BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengasuhan pada PAUD 2.1.1 Pengertian Pengasuh Devinisi pengasuh menurut arti kata, pengasuh memiliki kata dasar asuh yang artinya mengurus, mendidik, melatih, memelihara, dan mengajar. Kemudian diberi awalan peng(pengasuh) berarti kata pelatih, pembimbing. Jadi pengasuh memiliki makna orang yang mengasuh, mengurus, memelihara, melatih dan mendidik. Menurut Hastuti (2010:1) “Pengasuh adalah pengalaman, ketrampilan, dan tanggung jawab sebagai orang tua dalam mendidik dan merawat anak”. Sebagaimana (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini,2010:2), Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orangtua yang sedang bekerja/ mencari nafkah. lebih lanjut devinisi pengasuhan dapat dilihat dari beberapa pendapat para ahli berikut; Istilah kelekatan (attacment) untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang psikologi dari Inggris bernama john Bowlby. Kelekatan merupakan suatu ikatan emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua (Mc Cartney dan Dearing, 2007:3). Bowlby (Haditono,2007:4) menyatakan bahwa hubungan ini akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang di awali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Menurut Ainsworth (Belsky, 2007:4) “hubungan kelekatan berkembang melalui pengalaman bayi dengan pengasuh di tahun-tahun awal kehidupannya”. Intinya adalah kepekaan pengasuh dalam memberikan 6 respon atas sinyal yang diberikan anak, sesegera mungkin atau menunda, respon yang di berikan
tepat atau tidak. Pengasuh memegang peran penting dalam proses perkembangan seorang anak. Hubungan kelekatan yang di harapkan terjalin adalah kelekatan yang aman. Dengan kelekatan yang aman di harapkan anak akan mampu mencapai perkembangan yang optimal, sebaliknya bila kelekatan yang terjadi adalah kelekatan yang tidak aman maka anak akan mengalami masalah dalam proses perkembangannya. Selanjutnya hal ini dapat menjadi akar dari berbagai masalah kriminal dan sosial yang marak terjadi akhir-akhir ini. Parent dalam parenting memiliki beberapa definisi-ibu, ayah, seseorang yang akan membimbing dalam kehidupan baru, seorang penjaga, maupun seorang pelindung. Parent adalah seseorang yang mendampingi dan membimbing semua tahapan pertumbuhan anak, yang merawat,
melindungi,
mengarahkan
kehidupan
baru
anak
dalam
setiap
tahapan
perkembangannya (Brooks, 2012:1). Hoghughi (2012:1) menyebutkan bahwa pengasuhan mencakup beragam aktifitas yang bertujuan agar anak dapat berkembang secara optimal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Prinsip pengasuhan menurut Hoghughi tidak menekankan pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas dari perkembangan dan pendidikan anak. Oleh karenanya pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan emosi dan pengasuhan social. Pengasuhan emosi mencakup pendampingan ketika anak mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing dari teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan emosi ini mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu, mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan dan untuk mengetahui resikonya. Pengasuhan emosi ini bertujuan agar anak mempunyai kemampuan yang stabildan konsisten dalam berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan rasa aman, serta menciptakan rasa optimistic atas hal-hal baru yang akan ditemui oleh anak. Sementara itu, pengasuhan sosial
bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya. Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. pengasuhan sosial yang baik berfokus pada memberikan bantuan kepada anak untuk dapat terintegrasi dengan baik di lingkungan rumah maupun sekolahnya dan membantu mengajarkan anak akan tanggung jawab sosial yang harus diembannya (Hughoghi, 2012:1). Sementara itu, menurut Jerome Kagan seorang psikolog perkembangan mendefinisikan pengasuhan (parenting) sebagai serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada anak, yang mencakup apa yang harus dilakukan oleh orang tua/ pengasuh agar anak mampu bertanggung jawab dan memberikan kontribusi sebagai anggota masyarakat termasuk juga apa yang harus dilakukan orang tua/ pengasuh ketika anak menangis, marah, berbohong, dan tidak melakukan kewajibannya dengan baik (Berns, 2012:1). Berns (2012:1) menyebutkan bahwa pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang berlangsung terus-menerus dan mempengaruhi bukan hanya bagi anak juga bagi orang tua. Senada dengan Berns, Brooks (2012:1) juga mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang mana orang tua mempengaruhi anak namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan. Menurut Ki Kajar Dewantara pengasuhan berasal dari kata ”asuh” artinya pemimpin, pengelola, pembimbing. Maka pengasuh adalah orang yang melaksakan tugas membimbing, memimpin atau mengelola. Dalam hal ini pengasuh anak maksudnya adalah memelihara dan
mendidiknya dengan penuh pengertian. Ki Hajar Dewantara membagi pendidikan di Indonesia menjadi tiga bagian yaitu : informal, yaitu dalam keluarga, formal yaitu sekolah, dan nonformal yaitu dalam masyarakat. Merujuk pada beberapa definisi tentang pengasuhan tersebut menunjukkan bahwa konsep pengasuhan mencakup beberapa pengertian pokok, antara lain: (i) pengasuhan bertujuan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, baik secara fisik, mental maupun sosial, (ii) pengasuhan merupakan sebuah proses interaksi yang terus menerus antara orang tua dengan anak, (iii) pengasuhan adalah sebuah proses sosialisasi, (iv) sebagai sebuah proses interaksi dan sosialisasi proses pengasuhan tidak bisa dilepaskan dari sosial budaya dimana anak dibesarkan. Berdasarkan uraian di atas ,
pengasuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
pengasuh dilembaga penitipan anak. Sebagaimana (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini,2010:2), Tenaga pengasuh adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan pengasuhan dan perawatan kepada anak untuk menggantikan peran orangtua yang sedang bekerja/ mencari nafkah. 2.1.2 Kualifikasi pengasuh dan hal-hal yang menjadi syarat kemampuan pengasuh Salah satu syarat untuk menjadi pengasuh adalah memiliki syarat-syarat kemampuan pengasuh. Salah satunya memiliki kualifikasi pengasuh sebagaimana ditinjau dari Kualifikasi Akademik: Pengasuh harus memiliki kualifikasi akademik minimum SMA sederajat. Dan ditinjau dari Kompetensi Pengasuh: 1).memahami dasar pengasuhan; 2).terampil melaksanakan pengasuhan; 3). bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis. (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini,2010:13).
