BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Jagung Kata “jagung” atau corn memiliki arti yang berbeda-beda tergantung dari
tiap Negara. Di Amerika Serikat jagung disebut dengan maize atau jagung india. Jagung di Inggirs berarti gandum, di Skotlandia dan Irlandia mengacu pada gandum (Lance and garren, 2002). Jagung merupakan anggota dari keluarga rumput (Gramineae) yang termasuk dalam 6 kelompok sereal (gandum(wheat), barley, gandum(oats), beras(rice), gandum hitam(rye) (AAK, 1998., Robinson, 2011).
Jagung merupakan tanaman semusim (annual), satu silklus hidupnya
diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif.
Gambar 1. Tanaman jagung (Zea Mays. L)
5
6
Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian (serelia) dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan bisnis orang-orang Eropa ke Amerika. Sekitar abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Orang Belanda menamakannya mais dan orang Inggris menamakannya corn (Budiman, 2008) 2.1.1 Taksonomi Tanaman Jagung Tanaman jagung
termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan
spesies Zea mays L. Menurut Purworno dan Rudi Hartono (2008) klasifikasi dan sistematika tanaman jagung adalah: Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae (tumbuh-tumbuhan) : Spermathophyta (tumbuhan berbiji) : Angiospermae (berbiji tertutup) : Monocotyledonenae (berkeping satu) : Graminae (rumput-rumputan) : Graminaceae : Zea : Zea Mays L.
2.1.2 Morfologi Tanaman Jagung Akar jagung terdiri atas tiga tipe akar yaitu akar seminal, akar adventif, dan akar udara. Akar seminal tumbuh dari radikula dan embrio. Akar adventif disebut juga akar tunjang. Akar ini tumbuh dari buku paling bawah, yaitu sekitar 4 cm di bawah permukaan tanah. Akar udara adalah akar yang keluar dari dua atau lebih buku terbawah dekat permukaan tanah (Budiman, 2008). Batang menyerupai bambu, berlubang, beruas-ruas, dan berwarna hijau. Tingginya antara 180-210 cm. Batang tanaman diselimuti oleh pelepah-pelepah
7
daun yang berwarna hijau tua. Daun jagung merupakan daun sempurna berbentuk memanjang dengan ujung meruncing, lurus dan tipis. Di antara pelepah terdapat ligula, tulang daun sejajar dengan tulang daun, permukaan daun ada yang licin berambut (Purworno dan Hartono, 2008). Bunga jantan dan bunga betina hidup dalam satu tanaman (monoecious). Bunga jantan berbentuk karangan bunga (inflorosence) yang terdapat di batang, sedangkan bunga betina berbentuk rambut yang terdapat di dalam ketiak daun ke6 atau ke-8 dari bunga jantan (Purworno dan Hartono, 2008). Biji tersusun rapi pada tongkol. Dalam satu tongkol terdapat 200-400 biji. Biji terdiri dari empat bagian yaitu : kulit luar (pericarp), endosperma, tudung biji(tin cap) dan embrio atau lembaga (Budiman, 2008).
