8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Peranan Prosedur Pengajaran Kimia
Praktikum
Berbasis
Material
Lokal
dalam
1. Karakteristik Materi Kimia dan Pengajaran Kimia Ilmu kimia merupakan suatu pengetahuan yang memiliki karakteristik yang khas. Menurut Sukarna (Marlina, 2008) karakteristik materi kimia adalah: 1) Ilmu kimia termasuk ilmu pengetahuan alam, sehingga pada pembelajarannya diperlukan contoh-contoh objek nyata yang ada di alam dan dekat. 2) Ilmu kimia dibangun dengan metode ilmiah yang terdiri dari tahapan prosesproses ilmiah untuk mendapatkan produk ilmiah yang terdiri dari tahapan proses-proses ilmiah untuk mendapatkan produk ilmiah (konsep, prinsip, aturan dan hukum). 3) Sebagian besar bahan kajian ilmu kimia bersifat abstrak. Oleh sebab itu dalam proses pembelajarannya, guru harus bisa mengkonstruksi model-model atau analogi-analogi yang tepat sehingga ilmu kimia mudah diterima oleh siswa. 4) Ilmu kimia mengkaji pula soal hitungan, namun hitungan dalam ilmu kimia tidak hanya sekedar memecahkan soal-soal yang terdiri dari angka-angka, tetapi soal tersebut berkaitan dengan fakta, aturan, hukum-hukum ilmu kimia sehingga untuk menyelesaikannya pun perlu fakta, aturan, dan hukumhukum-hukum tersebut.
9
5) Konsep-konsep ilmu kimia dipelajari dengan urutan tertentu, mulai yang paling sederhana atau mendasar sampai pada yang kompleks. Dengan demikian, maka pembelajaran kimia diperlukan prasyarat pengetahuan yang berhubungan dengan konsep yang akan dibahas sehingga siswa mengetahui kaitan konsep yang lalu dengan konsep baru yang akan dipelajari.
2. Praktikum Sebagai Sarana Pembelajaran Dalam hal ini metode praktikum merupakan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dari kimia itu sendiri (Dahar,1996). Woolnough dan Allsop (dalam Rustaman, 2003) mengemukakan empat alasan mengenai pentingnya kegiatan praktikum, yakni bahwa praktikum dapat: 1) Membangkitkan motivasi belajar IPA 2) Mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen 3) Menjadi wahana pendidikan ilmiah 4) Menunjang materi pelajaran Menurut Arifin (2003), keuntungan penggunaan metode praktikum dalam pembelajaran adalah: 1) Kegiatan praktikum dapat memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa. 2) Siswa dapat mengamati proses. 3) Siswa dapat mengembangkan keterampilan inkuiri.
10
4) Siswa dapat mengembangkan sikap ilmiah 5) Kegiatan praktikum membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran lebih efektif dan efisien. Berdasarkan uraian di atas, maka kegiatan praktikum dapat dijadikan sarana untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam aspek kognitif, afektif, psikomotor dan memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa. Hal tersebut diperkuat pula oleh pernyataan Utomo, et al., ( Wilani, 2006) bahwa pengajaran adalah efektif untuk mencapai tiga macam tujuan secara bersamaan, yakni pertama keterampilan kognitif yang tinggi (melatih agar teori dapat dimengerti, agar segi-segi yang berlainan dapat diintegrasikan, agar teori dapat ditempatkan pada keadaan problema yang nyata). Kedua keterampilan afektif (belajar
merencanakan
kegiatan
secara
mandiri,
bekerja
sama,
mengkomunikasikan informasi mengenai bidangnya, menghargai bidangnya). Ketiga keterampilan psikomotorik (belajar memasang peralatan sehingga betulbetul berjalan, belajar memakai peralatan dan instrumen tertentu).
