BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Legitimasi Ghozali dan Cariri (2007:411) mengungkapkan definisi teori legitimasi sebagai suatu kondisi atau status, yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Seiring dengan berjalannya waktu, nilai dari sistem sosial yang terdapat di masyarakat terus berubah-ubah. Berdasarkan dari definisi teori legitimasi, untuk mendapatkan legitimasi memerlukan proses yang sifatnya berkesinambungan. Legitimasi didapatkan apabila yang dijalankan oleh perusahaan telah selaras dengan apa yang juga diinginkan oleh masyarakat. Jika terjadi ketidak selarasan antara sistem nilai perusahaan dengan nilai masyarakat maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup perusahaan. O’Donovan (2002) berpendapat legitimasi organisasi saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara masyarakat dan perusahaan. Legitimasi dapat dianggap sebagai menyamakan persepsi atau asumsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas adalah tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai, kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial (Suchman, 1995). Dalam posisi sebagai bagian dari maasyarakat, operasi
perusahaan
Eksistensinya
dapat
seringkali diterima
mempengaruhi sebagai
9
anggota
masyarakat
sekitarnya.
masyarakat,
sebaliknya
eksistensinya pun dapat terancam bila perusahaan tidak menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut atau bahkan merugikan anggota komunitas tersebut. Oleh karena itu, perusahaan melalui manajemennya mencoba memperoleh kesesuaian antara tindakan organisasi dan nilai-nilai dalam masyarakat umum dan publik yang relevan. Jika dikaitkan dengan kepatuhan wajib pajak, teori legitimasi sangat berpengaruh pada tingkat kepatuhan wajib pajak. Teori legitimasi merupakan suatu kondisi dimana suatu sistem nilai perusahaan sejalan dengan sistem nilai dari sistem sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Dalam hal kepatuhan wajib pajak dalam membaar pajak hotel, wajib pajak harus mengikuti atau sejalan dengan suatu sistem dimana wajib pajak harus mengikuti kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Kebijakan tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 yang mengatur tentang pajak hotel. Dengan demikian wajib pajak diharapkan menyadari kewajibannya yaitu wajib pajak harus patuh dan secara sukarela dalam membayar pajak karena dampaknya akan dinikmati wajib pajak dan akan membantu dalam hal pembangunan nasional.
2.1.2 Teori Kepatuhan (Compliance Theory) Teori kepatuhan telah diteliti pada ilmu-limu sosial khususnya di bidang psikologis dan sosiologi yang lebih menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam mempengaruhi perilaku kepatuhan seorang individu. Menurut Saleh (2004) terdapat dua perspektif dasar dalam literatur sosiologi mengenai kepatuhan pada hukum, yang disebut instrumental dan normatif.
10
Perspektif instrumental mengasumsikan individu secara utuh didorong oleh kepentingan pribadi dan tanggapan terhadap perubahan-perubahan dalam tangible, insentif, dan penalti yang berhubungan dengan perilaku. Perspektif normatif berhubungan dengan apa yang orang anggap sebagai moral dan berlawanan dengan kepentingan pribadi mereka. Seorang individu cenderung mematuhi hukum yang mereka anggap sesuai dan konsisten dengan norma-norma internal mereka. Sedangkan penelitian mengenai teori kepatuhan telah diterapkan secara luas pada perpajakan. Terdapat 14 variabel-variabel yang mempengaruhi pajak kepatuhan. Variabel-variabel tersebut adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, level pendapatan, sumber pendapatan, pekerjaan/status, etika, kewajaran, kompleksitas, hubungan dengan internal revenue service (IRS), sanksi, probabilitas deteksi, dan tingkat pajak. Selain itu terdapat beberapa variabel lain yang mempengaruhi kepatuhan pajak seperti proporsi pengendalian individu, biaya komplain, pengaruh penyusun pajak, lokasi geografis dan mobilitas pembayar pajak, dan hal-hal lain dimana pembayar pajak mempersepsikan keputusan kepatuhannya. Berdasarkan perspektif normatif maka sudah seharusnya bahwa teori kepatuhan ini dapat diterapkan di bidang perpajakan. Wajib pajak wajib memenuhi ketentuan dalam undang-undang khususnya dalam penyampaian laporan pajak
berkala secara tepat waktu kepada instansi pajak. Rochmat
Soemitro mengatakan secara umum teori kepatuhan dapat digolongkan dalam teori konsensus dan teori paksaan (Antari, 2012). Bagi teori konsensus dasar
11
ketaatan terletak pada penerimaan masyarakat terhadap sistem hukum. Dalam hal perpajakan yang terkait dalam teori konsensus, dengan sikap wajib pajak yang patuh dan memahami akan pentingnya fungsi maupun manfaat dari pajak, maka akan tercipta suatu penerimaan dari wajib pajak mengenai sistem perpajakan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksaan merupakan pagar penjaga agar wajib pajak tetap berada pada koridor peraturan pajak dan fiskus dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya untuk kegiatan formalitas saja, melainkan juga untuk memperkuat kebenaran dari transaksi dan kepatuhan hukum dengan undang-udang yang berlaku agar wajib pajak tetap patuh menjalankan hak dan kewajibannya membayar pajak (Hidayat, 2005).
2.1.3 Pengertian Pajak Prof.
Dr.
Rochmat
Soemitro,
SH,
dalam
Mardiasmo
(2011:1)
mendefinisikan pajak sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat
dipaksakan) dengan
tiada mendapat
jasa timbal
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi pajak menurut Soeparman Soehamidjaja, pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang atau jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum (Waluyo, 20011:3). Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat dari pengertian pajak, adalah sebagai berikut: 1) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
12
2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3) Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5) Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgetair, yaitu mengatur.
2.1.4 Penggolongan Pajak Pajak dikelompokkan karena setiap pajak yang dipungut memiliki kriteria sifat dan kegunaan yang berbeda-beda. Pajak dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu menurut sifatnya, sasaran obyeknya, dan lembaga pemungutannya (Mardiasmo, 2011:5) 1) Menurut golongannya (1) Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan. (2) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai. 2) Menurut sifatnya (1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan.
13
(2) Pajak objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3) Menurut lembaga pemungutannya (1) Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. (2) Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: 1) Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, dan Pajak Hiburan.
2.1.5 Fungsi Pajak dan Fungsi Pajak Daerah Fungsi pajak adalah sebagai berikut: 1) Fungsi pajak yang pertama adalah sebagai fungsi anggaran atau penerimaan (budgetair): pajak merupakan salah satu sumber dana yang digunakan pemerintah dan bermanfaat untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran. Penerimaan negara dari sektor perpajakan dimasukkan ke dalam komponen penerimaan dalam negeri pada APBN.
14
2) Fungsi pajak yang kedua adalah sebagai fungsi mengatur (regulerend) : pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contohnya adalah pengenaan pajak yang lebih tinggi kepada barang mewah dan minuman keras. 3) Fungsi pajak yang ketiga adalah sebagai fungsi stabilitas : pajak sebagai penerimaan negara dapat digunakan untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Contohnya adalah kebijakan stabilitas harga dengan tujuan untuk menekan inflasi dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat lewat pemungutan dan penggunaan pajak yang lebih efisien dan efektif. 4) Fungsi pajak yang keempat adalah fungsi redistribusi pendapatan : penerimaan negara dari pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan nasional sehingga dapat membuka kesempatan kerja dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. 5) Fungsi pajak kelima adalah demokrasi yang merupakan wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan pembangunan. Apabila pajak telah dilaksanakan dengan baik maka timbal baliknya adalah pemerintah harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Pajak daerah memiliki beberapa fungsi sebagai berikut : (1) Pajak daerah sebagai sumber dana dalam pembiayaan pembangunan daerah. (2) Pajak daerah sebagai sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah. (3) Pajak daerah sebagai pengatur pertumbuhan ekonomi.
15
2.1.6 Asas Pemungutan Pajak Pemungutan pajak didasarkan pada asas-asas tertentu bagi fiskus sehingga dengan asas ini negara memberi hak kepada dirinya sendiri untuk memungut pajak dari penduduknya, yang pada hakikatnya memungut dengan paksa (berdasarkan undang-undang) sebagian dari harta yang dimiliki penduduknya. Terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak (Waluyo, 2011:16), yaitu: 1) Asas tempat tinggal Negara-negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak.Wajib Pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, yang berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan). 2) Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak. 3) Asas sumber Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber pada suatu Negara yang memungut pajak.Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
16
2.1.7 Syarat Pemungutan Pajak Pelaksanaan pemungutan pajak agar tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan (Mardiasmo, 2011:2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Berdasarkan atas tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sementara adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis) Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat (2) di Indonesia sehingga memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3) Tidak menggangu perekonomian (syarat ekonomis) Pemungutan tidak boleh menggangu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan,
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian
masyarakat. 4) Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil) Berdasarkan atas budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
17
5) Sistem pemungutan pajak harus sederahana Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
2.1.8 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem yang mengatur pihak yang berwenang dalam menentukan dan memungut jumlah besarnya pajak. Pemungutan pajak pada pelaksanaannya dikenal beberapa sistem pemungutan (Resmi, 2011:11), yaitu: 1) Official Assessment system Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pelaksanaan sistem ini mengakibatkan inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan para aparatur perpajakan. 2) Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan arti pentingnya membayar pajak.
18
3) Witholding System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundangundangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong dan memungut pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
2.1.9 Pengertian Pajak Hotel Definisi pajak hotel menurut Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Pajak Hotel, menjelaskan beberapa hal penting berikut ini. 1) Pasal 1 butir 8 bahwa Hotel
adalah
fasilitas
penyedia
jasa
penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). 2) Pasal 3 butir 1 bahwa Objek Pajak merupakan
setiap pelayanan yang
disediakan dengan pembayaran dan atau yang seharusnya dibayar di hotel atau yang diperuntukan untuk itu. 3) Pasal 3 butir 2 Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat(1) termasuk: (1) Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek;
19
(2) Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan; (3) Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel ,bukan untuk umum; (4) Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan dihotel.
4) Pasal 3 butir 3, tidak termasuk sebagai objek Pajak Hotel meliputi: (1) Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah (2) Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya; (3) Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan; (4) Jasa tempat tinggal dirumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan (5) Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatka noleh umum. 5) Pasal 4 butir 1 bahwa Subjek Pajak meliputi orang pribadi atau Badan yang melakukan
pembayaran
kepada
orang
pribadi
atau
Badan
yang
mengusahakan Hotel. 6) Pasal 4 butir 2 Wajib Pajak meliputi orang pribadi atau Badan yang mengusahakan hotel.
20
2.1.10 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak Hotel Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel Pasal 5, menyebutkan Dasar Pengenaan Pajak Hotel adalah berupa jumlah pembayaran dan/atau pembayaran yang seharusnya dilakukan kepada hotel. Adapun tarif Pajak Hotel ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 Pasal 7 adalah sebesar 10% (sepuluh perseratus). Menghitung besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal6 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal5.
2.1.11 Kondisi Keuangaan Perusahaan Laksono
(2012)
menyimpulkan
bahwa
kondisi
keuangan
dapat
didefinisikan dengan kemampuan keuangan perusahaan yang tercermin dari tingkat profitabilitas (profitability) dan arus kas (cash flow). Profitabilitas perusahaan telah terbukti merupa
kan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepatuhan perusahaan dalam mematuhi peraturan perpajakan karena profitabilitas akan menekan perusahaan untuk melaporkan pajaknya (Slemlord, 1992, Bradley, 1994, dan Siahaan, 2005 dalam Laksono, 2012). Sebuah perusahaan yang mempunyai tingkat profitabilitas tinggi tidak menjamin likuiditasnya baik karena rasio profitabilitas dihitung dari laba akuntansi dibagi dengan investasi, aset, atau ekuitas, yang mana laba akuntansi menganut basis akrual. Perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas memungkinkan untuk tidak mematuhi peraturan perpajakan dalam upaya mempertahankan arus kasnya.
21
2.1.12 Pemeriksaan Pajak Sejalan dengan berlakunya self assessment system, peranan dan kejujuran Wajib Pajak semakin mutlak diperlukan. Diberlakukannya sistem ini, Wajib Pajak diharapkan dapat melaksanakan seluruh kewajiban perpajakan dan melaporkannya dengan benar pada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Wajib Pajak terdaftar. Sebagai konsekuensinya, Diektorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut untuk selalu melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Salah satu bentuk pengawasan tersebut adalah melalui pemeriksaan. Sebagaimana telah diatur dalam salah satu ketentuan Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah direvisi oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan direvisi kembali oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu dalam pasal 29 ayat (1) bahwa
Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Mengacu pada Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengenai pengertian pemeriksaan adalah sebagai berikut: Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam
rangka
melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan tujuan dari pemeriksaan yaitu
22
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak serta tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak terdapat dua jenis pemeriksaan yang dilakukan, yaitu seperti berikut ini. 1) Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. 2) Pemeriksaan Lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Prakteknya
hampir
semua
sistem
perpajakan
di
dunia
mengatur
kemungkinan dapat dilakukan penelitian dan pemeriksaan laporan perpajakan Wajib Pajak, yang nantinya akan dapat mengungkap seberapa besar kekeliruan maupun penyimpangan yang ada. Karena keterbatasan sumber daya manusia atau tenaga pemeriksa di Direktorat Jenderal Pajak, maka pemeriksaan hanya dilakukan terhadap laporan perpajakan Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK/03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, kriteria pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.Wajib Pajak dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut ini. 1) Menyampaikan Surat Pemeberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak,
23
pemeriksaan dengan kriteria ini dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan. 2) Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi, pemeriksaan dengan kriteria ini telah dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan. 3) Tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Teguran, pemeriksaan dengan kriteria ini dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan. 4) Melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, pemeriksaan dengan kriteria ini dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan. 5) Menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasi adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, pemeriksaan denga kriteria ini dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan. Tujuan akhir dari pemeriksaan di atas diharapka dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga akan berdampak pada peningkatan penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak yang pada akhirnya pajak yang dibayarkann oleh Wajib Pajak akan masuk dalam kas Negara. Dengan demikian, pemeriksaan pajak merupakan pagar penjaga agar Wajib pajak tetap mematuhi kewajibannya.
24
2.1.13 Sikap Wajib Pajak Menurut Kotler (2000), sikap didefinisikan sebagai evaluasi yang dipertahankan seseorang mengenai suka atau tidak suka, perasaan emosi, dan kecenderungan aksi terhadap beberapa obyek atau gagasan. Loudon dan Bitta (1988) menyatakan bahwa pada garis besarnya ada empat konsep definisi tentang sikap. Definisi yang pertama menyatakan bahwa sikap adalah sejauh mana perasaan seseorang terhadap obyek, negatif atau positif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju. Definisi tersebut menunjukkan
sikap
sebagai suatu perasaan atau reaksi penilaian terhadap suatu obyek. Selanjutnya, Loudon dan Bitta (1988) mengemukakan pandangan yang lebih berorientasi kognitif mengenai sikap yang menyebutkan bahwa sikap adalah organisasi yang berlangsung terus menerus dari motivasi, emosi, persepsi dan proses kognitif dalam menanggapi sejumlah aspek dalam dunia individu. Definisi terakhir menyebutkan bahwa keseluruhan sikap seseorang terhadap suatu obyek dilihat sebagai fungsi kekuatan keyakinan yang dipegang seseorang terhadap bermacam-macam obyek dan evaluasi terhadap keyakinan yang berhubungan dengan obyek tersebut. Pembahasan mengenai sikap dapat erat kaitannya dengan perbuatan atau tingkah
laku
manusia
dalam
kehidupan
sehari-hari,
sehingga
telah
banyak dipelajari. Ditinjau dari segi pentingnya masalah sikap pada tingkah laku atau perbuatan manusia dalam kehidupan manusia sehari-hari, sikap merupakan salah satu
aspek
yang
kesehariannya terutama
mempengaruhi
pola
dalam pengambilan
25
berpikir
keputusan.
individu
dalam
Saat sikap telah
terbentuk, maka sikap akan
menentukan
cara-cara
berperilaku
terhadap
obyek tertentu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran sikap tersebut. Selanjutnya, sikap akan memberikan corak pada tingkah laku seseorang maupun kelompok. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sikap wajib pajak adalah sikap Wajib Pajak terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Sikap wajib pajak tersebut diduga akan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak. Sikap yang dimaksud adalah sikap dalam artian positif dan kognitif.
2.1.14 Kepatuhan Perpajakan Kepatuhan dalam hal perpajakan merupakan suatu ketaatan untuk melakukan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan perpajakan yang diwajibkan atau diharuskan dilaksanakan menurut peraturan perundang-undangan perpajakan (Ghoni, 2012). Kepatuhan Wajib Pajak dapat dipengaruhi oleh dua jenis faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Fuadi dan Mangonting, 2012). Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri Wajib Pajak sendiri dan berhubungan dengan karakteristik individu yang menjadi pemicu dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Berbeda dengan faktor internal, faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri Wajib Pajak, seperti situasi dan lingkungan di sekitar Wajib Pajak.
26
2.1.15 Wajib Pajak Patuh Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.04/2000, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut (Supadmi, 2009): 1) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam dua tahun terakhir. 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. 3) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir. 4) Dalam dua tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 UU KUP dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk tiap-tiap jenis pajak yang terutang paling banyak 5% 5) Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk dua tahun terakhir diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan auditnya harus disusun dalam bentuk panjang (long form report) yang menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiscal. Dalam hal wajib pajak yang laporan keuangannya tidak diaudit oleh akuntan publik dipersyaratkan untuk memenuhi ketentuan pada angka 1, 2, 3, dan 4 di atas.
27
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Kondisi Keuangan Perusahaan pada kepatuhan wajib pajak hotel Profitabilitas perusahaan (firm profitability) telah terbukti merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan dalam mematuhi peraturan perpajakan karena profitabilitas akan menekan perusahaan untuk melaporkan pajaknya (Slemrod, 1992, Bradley, 1994, dan Siahaan, 2005 dalam Mustikasari, 2007). Perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas ada kemungkinan tidak mematuhi peraturan perpajakan dalam upaya untuk mempertahankan arus kasnya. Penelitian yang dilakukan oleh Laksono (2011) menunjukkan bahwa kondisi keuangan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Apabila kondisi keuangan perusahaan baik, maka Tax Professional akan patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan yang dia wakili atau bisa dikatakan tingkat kepatuhan pajaknya tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada peneletian ini adalah: H1 : Kondisi keuangan perusahaan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak hotel di Dinas Pendapatan Kota Denpasar.
2.2.2 Pengaruh Pemeriksaan Pajak pada kepatuhan wajib pajak hotel Pemeriksaan dilakukan untuk membuat wajib pajak yang ditemukan melakukan penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan agar menjadi lebih patuh dalam melakukan kewajiban perpajakannya. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional
28
berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perturan perundang-undangan perpajakan (Suandy, 2009:209). Hidayat (2005) menyatakan dalam penelitiannya bahwa pemeriksaan dilakukan oleh fiskus tidak hanya untuk kegiatan formalitas saja, melainkan juga memperkuat kebenaran dari transaksi dan kepatuhan hukum dengan undang-undang yang berlaku agar wajib pajak tetap patuh dalam menjalankan hak dan kewajibannya membayar pajak. Ardianti (2012) meneliti pengaruh kewajiban moral, kualitas pelayanan, pemeriksaan pajak dan sanki perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak badan. Dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda, diperoleh hasil menunjukkan pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak badan. Pemeriksaan pajak diharapkan akan menambah tingkat kepatuhan bagi wajib pajak karena salah satu tujuan penting dalam pemeriksaan adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak yang akan berdampak pada peningkatan penerimaan (Priantara, 2000:24). Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada peneletian ini adalah: H2
: Pemeriksaan pajak berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak hotel di Dinas Pendapatan Kota Denpasar
2.2.3 Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Kepatuhan Wajib Pajak Hotel Menurut Rakhmat (1996) pengertian sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap wajib pajak yang semakin patuh dalam membayarkan pajaknya merupakan faktor penting dalam melaksanakan self assessment system. Seorang wajib pajak
29
harus memahami, menaati dan memiliki kesungguhan untuk memenuhi kewajiban ketentuan perpajakan dengan baik dan benar, yang sudah diatur pemerintah dalam perundang-undangan. Penilaian positif wajib pajak terhadap pelaksanaan fungsi Negara oleh pemerintah akan menggerakan masyarakat untuk memahami kewajiban perpajakannya. Semakin patuh sikap wajib pajak dalam membayarkan pajaknya maka penerimaan pajak juga akan semakin meningkat. Banyu (2011) meneliti pengaruh sikap, kesadaran wajib pajak, dan pengetahuan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bumi dan bangunan kecamatan pamulang kota tangerang selatan menyatakan sikap, kesadaran, pengetahuan perpajakan berpengaruh secara simultan dan scecara parsial berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan pelaporan wajib pajak bumi dan bangunan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: H3
: Sikap wajib pajak berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak hotel di Dinas Pendapatan Kota Denpasar
30