1. Pengasuh harus memahami dasar pengasuhan yaitu memahami peran pengasuhan terhadap pertumbuhan dan perkembangangan anak, memahami pola makan dan kebutuhan gizi anak, memahami layanan dasar kesehatan dan kebersihan anak, memahami tugas dan kewenangan dalam membantu guru dan guru pendamping. 2. Pengasuh harus terampil melaksanakan pengasuhan yaitu terampil dalam melakukan perawatan kebersihan anak, terampil bermain dan berkomunikasi secara verbal dan non verbal dengan anak, mengenali dan mengatasi ketidak nyamanan anak, terampil merawat kebersihan fasilitas bermain anak. 3. Pengasuh harus bersikap dan berperilaku sesuai dengan kebutuhan psikologis anak yaitu menyayangi anak secara tulus, berperilaku sabar, tenang, ceria, penuh perhatian, serta melindungi anak, memiliki kepekaan dan humoris dalam menyingkapi perilaku anak, menampilkan diri sebagai pribadi yang dewasa, arif, dan bertanggung jawab. Berpenampilan rapi bersih dan sehat. Berperilaku santun, menghargai, dan hormat kepada orangtua anak. Selanjutnya Menurut (Surya, 2007:2) bahwa “Hal-hal yang menjadi syarat kemampuan pengasuh adalah: 1). pengetahuan tentang kesehatan. 2). kemampuan berbahasa yang jelas dan santun. 3). memiliki kecerdasan yang cukup tinggi. 4). berperilaku sopan dan santun. 1. Seorang pengasuh haruslah memiliki pengetahuan tentang kesehatan terutama kesehatan anak misalnya: makanan apa yang dianjurkan dan makanan apa yang tidak dianjurkan bagi anak usia 0-4 tahun, bagaimana pertolongan pertama ketika mengalami kecelakaan atau sakit, Bagaimana menjaga kebersihan dan kesehatan anak dsb. 2. Seorang pengasuh haruslah selalu berbahasa yang santun dan jelas. Pada usia tersebut, anak sedang melatih ketrampilannya dalam berbicara. Dan pada masa itu, untuk
mengasah ketrampilan anak dalam berbicara dan menjaga kesantunannya, seorang pengasuh harus menjaga tutur katanya. 3. Seorang pengasuh harus memiliki kecerdasan yang cukup tinggi karena anak usia tersebut memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu ingin bereksplorasi. Sehingga dengan kompetensi yang dimilikinya, pengasuh tersebut menstimulasi semua aspek tumbuh kembang anak. 4. Pengasuh harus berperilaku santun dan sopan Karena pada usia ini anak membutuhkan figure yang bisa memberikan tauladan dalam perjalanan pengembangan karakternya. Berdasarkan syarat kemampuan pengasuh yang telah diuraikan di atas, Pengasuh yang ada di TPA diharapkan benar-benar memahami prinsip-prinsip dasar pendidikan, perawatan dan pengasuhan terhadap anak usia dini. 2.1.3 Gaya Pengasuhan/Tipe pengasuh Menurut Kohn (dalam Zahroh, 2012:10), menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orangtua ini meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya dan juga cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak. Berdasarkan pengertian tersebut disimpulkan bahwa yang dimaksud orang tua dalam penelitian ini adalah pengasuh yang ada di TPA Al-Ishlah. Pola asuh dalam penelitian ini merupakan sikap pengasuh dalam berinteraksi dengan anak asuhnya. Sikap pengasuh ini meliputi cara memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara pengasuh menunjukkan otoritasnya dan juga cara pengasuh memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak asuhnya.
Menurut Hastuti (2010:1) “Gaya pengasuhan adalah cara interaksi pengasuh kepada anak asuh. Pada dasarnya ada 2 tipe pengasuhan yaitu: gaya pelatihan emosi (parental emotional styles) dan gaya pendisiplinan. gaya pelatih emosi terbagi dua yaitu; gaya pelatih emosi (coaching) dan gaya pengabai emosi. Sedangkan untuk gaya pendisiplinan terbagi atas tiga yaitu; Otoriter (authoritarian), Demokratis (authoritative), Membiarkan (permissive). Tipe pengasuhan (Hastuti,2010:1) yaitu; 1. Gaya pelatihan emosi (parental emotional styles) merupakan pola pengasuhan dimana pengasuh mampu membantu anak asuh untuk menangani emosi terutama emosi negatif. Pengasuh tipe ini mampu menilai emosi negatif sebagai kesempatan untuk menciptakan keakraban tanpa kehilangan kesabaran. Bentuk pengasuhan ini berhubungan dengan kepercayaan pengasuh terhadap anak untuk mengatur emosi dan menyelesaikan suatu masalah sehingga Pengasuh bersedia meluangkan waktu saat anak sedih, marah dan takut serta mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain. 2. Gaya pengabai emosi (dismissing parenting style). Pola pengasuhan dimana pengasuh tidak punya kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak serta percaya bahwa emosi negatif sebagai cerminan buruknya ketrampilan pengasuhan. Pengasuh tipe ini menganggap bahwa anak terlalu cengeng saat sedih sehingga Pengasuh tidak menyelesaikan masalah anak dan beranggapan bahwa emosi anak akan hilang dengan sendirinya. Sementara itu untuk gaya pendisiplinan (Hastuti,2010:1) terbagi atas tiga yaitu; 1). Pendisiplinan otoriter (authoritarian); 2). Pendisiplinan demokratis 3).Pendisiplinan permissive
(authoritative);
1. Pendisiplinan otoriter (authoritarian). Yaitu pola asuh dimana pengasuh memberi aturan yang ketat dan adanya otoritas dari pengasuh untuk menetapkan aturan yang bersifat kaku dan tanpa penjelasan. pengasuh dengan tipe ini biasanya mendikte segala perbuatan yang seharusnya dilakukan anak serta tidak mengharapkan anak membantah keputusan yang telah ditetapkan. 2. Pendisiplinan demokratis (authoritative). Pada pola asuh ini dimana pengasuh memberi batasan yang tinggi namun juga memberi penjelasan sesuai pola pikir anak (toleran kepada anak). Pengasuh tipe ini memberikan batasan dan aturan kepada anak tetapi juga memberikan konsekuensi yang bersifat naluriah kepada anak apabila mereka melakukan kesalahan kepada anak. Selain itu pengasuh tipe ini juga menjelaskan pentingnya aturan yang telah di sepakati dan mengapa aturan tersebut harus dijalani oleh anak. 3. Pendisiplinan
permissive merupakan pola asuh dimana Pengasuh tipe ini memberi
aturan/batasan yang longgar ke anak dan kurang memberi pengarahan/ penjelasan ke anak dalam memahami masalah kehidupan. Pengasuh tipe ini lebih responsive terhadap kebutuhan anak namun tidak memberi batasan yang tepat bagi perilaku anak sehingga anak dapat membuat aturan, jadwal dan aktifitas sendiri.
Sementara itu Ki Hajar Dewantara(2012:1) menerapkan lima konsep dalam pengasuhan 1). Pembiasaan, 2). Belajar sambil bermain, 3). Belajar dengan cara pemberian contoh atau teladan. 4). Pengenalan prinsip norma agama, dan 5). Memberikan motivasi dan membangkitkan kemauan.
