BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Menopause 2.1.1 Definisi Menopause Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita yang biasanya terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir proses biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (Baziad, 2002). Menopause diartikan sebagai satu tahun tanpa menstruasi yang disebabkan oleh berehentinya fungsi ovarium dan terjadi amenorea permanen (Moulton et al., 2008). Kata menopause yang berasal dari kata Yunani yang berarti “bulan” dan “penghentian sementara”, yang secara linguistik lebih tepat disebut menocease. Secara medis istilah menopause berarti menocease, karena berdasarkan definisinya menopause itu berarti berhentinya menstruasi (bukan istirahat).
2.1.2 Fase Klimakterium Menurut Baziad (2002), fase klimakterium terbagi menjadi: 2.1.2.1 Premenopause Pramenopause adalah masa sekitar usia 40 tahun dengan dimulainya siklus haid yang tidak teratur, memanjang, sedikit, atau banyak, yang kadang-kadang disertai dengan rasa nyeri. Pada wanita tertentu telah muncul keluhan vasomotorik atau keluhan sindroma prahaid. Dari hasil analisis hormonal dapat ditemukan kadar FSH dan estrogen yang tinggi atau normal. Kadar FSH yang
7
8
tinggi dapat mengakibatkan terjadinya stimulasi ovarium yang berlebihan sehingga kadang-kadang dijumpai kadar estrogen yang sangat tinggi (Bachman, 2010). 2.1.2.2 Perimenopause Perimenopause merupakan masa perubahan antara pramenopuse dan pascamenopause. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak teratur. Pada kebanyakan wanita siklus haidnya > 38 hari dan sisanya < 18 hari. Sebanyak 40% wanita mengalami siklus haid yang anovulatorik. Pada sebagian wanita, telah muncul keluhan vasomotorik, atau keluhan sindrom prahaid. Kadar FSH, LH dan estrogen sangat bervariasi (Baziad, 2002). 2.1.2.3 Menopause Setelah memasuki usia menopause selalu ditemukan kadar FSH yang tinggi (>35 mIU/ml). Pada awal menopause kadang-kadang kadar estrogen rendah. Pada wanita gemuk kadar estrogen biasanya tinggi. Bila seorang wanita tidak haid selama 12 bulan dan dijumpai kadar FSH >35 mIU/ml dan kadar estradiol < 30 pg/ml, maka wanita tersebut dapat dikatakan telah mengalami menopause (Kakkar et al., 2007). 2.1.2.4 Pascamenopause Pasca menopause adalah masa setelah menopause sampai senium yang dimulai setelah 12 bulan amenorea. Kadar FSH dan LH sangat tinggi (>35 mIU/ml) dan kadar estrodiol yang rendah mengakibatkan endometrium menjadi atrofi sehingga haid tidak mungkin terjadi lagi. Namun, pada wanita yang gemuk masih dapat ditemukan kadar estradiol yang tinggi. Hampir semua wanita pasca
9
menopause umumnya telah mengalami berbagai macam keluhan yang diakibatkan oleh rendahnya kadar estrogen (Kakkar et al., 2007) 2.1.2.5 Senium Seorang wanita disebut senium bila telah memasuki usia pasca menopause lanjut sampai usia > 65 tahun (Baziad, 2002).
2.1.3 Fisiologi menopause Pada wanita menopause hilangnya fungsi ovarium secara bertahap akan menurunkan kemampuannya dalam menjawab rangsangan hormon-hormon hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid. Saat dilahirkan wanita mempunyai kurang lebih 750.000 folikel primordial. Dengan meningkatnya usia, jumlah folikel tersebut akan semakin berkurang. Pada usia 40-44 tahun rata-rata jumlah folikel primordial menurun sampai 8300 folikel, yang disebabkan oleh adanya proses ovulasi pada setiap siklus juga karena adanya apoptosis yaitu proses folikel primordial yang mati dan terhenti pertumbuhannya. Proses tersebut terjadi terusmenerus selama kehidupan seorang wanita, hingga pada usia sekitar 50 tahun fungsi ovarium menjadi sangat menurun. Apabila jumlah folikel mencapai jumlah yang kritis, maka akan terjadi gangguan sistem pengaturan hormon yaitu terjadinya insufisiensi korpus luteum, siklus haid anovulatorik dan pada akhirnya terjadi oligomenore (Burger, 2005). Perubahan-perubahan dalam sistem vaskularisasi ovarium sebagai akibat proses penuaan dan terjadinya sklerosis pada sistem pembuluh darah ovarium diperkirakan sebagai penyebab gangguan vaskularisasi ovarium. Terjadinya proses penuaan dan penurunan fungsi ovarium menyebabkan ovarium tidak
10
mampu menjawab rangsangan hipofisis untuk menghasilkan hormon steroid (Goodman, 2011). Bila pembentukan estrogen turun sampai tingkat kritis, estrogen tidak dapat lagi menghambat pembentukan FSH dan LH yang cukup untuk menyebabkan siklus ovulasi. Akibatnya, FSH dan LH (terutama FSH) setelah itu dihasilkan dalam jumlah besar dan tetap. Dari kedua gonadotropin itu yang paling tinggi peningkatannya adalah FSH. Kadar FSH pada masa menopause adalah 3040mIu/ml (Guyton, 2002).
2.1.4. Perubahan Metabolisme Hormonal Pada Menopause Pada wanita dengan siklus haid normal, estrogen terbesar adalahestradiol yang berasal dari ovarium. Disamping estradiol terdapat pulaestron yang berasal dari konversi androstenedion di jaringan perifer.Selama siklus haid pada masa reproduksi, kadar estradiol berkisar antara40-80 pg/ml, pada pertengahan fase folikuler berkisar antara 60-100pg/ml, pada akhir fase folikuler berkisar antara 100-400 pg/ml dan padafase luteal berkisar antara 100-200 pg/ml. Kadar rata-rata estradiol selamasiklus haid normal adalah 80 pg/ml sedangkankadar estron berkisar antara 40-400 pg/ml (Baziad, 2002). Memasuki masa perimenopause aktivitas folikel dalam ovariummulai berkurang. Ketika ovarium tidak menghasilkan ovum dan berhentimemproduksi estradiol, kelenjar hipofise berusaha merangsang ovariumuntuk menghasilkan estrogen, sehingga terjadi peningkatan produksi FSH.Terdapat peningkatan 10-20 kali lipat pada kadar FSH dan 3 kali lipatpada kadar LH, yang mencapai kadar maksimal 1-3 tahun setelahmenopause. Peningkatan kadar FSH dan LH adalah
11
bukti dari terjadinya kegagalan ovarium. Meskipun perubahan inimulai terjadi 3 tahun sebelum menopause, penurunan produksi estrogenoleh ovarium baru tampak sekitar 6 bulan sebelum menopause (Goodman et al., 2011). Kadar estradiol pada wanita pascamenopause lebih rendah dibandingkan dengan wanita usia reproduksi pada setiap fase dari siklushaidnya. Pada wanita pascsamenopause estradiol dan estron berasal darikonversi androgen adrenal di hati, ginjal, otak, kelenjar adrenal, danjaringan adipose. Proses aromatisasi yang terjadi di perifer berhubungandengan berat badan wanita. Kadar estradiol sirkulasi setelahmenopause adalah sekitar 10-20 pg / mL, yang sebagian besar berasaldari konversi perifer dari estrone. Kadar estrone sirkulasi padawanita menopause lebih tinggi dari estradiol, sekitar 30-70 pg / mL. Rata-ratatingkat produksi estrogen pascamenopause adalah sekitar 45μg/24jam. Rasio androgen / estrogen berubah drastissetelah menopause karena penurunan yang lebih tajam dalam estrogen,dan terjadinya hirsutisme ringan adalah umum, yang mencerminkanpergeseran yang bermakna dalam rasio hormon (Baziad, 2002). Ovarium mengeluarkan terutama androstenedion dan testosteron.Setelah menopause, kadar sirkulasi androstenedion adalah sekitar 1,5 dari yang terlihat sebelum menopause. Sebagian besarandrostenedion menopause ini berasal dari kelenjar adrenal, denganhanya sejumlah kecil yang dikeluarkan dari ovarium, meskipunandrostenedion
adalah
steroid
utama
yang
disekresi
oleh
ovariumpascamenopause. Dehydroepiandrosterone ( DHEA ) dan sulfatnya(DHAS), yang berasal dari kelenjar adrenal, menurun tajam denganpenuaan, dalam satu dekade setelah menopause kadar sirkulasi DHA menurun sampai 70%
12
dan kadar DHAS menurun sampai 74% dibandingkan kadar dalam masa reproduksi (Speroff, 2005). Produksi testosteron menurun sekitar 25% setelah menopause,tetapi ovarium pada masa pascamenopause mensekresikan lebihbanyak testosterone dibandingkan dengan ovarium pada masapremoenopause dimana hal ini setidaknya terjadi pada tahun-tahunpertama periode pascamenopause . Dengan hilangnya folikel danestrogen, gonadotropin yang tinggi mendorong jaringan di ovarium
yangtersisa
gonadotropindengan
ke
level
peningkatan
pengobatan
agonis
atau
sekresi
testosteron.
