BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia maya. Paradigma bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu pertimbangan eksitensial atau epistimologi yang panjang (Mulyana, 2004:9).Paradigma yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruksionis. Ilmu sosial sebagai suatu analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara serta mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003:3). Salah satu sifat dasar dari penelitian berparadigma konstruksionis adalah pandangan yang menyatakan peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan, etika, moral atau keberpihakan peneliti mejadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari proses penelitian. Oleh karena itu, bisa jadi objek penelitian yang serupa menghasilkan temuan yang berbeda pada penelitiyang berbeda. Peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula (Eriyanto, 2002: 33-34). Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Dalam pandangan konstruksionis khalayak dipandang bukanlah subjek yang pasif. Ia adalah subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca.Dalam konstruksi sosial media massa, paradigma konstruksionis memusatkan perhatian kepada gambaran
10
mengenai sebuah peristiwa politik, personalitas, konstruksi melalui mana realitas politik dibentuk dan dibuahi. Semua individu, lembaga atau kelompok mempunyai peran yang sama dalam menafsirkan dan mengkonstruksi peristiwa politik (Eriyanto dalam Bungin, 2003: 155). Dalam konteks berita, sebuah teks dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa saja mempunyai pandangan dan pemaknaan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2001: 17). Berhubungan dengan konstruksi realitas Sudibyo (2006: 56) mengatakan bahwa media bukanlah ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakuan yang sama danseimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan dan berita dilihat. Eriyanto (2002: 24) menambahkan bahwa ada tiga tingkatan bagaimana media mengkonstruksi realitas yaitu: pertama, media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Dalam memaknai realitas media memahami dan menyetujui atau tidak fakta yang sedang terjadi. Hasilnya dapat dilihat dari bagaimana media mendefinisikan peristiwa tersebut. Kedua, media memberikan simbol-simbol tertentu terhadap peristiwa. Pemberian simbol tersebut akan menentukan bagaimana peristiwa dipahami, sebagai yang dilihat sebagai pahlawan dan sebagai
11
musuh. Simbol tersebut biasanya berupa gambar atau foto, penggunaan kata dan bahasa. Ketiga, agenda setting media.Media juga menentukan apakah peritiwa tertentu ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa apa saja yang mendapat perhatian khusus, sehingga perhatian masyarakat tertuju pada peristiwa tersebut. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada dan menjadi bahan dari berita. Fakta/realitas pada dasarnya dikonstruksi. Karena fakta itu diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas bergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim, realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi yang membentuk dan mengkreasikan fakta yang berbeda-beda ketika ia dilihat dan dipahami dengan cara yang berbeda (Eriyanto, 2002: 20-21). Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksikan realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Di sini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2002: 23). Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Dalam pandangan kaum konstruksionis, berita itu ibaratnya sebagai drama. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Berita adalah hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai
12
dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat bergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas.
2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu Beberapa kajian sejenis terdahulu pernah diteliti terkait topik analisis framing, framing politisi perempuan dan framing di media online yang ikut menjadi kajian dalam penelitian ini sehingga dapat menjadi bahan rujukan dan referensi bagi peneliti. Adapun penelitian terdahulu tersebut adalah: Penelitian ini merupakan sebuah tesis Kristanto Hartadi mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia dengan judul “Analisis Framing Studi Kasus Kompas dan Media Indonesia dalam Liputan Kerusuhan di Temanggung 8 Februari 2011” Bertujuan untuk menelaah bagaimana dua surat kabar nasional Kompas dan Media Indonesia membuat framing dalam liputan mereka atas kasus kerusuhan di Kota Temanggung, pada 8 Februari 2011. Masyarakat terhenyak ketika pada Februari 2011 lalu secara berturut-turut terjadi dua aksi kekerasan bernuansa agama, yakni penyerangan Jamaah Ahmadiah di kampung Cikeusik, Pandeglang, yang menewaskan tiga orang (6 Februari 2011) dan dua hari kemudian disusul dengan kerusuhan di Pengadilan Negeri Temanggung yang merembet pada perusakan tiga buah gedung gereja dan sekolah Kristen di kota itu (8 Februari 2011). Kedua kejadian yang nyaris serentak itu menjadi berita utama di berbagai surat kabar dan pemberitaan di
13
