitu proses kelangsungan suatu peristiwa dan waktu merupakan kesatuan dari kelangsungan tiga dimensi yaitu masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.
Pengertian periodisasi sejarah berkaitan erat dengan pembagian masa lampau manusia berdasarkan urutan waktu. Pentingnya periodisasi dalam sejarah yaitu: 1. Memudahkan sistematika penulisan sejarah 2. Merupakan rangkuman dari suatu peristiwa menurut seorang sejarawan. 3. Memudahkan pembaca dalam memahami suatu peristiwa sejarah 4. Merupakan penghubung dari fakta-fakta sejarah 2). Kronologi sejarah Adalah usaha yang dilakukan untuk mendapatkan pemahaman mengenai pengertian suatu peristiwa sejarah secara gamblang yang dapat mengkaitkan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain secara logis. Kronologi sejarah sangat diperlukan karena dapat mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya dalam bentuk kausalitas atau sebab akibat. 1.2 Hakikat Desa dan Terbentuknya Desa. Desa merupakan organisasi terendah yang berada dibawah kecamatan yang mempunyai aturan hukum sendiri yang tidak bisa dicampuri oleh desa lain. Menurut Daldjoni dan Suyitno (2003:14) desa adalah organisasi/kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya berdasarkan adat istiadat setempat. Menurut Anang Sabtoni (2005:28) desa merupakan organisasi pemerintah yang terendah, merupakan wilayah dari negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki empat tipe kewenangan yaitu: a. Kewenangan generik (asli) sering disebut hak atau kewenagan asal-usul yang melekat pada desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (Self-Governance Community). b. Kewenangan devolitif merupakan kewenangan yang melekat padadesa karena posisinya ditegaskan pemerintahan lokal (Lokal self governance). c. Kewenangan distributif yakni kewenangan bidang pemerintahan yang dibagi oleh pemerintah kepada desa.
d. Kewenangan-kewenangan desa untuk menolak tugas pembantuan dari pemerintah jika tidak disertai oleh pendukungnya atau jika tugas tersebut tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut. Kementrian dalam negeri sedang mengarahkan penulisan sejarah desa-desa diseluruh wilayah
Republik Indonesia. Apalagi sekarang sedang ada pilot project yang berusaha
mengatakan lembaga-lembaga adat di desa dan menuliskan sejarah desa sebagai suatu hal yang harus dilakukan oleh masyarakat desa. Sejarah desa sering dilihat sebagai sejarah yang mudah untuk ditulis. Hal itu didasarkan atas anggapan bahwa setiap desa mempunyai cerita pendirian desa, punden desa, dan bersih desa. Kuontowijoyo (dalam Sugeng Priyadi 2012:105) bahwa anggapan itu tidak terbukti, bahkan menulis sejarah desa itu merupakan pekerjaan yang tidak sepele. Sejarah desa bukan sekedar riwayat dhanyang, orang yang merintis membabat hutan. Menurut Greetz (dalam Sugeng Priyadi, 2012:105) kemudian mendirikan rumah dan rumah penduduk lain sehingga secara lambat laun desa pun terbentuk, tetapi lebih dari pada itu sejarah desa harus mencerminkan berbagai aspek kebudayaan yang melatarbelakangi terbentuknya desa. Terbentuknya sebuah desa biasanya dilalui secarah alamiah seperti yang terjadi pada zaman jawa kuna, yang disebut wanua atau thani. 2.3 Hakikat Desa dan Pelaksanaan Pembangunan Desa 1. Pengertian Pembangunan Desa Dalam konsep pembangunan, secara umum pembangunan desa harus dilihat secara dinamis yang pada dasarnya merupakan suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Sebagaimana dikemukakan oleh Siagian S.P (1982:2) adalah: ”Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintahan, menurut modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Menurut Tjokroamidjodjo Bintoro (1993:22) mengatakan bahwa ”pembangunan merupakan suatu proses pembaharuan yang terus menerus dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang dianggap lebih baik”. Dalam arti pembangunan adalah suatu proses yang terus menerus, yang dilakukan terencana untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan seperti : ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Sedangkan menurut Budiman Arief (1995:1) mengemukakan bahwa ”pembangunan adalah usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya”. Jika mendasarkan pada konsep pembangunan yang diuraikan di atas, sangat ideal apabila dalam pembangunan itu terjadi pertumbuhan yang terarah, perubahan sistem yang direncanakan sebaik-baiknya, kemudian diusahakan agar ada perubahan, pertumbuhan dan perkembangan menuju kearah tercapainya tujuan. Dimana untuk mencapai tujuan tersebut perlu ada kemampuan untuk berubah, tumbuh dan berkembang menuju kearah tercapainya apa yang dikehendaki oleh pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep pembangunan desa, yang termaktub didalamnya adalah merupakan suatu usaha sadar dari masyarakat pada suatu daerah terkecil (desa/kelurahan), yang berarti pula kegiatan pembangunan harus dilaksanakan sendiri oleh masyarakat. Sehingga posisi pemerintah daerah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator dan dinamisator, memberikan pelayanan, bimbingan, dan pengarahan atas segala aktivitas kerja yang secara langsung mempengaruhi hajat hidup warga masyarakat daerah itu sendiri. Tegasnya menurut Bertha I Nyoman (1992:12), pembangunan pada umumnya tidak lain adalah ”usaha perubahan menuju kearah