antagonis
Supresi
gonadotropin
–
releasinghormone (GnRH) pada wanita pascamenopause menghasilkanpenurunan yang signifikan dalam kadar testosteron yang bersirkulasi,yang menunjukkan ovarium
menopause
tergantung
gonadotropin.
Kadar
androstenedion
sirkulasipascamenopause awal menurun sekitar 62% dari kehidupan dewasa muda (Jameson, 2006). Dengan bertambahnya usia menopause, penurunan dapat diukurdalam kadar dehydroepiandrosterone sulfate ( DHAS ) dandehydroepiandrosterone (DHA) sirkulasi, sedangkan kadarandrostenedion, testosteron, dan estrogen sirkulasi pascamenopausetetap relatif konstan (Speroff, 2005).
13
Gambar 2.1. Perubahan hormonal pada masa menopause (Sumber: Burger et al., 2005)
Tabel 2.1. Kadar hormon pada masa menopause Hormon
Premenopause
Postmenopause
Estradiol
40-400 pg/ml
10-20 pg/ml
Estrone
30-200 pg/ml
30-70 pg/ml
Testosterone
20-80 ng/ml
15-70 ng/ml
Androstenedione
60-300 ng/ml
30-150 ng/ml Sumber: (Goodman, et al., 2011)
2.1.5 Gejala menopause Ketika akan menopause, terjadi perubahan-perubahan pada tubuh yang dapat menimbulkan keluhan-keluhan pada wanita menopause. Gejala awal yang terjadi pada masa menopauseadalah menstruasi menjadi tidak teratur, cairan haid menjadi semakin sedikit atau semakin banyak, hot flushes yang kadang-kadang
14
menyebabkan insomnia, palpitasi, pening, dan rasa lemah. Gangguan seksual (perubahan libido dan disparenia). Gejala-gejala saluran kemih seperti urgensi, frekwensi, nyeri saat berkemih, infeksi saluran kemih, dan inkontinensia(Shimp & Smith, 2004). Singkatnya, gejala yang sering terlihat dan terkait dengan penurunan kompetensi folikel ovarium dan kemudian hilangnya estrogen dalam masa klimakterik yaitu: 2.1.5.1Perubahan pola haid Gejala yang paling umum pada wanita perimenopause adalah perubahan dari pola haid. Lebih dari 90% wanita perimenopause akan mengalami perubahan dalam siklus haid. Siklus yang memendek antara 2-7 hari sangatlah khas (Shifren, 2007). Perdarahan yang tidak teratur dapat terjadi karena tidak adekuatnya fase luteal atau sesudah lonjakan estradiol yang tidak diikuti ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Pemanjangan siklus mungkin juga terjadi seperti halnya haid yang tidak teratur (Shifren, 2007). Banyak juga wanita yang mengalami perubahan dalam banyaknya perdarahan. Perdarahan biasanya lebih banyak pada awal perimenopause yang disebabkan oleh siklus anovulasi, kemudian menjadi lebih sedikit (Nirmala, 2003). Meskipun perdarahan tidak teratur sangat umum dan dianggap normal selama perimenopause, berat dan lamanya perdarahan atau perdarahan diantara siklus haid bukanlah hal yang normal. Adanya perdarahan mengharuskan dokter untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sepeti biopsi endometrium untuk
15
menegakkan diagnosis, terutamauntuk penderita dengan faktor risiko yang lain untuk terjadinya karsinoma endometrium seperti oligoovulatoar, obesitas atau riwayat infertilitas (Takasihaeng, 2010). 2.1.5.2. Keluhan vasomotor Gejala vasomotor mempengaruhi sampai 75% wanita perimenopause. Gejala dapat terjadi untuk 1 sampai 2 tahun setelah menopause pada sebagian besar wanita, namun dapat terus sampai 10 tahun atau lebih wanita lainnya. Hot flashes adalah alasan utama mengapa perempuan mencari perawatan saat menopause dan permintaan akan pengobatan terapi hormonal. Banyak wanita yang melaporkan kesulitan berkonsentrasi dan terjadinya ketidakstabilan emosional selama masa transisi menopause. Insiden penyakit tiroid meningkat seiring dengan pertmbahan usia wanita, sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus dilakukan jika dijumpai gejala vasomotor yang khas atau resisten terhadap terapi yang diberikan (Shifren, 2007). Mekanisme fisiologis yang mendasari terjadinya hot flushes masih belum sepenuhnya dipahami. Sebuah peristiwa sentral, mungkin dimulai di hipotalamus, mendorong peningkatan suhu inti tubuh, tingkat metabolisme, dan suhu kulit. Hal ini mengakibatkan reaksi ini dalam terjadinya vasodilatasi perifer dan berkeringat pada beberapa wanita. Peristiwa sentral mungkin dipicu oleh noradrenergik, serotoninergic, atau aktivasi dopaminergik (Bachmann, 2007). 2.1.5.3 Atrofi urogenital Produksi estrogen yang sangat rendah pada usia menopause akhir, atau bertahun-tahun setelah ovarektomi, atrofi permukaan mukosa vagina akan terjadi,
16
yang disertai dengan vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis. Atrofi genitourinari menyebabkan berbagai gejala yang mempengaruhi kualitas hidup. Uretritis dengan disuria, inkontinensia urgensi, dan frekuensi urinarius adalah hasil lebih lanjut dari penipisan mukosa, dalam hal ini, dari uretra dan kandung kemih (Baziad, 2002). Kehilangan estrogen menyebabkan vagina kehilangan kolagen, jaringan adiposa, dan kemampuan untuk menahan air, sehingga dinding vagina menyusut, rugae akan merata dan menghilang. Epitel permukaan akan kehilangan lapisan luar yang berserat dan kemudian menipis ke beberapa lapisan sel, dan berkurangnya rasio antara sel superfisial dan sel basal. Akibatnya, permukaan vagina rentan terhadap perdarahan dengan trauma minimal. Pembuluh darah di dinding vagina berkurang dan sekresi dari kelenjar sebaceous berkurang. pH menjadi lebih alkali yang menyebabkan rentan terhadap infeksi oleh patogen urogenital dan fekal. Dispareunia yang kadang-kadang disertai dengan perdarahan pascakoitus, adalah konsekuensi dari berkurangnya lubrikasi vagina (Speroff et al., 2005). 2.1.5.4 Efek Psikologi Kestabilan emosi selama masa perimenopause dapat terganggu oleh pola tidur yang buruk. Hot flushes memiliki dampak yang merugikan pada kualitas tidur. Terapi estrogen meningkatkan kualitas tidur, mengurangi waktu onset tidur dan meningkatkan waktu tidur rapideye movement ( REM ) (Nirmala, 2003). Gangguan mood sering terjadi pada wanita menopause. Dalam penelitian SWAN Amerika, prevalensi perubahan mood meningkat dari premenopause ke
