BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Work Family Conflict
2.1.1.1 Pengertian Work Family Conflict Work family conflict adalah tuntutan peran dua arah dimana tuntutan antara pekerjaan menganggu tuntutan keluarga, misalnya tanggung jawab peduli terhadap keluarga menjadi terganggu dengan adanya tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaan yang menciptakan beberapa hasil yang tidak diinginkan seperti stres, kesehatan memburuk, konflik yang berhubungan dengan pekerjaan, ketidakhadiran dan turnover (Ghayyur dan Jamal, 2012). Work family conflict biasanya terjadi dimana individu tersebut memiliki jam kerja yang sangat padat, sehingga waktu yang seharusnya diluangkan bersama keluarga menjadi terbatas. Ching (dalam Rantika dan Sujoyo,2011) mengemukakan bahwa secara umum work family conflict dapat didefinisikan sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Menurut Simon (2004) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan timbulnya work family conflictyaitu adanya tuntutan individu pada pekerjaan yang mengakibatkan individu tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya di dalam keluarga dan tuntutan keluarga yang mengharuskan individu untuk melakukan tugas di dalam keluarga, sulitnya individu membagi waktu antara waktu untuk pekerjaan dan waktu yang diperlukan untuk keluarga, dan juga adanya tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan sehingga individu tersebut harus membatalkan acara bersama keluarga. Grandey,dkk (2005) menyatakan konflik yang terjadi antara pekerjaan dan keluarga ini dapat menyita waktu serta energi bagi individu
tersebut yang nantinya akan membuat individu tersebut merasa tidak nyaman dan akan membawa pengaruh yang negatif bagi individu itu sendiri maupun perusahan. Menurut Yang et al.(2000) mengemukakan bahwa tuntutan pekerjaan individu tersebut berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan harus di selesaikan sesuai dengan deadlines yang ditetapkan, sedangkan tuntutan peran dalam keluarga berkaitan dengan tanggungjawab yang harus diselesaikan dalam rumah tangga sesuai dengan perannya dan juga untuk menjaga anak. Berdasarkan definisi diatas dapatdisimpulkan bahwa work family conflict ini merupakan suatu konflik yang terjadi akibat adanya tekanan antara pekerjaannya dan keluarga, hal ini seringkali terjadi karena seseorang tersebut kesulitan untuk membagi waktunya antara pekerjaan dengan keluarganya.Work family conflict ini akan menimbulkan efek yang negatif untuk suatu pekerjaan seseorang, karena konflik ini dapat mempengaruhi suasana kerja seseorang dan menimbulkan rasa yang tidak nyaman bagi seseorang tersebut. 2.1.1.2 Jenis – jenis work family conflict MenurutGreenhaus dan Beutell (dalam Amelia, 2010) terdapat tiga jenis workfamily conflict, yaitu :
a. Time-based conflict Time-based conflict yaitu waktu yang dibutuhkan seseorang untuk dapat melakukan salah satu tuntutan baik itu keluarga ataupun pekerjaan yang nantinya dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tuntutan lainnya. b. Strain-based conflict
Strain-based conflictyaitu suatu bentuk konflik yang timbul karena adanya tekanan pada salah satu tuntutan baik itu peran dalam keluarga atau pekerjaan yang nantinya akan berpengaruh terhadap tuntutan yang lainnya. c. Behavior-based conflict Behavior-based conflictmerupakan suatu konflik yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian dengan apa yang diinginkan dengan pola perilaku individu tersebut, baik itu pada pekerjaan ataupun peran dalam keluarga.
2.1.1.3 Indikator Work Family Conflict Menurut Abbot et al.(1998) menyatakan terdapat dua indikator terjadinya work family conflict, yaitu : a. Work demand Work demand(tekanan pekerjaan) merupakan tekanan yang timbul akibat adanya kelebihan dalam beban pekerjaannya dan juga akibat tekanan waktu (deadlines).
b. Family demand Family demand(tekanan keluarga) merupakan tekanan yang timbul akibat adanya tekanan waktu dalam menyelesaikan tugas-tugas rumah (house-keeping) dan juga child care.