Gambar 2. Morfologi tanaman jagung (Sumber : Robinson, 2011)
8
2.1.3 Manfaat Tanaman Jagung Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan hewan karena hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian jagung yang dapat dimanfaatkan adalah batang, daun, biji, tongkol dan rambut jagung. Batang dan daun muda digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan batang dan daun tua (setelah panen) digunakan sebagai pupuk hijau atau kompos (Budiman, 2008). Buah jagung muda dibuat sebagai sayuran, bergedel, bakwan dan sambel goreng sedangkan biji jagung tua sebagai pengganti nasi, marning, brondong, roti jagung, tepung, bihun, bahan campuran kopi bubuk, biskuit, kue kering, pakan ternak, bahan baku industri bir, industri farmasi, dextrin, perekat, industry tekstil dan bisa juga dibuat menjadi roti jagung (Budiman, 2008; Purworno dan Hartono, 2008). Bagian tongkol dan rambut jagung berkhasiat sebagai obat. Berikut adalah beberapa jenis penyakit yang dapat ditanggulangi antara lain: melancarkan air seni, diabetes, diare, batu empedu, batu ginjal, busung air pada radang ginjal, hepatitis, kencing manis, radang kandung empedu, sirosis dan tekanan darah tinggi (Budiman, 2008). 2.1.4 Kandungan Kimia Tanaman Jagung Biji jagung kaya akan karbohidrat, sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Biji jagung terdiri dari empat bagian utama, yaitu: kulit luar (perikrap) 5%, lembaga 12%, endosperma 82% dan tudung biji (tin cap) 1%. Kulit luar merupakan bagian yang banyak mengandung serat kasar atau karbohidrat yang tidak larut (non pati), lilin dan beberapa mineral. Lembaga banyak mengandung
9
minyak, total kandungan minyak dari setiap biji jagung adalah 4%. Sedangkan untuk bagian tudung biji dan endosperma banyak mengandung pati. Pati dalam tudung biji adalah pati yang bebas sedangkan pati pada endosperma terikat kuat dengan matriks protein (gluten). Tongkol jagung mengandung air 7,68%, serat 38,99%, selulosa 19,49%, 12,4 % xylan, dan lignin 12,4% (Budiman, 2009). Sedangkan untuk rambut jagung mengandung flavonoid, alkaloid, fenol, steroid, glikosida karbohidrat, terpenoid, tanin, protein, mineral, garam, karbohidrat dan komponen senyawa volatil (Bhaigyabati dkk., 2011., Sholihah dkk., 2012). Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada rambut jagung (stigma maydis) sangat berperan sebagai antioksidan alami. Senyawa metabolit sekunder tersebut adalah senyawa flavonoid atau fenolik (Sholihah dkk., 2012). Selengkapnya kandungan senyawa kimia rambut jagung terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan senyawa kimia rambut jagung No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 1 16
Senyawa kimia 2 Alkaloid Aluminium ASH Benzaldehyde Beta Carotene Beta sitosterol Calsium Carbohydrate Carvacrol Chromium Cobalt Daucosterol Ehyl Phenylacetate Fat Potassium 2 Protein
Lo(ppm) 3
Hi(ppm) 4 500 213 33.000 1.000
144
250.000
3
1.300 2.520 825.000 216 13 64 440 740.000 43.000 12.200 4 99.000
10
17 18 19 20 21 22 23
Riboflavin Saponin Selenium Sodium Thimin Vitamin C Water
1,5 32.000 5,7 130 2,1 11 620.000 Sumber : Phytochemical and ethnobotanical database, 2010 23.000
Bhaigyabati dkk., (2011) melaporkan bahwa rambut jagung memiliki potensial sebagai antioksidan dan telah digunakan sebagai diuretik, antilithiatic, uricosuric. Hal ini digunakan untuk pengobatan edema serta untuk sititis, asam urat, batu ginjal, nefritis dan prostatitis. Di beberapa Negara seperti China, Turki, Amerika dan Francis menggunakan rambut jagung sebagai obat tradisional (Hasanudin dkk., 2012). 2.2
Senyawa Fitokimia Senyawa Fitokimia (fito= tumbuhan) adalah zat kimia alami yang terdapat
di dalam tumbuhan yang memberikan citra rasa, aroma, ataupun warna khas pada tumbuhan tersebut. Beberapa khasiat senyawa fitokimia adalah sebagai antikanker, antimikroba, antioksidan, antitrombotik, meningkatkan sistem kekebalan, antiinflamasi, mengatur tekanan darah, menurunkan kolesterol, serta mengatur kadar gula darah (Astawan dan Kasih, 2008). Senyawa fitokimia berperan dalam menjaga kesehatan. Senyawa-senyawa tersebut saling melengkapi dalam mekanisme kerja yang terjadi dalam tubuh, termasuk di dalamnya adalah antioksidan, detoksifikasi oleh enzim, stimulasi dari sistem imun, metabolisme hormon dan antibakteri serta antivirus (Hamburger dan Hastettmaun, 1991 dalam Sudirman dkk., 2011).
