BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Theory of Planned Behavior Menurut Feld & Frey (2002) dalam Octania Amriani,dkk (2014) penelitian mengenai
kepatuhan
pajak,
dapat
dilihat
dari
sisi
psikologi
wajib
pajak.Pendekatan melalui aspek psikologi dilakukan mengingat dalam suatu negara yang menganut demokrasi, hubungan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak dapat dilihat sebagai suatu kontrak psikologi.Suatu kontrak psikologi menuntut adanya hubungan yang setara antara pembayar pajak tergantung dari seberapa besar kedua belah pihak saling memercayai dan mematuhi atau memenuhi komitmen dalam kontrak psikologi (Hidayat, 2010) Kajian dalam bidang psikologi mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pajak, salah satunya adalah melalui Theory of Planned Behavior (TPB) (Ajzen, 1991) dalam (Hidayat, 2010). Berdasarkan model TPB, menurut Ajzen (1991), dapat dijelaskan bahwa perilaku individu untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan ditentukan oleh niat (intention). Niat untuk berperilaku dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1) Behavioral belief Keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief) dan evaluasi terhadap hasil dari keyakinan tersebut. Keyakinan dan evaluasi terhadap hasil ini akan membentuk variabel sikap (attitude).
2) Normatif belief Keyakinan individu tentang harapan normatif orang lain yang menjadi rujukannya, seperti keluarga, teman, dan konsultan pajak serta motivasi untuk mencapai harapan tersebut. Harapan normatif ini membentuk veriabel norma subjektif (subjective norm). 3) Control belief Keyakinan individu tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilakunya dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal tersebut mempengaruhi perilakunya.Control belief membentuk variabel kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control).
Menurut Ajzen (1991) sikap yang mendorong perilaku (attitude toward behavior) merupakan derajat dimana seseorang memiliki evaluasi atau penilaian positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Respon positif atau negatif itu adalah hasil proses evaluasi (outcome evaluation) terhadap keyakinan (behavioral belief strength) individu yang mendorong perilaku. Pengertian norma subjektif(subjective norm) adalah persepsi tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma subjektifmerupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan (injunctive normative beliefs) individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu (motivation to comply) tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991).Penelitian ini menggunakan satu indikator yang digunakan sebagai motivasi wajib pajak untuk berperilaku patuh yaitu pengaruh kualitas pelayanan.
Pengertian kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control) Ajzen (1991) mendefinisikan sebagai persepsi kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku.Semakin besar (power of control) semakin besar pula niat seseorang untuk melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan.Indikator yang digunakan sebagai kontrol pada penelitian ini adalah sanksi perpajakan.Sanksi pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak untuk taat pajak. Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang berperilaku (Mustikasari, 2007).
2.1.2 Technology Acceptance Model (TAM) Technology Acceptance Model (TAM) adalah suatu model untuk memprediksi dan menjelaskan bagaimana pengguna teknologi menerima dan menggunakan teknologi tersebut dalam pekerjaan individual pengguna. Tujuan dari Technology Acceptance Model (TAM) ini adalah untuk menjelaskan sikap individu terhadap penggunaan suatu teknologi.Sikap individu atau reaksi yang muncul dari penerimaan teknologi tersebut dapat bermacam-macam diantaranya dapat digambarkan dengan intensitas atau tingkat penggunaan teknologi tersebut.
Menurut Pratama (2008) dalam Gita (2010), penerimaan pengguna atau pemakai teknologi informasi menjadi bagian dari riset dari penggunaan teknologi informasi, sebab sebelum digunakan dan diketahui kesuksesannya, terlebih dahulu dipastikan tentang penerimaan atau penolakan atas penggunaan teknologi informasi tersebut.Penerimaan pengguna teknologi informasi merupakan faktor penting
dalam
penggunaan
dan
pemanfaatan
sistem
informasi
yang
dikembangkan.Penerimaan pengguna teknologi informasi sangat erat kaitannya dengan variasi permasalahan pengguna dan potensi imbalan yang diterima jika teknologi informasi diaplikasikan dalam aktivitas pengguna kaitannya dengan aktivitas perpajakan (Pratama, 2008). Pengguna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan teknologi informasi yang dimaksud adalah e-Filing.Pengertian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan e-Filing dapat mempengaruhi kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi. Model Technology Acceptance Model (TAM) awalnya dikenalkan oleh Davis (1989) yang dikembangkan dari Theory Resoned Action (TRA) dan TheoryPlanned Behaviour (TPB). Hasil penelitian Davis menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi minat penggunaan sistem informasi dipengaruhi oleh persepsi kebermanfaatan (perceived usefulness) dan persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use). Persepsi kebermanfaatan menjadi penentu suatu sistem dapat diterima atau tidak. Wajib pajak yang beranggapan bahwa e-Filing akan bermanfaat bagi mereka dalam melaporkan SPT menyebabkan mereka tertarik menggunakannya.