17
perimenopause awal, dari sekitar 10 % menjadi sekitar 16,5 %. Ada tiga kemungkinan:
penurunan
estrogen
saat
menopause
mempengaruhi
neurotransmitter yang mengatur mood, mood dipengaruhi oleh gejala vasomotor dan mood dipengaruhi oleh perubahan hidup yang umumnya lazim disekitar masa menopause (Browell, 2011). 2.1.5.5 Gangguan fungsi seksual Banyak wanita menopause mengalami disfungsi seksual , meskipun insidensi danetiologi yang tepat masih belum diketahui. Disfungsi seksual meliputi gangguan pada dorongan dan terjadinya bangkitan seksual. Etiologi disfungsi seksualdisebabkan oleh banyak faktor, termasuk masalah psikologis sepertidepresi atau gangguan kecemasan , konflik dalam hubungan , masalahyang berkaitan dengan penyimpangan seksual, penggunaan obat, ataumasalah fisik yang membuat aktivitas seksual menjadi tidak nyaman, seperti endometriosis atau atrofi vaginitis . Latihan khusus sering dilakukan di bawahbimbingan seorang terapi seks, membantu banyak perempuan danpasangan dengan disfungsi seksual. Terapi androgen mungkin memiliki peran dalam pengobatandisfungsi seksual pada wanita menopause yang memiliki tingkat androgen rendah dan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi terhadapmasalah seksual (Goodman et al., 2011). 2.1.5.6 Gejala somatik Beberapa gejala somatik yang sering terjadi selama perimenopause adalah lain; sakit kepala, pusing, palpitasi serta payudara yang membesar dan nyeri. Dari semua keluhan-keluhan di atas, harus diyakinkan bahwa gejala-gejala tersebut
18
umum terjadi dan bersifat fisiologis. Pengobatan yang dilakukan bersamaan dengan edukasi dan pemberian dukungan harus dilakukan pada awal timbulnya gejala. Sekarang ini terapi farmakologi dan nonfarmakologi sudah tersedia. Dalam banyak kasus, meyakinkan bahwa gejala-gejala tersebut adalah hal yang nyata dan tidak mengancam kehidupan mungkin sudah cukup (Baziad, 2002). 2.1.6.7 Osteoporosis Osteoporosisatau menurunnya kepadatan tulang, dialami sekitar 30 juta wanita di Amerika Serikat, atau sekitar 55% dari wanita diatas usia 50 tahun. Faktor risiko terhadap terjadinya osteoporosis antara lain usia, ras Asia atau Kaukasia, riwayat keluarga, kerangka tubuh kecil, riwayat fraktur sebelumnya, menopause dini, dan ooforektomi sebelumnya. Faktor risiko yang lain termasuk penurunan asupan kalsium dan vitamin D, merokok, dan gaya hidup. Kondisi medis yang terkait dengan peningkatan risiko osteoporosis meliputi anovulasi selama masa reproduksi (misalnya, sekunder untuk latihan berlebih atau gangguan makan), hipertiroidisme, hiperparatiroidisme, penyakit ginjal kronis, dan penyakit yang memerlukan penggunaan kortikosteroid sistemik(Shifren, 2007). Osteoporosis ditandai dengan massa tulang yang rendah dan kerusakan microarchitectural jaringan tulang, yang menyebabkan peningkatan kerapuhan tulang dan peningkatan resiko terjadinya patah tulang bahkan dengan sedikit atau tanpa trauma. Ketika kadar estrogen menurun, remodeling tulang meningkat. Setiap unit remodeling dimulai oleh pelepasan osteoklas diikuti oleh pengisian osteoblast. Estrogen memelihara keseimbangan antara aktivitas osteoklastik dan
19
osteoblastik, dengan tidak adanya estrogen, aktivitas osteoklastik mendominasi, yang berakibat pada resorbsi tulang (Sperrof, 2005). 2.1.5.8 Kelainan kardiovaskular Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian pada wanita, terhitung sekitar 45% dari angka mortalitas. Faktor risiko terjadinya kelainan kardiovaskular adalah usia, riwayat keluarga, merokok, obesitas, gaya hidup, diabetes, hipertensi, dan hiperkolesterolemia (Baziad, 2002). Pada wanita menopause HDL kolesterol adalah satu indikator untuk terjadinya penyakit jantung koroner, dimana untuk setiap peningkatan 10 mg/dL risiko akan menurun sampai 50%. Trigeliserida juga merupakan faktor risiko penting untuk penyakit jantung koroner, dimana terjadi peningkatan penyakit jantung jika kadar trigeliserida meningkat dan kadar HDL yang rendah. Banyak bukti yang mengatakan bahwa pengaruh kardioprotektif dari terapi estrogen adalah pada kadar lipid serum (Kakkar et al., 2007).
2.2Hormone Replacement Therapy (HRT) Menopause
merupakan
kejadian
fisiologis
yang
ditandai
dengan
amenorrhea permanen yang disebabkan oleh berhentinya aktivitas folikular ovarium. Keluhan-keluhan yang dialami wanita pada masa meopause merupakan pengaruh negatif dari menurunnya kadar estrogen di dalam darah, oleh karena itu untuk mengatasinya diberikan hormon pengganti berupa estrogen atau kombinasi antara estrogen dan progesteron untuk mengembalikan kadar hormon yang menurun dengan metode yang disebut Hormon Replacement Therapy (HRT) (Baber et al., 2014).