Mengacu pada konsep mengasuh tersebut diperoleh bahwa Pola asuh adalah perlakuan pengasuh dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberikan perlindungan, dan mendidik anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh lebih menyangkut pada perawatan dan perlindungan anak yang sangat menentukan pembentukan fisik dan mental anak. Pola asah menyangkut perawatan dalam menyuburkan kecerdasan majemuk, utamanya terkait dengan aspek kognitif dan psikomotorik. Sedangkan pola asah ini meliputi pembentukan intelektualitas, kecakapan bahasa, keruntutan logika dan nalar, serta ketangkasan dalam mengolah gerak tubuh. Sementara pola asih dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spritual merupakan perawatan anak anak dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan spritual sehingga mampu menyuburkan rasa kasih sayang, empati, memiliki norma dan nilai sosial yang bisa diterima oleh masyarakat. Sedangkan pola asuh yang mempengaruhi perkembangan afeksi anak, meliputi moral, akhlak, emosi dan perilaku. 2.2 Hakekat Kecerdasan Interpersonal/sosial 2.2.1 Pengertian Kecerdasan Interpersonal/Sosial Howard Garner (dalam Coqwer, 2012:2) mengemukakan bahwa “Kecerdasan Interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain”. Gardner menekankan kepekaan kepada ekspresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan kemampuan memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Dalam pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan Kecerdasan interpersonal anak dalam penelitian ini adalah kemampuan anak untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan pengasuh atau orang lain. Kecerdasan interpersonal anak dalam hal ini peka pada ekspresi, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam
berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk kedalam diri orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Kecerdasan interpersonal juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung antar dua pribadi, mencirikan proses-proses yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu lainnya. Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan disekelilingnya. Kecerdassan interpersonal sering disebut sebagai kecerdasan sosial, selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrap dengan teman, juga memcakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dsb. Kecerdasan interpersonal yang rendah dapat memunculkan konflik interpersonal. Hal ini ditegaskan oleh sullivan dalam chaplin (2007:257) bahwa penyakit mental dan perkembangan kepribadian terutama sekali lebih banyak ditentukan oleh interaksi interpersonalnya dari pada oleh faktor-faktor konstitusionalnya. Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti maksud, motivasi, hasrat orang lain serta konsekuen bekerja evektif dengan orang lain walaupun tidak semua begitu tampak, contoh: guru, politikus, orang-orang klinik(perawat), penjual. Sedangkan menurut Hastuti,(2010:1) Faktor yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak yaitu interaksi pengasuh dan anak asuh secara timbal balik. dan pemberian stimulasi, sehingga pengasuhan adalah bentuk interaksi dan pemberian stimulasi dari pengasuh disekitar kehidupan anak. walaupun orangtua adalah pengasuh utama anak dirumah mempunyai pola pengasuhan dimana mengharapkan anak untuk mandiri, matang, percaya diri, rasa ingin tahu, bersahabat dan
orientasi untuk sukses. Kecerdasan ini dapat di rangsang melalui bermain bersama teman, bekerja sama, bermain peran, dan memecahkan masalah serta menyelesaikan konflik. Menurut Admin, (2010:1-3). Tahap-tahap perkembangan sosil dan emosional bayi 0-12 bulan sampai usia sekolah yaitu;1). Tahap perkembangan sosial dan emosional Bayi: 0-12 bulan. 2).Tahap Anak Usia 1-2 tahun. 3).Tahap prasekolah. 4). Tahap usia sekolah. 1. Tahap perkembangan sosial dan emosional Bayi: 0-12 bulan. Usia 0-1 bulan bayi anda tidur dengan durasi 17 sampai 19 jam perhari. Tetapi mereka melakukannya tidak sekaligus melainkan secara berseri dengan periode
tidur yang pendek. Bayi menyukai
di gendong dan di ayun-ayun. Bayi mulai menunjukkan karakter awal kepribadiannya. Bayi mulai mengenali siapa yang sering
mengasuhnya. Usia 1-4 bulan Bayi mulai
merespon senyum orang yang tersenyum kepadanya Bayi mulai dapat diajak bermain, misalkan cilukba.
Ajaklah mereka bermain, meskipun responnya minimal, tetapi
permainan itu sangat penting untuk mereka Bayi menyukai digelitik Suara yang mereka kenali (terutama dari pengasuh utamanya) dapat menenangkannya ketika mereka menangis. Usia 4-8 bulan Bayi memiliki ikatan yang sangat kuat dengan mereka yang sering mengasuhnya, bayi lebih menyukai pengasuh utamanya, baik itu bundanya ataupun pengasuh utama lainnya yang mengasuh mereka. Bayi mengenali pengasuh utamanya, keluarganya, dan bayangannya dicermin Bayi sudah mengerti ketika mereka berpisah dari pengasuhnya, mereka akan merasa cemas dan sedih sampai akhirnya menangis Bayi mulai menunjukkan kecemasan ketika mereka berada ditengah-tengah orang dewasa yang tidak mereka kenali Bayi akan marah jika mainan yang dipegangnya direbut darinya. Usia 8-12 bulan Bayi sebisa mungkin akan selalu menempatkan pengasuh utamanya dalam pandangan mereka, jika pengasuhnya tidak terlihat maka
mereka akan cemas dan sedih Bayi mulai memiliki mainan favorit dan terikat dengan itu Bayi sudah mulai memiliki ketegasan atas apa yang mereka inginkan, mereka sudah dapat mendorong pengasuhnya dan berteriak kepada pengasuhnya jika mereka marah Bayi mulai berbagi barang kepunyaan dengan bayi lain (sesama bayi juga berinteraksi) Bayi mengerti arti kata “tidak”.
2. Anak Usia 1-2 tahun. Mulai minat terhadap bayi lain Memperlihatkan minat yang tinggi terhadap orang dewasa dan selalu ingin dekat serta mutasi dengan mereka Dapat membantu melakukan aktifitas sederhana Menggunakan permainan sebagai alat untuk hubungan sosial. Disini mereka bermain bersama, tetapi tidak ada interaksi-salutari a paralel play. 3. Tahap prasekolah. Membuat kontak sosial dengan orang diluar rumahnya Pregang age dimana
anak prasekolah berkelompok belum mengikuti
arti dari sosialisasi yang
sebenarnya. Mereka mulai belajar menyesuaikan diri dengan harapan lingkungan sosial Hubungan dengan orang dewasa baik orangtua maupun guru, mereka selalu berusaha untuk berkomunikasi dan menarik perhatian orang dewasa. Hubungan dengan teman sebaya Mulai bermain bersama, mereka tampak mulai mengobrol selama bermain, memilih teman untuk bermain, mengurangi tingkah laku bermusuhan. 4. Tahap usia sekolah. Yaitu usia 4 Tahun Sudah dapat mengontrol perilakunya sendiri Sudah dapat merasakan kelucuan (misalnya, ikut tertawa ketika orang dewasa tertawa atau ada hal-hal yang lucu) Rasa takut dan cemas mulai berkembang, dan hal ini akan berlangsung sampai usia 5 tahun Keinginan untuk berdusta mulai muncul, akan tetapi
