BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Tinjauan tentang Model Pembelajaran Kooperatif Sejalan dengan penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru mempunyai kebebasan dalam memilih model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran di kelasnya. Dalam menciptakan proses pembelajaran yang lebih bervariasi, yang dapat meningkatkan peran siswa khususnya ketika proses pembelajaran PKn, guru dapat merancang dan menciptakan suasana kelas sedemikian rupa, sehingga siswa mendapat kesempatan untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah model pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa tipe yang dapat diterapkan, diantaranya yaitu: Jigsaw, Group Investigation, Student Teams Achievement Division (STAD), tipe struktural Team Game Turnament (TGT), Cooperative Integrated Reading Composition (CIRC), dan Numbered Heads Together (NHT). a. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Robert E. Slavin (2005: 8) mengemukakan bahwa, dalam model pembelajaran kooperatif siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan 4 orang yang heterogen untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Dengan struktur siswa yang heterogen maka dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati
13
antaranggota, untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Sikap tersebut harus dimiliki oleh setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Isjoni. Isjoni (2009: 14) mengemukakan bahwa, “pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda”. Dengan tingkat kemampuan yang berbeda maka dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota kelompok harus dapat bekerjasama dan saling membantu untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Dalam model ini siswa memiliki dua tanggung jawab, yaitu siswa belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar. Selanjutnya, Anita Lie 2000 (Isjoni, 2009: 23), mengemukakan “pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur”. Pembelajaran kooperatif akan berjalan jika sudah terbentuk suatu kelompok yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah ditentukan. Dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang menempatkan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang
14
heterogen terdiri dari 4-6 orang, sehingga memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri dan belajar bertukar pikiran mengenai tugas-tugasnya untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama. b. Teori Model Pembelajaran Kooperatif Terdapat berbagai teori dalam mempelajari model pembelajaran kooperatif. Isjoni (2011: 35) menyebutkan tiga diantara teori model pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut. 1) Teori Ausubel Ausubel 1996 (Isjoni, 2011: 35) mengemukakan bahwa, “bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaning full)”. Materi yang disampaikan guru hendaknya bermakna bagi siswa, yang dapat diingat dan diterapkan dalam kehidupan seharihari. Selanjutnya, Suparno 1997 (Isjoni, 2011: 35) mengemukakan pembelajaran bermakna merupakan suatu proses pembelajaran dimana informasi baru dihubungkan dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki siswa yang sedang dalam proses pembelajaran. Materi pembelajaran harus sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pembelajaran harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru dapat diterima siswa dengan baik. Dengan demikian, faktor intelektual emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
15
Ausubel “kekuatan
dan
(Isjoni,
2011:
kebermaknaan
36)
mengemukakan
proses
pemecahan
bahwa, dalam
pembelajaran terletak pada kemampuan siswa dalam mengambil peran dalam kelompoknya”. Bimbingan guru sangat diperlukan untuk memperlancar proses pemecahan masalah tersebut, baik lisan maupun tindakan, sedangkan siswa diberikan kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri. 2) Teori Piaget Piaget 1996 (Isjoni, 2011:36) mengemukakan bahwa, “setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual yaitu: sensori motor (0-2 tahun), pra operasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional formal (11 tahun ke atas)”. Dalam hubungannya dengan pembelajaran, teori ini mengacu kepada kegiatan pembelajaran yang harus melibatkan partisipasi siswa. Isjoni (2011: 37) mengemukakan bahwa, “dalam teori ini pengetahuan tidak hanya sekedar dipindahkan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkontruksi oleh siswa, sebagai realisasi teori ini siswa harus bersifat aktif dan partisipatif”. Surya (Isjoni, 2011: 38) megemukakan implikasi dari teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran, antara lain: a) bahasa dan cara berpikir siswa sekolah dasar berbeda dengan orang dewasa. Guru dalam mengajar hendaknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir siswa. 16
b) siswa akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu siswa agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan sebaik-baiknya. c) materi yang akan dipelajari siswa dirasakan baru tetapi, tidak asing bagi siswa. d) siswa diberi kebebasan agar dapat belajar sesuai dengan perkembangannya. e) di dalam kelas siswa diberi kesempatan untuk dapat berinteraksi dan berdiskusi dengan temannya.