20
Hormon Replacement Therapy (HRT) merupakan pengobatan yang paling efektif untuk gejala menopause dan indikasi utama pemberian HRT adalah adanya gejala menopause yang mengganggu. HRT harus benar-benar menjadi perhatian karena hidup dengan defisiensi estrogen dengan berbagai kemungkinan gejala klinik yang mengganggu bahkan merusak kualitas hidup wanita tersebut. Pemberian HRT ini diharapkan dapat membuat wanita menopause menjalani hari tuanya dengan berkualitas, gairah dan penuh semangat (Maclennanet al., 2007). 2.2.1Bentuk Sedian Hormon Replacement Therapy (HRT) Hormon
Replacement
Therapy
(HRT)
diberikan
selama
periode
perimenopause dan menopause dini untuk menyembuhkan gejala menopause dan untuk pengobatan atrofi vulvovagina. Estrogen tunggal hanya diperuntukkan untuk wanita yang telah menjalani histerektomi. Bagi wanita yang masih memiliki uterus yang utuh, agen progestagen harus dikombinasikan dengan estrogen untuk melindungi endometrium dari resiko perkembangan hiperplasia. Progesteron dapat diberikan secara continues atau sequensial. Apabila digunakan secara siklik, progesteron harus diberikan selama 10 sampai 14 hari setiap bulan (Nelson, 2004). Pemberian progesteron secara siklik biasanya menyebabkan menstruasi setiap bulannya. Karena terjadi menstruasi secara persisten maka hal ini menyebabkan sedikit wanita yang ingin menggunakan HRT. Amenorea dapat terjadi apabila diberikan progesteron dosis rendah yang diberikan secara continuos yang dikombinasikan dengan estrogen (Greendaleet al., 2007). Jadwal pemberian HRT dapat diberikan dengan cara: estrogen tunggal yang diberikan setiap hari, regimen siklik atau sekuensial dimana progestogen
21
ditambahkan selama 10-14 hari setiap bulan, dan continious combined regimen dimana estrogen dan progesteron diberikan setiap hari. 2.2.1.1 Estrogen Pada saat wanita memasuki usia menopause maka mereka akan mengalami beberapa gejala yang akan mempengaruhi kualitas hidup wanita menopause. Maka diperlukan terapi berupa pemberian estrogen untuk mengurangi gejala yang dirasakan. Dosis estrogen yang diberikan harus serendah mungkin untuk mengurangi gejala menopause dan perlindungan terhadap tulang, yang disesuaikan dengan usia pasien. Berikut beberapa sediaan yang sering digunakan adalah sebagai berikut (Nelson, 2004): a. Conjugated equine atau synthesized conjugated estrogen (0,3- 0,625 mg) b. Micronized17b-estradiol (0,5-1 mg) secara oral atau injeksi c. Estradiol transdermal (25 -100 µg) d. Etinil estradiol (0,01 - 0,02 mg) e. Estradiol topikal, gel, spray f. Sediaan estrogen vaginal, termasuk vaginal estrogen ring dan krim dari conjugated equine estrogen (CEE) dan estradiol Perbedaan utama dari beberapa sediaan diatas adalah kecepatan absorpsi dan farmakokinetiknya. Penggunaan secara oral dan transdermal merupakan sediaan yang paling banyak digunakan untuk pemberian estrogen. Pemberian secara oral ditandai dengan pencernaan secara enterohepatik, diikuti dengan metabolisme hepatik, konjugasi menjadi sulfat dan glukuronidase yang kemudian diekskresikan menuju empedu dan kembali ke saluran pencernaan. Konsentrasi
22
estrogen tinggi yang melalui hati apabila diberikan secara oral, akan meningkatkan peningkatan sintesa trigliserida dan protein tertentu seperti cortisolbinding
globulin
(transcortin),
sex
hormone-binding
globulin,
dan
angiostensinogen, sehingga pemberian estrogen secara transdermal digunakan pada kondisi klinis seperti hipertensi, hipertrigliseridemia, resiko cholelithiasis dan kemungkinan penurunan resiko tromoemboli (Canonico, 2009). Pemberian estrogen secara intravaginal telah digunakan untuk pengobatan atrofi vagina. Pengobatan ini dapat memiliki efek sistemik tergantung dari dosis dan bentuk sediaan (tablet, ring atau krim) estrogen. Pemberian intravagina dapat diserap langsung melalui mukosa vagina dan meningkatkan kadar estrogen di dalam darah secara signifikan (Olieet al., 2011). Perlindungan terhadap mineral tulang tergantung dosis yang diberikan. Setiap pasien sebaiknya dimonitor dengan menggunakan dual-energy x-ray absorptiometry yang biasanya digunakan untuk mendeteksi resiko fraktur dan tingkat eketifitas dari dosis estrogen (Hodgsonet al., 2003). Pengukuran serum Follicle Stimulating Hormone (FSH) tidak dapat digunakan sebagai indikator efektivitas dosis estrogen. Penggunaan ini tidak adekuat karena estrogen bukan satu-satunya regulator sekresi FSH melainkan inhibin juga memiliki peranan dalam regulasi FSH. Serum FSH kemungkinan tetap tinggi walaupun jumlah estrogen yang bekerja pada jaringan target sudah adekuat (Weltet al., 2003).
23
2.2.1.2 Progesteron Progesteron memiliki peran sentral dalam reproduksi, termasuk ovulasi, implantasi dan kehamilan. Pada uterus dan ovarium, progesteron menginduksi ovulasi, menfasilitasi implantasi, dan mempertahankan relaksasi uterus pada usia awal
kehamilan.
Pada
kelenjar
payudara,
progesteron
mempersiapkan
perkembangan payudara untuk persiapan menyusui (Guyton, 2006). Berikut ini merupakan pilihan umum pemberian progesteron oral yang memberikan perlindungan terhadap endometrium (Goodman, 2011): a. Medroxyprogesteron asetat (MPA) (2,5 mg/hari atau 5 mg untuk 10-12 hari/bulan) b. Micronized progesteron (100 mg/hari atau 200 mg untuk 10-12 hari/bulan) c. Noretindron asetat (0,35 mg/hari atau 5 mg untuk 10-12 hari/bulan). d. Drospirenon (3 mg/hari) e. Levonorgestrel (0,075 mg/hari) Produk yang dikombinasikan dengan estrogen untuk terapi combinedcontinuous sebagai berikut: a. Oral (Estradiol-drospirenone, CEE-MPA, Etinil estradiol-noretindron asetat, estradiol-norgestimate b. Transdermal (Estradiol-evonogestrel, Estradiol-norethindron asetat (Goodman, 2011). Efek samping progesteron sulit untuk dievaluasi dan bervariasi tergantung agen progesteron yang digunakan. Beberapa wanita mengatakan seperti
24
mengalami premenstrual tension seperti mood swings, bengkak, retensi cairan, gangguan tidur (Greendaleet al., 2007). Perbedaan efek pada lipid, potensi androgenik, glukokortikoid, aktivitas antimineralokortikoid,aktivitas prokoagulan, dan level fibrinogentelah dijelaskan berdasarkan berbagai senyawa progestasional. Kemungkinan, perbedaan tersebut memberikan efek klinik yang signifikan pada sensitivitas insulin, toleransi glukosa, retensi cairan, tekanan darah, dilatasi vaskular. Penelitian pada primata, pemberian MPA in vivo tidak menghambat efek protektif dari estrogen (CEE) untuk mencegah aterosklerosis dini(Nath A, 2009). Penelitian menyebutkan adanya perbedaan resiko kanker payudara pada pasien yang diberikan estrogen tunggal dibandingkan dengan kombinasi estrogen dan progesteron, maka disarankan untuk menggunakan penggunaan estrogen secara sistemik dan progesteron secara lokal yang kemungkinan dapat memberikan perlindungan hiperplasia endometrium tanpa menimbulkan resiko kanker payudara (Lyytinenet al., 2010). 2.2.1.3 Androgen Androgen merupakan hormon yang diproduksi baik di ovarium dan kelenjar adrenal. Androgen adalah hormon yang penting untuk mempertahankan kekuatan otot dan tulang, dorongan seksual dan kualitas hidup yang baik. Androgen utama pada wanita adalah testosteron. Lima puluh persen testosteron diproduksi oleh ovarium dan kelenjar adrenal dan dilepaskan secara langsung menuju aliran darah. Salah satu peran penting androgen adalah sebagai prekursor produksi estrogen(Kinchet al., 2008).