anak takut melakukannya. Usia 5-6 tahun Perasaan humor berkembang lebih lanjut Sudah dapat mempelajari mana yang benar dan yang salah Sudah dapat menenangkan diri Pada usia 6 tahun anak menjadi asertif, sering berperilaku seperti bos (atasan), mendominasi situasi, akan tetapi dapat menerima nasihat Sering bertengkar tetapi cepat berbaikan kembali Anak sudah dapat menunjukkan sikap marah Sudah dapat membedakan yang benar dan yang tidak benar, dan sudah dapat menerima peraturan dan disiplin. Urie Bronfenbrenner (dalam muttaqin, 2008:1-3) memetakan aspek pengembangan secara komperhensif melalui teori ekologi yang memetakan lima sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu: Pertama sistem mikro Kedua sistem meso Ketiga, sistem exo Keempat, sistem makro Kelima, sistem chrono.” Pertama sistem mikro yang terkait dengan setting individual dimana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi: keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua sistem meso yang merupakan hubungan diantara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan dikeluarga dengan pengalaman disekolah atau pengalaman teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalamandan pengaruh dalam setting sosial yang berada diluar kontrol tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak, seperti pekerjaan orangtua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya dimana individu hidup seperti: ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik) Kelima sistem tersebut harus mampu dioptimalkan secara sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan, termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling
mendukung. Disamping optimalisasi kelima sistem tersebut, perlu dilakukan upaya penanganan yang tepat terhadap berbagai kemungkinan kondisi kritis dan transisional pada anak. Prof Urie Bronfenbrenner, dalam teori perkembangan menyampaikan. Pada Proses interaksi banyak institusi yang akan menyosialisasikan nilai-nilai dan pengetahuan kepada anak. Oleh karena itu, orang tua tidak dapat dengan sempurna menginginkan anaknya menjadi seperti yang diinginkan, karena banyak institusi yang turut berperan dalam proses sosialisasi. Menurut Bronfenbrenner (dalam sosialisasi yaitu pertama fase
laten,
muttaqin, 2008:1-3) bahwa ”fase-fase dalam proses kedua fase adaptasi,
ketiga fase pencapaian tujuan,
keempat fase integrasi.” Fase laten, proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya.fase ini masih dianggap sebagai bagian dari ibu dan anakmasih merupakan kesatuan yang disebut “two persons system”. Fase adaptasi anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. Fase pencapaian tujuan, pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekedar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan lingkungannya, tapi sudah memilki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. Fase Integrasi, pada fase ini tingkah laku anak tidak hanya sekedar penyesuaian ataupan untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri. 2.2.2 Cara Mendidik Dan Pengaruh Pengasuhan
Cara mendidik anak: (1).memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan plinplang dan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung. (2).jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontoh hal-hal yang positif dalam kehidupan sehari-hari. (3).sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. (4).kedisiplinan tetap terus diutamakan dalam membimbing anak sejak kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta dihargai masyarakat. (5).Tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik. (perpustakaan online, 2008:1). Begitupun ada 2 unsur penting dalam pengasuhan yaitu: 1)Responsiveness yaitu tingkat responsive dari orang tua ke anak yang berupa dukungan dan kehangatan kepada anak. 2)Demandingness yaitu tuntutan dari orangtua kepada anak yang berupa aturan dan konsekuensi atas perbuatan anak. (Hastuti,2010:1). Komunikasi yang dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada pengasuh ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang menganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat dipahami anak, agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap pengasuh tidak menyenangkan. Hindari tindakan negatif seperti memarahi tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, membodoh-bodohi anak, sering berbohong, membawa pulang stres dari rumah, memberi makanan haram, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dsb. Menurut Ilham (2009:16) bahwa”Tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindari kesalahan dari perlakuan pengasuh maka beberapa tindakan berikut perlu dilakukan ; 1). Perlakukan anak sebagai anak. 2). Memenuhi kebutuhan anak. 3) Memberi anak kesempatan. 4) Membimbing anak untuk membawa diri. 5)Menumbuhkan rasa percaya diri. 6).Menanamkan sikap jujur. 7).Menjadi teladan bagi anak asuh.
Pengasuh harus memperlakukan anak asuh sebagai anak. dalam hal ini tidak memperlakukan anak sebagai orang dewasa kecil dan beranggapan bahwa ia dapat bertindak dan berpikir seperti orang dewasa. Anak asuh suka mengulang-ulang kegiatannya, memusatkan perhatian untuk waktu yang pendek, dan suka melakukan percobaan. Pengasuh harus memenuhi kebutuhan anak asuh. anak banyak kebutuhan diantaranya makanan dengan gizi berimbang, lingkungan yang sehat dan aman, rasa aman, kondisi yang prima, perasaan yang diterima, kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri pengakuan atas harga diri. Tidak terpenuhi salah satu dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Pengasuh harus memberi anak asuh kesempatan. Anak asuh diberi kesempatan untuk mandiri, kesempatan untuk melakukan beragam kegiatan yang diperlukan dalam mengembangkan seluruh potensinya sesuai dengan tahap perkembangannya. Pengasuh adalah fasilitator, pendidik, pelindung dan juga pengawas. Pengasuh harus membimbing anak asuh untuk membawa diri. Selama hidupnya manusia selalu berhubungan dengan orang lain demikian halnya dengan anak. pertama-tama akan menjalin hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya, kemudian dengan tetangga, saudara, teman sebaya dan selanjutnya akan semakin luaspergaulan dengan memahami etiket pergaulan akan memupuk kemampuan membawa diri dan menuntunnya kelak menjadi manusia yang sukses. Pengasuh harus menumbuhkan rasa percaya diri pada anak asuh. Pengasuh memberi rasa mampu kepada anak dengan cara memberi pujian sewajarnya setiap kali menyelesaikan sesuatu, betapa pun kecilnya. Anak dapat memahami dirinya sendiri dan konsep menemukan dirinya sendiri merupakan kesadaran atas keberadaan diri anak di lingkungannya sehingga akan menumbuhkan rasa diterima oleh lingkungan. Cara membimbing dilakukan dengan memberi tugas dan kewajiban sebagai anggota keluarga sesuai dengan kemampuannya. Pengasuh harus
