BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Kinerja Kinerja adalah hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM persatu periode waktu dalam melaksanakan tugas-tugas karyawan sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2010:9). Bangun (2012:231) menyatakan kinerja adalah hasil pekerjaan yang dicapai seseorang berdasarkan persyaratan-persyaratan pekerjaan (job requirement). Suatu pekerjaan mempunyai persyaratan tertentu untuk dapat dilakukan dalam mencapai tujuan yang disebut juga sebagai standar pekerjaan (job standard). Fadli (2004) menyatakan kinerja adalah hasil kerja yang disumbangkan oleh seseorang karyawan yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya kepada organisasi (perusahaan). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh para karyawan dalam kaitan dengan palaksanaan tugas berdasarkan ukuran yang berlaku dalam satu satuan waktu. 2.1.1.1 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Mahmudi (2010:20) memaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut. 1) Faktor personal/individual, meliput: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, percaya diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu. 2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dan memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan yang diberikan manajer dan team leader.
3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan, dan keeratan anggota tim. 4) Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi. 5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal. 2.1.1.3 Indikator Kinerja Indikator yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya kinerja yaitu sebagai berikut (Mangkunergara, 2010:13). 1) Prestasi kerja Keterampilan dan kecepatan yang dimiliki oleh karyawan. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan yang memiliki kecakapan dan keterampilan yang luas dalam menyelesaikan tugasnya sendiri maupun dalam kelompok dengan baik.
2) Kejujuran Penyampaian sesuatu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya indikator variabel ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan selalu melaksanakan tugasnya dengan tulus ikhlas dan tidak pernah menyalahgunakan wewenang. 3) Tanggung Jawab
Karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik. 4) Inisiatif Kemampuan karyawan untuk mengambil keputusan dalam keadaan mendesak. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan dapat mengambil keputusan atau mengambil tindakan yang diperlukan dalam keadaan mendesak dan tanpa menunggu petunjuk atau perintah atasan dalam melaksanakan tugas namun tidak bertentangan dengan kebijakan pemimpin. 5) Kerjasama Kemampuan karyawan untuk bekerja sama dengan rekan sekerjanya, bawahan maupun atasan. Indikator variabel ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan selalu menyelesaikan perkerjaanya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya. 6) Kecepatan kerja Seberapa cepat karyawan bisa menyelesaikan pekerjaan rutin tanpa mengurangi kualitas kerja. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan melakukan pekerjaan dengan baik dalam menyeimbangkan kecepatan dan kualitas kerja yang dihasilkan. 7) Tingkat kesalahan kerja Penyelesaian pekerjaan oleh para karyawan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Indikator ini diukur dari persepsi responden mengenai karyawan dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik tanpa kesalahan.
2.1.2 Pengertian Kepemimpinan Transformasional Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain (Ardana dkk, 2012:179). Menurut Cavazott, et al. (2011) kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi para pengikut untuk melampaui kepentingan pribadi mereka dan yang mampu membawa dampak mendalam dan luar biasa pada pengikut. Salder dalam Wuradji (2008:48) kepemimpinan transformasional adalah suatu proses kepemimpinan dimana pemimpin mengembangkan komitmen pengikutnya dengan berbagai nilai-nilai dan berbagai visi organisasi. Kepemimpinan Transformasional pada dasarnya dapat menciptakan lingkungan yang memotivasi karyawan dalam mencapai tujuan organisasi serta mengembangkan minat dalam bekerja (Kresnandito, 2012:80). Dengan demikian, kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai sosok pemimpin yang mampu mendatangkan perubahan di dalam diri setiap individu yang terlibat atau bagi seluruh organisasi untuk mencapai kinerja yang maksimal. 2.1.2.1 Indikator Kepemimpinan Transformasional Menurut Sunyoto dan Burhanudin (2011:110) indikator-indikator kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut. (1) Charismatic leadership adalah pemimpin yang dihormati dan dikagumi, sehingga dengan pengaruh dan kekuatan karisma tersebut pemimpin mudah untuk mengkomunikasikan visi atau misi organisasi kepada pengikut. (2) Inspirational leadersip adalah pemimpin yang dapat memberikan inspirasi, secara emosional membangkitkan, menggerakkan dan menyemarakkan kondisi yang sudah tidak lagi menggairahkan.
