BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Struktur Kepemilikan Struktur kepemilikan (ownership structure) merupakan persentase saham yang dimiliki oleh insider shareholders dan outsider shareholders. Menurut Iturraga dan Sanz dalam Edy dan Mas’ud (2003:214) struktur kepemilkan dapat dijelaskan dari dua sudut pandang yaitu pendekatan keagenan (agency approach) dan pendekatan ketidakseimbangan informasi (asymmetric information approach). Pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilkan sebagai sebuah instrument atau alat untuk megurangi konflik kepentingan diantara berbagai pemegang klaim. Sedangkan pendekatan
ketidakseimbangan
informasi
memandang
mekanisme
struktur
kepemilikan sebagai suatu cara untuk megurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di pasar modal. Menurut Fitri dan Mamduh dalam Kristya (2007:10) pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dibedakan menjadi tiga, diantaranya adalah : 1) Management ownership / internal ownership adalah pemegang saham yang merupakan pihak insiders perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan operasional perusahaan seperti dewan direksi dan manajer.
8
2) External ownership adalah pemegang saham perorangan yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan di luar pihak insiders perusahaan. 3) Institution ownership adalah pemegang saham yang berbentuk institusi (perusahaan) yang pasif dalam kegiatan operasional perusahaan.
2.1.2 Kebijakan Dividen Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang dibayarkan sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan dividen menimbulkan kontroversi karena bila dividen ditingkatkan, arus kas untuk investor akan meningkat yang akan menguntungkan investor, sedangkan alasan lainnya yaitu, bila dividen ditingkatkan, laba ditahan yang direinvestasi dan pertumbuhan masa depan akan menurun sehingga merugikan investor. Kebijakan dividen dikatakan optimal apabila mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut dan mampu memaksimalkan harga saham. Persentase dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividend disebut dividend payout ratio (Riyanto, 2001:266). Secara umum suatu perusahaan harus menetapkan kebijakan dividen yang nantinya dapat memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Apabila perusahaan tidak memiliki kesempatan berinvestasi yang menguntungkan, maka sebaiknya kelebihan dana tersebut didistribusikan kepada pemegang saham perusahaan.
9
Pembayaran dividen dalam jumlah sekecil apapun masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Terdapat tiga jenis kebijakan dividen yaitu : 1) Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen dalam persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periodenya. 2) Kebijakan dividen yang teratur Kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periodenya. 3) Kebijakan dividen yang rendah yang teratur dan ditambah ekstra Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen relatif rendah tetapi jumlahnya sudah pasti ditambah suatu ekstra yang besarnya sesuai dengan tingkat keuntungan. Perusahaan pengguna target rasio pembayaran dalam bentuk tingkat dividen yang teratur lebih dianjurkan.
2.1.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Faktor-Faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan anatara
lain sebagai berikut (Riyanto, 2001:267) : 1) Posisi likuiditas perusahaan Makin kuatnya posisi likuiditas perusahaan berarti makin besar kemampuannya untuk membayar dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa makin kuat likuiditas perusahaan maka makin tinggi dividend payout ratio-nya
10
2) Kebutuhan dana untuk membayar hutang Apabila perusahaan menetapkan pelunasan hutangnya akan diambil dari laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar laba dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, ini berarti bahwa hanya sebagian kecil saja dari pendapatan atau earning dapat dibayarkan sebagai dividen. Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang rendah. 3) Tingkat pertumbuhan perusahaan Makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan, makin besar kesempatan dana yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan, dan makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan yang berarti makin rendah dividend payout ratio-nya. Apabila perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa sehingga perusahaan telah well established, dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana ekstern lainnya, maka keadaannya akan berbeda. Dalam hal ini perusahaan dapat menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. 4) Pengawasan terhadap perusahaan Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas dasar penimbangan bahwa apabila ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol dari kelompok dominan di dalam perusahaan, demikian pula apabila membiayai ekspansi dengan hutang
akan
memperbesar
risiko
11
finansialnya.
Mempercayakan
pada
pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividend payout ratio-nya.
2.1.4
Teori Struktur Modal Menurut Arifin (2005:93), teori struktur modal berkaitan dengan kos keagenan
(agency cost) sebenarnya hanya merujuk pada teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menganggap manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu perlu ada mekanisme agar manajer mau bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah dengan menambah porsi hutang. Menambah hutang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan. Pertama, dengan meningkatnya hutang maka akan semakin kecil porsi saham yang harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin kecil masalah agensi yang timbul antara manajer dengan pemegang saham. Kedua, dengan semakin besar hutang maka semakin kecil dana yang menganggur yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga dari hutang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok hutang. Mekanisme untuk mengurangi free cash flows oleh Jansen dan Meckling (1976) dikelompokkan sebagai mekanisme bonding, suatu mekanisme yang dipakai oleh manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan
12
mereka berani mengambil risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaan dengan serius.