3) Teori Vygotsky Isjoni (2011: 39) mengemukakan bahwa, sumbangan dari teori Vygotsky adalah “penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran”. Pembelajaran terjadi saat anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal develoment). Astuty 2000
(Isjoni,
2011:
39)
mengemukakan
bahwa,
“zona
perkembangan proksimal adalah jarak antara perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial”. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan menyelesaikan masalah secara mandiri, sedangkan perkembangan potensial adalah kemampuan menyelesaikan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerjasama dengan teman sebaya. Dengan demikian, tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melaui model pembelajaran kooperatif. Scaffolding, merupakan ide lain yang diturunkan oleh Vygotsky. Isjoni (2011: 40) mengemukakan bahwa, scaffolding adalah memberikan sejumlah bantuan kepada siswa pada tahap-
17
tahap
awal
pembelajaran,
kemudian
menguranginya
dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab saat siswa telah mampu. Selanjutnya, Isjoni (2011: 40) mengemukakan bahwa, “dalam teori Vygotsky ada hubungan antara domain kognitif dengan sosial budaya”. Kualitas berpikir siswa dibangun di dalam kelas, sedangkan aktivitas sosial dikembangkan dalam bentuk kerjasama yaitu diskusi kelompok yang dibimbing oleh guru. c. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif memiliki karakteristik yang membedakan dengan model pembelajaran lain. Rusman (2010: 207) mengemukakan bahwa, “pembelajaran kooperatif dicirikan oleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif”. Karakteristik model pembelajaran kooperatif dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Pembelajaran secara tim, dalam model pembelajaran kooperatif proses pembelajaran dilakukan secara tim atau kelompok. Oleh karena itu, setiap tim atau kelompok harus mampu membuat masing-masing anggota ikut berperan akif dalam kelompoknya. Setiap anggota tim atau kelompok juga harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. 2) Didasarkan pada manajemen kooperatif, manajemen kooperatif mempunyai tiga fungsi yaitu:
18
a) fungsi
manajemen
pembelajaran
sebagai
kooperatif
perencanaan
dilaksanakan
pelaksanaan,
sesuai
dengan
perencanaan dan langkah-langkah pembelajaran yang sudah ditentukan. b) fungsi manajemen sebagai organisasi, pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar pembelajaran berjalan dengan efektif. c) fungsi manajemen sebagai kontrol, pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan baik melalui tes maupun non tes. 3) Kemauan
untuk
bekerjasama,
keberhasilan
pembelajaran
kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok, oleh karena itu prinsip kerjasama perlu ditekankan dalam pembelajaran kooperatif. Tanpa adanya kerjasma yang baik, pembelajaran kooperatif tidak mencapai hasil yang optimal. 4) Keterampilan bekerjasama, kemampuan bekerjasama dapat melalui kegiatan diskusi dan komunikasi dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, belajar berpikir kritis, menyampaikan pendapat, memberi kesempatan menyalurkan kemampuan, dan saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. d. Tujuan Model Pembelajaran Kooperatif Dalam memilih dan menggunakan suatu model pembelajaran tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh guru. Termasuk
19
dalam memilih dan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Seperti yang kemukakan oleh Nur Asma (2006: 12), penggunaan model pembelajaran kooperatif memiliki berbagai tujuan. Adapun tujuan pembelajaran kooperatif, adalah sebagai barikut. 1) Pencapaian hasil belajar Pembelajaran kooperatif selain memiliki tujuan sosial juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Siswa yang telah menguasai materi akan menjadi tutor bagi siswa yang belum menguasai materi. Melalui pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan pada siswa yang telah bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas akademik, baik kelompok siswa yang belum menguasai materi maupun kelompok siswa yang sudah menguasai materi. 2) Penerimaan terhadap individu Efek penting selanjutnya dari pembelajaran kooperatif ini ialah penerimaan yang luas terhadap siswa yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan dan ketidak mampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, serta untuk menghargai satu sama lain.
20
3) Pengembangan keterampilan sosial Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki siswa sebagai warga masyarakat, bangsa dan negara mengingat kenyataan yang dihadapi bangsa ini dalam mengatasi masalah-masalah sosial semakin kompleks. e. Prinsip Pembelajaran Kooperatif Ada
beberapa
menggunakan
model
prinsip
yang
perlu
pembelajaran
diperhatikan
kooperatif
saat
dalam proses
pembelajaran berlangsung. Nur Asma (2006: 14) mengemukakan bahwa, dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif setidaknya terdapat lima prinsip, yaitu sebagai berikut. 1) Belajar siswa aktif (student active learning), dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif pembelajaran akan berpusat pada siswa, aktivitas belajar lebih dominan dilakukan oleh siswa, pengetahuan yang dibangun dan ditemukan adalah dengan belajar bersama-sama dengan anggota kelompok sampai masing-masing siswa memahami materi pelajaran. 2) Belajar bekerjasama (cooperative learning), proses belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif dilalui dengan bekerjasama dalam kelompok untuk membangun pengetahuan yang tengah dipelajari. Seluruh siswa terlibat aktif dalam diskusi
21
untuk memecahkan masalah, sehingga terbentuk pengetahuan baru dari hasil kerjasama tersebut. 3) Pembelajaran partisipatorik, siswa belajar dengan melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran. 4) Mengajar reaktif (reactive teaching), guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dan menarik serta dapat meyakinkan siswa akan manfaat pelajaran yang tengah berlangsung untuk masa depannya. 5) Pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning), suasana belajar yang menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru baik di luar maupun di dalam kelas. Guru harus memiliki sikap yang ramah dengan tutur bahasa yang menyayangi siswasiswanya. f. Unsur-unsur Model Pembelajaran Kooperatif Roger
dan
David
Johnson
(Anita
Lie,
2004:
31-35)
mengemukakan bahwa, tidak semua kerja kelompok dapat dianggap sebagai cooperative learning, untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran kooperatif, yaitu sebagai berikut. 1) Saling ketergantungan positif Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya, untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif, guru harus menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga
22
setiap anggota kelompok dapat menyelesaikan tugasnya secara bersama sesuai dengan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat mencapai tujuan. Beberapa siswa yang kurang mampu tidak akan merasa rendah diri terhadap teman-temannya, karena setiap siswa dapat memberikan sumbang asihnya kepada kelompok. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai tidak akan merasa dirugikan karena temannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian sumbangan. 2) Tanggung jawab perseorangan Setiap angggota memiliki tugas masing-masing di dalam kelompok, sehingga akan merasa bertanggung jawab dan tidak ada rasa iri hati dengan anggota lain untuk melakukan yang terbaik bagi kelompoknya. 3) Tatap muka Interaksi yang terjadi selama diskusi akan memberikan keuntungan bagi semua anggota kelompok karena memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing anggota kelompok. 4) Komunikasi antaranggota Dalam setiap tatap muka terjadi diskusi, maka keterampilan berkomunikasi antaranggota kelompok sangatlah penting. Agar terjalin komunikasi yang baik maka antaranggota kelompok harus saling mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara
23
akurat dan tidak ambisius, saling menerima, mendukung serta mampu menyelesaikan konflik. 5) Evaluasi proses kelompok Evaluasi proses kelompok berarti siswa dalam kelompok bersama-sama mengevaluasi proses belajar kelompok. Hal yang perlu dievaluasi misal, kerjasama, partisipasi setiap anggota kelompok, dan komunikasi antaranggota kelompok. Lungdren 1994 (Isjoni, 2011: 13-15) megemukakan bahwa, unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) siswa dalam kelompoknya haruslah memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”, 2) siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau siswa lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi, 3) siswa harus memiliki pandangan bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama, 4) siswa berbagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara anggota kelompoknya, 5) siswa diberikan evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok, 6) siswa berbagi kepemimpinan sementara dan siswa memperoleh keterampilan bekerjasama selama proses belajarnya,
24
7) siswa diminta untuk mempertanggungjawabkan secara individual meteri yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Melalui pembelajaran kooperatif siswa belajar bekerjasama dengan teman sebayanya untuk meguasai materi pelajaran disertai saling membantu. Setiap siswa memiliki tanggung jawab masingmasing untuk keberhasilan kelompoknya. Melalui pembelajaran kooperatif pula akan tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap hasil belajar yang akan dicapai oleh siswa. g. Keterampilan Model Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif siswa tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi juga mempelajari
keterampilan-keterampilan
khusus.
Keterampilan
kooperatif berfungsi untuk melancarkan komunikasi antaranggota kelompok. Lungdren 1994 (Isjoni, 2011: 46-48) mengemukakan bahwa, keterampilan-keterampilan selama pembelajaran kooperatif, antara lain: 1) keterampilan kooperatif tingkat awal a) menggunakan kesepakatan, menyatukan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok, b) menghargai kontribusi, menghargai setiap pendapat yang di keluarkan oleh setiap anggota kelompok, c) mengambil giliran dan berbagi tugas, setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas dan tanggung jawab tertentu dalam kelompok, d) berada dalam kelompok, setiap anggota tetap dalam kelompok diskusi selama kegiatan berlangsung. 25
e) berada dalam tugas, siswa menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawab setiap anggota kelompok, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan, f) mendorong partisipasi, mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok, g) mengundang orang lain, siswa meminta temannya untuk berbicara (berpendapat) dan berpartisipasi terhadap tugas, h) menyelesaikan tugas dalam waktunya, tugas yang diberikan oleh guru diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah disepakati bersama, i) menghormati perbedaan individu, siswa saling menghormati terhadap budaya, suku, ras, atau pengalaman dari semua siswa. 2) keterampilan tingkat menengah Keterampilan tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidak setujuan dengan cara yang sopan, mendengarkan dengan arif, bertanya kepada teman atau kelompok lain, membuat ringkasan, manafsirkan, mengorganisir, dan mengurangi ketegangan. 3) keterampilan tingkat mahir Keterampilan tingkat mahir meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat tugas yang telah didiskusikan, menanyakan kebenaran, menetapkan tujuan, dan bekerjasama.
h. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Jika model pembelajaran kooperatif dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode ceramah, pembelajaran kooperatif memiliki beberapa keunggulan. Cilibert-Macmilan 1993 (Isjoni, 2009: 42) mengemukakan bahwa, “keunggulan pembelajaran kooperatif dilihat dari aspek siswa, adalah memberi peluang kepada siswa agar mengemukakan dan membahas suatu pandangan, pengalaman, yang diperoleh siswa belajar secara bekerjasama dalam merumuskan ke
26
dalam satu pendapat kelompok”. Siswa dilatih untuk berpikir kritis dan menemukan jalan keluar terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam kelompoknya, sehingga komunikasi dalam kelompok sangat diperlukan untuk mencapai kesepakatan bersama. Sharan (Isjoni, 2009: 43) mengemukakan bahwa, “siswa yang belajar dengan meggunakan model pembelajaran kooperatif
akan
memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari teman sebaya”. Dalam proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
kooperatif
setiap
siswa
dalam
kelompok
menyumbangkan pendapat untuk kelompoknya, sehingga siswa akan termotivasi untuk memberi yang terbaik bagi kelompoknya. Selanjutnya, Johnson 1993 (Isjoni, 2009: 43) mengemukakan bahwa, pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya:
dapat
meningkatkan
kemampuan
akademik,
meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membentuk hubungan persahabatan, menimba berbagai informasi, belajar menggunakan sopan santun, meningkatkan motivasi siswa memperbaiki sikap dan tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa untuk menghargai pendapat orang lain. Jarolimek & Parker 1993 (Isjoni, 2009: 36) juga mengemukakan bahwa, keunggulan dari pembelajaran dengan model kooperatif adalah: 1) 2) 3) 4)
saling ketergantungan positif, adanya pengakuan dalam merespon perbedaan individu, siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 27
5) terjalinnya hubungan yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan guru, 6) memiliki banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang menyenangkan.
Dalam suatu model pembelajaran tentunya terdapat kelemahankelemahan yang harus diketahui oleh guru agar kelemahan-kelemahan tersebut dapat diatasi dengan baik. Isjoni (2011: 25) mengemukakan bahwa, kelemahan model pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu: 1) guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pikiran, dan waktu, 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai, 3) selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, 4) saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh salah satu siswa saja, hal ini akan mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif.
Selanjutnya, kelemahan dari model pembelajaran kooperatif yang disebabkan oleh faktor dari luar yaitu, terdapat banyak contoh yang terdapat di lingkungan sekolah ataupun lingkungan sekitar, sehingga siswa masih merasa kesulitan untuk menyaring fakta-fakta yang tepat dengan materi yang tengah dibahas. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif, guru dapat menanamkan dan membina sikap saling menghargai dan membantu diantara para siswanya, 28
sehingga tercipta suasana yang terbuka dengan kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama dalam memecahkan kesulitan-kesulitan. 2. Tinjauan tentang Numbered Heads Together (NHT) a. Pengertian Numbered Heads Together (NHT) Suharno, dkk. (2006: 21) mengemukakan bahwa, “PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.
Mata pelajaran PKn di sekolah dasar diharapkan menjadi wahana bagi siswa sekolah dasar untuk mempelajari dirinya sendiri dan kaitannya dengan lingkungan sosial. Mata pelajaran PKn dapat membekali siswa dengan pengetahuan (civic knowledge) dan sikap (civic disposition) warga negara yang memadai serta pengalaman praktis agar memiliki kompetensi dalam berpartisipasi. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran PKn adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Latar belakang pemilihan model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu: 1) merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, 2) mengembangkan keterampilan siswa untuk mampu memecahkan masalah serta mengambil keputusan secara berkelompok,
29
3) mengembangkan kemampuan berpikir siswa dalam rangka meningkatkan potensi intelektual siswa, 4) membina siswa agar saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada diantara siswa. Pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan tipe pembelajaran yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Spencer Kagan 1992. Spencer Kagan (Anita Lie, 2004: 59) mengemukakan bahwa, “teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat”. Tenik ini juga dapat mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama siswa dan memudahkan dalam menelaah bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman siswa terhadap isi pelajaran tersebut. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur-struktur khusus dirancang untuk mempengaruhi pola-pola interaksi siswa dalam memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan isi akademik. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan dengan melibatkan siswa dalam melihat kembali bahan yang tercakup dalam suatu pelajaran dan memeriksa pemahaman siswa mengenai isi pelajaran tersebut.
30
Struktur NHT sering disebut berpikir secara kelompok. NHT digunakan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran tersebut. NHT sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari NHT adalah guru menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok tersebut. Dalam implementasinya guru memberi tugas dalam bentuk LKS, kemudian hanya siswa bernomor yang berhak menjawab (mencegah dominasi tertentu). Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dapat diartikan sebagai salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan
pada
struktur
khusus
yang
dirancang
untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik melalui diskusi yang terdiri kelompok-kelompok kecil yang heterogen, serta kesiapan siswa saat dipanggil nomor-nomornya oleh guru untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. b. Langkah-langkah Numbered Heads Together (NHT) Pelaksanaan
pembelajaran
dengan
model
pembelajaran
kooperatif tipe NHT agar dapat berjalan dengan efektif, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam merencanakan dan menyiapkan pembelajaran. Anita Lie (2004: 59-60) yaitu:
31
1) siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapatkan nomor, 2) guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya, 3) kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini, 4) guru memanggil salah satu nomor, siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
Selanjutnya, Agus Suprijono (2011: 92) mengemukakan bahwa, pembelajaran dengan menggunakan model Numbered Heads Together diawali dengan numbering. Guru membagi kelas menjadi kelompokkelompok kecil. Setiap anggota kelompok diberi nomor sesuai dengan jumlah anggota kelompok. Setelah terbentuk kelompok, maka guru mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap kelompok, selanjutnya guru memberikan kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk menyatukan kepalanya “ Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan guru. Langkah selanjutnya, guru memanggil siswa yang bernomor sama dari masing-masing kelompok. Siswa-siswa tersebut diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusinya, secara bergantian. Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut guru dapat mengembangkan diskusi dan siswa dapat menemukan jawaban pertanyaan dari guru sebagai pengetahuan yang utuh. Kegiatan guru dalam proses pembelajaran dengan NHT berdasarkan pendapat tokoh di atas, dapat dirangkum sebagai berikut.
32
1) Membagi bagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil cil (4-6 (4 siswa) yang heter eterogen. 2) Membagik agikan nomor kepada setiap anggota kelompo lompok sesuai jumlah ah anggota ang kelompok. 3) Guru men mengajukan pertanyaan kepada siswa dan n memberikan me kesempata mpatan kepada siswa untuk berdiskusi dengan kelomp elompoknya. 4) Guru mem memanggil salah satu nomor, siswa yang merasa rasa nomornya n dipanggil nggil ooleh guru diberi kesempatan untuk menyampai mpaikan hasil diskusinya usinya. 5) Berdasarka asarkan
jawaban-jawaban
siswa
guru
mengem engembangkan
diskusi, usi, dan da siswa dapat menemukan jawaban atas pertanyaan pertan dari guru sebag sebagai pengetahuan utuh. Berikut adalah contoh ilustrasi pembelajaran kooperatif tipe NHT di kelas.
Gambar 1. Ilustrasi strasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbe bered Heads Together (Anita ita Lie Lie, 2005: 59)
33
c. Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Implementasi model pembelajaran kooperatif tipe NHT pada penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut. 1) Kegiatan awal a) Guru mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan (media, nomor kepala untuk masing-masing siswa, soal pre test dan post test, angket, LKS, dan lembar pengamatan). b) Guru melakukan apersepsi sebelum pelajaran dimulai. c) Soal pre test diberikan kepada siswa untuk mengetahui kemampuan awal siswa. d) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang dipelajari kepada siswa. e) Guru menjelaskan tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT kepada siswa. 2) Kegiatan inti a) Siswa dibagi menjadi 6 kelompok kecil yang anggotanya heterogen terdiri dari 3-4 siswa. b) Setiap anggota kelompok mendapatkan nomor kepala sesuai dengan jumlah anggotanya. c) Guru mengajukan pertanyaan dalam bentuk LKS kepada setiap kelompok. d) Setiap anggota kelompok mempunyai tanggung jawab masingmasing untuk menyelesaikan pertanyaan yang ada di LKS.
34
e) Semua anggota pada masing-masing kelompok menyatukan pendapatnya/jawabannya untuk diputuskan jawaban yang paling baik. f) Pastikan semua anggota telah mengetahui jawaban yang telah diputuskan bersama. g) Setelah selesai diskusi guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian mengundi kelompok mana yang akan memberikan pendapatnya agar tidak berebut. h) Siswa yang nomornya dipanggil guru mengangkat tangan dan mencoba untuk menjawab pertanyaan yang ada di LKS atau mempresentasikan hasil diskusinya untuk seluruh kelas. i) Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap kelompok yang baru saja mempresentasikan hasil diskusinya. j) Selanjutnya, guru dapat memanggil nomor yang berbeda dari kelompok lainnya dan seterusnya sampai semua pertanyaan yang ada di LKS terjawab semua dan siswa menguasai materi yang telah dipelajari. k) Guru memberikan motivasi kepada kelompok yang belum mendapatkan hasil yang memuaskan dan memberikan reward bagi kelompok yang telah berhasil menjawab dengan baik. l) Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
35
3) Kegiatan akhir a) Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi yang telah dipelajari, guru memberikan soal post test kepada siswa. b) Guru menutup pelajaran dengan berpesan kepada siswa agar mempelajari materi PKn untuk pertemuan yang akan datang. d. Kelebihan dan Kekurangan Numbered Heads Together (NHT) Berdasarkan uraian mengenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, peneliti mengambil kesimpulan ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) adalah sebagai berikut. 1) Siswa menjadi antusias dan bertanggung jawab dalam belajar, karena siswa memiliki nomor di kepala masing-masing, 2) Siswa menjadi lebih aktif untuk berpendapat, bertanya dan menjawab pertanyaan, 3) Siswa menjadi siap apabila nomor yang di kepalanya yang disebutkan oleh guru, 4) Siswa dapat saling membantu, jika ada siswa yang belum jelas maka siswa yang pandai mengajari yang belum jelas. Sedangkan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT), adalah ada kemungkinan nomor yang sudah dipanggil akan terpanggil kembali dan tidak semua
36
anggota kelompok akan dipanggil oleh guru karena keterbatasan waktu.
3. Tinjauan tentang Hasil Belajar PKn di SD a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional
menjelaskan
bahwa,
“pendidikan
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air". Melalui mata pelajaran PKn siswa diharapkan untuk mempunyai pengetahuan tentang NKRI, memiliki sikap menghormati, menghargai dan memiliki tanggung jawab akan dirinya sendiri, bangsa dan negara serta memiliki keterampilan untuk menjalin hubungan di dalam negeri ataupun di luar negeri sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Selanjutnya,
Aziz
Wahab,
dkk.
(Cholisin,
2004:
10)
mengemukakan bahwa, “Pendidikan Kewarganegaraan ialah media pengajaran yang akan meng-Indonesiakan para siswa secara sadar, cerdas dan penuh tanggung jawab”. Melalui mata pelajaran PKn diharapkan siswa memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan NKRI. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah dasar yang memberikan pengetahuan tentang nilai dan menanamkan sikap demokratis kepada siswa, agar
37
siswa memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa tanggung jawab untuk mempertahankan NKRI. b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menjelaskan bahwa, tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk memberikan kompetensi-kompetensi sebagai berikut. 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan, 2) Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain, 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Melihat tujuan mata pelajaran PKn tersebut, tampak terdapat tiga aspek penting yang hendak diwujudkan dan dikembangkan dalam proses pembelajaran PKn yaitu: menjadi warga negara yang cerdas dan berilmu yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan, terampil dapat berpikir kritis dan berpartisipasi dalam lingkungan berbangsa dan bernegara, serta memiliki keterampilan dalam berperilaku sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut yang perlu diperhatikan oleh guru agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan sebelumnya.
38
c. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1) Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda. Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan. 2) Norma, hukum, dan peraturan, meliputi: Tertib dalam lingkungan keluarga , Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Normanorma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional. 3) Hak asasi manusia, meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. 4) Kebutuhan warga negara, meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara. 5) Konstitusi Negara, meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi. 6) Kekuasaan dan politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi. 7) Pancasila, meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
39
8) Globalisasi, meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globlalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi. Sesuai dengan ruang lingkup tersebut, dalam penelitian ini yang didiskusikan dalam pembelajaran yaitu ruang lingkup nomor 4. Ruang lingkup tersebut membahas kebutuhan warga negara, yang meliputi: Hidup gotong-royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara. Lebih khususnya yang didiskusikan oleh siswa yaitu menghargai
keputusan
bersama.
Setelah
mengikuti
proses
pembelajaran PKn siswa diharapkan untuk mempunyai pengetahuan tentang bentuk-bentuk keputusan bersama yang digunakan ketika berinteraksi di lingkungan sekitar dan dapat menghargai serta menerima keputusan bersama baik dalam lingkungan sekolah keluarga dan masyarakat. Dari pihak guru selain harus menguasai materi ajar sesuai dengan delapan ruang lingkup PKn tersebut, diperlukan kemampuan dan ketepatan guru dalam merancang pembelajaran PKn yang mendidik dengan cara memilih model pembelajaran sesuai dengan karakteristik
siswa.
Selain
itu,
guru
diharapkan
mampu
mengembangkan instrumen penilaian dalam proses dan hasil belajar PKn yang bukan hanya mencakup aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor. 40
d. Prinsip Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Prinsip penyajian PKn seperti yang dikemukakan Abdul Aziz Wahab (Fathurrohman& Wuri Wuryandani, 2010: 11-12) ada empat yaitu dari mudah ke sukar, dari sederhana ke rumit, dari yang bersifat konkret ke abstrak, dan dari lingkungan paling dekat ke lingkungan lebih luas. Prinsip yang pertama dari mudah ke sukar, digunakan dalam pembelajaran PKn, khususnya dalam pendidikan nilai, moral, dan teori-teori pendidikan. Apabila dilihat dari perkembangan siswa, prinsip ini sangat tepat untuk siswa sekolah dasar. Pada prinsip ke dua yaitu dari sederhana ke rumit pada dasarnya merupakan konsep atau nilai dan moral yang berkenaan dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Konsep nilai dan moral termasuk keterampilan mulai dari yang sederhana ke yang rumit. Selanjutnya dari yang bersifat konkret ke abstrak, siswa usia sekolah dasar akan lebih mudah menerima hal-hal yang bersifat konkret daripada yang bersifat abstrak. Media pembelajaran sangat membantu untuk mengkonkretkan sesuatu hal yang dirasa sangat diperlukan guna mempermudah siswa dalam membangun pengetahuan siswa. Kemudian yang terakhir yaitu dari lingkungan paling dekat ke lingkungan lebih luas. Lingkungan paling dekat dengan siswa yaitu keluarga. Dalam keluarga siswa lebih banyak melakukan interaksi.
41
Proses interaksi di keluarga akan memberikan gambaran kepada siswa bahwasannya di keluarga terdapat aturan-aturan atau norma-norma yang harus dipatuhi dalam bergaul dan berinteraksi dengan orang lain. Prinsip-prinsip tersebut di atas nampak bahwa semuanya dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran yang membuat siswa terlibat aktif dan lebih mudah dalam menerima materi. e. Hasil Belajar PKn Fahurrohman & Wuri Wuryandani (2010: 14) mengemukakan bahwa, tugas PKn dengan paradigma barunya yaitu mengembangkan pendidikan
demokrasi
mengemban
tiga
fungsi
pokok,
yakni
mengembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic knowledge), membentuk karakter/watak warga negara (civic disposition) dan membina keterampilan warga negara (civic skill). Cholisin (2005: 4) mengemukakan
bahwa,
“kecerdasan
kewaganegaraan
(civic
knowledge), merupakan materi substansi yang harus diketahui oleh warga negara”. Pada dasarnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban dan pengetahuan tentang struktur dan sistem politik, pemerintahan dan sistem sosial sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945, serta nilainilai yang telah menjadi aturan dalam kehidupan berbangsa untuk bekerjasama mewujudkan kemajuan bersama dan hidup berdampingan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal tersebut dapat disampaikan di sekolah dasar sesuai dengan standar kompetensi dan
42
kompetensi dasar yang telah dirumuskan dalam kurikulum KTSP, sehingga
sejak
dini
siswa
sudah
mempunyai
pengetahuan
kewarganegaraan sesuai dengan perkembangannya. Cholisin (2005: 6) mengemukakan bahwa, ketrampilan kewarganegaraan (civic skills), merupakan keterampilan yang dikembangkan dari pengetahuan kewarganegaraan, agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterampilan kewarganegaraan diperoleh setelah memiliki pengetahuan kewarganegaraan. Di sekolah dasar penyampaian materi dianjurkan untuk menggunakan media pembelajaran dengan tujuan, agar pengetahuan yang diterima siswa dapat bermakna dan tahan lama. Dengan demikian siswa dapat, mengembangkan keterampialan kewarganegaraan
dalam
kehidupan
sehari-hari,
dimulai
dari
lingkungan yang paling dekat yaitu keluarga dan dapat berkembang sesuai dengan usianya ke lingkungan lebih luas yaitu negara. Cholisin (2005: 8) mengemukakan bahwa, karakter kewarganegaraan (civic dispositions), merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat, berkembangnya martabat dan harga diri dan kepentingan umum.
Karakter kewarganegaraan diperoleh setelah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dijelaskan di atas dalam kecerdasan kewarganegaraan (civic knowledge) dan keterampilan
43
kewarganegaraan (civic skills). Setelah memiliki kederdasan dan keterampilan siswa dapat mengembangkannya ke dalam kecerdasan karakter yang dapat mendukung dalam berinterkasi baik di dalam keluarga maupun lingkungan yang lebih luas yaitu negara. Tidak jarang dalam berinteraksi sering terjadi perselisihan kecil, hal tersebut merupakan pembelajaran bagi siswa untuk dapat mengembangkan watak/sikap yang harus ditentukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga diharapkan dewasa nanti dapat membawa diri dan dapat menjunjung martabat bangsa dalam berinteraksi di dalam maupun di luar negeri. Dengan adanya mata pelajaran PKn di sekolah dasar diharapkan
siswa
sejak
dini
memiliki
pengetahuan,
dapat
mengembangkan karakter kewarganegaraan dan mengembangkan keterampilan kewarganegaraan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh guru untuk mengetahui perkembangan siswa dalam tiga hal tersebut yaitu dengan melakukan penilaian hasil belajar pada tiga ranah. Purwanto (2010: 44) mengemukakan bahwa, “hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu “hasil” dan “belajar”. Pengertian hasil menunjukkan pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses”. Begitu pula pada proses pembelajaran di sekolah dasar, setelah mengikuti pembelajaran
diharapkan
siswa
44
dapat
merubah
perilakunya
dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran. Purwanto (2010: 45) mengemukakan bahwa, “belajar dapat dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar”. Kemudian Winkel 1996 (Purwanto, 2010: 45) menjelaskan bahwa, hasil belajar merupakan perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam bersikap dan bertingkah laku. Aspek perubahan yang dimaksud mencakup pada tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dikembangkan oleh Benjamin Bloom. Selanjutnya, Nana Sudjana (2009: 22) mengemukakan bahwa, “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah siswa menerima pengalaman belajarnya”. Oleh karena itu hasil belajar mempunyai hubungan erat dengan belajar. Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dengan skor yang diperoleh dari tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu. Hasil belajar mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil afektif. Karakteristik siswa meliputi cara yang tipikal dari berpikir, berbuat dan, perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah afektif. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik siswa sebagai hasil belajar dalam bidang pendidikan.
45
Belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar siswa akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan siswa saat proses belajar. Belajar terdiri dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal, kondisi internal, dan hasil belajar. Hasil belajar terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelektual, keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Hasil belajar juga tergantung oleh beberapa faktor. Tidak semua faktor mempunyai pengaruh yang sama besar, ada yang peranannya sangat penting, namun ada juga yang kecil pengaruhnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa agar belajar dikatakan baik, faktor-faktor pendukung belajar perlu dikerahkan sebanyak mungkin dan sejauh mungkin. Jika siswa yang belajar lebih aktif dalam proses belajar, maka hasil belajarnya akan lebih baik daripada siswa pasif. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan berasal dari luar diri siswa. Salah satu faktor yang berasal dari luar siswa adalah peranan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas seperti penggunaan model pembelajaran atau metode yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Gagne (Nana Sudjana, 2009: 22) membagi lima kategori hasil belajar, yaitu:
46
1) informasi verbal, yaitu kemampuan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis, 2) keterampilan intelektual, kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan aktivitas kognitif bersifat khas, 3) strategi kognitif, kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitif sendiri, 4) keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, 5) sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Horward Kingsley sebagaimana dikutip oleh Nana Sudjana (2009: 22), membagi tiga macam hasil belajar yaitu “keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, serta sikap dan cita-cita”. Masing-masing hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditentukan dalam kurikulum. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional menggunakan hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya ke dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. 1) Ranah kognitif Pada ranah kognitif jika dikaitkan dengan paradigma baru PKn
berkaitan
dengan
fungsi
pokok
pada
kecerdasan
kewarganegaraan (civic knowledge), dimana siswa belajar materi PKn untuk mendapatkan pegetahuan yang dapat diukur melalui hasil belajar ranah kognitif. Hasil belajar kognitif dibagi menjadi
47
beberapa tingkatan. Bloom (Purwanto, 2010: 50) “membagi tingkat hasil belajar kognitif mulai dari yang paling rendah dan sederhana yaitu hafalan sampai yang paling tinggi dan kompleks yaitu evaluasi”. Semakin tinggi tingkatnya maka semakin kompleks. Tingkatan tersebut terbagi menjadi enam yaitu , pengetahuan (ingatan/hafalan)
disebut
juga
C1,
pemahaman
(menginterpretasikan) disebut juga C2, aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah) disebut juga C3, analisis (menjabarkan suatu konsep) disebut juga C4, sintesis (mengembangkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep yang utuh) disebut juga C5, evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide dan metode) disebut juga C6. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya disebut kognitif tingkat lanjut. 2) Ranah afektif Karakter kewarganegaraan (civic disposition) berkaitan dengan penilaian ranah afektif. Dalam penilaian afektif ada beberapa
aspek
yang
dinilai.
Hal
ini
berkaitan
dengan
karakter/watak yang ditunjukkan setelah menerima pelajaran PKn. Krathwohl (Purwanto, 2010: 51) mengemukakan bahwa, ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan (receiving) atau menaruh perhatian (attending) adalah kesediaan menerima rangsangan dengan memberikan perhatian
48
kepada rangsangan yang datang, partisipasi atau merespons (responding) adalah kesediaan memberikan respons dengan berpartisipasi,
penilaian
(valuing)
adalah
kesediaan
untuk
menentukan pilihan sebuah nilai dari rangsangan, organisasi adalah kesediaan mengorganisasi nilai-nilai yang dipilih untuk menjadi pedoman dalam berperilaku, internalisasi nilai atau karakterisasi (characterization) adalah menjadikan nilai-nilai yang diorganisasi untuk dijadikan bagian dari pribadi dalam berperilaku. Melalui beberapa aspek tersebut guru dapat menentukan indikator yang hendak dirumuskan sesuai dengan matei sebelum melakukan proses pembelajaran dan dilanjutkan penialian ranah afektif. Selain itu, guru dapat mengetahui tingkat perkembangan siswa dalam bersikap dan berperilaku minimal dalam lingkungan sekolah. 3) Ranah psikomotor Ranah
psikomotor
kewarganegaraan
(civic
berkenaan skills).
Hasil
dengan belajar
keterampilan pada
ranah
psikomotor berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan bertindak,
yaitu
peniruan
(meniru
gerak),
penggunaan
(menggunakan konsep untuk melakukan gerak), ketepatan (melakukan gerak dengan benar), perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar), naturalisasi (melakukan gerak secara wajar). Dalam paradigma baru PKn keterampilan kewarganegaraan sangat penting, maka guru perlu melakukan
49
penilaian pada ranah psikomotor. Untuk mengetahui keterampilan siswa dalam berinteraksi dengan orang lain. Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah tersebut ranah kognitif yang paling banyak dinilai oleh guru di sekolah, karena berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran dan dapat diukur melalui tes hasil belajar. Hasil belajar yang mencakup ranah afektif dan psikomotor, salah satunya dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini ranah kognitif yang dimaksud adalah seberapa banyak siswa dapat menguasai materi bentuk-bentuk keputusan bersama dan mematuhi keputusan bersama yang telah disampaikan guru. Ranah afektif, berkaitan dengan keberanian, keaktifan, tanggung jawab dan kedisiplinan siswa pada saat pembelajaran PKn dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Hasil belajar yang dicapai siswa melalui proses pembelajaran akan menunjukkan hasil yang berciri sebagai berikut. 1) Kepuasan dan kebanggan yang dapat menumbuhkan motivasi belajar intrinsik pada diri siswa. Motivasi intrinsik adalah semangat juang untuk belajar yang tumbuh dari dalam diri siswa itu sendiri. Hasil
belajar
yang
baik
dapat
mendorong
siswa
meningkatkan dan mempertahankan yang telah dicapainya.
50
untuk
2) Menambah keyakinan terhadap kemampuan dirinya, artinya siswa tahu akan kemampuan dirinya dan percaya bahwa siswa mempunyai potensi yang tidak kalah dengan orang lain apabila siswa berusaha sebagaimana mestinya. 3) Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya seperti akan tahan lama diingat membentuk perilakunya, bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, dapat digunakan sebagai alat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang lainnya. 4) Hasil belajar siswa yang diperoleh secara menyeluruh, yaitu mencakup ranah kognitif, pengetahuan, wawasan, ranah afektif atau sikap, serta ranah psikomotor atau keterampilan. Ranah kognitif terutama adalah hasil yang diperolehnya sedangkan ranah afektif diperoleh sebagai akibat dari proses belajarnya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, penilaian hasil belajar merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh seorang guru dengan mengumpulkan informasi baik melalui tes maupun non tes, agar dapat mengetahui tingkat keberhasilan dari masing-masing siswa maupun tingkat keberhasilan dalam kelasnya. Dalam penelitian ini, hasil belajar PKn yang dimaksud merupakan nilai atau hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti pelajaran PKn dan menerima pengalaman belajar dengan model koopertaif tipe Numbered Heads Together (NHT), baik itu nilai yang berupa angka, pengetahuan (kognitif) dan sikap siswa (afektif).
51
4. Tinjauan Karakteristik Siswa Kelas V Sekolah Dasar Usia siswa sekolah dasar berkisar 6-12 tahun, masa ini merupakan masa sekolah. Pada masa ini anak sudah matang untuk belajar atau sekolah. Pada masa sekolah dasar ini, sering pula sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat M. Dalyono (2009: 96) yang mengemukakan bahwa, ”usia 6/7 tahun sampai dengan 12/13 tahun merupakan tahap perkembangan intelektual”. Masa usia sekolah dasar dapat diperinci menjadi dua fase, yaitu: a. masa usia kelas rendah SD kira-kira usia 6-9 tahun, b. masa usia kelas tinggi SD kira-kira usia 9-12 tahun. M.
Dalyono
(2009:
96)
mengemukakan
bahwa,
“tahap
perkembangan intelektual anak dimulai ketika anak sudah dapat berfikir atau mencapai kesan logis serta membuat keputusan tentang apa yang dihubung-hubungkan secara logis”. Perkembangan intelektual ini biasanya dimulai dari anak siap memasuki sekolah dasar. Dengan berkembangnya fungsi berpikir anak, maka anak sudah dapat menerima pendidikan dan pengajaran. Piaget (Sunarto & Ny B. Agung Hartanto, 2008: 24-25) mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak, yaitu sebagai berikut. a. Tahap sensorimotorik usia 0-2 tahun. b. Tahap praoperasional usia 2-6 tahun. c. Tahap operasional konkret usia 7-11 atau 12 tahun.
52
d. Tahap operasional formal usia 12 tahun keatas. Rata-rata anak kelas kelas V sekolah dasar berusia antara 10-11 tahun. Berdasarkan dua fase tersebut maka anak kelas V sekolah dasar termasuk dalam masa usia kelas tinggi. Rita Eka Izzaty, dkk (2008: 116- 117) mengemukakan bahwa, karakteristik anak kelas tinggi di sekolah dasar adalah: 1) perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis, kehidupan seharihari anak, 2) anak menjadi realistis, ingin tahu dan ingin belajar hal yang baru, 3) timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus, 4) anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajarnya di sekolah, 5) anak-anak suka membentuk kelompok sebaya untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya. Anak kelas V SD berusia antara 10-11 tahun, berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap operasional konkret anak berpikir atas dasar pengalaman konkret/nyata. Kemampuannya untuk sedikit berpikir abstrak selalu harus didahului dengan pengalaman konkret. Sifat egosentris pada usia 11 tahun mulai berkurang. Anak sudah mulai memperhatikan dan menerima pendapat orang lain. Pembicaraannya sudah mulai kepada lingkungan sosial, anak malas, mucul pengertian tentang jumlah, panjang, luas, besar, dan ia telah mampu berpikir dari banyak arah/dimensi untuk satu objek tertentu.
53
Anak telah mengalami kemajuan dalam pengembangan konsep dan pengalaman langsung. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran siswa kelas V sekolah dasar perlu didahului dengan pengalaman konkret. Hal tersebut perlu diperhatikan oleh para guru PKn sekolah dasar bahwa, anak masih membutuhkan hal-hal yang nyata sebagai perantara untuk membantu pengembangan intelektualnya dalam proses pembelajaran.
B. Hasil Penelitian yang Relevan 1. Penelitian Anggi Arin Retnaningsih (2012) yang berjudul Meningkatkan Hasil Belajar IPS melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe Number Heads Together (NHT) Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Purbalingga Lor. Hasil: menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Number Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2. Penelitian Yulandri Biki (2011) yang berjudul Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika pada Sub Pokok Bahasan Pengurangan Pecahan Melalui Pendekatan Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT di Kleas IVA SD Negeri Kotagede 1. Hasil: menunjukkan bahwa penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe Number Heads Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 3. Penelitian Rohmawati Restu Nurjanah (2011) dengan judul Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS siswa Kelas V SDN Kerdonmiri 1 Rongkop Gunung Kidul Melalui Model Pembelajaran Kooperatif tipe
54
Numbered Heads Together (NHT), menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar IPS siswa. Peningkatan dapat dilihat dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.
C. Kerangka Pikir
Dalam menyampaikan materi pelajaran khususnya mata pelajaran PKn guru kelas V SD Negeri Klegung 1 Tempel masih menggunakan metode ceramah. Guru belum mengembangkan model pembelajaran yang lain. Mayoritas siswa terlihat kurang aktif dalam proses pembelajaran PKn, hasil belajar siswa juga masih di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 67.
Salah satu model pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dalam proses pembelajaran adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. Hasil belajar kognitif dan afektif akan diperoleh setelah mengikuti proses pembelajaran PKn dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together digunakan dalam proses pembelajaran PKn untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh model tersebut terhadap hasil belajar PKn siswa kelas V SD Negeri Klegung 1 Tempel.
Diharapkan terdapat pengaruh positif dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar ranah kognitif dan ranah afektif PKn siswa kelas V SD Negeri Klegung 1 Tempel.
Gambar 2. Kerangka Pikir
55
D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka dapat diajukan hipotesis “ada pengaruh positif dari model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar PKn siswa kelas V SD Negeri Klegung 1 Tempel”.
E. Definisi Operasional Variabel 1. Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) merupakan salah satu model pembelajaran yang menghendaki guru untuk mengelola kelas dengan membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen, setiap anggota kelompok mendapatkan nomor, dan ketika guru mengajukan pertanyaan dalam bentuk LKS setiap anggota kelompok menyatukan pendapat dalam diskusi untuk menentukan jawaban yang paling baik atas pertanyaan guru. 2. Hasil belajar PKn adalah nilai (kognitif dan afektif) yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran PKn pada materi Bentuk-bentuk Keputusan Bersama dan Mematuhi Keputusan Bersama dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
56