menanamkan sikap jujur kepada anak asuh. Tidak menjuluki pembohong kepada anak asuh saat menceritakan imajinasinya karena anak belum bisa membedakan antara imajinasi dengan kenyataan. Pengasuh harus menjadi teladan bagi anak asuh. Anak asuh merupakan peniru paling ulung. Segala yang dilihat didengar dan dirasakan akan dapat ditirukan dengan tepat. Faktor kematangan dan pengalaman belajar juga kondisi lainnya mempengaruhi perkembangan emosi anak asuh. Menurut kurnia (2007:29). “Perkembangan emosi dapat dipelajari antara lain dengan cara atau metode berikut: 1)belajar emosi dengan cara coba dan ralat (trial and error); 2)belajar dengan meniru(imitasi); 3)belajar dengan cara mempersamakan diri (identifikasi); 4)belajar melalui pengkondisian;dan 5)belajar melalui pelatihan (training) Anak asuh belajar emosi dengan cara coba dan ralat (trial and error) terutama melibatkan aspek reaksi. Anak asuh belajar dengan meniru(imitasi) dilakukan melalui pengamatan yang membangkitkan emosi tertentu pada orang lain. Anak asuh belajar dengan cara mempersamakan diri (identifikasi) dengan orang yang dikagumi atau yang mempunyai ikatan emosional dengan anak lebih kuat dibanding dengan motivasi untuk meniru sembarang orang. Anak asuh belajar melalui pengkondisian berarti belajar perkembangan emosi dengan cara asosiasi atau menghubungkan stimulus (rangsangan) dengan respon (reaksi). Anak asuh belajar melalui pelatihan (training) di bawah bimbingan dan pengawasan pengasuh. Menurut Hurlock (dalam hafis, 2008:1) bahwa “Belajar hidup bermasyarakat memerlukan tiga proses berikut: 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial. 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima oleh kelompok/lingkungan masyarakat. 3) perkembangan sikap sosial. Untuk dapat bergaul dalam masyarakat, peserta didik juga harus menyukai orang atau terlibat dalam aktivitas sosial tertentu. Menurut Kurnia (2007:14) bahwa “Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan anak asuh melakukan sosialisasi adalah: 1)kesempatan dan waktu
untuk bersosialisasi, hidup dalam masyarakat dengan orang lain. 2)kemampuan berkomunikasi dengan kata-kata yang dapat dimengerti peserta didik maupun orang dewasa lain. 3)motivasi peserta didik untuk mau belajar bersosialisasi. 4)metode belajar efektif dan bimbingan bersosialisasi. Dengan adanya metode belajar sosialisasi melalui kegiatan bermain peran yang menirukan orang yang diidolakan, maka pesrta didik cenderung mengikuti peran sosial tersebut. Menurut Zay (2009:15-16) bahwa “Faktor-faktor yang menghambat perkembangan sosial anak prasekolah, yaitu; 1)Tingkah laku agresif; 2)Daya suai kurang; 3).Pemalu; 4). Anak manja; 5). Perilaku berkuasa dan 6) Perilaku merusak. Biasanya tingkah laku agresif mulai tampak sejak usia 2 tahun, tetapi sampai usia 4 tahun tingkah laku ini yang sering muncul, terungkap dari hasil penelitian penyerangan secara fisik kapan saja bisa terjadi. Misalnya mendorong, memukul atau berkelahi. Daya suai biasanya di sebabkan karena cakrawala sosial anak masih terbatas pada situasi rumah dan sekolah. Disekolah pun mereka belum bisa dengan cepat menyesuaikan diri. tapi makin lama di sekolah makin bertambah daya suainya. Kejadian ini pun terungkap saat penelitian dan sangat mengganggu karena sifat negatif anak akan terlihat dan pengasuh pun belum banyak mengetahui sifat itu sehingga kesulitan dalam mengatasi permasalahan akibat tingkah laku anak itu. Rasa malu malu biasanya terlihat sejak anak sudah mengenal orang-orang di sekitarnya. Rasa malu sebenarnya normal dan wajar, apabila anak sering kali menunjukkan rasa malu maka hal ini yang dianggap sebagai masalah. Memanjakan anak adalah sikap orangtua yang selalu mengalah pada anaknya, membatalkan perintah atau larangan hanya karena anak menjerit, menentang atau membantah. Perilaku berkuasa muncul sekitar 3 tahun dan semakin meningkat dengan bertambahnya kesempatan. Anak perempuan cenderung merasa lebih berkuasa dari pada anak laki-laki. Sikap ini pun terungkap saat penelitian tetapi pengasuh segera memberikan
pengertian pada anak bahwa di lembaga ini semua anak mempunyai hak yang sama. Perilaku merusak merupakan ledakan amarah anak asuh yang di sertai tindakan merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Penyesuaian sosial berarti keberhasilan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya, dan terhadap kelompok pada khususnya
Anak asuh yang dapat
menyesuaikan dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain (teman, orang yang tidak/baru dikenal) dan menolong orang lain sehingga menjadi anak yang disenangi. Menurut Hurlock (dalam kurnia,2007:18) bahwa “Terdapat beberapa kriteria penyesuaian sosial yang baik antara lain: 1)Tampilan nyata, 2)penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, 3)sikap sosial, 4)kepuasan pribadi, Tampilan nyata anak asuh, dimana perilaku sosial anak sesuai dengan standar kelompok dan memenuhi harapan kelompok sehingga diterima menjadi anggota kelompok. Penyesuaian diri anak asuh terhadap berbagai kelompok, dimana anak dapat menyesuaikan diri bukan hanya dalam kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan kelompok lain. Sikap sosial anak asuh, dimana anak menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, serta ikut berpartisipasi dan berperan dalam kelompok dan kegiatan sosial. Kepuasan pribadi anak asuh, karena anak dapat bersosialisasi dengan orang lain secara baik, dan dapat berperan dalam kelompok, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota kelompok. Pengaruh pengasuh terhadap Anak asuh dalam penelitian antara lain; anak yang selalu dengan belaian kasih sayang akan mampu tumbuh menjadi pribadi percaya diri dan selalu siap dalam menghadapi tantangan masa depan. Pengasuh terbaik bukanlah
mereka yang suka
menyerahkan urusan pengasuhan pada pengasuh lain. Karena anak asuh dan pengasuh memiliki
hubungan interaksi yang lebih kuat. Pengasuh yang sering melakukan
interaksi dan
berhubungan langsung (tetap dan berkesinambungan) dengan anak asuh akan mempengaruhi kualitas hubungan. Pengasuh yang selalu siap memberikan respon ketika anak asuh merasa tidak nyaman akan dipilih anak sebagai pengganti ibunya. 2.2.3 Metode Dan Teknik Pengasuhan Menurut Hastuti (2010:2) bahwa “Dalam mengasuh anak ada beberapa metode yang harus disesuaikan dengan karakteristik anak diantaranya: 1).Pemberian rewards/penghargaan 2.) Disiplin. 3.Time-out. 4.Role modeling 5.Encouragement 6.Attention ignore 1. Pemberian rewards/ penghargaan kepada anak asuh biasanya dalam bentuk mainan, uang, makanan dll. Namun rewards bisa dalam bentuk privilages/keistimewaan yaitu hadiah yang memungkinkan anak asuh memperoleh banyak kebebasan dan kesempatan. Bentuknya dapat berupa waktu main yang lebih banyak, memperbolehkan anak asuh meminjam mainan yang disukainya dll. Saat memberikan rewards, pengasuh harus memperhatikan bahwa rewards berupa sesuatu yang spontan sebagai penghargaan atas tindakan anak asuh yang baik dan bukan untuk menyuap anak asuh. Reward bukan untuk mengubah perilaku anak asuh tapi menghargai hasil karya anak asuh. 2. Disiplin pada anak asuh dapat menentukan kepercayaan diri sehingga mereka memiliki kontrol yang ada pada dirinya. 3. Time out adalah proses bagi anak asuh untuk menenangkan diri dan menyadari kesalahannya. Time out bukan hukuman, namun memberi waktu dan kesempatan pada anak asuh untuk memperoleh kontrol atas perilakunya. Tujuan time out adalah mengajarkan anak kontrol diri, mengakhiri perilaku keliru dan memberi kesempatan pada anak asuh untuk memikirkan kembali tindakannya dan dampaknya.
