BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kenakalan Remaja 2.1.1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin “juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada periode remaja. Sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada remaja. Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal (Kartono, 2006). Sarwono (2001), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka akan mendapat sangsi hukum.
10
Dari pendapat Goleman dan Jeanne (dalam kartono 2003) bahwa perilaku delinkuen pada dasarnya disebabkan oleh ketidak mampuan remaja dalam menjalin relasi yang positif terhadap stimuli diluar dirinya yang pada akhirnya akan mengarah pada perilaku agresif dan delinkuen. Pendapat Goleman dan Jeanne Segal senada dengan gagasan teori Psikogenis yang menyatakan perilaku delinkuen adalah merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi stimuli eksternal atau sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis. Selanjutnya Brooks & Emmert merinci bahwa dalam suatu hubungan yang positif sekurang-kurangnya dijumpai unsurunsur afeksi, penerimaan, cinta dan rasa bahagia karena ada bersama orang lain (Saad, 2003). Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif, misalnya: asosial ataupun anti-sosial. Bahkan yang lebih ekstrim bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb (Apriyanti, 2006). Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. Kenakalan remaja adalah suatu bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat. Menurut Kartini Kartono (dalam Dirgantara Wicaksono, 2010) mengatakan remaja yang nakal itu
11
disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut “kenakalan”. Kenakalan remaja ini biasanya disalurkan dalam berbagai bentuk, mulai dari kenakalan yang bisa dimaklumi sampai kenakalan yang dapat meresahkan masyarakat. Kenakalan remaja diakibatkan oleh pengabaian sosial remaja yang dipengaruhi oleh perkembangan fisik dan psikologis pada fase ini. Pengabaian sosial ini terjadi karena remaja kurang memiliki kontrol diri dan cenderung meluapkan emosi-emosinya terhadap stimulus-stimulus diluar dirinya. Ketegangan emosi tinggi, dorongan emosi sangat kuat dan tidak terkendali membuat remaja sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional (Sari, 2005). 2.1.2. Bentuk-bentuk Kenakalan Remaja Jensen (Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, yaitu: 1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, pemerkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lainlain. 2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. 3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.
12
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua mereka dengan cara minggat dari rumah dan membantah perintah orangtua. 2.1.3. Aspek-aspek Juvenile delinquency (Kenakalan Remaja) Menurut Kartono (2006), aspek-aspek perilaku dibagi menjadi empat, yaitu: a. Kenakalan terisolir Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka
tidak menderita
kerusakan psikologis.
Perbuatan nakal mereka didorong oleh faktor-faktor berikut: 1) Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan gangnya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. 2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu. 3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di
13
tengah lingkungan kriminal. Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan. 4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan supervise dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya, delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial, mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku kriminalnya, paling sedikit 60% dari mereka menghentikan perilakunya pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru. b. Kenakalan neurotic Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa. Ciri-ciri perilakunya adalah: 1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai subkultur gang yang kriminal itu saja.
14
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas ketakutan, kecemasan, dan kebingungan batinnya. 3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan mempraktekan
jenis
kejahatan
tertentu,
misalnya
suka
memperkosa kemudian membunuh korbannya, kriminal, dan sekaligus neurotik. 4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orang tuanya biasanya juga neurotik atau psikotik. 5) Remaja memiliki ego yang lemah dan cenderung mengisolir diri dari lingkungan. 6) Motif kejahatannya berbeda-beda. 7) Perilakunya menunjukan kualitas kompulsif (paksaan). c. Kenakalan psikopatik Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah lakunya, yaitu: 1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal,
15
diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten dan orang tuanya selalu menyia-nyiakan mereka, sehingga
mereka
tidak
mempunyai
kapasitas
untuk
menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan emosional yang akrab dan baik dengan orang lain. 2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran. 3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki. 4)
Mereka
selalu
gagal
dalam
menyadari
dan
menginternalisasikan norma-norma sosial yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gangnya sendiri. 5)
Kebanyakan
neurologist, mengendalikan
dari
mereka
sehingga diri
juga
mengurangi
sendiri.
Psikopat
menderita
gangguan
kemampuan
untuk
merupakan
bentuk
kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis,
16
anti sosial dan selalu menentang apa dan siapa. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis terhadap siapapun tanpa sebab. d. Kenakalan defek moral Defek (defec, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciriciri, yaitu selalu melakukan tindakan sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka
selalu
ingin
melakukan
perbuatan
kekerasan,
penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaan sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional.
Menurut Kartono (2006), Juvenile delinquency (kenakalan remaja) mempunyai karakteristik umum, yaitu: a. Perbedaan struktur intelektual Pada umumnya intelegensi mereka tidak berbeda dengan intelegensi remaja yang normal, namun jelas terdapat fungsifungsi kognitif khusus yang berbeda biasanya kenakalan remaja mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas prestasi daripada nilai untuk keterampilan verbal (tes Wechsler).
17
b. Perbedaan fisik dan psikis Remaja yang nakal lebih ‘idiot secara moral’ dan memiliki perbedaan ciri karakteristik yang jasmani sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukan ditemukannya fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal: mereka kurang bereaksi
terhadap
stimulus
kesakitan
dan
menunjukan
ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu. 2.1.4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Kenakalan Remaja Perilaku nakal remaja bisa di sebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal). Faktor internal : 1) Krisis identitas Perubahan
biologis
dan
sosiologis
pada
diri
remaja
memungkinkan terjadinya dua bentuk intregasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua, tercapainya identitas peran. Kenakalan remaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa intregasi ke dua.
18
2) Kontrol diri yang lemah Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku “nakal”. Faktor eksternal: 1) Keluarga Percerain orang tua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisian antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah di keluarga juga bisa mempengaruhi seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama, atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan remaja. 2) Teman sebaya yang kurang baik. 3) Komunitas / lingkungan tempat tinggal yang kurang baik. Perilaku delinkuen merupakan perilaku yang mayoritas dilakukan oleh anak dan remaja di bawah usia 21 tahun. Banyak peneliti yang berusaha mengungkapkan faktor-faktor penyebab munculnya perilaku delinkuen pada masa remaja. Philip Graham (dalam Sarwono, 2006), membagi faktor-faktor penyebab perilaku
19
delinkuen lebih mendasarkan pada sudut kesehatan mental remaja, yaitu: 1. Faktor lingkungan, meliputi malnutrisi (kekurangan gizi), kemiskinan, gangguan lingkungan (polusi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan lain-lain), migrasi (urbanisasi, pengungsian, dan lain-lain). (1) Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan lain-lain). (2) Keluarga yang tercerai berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-lain). (3) Gangguan dalam pengasuhan, meliputi kematian orang tua, orang tua sakit atau cacat, hubungan antar anggota keluarga, antar saudara kandung, sanak saudara yang tidak harmonis serta pola asuh yang salah. Hubungan antar anggota yang tidak harmonis dapat menghambat perkembangan individu, khususnya perkembangan mental dan perilakunya. 2. Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta ketidakmampuan menyesuaikan diri. Santrock (2003), berdasarkan teori perkembangan identitas Erikson mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku delinkuen pada remaja: 1. Identitas negatif, Erikson yakin bahwa perilaku delinkuen muncul karena remaja gagal menemukan suatu identitas peran.
20
2. Kontrol diri rendah, beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. 3. Usia, munculnya tingkah laku antisosial di usia dini (anakanak) berhubungan dengan perilaku delinkuen yang lebih serius nantinya di masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuen. 4. Jenis kelamin (laki-laki), anak laki-laki lebih banyak melakukan
tingkah
laku
antisosial
daripada
anak
perempuan. Keenan dan Shaw (dalam Gracia, et al., 2000), menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar untuk munculnya perilaku (conduct) merusak namun demikian perilaku pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari
rumah
lebih
banyak
dilakukan
oleh
remaja
perempuan. 5. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan. Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang rendah di sekolah. 6. Pengaruh orang tua dan keluarga. Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan
21
mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anakanaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika berada di luar rumah. 7. Pengaruh teman sebaya. Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan. 8. Status ekonomi sosial. Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah. 9. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal. Tempat dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut, masyarakat dan lingkungan yang membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi terbentuknya perilaku delinkuen, yaitu faktor keluarga, hubungan antar anggota keluarga yang tidak harmonis, seperti hubungan antar saudara kandung yang buruk, akan
22
memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku di luar rumah.
2.1.5. Dampak/Akibat dari Kenalakan Remaja
1. Dampak kenakalan remaja pasti akan berimbas pada remaja tersebut. Bila tidak segera ditangani, ia akan tumbuh menjadi sosok yang bekepribadian buruk. 2. Remaja yang melakukan kenakalan-kenakalan tertentu pastinya akan dihindari atau malah dikucilkan oleh banyak orang. Remaja tersebut hanya akan dianggap sebagai pengganggu dan orang yang tidak berguna. 3. Akibat dari dikucilkannya ia dari pergaulan sekitar, remaja tersebut bisa mengalami gangguan kejiwaan. Yang dimaksud gangguan kejiwaan bukan berarti gila, tapi ia akan merasa terkucilkan dalam hal sosialisai, merasa sangat sedih, atau malah akan membenci orang-orang sekitarnya. 4. Dampak kenakalan remaja yang terjadi, tak sedikit keluarga yang harus menanggung malu. Hal ini tentu sangat merugikan, dan biasanya anak remaja yang sudah terjebak kenakalan remaja tidak akan menyadari tentang beban keluarganya.
23
5. Masa depan yang suram dan tidak menentu bisa menunggu para remaja yang melakukan kenakalan. Bayangkan bila ada seorang remaja yang kemudian terpengaruh pergaulan bebas, hampir bisa dipastikan dia tidak akan memiliki masa depan cerah. Hidupnya akan hancur perlahan dan tidak sempat memperbaikinya. 6. Kriminalitas bisa menjadi salah satu dampak kenakalan. Remaja yang terjebak hal-hal negatif bukan tidak mungkin akan memiliki keberanian untuk melakukan tindak kriminal. Mencuri demi uang atau merampok untuk mendapatkan barang berharga. 2.2.
Remaja 2.2.1. Pengertian Remaja Remaja atau adolescence, berasal dari kata Latin adoloscere (kata bendanya, adolescentia, yang berarti remaja), yang berarti 'tumbuh' atau 'tumbuh menjadi dewasa'. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Menurut Santrock (2003), remaja adalah masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Papalia dkk. (2004)
24
menyatakan bahwa remaja adalah suatu periode yang panjang sebagai proses transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Umumnya, remaja dikaitkan dengan mulainya pubertas, yaitu proses yang mengarah pada kematangan seksual, atau fertilitas yang merupakan kemampuan untuk reproduksi. Kemudian ditambahkan lagi bahwa remaja dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai 19 atau 20 tahun. Remaja dianggap mulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia yang dianggap matang secara hukum, yaitu rentang usia 13 hingga 18 tahun. Remaja adalah suatu usia di mana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada dibawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama atau paling tidak sejajar. Sedangkan remaja adalah “rekontruksi keasadaran” masa remaja adalah masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. (Piaget, dalam Ali & Asrori 2008). Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, di mana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu melepaskan diri secara emosional dan orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai
25
orang dewasa (Agustian, 2006). Masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsifungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 2007).
Selain itu, remaja mengalami perubahan dalam tiga domain yang akan dijelaskan sebagai berikut berdasarkan Santrock (2003): 1. Proses biologis, mencakup perubahan-perubahan dalam hakikat fisik individu. Misalnya: gen yang diwariskan dari orang tua, perkembangan otak, pertambahan tinggi dan berat badan, keterampilan motorik, dan perubahan hormonal pada pubertas. 2. Proses kognitif, meliputi perubahan dalam pikiran, inteligensi dan bahasa individu. 3. Proses sosial-emosional, meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan manusia lain, dalam emosi, dalam kepribadian, dan dalam peran dari konteks sosial dalam perkembangan.
2.2.2. Pembagian Remaja
Masa remaja dikelompokkan lagi menjadi:
1. Remaja awal (early adolescence)
Sub-tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 11-14 tahun. Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di bangku sekolah
26
menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan untuk pubertas.
2. Remaja akhir (late adolescence)
Sub tahap ini ditujukan untuk individu yang berusia 15-19 tahun. Umumnya, sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Dalam subtahap ini muncul minat yang lebih nyata untuk karir, pacaran, dan eksplorasi identitas (Santrock, 2003).
2.3.
Kerangka Pemikian (Theoretical Framework) Berdasarkan yang telah dibahas diatas bahwa kenakalan remaja terjadi dikarenakan adanya faktor internal dan eksternal. Remaja masih sangat rentan
dalam
mengolah
emosinya.
Pada
usia
tersebut
remaja
membutuhkan pola asuh yang baik, baik berupa perhatian, pengawasan, ajaran serta dukungan dari keluarga yang merupakan faktor utama dalam pembentukkan perilaku kenalakan remaja. Remaja merupakan masa baru beranjak dewasa, dimana ia tidak mau dikatakan sebagai anak kecil lagi, namun belum bisa dikatakan sudah dewasa. Diusia tersebut remaja mulai berkembang dan mengalami perubahan secara fisik, kognitif maupun emosi. Remaja adalah masa mereka ingin mencoba hal-hal baru, masa mereka ingin tahu lebih dalam mengenai dunia luar, disini mereka mudah terbawa arus lingkungannya dan mudah untuk dipengaruhi maupun
27
mempengaruhi. Keberadaan tempat tinggal remaja juga menjadi salah satu faktor pengaruh terbentuknya perilaku kenakalan remaja. Selain itu lingkungan pendidikan, lingkungan sosial atau pergaulannya (teman sebaya) juga merupakan hal yang perlu diperhatikan pada diri remaja, karena disitulah kepribadian atau jati diri mereka akan terbentuk.
Remaja Faktor Internal:
Faktor Eksternal:
- Faktor psikologis - Krisis identitas - Kontrol diri
- Keluarga - Teman sebaya - Komunitas/lingkungan tempat tinggal
Kenakalan Remaja
-
Kenakalan Terisolir Kenakalan Neurotic Kenakalan Psikopatik Kenakalan Defek Moral
28