11
Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat pada tumbuhan, yaitu golongan fenolik, flavonoid, alkaloid, terpenoid, steroid dan saponin. 1) Fenolik Istilah senyawa fenol meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksi. Fenolik merupakan metabolit sekunder yang tersebar luas dalam tumbuhan. Fenolik dapat berupa fenol sederhana, antrakinon, asam fenolat, kumarin, flavonoid, lignin dan tanin (Harborne, 1987). Setiap tumbuhan memiliki struktur komponen fenolik yang berbeda. Ada komponen fenolik yang memiliki gugus -OH banyak dan ada pula yang memiliki gugus -OH yang sedikit (Nur dan Astawan, 2011). Senyawa fenolik telah diketahui memiliki hubungan yang kuat terhadap aktivitas antioksidan ( Sholihah., 2012, Ukieyanna dkk., 2012). Gugus -OH dari senyawa fenolik berperan aktif dalam meredam efek dari radikal bebas dengan cara mendonorkan atom H dan berikatan cepat dengan radikal bebas (Kusuma dan Andrawulan, 2012). OH
Gambar 3. Struktur kimia komponen fenolik 2) Flavonoid Flavonoid adalah bagian dari senyawa fenolik yang terdapat pada pigmen tumbuh-tumbuhan. Kesehatan manusia sangat tergantung pada flavonoid sebagai antioksidan untuk mencegah kanker. Sifat antioksidan flavonoid berasal dari kemampuan mentransfer sebuah elektron ke senyawa radikal bebas (Kusuma dan
12
Andrawulan, 2012). Manfaat utama flavonoid adalah untuk melindungi struktur sel, membantu memaksimalkan manfaat vitamin C, mencegah keropos tulang, sebagai antibiotik dan anti inflamasi (Winarsi, 2007). Senyawa flavonoid mempunyai ikatan gula yang disebut sebagai glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis. Kelompok senyawa ini memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Selain itu, mempunyai sifat antibakteri dan antiviral (Barus, 2009).
A
O C
B
Gambar 4. Struktur senyawa dasar flavonoid 3) Alkaloid Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid adalah senyawa kimia pada tumbuhan yang merupakan hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Harborne, 1984). Hampir semua alkaloida yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Misalnya kuinin, morfin dan stiknin adalah alkaloid yang terkenal dan mempunyai efek fisiologis dan psikologis (Lenny, 2006). Senyawa alkaloid terutama indol, memiliki kemampuan menghentikan reaksi rantai radikal bebas secara efisien. Senyawa radikal turunan dari senyawa amina ini memiliki
13
tahap terminasi yang sangat lama. Beberapa senyawa alkaloid yang bersifat sebagai antioksidan adalah quinolone, kafein yang dapat bertindak sebagai peredam radikal hidroksil, melatonin yang berperan menjaga sel dari pengaruh radiasi toksisitas obat-obatan (Yuhernita dan Juniarti, 2011). R N H Indol
Gambar 5. Struktur senyawa golongan alkaloid 4) Terpenoid Kata terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tanaman, dan istilah ini digunakan untuk menunjukan bahwa secara biosintesis semua senyawa tanaman itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)−CH=CH 2 dan kerangka karbonnya dibangun oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5 ini. Secara umum terpenoid diklasifikasikan menjadi monoterpen (C10), seskuiterpen (C15), diterpen (C20), triterpen (C30) dan tetraterpen (C40). Kebanyakan terpenoid alam mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil, karbonil dll) (Harborne, 1987). Terpenoid, juga disebut sebagai terpene, adalah kelompok terbesar dari senyawa alami. Banyak terpen memiliki aktivitas biologis dan digunakan untuk pengobatan penyakit manusia. Terpenoid memiliki aktivitas biologis untuk melawan kanker, malaria, peradangan, dan berbagai penyakit menular (virus dan bakteri) (Wang dkk.,2005).