Semakin besar ketertarikan mereka menggunakannya, maka semakin besar juga intensitas pengguna dalam menggunakan sistem informasi tersebut. Begitu juga sebaliknya yang akan terjadi jika wajib pajak menganggap e-Filing tidak bermanfaat untuknya dalam hal melaporkan SPT, maka yang akan terjadi adalah wajib pajak menjadi tidak mau menggunakan e-Filing. Hal ini berakibat pada turunnya intensitas penggunaan e-Filing oleh pengguna. Persepsi kemudahan penggunaan juga menjadi penentu suatu sistem dapat diterima atau tidak. Wajib pajak yang beranggapan bahwa e-Filing itu mudah digunakan akan mendorong mereka untuk terus menggunakan sistem tersebut. Kemudahan yang diberikan oleh e-Filing akan menyebabkan wajib pajak senang dalam menggunakannya dan akan mengesampingkan kekurangan yang ada dalam e-Filing.
Begitu
juga
sebaliknya,
jika
wajib
pajak
telah
merasakan
ketidakmudahan pada e-Filing, maka yang akan terjadi adalah wajib pajak menjadi tidak takut dan tidak bersemangat dalam menggunakannya. Persepsi yang seperti ini akan mengurangi minat wajib pajak dalam menggunakan e-Filing. Kepuasan pengguna juga menjadi penentu suatu sistem dapat diterima atau tidak. Kepuasan yang dirasakan oleh wajib pajak setelah menggunakan eFilingakan menyebabkan wajib pajak tertarik menggunakan kembali sistem tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika wajib pajak merasa dikecewakan setelah menggunakan e-Filing maka yang akan terjadi adalah wajib pajak menjadi malas menggunakan e-Filing lagi.
2.1.3 Pengertian Pajak Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Soemitro dalam Resmi (2007:1), pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pengertian Pajak tersebut adalah salah satu dari berbagai asumsi yang dikemukakan oleh para ahli, walaupun definisi yang diutarakan berbeda-beda, namun masing-masing memiliki tujuan yang sama. Seperti yang dijabarkan oleh Andriani (2000) “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak, yang pembayarannya menurut peraturan-peraturan tidak dapat prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk meyelenggarakan pemerintahan”.
2.1.4 Pengertian Wajib Pajak Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan (Rosdiana dan
Irianto, 2011).Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak tertentu.Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan.Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan diatas pendapatan tidak kena pajak (Rahman, 2010). Dalam KUP, ketentuan mengenai kewajiban mendaftarkan diri untuk wajib pajak orang pribadi (WP OP) dibedakan perlakuannya (tax treatment) antara wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) paling lama satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan (Rosdiana dan Irianto, 2011).Yang dimaksud dengan saat usaha mulai dijalankan adalah saat yang terjadi lebih dulu antara saat pendirian dan saat usaha nyata-nyata mulai dilakukan.
2.1.5 Kualitas Pelayanan Pelayanan pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk membantu wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.Pelayanan pajak termasuk dalam pelayanan publik karena: 1. Dijalankan oleh instansi pemerintah
2. Bertujuan utuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan undang-undang. 3. Tidak berorientasi pada profit atau laba Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-84/PJ/2011 tentang Pelayanan Prima ditegaskan beberapa ketentuan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan petugas pajak kepada Wajib Pajak yaitu sebagai berikut, yaitu: 1. Waktu pelayanan adalah pukul 08.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat 2. Pegawai yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak harus menjaga sopan santun dan perilaku, ramah, tanggap, cermat dan cepat serta tidak mempersulit layanan, dengan cara: a. Bersikap hormat dan rendah hati terhadap tamu. b. Petugas selalu berpakaian rapi dan bersepatu. c. Selalu bersikap ramah, memberikan 3S (Senyum, Sapa dan Salam). d. Mengenakan kartu identitas pegawai. e. Mendengarkan dengan baik apa yang diutarakan oleh Wajib Pajak, tidak melakukan aktivitas lain misalnya menjawab panggilan telepon, makan dan minum atau mendengarkan musik saat memberi pelayanan.