3. Prosedur Praktikum Berbasis Material Lokal Prosedur praktikum berbasis material lokal ini merupakan prosedur praktikum yang dapat dijadikan pilihan dari prosedur praktikum standar yang biasa digunakan dalam kegiatan praktikum. Pada praktikum berbasis material lokal ini digunakan bahan dan alat-alat yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari sehingga lebih mudah dilakukan. Praktikum dengan menggunakan bahan sehari-hari pun dapat menjadikan belajar lebih bermakna karena lebih dekat
11
dengan kehidupan sehari-hari dari siswa. Menurut Solahuddin (Nuryanti, 2006) belajar bermakna akan terjadi jika siswa mampu mengaitkan konsep yang bersikap logika abstrak dengan pengalaman nyata baik dalam kehidupan seharihari maupun dalam skala laboratorium. Prosedur praktikum berbasis material lokal yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah prosedur praktikum titrasi asam basa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengembangan prosedur praktikum ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan bahan dan alat yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari sehingga kegiatan praktikum lebih mudah dilakukan. Langkah-langkah percobaan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan praktikum titrasi asam basa yang standar atau yang biasa dilakukan di laboratorium, namun siswa dalam hal ini lebih dikenalkan pada alat dan bahan praktikum berbasis material lokal. a) Alat Pada praktikum standar, alat yang digunakan biasanya berupa statif, klem, buret dan erlenmeyer. Rangkaian alatnya dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Statif Klem
Buret
Labu erlenmeyer
Gambar 2.1 Set Alat Titrasi Asam Basa
12
Gambar 2.1 memperlihatkan satu set alat titrasi asam basa yang terdiri dari buret yang terpasang pada klem yang sudah terhubung dengan statif. Buret ini digunakan untuk menampung titran atau larutan penitrasi sedangkan labu erlenmeyer digunakan untuk menampung zat yang akan dititrasi. Berbeda dengan peralatan di atas, pada prosedur praktikum berbasis material lokal digunakan alat yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di luar laboratorium. Dalam hal ini sebagai pengganti buret digunakan siring/jarum bekas tinta printer sedangkan sebagai erlenmeyer digunakan botol vial berukuran kecil. Hal yang penting dalam titrasi adalah masalah pengukuran. Ukuran dalam hal ini adalah skala berupa angka yang menunjukkan volume zat/titran dalam satuan mililiter (mL). Buret memiliki skala tertentu dengan tingkat keakuratan yang sudah optimal. Walaupun tingkat keakuratan buret dan siring/jarum bekas tinta printer berbeda, namun siring dengan buret memiliki kemiripan dari segi bentuk, ketersediaan skala dan prinsip kerjanya sehingga dapat dijadikan alat pengganti dalam proses titrasi.
Gambar 2.2 Buret (kiri) dan Siring (kanan)
13
Selain buret, alat lain yang digunakan pada titrasi asam basa standar adalah labu erlenmeyer. Sebagai alternatif, dalam prosedur praktikum berbasis material lokal ini
tidak digunakan labu erlenmeyer melainkan botol vial
berukuran kecil seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Labu erlenmeyer (kiri) dan botol vial kecil (kanan)
Labu erlenmeyer digunakan sebagai tempat menampung zat yang akan dititrasi dan juga zat hasil titrasi. Dari segi bentuk keduanya berbeda, namun botol vial dapat digunakan karena bahannya yang sama-sama transparan dan memiliki bagian mulut yang kecil sehingga dari segi fungsi botol vial dapat digunakan layaknya labu erlenmeyer.
b) Bahan Praktikum titrasi asam basa yang standar, biasanya berupa penentuan konsentrasi atau kadar HCl dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 M atau juga penentuan konsentrasi atau kadar CH3COOH dengan menggunakan larutan KOH 0,1 M dan masih banyak contoh lainnya. Namun pada praktikum berbasis material lokal yang dikembangkan ini siswa diperkenalkan kepada bahan-bahan yang
14
dapat siswa temukan sendiri di sekitar rumah atau yang sudah dikenal secara luas di pasaran. Pada praktikum ini, zat yang akan ditentukan konsentrasinya adalah cuka makan. Dalam hal ini siswa perlu diberikan informasi bahwa asam asetat yang biasa ditemukan di laboratorium juga ternyata dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari baik di pertokoan maupun di pasar yaitu berupa cuka makan dalam kemasan botol maupun kemasan plastik.