14
OH Nerol
Gambar 6. Struktur senyawa golongan terpenoid 5) Steroid Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa dan pengelompokan didasarkan pada efek fisiologis yang diberikan oleh masing-masing kelompok. Kelompok-kelompok itu adalah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, perbedaan antara berbagai kelompok steroid ditentukan oleh jenis subtituen R1, R2 dan R3. Sedangkan, perbedaan antara senyawa yang satu dengan yang lain dari suatu kelompok tertentu ditentukan oleh panjang rantai karbon R1, gugus fungsi yang terdapat pada subtituen R1, R2 dan R3, jumlah serta posisi gugus fungsi oksigen dan ikatan rangkap, dan konfigurasi dari pusat-pusat asimetris pada kerangka dasar karbon tersebut (Harborne, 1984). R2 R2 R1
Gambar 7. Kerangka dasar karbon Steroid 2.3
Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi juga dapat diartikan sebagai proses penarikan komponen atau zat aktif menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang
15
mengandung komponen bioaktif (Harborne 1987). Dalam proses ekstraksi ini, senyawa aktif akan terlarut oleh zat penyari yang sesuai dengan sifat kepolarannya (Ukieyanna dkk., 2012). Metode ekstraksi yang sering digunakan di antaranya adalah ekstraksi secara maserasi. Ekstraksi secara maserasi merupakan suatu cara penyarian paling sederhana yang dilakukan dengan cara merendam sampel dalam cairan penyari. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk halus) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan dan terlindung dari cahaya matahari langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda antara 4-10 hari. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi sempurna (absolute). Semakin besar perbandingan cairan pengekstraksi terhadap simplisia, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Khopkar, 2010). 2.4
Radikal Bebas Para ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah satu
bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh dan dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya, ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti
16
anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas. Misalnya. Hidrogen peroksida (H2O2), ozon (O3), dan lainlain. Kedua kelompok senyawa tersebut diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif atau Reactive Oxygen Species (ROS) (Winarsi, 2007). Istilah radikal bebas merujuk ke atom atau gugus atom apa saja yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan. Karena jumlah elektron ganjil, maka tidak semua elektron dapat berpasangan. Meskipun suatu radikal bebas tidak bermuatan positif atau negatif, spesies semacam ini sangat reaktif karena adanya elektron yang tak berpasangan. Suatu radikal bebas biasanya dijumpai sebagai zat antara yang tak dapat diisolasi, berusia pendek, sangat reaktif, dan berenergi tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1998). Radikal bebas memiliki reaktivitas sangat tinggi. Hal ini ditunjukan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Bila senyawa radikal baru tersebut bertemu molekul lain, akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reactions) (Winarsi, 2007). Semakin besar ukuran biomolekul yang mengalami kerusakan, semakin parah akibatnya. Kerusakan sel akan berdampak negatif pada struktur dan fungsinya. Secara biologis senyawa biomolekul memiliki fungsi yang sangat penting. Oleh sebab itu, adanya kerusakan struktur dan fungsi sel akan sangat mengganggu sistem kerja organ secara umum. Senyawa radikal bebas akan segera mungkin menyerang komponen seluler yang berada di sekelilingnya, baik berupa
17
lipid, lipoprotein, protein, karbohidrat, RNA, maupun DNA. Akibat lebih jauh dari reaktivitas radikal bebas adalah terjadinya kerusakan struktur maupun fungsi sel (Winarsi, 2007). Tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan rancidity oxidative atau dikenal dengan oksidasi lemak. Proses oksidasi terjadi dalam satu tahap reaksi yaitu tahap inisiasi, diikuti tahap propagasi dan tahap terminasi. Inisiasi
: RH
Propagasi : R
R + O2
ROO Terminasi : ROO ROO R
ROO
+ RH + +R
+ R
+ H+
ROOH + R
OOR
ROOR
+ ROO
ROOR R-R
Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hidrogen. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal. Pada tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi. Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak baru. Reaksi seperti ini akan berlanjut terus dan baru akan berhenti apabila reaktivitasnya diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan (Winarsi, 2007). 2.5
Antioksidan Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi
elektron (elektron donor) atau reduktan. Secara biologis, pengertian antioksidan
18
adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh, antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat (Winarsi, 2007). 2.5.1 Peranan Antioksidan Peranan antioksidan sangat penting dalam meredam efek radikal bebas yang berkaitan erat dengan terjadinya penyakit regeneratif seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes dan kanker yang didasari oleh proses biokimiawi dalam tubuh (Juniarti dkk., 2009). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Hal tersebut dapat menghambat kerusakan sel. Berkaitan dengan reaksinya di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara berlanjut dibentuk sendiri oleh tubuh. Jika jumlah senyawa oksigen reaktif ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut dengan stress oksidatif (Winarsi, 2007). Antioksidan sangat berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan, yaitu ketengikan, perubahan gizi, perubahan warna dan aroma serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi. Proses oksidasi tersebut dapat dihambat oleh antioksidan (Hernani dan Raharjo, 2005).
19
2.5.2 Sumber Antioksidan Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A dan β-karoten),
dan senyawa lain (misalnya
flavonoid, albumin, bilirubin,
seruloplasmin, dan lain-lain) (Winarsi, 2007). Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan alami merupakan antioksidan yang bersumber dari hasil ekstraksi bahan-bahan alami, sedangkan antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia. Antioksidan alami saat ini lebih dipilih karena lebih aman penggunaannya dibandingkan dengan antioksidan sintetik (Andrawulan dkk., 1996). Pada saat ini penggunaan bahan pengawet dan Antioksidan sintetik tidak direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM) karena diduga dapat menimbulkan penyakit kanker (carcinogen agent). Antioksidan sintetik tersebut adalah BHA (Butilated Hydroxyanisole), BHT (Butylated Hydroxytoluene) dan TBHQ (Tertier Butylated Hydroxyanisole) yang biasanya digunakan pada makanan seperti tahu, mie, bakso, ikan, daging serta minyak/lemak (Barus, 2009). Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, yaitu pada kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji dan serbuk sari. Senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, yaitu asam-asam amino, asam askorbat, golongan fenolik dan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tanin, peptida, melanoidin, produk-produk reduksi dan asam-asam organik lain (Pratt, 1992 dalam Sudirman dkk., 2011).
20
2.5.3 Mekanisme Kerja Antioksidan Mekanisme kerja antioksidan pada umumnya dapat dipahami setelah mekanisme proses oksidasi lemak dalam bahan makanan atau pada sistem biologis dipahami dengan baik. Oksidasi lemak terdiri dari 3 tahapan utama, yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu: 1). Pelepasan hidrogen dari antioksidan, 2). Pelepasan elektron dari antioksidan, 3). Adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, 4). Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Winarti, 2010) Prinsip kerja dari antioksidan dalam menghambat otooksidasi pada lemak dapat dilihat sebagai berikut: RH
+
Asam lemak tak jenuh R Radikal bebas
O2 Oksigen
+
O2 Oksigen
→
R +
OOH
Radikal bebas →
ROO
Peroksida aktif
Oksigen bebas di udara akan mengoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak yang tidak jenuh sehingga akan terbentuk radikal bebas. Radikal bebas ini kemudian akan beraksi dengan oksigen sehingga akan menghasilkan peroksida aktif. Senyawa peroksida dalam tubuh dapat merusak asam lemak tak jenuh. Akibatnya, dinding sel menjadi rapuh. Senyawa oksigen reaktif ini juga mampu
21
merusak bagian dalam pembuluh darah sehingga meningkatkan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis (Winarsi, 2007). Apabila ditambahkan suatu antioksidan, maka peroksida aktif akan bereaksi dengan antioksidan tersebut. Sehingga pembentukan radikal bebas dapat dihentikan (Winarti, 2010). 2.5.4 Uji Aktivitas Antioksidan Berbagai macam metode untuk pengukuran aktivitas antioksidan telah banyak digunakan untuk melihat dan membandingkan aktivitas antioksidan pada berbagai macam sumber antioksidan. Beberapa metode pengukuran aktivitas antioksidan yang dapat digunakan antara lain metode beta karoten, metode linoleat, metode terkonjugasi, metode tiosianat, metode rancimat dan metode DPPH (Nur dan Astawan, 2011). Metode DPPH merupakan metode yang sering digunakan untuk penentuan aktivitas antioksidan dengan menggunakan radikal bebas DPPH yang stabil (Sudirman dkk., 2011). DPPH adalah radikal bebas yang stabil dalam larutan berair atau metanol serta memiliki serapan yang kuat pada panjang gelombang sekitar 517 nm. Radikal bebas DPPH bersifat peka terhadap cahaya, oksigen dan pH, tetapi bersifat stabil dalam bentuk radikal sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran antioksidan (Molyneux, 2003). Radikal bebas DPPH dapat menangkap atom hidrogen dari komponen aktif ekstrak yang dicampurkan kemudian bereaksi menjadi bentuk tereduksinya yaitu yang terlihat pada berikut.
