BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan merupakan salah satu aspek penilaian mengenai kondisi yang dimiliki perusahaan. Kinerja keuangan merupakan suatu hasil pelaporan yang menunjukkan kondisi serta keadaan keuangan perusahaan dalam periode tertentu yang dinilai dengan alat analisis keuangan. Kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan tugasnya dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar (Fahmi, 2012:2). Kinerja keuangan perusahaan sangat bermanfaat bagi investor, analis keuangan, kreditur, pemerintah dan juga pihak manajemen sendiri. Bagi investor, semakin baik kinerja keuangan perusahaan maka semakin tinggi pula return yang diperoleh investor jika menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Perusahaan harus menjaga dan meningkatkan kinerja keuangannya agar dapat diminati oleh investor. Kinerja keuangan perusahaan dapat tercermin dari laporan keuangan perusahaan. Analisis terhadap laporan keuangan mencakup apakah suatu aktiva dan pasiva perusahaan dikelola secara benar, termasuk juga aktivitas pendanaannya untuk meningkatkan nilai perusahaan (Wiagustini, 2010:37). Analisis rasio keuangan diperlukan untuk mengukur kinerja keuangan suatu perusahaan. Menurut Wiagustini (2010:37) analisis rasio adalah suatu teknik analisis yang menghubungkan antara satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi dari kedua
laporan keuangan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Tujuan dari analisis rasio keuangan adalah untuk memberikan informasi hasil interpretasi kinerja yang dicapai perusahaan. 2.1.1.1 Pengukur Kinerja Keuangan Perusahaan Tujuan umum manajemen perusahaan adalah untuk memaksimalkan nilai investasi yang telah ditamanamkan oleh investor. Keberhasilan manajemen perusahaan untuk mencapai tujuan tersebut dapat diukur dari tingkat pengembalian dan risiko yang dihadapi perusahaan dengan menganalisa laporan keuangan perusahaan. Dengan menganalisa laporan keuangan suatu perusahaan maka dapat diketahui kinerja perusahaan tersebut, sehingga dapat memudahkan manajer untuk mengambil keputusan yang tepat untuk perusahaan. Rasio-rasio keuangan dapat menjadi alternatif yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Rasio keuangan merupakan alat analisis fundamental yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dari segi laporan keuangannya. Menurut Brigham dan Houston (2011:133), rasio keuangan dirancang untuk membantu kita mengevaluasi suatu laporan keuangan. Terdapat lima rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan, yaitu rasio profitabilitas, rasio solvabilitas, rasio aktivitas, rasio likuiditas dan rasio pasar. Dalam mengukur kinerja keuangan perusahaan, analisis profitabilitas dapat digunakan karena berorientasi khusus pada efektivitas perusahaan dalam memaksimalkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimiliki. Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh laba atau ukuran efektivitas pengelolaan manajemen perusahaan (Wiagustini, 2010:76). Return on Asset (ROA) dipilih sebagai indikator pengukur kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini karena ROA digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan total aset (kekayaan) yang dipunyai perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya untuk mendanai aset tersebut (Hanafi, 2009:159). Alasan peneliti
menggunakan ROA sebagai pengukur kinerja keuangan adalah karena ROA lebih komprehensif dalam mengukur tingkat pengembalian baik dari hutang maupun modal. ROA dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan operasi dengan total aktiva yang ada. ROA menggambarkan nilai prestasi atau kinerja perusahaan yang dicapai dalam periode tertentu. Semakin tinggi nilai ROA, semakin baik kinerja keuangan perusahaan, dimana ini merupakan sinyal baik bagi investor untuk melakukan investasi pada perusahaan. Investor akan mengharapkan return yang tinggi, karena tingginya ROA menggambarkan laba bersih setelah pajak yang merupakan hak bagi pemegang saham juga tinggi.