Gambar 2.4 acetic acid; asam asetat (kiri) dan cuka makan (kanan)
Sebagai zat penitrasi, digunakan larutan soda api atau di laboratorium biasa dikenal dengan natrium hidroksida (NaOH). Dalam hal ini siswa juga perlu diberikan informasi bahwa mereka dapat mendapatkan natrium hidroksida dengan mudah di pasaran yaitu soda api seperti yang terlihat pada Gambar 2.5.
15
Gambar 2.5 Caustic Soda; NaOH (kiri) dan Soda Api (kanan)
Dalam proses titrasi asam basa, bahan yang juga diperlukan adalah indikator asam basa. Biasanya dalam praktikum titrasi asam basa yang standar digunakan berbagai macam indikator asam basa, seperti fenolftalein, brom timol biru, metil merah dan lain-lain. Untuk praktikum standar, pada titrasi asam lemah (asam asetat) dengan basa kuat (NaOH) biasanya digunakan indikator fenolftalein. Pada umumnya bahan yang memiliki warna yang mencolok dapat memberikan warna yang berbeda pada kedua suasana, baik asam maupun basa. Maka dalam praktikum ini digunakan jenis bunga yang memiliki warna yang mencolok sebagai indikator asam basa yaitu bunga sepatu. Bagian bunga yang dijadikan indikator adalah bagian kelopak berwarna merah yang digerus dengan lumpang dan alu dan ditambahkan sedikit air lalu disaring sehingga dihasilkan ekstrak berwarna merah kehitaman seperti yang terlihat pada Gambar 2.6
Gambar 2.6 Indikator ekstrak bunga sepatu
16
Jika titrasi dilakukan dengan menggunakan indikator fenolftalein, maka perubahan warna larutan yang terjadi adalah dari tidak berwarna menjadi merah muda. Sedangkan dengan indikator ekstrak bunga sepatu, perubahan warna yang terjadi adalah warna merah muda ke hijau muda. Karena perubahan warna yang terjadi cukup signifikan, maka titik akhir titrasi akan mudah teramati.
Gambar 2.7 Warna indikator dalam suasana asam (kiri) dan basa (kanan)
Prosedur praktikum ini juga tentu harus memenuhi kriteria dalam hal keakuratan (accuracy) dan kecermatan/ketelitian (precision). Dalam penggunaan bahasa sehari-hari sering kali istilah ketepatan dan kecermatan dijadikan satu kata yang artinya sama. Namun hal tersebut tidak berlaku sehubungan dengan data ilmiah. Prosedur praktikum yang dapat dijadikan alternatif tentu harus memiliki keakuratan dan kecermatan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai prosedur alternatif walaupun tidak menggunakan alat-alat yang terstandarisasi. Akurasi merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan analisis dengan kadar analit sebenarnya. Suatu data yang akurat (accurate) adalah hasil yang sangat mendekati nilai sebenarnya dari suatu besaran terukur. Suatu nilai
17
dapat dinyatakan akurat bila memenuhi syarat t0 < ttabel pada persen kepercayaan 95%. Adapun t0 dapat dihitung dengan rumus berikut (Chase & Bown, 1986): t0
=
dimana: X µ0 SD n
= rata-rata nilai eksperimen = nilai sebenarnya = standar deviasi = banyaknya data
Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali atau % recovery. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung % recovery adalah sebagai berikut (Chase & Bown, 1986): 1. Menghitung % error atau % galat dengan rumus berikut:
Dimana ; Xd = keterangan : Xi : hasil eksperimen X0 : hasil sebenarnya
2. Menghitung persen perolehan kembali atau % recovery : % recovery = 100% - % error Sedangkan kecermatan menurut Harmita (Marlina, 2008) adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Kecermatan lazim dinyatakan dalam simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi).
18
Adapun kecermatan dapat dihitung dengan cara sebagai berikut (Underwood, 1996 ): 1.
Hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4, . . . . xn maka simpangan bakunya adalah :
=
SD
keterangan: x = nilai eksperimen N = banyaknya data
2.
Simpangan baku relatif atau koefisien variasi adalah sebagai berikut: v=
x 100
keterangan : SD = standar deviasi = nilai rata-rata
B. LKS Sebagai Bentuk Penyajian Prosedur Praktikum Berbasis Material Lokal. 1. Kegunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) Menurut Conny Semiawan (Nuryanti, 2007) belajar dengan menggunakan LKS menuntut siswa untuk lebih aktif, baik mental atau fisik di dalam kegiatan pembelajaran. Adapun beberapa kegunaan LKS menurut Hidayat (dalam Ratnasari, 2004) adalah sebagai berikut: 1) Menjadi alternatif bagi guru untuk pengajaran atau memperkenalkan suatu bagian yang tertentu sebagai variasi KBM. 2) Dapat mempercepat proses pengajaran dan dapat menghemat waktu penyajian suatu topik sebab dapat disiapkan di rumah atau disiapkan sewaktu jam bebas
19
mengajar sebelum memasuki kelas serta dapat dibagikan secara cepat kepada siswa untuk dipelajari. 3) Dapat mempermudah penyelesaian tugas perorangan, kelompok atau klasikal karena siswa dalam menyelesaikan tugas itu sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. 4) Memberi peluang kepada guru dalam memberi bantuan perorangan atau remedial terutama untuk mengelola kelas besar. 5) Dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar, sehingga dengan adanya LKS ini siswa dituntut untuk banyak membaca baik itu buku paket, majalah, surat kabar, dan lain-lain untuk menunjang kemajuan dirinya dan membuka cakrawala kedewasaan berpikir. 6) Dapat mempermudah siswa dalam mengingat lebih lama yang dipelajarinya dengan cara membaca dan menulis.
2. Karaktersitik Lembar Kerja Siswa (LKS) Ada dua macam LKS, yaitu LKS eksperimen dan LKS non eksperimen. LKS eksperimen adalah Lembar Kerja Siswa yang dijadikan pedoman atau petunjuk oleh siswa dalam melaksanakan kegiatan eksperimen dan didalamnya memuat seluruh jenis keterampilan proses. Sedangkan LKS non eksperimen adalah Lembar Kerja Siswa yang dijadikan pedoman untuk memahami konsep tertentu tanpa melibatkan kegiatan eksperimen, melainkan melibatkan penyajian diskusi, tanya jawab, demonstrasi dan tidak memuat keseluruhan keterampilan proses melainkan hanya keterampilan proses tertentu saja.
20
Karena Kimia merupakan salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang didalamnya menuntut kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah dan bereksperimen, maka jenis LKS yang cocok untuk digunakan sebagai salah satu alat pembelajaran Kimia adalah LKS eksperimen. LKS eksperimen diharapkan dapat menunjang kegiatan pembelajaran yang mengajak siswa untuk berfikir, berkreasi dan isinya menarik sehingga membangkitkan minat siswa untuk melakukan eksperimen. Selain itu, LKS harus memiliki peran sebagai alat evaluasi bagi kemajuan belajar siswa. Agar kegiatan praktikum berjalan maksimal, maka LKS sebagai petunjuk praktikum haruslah dibuat dengan sebaik-baiknya. Menurut Darmojo dan Kaligis (Marlina, 2008) LKS yang baik adalah yang memenuhi berbagai persyaratan, seperti syarat didaktik, syarat konstruksi, dan syarat teknis.
1) Syarat Didaktik Yang dimaksud dengan syarat didaktik adalah persyaratan yang berkaitan dengan azas-azas belajar mengajar yang efektif, yaitu: a) Memperhatikan adanya perbedaan individual, sehingga LKS yang baik itu dapat digunakan oleh siswa lamban, sedang maupun yang cepat belajarnya. b) Memberikan tekanan pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga LKS berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi siswa untuk mencari tahu sehingga siswa lebih aktif dalam proses pencarian informasi dan pengetahuan.
21
c) Memiliki variasi stimulus melalui berbagai media dan kegiatan siswa. Dalam sebuah LKS sebaiknya terdapat kesempatan bagi siswa untuk menulis, menggambar, menggunakan alat percobaan, dsb. d) Dapat mengembangkan kemampuan komunikasi sosial emosional, moral dan estetika pada diri siswa. Untuk keperluan ini, diperlukan berbagai kegiatan yang memungkinkan siswa dapat berhubungan dengan orang lain, mengkomunikasikan hasil kerjanya kepada orang lain. e) Pengalaman belajarnya ditentukan oleh pengembangan pribadi siswa (intelektual, emosional, dsb), bukan ditentukan oleh materi pelajarannya.
2) Syarat Konstruksi Syarat konstruksi adalah persyaratan yang berkaitan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosakata, tingkat kesukaran dan tingkat kejelasan sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh penggunanya (siswa). Yang termasuk syarat konstruksi adalah sebagai berikut: a) Penggunaan bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan kedewasaan anak. b) Menggunakan struktur kalimat yang jelas. c) Memiliki tata urutan pelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak. d) Menghindarkan pertanyaan yang terlalu terbuka, yang dianjurkan adalah isian atau jawaban yang didapat dari hasil pengolahan informasi, bukan mengambil dari pengetahuan yang tidak terbatas.
22
e) Tidak mengacu pada buku sumber yang berada di luar kemampuan siswa untuk membacanya. f) Menyediakan ruang yang cukup untuk memberi keleluasaan pada siswa untuk menulis maupun menggambarkan sesuai dengan yang diperintahkan. g) Menggunakan kalimat yang sederhana dan pendek. h) Menggunakan lebih banyak ilustrasi daripada kata-kata. Ilustrasi atau gambar lebih dekat pada sifat konkrit, sedangkan kata-kata lebih dekat pada sifat formal atau abstrak sehingga akan berakibat lebih sukar ditangkap oleh siswa. i) Dapat digunakan untuk siswa yang lamban, sedang maupun cepat belajarnya. j) Memiliki tujuan belajar yang jelas serta manfaat dari LKS itu sebagai sumber informasi. k) Mempunyai identitas untuk memudahkan administrasi, misal kelas, mata pelajaran, dsb.
3) Syarat Teknis Adapun syarat teknis meliputi pengaturan tulisan, penyajian gambar, kemasan/ penampilan LKS yang menarik. Penjelasan lebih rincinya adalah sebagai berikut: a) Tulisan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tulisan pada suatu LKS, yaitu:
Menggunakan huruf cetak dan sebaiknya tidak menggunakan huruf latin atau huruf romawi.
23
Menggunakan huruf cetak tebal agak besar untuk topik/judul LKS, bukan huruf biasa yang diberi garis bawah.
Menggunakan bingkai untuk membedakan kalimat perintah dengan jawaban siswa.
Mengusahakan agar perbandingan besarnya huruf dengan gambar serasi.
b) Gambar yang baik untuk LKS adalah gambar yang dapat menyampaikan isi/pesan secara efektif kepada pengguna LKS. Siswa yang sedang berada pada tahap praoperasional dan operasional konkrit mungkin senang melihat gambar yang bagus tetapi belum dapat menangkap isinya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah kejelasan isi atau pesan dari gambar secara keseluruhan atau gambar yang digunakan harus sesuai dengan materi pelajaran yang disampaikan. c) Penampilan yang menarik. Penampilan sangat penting dalam LKS, karena pertama kali akan tertarik pada penampilan dari LKS bukan isinya. Apabila suatu LKS ditampilkan dengan penuh kata-kata dan banyaknya pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa, akan menimbulkan kesan jenuh dan membosankan sehingga siswa tidak termotivasi untuk belajar. Apabila ditampilkan dengan gambar saja tidak mungkin karena pesan atau isinya tidak akan sampai. Jadi, LKS yang baik adalah LKS yang memiliki kombinasi seimbang antara tulisan dan gambar.
24
3. Keterbacaan LKS Sebagai Bentuk Sajian Prosedur Praktikum Sebagai salah satu persyaratan LKS yang baik berdasarkan syarat didaktis, maka hal yang juga penting untuk diperhatikan dalam pengembangan prosedur praktikum ini adalah faktor keterbacaan (readability). Adapun yang dimaksud dengan keterbacaan adalah ukuran sesuai atau tidaknya suatu bacaan atau wacana bagi pembaca tertentu berdasarkan tingkat kesukaran atau kemudahannya. Tingkat keterbacaan harus serasi dengan tingkat kemampuan siswa sehingga dapat digunakan oleh siswa lamban, sedang maupun yang cepat belajarnya.
1) Formula Keterbacaan Formula-formula keterbacaan seperti Reading Ease Formula (RE), Human Interest (HI), Dale and Chall (DAC), Fog Indeks (FI), Grafik Fry, Grafik Raygor, dan Cloze atau prosedur klose (selanjutnya disebut teknik isian rumpang) dianggap praktis dan sederhana pemakaiannya. Metode yang dianggap paling berhasil di antara formula-formula tersebut adalah prosedur klose atau Cloze. Selain dapat digunakan sebagai alat untuk menguji keterbacaan, teknik ini juga sekaligus dapat digunakan untuk alat/teknik pengajaran membaca. Berbagai penelitian juga telah memperlihatkan bukti bahwa teknik isian rumpang merupakan alat ukur keterbacaan yang mapan. Hal ini didukung oleh beberapa bukti penelitian. Bachman (1985), misalnya telah membuktikan keterandalan teknik ini yang diperbandingkan dengan beberapa skor dari tes baku/standar bahasa Inggris. Bahkan Stump dalam Oller & Perkins (1978), lewat penelitiannya membuktikan bahwa tes isian rumpang dan dikte
25
merupakan dua bentuk pengetesan yang mampu memprediksi skor intelegensi dan prestasi belajar. Kedua bentuk pengetesan tersebut telah dikorelasikan dengan sebuah tes standar, yakni The Lorge Thonrdike Intellegence Test dan The Iowa Test Of Basic Skills (ITBS).
2) Teknik Isian Rumpang (Cloze Procedure) Prosedur klose pertama kali diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1953) dengan nama cloze procedure. Teknik ini diilhami oleh suatu konsep dalam ilmu jiwa Gestal, yang dikenal dengan istilah clozure. Konsep ini menjelaskan tentang kecenderungan manusia untuk menyempurnakan suatu pola yang tidak lengkap secara mental menjadi satu kesatuan yang utuh; kecenderungan untuk mengisi atau melengkapi sesuatu yang sesungguhnya ada namun tampak dalam keadaan yang tidak utuh; melihat bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan. Berdasarkan konsep tersebut Taylor mengembangkannya menjadi sebuah alat ukur keterbacaan wacana yang diberinya nama cloze procedure. Prosedur tersebut kini lebih dikenal dengan istilah teknis isian rumpang. Taylor (Marlina, 2008) menyebutkan langkah-langkah penyusunan uji rumpang adalah sebagai berikut: 1) Menentukan suatu teks atau wacana yang relatif sempurna ( yakni wacana yang tidak bergantung pada informasi sebelumnya dan tidak terpenggal atau utuh, yaitu wacana dari awal, tengah dan akhir dari prosedur praktikum yang dikembangkan.
26
2) Kalimat pertama dan kalimat terakhir dibiarkan utuh. Tiap teks panjangnya antara 150-250 kata. 3) Melakukan penghitungan mulai dari kalimat kedua, yakni pada setiap kata kelima, penghilangan ditandai dengan titik-titik yang jumlah titiknya sama pada setiap bagian yang dilesapkan. 4) Jika kebetulan kata kelima jatuh pada kalimat yang dianggap penting, pelesapan kata tersebut tidak dilakukan tetapi pelesapan dilakukan pada kata sesudahnya. 5) Secara acak disediakan kata-kata yang dilesapkan dari tiap teks.
3) Kriteria Penilaian Teknik Isian Rumpang Penilaian pengetesan prosedur isian rumpang ditetapkan dengan kriteria persentase. Sampai saat ini para ahli menetapkan dua alternatif kriteria penilaian untuk kemampuan siswa dalam mengisi lesapan pada wacana rumpang. Adapun dua kriteria penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1) Exact Words Method Jika menggunakan metode ini kita hanya memberi angka kepada jawaban yang sama persis dengan kata aslinya. Kata lain yang tidak tepat benar, tidak dapat diterima walaupun jika ditinjau dari sudut makna tidak mengubah maksud dari konteks kalimatnya. Kriteria penilaian ini dipergunakan untuk menilai prosedur isian rumpang yang dipergunakan sebagai alat ukur dengan peserta tes yang terdiri atas sekelompok besar siswa.
27
2) Synonymy Method atau Contextual Method Berbeda dengan ”exact words method”, pada metode ini angka diberikan tidak hanya pada jawaban yang sama persis. Kata-kata yang bersinonim atau katakata yang dapat menggantikan kedudukan kata yang dihilangkan, dapat dibenarkan dengan catatan makna dan struktur konteks kalimat yang didudukinya tetap utuh dan dapat diterima.
4) Interpretasi Hasil Isian Rumpang Penetapan interpretasi hasil isian rumpang didasarkan atas hasil studi, yaitu dengan cara membandingkan kemampuan siswa dengan kemampuan isian rumpangnya terhadap suatu teks atau wacana yang sama. Berikut ini kriteria penilaian isian rumpang dari beberapa ahli: Earl F. Rankin dan Joseph W. Culhane (1969) menetapkan interpretasi hasil uji rumpang sebagai berikut: Pembaca berada pada tingkat independen/bebas, jika persentase skor tes uji rumpang yang diperolehnya di atas 60%. Pembaca berada pada tingkat instruksional, jika persentase skor tes uji rumpang yang diperolehnya berkisar antara 41% - 60%. Pembaca berada pada tingkat frustasi/gagal, jika persentase skor tes uji rumpang yang diperolehnya sama dengan atau kurang dari 40%. Klasifikasi di atas, penafsiran hasil uji wacana rumpang berdasarkan pembacanya, dengan patokan yang sama, kita dapat mengklasifikasi bahan bacaanya. Untuk klasifikasi skor pertama yaitu diatas 60% artinya wacana itu
28
tergolong mudah. Untuk klasifikasi skor kedua, berarti wacana itu tergolong sedang. Sedangkan untuk klasifikasi skor ketiga, menunjukkan bahwa wacana itu tergolong sukar. Zint (1972) menetapkan interpretasi sebagai berikut:
Perolehan hasil uji rumpang di atas 50% tergolong dalam tingkat independen (mandiri/bebas).
Perolehan hasil uji rumpang antara 40% hingga 50% tergolong dalam tingkat instruksional.
Perolehan hasil uji rumpang kurang dari 40% tergolong dalam tingkat frustasi/gagal. Pendapat lain mengemukakan interpretasi dengan ketentuan berikut:
Perolehan hasil uji rumpang di atas 53,5% tergolong dalam tingkat independen (mandiri/bebas)
Perolehan hasil uji rumpang antara 44,5% sampai dengan 53,5% tergolong dalam tingkat instruksional.
Perolehan hasil uji rumpang kurang dari 40% tergolong dalam tingkat frustasi/gagal. Batas kelulusan untuk suatu sistem evaluasi di Indonesia berdasarkan
sistem penilaian acuan patokan (PAP), pada umumnya ditetapkan jika peserta tes mampu menjawab dengan benar, minimal separuh dari jumlah soal yang diujikan. Berpegang pada asumsi tersebut, agaknya penetapan interpretasi yang pertama yakni menurut Earl F. Rankin dan Joseph W. Culhane lebih cocok untuk digunakan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
29
C. Tinjauan Materi Titrasi Asam Basa 1. Titrasi Asam Basa Istilah titrasi berarti penetapan titer atau penetapan kadar. Penetapan kadar larutan asam dan basa dapat dilakukan melalui suatu prosedur percobaan yang disebut titrasi asam basa. Kadar asam atau basa dalam suatu zat tertentu ditentukan berdasarkan pada reaksi penetralan asam-basa. Titrasi asam basa ini melibatkan larutan dengan konsentrasi yang diketahui (titran) diturunkan dari buret ke dalam larutan yang akan ditentukan konsentrasinya (titrat). Dalam hal ini kadar larutan asam dapat ditentukan dengan menggunakan larutan basa yang sudah diketahui kadarnya, begitu pula sebaliknya, kadar larutan basa dapat diketahui dengan menggunakan larutan asam yang sudah diketahui kadarnya. Keadaan ketika mol ekivalen asam sama dengan mol ekivalen basa atau dengan kata lain asam dan basa tepat bereaksi disebut titik ekivalen. Titik ekivalen dapat diketahui dengan bantuan indikator. Titrasi dihentikan tepat pada saat indikator menunjukkan perubahan warna. Saat indikator menunjukkan perubahan warna disebut titik akhir titrasi. Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi yang tinggi, maka diusahakan titik akhir titrasi sedekat mungkin dengan titik ekivalen. Oleh karena itu, harus dipilih indikator yang mengalami perubahan warna di sekitar titik ekivalen. Tabel 2.1 Trayek pH Indikator Asam Basa Indikator Lakmus Metil jingga Metil merah Bromtimol biru fenolftalein
Trayek Perubahan Warna 5,5 – 8,0 2,9 – 4,0 4,2 – 6,3 6,0 – 7,6 8,3 – 10,0
Perubahan warna merah – biru merah – kuning merah – kuning kuning – biru tidak berwarna - merah
30
Dalam proses titrasi asam basa terjadi perubahan pH selama penambahan asam atau basa ke dalam titrat. pH akan naik ketika suatu larutan asam ditetesi dengan larutan basa. Sebaliknya, jika larutan basa ditetesi dengan larutan asam maka pH larutan akan turun. Perubahan pH selama penambahan asam atau basa ini dapat digambarkan dengan bentuk kurva titrasi. Bentuk kurva titrasi bergantung pada kekuatan asam dan basa yang direaksikan. Ada empat jenis titrasi berdasarkan kekuatan asam dan basa yaitu : 1) Titrasi asam kuat dengan basa kuat 2) Titrasi asam lemah dengan basa kuat 3) Titrasi basa lemah dengan asam kuat 4) Titrasi asam lemah dengan basa lemah
2. Penentuan Konsentrasi Asam asetat dalam Cuka Makan Untuk menentukan konsentrasi asam asetat dalam cuka makan, dilakukan melalui proses titrasi yang didasarkan pada reaksi penetralan asam lemah dengan basa kuat. Dalam hal ini konsentrasi asam asetat ditentukan dengan mereaksikannya dengan NaOH yang kita kenal di pasaran sebagai larutan soda api. Adapun indikator yang digunakan adalah indikator alami yang terbuat dari ekstrak bunga sepatu. Perubahan warna yang terjadi ketika larutan asam menjadi basa adalah merah muda ke hijau muda. Adapun bentuk persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: CH3COOH (aq) + NaOH(aq)
→
CH3COONa(aq) + H2O(l)
31
Selama penambahan soda api ke dalam asam cuka tetes demi tetes, terjadi perubahan pH yang ditunjukkan dengan kurva titrasi berikut:
Trayek pH indikator bunga sepatu
Titik ekivalen
Gambar 2.8 Kurva Titrasi Asam Lemah-Basa Kuat
Dari kurva pada Gambar 2.8 terlihat bahwa titik ekivalen berada di atas pH 7 yaitu diantara pH 8-9. Maka titik akhir titrasi dapat ditentukan di sekitar trayek ph tersebut dengan melihat perubahan warna yang terjadi. Dari proses titrasi akan diketahui berapa banyak volume larutan soda api yang habis terpakai hingga tepat ekivalen yang dapat terdeteksi melalui titik akhir titrasi. Setelah volum NaOH rata-rata hasil percobaan diketahui, maka untuk menentukan konsentrasi asam dapat digunakan rumus: M1. n1. V1 = M2. n2. V2 dengan: M1 M2 n1 n2 V1 V2
: konsentrasi basa NaOH (soda api) dalam satuan Molaritas : konsentrasi asam asetat dalam satuan Molaritas : valensi basa NaOH (soda api) : valensi asam asetat : volume basa NaOH (soda api) : volume asam asetat