22
NO2 AH + O2N
NO2
N
N
A
NO2
(a) Gambar 8.
+ O2 N
N
NH NO2
(b)
Struktur DPPH: (a) DPPH bentuk radikal, (b) DPPH bentuk tereduksi. (Sumber : Molyneux, 2003)
Semakin tinggi kemampuan suatu senyawa antioksidan dalam meredam radikal DPPH, maka warna yang dihasilkan akan semakin kuning dan mendekati jernih. Hal ini ditandai dengan semakin kecilnya nilai absorbansi yang terukur pada spektrofotometer (Nur dan Astawan, 2011). Parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil uji aktivitas antioksidan dengan peredaman radikal DPPH adalah inhibition concentration (IC50) dan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat aktivitas radikal sebesar 50% (Molyneux, 2003), sedangkan nilai AEAC digunakan untuk membandingkan sampel dengan vitamin C (sebagai antioksidan standar) . Nilai AEAC merupakan nilai kapasitas atau antioksidan bahan dalam mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan peredaman radikal bebas oleh asam askorbat atau vitamin C (Kusuma dkk., 2012). 2.6
Spektrofotometri UV-VIS Spektrofotometri ini merupakan gabungan antara spektrofotometer ultra
violet dan visible. Menggunakan dua buah sumber cahaya berbeda. Kemudahan metode ini adalah dapat digunakan baik untuk sampel berwarna juga untuk sampel
23
tak berwarna. Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sementara sinar tampak mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Warna sinar tampak dapat dihubungkan dengan panjang gelombangnya. Sinar putih mengandung radiasi pada semua panjang gelombang di daerah sinar tampak. Sinar pada panjang gelombang tunggal (radiasi monokromatik) dapat dipilih dari sinar putih dengan menggunakan prisma (monokromator) (Gandjar dan Rohman, 2008). Tabel 2. Hubungan antara warna dengan panjang gelombang sinar tampak Panjang gelombang
Warna yang diserap
400-435 nm 450-480 nm 480-490 nm 490-500 nm 500-560 nm 560-580 nm 580-595 nm 595-610 nm 610-750 nm
Ungu (lembayung) Biru Biru kehijauan Hijau kebiruan Hijau Hijau kekuningan Kuning Orange Merah
Warna yang diamati/warna komplementer Hijau kekuningan Kuning Orange Merah Merah anggur Ungu (lembayung) Biru Biru kekuningan Hijau kebiruan
Jika suatu materi berinteraksi dengan sinar elektromagnetik maka akan terjadi perpindahan elektron dalam atom atau molekul yang setara besarnya dengan energi radiasi sinar yang berinteraksi. Elektron yang akan dipindahkan (ditransisikan) ke tingkat energi yang lebih tinggi (tingkat eksitasi) tergantung pada senyawa jenis penyerap (kromofor penyerap). Semakin tinggi energi yang diperlukan oleh suatu atom atau molekul untuk mengalami eksitasi maka panjang gelombang
yang
diserap
akan
semakin
pendek.
Komponen
utama
spektrofotometer adalah sinar tampak, monokromator, sel penyerap (kuvet) dan detektor (Khopkar, 2010).
24
2.7
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “Rambut jagung (Zea mays L.) yang tumbuh di daerah Gorontalo mempunyai aktivitas antioksidan”.