2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Agency theory menekankan pentingnya pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga profesional yang mengerti dalam menjalankan bisnis. Manajer diberi kekuasaan oleh pemilik perusahaan, yaitu pemegang saham untuk membuat keputusan dimana hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang dikenal sebagai teori keagenan (Brigham dan Houston, 2010:26). Tujuannya adalah untuk memaksimalkan laba perusahaan dengan biaya yang seefisien mungkin yang dilakukan oleh tenaga profesional. Tenaga profesional ini bertugas untuk menjalankan perusahaan dan memiliki keleluasaan dalam menjalankan perusahaan, dimana disebut sebagai agennya pemegang saham. Menurut Jensen and Meckling (1976), teori keagenan adalah teori yang menjelaskan agency relationship dan masalah-masalah yang ditimbulkannya. Agency relationship adalah hubungan yang terjadi antara principal dan agent dalam bertransaksi dengan pihak ke tiga. Principal dan agent yang dimaksud dalam agency relationship pada suatu perusahaan adalah manager dan investor yang pada kenyataannya memiliki perbedaan pendapat dalam mencapai tujuan perusahaan.
Konflik keagenan dapat diminimalisir jika posisi manajemen juga sebagai pemegang saham yang bisa dilakukan dengan adanya pengawasan dan pemantauan. Pengawasan dan pemantauan dalam mengurangi konflik antara manajemen dan investor akan menimbulkan biaya yang disebut agency cost. Menurut Jensen and Meckling (1976), terdapat 3 macam biaya keagenan : 1) Monitoring Cost, merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membatasi penyimpangan yang dilakukan oleh manajer dengan cara memonitor kegiatan yang dilakukan manajer. 2) Bonding Cost, merupakan biaya yang dikeluarkan oleh agent untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang menjamin bahwa agent akan bertindak untuk kepentingan principal. 3) Residual Cost, merupakan biaya pengorbanan berupa berkurangnya kemakmuran principal diakibatkan oleh perbedaan keputusan antara agent dan principal. 2.1.3 Kepemilikan Manajerial Struktur kepemilikan adalah proporsi jumlah saham dalam perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham internal dan pemegang saham eksternal dibagi dengan seluruh jumlah saham yang dimiliki perusahaan (Wiranata dan Yeterina, 2013). Pemegang saham internal merupakan orang yang memiliki saham didalam struktur organisasi perusahaan sebagai pelaksana (manajer). Pemegang saham eksternal merupakan orang yang memiliki saham perusahan tetapi tidak termasuk dalam struktur organisasi perusahaan dan hanya berperan sebagai pemilik seperti institusi atau perusahaan lain. Perbedaan kepentingan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham seringkali menimbulkan konflik yang disebut konflik keagenan. Konflik keagenan dalam perusahaan dapat dikurangi dengan adanya proporsi kepemilikan saham di perusahaan. Menurut Pujiati dan Widanar
(2009), kepemilikan manajerial merupakan kepemilikan saham oleh manajemen perusahaan yang diukur dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh manajemen. Kepemilikan manajer akan saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham diluar manajemen sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik (Jensen and Meckling, 1976). Manajer dituntut untuk lebih tegas dan bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan tindakan untuk mengelola perusahaan agar antara manajer dan pemegang saham memiliki hubungan yang saling menguntungkan. Menurut Wongso (2012), kepemilikan manajerial akan mensejajarkan kepentingan manajemen dan pemegang saham sehingga akan memperoleh manfaat langsung dari keputusan yang diambil serta menanggung kerugian dari pengambilan keputusan yang salah.Peningkatan proporsi kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga manajer temotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Kebangkrutan perusahaan bukan hanya menjadi tanggungan pemilik utama, namun manajer juga ikut menanggungnya (Nur’aeni, 2010). Kepemilikan saham manajerial akan menuntut manajer untuk selalu berhati-hati dalam pengambilan keputusan karena hasil dari pengambilan keputusan tersebut akan memberikan dampak secara langsung terhadap saham yang dimiliki oleh manajer dan juga berdampak langsung pada umur perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial pada saham perusahaan maka semakin baik pula kinerja perusahaan tersebut. Besarnya tingkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka dapat mensejajarkan kedudukan antara manajer dan pemegang saham sehingga manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Peningkatan proporsi saham manajer dapat menurunkan kecenderungan manajer untuk melakukan tindakan yang hanya
mementingkan diri sendiri, sehingga tidak terjadi perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham. 2.1.4 Kepemilikan Institusional Konflik keagenan seringkali timbul akibat perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham di perusahaan. Pengawasan dan pengendalian perusahaan diperlukan untuk mengurangi agency cost. Agency cost dapat dikurangi dengan adanya kepemilikan institusional disebuah perusahaan sebagai pihak pengawas. Kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan manajer (Jensen and Meckling, 1976). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen, karena dengan adanya kepemilikan institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut dapat menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Proporsi
kepemilikan institusional yang besar dapat meningkatkan usaha pengawasan
oleh pihak institusi sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik manajer dan dapat membantu pengambilan keputusan perusahaan. Kepemilikan institusional mampu mengawasi dengan baik jalannya perusahaan. Hal ini karena pemegang saham institusi telah memiliki kemampuan dan sarana dalam memonitor perusahaan. Semakin besar tingkat kepemilikan saham institusional semakin besar pula pengawasan yang dilakukan untuk menghalangi perilaku oportunistik manajer (Dian dan Lidyah, 2013). Besarnya proporsi kepemilikan saham institusi di suatu perusahaan maka semakin besar pula peluang pengawasan terhadap perusahaan yang nantinya dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
2.1.5 Dewan Komisaris Independen Teori keagenan menyatakan bahwa konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat dikurangi dengan pengawasan yang tepat. Kualitas fungsi pengawasan perusahaan dapat ditingkatkan dengan adanya dewan komisaris independen. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia, wajib memiliki komposisi dewan komisaris independen yang secara proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas. Persyaratan mengenai jumlah minimal komisaris independen adalah 30 persen dari seluruh anggota dewan komisaris (Peraturan BEI, 2000). Adanya dewan komisaris independen dalam perusahaan dapat mengurangi masalah keagenan dan mencegah terjadinya perilaku oportunistik manajer. Berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan, seorang komisaris dapat meminta nasihat dari pihak ketiga atau membentuk komite khusus dalam menjalankan tugasnya. Setiap anggota komisaris harus berwatak amanah dan mempunyai pengalaman dan kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya (Effendi, 2008:18). Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa, semakin banyak jumlah pemonitor, maka kemungkinan terjadinya konflik akan rendah dan akhirnya akan menurunkan agency cost. Adanya dewan komisaris independen, maka kepentingan pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas tidak diabaikan karena komisaris independen lebih bersikap netral terhadap keputusan yang dibuat oleh manajer (Puspitasari dan Ernawati, 2010). Dewan komisaris independen dapat membantu perusahaan menghindari ancaman-ancaman dari luar sehingga tetap bisa mempertahankan sumber daya perusahaan agar mendapatkan keuntungan yang lebih.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Return On Asset Perbedaan kepentingan antara manajer dan pemegang saham mengakibatkan timbulnya konfik yang disebut agency conflict, berdasarkan teori keagenan. Para manajer seringkali mengabaikan kepentingan para pemegang saham karena pemegang saham perusahaan-perusahaan besar tersebar luas dan berada jauh dari perusahaannya. Kepemilikan manajer akan saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham diluar manajemen sehingga permasalahan keagenan diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sebagai seorang pemilik (Jensen and Meckling, 1976). Kepemilikan manajerial merupakan pemilik perusahaan sekaligus menjadi pengelola perusahaan. Semakin besar proporsi kepemilikan manajerial maka semakin kecil peluang terjadinya konflik, karena jika pemilik bertindak sebagai pengelola perusahaan maka dalam pengambilan keputusan akan sangat berhati-hati agar tidak merugikan perusahaan. Apabila kepemilikan manajerial kecil maka semakin sedikit pula pemegang saham yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan, sehingga semakin tinggi munculnya masalah keagenan dikarenakan perbedaan kepentingan yang semakin besar. Penelitian oleh Amran and Ayoib (2013), Ongore and K’obonyo (2011) serta Hu and Zhou (2008) menunjukkan bahwa, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepemilikan manajerial dengan kinerja keuangan perusahaan (ROA). Kumai et al. (2014) menemukan bahwa kepemilikkan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan (ROA). Pihak manajemen yang memiliki saham dalam perusahaan cenderung menyusun strategi untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Penelitian tersebut didukung oleh Martsila dan Meiranto (2013), Noviawan dan Septiani (2013) menunjukkan bahwa, kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan ROA.
H1: Kepemilikan manajerial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return On Asset 2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Return On Asset Kepemilikan institusional memiliki peranan yang penting dalam meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi diantara pemegang saham dengan manajer (Jensen and Meckling, 1976). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen, karena dengan adanya kepemilikan institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Proporsi kepemilikan istitusional yang besar dapat meningkatkan usaha pengawasan oleh pihak institusi sehingga dapat menghalangi perilaku oportunistik manajer dan dapat membantu pengambilan keputusan perusahaan, sehingga dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan ROA. Penelitian yang dilakukan oleh Nur’aeni (2010), menyatakan bahwa jumlah kepemilikan saham oleh institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan (ROA). Dengan peningkatan kepemilikan institusional dalam perusahaan, maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan pihak institusi untuk mengawasi manajemen. Hal tersebut dapat memberikan dorongan yang lebih besar untuk mengoptimalkan nilai perusahaan sehingga kinerja perusahaan juga meningkat. Kepemilikan institusional juga dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja untuk mengantisipasi adanya tindakan manajer yang tidak sesuai dengan keinginan pemilik perusahaan. Sehingga dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Hasil penelitian serupa dikemukakan oleh Noviawan dan Septiani (2013) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan ROA. Adanya investor institusional dalam perusahaan dapat membantu mengurangi masalah keagenan yang terjadi, yaitu masalah yang timbul antara pihak
manajemen dengan pihak pemegang saham. Penelitian tersebut didukung oleh Kumai et al. (2014), Sekaredi (2011) yang menyatakan bahwa, terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara kepemilikan institusional danROA. H2: Kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return On Asset
2.2.3 Pengaruh Dewan Komisaris Independen terhadap Return On Asset Dewan komisaris independen dapat meningkatkan fungsi pengawasan pada perusahaan. Dewan komisaris independen merupakan komisaris yang tidak ada hubungan keluarga atau hubungan bisnis dengan direksi maupun pemegang saham (Rachmad, 2012). Adanya dewan komisaris independen dalam perusahaan dapat mengurangi masalah keagenan dan mencegah terjadinya perilaku oportunistik. Jensen and Meckling (1976) menyatakan bahwa, semakin banyak jumlah pemonitor, maka kemungkinan terjadinya konflik akan rendah dan akhirnya akan menurunkan agency cost. Adanya dewan komisaris independen, maka kepentingan pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas tidak diabaikan karena komisaris independen lebih bersikap netral terhadap keputusan yang dibuat oleh manajer (Puspitasari dan Ernawati, 2010). Dewan komisaris independen dapat membantu perusahaan menghindari ancaman-ancaman dari luar sehingga tetap bisa mempertahankan sumber daya perusahaan agar mendapatkan keuntungan yang lebih, yang nantinya dapat meningkatkan kinerja keuangan (ROA). Penelitian yang dilakukan oleh Latief et al. (2014) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara dewan komisaris independen terhadap kinerja keuangan yang diukur dengan ROA. Penelitian yang dilakukan oleh Gull et al. (2013) menunjukkan bahwa kehadiran direktur independen meningkatkan kinerja keuangan (ROA) bank yang terdaftar di bursa Karachi.
Dewan komisaris independen sangat menentukan keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuan dan meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Penelitian oleh Martsila dan Meiranto (2013), Puspitasari dan Ernawati (2010) yang menyatakan bahwa, dewan komisaris dengan lebih banyak anggota independen cenderung akan memberikan pemantauan yang lebih baik terhadap kebijakankebijakan manajemen untuk meningkatkan kinerja perusahaan (ROA). H3: Dewan komisaris independen berpengaruh positif dan signifikan terhadap Return On Asset
2.3 Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan penelusuran pada kajian pustaka dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Kepemilikan Manajerial (X1)
H1 (+) H2 (+)
Kepemilikan Institusional (X2) Dewan Komisaris Independen (X3) Diolah Sumber : Data
H3 (+)
Return On Asset (ROA) (Y)