yang lebih baik berdasarkan pada norma-norma tertentu, yang direncanakan dengan memberdayakan potensi alam, manusia dan sosial budaya”. Kartasasmita Ginandjar (1996:38) mengemukakan bahwa ”pembangunan berarti peningkatan kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat menuju pembaharuan yang juga merupakan bentuk ke arah yang dikehendaki, tetapi terkait dengan nilai atau sistem nilai”. Siagian S.P (1994:35) mengatakan bahwa ”pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernisasi dalam rangka pembinaan bangsa. Direktorat Jenderal Pembangunan Desa Departemen Dalam Negeri (1995:5) menjelaskan bahwa ”pembangunan desa mencakup pembangunan disegala aspek kehidupan masyarakat meliputi : ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama dan pertahanan”. Dengan demikian yang dimaksud dengan pembangunan desa adalah usaha pembangunan dari masyarakat yang dikoordinasikan oleh pemerintah terendah (desa/kelurahan) yang harus dilaksanakan dan dibina terus menerus secara sistematis dan terarah, sebagai bagian penting dalam usaha pembangunan negara secara menyeluruh. Karena secara prinsipil dan fundamental, tujuan utama dari pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan makin memantapkan ketahanan masyarakat desa, dalam rangka meletakkan dasar pembangunan nadsional yang sehat. Melalui pembangunan nasional yang sehat dan mempercepat pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. 2. Pelaksanaan Pembangunan Desa
Dalam pelaksanaannya, pembanguna desa banyak mengalami kendala teruatama menyangkut prinsip dan hakekat pembangunan desa sebagaimana yang dikemukakan para ahli tersebut di atas. Meskipun Direktorat Jenderal Pembangunan Desa Departemen Dalam Negeri (1995:6) telah mengeluarkan sebuah buku pedoman tentang pelaksanaan program pembangunan desa yang lebih diarahkan untuk mencapai upaya mengentaskan jumlah penduduk miskin dengan menggerakkan kegiatan penaggulangan kemiskinan disejumlah desa/kelurahan dimana terdapat masyarakat miskin. Selain itu pembangunan desa dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai program pembangunan yang sudah ada dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu perlu adanya pembentukan kelompok yang disebut sebagai kelompok sasaran atau kelompok masyarakat miskin. Kelompok sasaran tersebut yang akan melaksanakan program pembangunan, khususnya yang berada di desa-desa tertinggal. Tujuannya adalah untuk memberdayakan masyarakat miskin tersebut, mendorong perubahan struktur ekonomi dan membangun kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pengembangan, peningkatan dan pemantapan kondisi sosial ekonomi. Dalam program pembangunan desa tertinggal terdapat tiga komponen, yaitu dana bergulir sebagai bantuan modal usaha, prasarana pedesaan dan sarana pendampingan tenaga teknis. Pada dasarnya menurut pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan desa Departemen Dalam Negeri (1995:8). “Dalam rangka menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, bantuan pembangunan dari pemerintah berupa dana, sarana dan prasarana tersebut diberikan langsung kepada penduduk miskin di desa tertinggal. Penduduk miskin dibina dan diarahkan untuk membentuk kelompok masyarakat dan sasaran (POKMAS) dengan bimbingan yang dilakukan oleh pendamping. Pendamping diutamakan berasal dari aparat desa setempat, tokoh masyaakat setempat yang telah lebih mampu dan lebih maju.
Dalam hal ini, aparat pemerintah setempat merupakan pihak yang paling mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dengan demikian pembinaan dan koordinasi penanggulangan kemiskinan sejauh mungkin didelegasikan kepada pemerintah daerah. Pendelegasian kewenangan ini bukan hanya proses administrasi, tetapi juga menunjukkan suatu proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, oleh daerah sendiri dan hasilnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah. Pelaksanaan pembangunan ini berkaitan dengan peningkatan kemampuan seluruh aparatur pemerintah di daerah dan penyiapan masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan pembangunan desa yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yang dikaitkan dengan unsur-unsur penting, antara lain (1) kemantapan kelembagaan, (2) ketersediaan sumber daya manusia yang memadai, dan (3) potensi ekonomi daerah untuk menggali sumber pendapatannya sendiri. Peningkatan peran serta masyarakat dilakukan dengan mendayagunakan mekanisme perencanaan dari bawah. Ditingkat desa melalui wadah kelompok masyarakat desa yang terhimpun dalam musyawarah Badan Perwakilan Desa (BPD), dahulu dikenal dengan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), sampai pada mekanisme perencanaan ditingkat kecamatan melalui Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Dalam pedoman tersebut di atas, juga dinyatakan bahwa bantuan untuk pembangunan desa, dana program bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melalui dana alokasi umum (DAU). Dana untuk membiayai program tersebut disalurkan langsung oleh pemerintah daerah kepada kelompok usaha masyarakat miskin di desa, melalui bank dan lembaga keuangan lainnya yang ditunjuk pemerintah. Dana yang tersedia dilembaga perbankan, dicairkan oleh kelompok masyarakat dengan persetujuan kepada desa berdasarkan rencana yang telah disahkan camat.
Adapun ketentuan-ketentuan pencairan dana program pembangunan desa tertinggal yaitu: (1) dana diberikan dalam bentuk modal kerja disertai pembimbing dan pendamping khusus, kemudian disalurkan kepada kelompok secara bertahap sesuai dengan rencana kerja yang telah disahkan Kepala Desa dan Camat; (2) pencairan dana hanya dapat dilakukan oleh bendahara kelompok setelah disetujui kepala desa dengan melampirkan Daftar Usulan Kegiatan Satu (DUK-1) dan Daftar Usulan Kegiatan Dua (DUK-2), dana tersebut harus diterima langsung dan utuh oleh pengurus kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dijadikan indikator untuk mengukur kberhasilan kegiatan pembangunan desa yaitu tergantung dari partisipasi masyarakat yang didukung oleh dana dan sarana pendampingan tenaga teknis. 2.4 Hakikat Pemerintah Pemerintahan merupakan suatu lembaga atau badan tertinggi yang berkuasa pada suatu wilayah yang mempunyai fungsi untuk mensejahterakan rakyat demi kepentingan negara atau dengan kata lain pemerintahan sebagai sekumpulan orang-orang yang mengelola kewenangan, melaksanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan serta pembangunan masyarakat dari lembaga-lembaga yang ditempatkan. Menurut Ndara Taliziduhu (1997:3) mengemukakan bahwa pemerintah adalah gejala sosial, artinya suatu hubungan yang terjadi antara anggota masyrakat baik individudengan individu, individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok. Menurut Suwarno (1991:13) mengatakan bahwa pemerintah adalah badan yang menyelenggarakan tugas-tugas untuk pemerintah dan penbangunan. Pemerintahan adalah proses, cara, atau perubahan memerintah, segala sesuatu yang dilakukan oleh negara untuk mensejahterakan rakyat dan juga untuk kepentingan negara (kamus besar bahasa Indonesia Depdikbud, 2001:672).
Government berasal dari bahasa Inggris yang berarti pemerintah dan gouvernment berasala dari bahasa Prancis yang berati kemudi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pemerintah atau pemerintahan atau disebut juga penguasa yang memerintah yang mempunyai kekuasaan dalam kenegaraan dan kesejahteraan rakyat. 2.5 Penyelenggaraan Pemerintahan Di Tingkat Desa 1. Prinsip dan Tujuan Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam sistem penyelenggaran pemerintahan Negara Indonesia, adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah sampai pada tingkat pemerintah desa. Hal ini tentunya tidak akan lepas dari sistem pembagian kekuasaan atau urusan pemerintah pusat, daerah dalam rangka penetapan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia. Kaloh J (2002:13) mengemukakan bahwa : prinsip ”Negara Kesatuan” adalah meletakan kekuasaan/kewenangan atas semua urusan pemerintahan pada pemerintah pusat, dengan kata lain pemegang kekuasaan sepenuhnya berada ditangan ”Pemerintah Pusat”. Namun dalam rangka efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, ”Urusan” tersebut dialirkan (dibagikan) kepada pemerintah daerah melalui konsep yang diberikan ke daerah tetapi memiliki batas. Menurut Salam Setyawan Dharma (2004:225) bahwa: pemerintahan yaitu mekanismemekanisme, proses-proses, dan institusi-institusi melalui warga negara mengartikulasikan kepentingan mereka, memediasi perbedaan-perbedaan mereka, serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka. Lembaga pemerintahan merupakan proses lembaga-lembaga publik, mengatasi masalah-masalah publik, mengelola sumber daya publik dan menjamin realisasi hak asasi manusia. Sehingga dalam konteks ini pemerintahan memiliki hakikat yang esensial yaitu bebas dari penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Dalam hubungannya dengan pengaturan sistem pembagian urusan pusat dan daerah, Philipus Hadjon (2002:24) mengemukakan bahwa: ”Pembagian kekuasaan/urusan secara vertikal dalam negara kesatuan menurut hukum tatanegara dikenal sebagai Desentralisasi Teritorial (territoriele decentralizate). Dengan pengertian ”Desentralisasi” adalah sebagai penyerahan tugas atau urusan kepada pemerintah tingkat bawah.
Pandangan mengenai pemerintah daerah menurut Bagir Manan (1997:70) menyatakan bahwa sejalan dengan ketata negaraan sudah sejak semula meletakkan otonomi daerah atau pemerintahan daerah sebagai salah satu sendi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen mewujudkan kesejahteraan umum, otonomi daerah merupakan cara memelihara negara kesatuan. Untuk itu dalam pengaturan ”Sistem Pembagian Urusan otonomi Daerah/ Pemerintah Daerah”, perlu dipahami beberapa ajaran mengenai isi dan luasnya pemerintahan, seperti diuraikan oleh Rochmat Soemitro (1993:23) bahwa dalam hal ini dikenal 3 (tiga) ajaran yang terkenal mengenai isi dan luasnya otonomi atau pemerintahan yaitu : (1) Pengertian/ajaran rumah tangga secara materil, yaitu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang diperinci secara tegas didalam rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu persatu secara tegas. (2) Pengertian/ajaran rumah tangga secara formil, tidak ada perbedaan sifat antara urusan-urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah, bila disini dilakukan pembagian tugas, maka hal ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis, keyakinan kepentingan daerah dapat lebih baik dan berhasil diselenggarakan oleh masing–masing daerah daripada pemerintah pusat. (3) Pengertian/ajaran rumah tangga secara riil, yaitu suatu sistem yang berdasarkan keadaan dan faktor-faktor nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam daerah itu sendiri maupun dengan pemerintahan R.I. Muljadi Arif (2005:97) mengemukakan bahwa pembagian urusan pemeritahan dalam negara kesatuan R.I, dalam hal ini urusan pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara vertikal yaitu pembagian dari pemerintah pusat dengan penyerahan urusan dimaksud kepada pemerintah daerah, yang meliputi pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, Kota sampai pada tingkat desa. Disamping itu juga dilaksanakan pemerintahan secara horizontal, yaitu pembagian urusan pemerintahan diluar urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah, dari pimpinan pusat kepada perangkat pemerintah pusat dan pembagian urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah, dari pimpinan Kabupaten/Kota kepada perangkat pemerintah daerah, serta pemerintah desa yang menjalankan otonomi desa. Dengan demikian pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat dikatakan dalam penyatuan sistem pembagian urusan pusat dan daerah senantiasa dilaksanakan pada area
atau wilayah guna kepentingan masyarakat daerah otonomi Kabupaten/Kota dan Desa dalam daerah Provinsi yang bersangkutan. Berarti pendapat tersebut akan sesuai bila berlandaskan posisi daerah Provinsi tersusun dengan daerah Kabupaten/Kota sampai pada tingkat desa. Bertitik tolak uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan suatu negara diselenggarakan berdasarkan ”Kewenangan Menyelenggarakan Urusan Pemerintahan” yang dimiliki pemerintah negara, oleh perangkat pemerintahan yang bersangkutan, termasuk pemerintahan daerah sampai pada tingkat desa. 2. Bentuk-Bentuk Pemerintahan Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan otonom, pembagian urusan pemerintah tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah, urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Mustafa Bachsan (1990:42) mengemukakan penyelenggaraan pemerintah dapat dibagi dalam 4 (empat) fungsi atau yang disebut dengan istilah ”Catur Praja” yaitu : (1) Fungsi pemerintahan dalam arti sempit (Bestuur); (2) Fungsi kepolisian yang menjalankan preventif Rechhtszorg terhadap tertib hukum dalam usahanya untuk memelihara tata tertib masyarakat; (3) Fungsi mengadili yaitu menyelesaikan sengketa-sengketa; (4) Fungsi membuat. Sedangkan penyelenggaraan dengan ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa pembagian atau bentuk–bentuk urusan pemerintahan
adalah meliputi : (1) Fungsi ”Bestuurszorg” melaksanakan kesejahteraan umum; (2) Fungsi ”Bestuur” menjalankan Undang-Undang; (3) Fungsi kepolisian; (4) Fungsi membuat peraturan. Dengan demikian untuk bentuk-bentuk urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan desentralisasi meliputi, urusan pemerintahan dibidang politik, luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter, yustisial dan agama. Namun disamping itu masih terdapat banyak urusan pemerintahan yang bersifat ”Concurrent” artinya urusan pemerintahan yang penangganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sehingga setiap urusan yang bersifat ”Concurrent” senantiasa ada bagian umum yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan pada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota/Desa. 3. Penyelenggaraan Pemerintahan Di Tingkat Desa Terkait dengan kedudukan pemerintah desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi desa yang makin luas dan efektif. Otonomi yang dimiliki oleh desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah daearah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa diluar desa geneologis yaitu yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun transmigrasi, dan alasan lain seperti warga pluralistis, majemuk atau heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, Salam Setyawan Dharma (2004:226) memberikan dua pemahaman yaitu : (1) Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial; (2) Aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut; Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya. Disamping itu untuk membantu penyelenggraan pemerintahan desa, kepala desa dibantu oleh perangkat desa yaitu sekretaris desa, dan kepala-kepala dusun yang merupakan unsur penting dalam menjalankan atau menyelenggarakan pemerintahan di desa. 2.6 Pengertian Masyarakat Yang dimaksud masyarakat adalah merupakan wadah untuk membentuk kepribadian diri disetiap warga kelommpok manusia atau suku yang berbeda satu dengan yang lainya. Didalam satu masyarakat itu juga warga bersangkutan mengembangkan kebudayaan yang pasti memiliki ciri khas yang berbeda. Setiap kebudayaan yang hidup dalam satu kelompok masyarakat dapat menampilkan suatu corak yang khas terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat yang bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari didalam linngkungan kebudayaan biasanya tidak terlihat corak yang khas. Masyarakat dapat membentuk kepribadiian yang khas bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupanya, (dalam Abdul Syani, 1995: 46). Kemudian Ralp Linton (dalam Abdul Syani, 1995:47) mengemukakan bahwa: “masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sendiri dalam suatu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”.
Menurut roucek dan waren, (dalam Abdul Syani, 1995:84) bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang memiliki rasa kesadaran bersama yang mana mereka berdiam pada daerah yang sama, yang sebagian besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat kebiasaan aktifitas yang sama pula. Sejalan dengan hal tersebut diatas menurut Machler (dalam Hardsojo 1999: 127) mengatakan bahwa: ”masyarakat adalah suatu sistem dari cara kerja dan prosedur, dari otoritas dari dan saling bantu membantu yang meliputi kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan sistem yang kompleks yang selalu berubah atau jaringan dari relasi sosial itulah yang dinamai masyarakat. Dari beberapa definisi masyarakat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat bukan hanya kumpulan manusia semata-semata tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu sama lainya. Setiap individu mempunyai kesadaran dan keberadaanya ditengah-tenggah individu yang lainya, sehingga sistem pergaulan yang membentuk kepribadian dari setiap individu yang didasarkan atas kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat tersebut. 2.7 Unsur-unsur masyarakat Selo Soemardjan dan Solaeman Soemardi (1964:256) menyatakan, bahwa unsur-unsur sistem stratifikasi dalam masyarakat adalah kedudukan (status) dan peranan (role).” Terkait dengan pendapat diatas Roucek dan Warren (1962:60) mengemukakan bahwa: 1. Kedudukan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan kedudukan sosial adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya, yaitu lingkungan pergaulannya, prestise dan hak-hak serta kewajibanya. 2. Keberadaan peranan selalu melekat adanya kedudukan. Artinya, tak akan ada peranan tanpa adanya kedudukan atau tak ada kedudukan tanpa peranan. Peranan akan mengatur perilaku seseorang, juga menyebabkan seseorang dapat meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain dalam batas-batas tertentu sehingga orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilakunya dengan perilaku orang-orang dikelompoknya.
Soerjono Soekanto (1962:60) membedakan kedudukan (status) dalam masyarakat menjadi dua, yaitu : a. Astribed status adalah kedudukan seseorang karena kelahirannya disebabkan kedudukan orang tuanya tanpa membedakan rohaniah maupun kemampuanya. Misalnya, anak seorang bangsawan, maka kedudukannya adalah bangsawan. Kedudukan jenis ini diperoleh tanpa usaha, langsung melekat saat ia lahir. b. Achieved status adalah kedudukan seseorang yang diperoleh melalui usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, seseorang dapat menjadi manajer perusahaan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu baik pendidikan maupun kecakapan yang mendukung. Dari beberapa konsep mengenai unsur-unsur masyarakat di atas, menunjukan bahwa suku bangsa adalah sekolompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitasnya yang diperkuat oleh kesatuan bangsa. 2.8 Hakikat Partisipasi Masyarakat 1. Pengertian Partisipasi Masyarakat Partisipasi menurut Keith Davis (dalam Sastropoetro SR 1983:14) menyatakan bahwa ”Partisipasi adalah keterlibatan mental atau pikiran dan emosi atau perasaan seseorang dalam situasi yang mendorong atau memberikan sumbangan kepada kelompok sebagai usaha dalam mencapai tujuan”. Selanjutnya Davis menambahkan bahwa partisipasi adalah turut sertanya seseorang baik secara mental maupun emosional dalam memberikan sumbangan berupa dana, waktu dan tenaga serta ide dalam rangka proses tumbuhnya partisipasi. Menurut Huneryager dan Hekman (dalam Ndraha Taliziduhu, 1987:30) partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi individu-individu dalam situasi kelompok bahwa mereka berani (mempunyai semangat untuk mendukung tujuan kelompoknya dan disertai dengan tanggung jawabnya). Adapun titik tolak partispasi dalam definisi tersebut di atas, antara lain : (1) Keterlibatan dan emosi individu-individu anggota kelompok harus diwujudkan dalam bentuk kerja sama; (2) Mempunyai semangat atau keberanian memberikan dukungan dalam rangka pencapaian tujuan, mislnya berupa barang, uang, jasa, pikiran, dan keterampilan; (3) Mereka harus dilandasi oleh tanggung jawab didalam kegiatannya.
Ndraha Taliziduhu (1987:106) mengatakan bahwa : partisipasi masyarakat masih sering dihubungkan dengan kesediaan memberikan sumbangan atau turut bekerja dalam suatu kegiatan. Bahkan kesediaan menyerahkan barang atau harta secara sukarela untuk mencapai tujuan tertentu. Sastropoetro SR (1983:17) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki tiga dimensi yaitu meliputi : (1)
Semua orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tentang apa dikerjakan dan bagaimana caranya;
yang
(2) Kontribusi masyarakat guna usaha pembangunan misalnya bagi pelaksanaan keputusan-keputusan yang telah diambil; (3) Turut menikmati terhadap keuntungan yang diperoleh dari program pembangunan itu. Goldsmith dan Blustrain (Ndraha Taliziduhu, 1990:670) berpendapat bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi, bila hal-hal yang disebutkan berikut terpenuhi : (1) Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau sudah ada ditengahtengah masyarakat yang bersangkutan. (2) Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. (3) Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. (4) Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Dari pendapat-pendapat di atas, maka pemahaman partisipasi masyarakat dalam penelitian ini adalah diartikan sebagai keterlibatan masyarakat setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan desa. 2. Jenis-Jenis Partisipasi Masyarakat Partisipasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk keikutsertaan dalam pembangunan yang bermacam-macam jenisnya, hal ini sesuai dengan kemampuan dan profesi masing-masing. Koentjaraningrat (1990:66) menggolongkan partisipasi masyarakat ke dalam tipologinya, ialah partisipasi kualitatif dan partisipasi kuantitatif. Partisipasi kuantitatif menunjuk pada
frekuensi keikutsertaan masyarakat terhadap implementasi kebijakan, sedangkan partisipasi kualitatif menunjuk kepada tingkat dan derajatnya. Partisipasi masyarakat juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi individu dalam kelompoknya. Dimana partisipasi masyarakat dalam aktivitas bersama dalam proyek khusus, dan partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam aktivitas bersama dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat juga dapat dilihat sebagai partisipasi mandiri yang merupakan usaha berperan serta yang dilakukan secara mandiri oleh pelakunya, partisipasi mobilisasi, dan partisipasi seremoni (Mulyana Rohmat, 2004:171). Adapun jenis-jenis partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ndraha Taliziduhu (1987:33) dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Partisipasi dalam menerima dan memberi informasi Huneryager dan Hekman (dalam Ndraha Taliziduhu, 1987:33) yang mengutip pendapat Keith Davis mengatakan bahwa sebelum suatu tindakan diambil, diperlukan waktu yang cukup untuk menyiapkan dan menumbuhkan kesadaran dalam diri setiap orang yang berhubungan dengan tindakan yang diambil. 2. Partisipasi dalam pemberian tanggapan Maksud partisipasi dalam hal ini adalah partisipasi dalam pemberian tanggapan terhadap informasi yang diterima (didengar) baik bermaksud menerima (menaati dan mengikuti, mengiakan, menerima, dengan syarat ataupun menolak). 3. Partisipasi dalam perencanaan Chen dan Uphoff (dalam Ndraha Taliziduhu, 1987:34) menyebutnya “participation in decision making”, hal ini berarti bahwa dalam proses perencanaan sudah termasuk pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Mosha dan Matte disebut “participation in project design” yang meliputi proses pembuatan (designing) program. 4. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan. Mosha dan Matte (dalam Ndraha Taliziduhu, 1987:35) menyebut jenis partisipasi ini sebagai “participation in implementation”. Dimana berarti bahwa partisipasi meliputi beberapa kegiatan pendahuluan atau persiapan pengerahan tenaga, dalam melaksanakan rencana yang telah ditetapkan. Sedangkan menurut Cohen dan Uphoff menyebutnya “participation in implementation” meliputi kontribusi sumber daya, administrasi dan koordinasi, penetapan dan pembuatan rencana. 5. Partisipasi dalam menerima hasil Dalam hal ini Ndraha Taliziduhu (1987:104) menjelaskan partisipasi dalam menerima hasil, di mana terletak dari peran serta masyarakat dalam melaksanakan rencana-rencana program kegiatan yang telah dibuat sesuai dengan tujuan yang dicapai.
6. Pengawasan dalam menilai hasil Partisipasi jenis ini dikemukakan oleh Mosha serta Cohen dan Uphoff (dalam Ndraha Taliziduhu, 1987:104) adalah keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauhmana hasil yang dicapai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Dari keenam jenis partisipasi yang dikemukakan di atas, kaitannya dengan penelitian ini, dibangun secara logis berkaitan dengan tingkat proses pelaksanaan pembangunan dari awal sampai akhir sedemikian rupa, sehingga sepanjang proses pembangunan masyarakat berpartisipasi sepenuhnya. 2.9 Lapisan Masyarakat Masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertenu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Pitirim A. Sorokin, mengatakan bahwa “sistem pelapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur”.(dalam Soerjono Soekanto 1982:197). Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat dalam mempunyai kedudukan yang rendah. Diantaranya lapisan yang paling atas dan rendah itu adalah lapisan yang jumlahnya dapat ditentukan sendiri oleh orang-orang yang hendak mempelajari system lapisan masyarakat itu. Biasanya golongan yang berada dalam lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh masyarakat, tetapi kedudukannya yang tinggi itu bersifat kumulatif. Roencek dan Warren mengatakan masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan yaitu sebagai berikut: (dalam Soerjono Soekanto 2010:210): 1. Askribed status yaitu kedudukan seorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Pada umumnya askribed status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan system pelapisan tergantungan pada perbedaan risial.
2. Achieved status adalah kedudukan yang dicapai oleh seseorang diperoleh atas dasar kelahiran. Akan tetapi, bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantugan dari kemampuannya masing-masing dalam mengajar serta mencapai tujuan-tujuannya. Menurut Abdul Syani (1995:35) mengatakan bahwa: manusia sebagai individu pada umumnya ditempatkan pada nomor dua setelah kajian masyarakat, karena sosiologi mempunyai objek studi masyarakat lebih banyak mencurahkan perhatiannya terhadap kolektivitas sosiologi. Masyarakat adalah wadah hidup bersama individu-individu terjalin dan terikat dalam hubungan interaksi serta interaksi sosial. Selain pengertian masyarakat yang disampaikan oleh para ahli namun ada juga ciri-ciri masyarakat dalam suatu bentuk kehidupan bersama menurut Soerjono Soekanto (dalam Abdul Syani 1995:47) adalah sebagai berikut: 1. Yang hidup bersama didalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak atau angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada akan tetapi secara teoritis angka minimum adalah dua orang yang hidup bersama. 2. Bercampur untuk waktu yang lama, kesimpulan manusialah tidak sama dengan kumpulan-kumpulan benda mati sepertinya kursi, meja, dan sebagainya, oleh karena itu berkumpulnya manusia maka akan timbulnya manusia baru, manusia itu juga akan becakap-cakap merasa dan mengerti, mereka juga berkeinginan menyampaikan kesankesan atau persaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbulah sistem komunikasi dalam peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dan kelompok tersebut. 3. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan. 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup besama-sama dirinya terikat satu dengan yang lain. Demikian berarti masyarakat bukan sekedar sekumpulan manusia semata tanpa ikatan, akan tetapiterdapat hubungan fungsional antara satu sama lain. Setiap individu mempunyai kesadarannya akan kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat bersangkutan.
2.10 Perkembangan Masyarakat dan Faktor
Yang Menyebabkan Perubahan Pada
Masyarakat. Dalam pandangan tentang perkmbngn masyarakat ini, Ralph Linton (dalam Harsodjo 1999:129) menyatakn “masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehingga meraka dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu”. Selnjutnya perkembagan masyarakat menurut R. Firth (dalam Harsodjo 1999:126), menyatakan: Adanya organisasi masyarakat dan struktur sosisal dalam masyarakat terdapat empat bagian yang termasuk unsur yang terpenting bagi eksistensi sosial bagian-bagian yang dimaksud ialah (sosial lalignement) yaitu di dalamnya terdapat juga struktur sosial dalam arti sempit. Ruang lingkup perubahan masyarakat itu terdiri dari unsur-unsur kebudayaan, baik yang bersifat inmaterial maupun material. Perubahan masyrakat secara umum menyangkut perubahanperubahan struktur, fungsi budaya dan prilaku masyarakat. Perubahan masyarakat pada umumnya dapat terjadi dengan sendirinya secara wajar dan teratur, terutama apabila perubahan itu sesuai dengan pertumbuhan kepentingan masyarakat. Jika tidak biasanya masyarakat tertutup dengan perubahan lantaran takut bila stabilitas kehidupanya akan terganggu akibat perubahan itu. Akan tetapi pada kondisi perubahan masyarakat tidak bisa dihindari, terutama jika keadaan sekarang tidak berkemajuan dan tidak memuaskan lagi. Terjadi ketidak puasan terhadap keadaan sekarang disebabkan nilai-nilai, norma-normanorma sosial, pengetahuan dan teknologi baru yang dianggap dapat memenuhi tuntutan hidup sekarang dan masa depan. Dalam jurnal pengembangan masyarakat mengatakan “bahwa perubahan masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu proses yang terus menerus, sebab tidak ada masyarakat yang berhenti perkembanganya karena setiap masyarakat mangalami perubahan baik yang terjadi secara lambat maupun cepat. Perubahan masyarakat tidak selamanya kompleks
secara universal perubahan tersebut meliputi nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, norma-norma, pola-pola prilaku, oraganisai yang semuanya dapat diakibatkan oleh berbagai komponen dan salah satunya adalah modernisasi masyarakat merupakan suatu proses transformasi yang dinamis dan progresif yang bersifat rasional. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Astrid S. Susanto,(dalam Abdul Syani 1995:89) bahwa terjadi perubahan masyarakat disebabkan oleh terganggunya keseimbangan atau tidak adanya singkronisasi ini dengan sendirinya mengakibatkan terjadi ketegangan dalam tubuh masyarakat. Secara umum, perubahan masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang datang dari tubuh masyarakat itu sendiri (bersifat interen), maupun yang datang dari ruang lingkup, masyarakat. Faktor-faktor penyebab perubahan masyarakat itu antara lain : 1. Faktor Penemuan Baru Faktor penemuan baru adalah hasil gagasan baru yang merupakan rangkaian pencipta individu-individu dalam masyarakat dengan bersandar pada kehendak-kehendak tertentu. Oleh karenanya manusia secara alami mempunyai dorongan untuk hidup lebih layak, maka dinamika daya cipta pun menjadi suatu ketetapan dan diakui sebagai unsur pengubah yang sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, (dalam Abdul Syani, 1995:90) bahwa: “penemuan baru dalam arti invantion adalah penemuan baru yang sudah diakui dan dapat diterapkan oleh masyarakat, dan hasil ciptaan baru manusia atas nama individu atau kelompok masyarakat”. Sejalan dengan hal tersebut, maka Soerjono Soekanto mengemukakan beberapa faktor pendorong terhadap individu dalam usaha mencapai penemuan baru, yaitu : a. Kesadaran dari orang perorang akan kekurangan dalam kebudayaan. b. Kualitas dari ahli-ahli dalam suatu kebudayaan c. Adanya perangsangan dari aktifitas-aktifitas pencipta dalam masyarakat.
Berdasrkan penjelasan di atas ide-ide, keyakinan dan hasil-hasil karya yang bersifat fisik dalam pengertian penemuan baru, semuanya merupakan faktor pendorong kearah perubahan kehidupan masyarakat, dalam bentuk apapun penemuan baru itu senantiasa akan membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat baik secara sepat atau lambat. 2. Faktor pertumbuhan penduduk (population) Faktor perubahan penduduk yaitu perubahan masyarakat yang disebabkan oleh pertambahan penduduk dan berkurangnya penduduk daerah tertentu. Pertambahan penduduk disebabkan oleh datangya penduduk baru dari daerah lain atau karena kelahiran yang meningkat atau dapat pula terjadi karena adanya daerah pilihan yang dapat merangsang penduduk daerah lain untuk memadatinya. Datangnya penduduk baru berarti hadirnya sekelompok orang dari daerah lain yang menempati suatu daerah tertentu dengan maksud usaha, tugas atau dalam rangka memperbaiki atau mengembangkan taraf kehidupanya. Faktor penduduk menurut pengertian sosiologi lebih banyak ditekankan pada karakteristik manusia berkaitan erat dengan hubungan-hubungan sosial, masalah-masalah sosial, perencanaan dan perubahan sosial. Peralihan bentuk dan hubungan masyarakat dalam proses perubahan tersebut biasanya sekaligus menyangkut perubahan pula pada bidang-bidang sosial budaya, adat istiadat, sikap dan prilaku. 3. Faktor Kebudayaan. Faktor kebudayaan juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada masyarakat. Secara timbal balik perubahan pada unsur-unsur kebudayaan dapat mendorong perubahan pada bentuk dan hubungan sosial kemasyarakatan. Perubahan masyarakat tidak semata disebabkan
oleh faktor kebudayaan yang ada dalam tubuh masyarakat itu sendiri melainkan dapat pula disebabkan oleh pengaruh kebudayaan yang datang dari masyarakat luar. Pengaruh kebudayaan ini dapat mengakibatkan beberapa kemungkinan bentuk perubahan masyarakat yaitu antara lain : a. Kebudayaan yang saling berdampingan dan bercampur menjadi satu kebulatan. b. Salah satu kebudayaan pudar karena pengaruh kebudayaan yang lain. c. Masing-masing kebudayaan menjadi lebur, timbul kebudayaan lain sebagai akiibat saling mempengaruhi. Ketiga kemungkinan berproses melalui hubungan langsung antara masyarakat, didalamnya terdapat kecenderungan saling mempengaruhi dan saling terbuka menerima atau sebaliknya. 4. Faktor Transfortasi Perkembangan ilmu pengetahuan yang berdampak pada proses perubahan masyarakat secara positif saat ini telah dilihat dengan jelas, yaitu dengan mengaplikasikan pengetahuan yang dimilki manusia dengan berbagai macam kreatifitasnya telah menciptakan sarana peralatan yang dapat mempermudah manusia itu sendiri dalam segala aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perlu diketahui bahwa transfortasi merupakan alat yang dapat menghubungkan antara individu satu dengan individu lain, individu dengan kelompok dan lain sebagainya. Tranfortasi juga merupakan sebagai faktor pendorong terhadap individu atau kelompok kearah perubahan dalam kehidupan masyarakat. 5. Faktor Komunikasi
Komunikasi adalah proses transmisi atau penerusan dari fakta-fakta, kepercayaan, sikap, reaksi, emosi, atau lain-lain pengetahuan diantaranya mahluk hidup. Meskipun berbicara itu adalah komunikasi yang paling nyata, tetapi ia bukanlah satu-satunya cara. Akan tetapi dengan komunikasi juga kita dapat mengetahui keadaan mental orang lain. Oleh karena komunikasi merupakan sarana proses sosial. Bila interaksi merupakan dasar adaptasi, maka dasar interaksi sosial adalah komunikasi, yaitu proses penerusan dan peneriman rangsangan lambang melalui percakapan, gerakan dan tanda-tanda lain. Termasuk komunikasi ialah pembatasan situasi, yang tidak selalu dipahami oleh semua anggota masyarakat yang mungkin hanya dikelompok tertentu atau lapisan tertentu didalam masyarakat.