2.1.2
Kepuasan Kerja
2.1.2.1 Two Factor Theory Two factor theory ini pertama kali dikemukakan oleh Herzberg (dalam Dessler, 2000 : 334) membedakan teori kepuasan kerja menjadi dua kelompok yaitu kelompok hygiene dan
kelompok motivators. Ketidakpuasan biasanya terkait dengan kondisi pada sekitar tempat kerjanya seperti upah, kondisi kerja, kualitas pengawasan, supervisi yang menyenangkan dan hubungan antara karyawan lain. Dengan hilangnya faktor pemeliharaan (hygiene) ini akan menyebabkan ketidakpuasan dan akan meningkatkan tingkat absensi dan turnover intention. Kepuasan ditarik dari pekerjaan itu sendiri seperti prestasi, pengakuan, sifat pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk melakukan pengembangan karir.Faktor-faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja yang disebut dengan motivators.
2.1.2.2 Pengertian kepuasan kerja Kepuasan kerja karyawan sangat penting untuk komunikasi organisasi sebab secara langsung kepuasan kerja karyawan nantinya akan terkait dengan hasil organisasi. Jika karyawan merasa bahwa hasil dari pekerjaan yang dikerjakan sudah sesuai dengan target atau lebih dari target maka kepuasan kerja karyawan tersebut akan meningkat, dengan kata lain kepuasan kerja tersebut tergantung dari karyawan itu sendiri dengan pekerjaannya. Menurut Nur (2013) tingkat kepuasan kerja karyawan merupakan selisih dari apa yang diharapkan dan kebutuhan dengan pandangan dari karyawan tersebut tentang persepsinya terhadap pekerjaan yang telah dikerjakan. Menurut Robbins dan Judge (2008) mengemukakan bahwa individu rata-rata akan merasa puas dengan keseluruhan pekerjaan yang dilakukan baik itu terhadap kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri dan juga dengan pegawasan serta rekan kerjanya. Rivai (2004:475) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja seseorang didasari oleh dirinya sendiri, dimana tingkat kepuasan kerja dari masing-masing individu berbeda sesuai dengan apa yang ingin dicapai. Kepuasan kerja memiliki arti penting bagi karyawan maupun perusahaan, khususnya demi terciptanya keadaan positif dilingkungan kerja (Usman et al.,2011). Pola pikir individu secara umum mengenai kepuasaan terhadap suatu pekerjaan, jika seseorang memiliki kepuasaan kerja
yang tinggi maka orang tersebut akan melakukan tindakkan-tindakkan yang positif untuk perusahaan, begitu juga sebaliknya jika karyawan memiliki kepuasan kerja yang rendah maka karyawan tersebut akan melakukan hal-hal yang negatif untuk perusahaan (Robbins, 2003 : 36). Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian yang terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh individu itu sendiri, dimana setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. Jika seseorang sudah merasa puas terhadap pekerjaannya maka individu tersebut akanmemiliki sikap yang positif bagi organisasi dan begitu juga sebaliknya jika individu tersebut memiliki tingkat kepuasan yang rendah maka individu tersebut akan memiliki pengaruh yang negatif bagi organisasi. 2.1.2.3 Faktor – faktor kepuasan kerja Menurut Greenberg dan Baron (1995) yang menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu : a. Faktor organisasional yang terdiri dari : a) Sistem pengajian b) Kualitas dan supervisi c) Desentralisasi kekuasaan d) Tingkat kerja dan dorongan sosial e) Kondisi kerja yang menyenangkan b. Faktor personal yang terdiri dari : a) Variabel kepribadian b) Status dan senioritas c) Pekerjaan yang sesuai dengan minat
d) Kepuasan hidup Wexley dan Yulk (dalam Syaiin, 2008) menyatakan bahwa ketidakpuasan yang timbul dalam diri karyawan akan menyebabkan dua macam perilaku yang akan dilakukan karyawan yaitu pengunduran diri (turnover) dan perilaku agresif seperti sabotase, pemogokan, kesalahan yang dilakukan dengan disengaja, melakukan perselisihan antar rekan kerja maupun atasan. Menurut Robbins (2003) mengemukakan bahwa karyawan yang merasa ketidakpuasaan akan melakukan hal-hal sebagai berikut, seperti : a. Keluar (exit) Karyawan memiliki rasa ketidakpuasaan akan mengundurkan diri dari perusahaan tersebut dan memilih untuk mencari pekerjaan baru sesuai dengan keinginannya. b. Suara (voice) Karyawan yang memiliki rasa ketidakpuasaan akan membicarakan permasalahan yang dihadapi kepada atasannya, dengan maksud agar atasan dapat memberikan solusi atau melakukan perubahan akan hal tersebut. c. Kesetiaan (loyality) Karyawan yang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaan akan tetap menunggu dengan optimis keputusan dari organisasi untuk melakukan sebuah perubahan dan melakukan sesuatu hal yang terbaik. d. Pengabdian (neglect) Karyawan yang sudah melakukan pengabdian cenderung lebih melakukan pekerjaan dengan melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan seperti telat datang ke kantor atau melakukan kesalahan dengan sengaja.
2.1.3
Turnover Intention
2.1.3.1 Pengertian turnover intention Turnover intention yaitu keinginan seseorang untuk berpindah ke perusahaan lain yang dipicu oleh ketidakpuasaan yang dirasakan oleh karyawan tersebut terhadap perusahaan tempatnya bekerja saat ini atau mencari pekerjaan yang baru sesuai dengan keinginannya (Andini, 2006). Zeffane (dalam Sulistyawati, 2008) menyatakan bahwa turnover intention merupakan keinginan dari karyawan tersebut untuk berpindah keperusahaan lain dengan sadar atau tanpa paksaan orang lain. Menurut Sidharta (2011) menyatakan bahwa turnover intentionadalah suatu bentuk dari karyawan untuk menarik diri pada dunia kerja dan karyawan tersebut juga memiliki hak untuk menentukan keputusan untuk tetap bekerja atau mengundurkan diri dari perusahaan. Nelwan (2008) menyatakan bahwa turnover intention merupakan suatu pemikiran seorang karyawan untuk berpindah dari satu organisasi ke organisasi yang lain yang lebih baik untuk dirinya. Nandini (2003) juga berpendapat bahwa turnover intention merupakan keinginan berpindah dari karyawan tetapi belum pada realisasinya untuk melakukan perpindahan.Ghayyur dan jamal (2012) mengemukakan bahwa turnover intention merupakan niat yang dilakukan secara sukarela oleh karyawan untuk meninggalkan organisasi.Kesediaan ini merupakan kesediaan karyawan untuk mengembangkan niat mereka untuk meninggalkan posisi mereka pada organisasi kerja. Turnover intention yang terjadi pada suatu organisasi merupakan salah satu titik buruk bagi organisasi tersebut, dengan adanya turnover intention ini bisa dikatakan bahwa organisasi tersebut tidak mampu mengelola perilaku individu.Turnover intention terjadi tidak hanya karena
organisasi tidak mampu mengelola perilaku individunya tetapi turnover intention ini juga bisa terjadi karena tidak efektifnya organisasi dalam mengelola sumber daya manusianya.Sebagian besar alasan karyawan meninggalkan organisasi dapat dikategorikan atas perpindahan kerja yang dapat dihindari (avoidable voluntary turnover) yang disebabkan karena alasan gaji, kondisi kerja, atasan atau ada organisasi lain yang dirasa lebih baik dan perpindahan kerja sukarela yang tidak dapat dihindari (unavoidable voluntary turnover) yang disebabkan karena perubahan jalur karir atau faktor keluarga (Nardiana, 2014). Jadi dapat disimpulkan bahwa turnover intention merupakan adanya keinginan untuk berpindah karyawan ke organisasi lain yang dilakukan dengan sadar dan sengaja, keinginan turnover ini dilakukan karena karyawan merasa ketidakpuasan terhadap sesuatu hal dalam organisasi dan juga disebabkan karena organisasi tersebut tidak dapat mengelola perilaku individu dengan baik. 2.1.3.2 Komponen – komponen terjadinya turnover intention Menurut Abelson (dalam Suwandi, 2000:177) terdapat empat komponen terjadinya turnover intentionyang muncul dari diri individu, yaitu : a. Adanya pikiran untuk keluar dari perusahaan b. Keinginan untuk mencari lowongan pekerjaan lain c. Mengevaluasi kemungkinan karyawan untuk menemukan pekerjaan yang layak dan sesuai di tempat kerja lain d. Adanya upaya-upaya untuk berkeinginan untuk meninggalkan organisasi atau perusahaan.
2.1.3.3 Pengukur keinginan berpindah (turnover intention)
Lee dan Moudy yang dikutip oleh Suwandi(dalam Sulistyawati, 2008) menyatakan bahwa turnover intention ini dapat ditinjau menjadi dua aspek, yaitu : a. Adanya pikiran untuk keluar Karyawan yang memiliki rasa yang tidak puas terhadap organisasi ditempat karyawan tersebut bekerja maka karyawan tersebut akan memiliki suatu keinginan untuk segera meninggalkan dan keluar dari organisasi ditempat ia bekerja. b. Adanya alternatif pekerjaan lain. Dengan tersedianya pekerjaan ditempat lain dan karyawan tersebut merasa bahwa organisasi tersebut lebih menjanjikan, maka karyawan tersebut akan lebih berfikir untuk melakukan turnover intention. Karyawan tersebut akan lebih aktif untuk mendapatkan informasi mengenai organisasi tersebut.
2.1.3.4 Faktor penyebab turnover intention Menurut Iverson dan Deery (1977) menyatakan bahwa faktor benyebab terjadinya turnover invention, yakni : a. Faktor struktural Pada faktor struktural ini merupakan faktor yang memiliki hubungan antara pekerjaan dan organisasi seperti dukungan rekan kerja, adanya dukungan dari atasan, pemerataan keadilan, ambigutas peran, beban pekerjaan, pengembangan karir dan keamanan kerja. b. Faktor pre-entry Dalam faktor pre-entry ini melibatkan kepribadian positif yang cenderung merasa ingin selalu bahagia dan kepribadian negatif yang cenderung merasa tidak nyaman pada suatu kondisi.
c. Faktor lingkungan Faktor lingkungan ini berasal dari luar organisasi atau perusahaan, faktor lingkungan ini biasanya meliputi adanya kesempatan untuk berpindah, lingkungan yang selalu melakukan perpindahan, dan jumlah keluarga yang ditanggung oleh karyawan tersebut. d. Faktor serikat pekerja Faktor ini merupakan keanggotaan seseorang karyawan terhadap serikat pekerja yang mempengaruhi karyawan lain untuk bertahan pada tempat kerjanya atau berpindah ke tempat kerja lain. e. Orientasi pekerja Dalam orientasi pekerja ini biasanya karyawan mencari pekerjaan sampingan diluar organisasinya untuk memperoleh kepuasan, komitmen organisasi dan aktifitas karyawan.
2.2
Rumusan Hipotesis
2.2.1
Work Family Conflict terhadap kepuasan kerja Kussurdyarsana dan Soepatini (2008) dalam penelitianya menemukan bahwa work
family conflict berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja.Penelitianyang dilakukan oleh Laksmi (2012) pada PT.X dengan sampel yang berjumlah 54 orang menemukan bahwa hubungan work family conflict dengan kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif, yang
artinya bahwa semakin tinggi tingkat work family conflict yang dirasakan maka kepuasan kerjanya akan semakin rendah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Soeharto (2010) pada hasil studi metaanalisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara work family conflict dengan kepuasan kerja, dimana semakin besar work family conflict yang dialami oleh karyawan maka akan semakin rendah kepuasan yang akan dirasakan. Sikap dan perasaan negatif yang dirasakan karyawan terhadap pekerjaan merupakan akibat dari konflik pekerjaan-keluarga yang dialami, begitu juga sebaliknya jika karyawan dapat menyeimbangkan konflik tersebut maka konflik tersebut akan bersifat positif terhadap pekerjaan. Penelitian lainnya yang dibuktikan antara family and work institute mengidentifikasi bahwa pekerjaan yang tidak bisa menyeimbangkan antara keutuhan pekerjaan dengan tanggung jawab keluarga dan rumah tangga serta mengalami benturan terhadap hal tersebut maka akan menghasilkan penurunan kepuasan kerja (Netermeyer et al., 2004) Dengan adanya literatur yang teoritis dan bukti yang empiris maka di dapat hipotesis sebagai berikut : H1 :
2.2.2
Work family conflict akan berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja
Work family conflict terhadap turnover intention Work family conflict merupakan suatu hal yang sulit dihindari oleh seorang karyawan.
Konflik ini terjadi ketika adanya dua pemenuhan tuntutan yaitu tuntutan yang ada di dalam keluarga dan tuntutan pekerjaan yang sama-sama harus diselesaikan.Karyawan yang tidak dapat berkonsentrasi
terhadap
tugas
pekerjaannya
dapat
memutuskan
untuk
meninggalkan
perusahaan.Ghayyur dan Jamal (2012) dalam penelitiannya mengatakan bahwa work family conflict berpengaruh positif dan signifikan dengan turnover intention.
Lathifah (2008) mengemukakan bahwa tekanan keluarga cukup berpengaruh signifikan dengan keinginan untuk berpindah sehingga kemudian akan meninggalkan pekerjaannya. Dengan adanya literatur yang teoritis dan bukti yang empiris, maka di dapat hipotesis sebagai berikut : H2 :
2.2.3
Work family conflict akan berpengaruh positif terhadap turnover intention
Kepuasan kerja terhadap turnover intention Sebagian besar studi empiris menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif
terhadap absensi dan keinginan untuk berpindah karyawan (McClean& Andrew, 2000).Aydogdu dan Asikgil (2011) memperoleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepuasan kerja dengan turnover intention yang dikomfirmasi melalui analisis regresi. Andini (2006) juga memperoleh hasil penelitian bahwa kepuasan kerja akan berpengaruh negatif terhadap turnover intention. Park dan Kim (2009) juga menemukan bahwa kepuasan kerja berhubungan signifikan dan negatif terhadap turnover intention. Salleh et al.(2012) menyatakan semua aspek kepuasan kerja yang meliputi promosi, pekerjaan itu sendiri serta supervise kecuali rekan kerja terbukti berpengaruh negatif terhadap turnover. Dari informasi diatas maka di dapat hipotesis sebagai berikut : H3 : Kepuasan kerja akan berpengaruh negatif terhadap turnover intention.
2.2.4 Work family conflict terhadap turnover intention melalui mediasikepuasan kerja Pengaruh konflik peran terhadap keinginan keluar kerja karyawan menunjukkan kesimpulan mediasi yang bersifat parsial. Pengaruh konflik peran terhadap kepuasan kerja bersifat berlawanan.Ini artinya bahwa peningkatan konflik peran yang dihadapi oleh karyawan ketika bekerja akan berdampak terhadap penurunan kepuasan kerja. Irzani (2014) memperoleh
hasil bahwa analisis pengaruh langsung menyimpulkan bahwa kepuasan kerja memediasi secara parsial negatif dengan keinginan keluar karyawan. Dari informasi di atas maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut : H4 :Work family conflict berpengaruh negatif terhadap turnover intention melalui mediasi kepuasan kerja karyawan.
2.3
Kerangka konsep penelitian Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kepuasan H1 kerja (M)
H1
H4
H3
Work Family Conflict(X)
Turnover Intention (Y)
H2 Sumber : H1 : Kussudyarsa dan Soepatini (2008), Laksmi (2012),Soeharto (2010), Netermeyer et al. (2004) H2 : Ghayyur dan Jamal (2012) H3 : McClean& dan Andrew (2000); Aydogdu dan Asikgil (2011);Park dan Kim. (2009); Ramaswami (2003), Andini(2013), Sumarto (2009),Salleh et al.(2012). H4 : Irzani (2013).