media elektronik dan langsung menuai banyak reaksi kemarahan dari berbagai elemen masyarakat. Pada umumnya mereka menentang aksi-aksi kekerasan atas nama agama dan di sejumlah kalangan makin menguat penilaian bahwa negara gagal melindungi warga negaranya. Dalam penelitian ini ingin dibuktikan bahwa meski para pengelola media massa arus utama di Indonesia paham terhadap konteks pluralism dan dalam hal ini gangguan dalam hubungan antara umat beragama dan prinsip-prinsip kebebasan beragama di masyarakat dan pentingnya melindungi nilai-nilai itu namun pada pemberitaan yang dimunculkan cenderung kurang memunculkan konteks yang tepat sehingga kalau yang diharapkan adalah kurang terbentuknya pendapat umum dan tekanan terhadap pemerintah, mungkin itu akan sulit dicapai. Juga ingin digali faktor-faktor apakah yang membuat media massa mainstream cenderung meliput secara tidak tuntas mulai dari awal sampai akhir sebuah peristiwa konflik. Obyek penelitian adalah peliputan dua surat kabar nasional yakni Kompas dan Media Indonesia. Terhadap kasus kerusuhan di Temanggung mulai dari pecahnya kerusuhan pada 7 Februari 2011 sampai pada provokator kerusuhan diadili dan divonis pada Juni 2011. Kedua surat kabar nasional tersebut dikenal sekuler dan tidak condong ke satu ideologi atau agama tertentu. Dalam penelitian ini peneliti sengaja tidak mengontraskan dengan harian nasional lain seperti Republika misalnya yang jelas mempunyai mindset Islam dan cenderung konservatif. Dengan menggunakan metode analisis framing untuk membuktikan bahwa meski kedua surat kabar melancarkan framing yang mendesak agar
14
melindungi warna negara dan kaum minoritas dari kekerasan atas nama agama dan mendesak pembubaran organisasi masyarakat anarkistis namun pada prakteknya proses itu tidak tuntas, sehingga efek yang diharapkan juga tidak terlalu kuat. Penelitian terdahulu selanjutnya, berjudul “Analisis Framing Pemberitaan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUKDIY)”. Penelitian ini merupakan sebuah tesis Noor Ifan mahasiswa Universitas Diponegoro. Gencarnya pemberitaan RUUK-DIY pada harian Umum Kompas Baik dalam jumlah berita maupun tulisan tajuk rencana mengundang pertanyaan serius yang perlu dikritisi. Karena harian Kompas yang berskala nasional tidak mudah dipahami bila justru berpihak terhadap daerah sementara di daerah setempat sudah ada koran lokal yang hegemonik kekuasaan lokal. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana Harian Umum Kompas melakukan pembingkaian terhadap berita RUUK-DIY dan bagaimana politik pemberitaan Kompas terhadap wacana RUUK-DIY. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif kritis untuk berusaha memahami politik pemberitaan dibalik wacana RUUK-DIY pada harian Kompas. Diawali dengan menggunakan paradigma konstruktivis dalam analisis teks yakni framing menurut Gamson dan Modigliani dilanjutkandengan analisis wacana kritis diharapkan dapat memperoleh jawaban di tingkat teks/mikro, tingkat meso dan makro sosio budaya. Melalui analisis framing Gamson dan Modigliani diperoleh fakta keberpihakan harian umum Kompas terhadap warga Yogyakarta
15
yang menginginkan penetapan dalam suksesi kepada daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Koran Kompas memiliki kredibilitas dan idealisme yang tinggi, hanya sedikit media di Indonesia mempertaruhkan reputasinya dalam pemihakan terhadap RUUK-DIY. Dengan demikian pasti memiliki alasan kuat dalam pemihakan ini. Dari hasil penelitian wawancara, penelitian naskah pemberitaan, maupun tajuk rencana harian ini diperoleh hasil: Kompas memiliki komitmen kebangsaan yang sangat kuat terhadap persoalan kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan. Dengan demikian persoalan RUUK-DIY Kompas melihat saat ini bukan merupakan prioritas persoalan yang harus segera ditangani. Di lain hal, Kompas memiliki kepercayaan kuat terhadap kecerdasan masyarakat Yogyakarta dalam menyelesaikan persoalannya sendiri. Dalam hal penetapan maupun keistimewaan Yogyakarta, terbukti sudah 66 tahun tidak ada persoalan urgen baik dalam skala kedaerahan maupun nasional. Penelitian terdahulu selanjutnya, berjudul “Konstruksi Realitas Perempuan di surat kabar nasional: suatu analisis framing isu kesetaraan jender pada rubrik Swara Harian Kompas dalam Perspektif Konstruktivisme” oleh Ace Sriati Rachman mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Permasalahan yang dikaji adalah : "Bagaimanakah konstruksi realitas tentang isu-isu kesetaraan jender ditampilkan dalam rubrik Swara di harian umum Kompas sepanjang tahun 2003". Tujuan penelitiannya adalah : (1) Menganalisis bingkai pemberitaan tentang isu-isu kesetaraan jender yang ditampilkan dalam rubrik Swara, Kompas sepanjang tahun 2003;(2) Melihat kecenderungan pemberitaan isu-isu kesetaraan jender, dalam hal
16
ini aspek yang dilihatadalah untuk mengungkapkan ideologi jender yang dominan ditampilkan para penulis dalam tulisan dirubrik Swara, Kompas. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis kualitatif, sedangkan perspektif metodologi penelitian ini adalah perspektif konstruktivisme. Sementara itu, metode analisis penelitiannya adalah analisis bingkai (framing analisys) dengan model analisis framing dari Gamson dan Modigliani.Perangkatperangkat framing yang dianalisis pada model ini meliputi perangkat pembingkai (Framing Devices) dan perangkat penalaran (Reasoning Devices). Perangkat pada Framing Devices terdiri dari metaphor, catchphrases, exemplar, depiction dan visual image. Sedangkan perangkat penalaran yangberfungsi untuk menunjang perangkat-perangkat framing yang dipakai dalam tulisan tersebut terdiridari roots, appeals to principle dan consequences. Satuan analisisnya adalah artikel isu kesetaraanjender dalam Swara sepanjang tahun 2003, yang masing-masing berjudul; (1) Merefleksikan Gerakan yang Sedang dan Terus Berproses; (2) Mengajarkan Kesetaraan Jender, (3) Ketidakadilan Jender,Kesetaraan Jender dan Pengarusutamaan Jender, (4) Membicarakan Feminisme; (5) Upaya yang Tak Kenal Lelah untuk Keadaan yang Lebih Adil; (6) Kesetaraan Jender Menentukan Pencapaian MDG; (7) Perempuan, Lingkungan dan Globalisasi; (8) Mempertanyakan RUU yang Bias Jender (9) Istri yang Kehilangan Nama.