2.1.5
Leverage Menurut Weston dan Brigham (1997:90) leverage adalah tingkat penggunaan
hutang sebagai sumber pembiayaan perusahaan sedangkan menurut Sawir (2004:10) leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio pengelolaan hutang dibagi menjadi tiga yaitu : 1) Rasio hutang adalah rasio total hutang terhadap total aktiva. Rasio ini digunakan untuk menghitung persentase total dana yang disediakan oleh kreditur. 2) Rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE) adalah rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga. Rasio ini mengukur kemampuan untuk membayar beban bunga tahunan. 3) Rasio kemampuan membayarkan beban tetap adalah rasio yang lebih luas cakupannya daripada rasio TIE karena mencakup kewajiban lease jangka panjang tahunan perusahaan, rasio ini hampir sama dengan rasio kemampuan membayar bunga.
13
2.1.6
Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) dalam Weston dan Brigham (1997 :20)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak, dimana satu atau beberapa orang
(pemberi
kerja/principal)
mempekerjakan
orang
lain
(agen)
untuk
melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan pada agen tersebut. Pada agency theory yang disebut prinsipal adalah pemegang saham dan yang dimaksud agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. manajer yang diangkat oleh pemegang saham harus bertindak untuk kepentingan pemegang saham, tetapi ternyata sering ada konflik antara manajemen dan pemegang saham. Konflik ini disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Menurut Sartono (2001:10) yang dimaksud dengan konflik antar kelompok atau agency theory merupakan konflik yang timbul antara pemilik dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan kepentingan individu daripada tujuan perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2002:12) masalah keagenan sering terjadi pada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang sering kali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang saham). Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas tanggung jawab hanya terbatas pada modal yang disetorkan, artinya apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal (ekuitas) yang telah disetorkan oleh pemilik perusahaan mungkin sekali akan hilang,
14
tetapi harta kekayaan pribadi tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut. Dengan demikian
memungkinkan timbul masalah-masalah keagenan
(agency problems). McColgan (2001) dalam Kristya (2007:12) menyatakan bahwa dalam Agency Theory terdapat suatu karakterisik hubungan keagenan yang dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak dimana satu pihak (principal) memperkerjakan pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama principal. Dalam perkembangannya, terdapat suatu kecenderungan timbulnya masalah keagenan yang muncul sebagai akibat dari kemustahilan tercapainya perikatan secara sempurna bagi pihak agen dan principal. Dimana munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor, sebagai berikut : 1) Moral Hazard (MH) Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi), dimana manajer cenderung untuk memanfaatkan insentif yang sesuai dengan kepentingannya atau berdasarkan keahlian untuk bayaran yang diterima dari perusahaan dan kemungkinan hal tersebut tidak termasuk dalam kontrak. 2) Penahan laba (Earning Retention) Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan principal.
15
3) Horizon waktu Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana principal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. 4) Penghindaran risiko manajerial. Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman hutang, karena mengalami kebangkrutan atau kegagalan.
2.1.7
Kos Keagenan Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan.
Hubungan keagenan terjadi ketika terjadi kontrak antara dua pihak yang menunjukkan bahwa suatu pihak (prinsipal) memberikan tugas kepada orang lain (agen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini agen memiliki kecenderungan untuk berperilaku tertentu dengan mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk itu prinsipal harus memiliki mekanisme pemantauan agar dapat mengendalikan perilaku agen sesuai dengan aturan yang ditentukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif kompensasi yang berupa
16
pemberian saham kepada manajer dan cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan monitoring. Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Arifin (2005:11) terdapat tiga macam kos keagenan (agency cost), diantaranya adalah : 1) Bonding cost (biaya bonding) Kos ini ditanggung oleh manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. 2) Monitoring cost (biaya monitoring) Kos ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. 3) Residual loss (kerugian residual) Kos yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang diambil oleh agen dengan keputusan yang seharusnya dapat memaksimalkan kesejahteraan prinsipal.
2.1.8
Mekanisme Untuk Mengurangi Masalah Keagenan Arifin (2002:60) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi
adalah sebagai berikut : 1) Mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanismemekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurani masalah keagenan. :
17
(1) Pembentukan dewan komisaris Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer. Namun penelitian Mace (1986) menemukan bahwa pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen pada umumnya tidak efektif. Ini terjadi karena proses pemilihan dewan komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga setelah terpilih tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika dewan didominasi oleh anggota dari luar (independent board of director) maka monitoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang ditemukan oleh Weisbach (1988). (2) Pasar corporate control Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih bagus sehingga masalah agensi dapat dikurangi. (3) Pemegang saham besar Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investor-investor kecil. Oleh karena itu, biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan cenderung tidak melakukan monitoring.
18
(4) Kepemilikan terkonsentrasi Kepemilikan dikatakan lebih terkonsetrasi untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. (5) Pasar Manajer Fama (1980), menyatakan bahwa masalah kagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. 2) Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer. Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang memiliki net present value yang positif dan menurangi konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi bersama-sama. 3) Mekanisme kontrol dengan bonding Jensen (1986), melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan konsumtif. Dana tersebut adalah free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan nett present value positif dilaksanakan. Jika kos agensi ingin dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukkan kepada pemegang saham bahwa dia telah menunjukkan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan.
19
Menurut Crutchley dan Hansen dalam Vivin (2005:16) untuk mengurangi agency cost ada tiga cara yang dilakukan, yaitu : 1) Meningkatkan kepemilikan saham manajer dalam perusahaan, sehinga terdapat persamaan kepentingan dengan pemegang saham. 2) Meningkatkan pembayaran dividen, yang akan meningkatkan jumlah modal eksternal. Pada saat jumlah modal eksternal meningkat, manajer akan diawasi oleh bursa, komisi bursa & efek, dan investor luar. Lagi pula penggunaan dividen tersebut tidak memerlukan biaya. 3) Meningkatkan penggunaan hutang dalam pendanaan, karena hutang mewajibkan perusahaan untuk membayarnya kembali, maka free cash flow yang tersedia untuk manajer dalam melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya jadi terbatas
2.1.9
Hubungan Antara Kepemilikan Manajerial dengan Kos Keagenan Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk
kepentingan sendiri timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi agency conflict ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut dengan agency cost. Menurut Crutchley & Hansen (1989) dalam Vivin (2005:16) untuk mengurangi agency cost ada tiga cara yang dilakukan, salah satunya yaitu dengan meningkatkan kepemilikan saham manajer dalam perusahaan, sehingga terdapat persamaan
20
kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruance) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan agency cost yang rendah pula. Konflik keagenan yang rendah dapat direfleksikan dari rendahnya selling and general administrative (SGA) yang merupakan proksi dari beban operasi yang ditunjukkan dari rendahnya biaya audit (monitoring) yang timbul akibat monitoring kinerja manajer yang dilakukan oleh pemegang saham (prinsipal). Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi agency cost ini adalah dengan meningkatkan kepemilikan dari dalam (insider ownership) / kepemilikan manajerial. Dengan adanya kepemilikan manajerial yang tinggi diharapkan agency cost yang timbul akan semakin rendah.
2.1.10 Hubungan Antara Kebijakan Dividen dengan Kos Keagenan Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat oleh pemegang saham untuk mengandalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan pribadinya disamping memaksimalkan kesejahteraan pemilik. Penelitian yang meneliti tentang hubungan kebijakan dividen dengan kos keagenan diantaranya Schooley et al. (1994) menyatakan bahwa kebijakan dividen dan manajerial digunakan untuk menurunkan kos keagenan. Mereka menguji kebijakan
21
dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu yang saling berhubungan untuk mengurangi kos keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi kos keagenan. Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola oleh perusahaan menjadi semakin kecil, demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen mungkin tidak akan melakukan manipulasi karena disamping sebagai manajemen dia juga beroperasi sebagai pemilik perusahaan. Kedua kondisi tersebut akan dapat mengurangi besarnya kos keagenan. Hasil dari penelitian ini adalah kebijakan dividen dan kepemilikan saham berhubungan negatif dengan kos keagenan.
2.1.11 Hubungan Antara Leverage dengan Kos Keagenan Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Arifin (2005:92) salah satu cara untuk menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan hutang. Argumen tersebut didukung oleh pernyataan bahwa dengan meningkatnya hutang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman. Mekanisme untuk mengurangi free cash flow ini oleh Jensen dan Meckling dalam Hesadijaya (2007) dikelompokkan sebagai bodinng, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil risiko kehilangan
22
pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaan dengan serius. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamanna tidak disalah gunakan. Dalam penelitian ini kebijakan hutang diproksikan dengan leverage. Leverage mengukur nilai dana yang dibiayai dari pinjaman pihak ketiga. Sehingga hubungan leverage dengan kos keagenan adalah negatif yang berarti semakin tinggi leverage akan dapat menurunkan kos keagenan.
2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Sebagai acuan dalam penelitian ini adalah penelitian sebelumnya antara lain :
1)
Faizal (2004) dengan judul ”Agency cost, struktur kepemilikan, dan mekanisme corporate governance”. Variabel-variabel yang diteliti adalah agency cost, kepemilikan saham manajerial, kepemilikan saham institusional, ukuran dewan direksi sebagai variabel bebas. Selain itu, penelitian ini menggunakan varibel kontrol seperti ukuran perusahaan, dividen, leverage, dan risiko yang diduga dapat lebih menjelaskan hubungan antara struktur kepemilikan dengan kos keagenan. Analisis data yang digunakan adalah model persamaan regresi berganda dan melakukan pengujian asumsi klasik diantaranya yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas, autokorelasi, multikolinearitas, serta linearitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koefisien variabel
23
kepemilikan manajerial negatif (-0.052) dan tidak signifikan (0.576) yang menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi belum sepenuhnya dapat menekan beban operasi yang ada di perusahaan. Variabel-variabel kontrol seperti dividen dan leverage berpengaruh negatif dan signifikan. Kemudian untuk ukuran perusahaan berpengaruh positif dan tidak signifikan tetapi risiko berpengaruh negatif dan tidak signifikan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Faizal adalah meneliti tentang kos keagenan (agency cost). Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel bebas menggunakan kepemilikan manajerial, kebijakan dividen, dan leverage sedangkan pada penelitian Faizal kepemilikan manajerial digunakan sebagai variabel bebas, tetapi kebijakan dividen dan leverage digunakan sebagai variabel kontrol. Perbedaan lainnya adalah periode penelitian dimana penelitian ini menggunakan periode tahun 2005 sampai tahun 2007 sedangkan penelitian Faizal menggunakan periode tahun 1999 sampai tahun 2001. 2)
Hesadijaya (2007) dengan judul ”Pengaruh kebijakan dividen dan leverage terhadap kos keagenan (agency cost) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Variabel-variabel yang diteliti adalah kos keagenan (agency cost) sebagai variabel terikat dan kebijakan dividen serta leverage sebagai variabel bebas. Objek penelitian ini yaitu perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2000-2004. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda dan menggunakan pengujian asumsi klasik diantaranya yaitu uji normalitas, uji
24
heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas. Hasil penelitian Hesadijaya menunjukkan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh secara statistik terhadap kos keagenan. Sedangkan leverage berpengaruh negatif yang signifikan secara statistik terhadap kos keagenan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Hesadijaya adalah menggunakan kos keagenan (agency cost) sebagai
variabel
terikat.
Perbedaannya
adalah
penelitian
Hesadijaya
menggunakan dua variabel bebas yaitu kebijakan dividen serta leverage, sedangkan penelitian ini menggunakan tiga variabel bebas yaitu kepemilkan manajerial, kebijakan dividen dan leverage. Selain itu, penelitian ini menggunakan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta berbeda dengan penelitian Hesadijaya yang hanya menggunakan perusahaan manufaktur sebagai objek penelitian. 3)
Rita (2007) dengan judul ”Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap agency cost pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2000-2004”. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah agency cost sebagai variabel terikat yang diproksikan dengan selling and general administrative (SGA) yaitu rasio beban operasi terhadap total penjualan. Sedangkan variabel bebasnya adalah kepemilikan manajerial. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model regresi linier sederhana dan melakukan pengujian asumsi klasik diantaranya yaitu uji normalitas, uji heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan secara statistik
25
terhadap agency cost. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rita adalah menggunakan
kos
keagenan
(agency
cost)
sebagai
variabel
terikat.
Perbedaannya adalah penelitian Rita menggunakan kepemilikan manajerial sebagai variabel bebas, sedangkan penelitian ini menggunakan kepemilkan manajerial, kebijakan dividen dan leverage sebagai variabel bebas. Selain itu, penelitian ini menggunakan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta berbeda dengan penelitian Rita yang hanya menggunakan perusahaan manufaktur sebagai objek penelitian.
2.3
Hipotesis Menurut Jensen dan Meckling (1976) dalam Untung dan Hartini (2006:18)
menyatakan salah satu cara untuk mengurangi kos keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruance) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan kos keagenan yang rendah pula. Selain dengan meningkatkan kepemilikan manajerial, Menurut Crutchley dan Hansen dalam Vivin (2005:16) hal lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi kos keagenan adalah dengan meningkatkan pembayaran dividen. Penentuan besarnya dividen merupakan salah satu alat yang digunakan oleh pemegang saham untuk
26
mengendalikan jumlah dana yang dipegang oleh manajemen. Dengan meningkatkan pembayaran dividen, maka semakin kecilnya jumlah dana yang dipegang oleh manajemen dan dapat memperkecil pengawasan oleh pihak pemegang saham sehingga kos keagenan yang ditimbulkan semakin rendah. Beberapa penelitian dividen sebagai alat kontrol dari pemegang saham untuk menurunkan kos keagenan dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Faizal (2004), Schooley et al (1994). Menurut Crutchley dan Hansen dalam Vivin (2005:16) peningkatan hutang juga merupakan cara untuk mengurangi kos keagenan. Semakin besar hutang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman sehingga akan memperkecil dana yang menganggur. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan hutang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan, sehingga nantinya akan mengurangi kos keagenan. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut : H1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta H2 : Kebijakan dividen berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta H3 : Leverage berpengaruh negatif terhadap kos keagenan pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
27