25
Testosteron diberikan pada wanita menopause apabila mengalami penurunan dorongan seksual yang menyebabkan distres serta tidak ditemukan penyebab lain selain defisiensi testosteron. Pemberian testosteron tunggal tanpa estrogen tidak dianjurkan karena masih kurangnya hasil penelitian. Hal yang pertama dievaluasi ketika akan memberikan terapi testosteron adalah pemeriksaan kadar testosteron untuk menyingkirkan kemungkinan lain penyebab gangguan fungsi seksual. Monitoring yang diperlukan adalah penilaian subyektif terhadap respon seksual, dorongan seksual, kepuasan dan juga efek samping yang ditimbulkan (Goodmanet al., 2011). Testosteron direkomendasikan
transdermal dibandingkan
dan
krim
dengan
merupakan
terapi
oral.
regimen Terapi
yang
testosteron
dikontraindikasikan pada wanita dengan kanker payudara, endometrium, penyakit hati dan kardiovaskular. Dosis yang digunakan harus seminimal mungkin dalam jangka waktu yang minimal untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Konseling sebelum pemberian sangat penting untuk mengetahui resiko potensial dan keuntungan pemberian terapi (Fritzet al., 2011).
26
Tabel 2.2 Sediaan Androgen Androgen Oral, mg Testosteron undecanoat Transdermal Testosteron
Nama Dagang Andriol Andriol
40 40
Androderm Androgel
12,2 mg.patch 2,5 atau 5 g/paket, 1,25g/actuation (60 actuations) 5g/tube
Testim 1% Injeksi, mg/mL Testosteron cypionate
Testosteron propionate Testosterone enanthate
Konsentrasi
Depo testosterone 160 (10mL) (cypionate) Testosteron cypionate 100 (2 mL dan 10 mL) Testosteron propionate 100 (2 mL) Delatestryl 200 (5 mL) PMS-testosterone 200 (10 mL) enanthate (Sumber: Goodmaan, 2011)
2.2.2 Indikasi Pemberian terapi hormon dapat digunakan sebagai terapi simtomatik atau preventif. Beberapa konsensus telah menyetujui penggunaan terapi hormon untuk mengurangi gejala menopause, tetapi sampai saat ini masih kontroversial. FDA menyetujui penggunaan HRT untuk pengobatan gejala vasomotor, gejala urogenital, dan osteoporosis (FDA, 2014).
2.2.3 Kontraindikasi FDA merekomendasikan sebaiknya tidak memberikan HRT pada wanita dengan kondisi sebagai berikut: a. Sedang dan diduga menderita kanker payudara b. Perdarahan genital yang tidak diketahui penyebabnya
27
c. Hiperplasia endometrium yang tidak diobati d. Tromboemboli vena e. Penyakit tromboemboli arterial (angina, infark miokard) f. Hipertensi g. Penyakit hati h. Hipersensitivitas i. Hypertriglyceridemia j. Endometriosis k. Porphyria cutanea tarda (indikasi absolut) (FDA, 2014). The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists menyebutkan beberapa kontra indikasi absolut terapi sulih hormon, yaitu karsinoma payudara, kanker endometrium, riwayat tromboemboli vena dan penyakit hati akut (Huong, 2011).
2.3 Asam Ribonukleat (RNA) Asam Ribonukleat (RNA) adalah satu dari tiga makromolekul utama (bersama dengan DNA dan protein) yang berperan penting dalam segala bentuk kehidupan. Asam ribonukleat berperan sebagai pembawa bahan genetik dan memainkan peran utama dalam ekspresi genetik. Dalam dogma pokok (central dogma) genetika molekular, asam ribonukleat (ribonucleaic acid, RNA) merupakan perantara informasi yang dibawa DNA dan ekspresi fenotipik yang diwujudkan dalam bentuk protein (Agustina, 2011).
28
2.3.1 Struktur RNA Struktur dasar RNA berbentuk pita tunggal (single strand) dan lebih pendek dibandingkan DNA. Perbedaan RNA dan DNA juga terletak pada gugus hidroksil cincin gula pentosa, sehingga dinamakan ribosa, sedangkan gugus pentosa pada DNA disebut deoksiribosa. Basa pada RNA sama dengan DNA, kecuali pada basa timin pada DNA diganti dengan basa urasil pada RNA. Lokasi DNA pada umumnya terdapat didalam kromosom, sedangkan lokasi RNA tergantung dari jenis RNA. Messenger-RNAdibuat di nukleus dan dikeluarkan ke sitoplasma. Transfer-RNA terdapat di dalam sitoplasma dan memiliki struktur seperti daun semanggi, sedangkan ribosomal-RNA yang bersama protein membentuk ribosom, terdapat di dalam sitoplasma (Dohertet al., 2001).
2.3.2 Jenis RNA a. Messenger-RNA (mRNA) Messenger-RNA
(mRNA)
merupakan
RNA
yang
urutan
basanya
komplementer dengan salah satu urutan basa rantai DNA. mRNA membawa pesan atau kode genetik (kodon) dari kromosom (di dalam inti sel) ke ribosom (di sitoplasma). Kode genetik mRNA tersebut kemudian menjadi cetakan untuk menentukan spesifitas urutan asam amino pada rantai polipeptida (Lodishet al., 2000) .
29
Gambar 2.2 Struktur Messenger-RNA (mRNA) (Sumber: Lodishet al., 2000) b. Ribosomal-RNA (rRNA) Ribosomal-RNA (rRNA) merupakan komponen struktural yang utama di dalam ribosom. Setiap subunit ribosom terdiri dari 30-46% molekul rRNA dan 70-80% protein. rRNA berfungsi menyediakan tempat untuk sintesa protein (Dohertet al., 2001). c. Trasfer-RNA (tRNA) Trasfer-RNA (tRNA) memiliki ukuran yang paling kecil dengan panjang (75-80 nukleotida) dan berperan membawa asam amino ke ribosom untuk dipolimerisasi membentuk rantai polipeptida. tRNA merupakan RNA yang membawa asam amino satu per satu ke ribosom. Pada salah satu ujung tRNA terdapat tiga rangkaian basa pendek (disebut antikodon). Suatu asam amino akan melekat pada ujung tRNA yang berseberangan dengan ujung antikodon. Pelekatan ini merupakan cara berfungsinya tRNA, yaitu membawa asam amino spesifik yang nantinya berguna dalam sintesis protein yaitu pengurutan asam amino sesuai urutan kodon pada mRNA (Agustina, 2011).
30
2.4 Reseptor Estrogen Alpha (ERα) dan Androgen (AR) pada Tikus 2.4.1 Reseptor Estrogen Alpha (ERα) pada Tikus Aksi hormon steroid dimediasi oleh reseptor spesifik masing-masing hormon. Reseptor merupakan protein regulator transkripsi, yang setelah berikatan dengan hormon, akan merubah aktivitas transkripsi hormone responsive element dari gen target. Regulasi ini meliputi ikatan antara reseptor dan hormon, perubahan bentuk kompleks reseptor hormon, dan interaksi dengan DNA. Berdasarkan hasil penelitian, menemukan bahwa molekul reseptor terdiri dari domain fungsional yang terpisah (Wrange, 2001). Hasil cloning dari complementary DNA (cDNA), ERα tikus terdiri dari susunan basa yang mengkode 600 asam amino, 210 nukleotida, 5’ –untranslated region dan 74 nukleotida yang menyusun 3’-untranslated region. Berat molekul ERα tikus kira-kira 67.029 kDa dan memiliki region yang memiliki beberapa fungsi yang penting. Jika dibandingkan antara ERα tikus dan manusia, terdapat 528 asam amino yang identik dan 67 asam amino yang berbeda. Terdapat 85% homologi pada seluruh region dibandingkan dengan ERα pada manusia. Terdapat insersi 5 asam amino pada ERα tikus yang dipercaya disebabkan oleh isersi dari ulangan GCC yang diikuti dengan beberapa substitusi basa antara posisi 69 dan 70 ERα manusia. Perubahan tersebut paling banyak terjadi pada 3 region; 33-180, 268-306 dan 558-600 (Koike, 2002). Perhitungan substitusi asam amino pada kedua spesies tersebut menunjukkan bahwa perbedaan evolusi dari spesies tersebut tercermin secara jelas
31
pada molekul ERα. Jumlah substitusi asam amino antara manusia dan tikus adalah 68 asam amino.
Gambar 2.3 Domain Fungsional ERα pada Tikus (Sumber: Koike, 2002) Gambar diatas merupakan susunan domain fungsional ERα pada Tikus. Bagian C adalah region N-terminal ERα tikus yang memiliki 100% kesamaan dengan ERα manusia. Region DNA binding Domain (E) (region 181-267) juga 100 % identik dengan yang ada pada ERα manusia. Hal ini menunjukkan bahwa region ini penting untuk fungsional ERα. Region ini kaya dengan asam amino dasar dan memiliki motif sekuen protein cystein. Region ini bersifat hidrofilik dan akan berinteraksi dengan DNA gen target (Koike, 2002). Region C-Terminal Domain (D) (asam amino ke 307-557) memiliki 96% kesamaan dengan ERα pada manusia. Region ini mengikat estrogen dengan afinitas tinggi. Estrogen binding domain bersifat hidrofobik yang memungkinkan terjadi pembentukan kantong hidrofobik (Greeneet al., 2000) yang memfasilitasi interaksi dengan estrogen dengan spesifisitas dan afinitas tinggi.
32
Gambar 2. 4 Perbandingan nukleotida dan sekuen asam amino ER pada tikus dan manusia (Sumber: Koike, 2002) Aksi biologi reseptor estrogen melalui 2 mekanisme yaitu : secara klasik yang biasa disebut genomic action (mekanisme genomik) dan non genomic action (mekanisme non genomik). Mekanisme klasik lebih dahulu ditemukan dibandingkan mekanisme non klasik. Aksi genomik melibatkan reseptor estrogen yang terletak di nukleus (nuclear receptor). Ikatan antara ligan dan reseptor atau molekul yang agonis akan menyebabkan perubahan formasi pada ER dan akan membentuk dimerisasi yaitu homodimer atau heterodimer kemudian akan berikatan dengan daerah promoter yang dinamakan estrogen response element (ERE) pada target gen dan
33
akan mengatur terjadinya proses transkripsi gen. Aksi biologi ini memerlukan waktu yang lama dan sensitif terhadap inhibitor transkripsi, begitu pula dengan inhibitor translasi (Mahmudati, 2011). Aksi non genomic melibatkan reseptor estrogen yang berada diluar nucleus (extranuclear) dalam hal ini adalah reseptor estrogen yang berada di membrane plasma dan sitoplasma. Tidak seperti reseptor pada growth factor seperti IGF-1 dan EGFR, estrogen tidak memiliki bagian transmembran dan kinase. Oleh karena itu, aksi estrogen tersebut melibatkan protein kompleks dan molekul signaling antara lain Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) dan jalur Akt seperti yang telah diteliti pada sel kanker payudara, kanker prostat, pada kultur sel endotel dan kultur sel osteoblast (Mahmudati, 2011).
Gambar 2.5 Mekanisme ER memediasi transkripsi (Sumber: Hewitt, 2002) Seperti halnya reseptor estrogen di nukleus, reseptor estrogen di membran plasma juga menimbulkan efek fisiologis pada berbagai tipe sel yang meliputi pelepasan kalsium, sekresi prolactin, memicu inositol trifosfat atau nitric oxidedan
34
aktivitas MAPK, dan respon yang diberikan tergantung dengan sel target. Estrogen dapat melakukan aksi biologi melalui reseptor ekstranuklear dengan cara berinteraksi langsung dengan faktor pertumbuhan lain yaitu reseptor EGF atau melalui membran ER. Baik reseptor estrogen di membran plasma maupun di nukleus akan membentuk dimer untuk mendukung aksi transduksi signal secara cepat dan dapat mempengaruhi fungsi fisiologis (Mahmudati, 2011). 2.4.1.2 Distribusi Reseptor Estrogen (ER) Penelitian terbaru menyatakan bahwa ada dua reseptor estrogen dalam tubuh kita yaitu ERα dan ERβ. Keduanya mengikat estrogen baik agonis maupun antagonis, dua reseptor ini berbeda dalam lokalisasi dan konsentrasi dalam tubuh kita.
Secara
struktural
juga
berbeda
antara
keduanya.
Dua
isoform
memperlihatkan overlap tetapi berbeda pola distribusinya di jaringan dan berbeda kemampuannya dalam mengikat ligand dan berbeda sifat transaktivasinya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ERα dan Erβ mempunyai peran biologis yang berbeda (Handayani, 2006). ERβ sepertinya merupakan faktor paling penting dalam mekanisme estrogen dan diekspresikan dalam banyak jaringan meliputi sistem saraf, sistem kardiovaskuler, sistem imun, sistem urogenital, sistem gastrointestinal, ginjal dan paru. Pada uterus dan payudara ditemukan adanya ERα dan Erβ, walaupun ERα ada dalam jumlah yang lebih banyak. Peran ERα yang dominan di dalam uterus mungkin menjelaskan mengapa reseptor estrogen ini merupakan reseptor estrogen pertama yang diklon, karena kebanyakan pemurnian dan cloning didasarkan pada jaringan uterin. Jelas sekarang bahwa ERβ memainkan peran penting dalam
35
fisiologi beberapa jaringan, dan tidak bisa diabaikan bahwa jaringan biasanya lebih mengekspresikan estrogen reseptor β, sedangkan ERα mendominasi dalam beberapa jaringan spesifik dan sebagian besar terlibat dalam peristiwa reproduktif. Jelas sekali, perbedaan distribusi reseptor estrogen di jaringan mempunyai arti lebih penting dari segi farmasetikal, sebagai terapi penggantian hormon pada wanita menopause adalah seperti isu peningkatan kesehatan yang signifikan (Handayani, 2006). 2.4.2 Reseptor Androgen (AR) pada Tikus Hormon steroid meregulasi diferensiasi dan merangsang berbagai respon fisiologis pada organisme eukariot. Aksi hormon tersebut memerlukan ikatan antara hormon steroid dengan protein reseptor yang memiliki afinitas tinggi pada sel target dan interaksi antara kompleks reseptor-hormon dengan elemen regulator gen spesifik. Reseptor androgen (AR) diemukan pada banyak organ yang sensitif pada androgen seperti prostat, vesikula seminalis, folikel rambut, kelenjar sebasea dan preputial, otot levator ani, serta pada vagina tikus betina (Changet al., 2004). 2.4.2.1 Struktur Reseptor Androgen pada Tikus Reseptor androgen pada tikus memiliki berat molekul 94 kDa dan terdiri dari 902 asam amino. Reseptor androgen pada tikus terdiri dari beberapa domain struktural:
36
Gambar.2.6 Perbandingan Domain Fungsional AR pada Manusia dan tikus (Sumber: Tanet al., 2004) 1. N-Terminal domain (NTD) atau transactivation domain, terdiri dari 555 urutan asam amino. Domain ini memiliki kesamaan sekuen asam amino yang identik dengan AR pada manusia namun ada perbedaan sebanyak 18 nukleotida (Chang et al., 2004). 2. DNA Binding Domain (DBD) terdiri dari 67 asam amino, merupakan bagian yang paling dijaga dari molekul reseptor, yang menentukan spesifisitas interaksi AR dengan DNA. DBD terdiri dari 2 kelompok: salah satunya berperan dalam ikatan DNA secara langsung dan memiliki P-box untuk pengenalan spesifik androgen response element (ARE), sementara yang lainnya berperan dalam interaksi protein dan unit stabilisasi untuk dimerisasi dua molekul reseptor. Domain ini memiliki 100% kesamaan dengan AR pada manusia (Chang et al., 2004).. 3. Ligand Binding Domain (LBD), secara prinsip fungsi LBD adalah mengikat androgen dengan afinitas tinggi. Selain itu, LBD juga berperan dalam lokalisasi nuklear, dimerisasi reseptor, dan berinteraksi dengan protein lainnya. Domain ini terdiri dari 52 asam amino dan memiliki kesamaan 100% dengan AR pada manusia (Tanet al., 2004).
37
Domain androgen binding reseptor meliputi 30% dari seluruh reseptor dan bertanggung jawab untuk pengikatan androgen secara spesifik. Reseptor androgen berinteraksi dengan DNA dalam bentuk homodimer dengan 2 kompleks reseptor hormon yang identik. Kompleks dimer ditransfer dari sitosol masuk ke dalam nukleus, dan kompleks dimer tersebut mengenali sekuen spesifik (androgen sensitive region=ASR) dari genom DNA yang mengakibatkan rangsangan transkripsi dan sintesis gen androgen-dependent(Nieschlaget al., 2010). Testosteron mencapai target sel melalui difusi pasif. Testosteron terikat dengan reseptor androgen menyebabkan perubahan konfirmasi dan pelepasan Heat Shock Protein (HSP). HSP bertanggung jawab untuk menjaga reseptor dalam keadaan inaktif dan dapat dilepaskan dari kompleks reseptor. Kehilangan protein tersebut menyebabkan pelepasan domain fungsional dari reseptor dan diperlukan dalam transpor nukleus, dimerasi, dan pengikatan DNA(Nieschlag et al., 2010).
2.4.3 Regulasi Ekspresi Reseptor Estrogen Alpha dan Androgen oleh Hormon Seks Steroid Respon bangkitan seksual merupakan suatu proses neurofisiologis yang kompleks yang terdiri dari komponen sentral dan periferal yang terjadi setelah adanya stimulasi seksual. Respon perifer pada sexual arousal adalah vasokongesti genital dan lubrikasi yang terjadi akibat lonjakan aliran darah pada vagina dan klitoris. Kondisi endokrin, khususnya hormon seks steroid merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan (Lambert, 2007).
38
Penurunan konsentrasi estrogen dan androgen terutama pada masa menopause dikaitkan dengan perubahan dramatis pada struktur jaringan genital, termasuk jaringan saraf, dan juga respon fisiologis modulator. Selanjutnya, defisiensi estrogen dan androgen menyebabkan penurunan ekspresi dari sexsteroid receptors(Traish, et al., 2006) Terjadi perubahan struktural yang signifikan pada vagina tikus dalam merespon pemberian hormon seks steroid. Tetapi mekanisme terjadinya perubahan tersebut belum dipahami secara jelas, tetapi paling tidak dipengaruhi oleh ekspresi reseptor seks steroid (Nancy, 2005). Pessinaet al (2006) dalam penelitiannya pada tikus menyatakan bahwa setelah dilakukan ovarektomi, reseptor estrogen alpha (ERα) mengalami up regulated dan reseptor progesteron mengalami down regulated. Pemberian estradiol dapat mengembalikan perubahan yang disebabkan oleh ovarektomi, dan efek ini tergantung dosis yang diberikan. Ekspresi reseptor androgen (AR) tidak dipengaruhi oleh ovarektomi atau pemberian estradiol. Tetapi, pemberian tetstosteron meningkatkan densitas AR pada bagian muskularis. Disimpulkan bahwa downregulated ERα dan upregulated ekspresi PR pada vagina, menunjukkan adanya mekanisme untuk mencegah adanya proliferasi yang berkelanjutan pada lapisan epitelium pada saat terjadi lonjakan estradiol pada siklus estrus. Fuermetzet al (2015) menyatakan pemberian estrogen lokal pada vagina menyebabkan peningkatan ekspresi reseptor estrogen alpha dan progesteron pada bagian posterior vagina wanita menopause sedangkan ekspresi reseptor estrogen
39
beta tidak terlihat adanya perubahan. Fakta ini menjelaskan bahwa proliferasi jaringan vagina dimediasi oleh reseptor estrogen alpha. Androgen reseptor diekspresikan baik pada bagian distal dan proksimal vagina pada binatang usia reproduksi. Ovarektomi menyebabkan penurunan reseptor androgen (AR) baik bagian proksimal dan distal dan ekspresi meningkat setelah pemberian estrogen (Traish, 2002). Pada
vagina
tikus,
ditemukan
bahwa
mRNA
reseptor
androgen
diekspresikan baik pada sel epitelial dan stroma dengan ekspresi tertinggi terdapat pada bagian epitelial. Pada vagina manusia, reseptor androgen terdapat pula pada sel epitelial dan stroma yang ditentukan dengan metode pemeriksaan imunohistokimia. Pada kedua bagian vagina tersebut, ovarektomi menginduksi penurunan mRNA reseptor androgen secara bermakna. Pemberian estrogen (E2) menginduksi peningkatan ekspresi mRNA reseptor androgen dalam jangka waktu 12-24 jam setelah pemberian estrogen. Hasil ini secara jelas mengindikasikan pengaruh positif yang kuat antara estrogen dalam sirkulasi dengan ekspresi mRNA reseptor androgen. ERα diekspresikan pada sel epitelial dan stroma pada vagina tikus. Selain itu, pada tikus ERα dan tidak pada ErβKO, terdapat hipoplasia vagina dan jaringan vagina menjadi tidak sensitif terhadap estradiol Pengamatan tersebut secara kuat mengindikasikan bahwa pada vagina, ERα berperan dalam efek stimulator pada mRNA reseptor androgen yang diberikan estradiol (Hewittet al., 2002). Secara singkat, data tersebut menunjukkan bahwa estrogen menstimulasi ekspresi mRNA reseptor androgen pada vagina tikus. Efek estrogen sangat cepat
40
dan dapat dilihat dalam waktu 12 jam setelah injeksi tunggal estradiol pada tikus yang diovarektomi dan kemungkinan dimediasi oleh ERα. Efek ERα terhadap ekspresi gen AR kemungkinan dimediasi oleh AP-1 Site sejak ditemukannya beberapa AP-1 site pada bagian promoter gen AR (Bertinet al., 2014). Pada stroma vagina, ovarektomi menyebabkan penurunan sebesar 55% terhadap mRNA reseptor androgen. Tidak ditemukan adanya perubahan dalam jangka waktu pengamatan 3 jam, dan peningkatan level mRNA reseptor androgen pada sel stroma dapat dilihat pada waktu interval yang lebih panjang setelah pemberian E2. Data tersebut mengindikasikan bahwa pada tikus dewasa, estrogen memiliki regulasi positif terhadap mRNA androgen reseptor (Pelletieret al.,2004).
Gambar 2.7 Mekanisme peran reseptor seks steroid hormon dalam menyebabkan perubahan fisiologis pada vagina (Sumber: Traish, 2010)
41
2.4.4Autoregulasi Stabilitas mRNA yang mengkode Reseptor Hormon mRNA yang mengkode reseptor hormon pada umumnya di regulasi oleh hormon itu sendiri untuk membentuk autoregulatoryfeedback loop. Negatif dan positif autoregulatory loop bertujuan untuk membatasi atau merangsang respon hormonal (Nancy, 2005). Estrogen merupakan hormon steroid yang melakukan autoregulasi stabilitas mRNA yang mengkode reseptornya. Estrogen menstabilkan mRNA reseptor estrogen pada hati ikan selama inisiasi oogenesis dan pada endometrium mamalia selama lonjakan estrogen pada fase preovulasi. Pada kedua kasus tersebut, stabilisasi dan peningkatan regulasi mRNA reseptor estrogen tergantung pada protein ER karena antagonis estrogen dapat menghambat efek ini. Peran estrogen dalam stabilitas mRNA ER ini penting untuk mekanisme rangsangan respon estrogen (Fuermetzet al., 2015). Sama halnya dengan estrogen, hormon steroid lainnya seperti progesteron dan androgen juga melakukan autoregulasi terhadap ekspresi gen reseptornya dengan merubah stabilitas mRNA. Pesan yang mengkode reseptor progesteron dan androgen sama dengan ER mRNA yang membawa sekuen 3’UTR yang sangat panjang, kecuali mRNA AR yang juga membawa banyak AREs. Berbeda dengan autoregulasi dua arah mRNA ER oleh estrogen, progestin dilaporkan hanya mampu menstabilkan PGR mRNA. Androgen seperti halnya estrogen melakukan autoregulasi terhadap stabilitas mRNA reseptornya baik ke arah positif maupun negatif. Efek tersebut tergantung dosis dan jaringan atau sel yang diperiksa. Hormon steroid menunjukkan berbagai efek postranskripsional
42
terhadap mRNA reseptor. Hormon steroid mempengaruhi konsentrasi protein reseptor, hormon tersebut dapat bertindak membatasi atau merangsang respon jaringan terhadap stimulus hormon (Traish, 2010). Penurunan ekspresi mRNA reseptor steroid disebabkan oleh metilasi DNA. Metilasi DNA dapat mempengaruhi transkripsi gen melalui 2 cara: a. DNA yang termetilasi dapat menghambat ikatan protein transkripsi dengan gen, b. DNA yang termetilasi berikatan dengan protein methyl-CpG-binding domain (MBDs). MBDs protein kemudian mengikat protein tambahan seperti histone deasetylase dan protein remodelling kromatin lainnya yang menyebabkan kromatin menjadi terkondensasi dan menjadi inaktive (Paszkowski, 2001).
Gambar 2.8 Metilasi pada Promoter Menyebabkan Kromatin Inaktif (Sumber: Paszkowski, 2001)
43
2.5Hewan Percobaan 2.5.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus) betina galur wistar Percobaan ini menggunakan tikus putih betina sebagai binatang percobaan. Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangatcerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat foto fobik seperti halnya mencit dankecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnyatidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Ada dua sifat yang membedakantikus putih dari hewan percobaan yang lain, yaitu bahwa tikus putih tidak dapat muntahkarena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lubangdan tikus putih tidak mempunyai kandung empedu. Tikus putih dapattinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan denganmencit, sehingga untuk percobaan laboratorium, tikus putih lebih menguntungkandaripada mencit. Usia tikus 2,5 bulan memiliki persamaan dengan manusia usia dewasamuda dan belum mengalami proses penuaan intrinsik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010). Klasifikasi Tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut: Filum
:Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Subclassis
: Placentalia
Ordo
: Rodentia
Familia
: Muridae
44
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
Gambar 2.9 .Rattus norvegicus (Sumber: Kusumawati, 2004) Tabel 2.3 Data Biologis Tikus Wistar Karakteristik Nilai Normal Berat badan lahir 4,5-6 gram Berat badan dewasa jantan 250-300 gram Berat badan dewasa betina 180-220 gram Usia maksimum 2-4 tahun Usia reproduksi 8-20 minggu Konsumsi makanan 15-30 g/hari Konsumsi air minum 20-45 g/hari Defekasi 9-13 g/hari Produksi urin 10-15 ml/hari Konsentrasi estradiol pada saat 36,8±5,9 pg/ml menopause Konsentrasi testosteron pada saat 139,2±26,2 pg/ml menopause (Sumber: Hubrecht dan Kirkwood, 2010, Kusumawati 2004) Tikus dapattinggal sendirian dalam kandang, asal dapat melihat dan mendengar tikus lain. Jikadipegang dengan cara yang benar, tikus-tikus ini tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain. Tikustidak dapat muntah, karena struktur anatomi yang
45
tidak lazim di tempat esofagusbermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kandung empedu Untuk tikus pada laboratorium, makanan dan air minum sebaiknya diberikansecara ad libitum, dan pencahayaan ruangan diatur sebagai 12 jam terang dan 12 jamgelap. Tikus, terutama tikus albino, sangat sensitif terhadap cahaya, maka intensitascahaya laboratorium sebaiknya tidak melebihi 50 lux (Hubrecht dan Kirkwood, 2010)Kondisi optimal tikus di laboratorium ( Hubrecht dan Kirkwood, 2010)antara lain : a. Kandang tikus harus cukup kuat tidak mudah rusak, mudah dibersihkan (satu kaliseminggu), mudah dipasang lagi, hewan tidak mudah lepas, harus tahan gigitan danhewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur harus mudah menyerap air padaumumnya dipakai serbuk gergaji atau sekam padi. b. Menciptakan suasana lingkungan yang stabil dan sesuai dengan keperluan fisiologistikus (suhu, kelembaban dan kecepatan pertukaran udara yang ekstrim harusdihindari).Suhu ruangan yang baik sekitar 20–22⁰C, sedangkan kelembaban udarasekitar 50%,. c. Untuk tikus dengan berat badan 200-300 gram luas lantai tiap ekor tikus adalah 600cm2, tinggi 20 cm. Jumlah maksimal tikus per kandang adalah 3 ekor. d. Transportasi jarak jauh sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan stres pada tikus. Jika kondisi diatas tidak terpenuhi, maka tikus menjadi sakit. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai apakah tikus sehat atau sakit adalah (Hubrecht dan Kirkwood, 2010):
46
a. Penampilan Umum Pada tikus yang sakit dapat terlihat piloereksi, bulu rontok, kulit kendur, berat badan menurun, kelopak mata tertutup. b. Feses Feses yang lembek dan diare menunjukkan terjadinya gangguan pada saluran pencernaan. c. Tingkah laku. Tikus yang sakit akan menjadi lebih agresif awalnya, namun lambat laun akan menjadi pasif. d. Postur Umumnya tikus yang sakit akan sering tiduran di lantai kandang, dengan posisi kepala menyentuh abdomen. e. Pergerakan Pergerakan pada tikus yang sakit sangat berkurang. f. Suara Tikus yang sakit akan lebih banyak mencicit ketika dipegang. g. Fisiologi Dapat terjadi bersin, hipotermia, serta penampilan yang pucat.