17
Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini perspektif konstruktivisme. Teori konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann, teori dari Shoemaker dan Reese yang menyatakan ada faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal yang mempengaruhi isi media (Hierarchy of Influence), teori Agenda Setting dan teori Feminis merupakan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pertama, keseluruhan artikel tentang kesetaraan jender yang berjumlah 9 (Sembilan) buah yang ditampilkan Swara selama tahun 2003, dibingkai Swara sebagai; "Kesetaraan Jender Perjuangan Panjang yang membutuhkan kesadaran Perempuan dan Masyarakat, sertaIntervensi Negara". Kedua, Kecenderungan ideologi jender yang paling dominan adalah feminis liberal, meskipun ada beberapa artikel yang cenderung meyiratkan ideologi feminisme sosialis. Bagi studi mendatang, untuk melihat konstruksi realitas perempuan yang berkaitan dengan isu kesetaraan jender di media massa secara metodologis direkomendasikan menggunakan analisis wacana kritis. Asumsinya adalah karena analisis wacana kritis dengan analisis yang holistik (bukan hanya pada level teks) diharapkan dapat mengungkap realitas perempuan beserta aspek-aspek yang tersembunyi yang mempengaruhi penyajian tulisan secara lebih tajam dan mendalam. Penelitian terdahulu selanjutnya, berjudul “Analisis framing pemberitaan surat kabar Lampung Post dan Radar Lampung dalam pemilihan Gubernur Lampung periode 2009-2014” oleh Toni Wijaya, mahasiswa Universitas Gadja Mada. Latar belakang penelitian ini adalah pemberitaan di media masa lokal
18
Lampung berkaitan dengan pemilihan Gubernur Lampung periode 2009-2014. Media masa sebagai saluran yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang banyak dan dapat menciptakan opini publik, menjadi alasan politikus dan partai politik untuk terus mencoba membangun hubungan baik dengan media massa. Namun jika media massa tidak mampu menjaga jarak yang berlandaskan profesionalisme dengan pemangku kepentingan politik maka akan menimbulkan efek buruk bagi tujuan jurnalisme yang mulia. Tujuan penelitian ini adalah, pertama untuk mengetahui bagaimana media masa lokal mengkonstruksi pemberitaan pemilihan Gubernur Lampung periode 2009-2014, media massa lokal itu adalah Lampung Post dan Radar Lampung. Alasan dipilihnya Lampung Post dan Radar Lampung, adalah karena kedua surat kabar ini adalah surat kabar yang paling populer di Lampung berdasarkan jumlah pembaca dan penjualan. Kedua, untuk membandingkan framing surat kabar Lampung Post dan Radar Lampung. Data penelitian dikumpulkan dari periode pemberitaan bulan Januari sampai Maret 2008. Sampel yang didapatkan sebanyak 115 berita terbagi atas 69 sampel untuk Lampung Post dan 46 sampel untuk Radar Lampung. Sampel dianalisis dengan menggunakan model framing Gamson dan Modigliani, model framing tersebut digunakan untuk menganalisis berita dengan dua perangkat yaitu framing devices dan reasoning devices. Hasil penelitian menunjukkan berita tentang calon Gubernur dan Partai Politik mendominasi berita di Lampung Post dan Radar Lampung. Framing pro calon di Lampung Post secara konstan memiliki kecenderungan pada beberapa orang tokoh. Sedangkan framing berita pro partai di Lampung Post fokus pada
19
apa yang mereka sebut koalisi partai tengah. Framing berita di Radar Lampung tidak menunjukkan kecenderungan pada salah satu calon gubernur. Namun untuk berita pro partai, koalisi partai tengah mendapat penekanan berita tetapi tidak sekuat Lampung Post.
2. 3 Framing Media: Analisis Framing Gamson dan Modigliani Gagasan framing pertama kali diperkenalkan oleh Beterson tahun 1955, awalnya sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lalu dikembangkan oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2007: 161-162). Menurut Erving Goffman, analisis framing terdiri dari bingkai kerja natural (natural framework) yaitu peristiwa alam yang tidak terduga yang harus bisa diatasi oleh manusia, dan bingkai kerja sosial (social framework) yaitu hal yang dapat dikontrol yang dibimbing oleh kecerdasan manusia (Morissan, 2013: 123). Kedua bingkai tersebut saling berhubungan karena bingkai kerja sosial pada dasarnya dipengaruhi oleh bingkai kerja natural. Secara sosiologis konsep frame analysis
memelihara
kelangsungan
kebiasaan
kita
mengklasifikasi,
mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman-pengalaman hidup (Siahaan,2001:76-77). Skema interpretasi itu memungkinkan individu dapat
20
melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi dan memberi label terhadap peristiwaperistiwa serta informasi. Framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu lain serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana. Penempatan yang mencolok (menempatkan di headline), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan
orang
atau
peristiwa
yang
diberitakan.Entman
mengatakan bahwa penonjolan didefinisikan sebagai suatu informasi yang lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan. Bagaimanapun tingkat penonjolan teks dapat sangat tinggi bila teks itu sejalan dengan skema sistem keyakinan penerima. Skema serta konsep-konsep tersebut erat hubungannya dengan kategori, skrip atau stereotipe yang merupakan kumpulan ide di dalam mental yang memberi pedoman seseorang untuk memproses informasi. Karena penonjolan merupakan sebuah produk interaksi antara teks dan penerima, terhadap pemikiran khalayak (Siahaan, 2001:78-79). Gamson berpendapat bahwa wacana media merupakan elemen penting dalam memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu maupun peristiwa. Oleh karena itu pendapat umum tidak cukup hanya didasarkan pada data survei khalayak. Namun diperlukan adanya hubungan dan perbandingan bagaimana media mengemas serta menyajikan suatu isu di dalam khalayak itu sendiri (Eriyanto, 2001:217). Gamson bekerja sama dengan Modigliani melakukan penelitian tentang pendapat dan wacana media mengenai tenaga nuklir pada tahun 1945-1980
21
(Eriyanto, 2001: 217-218). Dalam pandangan keduanya, wacana media meneguhkan bagaimana publik mengerti dan memahami isu atau persitiwa yang muncul. Asumsinya media adalah salah satu sumber utama bagaimana publik atau khalayak mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai peristiwa-peristiwa publik. Dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modigliani frame dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Frame merupakan inti sebuah unit besar wacana publik yang disebut package (Sobur, 2007: 177).
Package adalah semacam
skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu-individu untuk mengkonstruksi makna dan pesan-pesan yang disampaikan serta menafsirkan makna pesan-pesan yang diterima. Dalam kemasan (package) terdapat dua struktur, yaitu struktur core frame yaitu merupakan gagasan sentral dan condesing symbol yaitu merupakan hasil pencermatan interaksi perangkat simbolik. Menurut Gamson dan Modigliani (2001) framing dipahami sebagai seperangkat gagasan atau ide sentral ketika seseorang atau media memahami dan memaknai suatu isu. Ide sentral ini akan didukung oleh seperangkat wacana lain sehingga antara satu bagian wacana dengan bagian lain saling kohesif dan saling mendukung. Model Gamson dan Modigliani lebih bersifat umum artinya bisa dipakai pada media cetak maupun elektronik dan dalam aliran model ini sebagaian besar berbicara tentang simbol yang terdapat dalam sebuah teks atau dialog yang ditekankan melalui perangkat penalaran.
22
Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri dari sejumlah kemasan (package) melalui konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk (Eriyanto, 2002: 261).
Kemasan itu merupakan skema atau struktur pemahaman yang
dipakai oleh seseorang ketika mengkonstruksi pesan-pesan yang disampaikan dan menafsirkan pesan yang diterima. Dua aspek penting yang mendukung ide sentral atau gagasan sentral bisa diterjemahkan ke dalam sebuah realitas (Eriyanto, 2002: 262-263) yaitu: Pertama, Framing Devices perangkat framing terdiri dari Methapors, Catcphrase, Exemplar, Depiction dan Visual Image. Perangkat ini berhubungan langsung padan penekanan bingkai dalam sebuah realitas teks yang berkaitan dengan isu tertentu. Kedua adalah perangkat penalaran Reasoning Devices yang terdiri dari Root Appeals To Principle dan Consequence. Perangkat penalaran ini berhubungan dengan kohesi dan koherensi dari realitas dalam teks suatu isu tertentu. Methapors adalah sebuah cara memindahkan makna dengan menghubungkan merelasikan dua fakta analogi atau menggunakan kiasan dengan memakai kata-kata ibarat bak sebagai perumpamaan dan laksana. Methapors mempunyai arti atau peran yang ganda yaitu sebagai perangkat diskursif dan ekspresi mental. Serta berasosiasi dengan penilaian dan memaksa realitas dalam teks dan dialog untuk membuat sense tertentu. Catchphrases adalah bentuk kata atau istilah frase yang mencerminkan sebuah fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial demi mendukung kekuasan tertentu. Dalam sebuah teks atau dialog wujudnya berupa slogan jargon atau semboyan yang ditonjolkan. Exemplar adalah cara mengemas atau menguraikan sebuah fakta tertentu secara mendalam supaya memiliki makna yang lebih untuk dijadikan rujukan. Dalam Exemplar posisinya sebagai pelengkap dalam kesatuan wacana atau bingkai pada sebuah teks atau dialog mengenai isu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh pembenaran isu sosial yang sedang diangkat, bisa berupa contoh, uraian, teori dan perbandingan yang bisa memperjelas bingkai. Depiction adalah cara menggambarkan sebuah fakta atau isu tertentu yang berupa kalimat konotatif, istilah, kata, leksikon untuk memberikan label agar khlayak terarah pada suatu citra tertentu. Dengan tujuan untuk menguatkan harapan, ketakutan, posisi, moral dan perubahan. Serta pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka sehingga mampu menempatkan seseorang atau pihak tertentu pada posisi tidak berdaya karena kekuatan konotasinya mampu melakukan kekerasan simbolik Visual image adalah perangkat dalam bentuk gambar, grafik, diagram, tabel, kartun serta sejenisnya, dapat mendukung dan menekankan pesan yang ingin ditonjolkan atau disampaikan bingkai secara keseluruhan. Disamping itu
23
juga memiliki sifat yang natural sangat mewakili realitas atau isu tertentu dan erat kaitannya dengan ideologi pesan terhadap khalayak. Root adalah pemberatan isu tertentu dengan menghubungkan suatu objek yang dianggap menjadi penyebab timbulnya hal yang lain. Tujuannya untuk memberikan alasan pembenaran dalam penyimpulan fakta berdasarkan pada hubungan kausal atau sebab akibat yang digambarkan atau dijabarkan. Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan tentang kebenaran suatu isu dengan menggunakan logika dan klaim moral, pemikiran dan prinsip untuk mengkonstruksi suatu realitas. Berupa pepatah, mitos, doktrin, cerita rakyat, ajaran dan lainnya. Dengan tujuan memanipulasi emosi agar khalayak mengarah pada waktu, tempat, sifat dan cara tertentu. Consequence adalah konsekuensi yang didapat pada akhir pembingkaian tentang suatu isu tertentu dalam teks atau dialog dalam media yang sudah terangkum pada efek atau konsekuensi dalam bingkai. Gambar 1. Model Analisis Framing Gamson Dan Modigliani Media Package
Core Frame
Condesing Symbols Framing Devices 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Reasoning Devices
Metaphors Exemplars Catchphrases Depictions Visual Images Euphemism
1. Roots 2. Appeal to Principle
Sumber: Sobur, 2007: 177
24
2.4
Jurnalisme Online: Media Online dan Berita
2.4.1
Media Baru: Media Online McQuail (2011:127) mengelompokkan media baru menjadi 4 (empat)
kategori. Pertama, media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telepon, handphone, e-mail. Kedua, media bermain interaktif seperti komputer, video game, permainan dalam Internet. Ketiga, media pencarian informasi berupa portal/ search engine. Keempat, media partisipasi kolektif seperti penggunaan internet untuk berbagi dan pertukaran informasi, pendapat, pengalaman dan menjalin melalui komputer di mana penggunaannya tidak semata-mata untuk alat namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional. Kehadiran media baru dengan segala bentuk dan fungsinya ini tidak begitu saja menggeser media lama atau tradisional. Perbedaan yang nampak antara media baru dan media lama secara jelas adalah penggunaannya secara individual (McQuail, 2011). Tingkat interaktif penggunaan media yang diindikasikan oleh rasio respon pengguna terhadap pengirim pesan, tingkat sosialisasi pengguna dimana media baru lebih bersifat individual dan bukan bersifat interaksi sosial secara langsung, tingkat kebebasan dalam penggunaan media, tingkat kesenangan dan menariknya media yang diinginkan sesuai keinginan serta tingkat privasi yang tinggi untuk penggunaan media baru. Dengan media massa manusia memenuhi kebutuhannya akan berbagai hal. Media online merupakan tipe baru jurnalisme karena memiliki sejumlah fitur dan karakteristik dari jurnalisme tradisional. Fitur-fitur uniknya mengemuka dalam
25
teknologinya, menawarkan kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas dalam memproses dan menyebarkan berita(Santana, 2005:137). Dalam Jurnal Komunikasi Internasional Mass Society, Mass Culture, and Mass Communication: The Meaning of Mass, oleh Kurt Lang dan Gladys Engel Lang (2009),menyebutkan : The new media have also affected culture. There has been a far-reaching transformation of the general way of life, particularly in how people spend their leisure hours and how they take part in celebratory occasions. Traditional folk art and customary recreational activities have been partly replaced by an unprecedented flood of symbolic goods produced for the market or sold to media organizations for dissemination to their audiensces. The viability of artistic creations today is less dependent on aristocratic or state patronage than so-called “high” culture had been in the past. Without momentous advances in communication technology, such a transformation would have been inconceivable (Media baru juga telah mempengaruhi budaya. Transformasi telah berkembang luas dalam kehidupan umum, khususnya bagaimana orang menghabiskan jam waktu luang mereka dan bagaimana mereka mengambil bagian dalam acara-acara perayaan. Seni rakyat tradisional dan kegiatan adat sebagian sudah digantikan oleh sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.Barangbarang diproduksi untuk pasar kemudian dijual ke media organisasi untuk penyebaran kepada masyarakat secara luas. Kelangsungan hidup budaya masyakarat kini kurang bergantung pada negara dari budaya "tinggi". Tanpa kemajuan penting dalam teknologi komunikasi, seperti transformasi pasti tak terbayangkan). Namun kehadiran media baru ternyata membawa permasalahan baru. McQuail (2011:125) menyatakan setidaknya ada tiga hal permasalahan utama media baru. Pertama, power and inequality, sangatlah sulit untuk menempatkan media baru dalam hubungannya dengan kepemilikan dan kekuasaan di mana isi dan arus informasi dikontrol. Kedua, social integration dan identity, media baru dianggap sebagai kekuatan untuk melakukan disintegrasi terhadap kohesivitas sosial yang ada di dalam masyarakat karena dianggap terlalu individualistik dan bisa menembus batas ruang dan waktu sekaligus budaya. Ketiga, social change,
26
media baru dianggap agen perubahan sosial sekaligus agen perubahan ekonomi yang terencana di mana tidak adanya kontrol pesan baik dari pemberi maupun penerima pesan sangat mungkin terjadi. McQuail membuat perubahan model komunikasi sehubungan dengan hadirnya media baru dalam skema berikut ini: Gambar 2. Perbandingan Model Komunikasi Model Lama Limited Supply Homogeneous Content Passive Mass Audiensce Undifferentiated Reception/ Effect
Model Baru Many Different Diverse Channels and Contents Fragmented and Active users/ Audiensce Varied and Unpredictable Reception/ Effect
Dari model diatas dapat dilihat bahwa model lama, sumber informasi terbatas, maka pada model baru terdapat banyak sekali sumber informasi. Perubahan juga terlihat dari isi yang
homogen menjadi sangat bervariasi
sedangkan audiens dilihat sebagai audiens yang terfragmentasi sekaligus bersifat
27
sangat aktif, tak lagi bersifat pasif dan massal. Hal yang sama juga tampak pada respon maupun efek yang semula tidak terdiferensiasi beralih menjadi respon dan efek yang sangat bervariasi sekaligus tak dapat diprediksikan.
2.4.2
Berita Ada banyak definisi berita yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut
Astrid (1993: 159)berita adalah suatu pelaporan tentang suatu kejadian yang dianggap penting. Mitchell V. Charnley mendefinisikan berita yaitu laporan aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik atau penting atau keduanya, bagi sejumlah besar orang (Kusumaningrat, 2005: 39). Dalam definisi jurnalistik, Assegaff menyatakan berita adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah karena penting atau akibatnya, entah pula karena dia mencakup segisegi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan (dalam Sumadiria, 2005: 64-65). Berita lahir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia. Namun, tidak semua peristiwa layak atau mempunyai nilai berita.
Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese(dalam Sudibyo, 2001:7-12), meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Mereka mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi, yaitu:
28
1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. 2. Level rutinitas (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penelitinya, siapa editornya dan seterusnya. 3. Level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. 4. Level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media, meliputi: 4.1 Sumber berita: dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Sumber berita mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberikan citra kepada khalayak 4.2 Sumber penghasilan media. bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan/pembeli media. Media harus bertahan dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. 4.3 Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam egara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. 5 Ideologi: diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihatrealitas dan bagaimana mereka mengahadapinya. Pada level ideologi akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.
29
2.5
Dramaturgi dan Model Peran Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran Mead terutama
dalamdiskusinya mengenai ketegangan antara diri spontan “I” dan “Me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial. Ketegangan ini bercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa yang disebut “ketidaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi”. Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang kita ingin lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan. Kita dihadapkan dengan tuntutan untuk melakukan tindakan yang diharapkan dari kita, selain itu, kita diharapkan tidak ragu-ragu (Ritzer, 2010: 297). Goffman menggambarkan kehidupan sebagai perumpamaan panggung pertunjukan drama (theatrical) (Morissan, 2013:122). Oleh sebab itu teori persentasi diri juga sering dikenal dengan teori Dramaturgi. Menurut Goffman, diri bukanlah milik aktor (pelaku) tetapi lebih sebagai hasil interaksi antara aktor dan audiens masyarakat (Ritzer, 2010: 298). Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa perilaku yang timbul tidak selalu berasal dari kemauan aktor tetapi perilaku yang timbul berasal dari kemauan masyarakat, sehingga aktor berperilaku sesuai dengan kemauan masyarakat dalam hal ini disebut audiens agar dapat diterima dimasyarakat. Menurut Goffman aktor pada saat berinteraksi, aktor menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Tetapi ketika menampilkan diri sendiri,
aktor
menyadari
bahwa
anggota
audiens
dapat
mengganggu
penampilannya (Ritzer, 2010: 299). Goffman juga menyatakan bahwa aspek front stage menyampaikan kesan bahwa aktor lebih akrab dengan audiens ketimbang
30
keadaan sebenarnya. Hal ini bertujuan agar aktor dapat diterima oleh audiens (penonton) dan agar tidak mengacaukan pertunjukan sang aktor. Sedangkan di dalam area back stage aktor, Goffman menyatakan bahwa back stage merupakan fakta yang disembunyikan didepan atau berbagai tindakan informal yang timbul. Back stage ataupun panggung belakang merupakan fakta di mana sang aktor bertindak sesuai dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari audiens. Menurut Goffman aktor tidak bisa mengharapkan audiens muncul kedalam panggung belakang, bahkan audiens tidak bias muncul kedalam panggung belakang sang aktor. Back stage atau panggung belakang yang di lihat adalah bagaimana pelaku berinteraksi dan bagaimana kehidupan pelaku di luar dunia dan bagaimana pelaku menjalankan kehidupan sehari-hari di luar dari kehidupannya, sedangkan panggung depan yang dicari adalah bagaimana pelaku melakukan aksi dan kehidupan informan pada saat melakukan profesinya dan juga bagaimana pelaku memainkan perannya. Goffman mengakui bahwa panggung depan mengandung analisis struktural dalam arti bahwa panggung depan cenderung mewakili kepentingan kelompok atau organisasi. Sering ketika aktor melaksanakan perannya, peran tersebut telah ditetapkan lembaga tempat dia bernaung. Meskipun berbau struktural, daya tarik pendekatan Goffman terletak pada interaksi. Ia berpendapat bahwa
umumnya
orang-orang
berusaha
menyajikan
diri
mereka
yang
diidealisasikan dalam pertunjukan mereka dipanggung depan, mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam pertunjukannya. Hal itu disebabkan oleh lima faktor (Ritzer, 2010: 117), yaitu:
31
1. Aktor
mungkin
ingin
menyembunyikan
kesenangan-kesenangan
tersembunyi (misalnya meminum minuman keras sebelum pertunjukan). 2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukan, langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut. 3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukkan hanya produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya 4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak 5. Aktor mungkin harus mengabaikan standar lain (misal menyembunyikan hinaan, pelecehan atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung). Hubungan antar pribadi adalah hubungan yang terdiri atas dua orang atau lebih, yang memiliki ketergantungan satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang konsisten. Untuk menganalisis hubungan interpersonal, menurut Goleman dan Hammen (dalam Rakhmat, 119: 2011) terdapat empat buah model, salah satunya model peranan (Role Model). Hubungan interpersonal dianalogikan seperti sebuah sandiwara. Jadi, dalam setiap hubungan individu memiliki perannya masing-masing sesuai dengan ekspektasi peranannya (role expectation) dan tuntutan peranan (role demands). Model ini memandang hubungan interpersonal sebagai panggung sandiwara. Setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan “naskah” yang telah dibuat oleh masyarakat. Terdapat
32
empat konsep pokok yang harus diperhatikan dalam model ini untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: 1) Ekspektasi peranan (role expectation) Ekspektasi peranan mengacu pada kewajiban, tugas, dan hal yang berkaitan dengan posisi tertentu dalam kelompok. 2) Tuntutan peranan (role demands) Tuntutan peranan adalah desakan sosial yang memaksa individu untuk memenuhi peranan yang telah dibebankan kepadanya. Desakan sosial dapat
berwujud sanksi sosial dan dikenakan bila individu
menyimpang dari perannya. 3) Keterampilan peranan (Role Skills) Kemampuan memainkan peranan tertentu, kadang dsebut juga kompetensi sosial. Sering dibedakan antara keterampilan kognitif dengan keterampilan tindakan. Keterampilan kognitif menunjuk pada kemampuan individu untuk mempersepsi apa yang diharapkan orang lain dari dirinya. Sedangkan keterampilan tindakan menunjuk pada kemampuan melaksanakan peranan sesuai dengan harapan. 4) Konflik peranan. Terjadi bila individu tidak sanggup mempertemukan berbagai tuntutan peranan yang kontradiktif.
33
2.6
Citra Politik Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai
media, media cetak dan elektronik yang membentuk, mempertahankan atau mendefinisikan citra. Menurut Dan Nimmo (2005:15), citra seseorang tentang politik yang terjalin melalui pikiran, perasaan dan kesuciansubjektif akan memberi kepuasan baginya, memiliki tiga kegunaan: 1) Betapa pun benar atau salah, lengkap atau tidak lengkap, pengetahuan orang tentang politik, memberi jalan pada seseorang untuk memahami sebuah peristiwa politik tertentu; 2) Kesukaan dan ketidaksukaan umum pada citra seserang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik; 3) Citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Sebagai bagian dari komunikasi politik, pencitraan politik memang dilakukan secara persuasif untuk memperluas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih. Sedangkan menurut Anwar Arifin, pencitraan merupakan suatu tujuan dari komunikasi politik yang terbentuk berdasarkan informasi yang diterima oleh khalayak. Pencitraan dalam politik berkaitan dengan pembentukan pendapat umum yang terbangun melalui citra politik dan hal ini terwujud sebagai konsekuensi kognitif dari komunikasi politik (Arifin, 2003: 105). Pencitraan atau image politik didefinisikan sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat atau publik akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik (Firmanzah, 2007: 230).
34
Pencitraan mengandung objektivitas dan subjektivitas secara bersamaan karena di dalam suatu image terdapat hal-hal yang dapat dilogiskan yakni bahwa image adalah konstruksi empiris dan terbukti di lapangan. Sedangkan ranah subjektivitas bekerja jika pencitraan mengandung unsur emosional adanya ikatan keberpihakan dan timbulnya kepercayaan. Dengan adanya citra yang baik maka sejalan dengan itu kepercayaan juga akan timbul dari masyarakat. Francis Fukuyama mengatakan dalam bukunya Virtue of Prosperity bahwa Trust is everything today. Modal yang menentukan keberhasilan suatu bangsa membangun dirinya adalah ada atau tidaknya kepercayaan didalamnya (Dwidjowijoto, 2004:10). Konstruksi citra dalam komunikasi politik memiliki muatan “hal sadar” dan “hal tidak sadar”. Kemudian komunikan menanggapi pesan komunikasi politik akan memproses hal yang terjadi secara simultan melalui dua proses, yakni pembelajaran sosial (social learning) dan identifikasi sosial (social identification) (Firmanzah, 2007: 244). Proses tersebut melalui beberapa cara, yaitu pertama komunikan melihat sumber atau siapa yang melakukan proses komunikasi. Kedua, komunikan mencoba membenturkan informasi yang diterima dengan semua informasi yang terdapat dalam otak. Setelah itu komunikan menarik kesimpulan apakah terdapat hubungan dan konsistensi antara informasi dari otak dengan informasi baru. Lalu komunikan mengidentifikasi apakah informasi tersebut benar atau salah, rasional maupun emosional. Berikut ini konstruksi citra digambarkan dalam bagan.
35
Gambar 3. Konstruksi Citra
Pembelajaran sosial
Aksi Sadar (Intenden) Komunikasi Politik
Image Terekam
Aksi Tidak Sadar (Unintenden)
Identifikasi Sosial
Sumber: Firmanzah, 2007:243
Figur yang diposisikan sebagai pemimpin, seharusnya adalah tokoh yang memiliki citra baik di mata khalayak karena tujuan komunikasi politik adalah untuk mengkoneksikan antara elit politik dan pemimpin dengan masyarakat. Komunikasi dalam politik memegang peranan yang sangat penting, karena komunikasi menjadi alat yang paling ampuh dalam mebangung citra ataupun menghancurkan citra seorang figur politik. Dan Nimmo dalam Popular images of politic mengatakan bahwa hal yang paling penting yang harus dilakukan oleh politisi sebagai strategi dalam komunikasi politik adalah menciptakan political imagery (dalam Dwidjowijoto, 2004:61). Melalui pola tersebut, sebuah kepercayaan sosial dapat disusun terhadap pemimpin atau penguasa politik dan menjadi bagian terpenting baginya dalam menjalankan tugasnya secara efektif. Citra politik dilakukan untuk mempengaruhi pemilih, citra menjadi faktor paling menentukan sukses tidaknya sebuah
perjalanan kampanye. Pemimpin
politik mengerti bahwa citra dan pencitraan dapat memenuhi kebutuhan khalayak dan karena itu para pemimpin mengungkapkan imbauannya dalam bentuk
36
perlambangan untuk membangkitkan citra yang simpatik diantara khalayak massa. Sepanjang perlambangan politik itu membangkitkan citra posistif dan memuaskan ditengah khalayak, maka pencitraan itu adalah the real thing atau hal yang nyata (Nimmo, 2005:10).
2.7
Kerangka Berfikir
Gambar 4. Kerangka berpikir Pemberitaan Penampilan Susi Pudjiastuti
Paradigma Konstruksionis
Analisis Framing Gamson dan Modligiani
Media Package
Core Frame
Condesing Symbols Framing Devices
Reasoning Devices
Metaphors Exemplars Catchphrases Depictions Visual Images
Roots Appeal to Principle
37