(3) Belief adalah pemimpin yang memilik insting atau naluri yang kuat, dapat melihat dan membuat keputusan-keputusan tepat yang berdaampak positif bagi organisasi sehingga mampu bertindak dengan penuh keyakinan dan menanamkan kepercayaan kepada para pengikutnya. (4) Intellectual stimulation adalah pemimpin yang melakukan stimuli-stimuli intelektual kepada para pengikutnya, mampu mendorong pengikutnya untuk bertindak secara kreatif, mengajak bawahan untuk berpikir dengan cara-cara baru, berani memunculkan ide-ide dan berpikir secara rasional dalam menyelesaika suatu masalah, tidak berdasarkan opini atau dugaan saja. (5) Individualized consideration adalah pemimpin yang cenderung bersikap membaur menjadi satu dengan pengikutnya, bersahabat, dekat, informal dan mampu memberlakukan pengikutnya sebgaimana layaknya individu dengan kebutuhan masing-masing. Indikator lain dari kepemimpinan transformasional menurut House dan Podskoffet et.al. (1990) yang diadopsi dari penelitian Rafferty dan Griffin (2004) adalah sebagai berikut. (1) Pandangan (Vision) (2) Komunikasi yang menginspirasi (Inspirational Communication) (3) Stimulasi Intelek (Intellectual Stimulation) (4) Kepemimpinan Suportif (Suportive Leadership) (5) Penghargaan Pribadi (Personal Recognition) 2.1.3 Pengertian Disiplin Kerja
Disiplin adalah kegiatan manajemen untuk menjalankan standar-standar organisasional (Handoko, 2008:208). Menurut Siagian (2008:121) pendisiplinan pegawai adalah suatu bentuk pelatihan yang berusaha memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku pegawai sehingga para pegawai tersebut secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para pegawai yang lain serta meningkatkan prestasi kerjanya. Disiplin kerja adalah sikap dan perilaku seorang karyawan yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan seorang karyawan dengan penuh kesadaran dan ketulus-ikhlasan atau dengan paksaan untuk mematuhi dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai upaya memberi sumbangan semaksimal mungkin pencapaian tujuan perusahaan (Gorda, 2004:111). Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa disiplin adalah suatu sikap mental, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan-peraturan dari suatu perusahaan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. 2.1.3.1 Indikator Disiplin Kerja Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi (Hasibuan, 2010:194), diantaranya. 1) Tujuan dan Kemampuan Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. 2) Teladan Pemimpin Teladan pemimpin sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Teladan pimpinan yang baik, kedisiplinan bawahanpun akan ikut baik begitu pula sebaliknya.
3) Balas Jasa Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan karyawan karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan pekerjaannya. 4) Keadilan Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. 5) Waksat Waksat (pengawasan ketat) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan karyawan perusahaan. Dengan waksat berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku , moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya. 6) Sanksi Hukuman Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturanpraturan perusahaan, sikap, dan perilaku indisipliner karyawan akan berkurang. 7) Ketegasan Pemimpin harus berani dan tegas, bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indisiplinier sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan, pimpinan yang berani bertindak tegas akan lebih disegani dengan demikian pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan perusahaan.
8) Hubungan Kemanusiaan Hubungan kemanusiaan yang harmonis diantara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Hubungan yang bersifat vertical maupun horizontal terdiri dari direct single relationship, direct group relationship dan cross relationship hendaknya harmonis. 2.1.4
Pengertian Burnout Maslihudin (2009) menyatakan bahwa bornout adalah suatu kondisi fisik, emosi dan
mental yang sangat drop yang diakibatkan oleh situasi kerja yang sangat menuntut dalam jangka panjang. Bornout merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan kondisi penurunan energy mental atau fisik setelah periode stres berkepanjangan, berkaitan dengan pekerjaan atau cacat fisik (Perry and Potter 2005). Pada penelitiannya Yanuar dan Hary (2010) menyatakan bornout merupakan kelelahan fisik, mental, dan emosional terjadi karena stres yang diderita, dalam jangka waktu yang lama, didalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi. Dengan demikian burnout adalah suatu kondisi yang akan mengganggu psikologis seseorang karena tidak berhasil mengatasi stres kerja dan menyebabkan stres berkepanjangan serta akan mengakibatkan gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan mental, kelelahan fisik, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri.
2.1.4.1 Faktor penyebab terjadinya Burnout Teradapat dua faktor yang penyebab munculnya burnout (Yanuar dan Hari, 2010).
1) Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang mononton. 2) Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian. 2.1.4.2 Indikator terjadinya Burnout Yanuar dan Hary (2010) menyatakan bornout memiliki lima indikator yaitu : 1) Kelelahan fisik, ditandai dengan serangan sakit kepala, mual, susah tidur, kurangnya nafsu makan, dan individu merasakan adanya anggota badan yang sakit. 2) Kelelahan emosional, ditandai dengan depresi, merasa terperangkap di dalam pekerjaannya, mudah marah, dan cepat tersinggung. 3) Kelelahan mental, ditandai dengan bersikap sinis terhadap orang lain, bersikap negatif, cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan maupun organisasi. 4) Rendahnya penghargaan terhadap diri, ditandai dengan individu tidak merasa pernah merasa puas dengan hasil kerja sendiri, dan merasa tidak pernah merasa puas dengan hasil kerjanya. 5) Depersonalisasi, dtitandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial, dan tidak perduli dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya.
2.1.5 Teori Pendukung Teori pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan yang dikemukakan oleh David Mc Clellend dan kawan-kawannya, Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan, yaitu (Robbins, 2007): 1) Kebutuhan pencapaian (Need for Achievment), yaitu dorongan untuk berprestasi dan mengungguli, mencapai standar-standar, dan berusaha keras untuk berhasil.
2) Kebutuhan akan kekuatan (Need for Power), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya. 3) Kebutuhan hubungan (Need for Affliation), yaitu hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Berdasarkan ketiga kategori kebutuhan di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan pencapaian (Need for Achievment) dari pemahaman (Robbins, 2007), yaitu dorongan untuk berprestasi dan mengungguli, mencapai standar-standar, dan berusaha keras untuk berhasil demi kemajuan perusahaan.
Bass (1990, dalam Harsiwi, 2005) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi, yaitu: 1. Attributed charisma, dimensi ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. 2. Insprational motivation, dalam dimensi ini pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan antusiasme dan optimism. 3. Inntelectual stimulation, pemimpin transformational harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
4. Individualized conseridation, dalam dimensi ini, pemimpin transformasional seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan
secara
khusus
mau
memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan
bawahan
akan
pengembangan.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kepemimpinan Transformasional pada Kinerja Karyawan Andria dan Subroto (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja karyawan, dimana hasil penelitian menunjukan jenis kepemimpinan transformasional membuat karyawan merasa menjadi bagian perusahaan dan merasa dihargai karena diberi kesempatan untuk terlibat dan berpatisipasi
dalam
pengambilan
keputusan.
Suharnomo
(2013)
menyatakan
bahwa
kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Agustina, dkk. (2012) menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja karyawan pada Rumah Sakit Malang. Berdasarkan beberapa penelitian diatas maka dapat diajukan hipotesis yaitu sebagai berikut. H1: Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif dan signifikam pada kinerja karyawan. 2.2.2 Pengaruh Disiplin Kerja pada Kinerja Karyawan Kristiyanti dan Lisda (2009) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara disiplin kerja terhadap kinerja karyawan. Harlie (2011) dalam penelitiannya menyatakan disiplin kerja berpengaruh nyata secara parsial terhadap kinerja pegawai. Wahyuni (2008) menyatakan bahwa disiplin kerja berpengaruh positif terhadap
kinerja. Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H2 : Disiplin kerja berpengaruh positif dan signifikan pada kinerja karyawan. 2.2.3
Pengaruh Bornout pada Kinerja Karyawan Penelitian yang dilakukan oleh Maharani dan Triyoga (2012) memperoleh kesimpulan
bahwa tidak ada hubungan antara burnout dengan kinerja perawat karena semua perawat memiliki kinerja yang baik dan cukup walaupun memiliki kejenuhan kerja. Risambessy (2011) membuktikan bahwa burnout berpengaruh signifikan dan negatif, ini menunjukan bahwa tekanan kerja dan sulitnya suatu pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat kinerja yang dihasilkan. (Yanuar dan Hari, 2010) variabel burnout memiliki pengaruh negatif terhadap kinerja dimana perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya burnout maka akan semakin menurunkan kinerja karyawan. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut. H3 : Bornout berpengaruh negatif dan signifikan pada kinerja karyawan.
Berdasarkan definisi dan kajian teori dari beberapa para ahli yang ada, maka dapat disusun suatu kerangka pemikiran sebagai dasar penentu hipotesis seperti Gambar 2.1. Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Kepemimpinan Transformasional, Disiplin Kerja, dan Burnout pada Kinerja.
Kepemimpinan Transformasional (X1)
H1(+) Kinerja (Y)
Disiplin Kerja (X2)
H2(+) H3(-)
Bornout (X3)
Gambar 2.1 menjelaskan bahwa H1(+) adalah hipotesis pengaruh kepemimpinan transformasional secara parsial pada kinerja, H2(+) adalah hipotesis yang menjelaskan pengaruh disiplin kerja secara parsial pada kinerja, dan H3(-) adalah hipotesis yang menjelaskan pengaruh bornout secara parsial pada kinerja.