BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan menjelaskan hubungan antara agen dengan prinsipal. Pada teori ini dijelaskan adanya suatu kontrak dimana agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal, prinsipal menutup kontrak untuk memberi imbalan kepada agen (Estrini, 2013). Dianalogikan antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan itu. Teori Hendriksen (2002, 206) memandang hubungan manajer dan pemilik sebagai hubungan dua individu untuk lebih memahami informasi ekonomi. Dua individu tersebut adalah prinsipal (pemilik, yang disebut sebagai evaluator informasi) dan agen (manajer, yang disebut sebagai pengambil keputusan). Prinsipal dipandang sebagai pemberi informasi yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah oleh agen untuk mengambil keputusan bagi kepentingan prinsipal. Di dalam perjalanannya, hubungan prinsipal dan agen tidak selamanya berjalan
dengan
lancar
dan
baik-baik
saja.
Ada
kemungkinan
agen
menyalahgunakan kepercayaan dari pemilik untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. Kondisi inilah yang dikenal sebagai moral hazard. Menurut Jensen dan Meckling, 1976 dalam Rossieta dan Wibowo, 2009 memandang hubungan antara manajer dan pemilik dalam kerangka hubungan keagenan.
9
Pada hubungan keagenan, terjadi kontrak antara kedua belah pihak. Kontrak tersebut mengharuskan agen memberikan jasa kepada pemilik. Pendelegasian wewenang dari pemilik kepada manajemen membuatnya memiliki hak untuk mengambil keputusan bisnis bagi kepentingan pemilik. Akan tetapi, kepentingan dua pihak ini tidak selalu sejalan sehingga muncul benturan-benturan kepentingan antara keduanya. Hendriksen, 2002 memberikan solusi atas terjadinya moral hazard, yaitu dengan menugaskan auditor untuk memeriksa apa yang dilakukan manajemen. Solusi lainnya adalah dengan memberi insentif kepada manajer berupa saham perusahaan. Dengan pemberian insentif semacam itu, manajer juga merupakan pemilik perusahaan dan dengan demikian mempunyai rasa memiliki pada perusahaan sehingga tercipta keselarasan preferensi antara prinsipal dan agen. Benturan kepentingan yang terjadi dapat diselesaikan melalui pihak ketiga yang independen sebagai mediator pemilik dan agen. Pihak ketiga ini berfungsi memonitor perilaku manajer sebagai agen dan memastikan bahwa agen bertindak sesuai kepentingan pemilik (Rossieta dan Wibowo, 2009). Baik Hendriksen (2002) maupun Jensen dan Meckling (1976) setuju bahwa untuk mengatasi masalahmasalah antara prinsipal dan agen dibutuhkan pihak ketiga yang independen. Pihak ketiga yang independen yang dimaksud adalah auditor eksternal. Dengan audit oleh auditor eksternal yang independen, agen dapat membuktikan bahwa kepercayaan dari pemilik tidak diselewengkan untuk kepentingan pribadi agen. Prinsipal juga dapat memiliki keyakinan yang lebih besar kepada agen dan dapat mengetahui sebaik apa kondisi perusahaan di bawah pengambilan keputusan agen.
10
Bertolak dari agen dan prinsipal, auditor dapat dilanda masalah ketika dihadapkan dengan kepentingan-kepentingan dalam hal keagenan auditor. Rossieta dan Wibowo (2009) mengatakan bahwa masalah keagenan auditor bersumber pada mekanisme kelembagaan antara auditor dan manajemen. Manajemen menunjuk auditor untuk melakukan audit bagi kepentingan prinsipal. Di lain sisi, manajemen yang membayar dan menanggung jasa audit. Masalah kelembagaan dapat menimbulkan ketergantungan auditor pada kliennya. Ketergantungan ini menyebabkan
auditor
mulai
kehilangan
independensinya
dan
berusaha
mengakomodasi keinginan-keinginan manajemen dengan harapan perikatannya dengan klien tidak terputus. Hal demikian bertentangan dengan prinsip auditor selaku pihak ketiga yang dituntut untuk independen dalam menjalankan audit dan dalam memberikan pendapat atas laporan keuangan klien. 2.1.2 Pengertian Audit Menurut (Agoes, 2012:3) auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah dilakukan disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Whittington et al., (2001) dalam Susiana dan Arleen Herawaty (2007) menyatakan bahwa audita dalah pemeriksaan laporan keuangan perusahaan oleh perusahaan akuntan publik independen. Definisi tersebut dapat diuraikan menjadi 7 elemen yang harus diperhatikan dalam melaksanakan audit, yaitu: 1)
Proses yang sistematis;
11
2)
Menghimpun dan mengevaluasi bukti secara objektif;
3)
Asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi;
4)
Menentukan tingkat kesesuaian (degree of correspondence);
5)
Kriteria yang ditentukan;
6)
Menyampaikan hasil-hasilnya; dan
7)
Para pemakai yang berkepentingan.
Audit adalah akumulasi dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi dan kriteria yang telah ditetapkan (Arens et al., 2008:4). Audit harus dilakukan oleh seorang yang kompeten, orang independen, sedangkan definisi audit adalah review metodis dan pemeriksaan obyektif item, termasuk verifikasi informasi spesifik yang ditentukan oleh auditor atau ditetapkan oleh praktek umum (Halim, 2008:3). Umumnya, tujuan dari audit adalah untuk menyatakan pendapat atas atau mencapai kesimpulan tentang apa yang telah diaudit. 2.1.3 Kualitas Audit Istilah kualitas audit mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Para pengguna laporan keuangan berpendapat bahwa kualitas audit yang dimaksud terjadi jika auditor dapat memberikan jaminan bahwa tidak ada salah saji yang material (no material misstatements) atau kecurangan (fraud) dalam laporan keuangan auditee. Auditor sendiri memandang kualitas audit terjadi apabila mereka bekerja sesuai standar profesional yang ada, dapat menilai resiko bisnis auditee dengan tujuan untuk meminimalisasi resiko litigasi, dapat meminimalisasi ketidakpuasan auditee dan menjaga kerusakan reputasi auditor. De Angelo (1981)
12
dalam Oktorina dan Suharli (2005) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas di mana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi auditee. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP yang kecil. Wooten dalam Tamba dan Siregar (2008) telah mengembangkan model kualitas audit dari membangun teori dan penelitian empiris yang ada. Model yang disajikan oleh Wooten dalam penelitian ini dijadikan sebagai indikator untuk kualitas audit yaitu: (1) deteksi salah saji, (2) kesesuaian dengan SPAP, (3) kepatuhan terhadap SOP, (4) risiko audit, (5) prinsip kehati-hatian, (6) proses pengendalian atas pekerjaan oleh supervisor dan (7) perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner. (Deis dan Groux, 1992 dalam Tamba dan Siregar, 2008) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu: (1) lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada auditee yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah auditee, semakin banyak jumlah auditee maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah auditee yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan auditee, semakin sehat kondisi keuangan auditee maka akan ada kecenderungan auditee tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan
13
direview oleh pihak ketiga. Suatu laporan keuangan atau informasi akan kinerja perusahaan harus menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk melaksanakan pekerjaan audit terhadap laporan keungan perusahaan. Berdasarkan skala auditor yang pernah ada dapat dikelompokkan mulai dari kelompok delapan besar atau dikenal dengan The Big Eight. Dalam tahun 1979, kantor-kantor tersebut disebut The Big Eight yang merupakan dominasi international dari delapan kantor akuntan besar yaitu: (1) Arthur Anderson, (2) Arthur Young & Company, (3) Coopers & Lybrand, (4) Ernst & Whinney (dahulu Ernst & Ernst), (5) Haskins & Sells (bergabung dengan sebuah kantor dari Eropa yang pada akhirnya menjadi Delloite, Haskins ang Sells), (6) KPMG (terbetuk karena bergabungnya Peat Marwivk International dan KMG Group), (7) Price Waterhouse dan (8) Touche Ross. The Big Eight berubah menjadi The Big Six pada tahun 1989 pada saat Ernst & Whinney bergabung dalam Arthur Young membentuk Ernst & Young di Bulan Juni dan Delloitte, Haskins & Sells bergabung dengan Touche Ross membentuk Delloite & Touche di Bulan Agustus. The Big Six berubah menjadi The Big Five di Bulan Juli 1998 pada saat Price Waterhouse bergabung dengan Coopers & Lybrand membentuk Pricewaterhouse Coopers. Pada tahun 2002 adanya kasus yang menimpa Kantor Akuntan Arthur Andersen menyebabkan partner Arthur Andersen setempat kebanyakan bergabung dengan Ernst & Young dan Delloitte Touche Tohmatsu. Di Indonesia pada partner Arthur Andersen pada akhirnya bergabung dengan Ernst & Young. Hingga hanya terdapat empat firma jasa profesional dan akuntansi international terbesar, yang menangani mayoritas pekerjaan audit untu
14
perusahaan publik maupun perusahaan tertutup (www.wikipedia.org). Perusahaan menggunakan jasa kantor akuntan publik yang mempunyai reputasi atau nama baik untuk meningkatkan kredibilitas dari laporan. Hal ini ditunjukkan dengan kantor akuntan publik yang berafiliasi dengan kantor akuntan publik besar yang berlaku universal yang dikenal dengan Big Four Wordwide Acoounting Firm (Big Four). Kategori KAP The Big Four di Indonesia (www.wikipedia.org): (1) KAP Price Waterhouse, yang bekerja sama dengan KAP Haryanto Sahari dan rekan, (2) KAP KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler), yang bekerja sama dengan KAP Siddharta-Siddharta dan Widjaja, (3) KAP Enrs & Young, yang bekerja sama dengan KAP Purwantoro, Sarwoko dan Sandjaja dan (4) KAP Deloitte Touche Thomatsu, yang bekerja sama dengan KAP Osman Bing Satrio dan rekan. (De Angelo, 1981 dalam Oktorina dan Suharli, 2005) menyimpulkan bahwa KAP yang lebih dapat diartikan kualitas audit yang dihasilkan pun lebih baik dibandingkan kantor akuntan kecil. Oleh karena itu dapat disimpulkan perusahaan yang menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik (KAP) besar cenderung tepat waktu dalam menyampaikan laporan keuangannya.
AAA Financial Accounting Commite (dikutip oleh Ridiawan dan Badera, 2008) menyatakan bahwa kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompentensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit. Lebih lanjut, persepsi pengguna laporan keuangan atas kualitas audit merupakan fungsi dari persepsi mereka atas independensi dan keahlian auditor sedangkan kunci untuk mempetahankan kualitas antara lain: reliabilitas, tangibles,
15
emphaty, dan responsiveness. Laporan keuangan auditan yang berkualitas relevan dan reliabel dihasilkan dari audit yang dilakukan secara efektif oleh auditor yang berkualitas. Pemakai laporan keuangan lebih percaya pada laporan keuangan auditan yang diaudit oleh auditor yang dianggap berkualitas tinggi dibanding auditor yang kurang berkualitas karena mereka mengganggap bahwa untuk mempertahankan kredibilitasnya auditor akan lebih berhati-hati dalam melakukan proses audit untuk mendeteksi salah saji atau kecurangan. 2.1.4 Auditor Switching Auditor switching merupakan pergantian auditor atau Kantor Akuntan Publik yang dilakukan oleh perusahaan klien. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang bisa berasal dari faktor klien maupun faktor auditor. Mardiyah (2002) juga menyatakan dua faktor yang mempengaruhi perusahaan berganti KAP adalah faktor klien (Client-related Factors), yaitu: kesulitan keuangan, manajemen yang gagal, perubahan ownership, Initial Public Offering (IPO) dan faktor auditor (Auditor-related Factors), yaitu: fee audit dan kualitas audit. Bukti teoritis mengenai auditor switching didasarkan pada teori agensi. Teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976) menggambarkan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai hubungan yang timbul karena adanya kontrak yang ditetapkan antara principal yang menggunakan agent untuk melaksanakan jasa yang menjadi kepentingan principal. Ada dua bentuk hubungan keagenan, yaitu antara manajer dan pemegang saham, serta hubungan antara manajer dan pemberi pinjaman (bondholder). Masalah agensi disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dan informasi asimetri antara principle (pemegang
16
saham) dan agent (manajemen). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost) (Jensen dan Meckling, 1976). Dalam teori agensi, auditor independen berperan sebagai penengah kedua belah pihak (agent danprinciple) yang berbeda kepentingan. Auditor independen juga berfungsi untuk mengurangi biaya agensi yang timbul dari perilaku mementingkan diri sendiri oleh agen (manajer). Pada kondisi dimana tidak ada aturan yang mewajibkan pergantian auditor, terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi ketika klien mengganti auditornya yaitu, auditor mengundurkan diri atau auditor diberhentikan oleh klien. Apapun kemungkinan yang akan terjadi, perhatian utama tetap pada alasan apa saja yang mendasari terjadinya peristiwa auditor switching tersebut dan ke mana klien tersebut akan berpindah auditor. Alasan pergantian auditor dapat terjadi karena peraturan yang membatasi masa perikatan audit, seperti yang terjadi di Indonesia. Alasan lain pergantian karena adanya ketidaksepakatan atas praktik akuntansi tertentu, maka klien akan pindah ke auditor yang dapat bersepakat dengan klien. Menurut Wijayanti (2010), ketika klien mencari auditor baru terjadi ketidaksimetrisan informasi antara auditor dan klien. Hal ini terjadi karena informasi yang dimiliki klien lebih besar dibandingkan informasi yang dimiliki auditor. Pada saat itu klien pasti mencari auditor yang kemungkinan besar akan sepakat dengan praktik akuntansi perusahaan. Sehingga ada dua kemungkinan yang terjadi jika auditor bersedia menerima klien baru. Kemungkinan pertama adalah auditor telah memiliki informasi yang cukup lengkap tentang usaha klien.
17
Kemungkinan kedua auditor sebenarnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang klien tetapi menerima klien hanya untuk alasan lain, misalnya alasan finansial. 2.1.5 Fee Audit Sampai sekarang belum terdapat peraturan yang jelas mengenai besarnya audit fee yang harus ditagih oleh akuntan publik terhadap klien (auditee) atas jasa audit yang diberikan. Kondisi seperti ini memberikan indikasi bahwa selama ini penetapan audit fee. Penetapan audit fee tidak kalah penting didalam penerimaan penugasan, auditor tentu bekerja untuk memperoleh penghasilan yang memadai. Oleh sebab itu, penentuan fee audit perlu disepakati antara klien dengan auditor, supaya tidak terjadi perang tarif yang dapat merusak kredibilitas akuntan publik (Ginting, 2014). Menurut Gammal (2012) bahwa fee audit dapat didefinisikan sebagai jumlah biaya (upah) yang dibebankan oleh auditor untuk proses audit kepada perusahaan (auditee). Fee audit biasanya ditentukan sebelum memulai proses audit. Dalam Kode Etik Profesi Akuntan Publik tahun 2013 Seksi 240 disebutkan dalam melakukan negosiasi mengenai jasa profesional yang diberikan, praktisi dapat mengusulkan jumlah imbalan jasa profesional yang dipandang sesuai. Fakta terjadinya jumlah imbalan jasa profesional yang diusulkan oleh praktisi yang satu lebih rendah dari praktisi yang lain bukan merupakan pelanggaran terhadap kode etik profesi. Namun demikian, ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika profesi dapat saja terjadi dari besaran imbalan jasa profesional yang diusulkan. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Umum Institut Akuntan Publik
18
Indonesia Nomor: KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang kebijakan penentuan fee audit yaitu dalam menetapkan imbal jasa (fee) audit, Akuntan Publik harus mempertimbangkan hal-hal berikut: kebutuhan klien; tugas dan tanggung jawab menurut hukum (statutory duties); independensi; tingkat keahlian (levels of expertise) dan tanggung jawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan, serta tingkat kompleksitas pekerjaan; banyak waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh Akuntan Publik dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan; dan basis penetapan fee yang disepakati.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Auditor Switching pada Kualitas Audit Salsabila dan Prayudiawan (2011) menemukan bahwa pengetahuan audit yang dimiliki auditor berpengaruh signifikan terhadap kualitas hasil kerja auditor. Deis dan Groux (1992) mengungkapkan bahwa probabilitas dalam menemukan dan melaporkan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan independensi auditor. Pernyataan ini didukung penelitian Marsellia, dkk (2012) yang menemukan bahwa kompetensi dan independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Auditor switching pada kenyataannya dilakukan perusahaan karena beberapa faktor. Siegel, et al (2008) menjelaskan bahwa pemberhentian auditor dapat terjadi karena hubungan yang tidak baik antara auditor dan klien, perputaran staf audit yang tinggi, dan ketidaksepakatan akuntansi. Auditor switching dapat terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap KAP lama, ketidaksesuaian biaya, untuk meningkatkan kualitas audit, ketidaksepakatan
19
akuntansi, reputasi auditor dan kesulitan keuangan yang dialami perusahaan (Halim, 2008:95). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh auditor switching terhadap kualitas audit. Hartadi (2009) menemukan bahwa auditor switching tidak berpengaruh terhadap kualitas audit. Cameran et al. (2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari kualitas audit setelah dan sebelum auditor switching dilakukan. Mgbame et al. (2012) mengungkapkan bahwa audit tenure berhubungan negatif dengan kualitas audit, sehingga dengan adanya auditor switching akan dapat meningkatkan kualitas audit. Auditor switching berpengaruh positif terhadap kualitas audit (Dopuch et al. 2001). Berdasakan urain tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Auditor switching berpengaruh positif pada kualitas audit
2.2.2 Pengaruh Fee Audit dalam memoderasi Auditor Switching pada Kualitas Audit Yuniarti (2011) membuktikan bahwa biaya audit berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit. Biaya yang lebih tinggi akan meningkatkan kualitas audit, karena biaya audit yang diperoleh dalam satu tahun dan estimasi biaya operasional yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses audit dapat meningkatkan kualitas audit. Penelitian yang dilakukan oleh Nindita dan Siregar (2012) bahwa manajer perusahaan yang rasional tidak akan memilih auditor yang berkualitas tinggi dan membayar fee yang tinggi apabila kondisi perusahaan yang
20
tidak baik. Hal ini disebabkan karena ada anggapan bahwa auditor yang berkualitas tinggi akan mampu mendeteksi kondisi perusahaan yang tidak baik dan menyampaikan kepada publik. Jadi perusahaan yang menggunakan KAP yang lebih besar biasanya adalah perusahaan yang memiliki kondisi yang baik, sehingga cenderung mendapatkan pendapat wajar tanpa pengecualian sementara perusahaan yang kondisinya sedang tidak baik lebih banyak menggunakan KAP tidak dapat mendeteksi kondisi perusahaan yang tidak baik. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dan Hilda (2009) juga menyatakan bahwa KAP Big 4 akan mempunyai kemampuan melakukan penugasan audit yang lebih tinggi dibandingkan KAP kecil atau non Big 4, sehingga mampu menghasilkan kualitas audit yang lebih baik. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Dong Yu (2007) juga menjelaskan bahwa kantor akuntan yang lebih besar dapat menghasilkan audit yang berkualitas lebih baik, namun dapat dikatakan bahwa auditor skala besar memiliki fee audit yang lebih tinggi dibanding auditor skala kecil. Ketika manajer tidak cocok dengan fee audit yang ditawarkan maka mereka akan mencoba mengganti KAP dengan penawaran yang lebih baik. Berdasakan urain tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: H2: Fee audit memoderasi pengaruh auditor switching pada kualitas audit
21