4. Role modeling yang dimaksud yaitu Anak asuh belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi, pemikiran, cara komunikasi dari pengasuh yang ada disekitarnya sehingga perilaku positif dan cara komunikasi pengasuh dapat ditiru oleh anak asuh. 5. Encouragement Adanya dorongan/ semangat dari pengasuh untuk memperoleh perilaku positif pada anak asuh. 6. Dan metode Attention ignore dapat dilakukan pengasuh dengan memfokuskan pada perbuatan baik yang dilakukan oleh anak asuh sehingga akan mengulangi perbuatan tersebut. Dan mengabaikan perilaku buruk sehingga ia tidak akan mengulanginya lagi. Pengasuh juga perlu membatasi diri sampai berapa lama ia akan mengabaikan tindakan anak asuh untuk mengalihkan perhatiannya pada tindakan yang lebih positif. Selanjutnya Menurut Hastuti (2010:2)”Teknik Disiplin yaitu: 1)memberi batasan dan aturan. 2)konsekuensi. 3)mengasingkan /menghukum anak diluar. 4)menunjukkan perasaan kecewa pada saat anak berlaku salah. 5)menahan kebebasan anak. 1. Adanya batasan dan aturan untuk menghindari masalah pada anak asuh, selain itu juga pastikan anak asuh untuk mengerti alasan ditetapkannya aturan tersebut. 2. Konsekuensi dalam hal ini Bentuk disiplin dengan cara membiarkan anak asuh mencoba pengalamannya sendiri. Misalnya : ketika anak merusakkan mainan maka anak tidak dapat bermain lagi. 3. Pengasuh mengasingkan /menghukum anak asuh diluar. Ketika anak kecil dihukum, dipastikan pengasuh harus duduk bersama dan biarkan mereka menangis. Setelah tenang, berikan penjelasan kepada anak asuh mengapa mereka tidak boleh melakukan hal itu dan mengajarkan anak asuh untuk minta maaf sebelum bergabung dengan teman untuk melanjutkan kegiatan.
4. Pengasuh menunjukkan perasaan kecewa pada saat anak asuh berlaku salah. Saat anak asuh berlaku salah, pengasuh menunjukkan perasaan/ekspresi kecewa pada anak asuh yang telah melanggar aturan yang telah ditetapkan. 5. Pengasuh menahan kebebasan anak asuh. Ketika anak asuh berbuat suatu kesalahan, pengasuh dapat menahan kebebasan anak , misalnya waktu main yang biasanya 1 jam, dikurangi menjadi setengah jam. Menurut Utami (2011:2) bahwa “Perkembangan sosio-emosional anak sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perkembangan ini dimulai ketika dia lahir dan akan berakhir ketika dia mati”. Berdasar pada pendapat utami maka yang dimaksud dengan perkembangan sosio-emosional dalam penelitian ini adalah perkembangan sosio-emosional anak asuh di TPA Al-Ishlah. Perkembangan anak asuh dimulai ketika anak masuk di lembaga TPA ini. Pada saat bayi masuk TPA ia sudah memiliki seperangkat kepekaan umum terhadap rangsangan-ransangan tertentu. Ia memiliki kepekaan terhadap suara, cahaya, temperatur, dan sejenisnya. Kepekaan-kepekaan umum tersebut merupakan dasar bagi proses diferensiasi dan perkembangan-perkembangan emosi lainnya. Saat bayi akan melakukan emosinya, ia hanya melalui senyuman ataupun menangis. Perkembangan sosio-emosional anak asuh adalah perilaku bawaan yang merupakan isi dari teori ethologi, misalnya saja yaitu pada saat bayi/anak asuh selalu membutuhkan bantuan pengasuh. ketika akan melakukan sesuatu, dia tidak berdaya melakukan sendiri sehingga peran pengasuh sangat diperlukan. Jalinan antara pengasuh dan anak asuh merupakan hal utama dalam teori ini. Sedangkan jika perkembangan sosio-emosionsl anak yang dipengaruhi oleh perilakuperilaku yang terjadi antara pengasuh dengan anak asuh merupakan kombinasi dari hal-hal yang
menyenangkan maupun tidak menyenangkan merupakan isi teori belajar-sosial. Misalnya bayi akan tersenyum jika ia merasa senang dan sebaliknya akan menangis jika merasa tidak nyaman. Perkembangan konitif merupakan hal yang mempengaruhi perkembangan sosio-emosional anak adalah anggapan dalam teori kognisi. Perilaku sosial yang ditunjukkan oleh bayi diperoleh dari upaya mengasimilasi peristiwa-peristiwa yang tidak sesuai kedalam struktur mentalnya. Dalam
perkembangan
sosio-emosional
anak,
Ada
beberapa
faktor
yang
ikut
mempengaruhinya. (Utami, 2011:2-3). Empat faktor yang mempengaruhi sosio-emosional anak. antara lain yaitu: a) Perlakuan dan cara pengasuhan orang tua. b).Kesesuaian antara bayi dan pengasuh. c).Tempramen bayi. d).Perlakuan guru disekolah. a) Perlakuan dan cara pengasuhan secara garis besar ada 3 tipe pengasuhan. Perilaku otoriter seperti kontrol yang ketat dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak asuh, sedikit dialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta kurang hangat dan kurang terjalin secara emosional. Sikap pengasuh menghasilkan karakteristik anak asuh yang Menarik diri dari pergaulan serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain. Perilaku permisif pengasuh yang Tidak mengontrol, tidak menuntut, sedikit menerapkan hukuman dan kekuasaan, penggunaan nalar, hangat dan menerima. Dapat menimbulkan anak asuh yang kurang dalam harga diri, kendali diri, dan kecenderungan untuk bereksplorasi. Perilaku pengasuh yang Otoritatif/demokratis seperti Mengontrol, menuntut, hangat, reseptif, rasional, berdialog (memberi dan menerima) secara verbal, serta menghargai disiplin, kepercayaan diri, dan keunikan . menghasilkan sikap anak asuh yang Mandiri, bertanggung jawab secara sosial, memiliki kendali diri, bersifat eksploratif, dan percaya diri.
b) Kesesuaian antara bayi dan pengasuh. Dalam proses interaksi antara pengasuh dan anak, perilaku mereka bisa saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri satu sama lain sehingga ada penyesuaian diri antara masing-masing. Jika terjadi ketidak cocokan antara pengasuh dan anak asuh maka akan berdampak anak mengalami stres, murung, frustasi, dan bahkan menimbulkan rasa kebencian. Jadi pengasuh harus benar-benar bisa menangkap respon apa yang anak asuh inginkan, agar terjalin kasih sayang antara mereka, dan tidak menimbulkan rasa benci anak asuh kepadanya. c) Tempramen bayi merupakan salah satu hal yang harus dipahami oleh sang pengasuh agar bisa terjalin hubungan yang akrab antara pengasuh dan anak. Ada tiga gaya perilaku bayi yakni bayi yang mudah, bayi yang sulit, dan bayi yang lamban. Ciri bayi yang mudah adalah memiliki keteraturan, adaptif, bahagia dan mau mendekati objek atau orang baru. Bayi yang sulit cenderung tidak teratur, tidak senang terhadap perubahan situasi, sering menangis, menampakkan perasaan negatif. Sedangkan bayi yang lamban adalah bayi yang cenderung kurang adaptif, menarik diri, kurang aktif, dan intensitas respon kurang. d) Perlakuan pengasuh di lembaga TPA akan berpengaruh terhadap anak asuhnya. Perlakuan ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan sosioemosional anak. Pengaruh pengasuh tidak hanya pada aspek kognitif anak, tetapi juga segenap perilaku dan pribadi yang ditampilkan pengasuh didepan anak asuhnyanya, karena secara langsung hal tersebut bisa menjadi pengalaman-pengalaman anak. Sementara itu Hurlock dalam ingridwati (2007:19) mengemukakan “Beberapa pola perilaku dalam situasi sosial pada awal masa kanak-kanak yaitu sbb: 1)Kerja sama; 2) Persaingan; 3) Kemurahan; 4) Hasrat akan penerimaan sosial; 5) Simpati, 6) Empati; 7) Ketergantungan; 8) Sikap ramah; 9) Meniru dan 10) Perilaku Kelekatan.”
1. Anak belajar bermain atau bekerja sama hingga usia mereka 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melatih ketrampilan ini, semakin cepat mereka belajar dan menerapkannya secara nyata dalam kehidupannya. 2. Persaingan Perilaku ini dapat mengakibatkan perilaku baik atau buruk pada anak. Jika anak melakukannya karena merasa terdorong untuk melakukan sesuatu sebaik mungkin maka hal ini berakibat baik pada prestasi dan pengolahan motivasinya, namun jika persaingan dianggap sebagai pertengkaran dan kesombongan maka hal ini dapat mengakibatkan timbulnya sosialisasi yang buruk. 3. Kemurahan hati merupakan perilaku kesediaan untuk berbagi dengan anak lain. Jika hal ini meningkat maka perilaku mementingkan diri sendiri akan berkurang. Perilaku kemurahan hati sangat disukai oleh lingkungan sehingga menghasilkan penerimaan sosial yang baik. 4. Hasrat akan penerimaan sosial Jika anak memiliki hasrat yang kuat akan penerimaan sosial. Hal ini akan mendorong anak untuk melakukan penyesuaian sosial secara baik. 5. Simpati seorang anak belum mampu melakukan simpati sehinga mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Mereka mengekpresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih. 6. Empati merupakan kemampuan meletakkan diri sendiri sdalam posisi orang lain serta menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya akan berkembang jika anak telah dapat memahami ekspresi wajah orang lain atau maksud pembicaraan orang lain. 7. Ketergantungan; Kebutuhan anak akan bantuan, perhatian, dan dukungan orang lain membuat anak memperhatikan cara-cara berperilaku yang dapat diterima lingkungannya. Namun, berbeda dengan anak yang bebas, ia cenderung mengabaikan ini.
8. Sikap ramah seorang anak memperlihatkan sikap ramah dengan cara melakukan sesuatu bersama orang lain, membantu teman, dan menunjukkan kasih sayang. 9. Anak-anak melakukan peniruan terhadap orang-orang yang diterima baik oleh lingkungannya. Dengan meniru anak-anak mendapatkan respons penerimaan kelompok terhadap diri mereka. 10. Perilaku kelekatan Berdasarkan pengalamannya pada masa bayi, tatkala anak merasakan kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih bersama ibunya, anak mengembangkan sikap ini untuk membina persahabatan dengan anak lain. Ethological explanation john bowlby dalam Ernest (2007:20) Teori ini percaya pada peranan pengasuh (ibu, nenek, bibi, dll) konsistensi, dan linkungan. Pengasuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengasuh di TPA Al-Ishlah. Pengasuh yang sering bersama anak dapat membaca tanda-tanda/respon anak. Demikian juga lingkungan yang konsisten akan membuat anak lebih dekat dengan orang-orang dan situasi yang selalu bersama anak. Diperlukan objek lekat yang memenuhi kebutuhan psikologis anak. Bowlby (dalam Haditono,2007:4)
menjelaskan
bahwa
“Sejumlah kunci
yang
menunjukkan kelekatan anak pada orang dewasa: 1)seorang anak dilahirkan dengan predisposisi untuk lekat pada pengasuhnya; 2)seorang anak akan dapat mengatur perilakunya dan menjaga hubungan kelekatan
dengan orang yang dekat dengannya; 3)perkembangan sosial sangat
berhubungan dengan perkembangan kognisi; 4)seorang anak akan memelihara hubungan dengan orang lain; 5)anak akan menalami hambatan dalam perkembangan emosi dan kemampuan berpikirnya; 6)perilaku kelekatan pada orang yang ada dihati anak”. Seorang anak dilahirkan dengan predisposisi untuk lekat pada pengasuhnya. Seorang anak akan dapat mengatur perilakunya dan menjaga hubungan kelekatan dengan orang yang
dekat dengannya yang merupakan kunci kemampuan bertahan hidupnya secara fisik dan psikologis. Perkembangan sosial sangat berhubungan dengan perkembangan kognisi. Seorang bayi berusia 6 bulan keatas bertemu dengan wanita selain ibunya, dia mulai bisa mengenali bahwa dia bukan ibunya. Seorang bayi mengenali pengasuhnya dengan menunjukkan senyum. Seorang anak asuh akan memelihara hubungan dengan pengasuh
jika pengasuh banyak
menunjukkan fungsinya yang bertanggungjawab pada diri anak itu. Jika pengasuh tidak mampu menjalankan fungsinya untuk memenuhi kebutuhan anak asuh, maka anak asuh akan mengalami hambatan dalam perkembangan emosi dan kemampuan berpikirnya. Perilaku anak seperti tersenyum, memanggil, menangis, menggelayut menunjukkan perilaku kelekatan pada pengasuh yang ada dihati anak. Dalam Ernest (2010:4) bowlby menjelaskan pula bahwa Gangguan perlekatan merupakan dampak psikologis dari pengalaman negatif dengan pengasuhnya, biasanya sejak kecil, yang mengganggu hubungan khusus dan eksklusif antara anak dan pengasuh utamanya (ibu). Tingkah laku bertentangan dan bermusuhan bisa diakibatkan oleh gangguan perlekatan. Banyak anakanak yang mengalami kehilangan pengasuh utamanya (ibunya) akibat terpisah secara psikis dari orangtuanya atau karena pengasuhnya yang kurang mampu memberikan pengasuhan yang memadai. Dipisahkan dari pengasuh utama dapat mengakibatkan masalah serius dengan merusak perlekatan primer, sekalipun pengasuh kedua cukup mampu. Mc Cartney dan Dearing (dalam Harditono, 2007:4) menyatakan bahwa pengalaman awal akan menggiring dan menentukan perilaku dan perasaan melalui internal working model. Adapun penjelasan mengenai konsep ini adalah “internal”; karena disimpan dalam pikiran; “working”: karena membimbing persepsi dan perilaku dan “model”: karena mencerminkan representasi konitif dari pengalaman dalam membina hubungan. Anak akan menyimpan
pengetahuannya mengenai suatu hubungan, khususnya pengetahun mengenai keamanan dan bahaya. Model ini selanjutnya akan menggiring mereka dalam berinteraksi dimasa yang akan datang. Interaksi interpersonal dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan gambaran mental yan dimiliki seorang anak. Model ini diasumsikan bekerja diluar pengalaman sadar (Mc Cartney dan Dearing, dalam Haditono,2007:5) pengetahuan anak didapatkannya dari interaksi dengan pengasuh, Anak yang memiliki pengasuh yang mencintai dan dapat memenuhi kebutuhannya akan mengembangkan model hubungan yang positif yang didasarkan pada rasa percaya (trust). Selanjutnya secara simultan anak akan mengembangkan model yan parallel dalam dirinya. Anak asuh dengan pengasuh yang mencintai akan memandang dirinya “berharga”. Model ini selanjutnya akan digeneralisasikan anak dari pengasuh pada orang lain, misalnya pada pengasuh lain dan teman sebaya. Anak asuh akan berpendapat bahwa pengasuh dan teman adalah orang yang dapat dipercaya. Sebaliknya anak yang memiliki pengasuh yang tidak menyenangkan akan mengembangkan kecurigaan (mistrust) dan tumbuh sebaai anak yang pencemas dan kurang mampu menjalin hubungan sosial. Menurut bowlby dalam Eliasa (2011:6) “Ada dua faktor yang dapat meningkatkan kestabilan internal working model, yaitu: 1).Familiar, dan 2).Dyadic Pattern, Familiar yaitu pola interaksi yang berulang, cenderung akan menjadi kebiasaan yang terjadi secara otomatis; sedangkan.Dyadic Pattern, pola timbal balik cenderung akan menubah pola individual karena harapan yang timbal pasangan untuk mengartikan perilaku
balik memerintahkan masing-masing pihak lainnya.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud tingkah laku lekat adalah beberapa bentuk perilaku yang dihasilkan dari usaha seseorang untuk
mempertahankan kedekatan dengan seseorang yang dianggap mampu memberikan perlindungan dari ancaman lingkungan terutama saat anak merasa takut, sakit, dan terancam, tujuannya adalah mendapat kenyamanan dari fiur lekat. Tingkah laku lekat berupa berbagai macam tingkah laku yang dilakukan anak untuk mencari, menambah dan
mempertahankan kedekatan serta
melakukan komunikasi dengan figur lekatnya. 2.2.4
Kesalahan Dalam Mengasuh. Lima Kesalahan Pola Asuh yang sering tak kita sadari pengasuh antara lain: 1).SMS tiada
henti; 2).Minta Anak Berbohong; 3).Bermuka Dua; 4).Tidak Sportif; 5).Melanggar Lalulintas (Ayahbunda,2011:1) SMS tiada henti;.saat anak minta ditemani bermain, mengajak bicara atau sekedar kangen minta dipeluk, pengasuh tidak memperdulikannya karena jari sibuk ber-SMS ria. Anak asuh jadi rewel dan mengganggu ingin merebut ponsel. Anda jengkel, memanggil pengasuh dan meminta pengasuh membawa balita menjauh. Anak belajar memahami bahwa kehadirannya tidak penting dan kemudian mengembangkan perilaku masa bodoh. Di usia selanjutnya, saat pengasuh membutuhkannya bisa-bisa ia tak peduli. Minta Anak asuh berbohong. Anak paham bahwa berbohong itu boleh. Sedikit demi sedikit ia mulai belajar berbohong, hingga kelak mahir mengelabui pengasuh. Begitupun dengan pengasuh yang bermuka Dua dan berpura-pura manis anak belajar sikap munafik, pura-pura baik supaya dianggap baik. Tidak Sportif menyaksikan kemenangan anak asuh dalam suatu yang membanggakan. Tapi ketika anak asuh kalah pengasuh berusaha menghibur hatinya dengan kata-kata yang salah, Anak belajar menyalahkan orang lain, tidak menerima kekalahan dan tidak punya cara lebih baik untuk menghibur diri selain menyalahkan. Melanggar lalu lintas dalam penelitian ini adalah peraturan dan tata tertib
pengasuh yang sering melanggar aturan pada saat antrian mandi, cuci tangan dll. Kalau anak sudah paham ia belajar bahwa aturan boleh dilanggar. Kesalahan yang perlu di hindari oleh pengasuh dalam ayahbunda (2011:1-2) yaitu: 1).Memikirkan yang akan dilakukan; 2).Terlibat dalam kehidupan anak. 3).Sesuaikan pengasuhan dengan usia anak; 4).Buat aturan; 5).Konsisten; 6).Tak melakukan kekerasan; 7).Hargai dan hormati anak. Pengasuh memikirkan apa yang akan dilakukan. Dan anak asuh akan memperhatikan pengasuhnya. pengasuh terlibat dalam kehidupan anak asuh. Memikirkan kembali dan mengatur perioritas apa yang dibutuhkan anak asuh. Terlibat dalam kehidupan anak. artinya pengasuh pengasuh menyesuaikan dengan usia anak asuh. Menyadari anak asuhnya terus bertambah, dan usia anak asuh menentukan perilaku positif anak asuh. Menetapkan aturan bila bermaksud membentuk perilaku positif anak asuh. Menetapkan aturan apa yang tidak boleh dilakukan anak asuh. Pengasuh konsisten terhadap aturan yang berlaku. Bila pengasuh menetapkan aturan untuk anak asuh, pengasuh harus mematuhi aturan yang di buat sendiri. Apabila pengasuh melanggar aturan, maka anak pun melakukannya. Pengasuh tidak memanjakan, bukan berarti tidak mencintai. Anak asuh butuh cinta bukan dimanjakan. Perilaku anak asuh yang di manjakan sama seperti perilaku anak asuh yang tak di cintai yaitu senang membuat keributan. Pengasuh sebaiknya tak melakukan kekerasan, baik fisik, mental maupun verbal. Hukuman fisik atau pelecehan secara verbal dari pengasuh akan membangun anak asuh menjadi sosok yang suka berkelahi. Pengasuh yang selalu menghargai dan hormati anak asuh akan di hargai dan di hormati anak asuh. Menurut Hurlock (dalam Kurnia, 2007:15) bahwa: “Manfaat ataupun kerugian bagi penyesuaian pribadi dan sosial dapat bersifat fisik dan/atau psikis sebagai berikut: 1)emosi
menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari;
2)emosi menyiapkan tubuh untuk
melakukan tindakan; 3)ketegangan emosi dapat mengganggu keterampilan motorik; 4)emosi merupakan suatu bentuk komunikasi; 5)emosi dapat mengganggu aktifitas mental; 6)emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial. 7)emosi mewarnai anak mmemandang kehidupan. 8)emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; 9)emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah; 10)emosi mempengaruhi suasana psikologis; dan 11)reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan. Emosi menambah rasa nikmat bagi pengalaman sehari-hari. Kenikmatan ini ditimbulkan oleh akibat yang menyenangkan. Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan. Ketegangan emosi dapat mengganggu keterampilan motorik. Emosi merupakan suatu bentuk komunikasi, yang dilakukan melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi. Emosi dapat mengganggu aktifitas mental. Emosi merupakan sumber penilaian diri dan sosial. Emosi mewarnai anak memandang kehidupan. Emosi baik yang menyenangkan maupun yang tidakdapat mempengaruhi interaksi sosial. Emosi memperlihatkan kesannya pada ekspresi wajah. Emosi mempengaruhi suasana psikologis, baik di rumah, di sekolah, atau di kelompok bermain. Reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan.