BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Stewardship Theory Donaldson dan Davis (1991) Teori ini berdasar pada pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan motivasi manajer. Seorang eksekutif manajer dalam teori ini dianggap bukan sebagai pihak yang opportunistic, yang mana secara esensi mereka hanya melakukan pekerjaan dengan baik untuk menjadi pengurus yang baik bagi seluruh asset yang dimiliki perusahaan. Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. 2.1.2 Pendapatan asli daerah Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 pasal 78 ayat (1) dan (2) mengatur tentang pembiayaan, penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hal tersebut dapat diperinci sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 2) Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat di daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
APBD memuat penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Adapun sumber-sumber penerimaan daerah menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 adalah: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2) Dana Perimbangan 3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. (Halim, 2004) Pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pendapatan asli daerah merupakan tolak ukur untuk menilai potensi yang ada disuatu daerah sampai sejauh mana kekayaan dan kemampuan daerah tersebut dikelola yang tujuan kedepannya untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan di daerah tersebut baik yang secara rutin maupun pembangunan. Mendukung upaya peningkatan pendapatan asli daerah perlu diadakan pengukuran atau penilaian sumber-sumber pendapatan asli daerah agar dapat berkesinambungan tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Indikator yang biasanya digunakan untuk menilai pajak dan retribusi daerah yaitu (Halim, 2001): 1)
Hasil (yield), yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayai, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besarnya hasil pajak tersebut, perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertambahan penduduk, pertambahan pendapatan dan lain sebagainya.
2)
Keadilan, dalam hal ini pajak dan kewajiban membayarnya harus jelas dan tidak sewenang-wenang. Pajak harus adil secara horizontal, artinya beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda-beda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama. Adil secara vertikal, artinya beban pajak harus banyak ditanggung oleh kelompok
yang memiliki sumber daya yang lebih besar, dan pajak atau retribusi haruslah adil dari satu daerah ke daerah lain, kecuali memang suatu daerah mampu memberikan fasilitas pelayanan sosial yang lebih tinggi. 3)
Efisiensi ekonomi, pajak dan retribusi daerah hendaknya mendorong atau setidaktidaknya tidak menghambat penggunaan sumber daya secara efisiensi dan efektif dalam kehidupan ekonomi. Mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau menjadi segan bekerja atau menabung, dan memperkecil beban lebih pajak.
4)
Kemampuan melaksanakan (ability to implement), dalam hal ini suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan baik dari aspek politik maupun administrasi.
5)
Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah, ini haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan dan tempat pemungutan pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak. Pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbeda-bedaan antar daerah dari segi potensi ekonomi masing-masing dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.
2.1.3 Optimalisasi pendapatan asli daerah Dalam upaya pemerintah daerah untuk dapat mengoptimalkan Pendapatan asli daerah maupun mengembangkan potensi pendapatan asli daerah terdapat dua alat utama yang tersedia bagi pemerintah daerah yaitu perancangan kebijakan dan upaya administratif. Kedua alat ini bekerja di sisi yang berbeda, akan tetapi saling melengkapi dan saling menguatkan. Perancangan kebijakan dan upaya administratif yang tidak sinkron akan mengakibatkan keadaan yang justru
berakibat negatif bagi daerah sendiri, suatu kebijakan yang dibuat tidak akan mencapai hasil bila kemampuan administratif untuk melaksanakan kebijakan tersebut tidak tersedia (Irasanti, 2004). Perancangan kebijakan yaitu langkah-langkah pemerintah daerah dengan mengadalkan kebijakan yang berupa penerbitan ketentuan-ketentuan pemerintah daerah yang bersifat kebijakan, bersifat kebijakan menyangkut beberapa masalah pokok yakni objek pajak, subjek pajak, dan tarif pajak. Kekayaan daerah yang dipisahkan dan kebijakan mengenai sumber daya alam juga merupakan bagian dalam perancangan kebijakan pemerintah daerah dalam rangka pendapatan asli daerah. Alat lain yang dapat dan perlu untuk dilaksanakan dalam upaya mengoptimalkan dan menggali potensi pendapatan asli daerah adalah langkah-langkah administratif. Langkah ini berkaitan dengan kapasitas administratif pemerintah daerah, terutama dibidang yang berkaitan dengan pendapatan daerah seperti organisasi, sistem dalam prosedur, sistem informasi, sumber daya manusia. Dalam jangka pendek untuk dapat mengembangkan Pendapatan Asli Daerah memang cukup dengan menggunakan perancangan kebijakan, akan tetapi dalam jangka panjang dan untuk menjamin kesinambungan maka upaya administratif harus menjadi agenda utama. Apabila kegiatan perekonomian suatu daerah dalam keadaan baik, maka permasalahan yang dihadapi hanyalah yang berkaitan dengan kapasitas pajak yaitu kemampuan administratif pemerintah daerah untuk dapat mengkonversi potensi pajak menjadi pendapatan untuk kas daerah. Bila kepastian pajak tidak dibangun dengan serius, maka kebijakan apapun yang dibuat tidak akan dapat diimplementasikan dengan baik. Kesimpulan yang dapat ditarik dari aspek keuangan dikaitakan dengan peranan PEMDA (Pemerintah Daerah) dalam membangun daerah bahwa pemda kurang dipacu inisiatifnya karena
kurangnya diskresi yang mereka punyai dalam menggali sumber-sumber pendapatan dari sumber daya yang sebenarnya berada di wilayahnya. Perubahan yang agaknya dirasakan dengan adanya kedua UU tersebut adalah lebih besar dikresi pemda untuk memanfaatkan dana alokasi yang merupakan komponen terbesar pendapatan daerah, karena alokasi akan lebih banyak diberikan dalam bentuk bagi hasil dan bantuan. Dipadukan dengan diskresi yang dimiliki pemda untuk mengalokasikan dananya pada sektor-sektor yang menjadi prioritas daerah. Perlu diperhatikan adalah perlunya perubahan orientasi pembangunan agar lebih tertuju, tidak hanya pada pembangunan fisik, namun juga memperhatikan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di daerah, yang lebih berorientasi kepada peningkatan kapasitas masyarakat daerah untuk membangun dirinya sendiri dalam upaya keluar dari dampak krisis ekonomi yang masih sedang berlangsung hingga saat ini (M. Ikshan, 2001). Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur atau Bupati/Walikota dapat dilakukan dalam rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya manusia, dan kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sementara itu penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertai pengelolaan anggaran. 2.1.4 Sumber pendapatan asli daerah Unsur pendapatan asli daerah adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Antara kelima sumber tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber andalan PAD. Dasar hukum yang mengatur tentang pajak daerah dan retribusi daerah adalah Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UndangUndang RI No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
1)
Pajak Daerah Pajak daerah merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah disamping retribusi daerah.
Hal ini disebabkan sumber utama penyumbang pendapatan asli daerah hampir diseluruh daerah Indonesia berasal dari sektor pajak daerah dan retribusi daerah. Halim (2001) mengemukakan bahwa pajak ialah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal (kontrasepsi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Halim (2001) mendefinisikan pajak daerah adalah pungutan oleh pemerintah Kabupaten/Kota kepada masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk membiayai penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan secara berdaya guna dan berhasil guna dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat. Mardiasmo (2002) mengelompokan pajak menjadi tiga yaitu: 1) Menurut golongannya a) Pajak langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. b) Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. 2) Menurut sifatnya a) Pajak subyektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. b) Pajak obyektif yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. 3) Menurut lembaga pemungutannya
a) Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b) Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Sesuai dengan pembagian administrasi daerah, pajak daerah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: 1) Pajak Provinsi a) Kendaraan Bermotor b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d) Pajak pengembilan dan pemanfaatan Pajak air bawah tanah dan air permukaan. 2) Pajak Kabupaten/Kota a) Pajak Hotel dan Restoran b) Pajak Hiburan c) Pajak Reklame d) Pajak Parkir e) Pajak Reklame f) Pajak Parkir g) Pajak Penerangan Jalan h) Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C Jadi pajak diartikan sebagai biaya yang harus dikeluarkan seorang atau suatu badan untuk menghasilkan pendapatan disuatu negara, karena ketersediaan berbagai sarana dan prasarana publik yang dinikmati semua orang tidak mungkin tanpa adanya biaya yang dikeluarkan dalam
bentuk pajak tersebut. Pajak merupakan pungutan yang bersifat memaksa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku sedangkan retribusi lebih spesifik kepada orang-orang tertentu yang mendapatkan pelayanan tertentu. 2.)
Retribusi Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Berbeda dengan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak, retribusi yang dapat disebut sebagai pajak daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal balik langsung. Untuk pajak tidak ada timbal balik langsung kepada para pembayar pajak, sedangkan untuk retribusi ada timbal balik langsung dari penerima retribusi kepada penerima retribusi. 3)
BUMD Usaha dan kegiatan ekonomi daerah yang bersumber dari Badan Usaha Milik Daerah
atau (BUMD) telah berjalan sejak lama, BUMD tersebut dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 tentang perusahaan daerah, tujuan dibentuknya BUMD tersebut adalah untuk melaksanakan pembangunan daerah melalui pelayanan jasa kepada masyarakat, penyelenggara kemanfaatan umum dan peningkatan penghasilan pemerintah daerah. Dapat dikemukakan lebih lanjut bahwa BUMD itu berdasarkan katagori sasarannya dapat dibedakan dua golongan, yaitu perusahaan daerah untuk melayani kepentingan umum dan perusahaan daerah untuk tujuan peningkatan penerimaan daerah dalam PAD-nya. BUMD bergerak dalam berbagai bidang usaha, yaitu jasa keuangan dan perbankan (BPD dan Bank
Pasar), jasa air bersih (PDAM) dan berbagai jasa dan usaha produktifitas lainnya pada industri, perdagangan dan perhotelan, pertanian-perkebunan, perparkiran, percetakan, dan lain-lain. 4)
Lain-lain pendapatan daerah yang sah Lain-lain penerimaan yang sah sumber pembiayaan daerah berasal dari penerimaan yang
sah meliputi hibah atau penerimaan dari daerah provinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya, dana darurat, penjualan asset daerah, dan jasa giro, penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.1.5 Otonomi daerah Bergantinya pemerintah orde baru dengan pemerintahan reformasi telah terbuka peluang dilakukannya reformasi disegala bidang yaitu politik, ekonomi, hukum, maupun bidang lainnya, termasuk didalamnya reformasi dibidang penyelenggaraan pemerintah yang lebih berorientasi pada prinsip-prinsip demokratis dan transparansi. Telah dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 maka daerah telah diberi wewenang yang luas, kecuali dalam bidang politik luar negri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama. Otonomi daerah sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 1974 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, yang menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 lebih banyak menitikberatkan kepada penyelenggaraan pemerintah yang sentralistik dari pada yang desentralistik karena itu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 lebih dapat dirasakan sebagai Undang-Undang birokrasi
daripada Undang-Undang desentralisasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 merupakan upaya mereformasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tersebut. Proses peralihan dari sistem dekosentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintah. Tujuan otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat (Irasanti, 2004). 2.1.6 Tujuan otonomi daerah Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung 3 misi utama pelaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, 2) Menciptakan efisiensi dan 3) Menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Tujuan
lain
yang
hendak
dicapai
dalam
penyerahan
urusan
ini
adalah
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan (Irasanti, 2004). Dampak pemberian otonomi ini tidak hanya terjadi pada organisasi/administrasi pemerintahan saja, akan tetapi berlaku pula pada masyarakat (publik) dan badan atau lembaga swasta dalam berbagai bidang. Demikian pula dengan otonomi ini terbuka kesempatan bagi
pemerintah daerah secara langsung membangun kemitraan dengan publik dan pihak swasta daerah yang bersangkutan dalam berbagai bidang pula. Desentralisasi mengandung dua unsur pokok. Unsur yang pertama adalah terbentuknya daerah otonom dan otonomi daerah. Unsur yang kedua adalah penyerahan sejumlah fungsi pemerintah kepada daerah otonom. Negara kesatuan seperti Indonesia, kedua unsur tersebut dilakukan oleh pemerintah melalui produk hukum dan konsitusi dan lembaga. Dalam rangka otonomi daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpianan yang kuat dari pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah. Menurut Syaukani, (2002) visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dibidang politik, otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ini harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suaru mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakasai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi kompetitf, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintah yang efektif.
Prinsip dasar otonomi daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini adalah mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi dengan adanya kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah serta proposional yang diwujudakan dengan adanya pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam undang-undang ini daerah kabupaten dan daerah kota berfungsi sebagai daerah otonom dengan kewenangan untuk menjalankan kebijaksanaan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. 2.1.7 Aspek-aspek dalam otonomi daerah Salah satu aspek dari pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau anggaran pendapatan dan belanja daerah merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, oleh karena itu anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pembangunan kapabilitas dan evektivitas pemerintah daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu mengambil keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran dimasa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk motivasi pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Proses penyususnan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan prefensi daerah yang bersangkutan (Mardiasmo, 2002). Adapun prinsip-prinsip otonomi daerah adalah :
1)
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pemertaan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, bertanggungjawab.
3)
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah Provinsi merupakan otonomi terbatas.
4)
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah.
5)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula ada kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas, maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7)
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administratis untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
8)
Pelaksanaan asas tugas perbantuan dimukinkan tidak hanya dari pemerintah pusat kepada daerah, namun juga dari pemerintah pusat dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggung jawaban kepada yang menugaskan.
Secara teoritis, otonomi daerah diharapkan mampu untuk mendorong dan menghasilkan manfaat yaitu : 1)
Mendorong peningkatan partisipasi,
prakarsa dan kreatifitas
masyarakat
dalam
pembangunan serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia dimasing-masing daerah. 2)
Memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalu pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah memiliki informasi yang paling lengkap. Bukti lainnya dikemukakan oleh (Ungki. T.M., 2003) bahwa pelayanan masyarakat
setempat yang dikontrol oleh daerah dilakukan dengan biaya lebih rendah dibandingkan oleh pemerintah pusat, tetapi harus mempunyai prasyarat untuk mendukung hal tersebut yaitu : 1) Kapasitas administratif yang baik. 2) Pejabat-pejabat daerah yang merespon (responsive). 3) Pertangungjawaban atas besarnya otoritas keuangan mereka. 2.1.8 Dampak otonomi daerah Dalam rangka pelaksanaan otonomi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dinyatakan bahwa kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan biaya, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjalankan otonomi sepenuhnya tersebut didalam implementasinya diperlukan dana yang memadai. Melalui Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah maka kemampuan daerah untuk memperoleh dana dapat lebih
ditingkatkan. Berkaitan dengan peningkatan kemampuan pendanaan di daerah tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain harus memperhatikan asas keadilan dan rasa persatuan sebagai bangsa. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 mengatur kewenangan daerah untuk membentuk dana cadangan yang bersumber dari pemerintah daerah, serta sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Pertanggungjawaban keuangan dalam rangka desentralisasi dilakukan oleh kepala daerah kepada DPRD. Berbagi laporan daerah ditetapkan dalam dokumen daerah agar diketahui oleh masyarakat sehingga terwujud keterbukaan dalam pengelolaan keuangan daerah. 2.1.9 Hubungan PAD sebelum otonomi Daerah dan PAD setelah otonomi Daerah Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah (Forum Dosen Akuntansi Sektor Publik, 2006:27). Hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah atau dalam arti yang lebih sempit sering juga disebut sebagai perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan salah satu bentuk hubungan dari sekian banyak hubungan antara pemerintah pusat dan daerah yang telah ditetapkan dalam UU No. 33 Tahun 2004 (Ahmad Yani, 2004:1). Pendapatan daerah terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut pasal 157 dalam UU No.32 tahun 2004, sumber PAD adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Sebelum otonomi daerah, persentase PAD terhadap APBD relatif kecil” (Gita, 2013). Pada umumnya APBD suatu daerah sangat didominasi oleh sumbangan lain yang diatur dengan
perundang-undangan. Hal ini menyebabkan daerah sangat tergantung kepada pemerintah pusat sehingga kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki sangat terbatas. Dengan diberlakukannya UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah member makna bahwa pelaksanaan otonomi daerah lebih menekankan pada daerah kabupaten dan kota. Desentralisasi atau yang lebih sering disebut otonomi daerah adalah salah satu produk kebijakan reformasi yang ditujukan untuk merangsang serta mendorong daerah agar berpikir kreatif dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari APBD. Sejalan dengan kewenangan tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi pembiayaan pemerintah dan pembangunan di daerahnya melalui PAD.
2.1.10 Penelitian terdahulu Sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini maka perlu dikemukakan hasil-hasil penelitian terdahulu yang masih mempunyai hubungan dengan permasalahan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Penelitian terdahulu dijabarkan dalam Table 2.1 No
Nama Peneliti
Judul
Hasil Penelitian
1
Keriahen Tarigan (2010)
Pengaruh otonomi daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan sektorsektor berpotensi yang dapat dikembangkan di
Pendapatan Asli Daerah meliputi variabel; pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, lain-lain PAD yang sah dan otonomi daerah, berpengaruh
pemerintah Kota Medan
2
Laeni Najiah (2013)
3
Pande Paramitha Wulandari dan Anak Agung Ketut Ayuningsasi (2014)
4
Adi N (2014)
5
Meilda Ellysa Putri dan Sri Rahayu (2014)
signifikan secara statistik pada pengujian α = 5% terhadap Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Medan. Analisis pengaruh variabel pendapatan asli daerah, pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan tingkat dana perimbangan, partisipasi angkatan kerja tingkat partisipasi secara bersama – sama mampu angkatan kerja terhadap menjelaskan pengaruh pada PDRB di Kota Depok PDRB Kota Depok dengan periode 2001-2010 probabilitas F -statistik adalah 0,000000. Analisis variabelPendapatan per kapita, tingkat vaeriabel yang inflasi, investasi, dan otonomi mempengaruhi daerah berpengaruh secara pendapatan asli daerah di simultan terhadap PAD Provinsi Bali Provinsi Bali. Pendapatan perkapita dan investasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD Provinsi Bali, sedangkan tingkat inflasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PAD Provinsi Bali dan variabel otonomi daerah tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap PAD Provinsi Bali. Analisis pengaruh pajak Penambahan pajak daerah daerah dan retribusi berpengaruh positif signifikan daerah terhadap terhadap penambahan pendapatan asli daerah pendapatan asli daerah, (PAD) Kabupaten/Kota di penambahan retribusi daerah Provinsi Jawa Tengah berpengaruh positif signifikan periode 2010-2012 terhadap penambahan pendapatan asli daerah dan penambahan pajak daerah dan retribusi daerah berpengaruh secara simultan terhadap penambahan pendapatan asli daerah. Pengaruh pajak daerah Secara simultan terdapat dan retribusi daerah pengaruh Pajak Daerah dan terhadap pendapatan asli Retribusi Daerah terhadap daerah (Studi Kasus pada Pendapatan Asli Daerah sebesar Pemerintah Daerah 80,3% dan secara parsial Pajak Kabupaten Cirebon Tahun Daerah berpengaruh signifikan
6
2.2
Maehani Ratna Wahyu Sari (2008)
Anggaran 2010-2014)
secara positif terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh signifikan secara positif terhadap Pendapatan Asli Daerah.
Pengaruh penerapan otonomi daerah terhdap pendapatan asli daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah (Studi kasus pada Badan Pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah Sleman dan Dinas pendapatan kabupaten Bantul)
Terdapat perbedaan pendapatan asli daerah Kabupaten Sleman dan Bantul antara sebelum dan sesudah dilaksanakannya otonomi daerah.
Hipotesis Penelitian Setelah munculnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka arah kebijakan pengelolaan keuangan dituntut untuk lebih efisien, efektif dan transparan, sehubungan dengan adanya perimbangan keuangan tersebut. Pemerintah daerah perlu mempersiapkan secara optimal terutama kesiapan sumber daya aparatur pemerintah daerah untuk mengelola keuangan di daerahnya. Sidik (2002) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah 4 daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya Pendapatan Asli Daerah. Penelitian tentang pelaksanaan otonomi daerah telah dilakukan oleh Ayum Heftia Ningsih (2005) tentang pendapatan asli daerah kabupaten/kota di Kalimantan Timur sebelum dan sesudah otonomi daerah. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan PAD kabupaten/kota di Kalimantan Timur sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah.
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Desy Ayu Lidya Ningsih (2007) di propinsi Kalimantan Barat menggunakan Wilcoxon sign rank menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara PAD sebelum dan sesudah otonomi daerah. Pemberian otonomi yang didasarkan pada azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan menjadikan setiap daerah mempunyai kewenangan dan sumber keuangan yang berbeda-beda, dengan melihat kondisi nyata yang terjadi di tingkatan pemerintah daerah yang seharusnya peran PAD semakin besar dalam membiayai berbagai belanja daerah. Leman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul analisis kemampuan Daerah sebelum dan sesudah Otonomi Daerah Pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung Tidak terdapat perbedaan derajat desentralisasi fiskal yang signifikan sebelum dan sesudah otonomi daerah pada Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung. Hal ini disebabkan karena sebelum dan sesudah otonomi daerah , BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) masih mengalami kenaikan yang cukup besar dibanding dengan PAD kabupaten/kota masing-masing. Berdasarkan kesimpulan penelitian sebelumnya, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut: H1 : Ada perbedaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebelum dan sesudah otonomi daerah di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali.