BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Kinerja Keuangan Salah satu cara untuk menilai keberhasilan akuisisi adalah dengan melihat kinerja perusahaan pasca akuisisi terutama kinerja keuangan. Untuk menentukan keberhasilan akuisisi, harus dipastikan apakah ada keuntungan finansial dari aktivitas akuisisi tersebut (Azhagiah and Kumar, 2011). Kinerja keuangan merupakan cerminan dari prestasi manajemen keuangan dalam mencapai tujuan perusahaan yaitu menghasilkan keuntungan dan meningkatkan nilai perusahaan. Analisis kinerja keuangan dalam penelitian ini bertujuan untuk menilai implementasi dari strategi akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Pengukuran kinerja didefinisikan sebagai kualifikasi dan efisiensi perusahaan atau keefektifan perusahaan
dalam pengoperasian bisnis selama
periode akuntansi tertentu. Dengan demikian pengertian kinerja adalah suatu usaha yang dilakukan perusahaan untuk mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas dari aktivitas perusahaan yang telah dilaksanakan pada periode waktu tertentu. Menurut Kumar and Bansal (2008) kinerja dapat diukur atas dasar jangka panjang dan jangka waktu jangka pendek. Kinerja jangka panjang dapat
dihitung atas dasar profitabilitas perusahaan. Untuk melihat sinergi dan kapitalisasi akuisisi dalam jangka panjang dapat menggunakan analisis fundamental dengan bantuan analisis rasio. Menurut Harvey (2015) dengan menggunakan langkah-langkah akuntansi untuk menghitung perspektif jangka panjang dari kinerja akuisisi dapat memperlihatkan kinerja akuntansi yang sebenarnya, yaitu terdiri dari perbandingan ukuran kinerja akuntansi pra-akuisisi dan pasca-akuisisi. Posisi perusahaan pada beberapa periode lalu tercermin dalam laporan keuangan. Laporan tersebut dapat digunakan untuk membantu meramalkan laba dimasa depan. Pihak yang memerlukan informasi keuangan perusahaan bukan hanya manajer keuangan (pihak intern perusahaan) saja, tetapi beberapa pihak luar perusahaan juga perlu informasi keuangan tersebut. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah para calon pemodal (pembeli saham) dan kreditur (Husnan dan Pudjiastuti, 2012:61). Calon pemodal biasanya akan lebih berkepentingan dengan aspek profitabilitas perusahaan, ketika suatu perusahaan memiliki profitabilitas yang tinggi maka calon pemodal akan bersedia untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Sedangkan bagi para kreditur disamping memperhatikan faktor keuntungan perusahaan, mereka juga akan berkepentingan dengan kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban finansialnya dan proporsi hutang perusahaan tersebut, ketika suatu perusahaan dinilai mampu memenuhi kewajiban finansialnya maka kreditur akan percaya pada perusahaan tersebut untuk meminjamkan dananya. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dari berbagai aspek.
Jika ingin mengevaluasi kondisi dan kinerja keuangan suatu perusahaan perlu dilakukan pemeriksaan atas berbagai aspek kesehatan keuangan perusahaan, alat yang sering digunakan adalah rasio keuangan (VanHorne and Wachowicz, 2012:163). Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan sebelum dan sesudah akuisisi dapat dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio keuangan sebelum dan sesudah akuisisi. Analisis rasio keuangan merupakan metode yang umum digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dibidang keuangan. Menurut Wiagustini (2014:84), rasio keuangan merupakan analisis kinerja keuangan yang menghubungkan antara satu pos dengan pos lainnya baik dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi dari kedua laporan tersebut. Dengan menggunakan analisis rasio yang berdasarkan data dari laporan keuangan, maka akan dapat diketahui hasil yang telah di capai perusahaan, dapat mengetahui kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan dari segi keuangan, serta hasilhasil yang di anggap cukup baik. Pimpinan perusahaan atau manajemen sangat berkepentingan terhadap hasil analisis laporan keuangan tersebut, karena hasil analisis tersebut akan dapat dijadikan sebagai alat dalam pengambilan keputusan lebih lanjut. Kelemahan-kelemahan yang dimiliki perusahaan harus diperbaiki untuk menyusun rencana tahun berikutnya, dan untuk hasil yang dianggap sudah cukup baik harus dipertahankan dan ditingkatkan lagi untuk waktu mendatang. Wiagustini (2014:85) menyatakan bahwa kondisi keuangan dapat dilihat melalui berbagai aspek, yaitu aspek likuiditas, aspek solvabilitas/leverage, aspek profitabilitas/reantibilitas, aspek aktivitas usaha, dan aspek penilaian pasar.
2.1.1.1 Rasio Likuiditas Menurut Wiagustini (2014:85) likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya dalam jangka pendek dengan aktiva lancar yang tersedia. Agar perusahaan selalu likuid, maka sebaiknya posisi dana lancar lebih besar dibandingkan utang lancar. Perusahaan yang tidak likuid mencerminkan bahwa perusahaan tersebut tidak sehat, sehingga perlu mengatur, menjaga, dan memelihara likuiditas untuk menjaga kredibilitas pada kreditur agar tetap dipercaya oleh kreditur. Rasio likuiditas mengukur kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi hutang-hutang jangka pendek yang segara jatuh tempo. Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas memberikan informasi yang sangat berguna bagi perusahaan pengakuisisi ketika menilai perusahaan target akuisisi, yaitu seberapa besar tingkat likuiditas pasca akuisisi. Jika sesudah akusisi perusahaan memerlukan dana yang likuid, maka perusahaan akan relatif lebih aman jika memiliki rasio likuiditas yang tinggi. Dengan akuisisi maka semestinya kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendek (current ratio) akan meningkat. Menurut Wiagustini (2014:87) aspek likuiditas dapat diukur dengan Current Ratio, Quick Ratio, Cash Ratio, Net Working Capital to Sales dan Current Assets to Sales. Penelitian ini menggunakan Current Ratio (CR) untuk membandingkan kondisi likuiditas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi, karena
perbandingan
aktiva
lancar
dengan
hutang
lancarnya
(CR)
mengindikasikan likuiditas perusahaan. Menurut Adipratama (2012) dengan
melakukan akuisisi maka semestinya kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang jangka pendek akan meningkat.
2.1.1.2 Rasio Profitabilitas/Rentabilitas Menurut Wiagustini (2014:86) rasio profitabilitas/rentabilitas merupakan rasio yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba atau ukuran seberapa efektif perusahaan dalam mengelola manajemen perusahaan. Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dari penjualannya. Jika terjadi sinergi yang baik maka secara umum tingkat profitabilitas perusahaan akan lebih baik dari sebelum melakukan akuisisi. Dimana return atas aset (return on assets) juga akan meningkat. Menurut Wiagustini (2014:90) aspek profitabilitas dapat diukur dengan Net Profit Margin, Return on Investment/Return on Total Assets/Earning Power dan Return on Equity atau Return on Net Worth. Penelitian ini menggunakan Net Profit Margin (NPM), Return on Investment (ROI), dan Return on Equity (ROE) untuk membandingkan tingkat profitabilitas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi. Menurut Adipratama (2012) secara umum tingkat profitabilitas perusahaan semestinya akan lebih baik pasca akuisisi, maka margin pendapat bersih (NPM), penghasilan laba dari total aktiva yang digunakan (ROI), serta ekuitas (ROE) juga akan meningkat.
2.1.1.3 Rasio Solvabilitas / Leverage Rasio solvabilitas/leverage merupakan rasio yang yang mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan hutang. Menurut Wiagustini (2014:85) leverage/solvabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendek maupun jangka panjangnya atau mengukur sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang. Perusahaan yang memiliki rasio leverage yang rendah menghadapi risiko kerugian yang lebih kecil tetapi memiliki return yang rendah
saat
perekonomian
yang tinggi
karena
kehilangan
kesempatan
mendapatkan keuntungan, begitu sebaliknya perusahaan yang memiliki rasio leverage yang tinggi menghadapi risiko kerugian yang lebih besar tetapi kesempatan dalam mendapatkan keuntungan juga tinggi. Rasio manajemen hutang merupakan tingkat jumlah hutang terhadap seluruh kekayaan perusahaan. Jika aktifitas akuisisi menghasilkan sinergi maka secara umum kesertaan modal mereka akan cukup baik sehingga meminimalisir penggunaan hutang dan mengurangi beban aset untuk menjamin hutang tersebut (debt ratio) (Hamidah dan Noviani, 2013). Menurut Wiagustini (2014:88) aspek solvabilitas dapat diukur dengan Total Debt to Total Assets, Long Term Debt to Equity, Times Interest Earned dan Fixed Charged Coverage. Penelitian ini menggunakan Debt to Equity Ratio (DER) dan Debt to Total Assets (DAR) untuk membandingkan tingkat solvabilitas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi. Menurut Adipratama (2012) secara umum pasca akuisisi kesertaan modal perusahaan akan cukup baik untuk melakukan usahanya sehingga tingkat penggunaan hutang atas ekuitas perusahaan
(DER) dan penggunaan hutang untuk mendanai aktiva perusahaan (DAR) dapat diminimalisir.
2.1.1.4 Rasio Aktivitas Usaha Wiagustini (2014:86) menyatakan bahwa aktivitas usaha adalah kemampuan perusahaan dalam menjaga stabilitas usahanya agar bisa bertahan dan berkembang, atau mengukur seberapa efektif perusahaan memanfaatkan sumberdayanya. Menurut Adipratama (2012) rasio aktivitas usaha mengukur seberapa efisien dan efektif manajemen perusahaan dalam mengelola aktivanya. Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan bahwa dengan strategi akuisisi maka perusahaan dapat meningkatkan efektifitas perusahaan sehingga aset yang dimiliki oleh perusahaan dapat digunakan secara efisien untuk meningkatkan penjualan perusahaan (total assets turnover). Menurut Wiagustini (2014:89) aspek aktivitas usaha dapat diukur dengan Inventory Turnover atau Day’s Inventory, Receivable Turn Over, Fixed Assets Turnover dan Total Assets Turnover. Penelitian ini menggunakan Total Asset Turnover Ratio (TATO) dan Fixed Asset Turnover Ratio (FATO) untuk membandingkan tingkat aktivitas perusahaan sebelum dan sesudah akuisisi. Menurut Adipratama (2012) TATO adalah salah satu rasio yang dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana kemampuan dana yang tertanam dalam seluruh aktiva perusahaan yang berputar dalam suatu periode tertentu. FATO juga dapat digunakan untuk mengukur seberapa efektif penjualan yang dilakukan berdasarkan aktiva tetap perusahaan.
2.1.2 Pengertian Akuisisi Pada umumnya, akuisisi dapat diartikan sebagai pengambilalihan suatu perusahaan yang mengakibatkan perusahaan yang diakuisisi dikendalikan oleh perusahaan pengakuisisi dengan catatan perusahaan yang dibeli tersebut tetap berdiri dan beroperasi. Berbeda dengan merger yaitu penggabungan dua perusahaan menjadi perusahaan baru, yang artinya perusahaan yang diambilalih tidak beroperasi dan berdiri lagi secara hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 mengenai Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mendefinisikan akuisisi sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengambil alih saham badan usaha yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas badan usaha tersebut. Dalam pasal 1 ayat 11 UUPT pengambilalihan didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseeroan tersebut. Menurut Harvey (2015) Akuisisi terjadi ketika satu entitas membeli entitas lain. Akuisisi menurut Foster (dalam Novaliza dan Djajanti, 2013) adalah pembelian seluruh atau sebagian besar kepemilikan baik dalam bentuk saham ataupun aktiva oleh perusahaan lain. Akuisisi saham dilakukan dengan cara mengambilalih atau membeli seluruh atau sebagian besar saham yang telah dikeluarkan oleh perusahaan yang diakuisisi dengan menggunakan kas, saham
atau sekuritas lain. Sartono (2014:366) menyatakan bahwa melalui akuisisi perusahaan mengambil alih perusahaan lain yang kemudian dijadikan anak perusahaan atau digabungkan menjadi satu. Akuisisi dapat dilakukan terhadap anak perusahaan yang semula sudah go public dan disebut dengan akuisisi internal, atau akuisisi terhadap perusahaan lain dan disebut dengan akuisisi eksternal.
2.1.3 Manfaat Akuisisi Hariyani dan Yustisia (2011:9) menyatakan bahwa akuisisi memiliki manfaat sebagai berikut : 1) Mendapatkan cashflow dengan cepat, karena produk dan pasar sudah jelas. 2) Mendapatkan kemudahan pembiayaan, karena kreditur lebih percaya dengan perusahaan yang telah mapan. 3) Memperoleh karyawan yang sudah berpengalaman. 4) Memperoleh pelanggan tanpa harus merintis dari awal untuk mendapatkan pelanggan. 5) Memperoleh sistem operasional dan administratif yang sudah mapan. 6) Mengurangi risiko kegagalan bisnis, karena tidak harus mencari konsumen baru. 7) Menghemat waktu untuk memasuki bisnis baru. 8) Mendapatkan
infrastruktur
yang
mapan
sehingga
pertumbuhan yang lebih cepat. 9) Akuisisi merupakan investasi yang menguntungkan. 10) Memperoleh kendali atas perusahaan lain.
dapat
mencapai
11) Menguasai pasokan bahan baku dan bahan penolong. 12) Melakukan diversivikasi usaha. 13) Memperbesar ukuran perusahaan. 14) Memperkecil tingkat persaingan usaha. 15) Memperoleh teknologi baru milik perusahaan lain.
2.1.4 Kelemahan Akuisisi Hariyani dan Yustisia (2011:10) menyatakan bahwa akuisisi memiliki kelemahan sebagai berikut : 1) Proses integrasi yang tidak mudah 2) Kesulitan dalam menentukan nilai perusahaan target secara akurat 3) Biaya konsultan yang mahal 4) Meningkatnya kompleksitas birokrasi 5) Biaya koordinasi yang mahal 6) Tidak menjamin peningkatan nilai perusahaan 7) Tidak menjamin kemakmuran pemegang saham
2.1.5 Jenis-jenis Akuisisi Menurut Wiagustini (2014:319) berdasarkan atas cara perluasan yang dilakukan merger dan akuisisi meliputi empat jenis, yaitu : 1) Horisontal : penggabungan perusahaan lain dalam jenis bisnis yang sama. Misalnya, ketika dua bank komersial terlibat dalam akuisisi, bank dapat
memperoleh
keuntungan dari memiliki cabang yang lebih besar dan
Automatic Teller Machine system (ATM) (Dao, 2010). 2) Vertikal : penggabungan perusahaan yang memiliki kaitan antara input dan output. Menurut Dao (2010) perusahaan dapat terlibat dalam akuisisi vertikal jika perusahaan target akuisisi dengan perusahaan pengakuisisi menyediakan barang dan jasa pada berbagai tahap rantai nilai tunggal, sehingga kegiatan berturut-turut dalam rantai nilai yang dilakukan oleh perusahaan yang berbeda tersebut dapat memberikan keuntungan operasional. 3) Congeneric : penggabungan perusahaan yang masih dalam industri yang sama tetapi memproduksi produk yang berbeda dan tidak memiliki keterkaitan supplier. 4) Conglemerate : penggabungan perusahaan dari industri yang berbeda. Wiagustini (2014:319) juga membagi merger dan akuisisi berdasarkan jenis penggabungannya, yaitu meliputi: 1) Akuisisi saham. Akuisisi ini terjadi apabila perusahaan pengakuisisi membeli sebagian besar saham perusahaan yang menjadi target akuisisi. Akusisisi saham dapat dilakukan dengan cara bersahabat (friendly) dan tidak bersahabat (hostile). Friendly Merger terjadi apabila manajemen kedua perusahaan berunding bersama dan hasil perundingan tersebut diusulkan ke pemilik perusahaan. Perundingan yang dilakukan menyangkut harga wajar dari saham tersebut, pembayaran akuisisi dan sebagainya. Hostile Takeover terjadi apabila manajemen perusahaan target
akuisisi
(acquired company) tidak dilibatkan dalam
perundingan, tetapi perusahaan pengakuisisi (acquiring company) langsung menawarkan persyaratan-persyaratan yang menarik kepada pemegang saham acquired company. Berikut adalah gambar yang menunjukan perubahan kepemilikan saham perusahaan jika perusahaan melakukan akuisisi saham :
Gambar 2.1 Bagan Akuisisi Saham Sebelum Akuisisi Perusahaan A
Setelah Perusahaan A Akuisisi Perusahaan B Perusahaan A
Pemegang Saham: -
Pemegang Saham:
Edi Elsi Erna
- Edi - Elsi - Erna
Pemegang Saham: -
Pemegang Saham:
Rosa Rosi Romi
- Perusahaan A
Perusahaan B
Perusahaan B
Sumber : www.sahamok.com 2) Akuisisi aset. Akuisisi aset terjadi apabila perusahaan pengakuisisi membeli sebagian atau seluruh aset perusahaan target akuisisi. Diperlukan persetujuan formal dari pemegang saham perusahaan target akuisisi. Bentuk ini akan menghindarkan kemungkinan perusahaan menjadi pemegang saham minoritas.
2.1.6 Motif Akuisisi Alasan perusahaan melakukan akuisisi biasanya adalah karena perusahaan mampu mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan harus membangun unit usaha sendiri. Tetapi disamping itu, alasan yang paling mendasari adalah motif ekonomi. Transaksi akuisisi akan terjadi apabila transaksi tersebut akan menguntungkan pihak pengakuisisi dan pihak target akuisisi. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2012:395) alasan utama perusahaan melakukan akuisisi yaitu adanya motif ekonomi. Jika perusahaan akan membeli perusahaan lain, maka pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut menguntungkan. Menurut Wiagustini (2014:317) kondisi saling menguntungkan tersebut akan terjadi apabila peristiwa akuisisi tersebut memperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut lebih besar dibandingkan penjumlahan nilai perusahaan pada saat belum digabungkan. Menurut Branco and Dusan (2013) semua akuisisi didorong oleh motif sinergi. Sinergi dapat dicapai melalui operasi dan sinergi keuangan. Sinergi operasi bertujuan mengurangi biaya operasional dan peningkatan pendapatan, dan sinergi keuangan bertujuan biaya pengurangan modal. Wiagustini (2010:282) menyatakan bahwa synergy dapat berwujud operating maupun financial synergy. Operating synergy muncul karena kombinasi dari beberapa operasi sehingga dapat menekan biaya dan menaikan penghasilan. Operating synergy muncul dari perusahaan yang melakukan akuisisi horizontal sehingga dapat menekan biaya rata-rata karena biaya tetap persatuan menurun, atau melakukan diversivikasi ke
sektor yang masih berkaitan. Sedangkan financial synergy berasal dari penghematan sumber pendanaan. Ketika perusahaan memiliki ukuran yang semakin besar maka kemungkinan akan semakin mudah mengakses sumbersumber dana. Perusahaan yang memliki struktur permodalan kuat dan size yang besar akan diberi kepercayaan oleh publik. Kondisi tersebut akan memberikan dampak positif bagi perusahaan karena semakin meningkatnya kepercayaan pihak lain seperti lembaga-lembaga keuangan, akan membuat mereka bersedia meminjamkan dana. Perusahaan yang memiliki kepercayaan publik seperti itu akan memiliki risiko kebangkrutan yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki kepercayaan publik. Selain alasan-alasan yang diharapkan dapat menimbulkan synergy, kadang-kadang akuisisi juga dilakukan dengan alasan diversifikasi, meningkatkan pertumbuhan dan meningkatkan jumlah earning per share (EPS) (Wiagustini, 2014:318). Menurut Putri (2013) alasan perusahaan memilih strategi akuisisi selain karena akuisisi dipandang sebagai cara tercepat dalam memperluass usaha dan faktor sinergi, akuisisi juga memberikan lebih banyak keuntungan seperti meningkatnya kemampuan pemasaran, penelitian, keterampilan manajerial, transfer teknologi, dan efisiensi biaya produksi. Sedangkan Habib and Liu (2014) mengatakan bahwa perusahaan saat ini akan melakukan akuisisi atau merger dengan perusahaan lain untuk meningkatkan teknologi dan aset tidak berwujud mereka.
2.1.7 Faktor Pemicu Keberhasilan Akuisisi Hariyani dan Yustisia (2011:11) menyatakan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan akuisisi, yaitu sebagai berikut : 1) Perusahaan target dalam keadaan baik. 2) Perusahaan target relatif kecil. 3) Melakukan audit sebelum akuisisi. 4) Memiliki pengalaman akuisisi. 5) Melakukan akuisisi yang bersahabat.
2.1.8 Faktor Pemicu Kegagalan Akuisisi Hariyani dan Yustisia (2011:10) menyatakan bahwa terdapat faktorfaktor yang dapat memicu kegagalan akuisisi, yaitu sebagai berikut : 1) Perusahaan target dengan perusahaan pengambilalih memiliki kesesuaian strategi yang rendah. 2) Tidak adanya kejelasan mengenai nilai yang tercipta dari setiap program akuisisi. 3) Pendekatan-pendekatan integrasi yang tidak disesuaikan dengan perusahaan target. 4) Hanya mengandalkan strategi yang baik tidaklah cukup untuk mencapai keberhasilan akuisisi. 5) Rencana integrasi yang tidak disesuaikan dengan kondisi lapangan.
6) Tim negoisasi berbeda dengan tim implementasi, sehingga akan menyulitkan proses integrasi. 7) Ketakutan, ketidakpastian dan kegelisahan antara staf perusahaan yang tidak ditangani. 8) Perusahaan pengambilalih tidak mengkomunikasikan pengharapan dan perencanaan mereka terhadap karyawan perusahaan target sehingga terjadi kegelisahaan diantara karyawan.
2.2 Hipotesis Penelitian Secara logika jika ukuran atau skala perusahaan bertambah besar dan ditambah dengan sinergi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas yang simultan, maka laba perusahaan juga akan semakin meningkat. Oleh karena itu, kinerja pasca akuisisi seharusnya berbeda dibandingkan dengan sebelum akuisisi. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2012:395) alasan utama perusahaan melakukan akuisisi yaitu adanya motif ekonomi. Jika perusahaan akan membeli perusahaan lain, maka pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut menguntungkan. Menurut Wiagustini (2014:317) kondisi saling menguntungkan tersebut akan terjadi apabila peristiwa akuisisi tersebut memperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut lebih besar dibandingkan penjumlahan nilai perusahaan pada saat belum digabungkan. Hamidah dan Noviani (2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas yang diukur dengan current ratio (CR) menunjukkan adanya perbedaan pada periode satu tahun sebelum akuisisi dengan dua, empat, dan lima tahun sesudah merger
dan akuisisi. Rasio profitabilitas yang diukur dengan return on assets (ROA) menunjukkan adanya perbedaan pada periode satu tahun sebelum akuisisi dengan empat tahun sesudah merger dan akuisisi. Menurut Widyaputra (2006) secara parsial rasio keuangan NPM, ROE, dan ROA menunjukan adanya perbedaan yang signifikan untuk pengujian satu tahun sebelum dan satu tahun setelah merger dan akuisisi. Hal yang serupa juga ditemukan dalam penelitian Aisa (2012) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan Net Profit Margin, Total Asset Turn Over yang signifikan antara sebelum dengan sesudah merger dan akuisisi. Hasil Penelitian Naziah (2014) menyebutkan bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan kinerja perusahaan manufaktur sebelum dengan sesudah merger dan akuisisi, yaitu mengalami kenaikan yang signifikan. Menurut Fransiscus, Hidayat dan Iqbal (2015) dari lima perusahaan yang diteliti ada empat perusahaan yang memiliki nilai rata-rata ROE lebih besar setelah melakukan akuisisi. Putri (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa TATO, NPM, ROA, ROE mengalami peningkatan setelah 1 tahun akuisisi dan Debt to Equity Ratio (DER) setelah 1 tahun akuisisi lebih baik dari sebelumnya. Hasil penelitian Azizah (2015) menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan sesudah aktivitas akuisisi mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang terlihat pada rasio CR, ROA, ROE, dan Pertumbuhan Penjualan. Hal serupa juga ditemukan dalam penelitian Lesmana dan Gunardi (2012) pada perusahaan pengakuisisi, kinerja keuangan yang diukur dengan total asset turn over, net profit margin, return on investment, return on equity mengalami peningkatan sesudah akuisisi.
Bjornson and Sykuta (2002) juga melakukan penelitian dan menunjukan kinerja perusahaan mengalami kenaikan pasca akuisisi dengan diantaranya Safeway Inc yang secara signifikan meningkatkan ROI pasca akuisisi. Hasil penelitian Kumar and Bansal (2008) dalam kasus 52 penawaran akuisisi, lebih dari 60 persen dari kasus menunjukkan peningkatan kinerja keuangan dalam jangka waktu pasca-akuisisi. Untuk sekitar 15 persen kasus merger dan akuisisi menunjukan kinerja keuangan telah membaik, pada saat yang sama baik modal kerja dan Debt to Equity Ratio juga meningkat. Rani, Yadav, and Jain (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kinerja perusahaan pengakuisisi di India membaik setelah M & A dibandingkan dengan kinerja mereka sebelum M & A, Menurut penelitian Azhagiah and Kumar (2011), diantara 12 perusahaan sampel terdapat 7 perusahaan yang menunjukan posisi likuiditas yang diukur dengan CR telah membaik dan posisi profitabilitas yang diukur dengan NPM telah meningkat. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Heron and Lie (2002), dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa setelah akuisisi, perusahaan pengakuisisi terus menunjukkan tingkat kinerja operasi perusahaan lebih besar. Berdasarkan kajian teori dan kajian empiris tersebut dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Kinerja keuangan perusahaan multinasional yang diukur dengan Current Ratio (CR), Return on Equity (ROE), Return on Investment (ROI), Net Profit Margin (NPM), Debt to Equity Ratio (DER), Debt to Total Assets Ratio (DAR), Total Assets Turnover Ratio (TATO), Fixed Assets Turnover Ratio (FATO) berbeda secara signifikan antara sebelum dan setelah melakukan akuisisi.