f. Apabila masih terdapat layanan yang perlu dilakukan konfirmasi sehingga Wajib Pajak tidak menunggu terlalu lama, petugas dapat meminta nomor telepon Wajib Pajak untuk dihubungi kembali. g. Tidak mengobrol atau bercanda berlebihan sesama petugas. h. Menata waktu konsultasi dengan efektif dan efisien. i. Menyerahkan dokumen atau tanda terima kepada Wajib Pajak dengan sopan. 3. Dalam merespon permasalahan dan memberikan informasi kepada Wajib Pajak, seharusnya: a. Petugas memberikan informasi/penjelasan secara lengkap dan jelas sehingga Wajib Pajak dapat mengerti dengan baik. b. Untuk
lebih
menyakinkan
Wajib
Pajak,
petugas
dapat
menggunakan brosur/buku petunjuk teknis pelayanan c. Apabila petugas belum yakin terhadap permasalahan yang ditanganinya, segera diinformasikan ke petugas lain, supervisor atau atasan yang bersangkutan dan memberitahukan permasalahan yang disampaikan Wajib Pajak agar Wajib Pajak tidak ditanyai berkali-kali. 4. Setiap tamu yang datang,harus ada petugas keamanan yang menyambut, menanyakan keperluan dan mempersilahkan tamu dengan sopan untuk mengambil nomor antrian. 5. Akan lebih baik bila petugas dapat menjelaskan berapa lama Wajib Pajak harus menunggu.
6. Apabila terjadi aliran listrik padam atau sistem sedang rusak atau terganggu yang mengakibatkan petugas tidak dapat melayani dengan, sehingga Wajib Pajak menjadi tidak sabar/marah, maka yang harus diperhatikan adalah: a. Petugas meminta maaf atas situasi tersebut. b. Memberikan informasi bahwa listrik padam atau sistem sedang rusak. c. Menanyakan kesediaan Wajib Pajak untuk menunggu. d. Menanyakan nomor telepon yang bisa dihubungi apabila Wajib Pajak memilih untuk meninggalkan KPP untuk sementara waktu. e. Memberitahu Wajib Pajak saat suasana sudah kembali normal dan proses sudah selesai. f. Jika memungkinkan, agar disediakan minuman ringan kepada Wajib Pajak yang sedang menunggu. 7. Bila petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan atau surat yang disampaikan oleh Wajib Pajak misalnya karena kurang lengkap, maka petugas harus menjelaskannya secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak memahami dengan baik.
Menurut Zeithaml (1990) terdapat 5 dimensi kualitas pelayanan jasa yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan
kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. 2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu, pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan akurasi tinggi. 3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. 4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan santunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari komponen: komunikasi
(communication),
kredibilitas
(cedibility),
keamanan
(security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy). 5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
2.1.6 Sanksi Perpajakan Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan kepada orang yang melanggar peraturan.Sanksi diperlukan agar peraturan atau undang-undang tidak dilanggar.Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus adasanksi perpajakan bagi para pelanggarnya. Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2011:59) adalah sebagai berikut: “Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.” Dengan diberikannya sanksi terhadap wajib pajak yang lalai maka wajib pajak pun akan berfikir dua kali jika dia akan melakukan tindak kecurangan atau dengan sengaja lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga wajib pajak juga akan lebih memilih patuh dalam hal pemenuhan kewajiban perpajakannya daripada dia harus menanggung sanksi yang diberikan. Hal serupa juga dikemukakan oleh M.Zain (2007:35) yaitu: ”Sesungguhnya tidak diperlukan suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya. Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi penyelundupan pajak atau kelalaian pajak.Jika hal ini sudah berkembang dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.”
Dalam Mardiasmo (2011:59) undang-undang perpajakan dikenal ada dua macam sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana merupakaan siksaan atau penderitaan, merupakan suatu alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khsususnya yang berupa bunga dan kenaikan. Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator (Restu, 2014) sebagai berikut: a. Sanksi pajak sangat diperlukan agar tercipta kedisiplinan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan b. Pengenaan sanksi harus dilaksanakan dengan tegas kepada semua Wajib pajak yang melakukan pelanggaran c. Sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak harus sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang sudah dilakukan d. Penerapan sanksi pajak harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.1.7 Biaya Kepatuhan Pajak Compliance cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak. Besarnya biaya-biaya yang harus
dikeluarkan
Wajib
Pajak
dalam
menyelenggarakan
kewajiban
perpajakannya, turut menentukan tingkat kepatuhan perpajakan. Menurut Sandford (1994)dalam Prasetyo (2008) membagi Biaya Kepatuhan Pajak dalam tiga jenis biaya, yakni direct money cost, time cost, danpsychological cost. Berikut ini adalah penjelasan mengenai direct money cost,
time cost, dan psychological cost menurut Sandford (1994), dan pemikir lain yang mempunyai kaitan atau kesamaan terhadap ketiga jenis biaya tersebut. a. Direct Money Cost Menurut Sandford (1994), direct money cost adalah biaya-biaya cash money (uang tunai) yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak. Biayabiaya berupa actual cash outlay yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam pemenuhan
kewajiban
pajak
ini,
yang
oleh
Sandford
(1994)
dikelompokkan dalam direct money cost, timbul sebagai implikasi dari adanya sistem pemungutan pajak self assessment. Dengan kata lain, biaya kepatuhan pajak merupakan implikasi inheren dari sistem pemungutan pajak self assessment. b. Time Cost Menurut Sandford (1994), time cost adalah waktu yang terpakai oleh wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara lain waktu yang digunakan untuk membaca formulir surat pemberitahuan pajak (SPT) dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk berkonsultasi dengan akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT, dan waktu yang digunakan untuk pergi dan pulang ke kantor pajak. c. Psychological Cost Guyton et al.(2003)menjelaskan bahwa biaya psikologis meliputi ketidakpuasan, rasa frustasi, serta keresahan wajib pajak dalam
berinteraksi
dengan
sistem
dan
otoritas
pajak.Pendapat
senada
disampaikan oleh Sandford (1994) yang mengatakan bahwa psychological cost adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena melakukan tax evasion. Terkait dengan pendapat Guytonet al.dan Sandford tersebut, penelitimenggunakan batasan psychological cost sebagai biaya psikologis yang meliputi rasa frustasi, cemas atau stress ketika wajib pajak berinteraksi dengan otoritas pajak atau menghadapi masalah yang ditimbulkan oleh sistem perpajakan atau peraturan perpajakan. Biaya Kepatuhan Pajak merupakan biaya-biaya yang ditanggung oleh wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak. Karena wajib pajak sudah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka wajib pajak berharap agar biaya transaksi atau biaya-biaya yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak adalah minimal, meliputi biaya riil (yakni, direct money cost) maupun biaya semu (antara lain, time cost dan psychological cost). Namun, apabila jumlah Biaya Kepatuhan Pajak lebih besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi dalam diri wajib pajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi biaya kepatuhan pajak, semakin rendah kepatuhan pajak.
2.1.8 Penerapan e-Filing E-Filingadalah sebuah layanan pengiriman atau penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara elektronik baik untuk Orang Pribadi maupun Badan (perusahaan, organisasi) ke Direktorat Jendral Pajak melalui sebuah ASP (Application Service Provider atau Penyedia Jasa Aplikasi) dengan memanfaatkan jalur komunikasi internet secara online real time, sehingga Wajib Pajak (WP) tidak perlu lagi melakukan pencetakan semua formulir laporan dan menunggu tanda terima secara manual. Online berarti bahwa Wajib Pajak dapat melaporkan pajak melalui internet dimana saja dan kapan saja, sedangkan kata realtime berarti bahwa konfirmasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat diperoleh saat itu juga apabila data-data Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi dengan lengkap dan benar telah sampai dikirim secara elektronik. E-Filingini sengaja dibuat agar tidak ada persinggungan Wajib Pajak dengan aparat pajak dan kontrol Wajib Pajak bisa tinggi karena merekam sendiri SPT nya.E-Filingini bertujuan mencapai transparansi dan bisa menghilangkan praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan peraturan terbaru mengenai e-Filingini yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan Elektronik. Wajib Pajak tidak perlu lagi datang ke Kantor Pelayanan Pajak jika sudah menggunakan fasilitas e-Filingsehingga penyampaian SPT menjadi lebih mudahdan cepat. Hal ini karena pengiriman data SPT dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja serta dikirim langsung ke database Direktorat Jenderal Pajak
dengan fasilitas internet yang disalurkan melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak. EFiling mempermudah penyampaian SPT dan memberi keyakinan kepada Wajib pajak bahwa SPT itu sudah benar diterima Direktorat Jenderal Pajak serta keamanan jauh lebih terjamin. Alat kelengkapan e-Filingmeliputi Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), Suratpermohonan memperoleh e-FIN, e-FIN atau Electronic Filling IdentificationNumber, Digital Certificate, e-SPT, bukti penerimaan E-SPT. Bukti Penerimaan SPT Elektronik adalah bukti penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) yang dikirimkan lewat Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) secara on-line. Fungsi bukti penerimaan ini adalah sama dengan bukti penerimaan SPT secara off line. Berikut ini merupakan prosedur penggunaan e-Filingyaitu: 1. Wajib Pajak menyampaikan Surat Permohonan memperoleh e-FIN ataumelaksanakan
e-Filingkepada
Direktorat
Jenderal
Pajak
yaitu
kepadaKantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 2. Direktorat Jenderal Pajak via Kantor Pelayanan Pajak memberikan e-FIN 3. Wajib Pajak mendaftar ke Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dan memintaDigital Certificate ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Penyedia JasaAplikasi (ASP) 4. Direktorat
Jenderal
Pajak
melalui
Kantor
Pelayanan
Pajak
memberikanDigital Certificate melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) 5. Wajib Pajak melakukan e-Filingke Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yangditeruskan ke Kantor Pelayanan Pajak
6. Direktorat
Jenderal
Pajak
melalui
Kantor
Pelayanan
Pajak
memberikanbukti penerimaan e-SPT yang mengandung informasi berupa : NPWP(Nomor Pokok Wajib Pajak), tanggal transaksi, jam transaksi, NomorTransaksi Penyampaian SPT (NTPS), Nomor Transaksi Pengiriman ASP(NTPA), nama ASP. 7. Wajib Pajak menyampaikan print out dari Penyedia Jasa Aplikasi (ASP)berupa
induk
SPT
yang
sudah
diberi
bukti
penerimaan
elektronik,ditandatangani dan dilampiri sesuai ketentuan Kantor Pelayanan Pajak
2.1.9 Kepatuhan Pajak Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Eliyani (1989) dalam Nugroho(2006) menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan pada waktunya informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak yang terutang, dan membayar pajak pada waktunya tanpa tindakan pemaksaan. Peraturan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
192/PMK.03/2007 menjelaskan mengenai syarat-syarat menjadi Wajib Pajak Patuh, yaitu: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir (sebelumnya hanya dua tahun). b. Penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
c. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya. d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan. e. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian (WTP) selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan: Laporan audit harus: 1. disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang wajib menyampaikan SPT Tahunan. 2. pendapat
akuntan
atas
laporan
keuangan
yang
diaudit
ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak sedang dalam pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan public. f. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir (sebelumnya 10 tahun).
Kepatuhan yang dikatakan oleh Norman D. Nowak merupakan “suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin dalam situasi (Devano, 2006 dalam Arum, 2012) sebagai berikut: a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
2.1.10 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2006) menguji pengaruh sikap wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Analisis data yang digunakan adalah analisis regresi berganda.Variabel bebas pada penelitian ini yaitu sikap wajib pajak terhadap sanksi denda, sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus, dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran pajak.Variabel terikat pada penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi.Hasil penelitian Nugroho (2006) adalah sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan memeiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajip pajak. Arabella dan Yenni (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda.Variabel independen pada
penelitian ini yaitu kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan, dan biaya kepatuhan pajak serta variabel dependennya yaitu kepatuhan wajib pajak UMKM. Hasil penelitian Arabella dan Yenni (2012) adalah kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak berpengaruh terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak UMKM. Tresno,dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh persepsi penerapan sistem e-Filing terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan dengan perilaku wajib pajak sebagai variabel intervening dan biaya kepatuhan sebagai variabel moderasi yang dilaksanakan di kantor pelayanan pajak pratama pulogadung jakarta timur. Penelitian mengunakan dua metode, yaitu metode penelitian deskriptif yang bersifat menjelaskan dan metode hubungan kausal. Hasil dari penelitian ini adalah persepsi penerapan sistem e-Filing, perilaku dan biaya kepatuhan secara parsial masing-masing berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, akan tetapi dalam hal ini perilaku wajib pajak tidak bisa membuat hubungan tidak langsung antara persepsi penerapan sistem e-Filing terhadap tingkat kepatuhan wajib pajan dan biaya kepatuhan juga tidak dapat memoderasi hubungan antara persepsi penerapan sistem e-Filing dengan tingkat kepatuhan wajib pajak.
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Kualitas Pelayanan pada Kepatuhan Pelaporan Pelayanan pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk membantu
wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus. Menurut Risnawati dan Suhayati (2009), Direktorat Jendral Pajak perlu meningkatkan pelayanan pajak yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, agar menunjang kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan tercapainya tujuan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan roda pemerintahan berjalan dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Andriana (2011) dan Farid (2013) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan pernyataan dan penelitian sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Kualitas Pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
2.2.2 Pengaruh Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Pelaporan Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat.Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak.Dalam undangundang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana.sanksi administrasi dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan.
Menurut Nugroho (2006), wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Di samping itu, menurut Gatot S. M Faisal (2009: 37) menyatakan bahwa, walaupun ada potensi penerimaan negara pada setiap sanksi, namun motivasi penerapan sanksi adalah agar wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hasil penelitian Yadnyana (2009), Muliari dan Ery (2010), dan Arabella (2013) mengungkapkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Sanksi Perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan PajakPratama Denpasar Timur
2.2.3 Pengaruh Biaya Kepatuhan Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Biaya kepatuhan pajak merupakan biaya-biaya yang ditanggung oleh wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak.Hal ini dikakarenakan wajib pajak telah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka wajib pajak berharap agar dapat mengeluarkan biaya-biaya seminimal mungkin yang terkait dengan pemenuhan kewajiban pajaknya, meliputi direct money cost maupun time cost dan psychological cost. Namun, apabila jumlah biaya kepatuhan pajak yang dikeluarkan lebih besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi dalam diri wajib ajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajaknya. Pada penelitian ini indikator untuk mengukur biaya kepatuhan pajak adalah direct money cost, time cost dan psychological cost.
Penelitian Prasetyo (2008) menyimpulkan bahwa, biaya kepatuhan pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Artinya, jika biaya kepatuhan pajak yang dikeluarkan oleh wajib pajak semakin tinggi maka tingkat kepatuhan pajak akan semakin rendah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Arabella (2013) juga mendapatkan hasil penelitian yaitu biaya kepatuhan pajak memiliki pengaruh negatif terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 :
Biaya Kepatuhan Pajak berpengaruh negatif pada kepatuhan pelaporan
Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
2.2.4 Pengaruh Penerapan e-Filingpada Kepatuhan Pelaporan Sebagai salah satu upaya dalam modernisasi perpajakan, Direktorat Jendral Pajak menerapkan sistem e-Filing. Sistem e-Filing merupakan sistem pelayanan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan Surat Pemberiathuan Tahunan (SPT Tahunan) yang berbentuk formulir elektronik dalam media elektronik yang ditransfer atau disampaikan ke Direktorat Jendral Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak dengan proses yang terintegrasi dan real time (Viraqh, 2014). Penyampaian SPT menggunakan sistem e-Filing merupakan upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak dalam peningkatan kualitas pelayanan agar memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya.Dengan sistem e-Filing, wajib pajak tidak perlu datang secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dalam hal penyampaian SPT. Sedangkan bagi aparat pajak, sistem e-Filing ini
mampu memudahkan kinerja mereka dalam melakukan pengelolaan database karena penyimpanan dokumen-dokumen wajib pajak telah dilakukan dalam bentuk digital.Melalui diterapkannya sistem e-Filing yang memudahkan Wajib Pajak, pemerintah berharap adanya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:109) menyatakan bahwa, adanya pengaruh dari efektivitas e-Filingterhadap kepatuhan formal perpajakan sebagai berikut:“Modernisasi sistem perpajakan di lingkungan DJP dengan memanfaatkan sistem informasi yang handal dan terkini (e-Filing) adalah salah satu strategi yang ditempuh untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi”. Teori di atas didukung oleh beberapa hasil penelitian, salah satunya adalah hasil penelitian Tresno,dkk. (2013) sebagai berikut:“Penerapan e-Filingberpengaruh terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak, karena Wajib Pajak dapat melaporkan SPTnya secara tepat waktu dan lebih efisien”.Hasil penelitian Prasetyo (2008) dan Tresno, (2013) mengungkapkan bahwa penerapan e-Filing berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H4 : Penerapan e-Filingberpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur