Bab II Kajian Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perumusan Implikasi Kelembagaannya Berdasarkan Isi AATHP
Bab
ini
akan
membahas
tentang
tinjauan
literatur
kelembagaan
penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan beserta persoalannya, perumusan persoalan kelembagaan, sejarah serta kelembagaan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) serta rumusan implikasi kelembagaan awal berdasarkan indikator persoalan kelembagaan dan isi AATHP.
II.1 Tinjauan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian kelembagaan, terminologi bencana, siklus penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan serta institusi utama penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional dan daerah.
II.1.1 Pengertian Kelembagaan Ada berbagai pengertian tentang kelembagaan. Berikut adalah berbagai pendapat ahli tentang kelembagaan, yaitu : •
”The humanly devised constraints that shape human interaction ....They structure incentives in human exchange, whether political, social or economic...Institutions reduce uncertainty by providing a structure to everyday life...Institutions include any form of constraint that human beings devise to shape interaction” (Bainbridge, et.al,2000:6)
•
“Wherever we encounter substantial, continued, organized activity with means structures to pursue shared goal, we deal with behavior that at some stage of consequence can be called institutional.” (Hurst, 1977:48)
•
“…encompasses entities at the local or community level, project management units, parastatals, line agencies in the central government, and so on. An institution can belong to the public or the private sector and may also refer to governmentwide administrative functions.”(Israel, 1990: 11)
Sementara Uphoff (1986) melihat kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan istiadat. North (1990) menyatakan kelembagaan adalah sebagai suatu aturan main di dalm suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh factor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Sedangkan menurut Williamson (1995) menyatakan bahwa kelembagaan adalah mencakup pula penataan institusi (institutional arrangement). Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa pengertian kelembagaan adalah lebih luas dari sekedar lembaga, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan/ kepranataan/ institusi adalah suatu bentuk kesatuan unsur “formal” (kesepakatan) beserta jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, yang secara berkesinambungan mempengaruhi sistem pengelolaan sumberdaya suatu entitas tertentu, untuk menghasilkan dan/atau melindungi perubahan ke arah pencapaian tujuan pembangunan tertentu (Oetomo, 2006:286).
II.1.2 Terminologi Bencana Definisi bencana menurut Carter (1991) adalah suatu kejadian, alam atau buatan manusia, tiba-tiba atau progressive, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan tindakan-tindakan luar biasa. Sementara definisi Bencana yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Penanggulangan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban manusia, kerusakan lingkungan, dan dampak psikologis. Secara umum bencana adalah suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk menanggulanginya (Sekretariat Bakornas PBP, 2005).
II.1.3 Siklus Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Siklus Penanggulangan Bencana Kebakaran menurut Carter (1991) adalah Pencegahan, Mitigasi, Kesiagaan (Kesiapsiagaan), Pengendalian (Tanggap Darurat) dan Tindakan pasca kebakaran. Berdasarkan hal itu, maka rangkaian kegiatan penanggulangan bencana kebakaran adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998:22-26) : 1.
Pencegahan, yaitu usaha meniadakan api atau mencegah api yang kecil menjadi besar
2.
Mitigasi,
yaitu mengurangi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh
bencana kebakaran 3.
Kesiagaan/Kesiapan (kesiapsiagaan), yaitu persiapan agar dapat melakukan tindakan dini menghadapi bencana
4.
Pengendalian (Tanggap Darurat), yaitu upaya memadamkan api dan menangani dampak yang ditimbulkan
5.
Tindakan pasca kebakaran, yaitu upaya yang diperlukan untuk memperbaiki tindakan penanggulangan pada masa mendatang. Penjelasan untuk setiap daur penanggulangan bencana kebakaran hutan dan
lahan adalah sebagai berikut :
1.
Pencegahan Pencegahan adalah suatu tindakan untuk mencegah terjadinya bencana dan
atau mencegah terjadinya efek yang berbahaya pada komunitas atau instalasi yang penting (Kodoatie dan Sjarief, 2006:141). Sedangkan menurut Sekretariat Bakornas PBP (2005:2) Pencegahan (prevention) adalah aktivitas untuk menghindari atau mencegah pengaruh yang merugikan dari ancaman bahaya. Pencegahan merupakan komponen terpenting dari seluruh sistem penanggulangan kebakaran. Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, maka seluruh bencana kebakaran dapat diminimalkan, bahkan dihindari. Pencegahan harus dimulai sejak awal proses pembangunan sebuah wilayah,
yaitu sejak
penetapan fungsi wilayah, perencanaan tata guna lahan atau hutan, pemberian izin kegiatan hingga pemantauan dan evaluasi.
2.
Mitigasi Mitigasi adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mereduksi
dampak bencana baik dampak ke komunitas yaitu jiwa, harta benda maupun ke infrastruktur. Dalam kaitan dengan waktu, tindakan mitigasi hampir mirip dengan tindaka preventif (Kodoatie dan Sjarief: 2006:143). Sedangkan Sekretariat Bakornas PBP (2005:3) menjelaskan bahwa mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan. Kegiatan mitigasi dilakukan untuk memperkecil dampak bencana pada masyarakat dan negara. Meskipun sebagian dampak dapat dicegah, tetapi ada dampak lainnya yang tidak dapat dicegah, namun dapat dimodifikasi atau dikurangi apabila segera diambil tindakan yang tepat. Dalam beberapa kasus, mitigasi sebenarnya dikategorikan sama dengan pencegahan (Carter, 1991). Dalam konteks kebakaran,
mitigasi berarti antara lain,
mengurangi
dampak kebakaran seperti gangguan pada kesehatan dan sektor transportasi yang disebabkan oleh asap. 3.
Kesiagaan/Kesiapan (Kesiapsiagaan) Kesiagaan adalah suatu aksi/aktivitas yang membuat pemerintah,
organisasi, masyarakat, perorangan (stakeholders) dapat merespon bencana yang bakal terjadi dengan cepat, tepat, efektif, efisien dan benar (Kodoatie dan Sjarief, 2006:145).
Kesiagaan/kesiapan
adalah
upaya
yang
dilakukan
untuk
mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna (Sekretariat Bakornas PBP, 2005:3). Kesiagaan merupakan kegiatan yang memungkinkan semua pihak bertindak cepat dan efektif dalam menghadapi kebakaran.
Tujuannya agar perangkat penanggulangan
kebakaran dan dampaknya siap digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah membangun partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran dan ketaatan para pengusaha terhadap ketentuan penceghan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan serta kesiagaan setiap desa dan setiap keluarga di kawasan rawan kebakaran.
4.
Pengendalian (Tanggap Darurat) Pengendalian api terdiri dari serangan pertama (initial attack) dan
pemadaman api (fire suppression). Serangan pertama harus mulai dilakukan pada saat api masih kecil dan penyebarannya dapat dikendalikan. Pada tahap ini usaha lokal sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas. Menurut Sekretariat Bakornas PBP (2005:3) tanggap darurat adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. 5.
Tindakan Pasca Kebakaran Pada intinya pasca bencana adalah proses membantu masyarakat dan
negara untuk kembali berfungsi normal seperti sebelum terjadi bencana. Proses tersebut terdiri dari rehabilitasi, pemulihan dan rekonstruksi (Carter, 1991). Namun dalam konteks kebakaran, komponen agak sedikit berbeda. Komponen pasca kebakaran adalah rehabilitasi ekonomi, ekologi dan sosial, penegakan hukum, perhitungan luas areal yang terbakar serta kerugian, dan evaluasi upaya pencegahan, mitigasi, kesiagaan dan pengendalian kebakaran. a.
Rehabilitasi Rehabilitasi adalah upaya yang diambil segera setelah kejadian bencana
untuk membantu masyarakat memperbaiki/memfungsikan rumah, fasilitas umum dan fasilitas sosial serta menghidupkan kembali roda perekonomian (Sekretariat Bakornas PBP, 2005:3). Kegiatan rehabilitasi mencakup upaya pemulihan hutan dan lahan yang terbakar dari sisi ekologi, pemulihan proses kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar lokasi kebakaran dan pemulihan kondisi kesehatan korban asap. b.
Penegakan Hukum Unsur penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencegah
berulangnya bencana kebakaran dan menindak pelaku pembakaran. Penegakan hukum mencakup penyelidikan penyebab kebakaran serta mengajukan pihakpihak yang diduga menyebabkan kebakaran ke pengadilan.
c.
Perhitungan Dampak Kebakaran Kegiatan penting pasca kebakaran yang lain adalah melakukan
perhitungan atau pendataan daerah yang terbakar serta kerugian yang ditimbulkannya, terutama kerugian pada masyarakat di sekitar lokasi kebakaran. Selain itu perlu dilakukan kajian faktor kebijakan yang menyebabkan kebakaran, perubahan ekologis yang ditimbulkan serta pemantauan lokasi yang terbakar. d.
Evaluasi, Penelitian dan Pengembangan Evaluasi keefektifan operasi penanggulangan kebakaran perlu dilakukan
sedini mungkin setelah insiden kebakaran selesai.
Evaluasi keefektifan
diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan dan penyempurnaan rencana serta kebijakan strategis operasi penanggulangan kebakaran di kemudian hari. Sedangkan upaya penelitian dan pengembangan di bidang kebakaran serta sistem
penanggulangan
bencana
perlu
dilakukan
terus
menerus
dan
berkesinambungan guna merancang upaya penanggulangan yang lebih baik pada masa mendatang.
II.1.4 Institusi Utama Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Tingkat Nasional dan Daerah Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan dan Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi serta seperti yang tercantum dalam Buku Sektor Utama Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan setidaknya ada tiga institusi yang berperan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Institusi tersebut adalah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Departemen Kehutanan, dan Bakornas PBP. Secara umum, KLH berperan dalam pemantauan dan evaluasi dampak kebakaran, Departemen Kehutanan dalam operasional pemadaman kebakaran yakni pencegahan dan pemadaman di kawasan hutan, dan Bakornas PBP berperan dalam melakukan koordinasi penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Penjabaran tugas dan fungsi tiga institusi utama di dalam pengelolaan bencana kebakaran hutan dan lahan adalah sebagai berikut :
1. Departemen Kehutanan Departemen Kehutanan mempunyai tugas utama di dalam melakukan Pencegahan dan Pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Tugas dan fungsi tersebut adalah : a. fungsi Pencegahan meliputi peningkatan kesadaran masyarakat, pendidikan dan penyuluhan, ijin pembukaan lahan, rekayasa sumber bahan bakar di dalam dan di sekitar hutan, insentif ekonomi dan administrasi; b. fungsi Pemadaman meliputi sebelum pemadaman (kesiapsiagaan, deteksi lapangan/lokal), pemadaman (pemadaman awal dengan sumberdaya sektor terkait) serta pemadaman lanjutan, pasca pemadaman (penilaian dan rehabilitasi). Tugas dan fungsi di atas termasuk : a. mengembangkan pedoman umum pemadaman kebakaran hutan dan lahan; b. menentukan kebutuhan minimum peralatan pemadaman kebakaran yang harus dimiliki oleh propinsi, kabupaten/kota dan perusahaan; c. meningkatkan
kemampuan
sumberdaya
manusia
untuk
melakukan
pemadaman kebakaran; d.
memberikan bantuan di dalam melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan di tingkat propinsi dan atau kabupaten/kota.
2. Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai tugas dan tanggung jawab di dalam melakukan Pemantauan dan Evaluasi yang meliputi peringatan dini, deteksi dan advokasi. Penjabaran tugas dan fungsi tersebut adalah : a. fungsi Peringatan Dini meliputi prediksi cuaca, prediksi penyebaran asap, peta resiko dan peringkat bahaya kebakaran. b. fungsi Deteksi meliputi deteksi satelit (hotspot dan asap), deteksi area kebakaran dan asap, pelacakan api dan asap serta investigasi penyebab kebakaran dan dampaknya. c. fungsi Advokasi meliputi penegakan hukum, informasi kajian situasi, kerjasama regional dan evaluasi respon pemadaman.
3. Bakornas PBP Bakornas PBP mempunyai tugas dan tanggung jawab utama melakukan koordinasi kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan. Tugas tersebut termasuk memformulasikan dan memutuskan kebijakan nasional mengenai tanggap darurat bencana. Bakornas PBP secara umum mempunyai tanggung jawab di dalam melakukan koordinasi pelaksanaan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan sebelum bencana, saat bencana dan setelah bencana. Di tingkat Propinsi, pelaksanaan tugas ketiga instansi tersebut dilakukan oleh instansi teknis dengan bantuan dari berbagai instansi terkait lainnya dan dukungan dari masyarakat luas, termasuk organisasi-organisasi masyarakat, perusahan swasta dan dunia pendidikan/akademisi. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, menyebutkan bahwa wewenang dan tanggung jawab di tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota secara tegas dibebankan kepada Gubernur (Pasal 27-29) dan Bupati/Walikota (Pasal 30-33) tanpa harus mengurangi kewajiban setiap orang atau setiap penanggung jawab usaha di bidang perkebunan atau kehutanan (Pasal 17). Di tingkat propinsi, Gubernur bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang dampaknya lintas kabupaten/kota. Dalam hal terjadi kebakaran hutan dan atau lahan, maka Gubernur wajib melakukan koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan lintas kabuapten/kota, untuk melakukan hal tersebut, maka Gubernur dapat : a. meminta bantuan pemerintah pusat dalam melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan apabila diperlukan b. membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya, untuk melakukan tugas melakukan inventarisasi terhadap usaha dan atau kegiatan yang potensial menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, melakukan inventarisasi dan evaluasi dampak lingkungan hidup, penyusunan strategi, rencana, dan biaya pemulihan dampak lingkungan hidup.
Di tingkat kabupaten/kota, maka menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dijelaskan bahwa Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya. Oleh karena itu, apabila terjadi kebakaran hutan dan atau lahan, maka Bupati/Walikota harus melakukan tindakan : a. penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan b. pemeriksanaan kesehatan masyarakat di wilayahnya yang mengalami dampak kebakaran hutan dan atau lahan c. pengukuran dampak d. pengumuman kepada masyarakat tentang pengukuran dampak dan langkahlangkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan e. membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan atau lahan di daerahnya f. meminta bantuan kepada Gubernur yang terdekat dan atau Pemerintah Pusat, apabila diperlukan Selain itu Gubernur/Bupati/Walikota juga mempunyai tugas dan fungsi untuk : a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penaatan persyaratan yang diwajibkan bagi usaha b. meningkatkan kesadaran masyarakat termasuk aparat, akan hak dan tanggung jawab serta kemampuannya untuk mencegah kebakaran hutan dan atau lahan c. meningkatkan kesdaran masyarakat dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan atau lahan d. memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kebakaran hutan dan atau lahan serta dampaknya, seperti lokasi dan luasan kebakaran hutan dan atau lahan, hasil pengukuran dampak, dll. Selain itu, untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan, maka Departemen Kehutanan membentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkar) dengan nama
Manggala Agni (GALAAG). Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, Gubernur/Bupati/Walikota dapat membentuk atau menunjuk instansi yang berwenang di bidang pengendalian kebakaran hutan dan lahan di daerahnya (sesuai dengan ketentuan dalam PP No. 4 Tahun 2001). Kelembagaan yang saat ini dikembangkan di tingkat propinsi adalah dengan
membentuk
Pusat
Pengendalian
Kebakaran
Hutan
dan
Lahan
(PUSDALKARHUTLA) sedangkan di tingkat Kabupaten/Kota adalah dengan membentuk Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SATLAKDALKARHUTLA) (Sutanto, 2007:30-31). Kedua organisasi tersebut merupakan lembaga yang bersifat koordinatif dan ad-hoc artinya dapat difungsikan apabila ada terjadi kebakaran hutan atau lahan yang sudah berdampak sangat besar. Sedangkan untuk pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan dilaksanakan oleh dinas/instansi teknis sesuai dengan tugas masing-masing. Untuk lebih jelasnya sistem koordinasi dan garis komando pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara berjenjang dapat dilihat pada Gambar II.1.
Gambar II.1 Struktur Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Sumber : Sutanto, 2007 : 33 Keterangan:
WAKIL PRESIDEN
Garis Komando Garis Koordinasi & Informasi
NASIONAL
DEP. KEHUTANAN
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
Dinbun, Distan, St. BMG, Tim SAR, TNI, POLDA, Pol PP, dll. Proj. BLN (EU, JICA, GTZ) Masyarakar, LSM, dll.
WAKIL GUBERNUR Ka-PUSDALKARHUTLA
BAPEDALDA PROP
DISHUT PROP
BALAI KSDA Danops-GALAAG
Dinbun, Dintan, St. BMG, Tim SAR, TNI, POLRES, Pol PP, Proj. BLN (EU, JICA, GTZ) Masyarakar, LSM, dll.
BUPATI Ka-SATLAK PBP
KABUPATEN
WAKIL BUPATI Ka-SATLAK DALKARHUT
BAPEDALDA KAB
KECAMATAN
DISHUT KAB
BALAI TN
Seksi Wil. KSDA Regu GALAAG PPL, TNI, POLSEK, LSM, Masyarakat, Kelompok Tani, Relawan, Pramuka, dll.
CAMAT Kaops-DALKAR Kades / Lurah Danop-Regdam TRC/Regdam/KPA
Perusahaan (Swasta) Regdam Karhutla
Masyarakat, Kelompok Tani
Lahan/Perkebunan Masyarakat
: Level BAHAYA (Hazard)
Deptan, BMG, LAPAN, BPPT, BASARNAS, PT, TNI, POLRI, dll. Proj. BLN (EU, JICA, GTZ) Masyarakar, LSM, dll.
Dirjen. PHKA (PUSDALOPS-GALAAG)
GUBERNUR Ka-SATKORLAK PBP
PROPINSI
DESA/ UNIT USAHA
PUSDALKARHUTLA / SATLAK-DALKAR
MENKO KESRA Wakil Ketua
Regu Pemadam Kebakaran
: Level BENCANA (Disaster)
SATKORLAK PBP / SATLAK PBP
Ketua BAKORNAS PBP
Hutan Lindung, Tahura, Tam. Wisata
Kawasan Hutan Konservasi (TN, KSA)
Hutan Produksi, Perkebunan
II.2
Tinjauan Literatur Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan kajian Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP
(1998) terhadap upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998, maka ada beberapa persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang menjadi perhatian, yaitu : 1. Banyaknya organisasi menyulitkan koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung bergerak hanya dalam wilayah kewenangannya, atau mendahulukan kepentingan fungsional masing-masing, 2. Pola kepemimpinan dalam kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan bersifat non-struktural dan ad-hoc sehingga menimbulkan inefisiensi dan kerancuan, 3. Kapasitas dan manajemen sumberdaya baik manusia maupun peralatan yang belum memadai. Contohnya adalah pelatihan penanggulangan kebakaran tidak efektif karena orang yang dilatih tidak berada di suatu tempat untuk waktu yang lama. Begitu pula dengan manajemen peralatan karena pengadaan sarana hanya terbatas pada pengembangan waduk air dan papan peringatan, 4. Peraturan ataupun kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung terhadap upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hal ini antara lain disebabkan adanya kebijakan yang bersifat sektoral dan tidak konsisten, 5. Penegakan hukum yang masih lemah. Lemahnya penegakan hukum pidana terhadap pihak yang diduga melakukan pembakaran antara lain disebabkan oleh ketidakjelasan kewenangan aparat yang ada untuk melakukan penyidikan, kurang memadainya sarana dan peralatan penyidikan kebakaran dan perbedaan pandangan mengenai bukti yang dianggap cukup untuk membawa perkara pembakaran ke pengadilan, 6. Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif untuk menunjang upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, diantaranya disebabkan oleh : a. data tersebar di berbagai lembaga penyedia data yang seringkali tidak mau memberikannnya; kalaupun ada, data tidak dalam format yang kompatibel dan kualitasnya rendah, b. data tidak dapat dikomunikasikan tepat waktu sesuai kebutuhan, karena tidak tersedia sarana telekomunikasi yang memadai,
c. sumberdaya manusia yang dapat diandalkan untuk mengumpulkan dan mengolah data sangat terbatas, d. pengolahan data belum maksimal sehingga belum mampu menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendukung upaya penanggulangan kebakaran. Kajian lain yang membahas tentang kelembagaan ditulis oleh Simorangkir dan Sumantri (2002). Menurut hasil studinya dikemukakan bahwa ada beberapa kelemahan dan kendala yang menyebabkan tidak efektifnya institusi pengendalian kebakaran hutan dan lahan beserta perangkat hukumnya, yakni : 1. Tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi karena lebih merupakan refleksi dari kepentingan masing-masing sektor, 2. Pengelolaan kebakaran lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada pencegahan. Hal ini ditunjukkan bahwa institusi di berbagai jenjangnya (pusat/propinsi/kabupaten/kota) umumnya bekerja apabila sudah terjadi kebakaran dan bukan sebelumnya. Selain itu program-program jangka pendek dan kegiatannya juga lebih menekankan aspek pemadaman daripada aspek pencegahan. Komitmen dan kemauan untuk mengalokasikan sumberdaya (staf, peralatan, teknologi, pendanaan, dll) yang memadai terhadap upaya pencegahan pun lebih kecil dibandingkan upaya pemadaman, 3. Tidak selaras dan konsistennya berbagai kebijakan, padahal kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sangat terkait dengan berbagai kebijakan pada sektor lainnya, misalnya kebijakan pada pengelolaan sumberdaya hutan. Kebijakan yang diterapkan pada upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan banyak yang tidak sejalan dengan kebijakan sektor lainnya, 4. Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi karena ketidakjelasan peraturan sehingga mengakibatkan perbedaaan interpretasi yang menyebabkan kebingungan atas wewenang, tanggung jawab dan peran institusi-institusi yang terlibat, 5. Kelembagaan
yang
dibentuk
(dalam
mengkoordinasikan program dan
bentuk
kegiatan
forum
koordinasi)
antar institusi
untuk
terkait untuk
mengendalikan kebakaran hutan dan lahan tidak efektif karena bersifat ad-hoc sehingga tidak memilki mandat yang memadai untuk menyusun strategi jangka panjang, rencana aksi nasional ataupun kegiatan yang berkelanjutan,
6.
Lemahnya Penegakan Hukum. Beberapa hal yang menyebabkannya antara lain : a. kelemahan para penegak hukum dan kemauan politik pemerintah yang dipengaruhi ole praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, b. defisiensi kapasitas dan kapabilitas institusi di dalam mengawasi, menjaga dan melaporkan hal-hal potensial yang menyebabkan terjadinya kebakaran maupun kejadian kebakaran itu sendiri, c. ketidakcukupan keterampilan, pengetahuan dan pengalaman aparat pemerintah untuk melakukan investigasi, mengumpulkan bukti dan atau menghadirkan para pelaku ke pengadilan, d. kekurangan data dan informasi yang akurat mengenai kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia hingga saat ini belum mempunyai ”clearing
house” atau pusat informasi yang dapat menyediakan data kejadian kebakaran hutan dan lahan yang komprehensif dan komplit. Deddy (2001) mengemukakan bahwa permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dari tahun ke tahun disebabkan antara lain oleh sistem manajemen kebakaran hutan dan lahan yang belum efektif yang terjadi karena : 1. Strategi penanggulangan kebakaran masih terfokus pada manajemen pemadaman. Penyebab kebakaran di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu kebakaran dapat ditekan bila sumber kebakaran dikurangi atau dicegah, sehingga upaya yang paling ampuh adalah pencegahan. Namun manajemen sumber dana dan sumber daya manusia yang disediakan masih bersifat reaktif, yaitu bagaimana menyediakan peralatan pemadaman dan penanggulangan. 2. Belum
adanya
organisasi
yang
khusus
bertanggung
jawab
terhadap
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Hingga saat ini belum dibentuk organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, peralatan dan alokasi dana yang memadai. Organisasi yang ada saat ini, baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota merupakan wadah yang bersifat koordinasi dan belum didukung oleh sumber daya manusia, peralatan dan pendanaan yang memadai. . 3. Kurangnya kepedulian masyarakat dan dunia usaha terhadap kebakaran hutan dan lahan.
Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap kebakaran hutan dan lahan serta dampaknya, terutama pada kegiatan penyiapan lahan yang masih dilakukan dengan cara membakar. Selain itu juga tidak ada kepedulian dalam memberikan laporan kepada aparat atau pihak yang bertanggung jawab mengenai kejadian kebakaran. Di lain pihak pengusaha (meskipun telah ada ketentuan persyaratan pencegahan dan penyiapan lahan tanpa bakar) masih melanggar ketentuan tersebut. 4. Penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan yang belum efektif. Hal ini terjadi karena kesulitan dalam pembuktian pelaku pembakaran, kesulitan dalam membuktikan telah terjadi pencemaran udara dan perbedaan pemahaman aparat penegak hukum terhadap penerapan tindak pidana korporasi. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Subarudi (2002) menjelaskan beberapa persoalan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yakni: 1. Banyaknya lembaga yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi antar institusi yang terlibat, 2. Lembaga pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang non struktural dan ad-hoc menyebabkan kegiatan sebelum dan sesudah kebakaran tidak tersentuh sama sekali, 3. Lembaga pengendalian kebakaran hutan dan lahan selama ini lebih menekankan upaya-upaya represif dan kuratif dalam menanggulangi kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan sedangkan upaya pencegahan yang sangat penting dan strategis tidak dilakukan sama sekali, 4. Jumlah tenaga terlatih dalam bidang pengendalian kebakaran hutan dan lahan jauh dari memadai serta belum adanya manajemen organisasi yang baik dalam pemberdayaan sumber daya manusia, 5. Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara berbagai lembaga yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten menyebabkan tidak efektif dan efisiennya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 6. Penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran hutan dan lahan belum berjalan. Berdasarkan Laporan Evaluasi Dampak Lingkungan Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan (2004) yang disusun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Fakultas Kehutanan IPB menyebutkan bahwa salah satu akar permasalahan kebakaran hutan dan lahan adalah masalah kelembagaan, yang disebabkan :
1. Belum adanya lembaga yang ditunjuk menangani kebakaran hutan dan lahan yang menghubungkan instansi di tingkat pusat sampai operasional di lapangan yang memiliki program terencana dan terarah karena kelembagaan yang ada masih bersifat forum koordinasi dan belum memiliki kemampuan operasional di lapangan, 2. Sumberdaya (tenaga dan peralatan) kurang memadai dan belum terorganisasi dengan baik, baik di tingkat pusat maupun daerah, 3. Belum adanya prosedur opearasional standar (SOP) dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan yang dapat diimplementasikan di semua wilayah sehingga lembaga-lembaga terkait yang ada hanya bekerja menurut polanya masing-masing. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan oleh Sutanto (2007) terhadap keefektifan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di propinsi Riau, maka ditemui beberapa persoalan kelembagaan sebagai berikut : 1. Kebijakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat daerah belum terpadu dan komprehensif sehingga membuat pemerintah daerah memiliki posisi yang lemah dalam menerapkan sanksi dan tindakan hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lahan, 2. Alokasi dana yang dianggarkan untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran tidak memadai karena tidak sebanding dengan luas wilayah. Contohnya adalah kendala pendanaan biaya operasional pemadaman (mobilisasi sumberdaya ke lokasi pemadaman) yang tidak memadai mengakibatkan upaya pemadaman yang dilakukan tidak maksimal dan tidak dapat memadamkan kebakaran secara tuntas. Hal ini disebabkan Dinas/instansi yang terlibat dalam upaya pemadaman tidak memiliki anggaran yang memadai untuk operasional ke lapangan, apalagi bila melibatkan banyak sukarelawan, 3. Kurangnya jumlah personil yang terlatih dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan serta tidak memadainya peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemadaman di lapangan, 4. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku usaha (perusahaan) yang tidak mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 5. Kurang mendapat dukungan masyarakat dan pelaku usaha karena mereka masih melakukan kegiatan/usaha yang dapat menimbulkan kebakaran seperti membuka lahan dengan cara membakar. Selain itu perusahaan masih kurang mentaati
ketentuan yang berlaku untuk menyediakan dan mempersiapakan sumberdaya pemadam kebakaran hutan/lahan yang harus dipenuhi, 6. Bentuk kelembagaan yang non struktural, ad hoc, hanya bersifat koordinatif, dan belum
didukung
dengan
peraturan
daerah
menyebabkan
tarik
ulur
antarkepentingan /sektor tidak dapat dihindarkan, 7. Belum adanya kelembagaan/unit kerja khusus yang diberi kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan karena pemerintah daerah masih memandang bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah yang tidak membutuhkan penanganan rutin.
II.3 Perumusan Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Tinjauan Literatur Berdasarkan hasil identifikasi terhadap kesamaan dari masing-masing persoalan yang dikemukakan oleh literatur, diperoleh hasil penelusuran persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan sebagaimana tertuang dalam Tabel II.1. Berdasarkan Tabel II.1 tersebut teridentifikasi bahwa terdapat 13 (tiga belas) persoalan kelembagaan penangulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Persoalan pertama adalah banyaknya organisasi yang terlibat menyulitkan koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsionalnya masing-masing (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998). Persoalan ini juga dikemukakan oleh Subarudi (2002) yang menyatakan bahwa banyaknya lembaga yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi antar institusi yang terlibat. Persoalan selanjutnya adalah mengenai pola kepemimpinan yang bersifat nonstruktural dan ad-hoc yang menimbulkan inefisiensi dan kerancuan (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998). Kelembagaan (berbentuk forum koordinasi) yang bersifat adhoc ini menyebabkannya tidak memiliki mandat yang memadai untuk menyusun strategi jangka panjang atau pun kegiatan yang berkelanjutan (Simorangkir dan Sumantri, 2002). Lebih lanjut kelembagaan ini juga menyebabkan kegiatan sebelum dan sesudah kebakaran tidak tersentuh sama sekali (Subarudi, 2002) dan tarik ulur antar kepentingan/sektor tidak dapat dihindarkan (Sutanto, 2007). Kapasitas dan manajemen sumberdaya manusia dan peralatan yang belum memadai adalah persoalan berikutnya (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998). Jumlah tenaga terlatih yang jauh dari memadai serta belum adanya manajemen organisasi
yang baik dalam pemberdayaan SDM (Subarudi, 2002) dan belum terorganisasi dengan baik, baik di tingkat pusat maupun daerah (KLH dan IPB, 2004) serta kurang memadainya peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemadaman (Sutanto, 2007) adalah beberapa contoh persoalan pengelolaan sumberdaya manusia dan peralatan yang ada. Persoalan berikutnya adalah mengenai peraturan ataupun kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena masih bersifat sektoral dan tidak konsisten (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998). Persoalan ini juga dikemukakan oleh Simorangkir dan Sumantri (2002) yang menyatakan bahwa kebijakan yang diterapkan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan banyak yang tidak selaras dan konsisten dengan kebijakan di sektor lainnya. Persoalan penegakan hukum yang masih lemah (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998) atau belum berjalan (Subarudi, 2002) adalah persoalan kelembagaan berikutnya. Hal ini juga dikemukakan oleh Deddy (2001) dan Sutanto (2007) yang menyatakan bahwa penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan terhadap para pelaku usaha (perusahaan) belum efektif dan masih lemah. Persoalan kelembagaan berikutnya adalah pengelolaan informasi kebakaran hutan dan lahan yang belum efektif untuk menunjang upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hal ini antara lain disebabkan karena data tidak tersedia dalam format yang kompatibel, berkualitas rendah dan dapat dikomunikasikan tepat waktu sesuai kebutuhan (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998). Tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi karena lebih merupakan refleksi dari kepentingan masing-masing sektor adalah persoalan kelembagaan berikutnya yang dikemukakan oleh Simorangkir dan Sumantri (2002). Persoalan ini juga didukung oleh Sutanto (2007) yang menyatakan bahwa kebijakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di tingkat daerah belum terpadu dan komprehensif sehingga membuat pemerintah daerah memiliki posisi yang sangat lemah dalam menerapkan sanksi dan tindakan hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lahan. Persoalan pengelolaan kebakaran yang lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada pencegahan dikemukakan oleh Kantor Meneg LH dan UNDP (1998). Deddy (2001) mengungkapkan bahwa strategi penanggulangan kebakaran masih terfokus kepada manajemen pemadaman. Sedangkan Subarudi (2002)
menyatakan bahwa upaya represif dan kuratif lebih ditekankan dalam menanggulangi (memadamkan) kebakaran hutan dan lahan dibandingkan upaya pencegahan. Persoalan kelembagaan berikutnya adalah belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi karena ketidakjelasan peraturan dikemukakan oleh Simorangkir dan Sumantri (2002). Persoalan kelembagaan ini juga dikemukakan oleh Subarudi (2002) yang menyatakan bahwa pembagian kewenangan dan tanggung jawab antar berbagai lembaga yang terkait, baik di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten belum ada sehingga menjadi salah satu persoalan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Belum adanya organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan (Kantor Meneg LH dan UNDP, 1998) juga menjadi persoalan kelembagaan kebakaran hutan dan lahan. Hal ini juga disampaikan oleh KLH dan IPB (2004) yang menyatakan bahwa belum adanya lembaga yang ditunjuk untuk menangani kebakaran hutan dan lahan yang menghubungkan instansi di tingkat pusat sampai operasional di lapangan dan memiliki program yang terencana dan terarah menjadi salah satu persoalan kelembagaan. Persoalan ini juga diungkapkan oleh Sutanto (2007) yang menyatakan bahwa belum adanya kelembagaan/unit kerja khusus yang diberi kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan menjadi persoalan dalam ketidakefektifan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kepedulian masyarakat dan dunia usaha terhadap kebakaran hutan dan lahan. Salah satu contohnya adalah di dalam melakukan penyiapan lahan tanpa bakar dan ketentuan persyaratan pencegahan (Deddy, 2001). Hal ini juga diungkapkan oleh Sutanto (2007) yang menyatakan kurangnya dukungan masyarakat dan pelaku usaha dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena masih membuka lahan dengan cara membakar serta belum memenuhi ketentuan yang berlaku untuk menyediakan dan mempersiapkan sumberdaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Belum adanya prosedur operasional standar (SOP) dalam penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan yang dapat diimplementasikan di semua wilayah sehingga lembaga-lembaga terkait yang ada hanya bekerja menurut polanya masingmasing dikemukakan oleh KLH dan IPB (2004) sebagai salah satu persoalan kelembagaan.
Persoalan kelembagaan berikutnya adalah alokasi dana yang dianggarkan untuk pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan dipandang tidak memadai karena tidak sebanding dengan luas wilayah (Sutanto, 2007). Contohnya adalah kendala pendanaan biaya operasional pemadaman (mobilisasi sumberdaya ke lokasi pemadaman) yang tidak memadai mengakibatkan upaya pemadaman yang dilakukan tidak maksimal dan tidak dapat memadamkan kebakaran secara tuntas. Untuk lebih ringkasnya persoalan kelembagaan yang dikemukakan di atas dapat dilihat pada Tabel II.2.
Tabel II.1 Pengelompokan Hasil Studi Literatur Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Kantor Menteri Negara LH dan UNDP 1. Banyaknya organisasi menyulitkan koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsional masing-masing
Simorangkir dan Sumantri
2. Pola kepemimpinan yang bersifat nonstruktural dan adhoc sehingga menimbulkan inefisiensi dan kerancuan
Kelembagaan yang dibentuk tidak efektif karena bersifat ad-hoc sehingga tidak memilki mandat yang memadai untuk menyusun strategi jangka panjang, ataupun kegiatan yang berkelanjutan
Deddy
Subarudi
KLH dan IPB
Sutanto
Banyaknya lembaga yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi antar institusi
Lembaga pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang non struktural dan ad-hoc menyebabkan kegiatan sebelum dan sesudah kebakaran tidak tersentuh sama sekali
Bentuk kelembagaan yang non struktural, ad hoc, hanya bersifat koordinatif, menyebabkan tarik ulur antar kepentingan /sektor tidak dapat dihindarkan
Kantor Menteri Negara LH dan UNDP 3. Kapasitas dan manajemen sumberdaya baik manusia maupun peralatan yang belum memadai
Simorangkir dan Sumantri
4. Peraturan ataupun kebijakan belum sepenuhnya mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena bersifat sektoral dan tidak konsisten
Tidak selaras dan konsistennya berbagai kebijakan yang diterapkan pada upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Deddy
5. Penegakan hukum Lemahnya Penegakan Penegakan hukum yang masih lemah Hukum kasus kebakaran hutan dan lahan yang belum efektif 6. Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif
Subarudi
KLH dan IPB
Sutanto
Jumlah tenaga terlatih jauh dari memadai serta belum adanya manajemen organisasi yang baik dalam pemberdayaan SDM
Sumberdaya (tenaga dan peralatan) kurang memadai dan belum terorganisasi dengan baik, baik di tingkat pusat maupun daerah
Kurangnya jumlah personil yang terlatih dan kurang memadainya peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk pemadaman
Penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran hutan dan lahan belum berjalan
Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku usaha (perusahaan)
Kantor Menteri Negara LH dan UNDP
Simorangkir dan Sumantri 7. Tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi karena lebih merupakan refleksi dari kepentingan masing-masing sektor 8. Pengelolaan kebakaran lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada pencegahan 9. Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi karena ketidak jelasan peraturan
Deddy
Subarudi
KLH dan IPB
Sutanto Kebijakan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan belum terpadu dan komprehensif
Strategi penanggulangan kebakaran masih terfokus pada manajemen pemadaman
Upaya represif dan kuratif lebih ditekankan dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan dibandingkan upaya pencegahan Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara berbagai lembaga yang terkait baik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten
Kantor Menteri Negara LH dan UNDP
Simorangkir dan Sumantri
Deddy 10. Belum adanya organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
Subarudi
KLH dan IPB Belum adanya lembaga yang ditunjuk untuk menangani kebakaran hutan dan lahan yang menghubungkan instansi di tingkat pusat sampai operasional di lapangan dan memiliki program yang terencana dan terarah
Sutanto Belum adanya kelembagaan/unit kerja khusus yang diberi kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan Kurangnya dukungan masyarakat dan pelaku usaha karena masih membuka lahan dengan cara membakar serta memenuhi ketentuan yang berlaku untuk menyediakan dan mempersiapakan sumberdaya pemadam
11. Kurangnya kepedulian masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan penyiapan lahan tanpa bakar serta ketentuan persyaratan pencegahan 12. Belum ada prosedur opearasional standar (SOP) dalam penanggulangan kebakaran
Kantor Menteri Negara LH dan UNDP
Simorangkir dan Sumantri
Deddy
Subarudi
KLH dan IPB
Sutanto 13. Alokasi dana yang dianggarkan untuk penanggulangan bencana kebakaran tidak memadai
Sumber : Hasil Analisis, 2007
Tabel II.2 Identifikasi Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan No.
Persoalan Kelembagaan
1
1.
Banyaknya institusi yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsionalnya masing-masing
√
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9. 10.
Pola kepemimpinan yang non-struktural dan adhoc menyebabkan inefisiensi dan kerancuan, tidak memiliki mandat yang memadai untuk menyusun strategi jangka panjang atau pun kegiatan yang berkelanjutan, tidak tersentuhnya kegiatan sebelum dan sesudah kebakaran serta tarik ulur antar kepentingan/sektor Kapasitas dan manajemen sumberdaya manusia dan peralatan belum memadai karena jumlah tenaga terlatih kurang memadai, belum terorganisasi dengan baik serta kurang memadainya peralatan dan perlengkapan dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan Peraturan atau pun kebijakan belum sepenuhnya mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena masih bersifat sektoral dan tidak konsisten Lemah atau tidak efektifnya upaya penegakan hukum terhadap para pelaku usaha (perusahaan) Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan Tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang sistematis, komprehensif dan terpadu Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada upaya pencegahan Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi terkait Belum adanya organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan
√
2
3
4
5
6
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√
√
No.
Persoalan Kelembagaan
11.
Kurangnya kepedulian dan dukungan masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi ketentuan penyiapan lahan tanpa bakar atau pun ketentuan persyaratan pencegahan
12. 13.
1
2
3
4
5
√
Belum adanya SOP dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
√
√
Alokasi pendanaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tidak memadai
√
Sumber : 1. Kantor Menteri Negara LH dan UNDP (1998), 2. Simorangkir dan Sumantri (2002), 3. Deddy (2001), 4. Subarudi (2002), 5. KLH dan IPB (2004) dan 6. Sutanto (2007) II.4 . ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) II.4.1 Sejarah
dan
Perkembangan
ASEAN
Agreement
on
Transboundary Haze Pollution (AATHP) Masalah pencemaran asap di tingkat regional dibahas dalam pertemuan para Menteri Lingkungan Hidup ASEAN dan kemudian diwujudkan dalam kesepakatan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN pada 19 Juni 1990. Kesepakatan
menghimbau
sesama
anggota
ASEAN
melakukan
upaya
harmonisasi dalam pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas. Kesepakatan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN tersebut dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas pada tahun 1995. Rencana kerja tersebut meliputi prosedur dan mekanisme untuk kerjasama pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 dan mengakibatkan pencemaran asap lintas batas ke beberapa negara tetangga ASEAN mendorong masalah kebakaran tersebut sebagai salah satu agenda pembahasan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Informal ASEAN II di Kuala Lumpur pada tahun 1997.
Kesepakatan mengenai Visi ASEAN 2020 yang
dihasilkan oleh pertemuan tersebut dijabarkan lebih lanjut melalui Hanoi Plan of Action 1997 yang mencakup upaya mengatasi masalah pencemaran asap lintas batas sebagai akibat kebakaran hutan dan lahan.
6
Untuk memformalkan Rencana Kerjasama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas tahun 1995 dan lebih mengefektifkan Hanoi Plan of Action, maka anggota ASEAN menilai perlunya membuat Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas sebagai komitmen bersama. Usaha penyusunan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (AATHP) pertama kali muncul berdasarkan kesepakatan rapat Menteri-menteri Lingkungan (ASEAN Ministerial Meeting on Haze) ke-VIII pada tanggal 26 Agustus 1999, yaitu dengan pembentukan working group of legal and technical experts yang selanjutnya menjadi INC (Intergovernmental Negotiating Committee). Saat itu anggota INC dari Indonesia adalah BAPEDAL/KLH, Departemen Kehutanan serta Bakornas PBP. Persetujuan (AATHP) telah ditandatangani di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 10 Juni 2002 oleh 4 (empat) menteri lingkungan (Brunei Darussalam, Laos, Malaysia dan Singapura) dan para pejabat eselon I Negara-negara anggota ASEAN lainnya. Setelah melalui proses yang panjang, dan sejak ditandatangani pada tanggal 10 Juni 2002, maka AATHP saat ini telah berlaku (entry into force) pada tanggal 25 November 2003 setelah enam negara meratifikasinya. Enam negara anggota ASEAN awal yang telah meratifikasi Persetujuan tersebut adalah Malaysia (3 Desember 2002), Singapura (13 Januari 2003), Brunei Darussalam (27 Februari 2003), Myanmar (5 Maret 2003), Vietnam (24 Maret 2003) dan Thailand (10 September 2003). Dua negara terakhir yang meratifikasi AATHP adalah Laos pada tanggal 19 Desember 2004 dan Kamboja pada tanggal 24 April 2006. Hingga saat ini hanya dua negara yang belum meratifikasi AATHP, yaitu Indonesia dan Filipina. Indonesia saat ini telah melalui beberapa tahap dalam upaya melakukan ratifikasi AATHP. Pemerintah sudah berkomitmen untuk meratifikasi AATHP dan saat ini Rancangan Undang-undang Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas telah masuk di dalam agenda pembahasan di lembaga legislatif (DPR-RI) khususnya komisi VII.
Menurut Pemerintah, ada beberapa kepentingan dan konsekuensi ratifikasi AATHP, yaitu 1 : a. memelihara solidaritas semangat tradisional dalam kerangka kerjasama dan persahabatan di antara negara-negara ASEAN; b. menghindari tuntutan negara ASEAN lainnya yang terkena dampak pencemaran asap dari Indonesia; c. kerjasama lintas batas sangat diperlukan dalam bidang pemantauan, penilaian, pencegahan, kesiapsiagaan dan tanggap darurat; d. peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia; e. penyediaan fasilitas untuk pemantauan dan tanggap darurat; f. pengembangan peraturan, kebijakan, strategi, program, kelembagaan dan mekanisme
lokal
dan
nasional
untuk
pencegahan,
pemantauan,
penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan. Pemerintah juga berpendapat bahwa dengan meratifikasi (mengesahkan) AATHP dan mengadopsi Persetujuan tersebut ke dalam hukum nasional untuk dijabarkan ke dalam peraturan perudang-undangan dan kelembagaan, maka Indonesia dapat2 : a. memanfaatkan sumber daya manusia dan peralatan yang ada di negara ASEAN lainnya maupun di luar negara ASEAN untuk melakukan pemantauan, penilaian, pencegahan dan tanggap darurat akibat pencemaran asap lintas-batas yang berasal dari kebakaran hutan/lahan; b. memperkuat manajemen dan kemampuan memadamkan kebakaran hutan dan/atau lahan di tingkat lokal, nasional maupun regional melalui bantuan dan kerja sama internasional sehingga pencemaran asap dapat lebih dikendalikan; c. meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat dalam hal pencegahan, penanggulangan, dan pemantauan serta pengendalian kebakaran hutan/lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas-batas melalui pertukaran informasi, pengalaman, dan memanfaatkan bantuan serta kerja sama internasional; 1
Keterangan Pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang Pengesahan Persetujuan ASEAN yang disampaikan kepada anggota komisi VII DPR-RI pada tanggal 30 Mei 2006. 2 Keterangan pemerintah mengenai Rancangan Undang-undang Pengesahan Persetujuan ASEAN pada Pencemaran Asap Lintas Batas kepada anggota DPR-RI pada 15 Oktober 2005
d. memanfaatkan semaksimal mungkin kelembagaan, infrastruktur dan fasilitas dalam
rangka
mendukung
pelaksanaan
Persetujuan
ASEAN
untuk
kepentingan nasional seperti ASEAN Centre; e. memperoleh bantuan personel dan peralatan melalui permohonan, baik langsung maupun melalui ASEAN Centre apabila terjadi kebakaran hutan dan/atau lahan yang menyebabkan pencemaran asap lintas-batas; f. melakukan upaya untuk meminta negara tetangga turut mencegah kayu illegal dari Indonesia masuk ke negara tetangga dan membantu Indonesia untuk mencegah pengusaha negara tetangga melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Menurut Rancangan Undang-undang Pengesahan Persetujuan ASEAN pada Pencemaran Asap Lintas Batas disebutkan beberapa peraturan perundangundangan yang terkait dengan Persetujuan (AATHP) tersebut, yaitu : a.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
b.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
c.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
d.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
e.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
f.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah
II.4.2 Isi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) terdiri atas 32 Pasal dan 1 Lampiran yang secara umum mencakup : 1.
Definisi Persetujuan ASEAN mendefinisikan beberapa kelembagaan, diantaranya National Focal Point, National Monitoring Center (Pusat Pemantauan Nasional), Competent Authorities (Otoritas yang Berkompeten), Pihak Pemohon, Pihak Penerima, dan definisi teknis seperti pembakaran
terkendali, pembakaran terbuka, daerah rawan kebakaran, pencemaran asap, dan kebakaran hutan dan/atau lahan. 2.
Pemantauan Persetujuan
ASEAN
mewajibkan
setiap
negara
membentuk
Pusat
Pemantauan Nasional untuk melaksanakan pemantauan yang mencakup: a. daerah rawan kebakaran b. kebakaran hutan dan/atau lahan c. kondisi lingkungan yang mendukung kebakaran d. pencemaran asap dari kebakaran hutan dan/atau lahan 3.
Penilaian Penilaian dilakukan oleh ASEAN Centre melalui mekanisme penerimaan informasi yaitu: a. Pusat Pemantauan Nasional mengkomunikasikan secara regular hasil pemantauan b. ASEAN Centre menerima, mengkonsolidasikan dan menganalisis data dari Pusat Pemantauan Nasional c. berdasarkan analisis tersebut ASEAN Centre memberikan penilaian risiko terhadap kesehatan dan lingkungan
4.
Pencegahan Tindakan pencegahan dalam Persetujuan ASEAN mencakup : a. mengembangkan dan melaksanakan peraturan, program dan strategi kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy); b. mengembangkan kebijakan untuk menghambat aktifitas yang dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan/atau hutan; c. mengidentifikasi daerah rawan kebakaran; d. memperkuat pengelolaan dan kapasitas pemadaman kebakaran di tingkat lokal; e. meningkatkan kesadaran, pendidikan dan peran serta masyarakat; f. meningkatkan dan memanfaatkan kearifan tradisional; g. menjamin adanya tindakan administratif, hukum dan tindakan lainnya.
5.
Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan dapat dilakukan secara bersama antar negara ASEAN atau individual (negara masing-masing). Kesiapsiagaan wajib dilakukan dengan: a. mengembangkan
strategi
dan
rencana
kesiapsiagaan
serta
mengendalikan risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup; b. menyiapkan prosedur operasional standar kerja sama regional dan tindakan nasional. 6.
Tanggap darurat nasional Setiap Pihak wajib menjamin adanya tindakan legislatif, administratif, dan pendanaan untuk memobilisasi peralatan, bahan (kimia), sumber daya manusia dan keuangan dalam pelaksanaan tanggap darurat nasional.
7.
Tanggap darurat bersama Persetujuan ASEAN mengatur tanggap darurat bersama dengan syarat : a. melalui proses permohonan bantuan dan persetujuan, b. persetujuan harus tertulis, resmi dan jelas, c. bantuan harus rinci, jelas dan tertulis, d. Para Pihak mengidentifikasi dan memberitahukan ASEAN Centre mengenai tenaga ahli dan peralatan bantuan yang dapat disediakan.
8.
Petunjuk dan pengendalian bantuan Persetujuan ASEAN mengatur petunjuk dan pengendalian bantuan yaitu : a. Pihak pemohon bantuan wajib melaksanakan petunjuk, pengendalian, koordinasi dan pengawasan bantuan di wilayahnya; b. Pihak pemberi bantuan wajib menunjuk orang/badan untuk melakukan pengawasan atas personel dan peralatan serta bekerja sama dengan Pihak pemohon bantuan; c. Pihak pemohon bantuan menyediakan fasilitas lokal dan pelayanan administrasi yang tepat dan efektif; dan d. Pihak pemberi dan penerima bantuan wajib mengkoordinasikan bantuan di wilayahnya masing-masing.
9.
Pengecualian dan Fasilitas dalam Ketentuan Pemberian Bantuan Persetujuan ASEAN memberikan pengecualian berupa pembebasan, dan fasilitas untuk masuknya personil, pajak, peralatan dan bahan agar pemberian bantuan efektif dan efisien.
10. Transit Personel, Peralatan dan Bahan - Bahan dalam Ketentuan Pemberian Bantuan Pihak lain yang wilayahnya menjadi tempat transit wajib memberikan fasilitas bagi personel, peralatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan atau digunakan dalam pemberian bantuan. 11. Kerja Sama Teknis Para pihak wajib melakukan kerja sama teknis yang difasilitasi ASEAN Centre untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia antara lain : a. mobilitas sumber daya; b. standarisasi format laporan; c. pertukaran informasi, tenaga ahli, teknologi, teknik, keterampilan; d. perencanaan pelatihan, pendidikan, dan kampanye peningkatan kesadaran; e. pengembangan teknik pembakaran terkendali; f. pertukaran pengalaman dan informasi di antara penegak hukum; g. pengembangan pasar untuk pemanfaatan bio massa; h. pengembangan program pelatihan bagi pemadam kebakaran. 12. Penelitian Ilmiah Penelitian ilmiah wajib dilakukan baik secara bersama-sama maupun oleh setiap Pihak untuk : a. mempromosikan dan mendukung program penelitian ilmiah dan teknis di bidang pencemaran asap lintas-batas, b. mengembangkan cara, metode, teknik dan peralatan untuk pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan termasuk pemadaman kebakaran. Persetujuan ini juga memuat satu lampiran berupa Kerangka Acuan untuk Pusat Koordinasi ASEAN untuk Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Centre) yang berisi kewajiban ASEAN Centre dalam melakukan
pengendalian pencemaran asap lintas batas. Untuk lebih jelasnya isi Persetujuan (AATHP) secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran A.
II.4.3 Kelembagaan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) Menurut ketentuan Persetujuan ini, maka setidaknya ada tiga jenis kelembagaan (institusi) yang dibutuhkan oleh setiap negara untuk menjalankan mekanisme Persetujuan, yaitu : National Focal Point (NFP), National Monitoring Center / Pusat Pemantauan Nasional (NMC) dan Competent Authorities (CA). Tugas masing-masing kelembagaan tersebut adalah : 1. National Focal Point (NFP) bertugas menerima dan menyampaikan komunikasi dan data yang berhubungan sesuai ketentuan Persetujuan tentang Pencemaran Asap Lintas Batas 2. National Monitoring Centre (NMC) bertugas melakukan pemantauan dan mengkomunikasikan data hasil pemantauan tersebut kepada ASEAN Centre secara periodik sesuai jangka waktu yang telah disepakati. 3. Competent Authorities (CA) bertugas nelakukan atas namanya kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas. Fungsi National Monitoring Centre (NMC) adalah : 1. melakukan pemantauan kondisi kebakaran hutan dan lahan yang meliputi : curah hujan, kualitas udara, kondisi cuaca (suhu, kelembaban, arah dan kecepatan angin, jarak pandang), kejadian kebakaran dan pencemaran asap, kondisi daerah rawan kebakaran; 2. mengkonsolidasi, menganalisis dan memproses data dan informasi di atas; 3. mengkomunikasikan data yang terkait dengan kebakaran serta pencemaran asap kepada ASEAN Centre, yang meliputi : data curah hujan-harian, data kualitas udara-harian, prakiraan cuaca tiga bulanan, data terkait dengan daerah rawan kebakaran, kejadian kebakaran hutan dan lahan, kondisi lingkungan yang kondusif terhadap terjadinya kebakaran dan pencemaran asap. Sesuai dengan keputusan bersama di antara institusi yang terkait dengan kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, maka institusi yang
ditunjuk untuk berperan sebagai NFP, NMC dan CA (sesuai dengan penunjukan yang diterima oleh Sekretariat ASEAN per tanggal 14 April 2004) adalah sebagai berikut : 1. National Focal Point : Kementerian Lingkungan Hidup 2. National Monitoring Centre : Kementerian Lingkungan Hidup 3. Competent Authorities : Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, BAKORNAS PBP dan Departemen Pertanian Selain dari tiga institusi di atas, maka mekanisme Persetujuan ini juga membutuhkan satu institusi lainnya yaitu Pusat Koordinasi ASEAN untuk Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Centre), yang didirikan untuk tujuan memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak dalam mengelola dampak dari kebakaran lahan dan/atau hutan khususnya pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut.
Sedangkan fungsi yang harus
dijalankan oleh ASEAN Centre tersebut adalah : 1. membentuk dan memelihara hubungan yang teratur dengan Pusat Pemantauan Nasional masing-masing mengenai data, yang mencakupi hal-hal yang berasal dari citra satelit dan pengamatan metereologi, yang berkaitan dengan: a. kebakaran lahan dan/atau hutan; b. kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran tersebut; c. kualitas udara dan tingkat pencemaran, terutama asap yang timbul dari kebakaran tersebut, 2. menerima dari Pusat Pemantauan Nasional atau Focal point masing-masing mengenai data di atas, berkonsolidasi, menganalisis, dan memproses data tersebut ke dalam suatu format yang mudah dipahami dan diakses, 3. memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antar para Pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaannya dan merespon kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut, 4. memfasilitasi koordinasi antar para Pihak, negara lain dan organisasi yang relevan dalam pengambilan langkah yang efektif untuk memitigasi dampak kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut,
5. menyusun atau memelihara suatu daftar para ahli di dalam dan di luar kawasan ASEAN yang mungkin dimanfaatkan pada saat mengambil langkah untuk memitigasi dampak kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut, dan membuat daftar tersebut tersedia bagi para pihak, 6. menyusun dan memelihara daftar perlengkapan dan fasilitas teknis di dalam dan luar ASEAN yang mungkin tersedia pada saat mengambil langkah untuk memitigasi dampak kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut, dan membuat daftar tersebut tersedia bagi para Pihak, 7. menyusun dan memelihara daftar para ahli di dalam dan luar kawasan ASEAN untuk tujuan pelatihan, pendidikan, dan kampanye peningkatan kesadaran yang relevan, dan membuat daftar tersebut tersedia bagi para Pihak, 8. menyusun dan memelihara hubungan dengan calon negara donor dan organisasi untuk memobilisasi keuangan dan sumber lain yang disyaratkan untuk pencegahan dan mitigasi kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut dan kesiapsiagaan para Pihak, yang mencakupi kemampuan pemadaman kebakaran, 9. menyusun dan memelihara daftar donor, dan membuat daftar tersebut tersedia bagi para Pihak, 10. menanggapi atas suatu permohonan atau penawaran bantuan dalam peristiwa kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut dengan; a. meneruskan dengan segera permohonan bantuan kepada Negara dan organisasi lain; b. mengkoordinasikan bantuan tersebut, jika diminta oleh Pihak pemohon atau ditawarkan oleh Pihak yang membantu; 11. menyusun dan memelihara suatu sistem alih informasi guna pertukaran informasi, keahlian, teknologi, teknik dan keterampilan yang relevan, dan membuatnya tersedia bagi para Pihak dalam suatu format yang mudah diakses,
12. mengumpulkan dan menyebarluaskan kepada para Pihak informasi mengenai pengalaman dan informasi praktis lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Persetujuan, 13. membantu para Pihak dalam penyiapan Prosedur Standar Pelaksanaan. Hingga saat ini ASEAN Centre belum dibentuk dan ditetapkan pada salah satu negara anggota ASEAN, sehingga fungsinya untuk sementara ini masih dijalankan oleh Sekretariat ASEAN.
II.4
Perumusan Awal Implikasi Kelembagaan Berdasarkan Persoalan Kelembagaan dan Isi AATHP Sesuai dengan kajian literatur terhadap persoalan kelembagaan yang telah
dirumuskan pada Tabel II.2 di atas, maka selanjutnya perlu dilakukan identifikasi terhadap isi AATHP untuk mengetahui butir-butir apa saja yang terkait dengan persoalan kelembagaan yang ada. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap butirbutir AATHP, maka terdapat 7 (tujuh) persoalan kelembagaan yang mempunyai kaitan dengan isi AATHP, yaitu : 1. Banyaknya institusi yang terlibat menyulitkan dan menyebabkan kurangnya koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsionalnya masing-masing, 2. Kapasitas dan manajemen sumberdaya manusia dan peralatan belum memadai karena jumlah tenaga terlatih kurang memadai, belum terorganisasi dengan baik serta kurang memadainya peralatan dan perlengkapan dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan, 3. Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 4. Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi terkait, 5. Kurangnya kepedulian dan dukungan masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi ketentuan penyiapan lahan tanpa bakar atau pun ketentuan persyaratan pencegahan, 6. Belum adanya SOP dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan,
7. Alokasi pendanaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak memadai. Untuk lebih jelasnya hasil identifikasi terhadap persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan yang terkait dengan isi AATHP dapat dilihat pada Tabel II.3. Selanjutnya berdasarkan tujuh persoalan kelembagaan yang telah diidentifikasi tersebut maka rumusan awal implikasi kelembagaannya dapat dilihat pada Tabel II.4.
Tabel II.3 Hasil Identifikasi Terhadap Butir-butir AATHP yang Terkait dengan Persoalan Kelembagaan No.
Persoalan Kelembagaan
1.
Banyaknya institusi yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsionalnya masing-masing
2.
Pola kepemimpinan yang non-struktural dan ad-hoc menyebabkan inefisiensi dan kerancuan, tidak memiliki mandat yang memadai untuk menyusun strategi jangka panjang atau pun kegiatan yang berkelanjutan, tidak tersentuhnya kegiatan sebelum dan sesudah kebakaran serta tarik ulur antar kepentingan/sektor
3.
Kapasitas dan manajemen sumberdaya manusia dan peralatan belum memadai karena jumlah tenaga terlatih kurang memadai, belum terorganisasi dengan baik serta kurang memadainya peralatan dan perlengkapan dalam pemadaman kebakaran hutan dan lahan
Isi AATHP yang Terkait • Pasal 9 (Pencegahan) huruf d : menguatkan pengelolaan kebakaran lokal dan kemampuan serta koordinasi memadamkan kebakaran untuk mencegah kejadian kebakaran lahan dan/atau hutan
Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait
• Pasal 11 (Tanggap Darurat Nasional) ayat 1 : Setiap Pihak wajib menjamin bahwa langkah legislatif, administratif dan pendanaan yang sesuai telah diambil untuk memobilisasi peralatan, bahan-bahan, sumberdaya manusia dan keuangan yang disyaratkan untuk menanggapi dan memitigasi dampak dari kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut • Pasal 12 (Tanggap Darurat Bersama melalui Ketentuan Bantuan) ayat 1 : Bila suatu Pihak membutuhkan bantuan dalam peristiwa kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut di teritorialnya, Pihak tersebut dapat memohon bantuan tersebut dari Pihak Pihak Lain, secara langsung atau melalui ASEAN Centre, atau, bila perlu, dari Negara atau organisasi internasional lain
No.
Persoalan Kelembagaan
Isi AATHP yang Terkait • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf a : memfasilitasi mobilisasi sumber daya yang tepat di dalam dan di luar para Pihak • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruh h : mengembangkan program pelatihan bagi para pemadam kebakaran dan pelatih untuk dilatih di tingkat lokal, nasional dan regional
4.
Peraturan atau pun kebijakan belum sepenuhnya mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena masih bersifat sektoral dan tidak konsisten
5.
Lemah atau tidak efektifnya upaya penegakan hukum terhadap para pelaku usaha (perusahaan)
6.
Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
7.
Tidak adanya peraturan, program atau pun kebijakan yang sistematis, komprehensif dan terpadu
Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait
8.
Pengelolaan kebakaran hutan dan lahan lebih memfokuskan kepada upaya pemadaman daripada upaya pencegahan
Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait
Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait
Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait • Pasal 7 (Pemantauan) : ayat 1 : Setiap Pihak wajib mengambil langkah yang sesuai untuk memantau : a. Semua daerah rawan kebakaran, b. Semua kebakaran lahan dan/atau hutan, c. Kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, d. Pencemaan asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf b : mempromosikan standarisasi format laporan data dan informasi
No.
Persoalan Kelembagaan
9.
Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi terkait
10.
Belum adanya organisasi yang khusus bertanggung jawab terhadap penanganan kebakaran hutan dan lahan
11.
Kurangnya kepedulian dan dukungan masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi ketentuan penyiapan lahan tanpa bakar atau pun ketentuan persyaratan pencegahan
Isi AATHP yang Terkait • Pasal 6 (Otoritas yang Berkompeten dan Focal Point) ayat 1 : Setiap Pihak wajib menunjuk satu atau lebih otoritas yang Berkompeten dan Focal point yang wajib diberi wewenang untuk bertindak atas namanya di dalam kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ini • Pasal 7 (Pemantauan) ayat 2 : Setiap Pihak wajib menunjuk satu atau lebih badan yang berfungsi sebagai Pusat Pemantauan Nasional, untuk melaksanakan tugas pemantauan yang diacu dalam ayat (1) di atas sesuai dengan prosedur yang berlaku di negara masing-masing Tidak ada butir- butir AATHP yang terkait • Pasal 9 (Pencegahan) huruf e: mempromosikan pendidikan dan kampanye pembangunan kesadaran masyarakat serta menguatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebakaran guna mencegah kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut, • Pasal 9 (Pencegahan) huruf g : menjamin bahwa langkah legislatif, administratif dan/atau lainnya yang relevan diambil untuk mengendalikan pembakaran terbuka serta untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf d : menyediakan atau membuat rancangan untuk pelatihan, pendidikan, dan kampanye peningkatan kesadaran yang relevan, khususnya yang berkaitan dengan promosi praktik pembukaan lahan
No.
Persoalan Kelembagaan
Isi AATHP yang Terkait tanpa bakar serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup
12.
Belum adanya SOP dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
• Pasal 10 (Kesiapsiagaan) ayat 2 : Para Pihak wajib, apabila perlu, menyiapkan standar prosedur pelaksanaan untuk kerjasama regional dan langkah nasional yang disyaratkan berdasarkan Persetujuan
13.
Alokasi pendanaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tidak memadai
• Pasal 11 (Tanggap Darurat Nasional) ayat 1 : Setiap Pihak wajib menjamin bahwa langkah legislatif, administratif dan pendanaan yang sesuai telah diambil untuk memobilisasi peralatan, bahan-bahan, sumberdaya manusia dan keuangan yang disyaratkan untuk menanggapi dan memitigasi dampak dari kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut
Sumber : Hasil Analisis, 2007
Tabel II.4 Rumusan Awal Implikasi Kelembagaan atas AATHP No.
Persoalan Kelembagaan
Isi AATHP yang Terkait
1.
Banyaknya institusi yang terlibat menyebabkan kurangnya koordinasi karena masing-masing organisasi cenderung mendahulukan kepentingan fungsionalnya masing-masing
2.
Kapasitas dan manajemen • Pasal 11 (Tanggap Darurat Nasional) ayat 1 : setiap sumberdaya manusia dan Pihak wajib menjamin bahwa langkah legislatif, peralatan belum memadai administratif dan pendanaan yang sesuai telah karena jumlah tenaga terlatih diambil untuk memobilisasi peralatan, bahan-bahan, kurang memadai, belum sumberdaya manusia dan keuangan yang disyaratkan terorganisasi dengan baik untuk menanggapi dan memitigasi dampak dari serta kurang memadainya kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran peralatan dan perlengkapan asap yang timbul dari kebakaran tersebut dalam pemadaman kebakaran • Pasal 12 (Tanggap Darurat Bersama melalui hutan dan lahan Ketentuan Bantuan) ayat 1 : bila suatu Pihak membutuhkan bantuan dalam peristiwa kebakaran lahan dan/atau hutan atau pencemaran asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut di teritorialnya, Pihak tersebut dapat memohon bantuan tersebut dari Pihak Pihak Lain, secara langsung atau melalui ASEAN Centre, atau, bila perlu, dari Negara atau organisasi internasional lain
• Pasal 9 (Pencegahan) huruf d : menguatkan pengelolaan kebakaran lokal dan kemampuan serta koordinasi memadamkan kebakaran untuk mencegah kejadian kebakaran lahan dan/atau hutan
Implikasi Kelembagaan AATHP memberikan implikasi terhadap perbaikan koordinasi antar institusi khususnya koordinasi di dalam melakukan pemadaman kebakaran hutan dan lahan
AATHP memberikan implikasi terhadap perbaikan dan peningkatan kapasitas dan manajamen sumberdaya manusia dan peralatan melalui : 1. Adanya penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan pendanaan yang sesuai telah diambil untuk memobilisasi peralatan, bahanbahan, sumberdaya manusia dan keuangan untuk menanggapi dan memitigasi dampak kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran asap lintas batas, 2. Mekanisme pemberian bantuan yang ada dalam ketentuan Persetujuan, 3. Kerjasama teknis dalam memfasilitasi mobilisasi sumberdaya yang tepat di dalam dan di luar para Pihak 4. Kerjasama teknis dalam pengembangan program pelatihan bagi para pemadam kebakaran
No.
3.
Persoalan Kelembagaan
Pengelolaan informasi kebakaran yang belum efektif mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Isi AATHP yang Terkait • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf a : memfasilitasi mobilisasi sumber daya yang tepat di dalam dan di luar para Pihak • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruh h : mengembangkan program pelatihan bagi para pemadam kebakaran dan pelatih untuk dilatih di tingkat lokal, nasional dan regional • Pasal 7 (Pemantauan) : ayat 1 : Setiap Pihak wajib mengambil langkah yang sesuai untuk memantau : a. Semua daerah rawan kebakaran, b. Semua kebakaran lahan dan/atau hutan, c. Kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, d. Pencemaan asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, • Pasal 8 (Penilaian) ayat 1 : Setiap Pihak wajib menjamin bahwa Pusat Pemantauan Nasionalnya, dalam jangka waktu yang disetujui, berkomunikasi dengan ASEAN Centre, secara langsung atau melalui Focal Point-nya, data yang diperoleh berkaitan dengan daerah rawan kebakaran, kebakaran lahan dan/atau hutan, kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pencemaran asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf b : mempromosikan standarisasi format laporan data dan informasi
Implikasi Kelembagaan
AATHP memberikan implikasi terhadap perbaikan pengelolaan informasi kebakaran yang lebih efektif melalui : 1. Adanya kewajiban untuk untuk memantau : a. semua daerah rawan kebakaran, b. semua kebakaran lahan dan/atau hutan, c. kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, d. pencemaan asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, 2. Mekanisme pemantauan, pelaporan dan komunikasi oleh NMC atau NFP kepada ASEAN Centre menganai data yang berkaitan dengan daerah rawan kebakaran, kebakaran lahan dan/atau hutan, kondisi lingkungan hidup yang kondusif terhadap kebakaran lahan dan/atau hutan, dan pencemaran asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan dan/atau hutan tersebut, 3. Kerjasama teknis dalam mempromosikan standarisasi format laporan data dan informasi
No. 4.
5.
6.
Persoalan Kelembagaan
Isi AATHP yang Terkait
• Pasal 6 (Otoritas yang Berkompeten dan Focal Point) ayat 1: Setiap Pihak wajib menunjuk satu atau lebih otoritas yang Berkompeten dan Focal point yang wajib diberi wewenang untuk bertindak atas namanya di dalam kinerja fungsi administratif yang disyaratkan oleh Persetujuan ini • Pasal 7 (Pemantauan) ayat 2 : setiap Pihak wajib menunjuk satu atau lebih badan yang berfungsi sebagai Pusat Pemantauan Nasional, untuk melaksanakan tugas pemantauan yang diacu dalam ayat (1) di atas sesuai dengan prosedur yang berlaku di negara masing-masing Kurangnya kepedulian dan • Pasal 9 (Pencegahan) huruf g : menjamin bahwa dukungan masyarakat dan langkah legislatif, administratif dan/atau lainnya yang dunia usaha dalam memenuhi relevan diambil untuk mengendalikan pembakaran ketentuan penyiapan lahan terbuka serta untuk mencegah pembukaan lahan tanpa bakar atau pun dengan membakar ketentuan persyaratan • Pasal 16 (Kerjasama Teknis) huruf d : menyediakan pencegahan atau membuat rancangan untuk pelatihan, pendidikan, dan kampanye peningkatan kesadaran yang relevan, khususnya yang berkaitan dengan promosi praktik pembukaan lahan tanpa bakar serta dampak pencemaran asap terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup Belum adanya SOP dalam • Pasal 10 (Kesiapsiagaan) ayat 2 : Para Pihak wajib, Penanggulangan Bencana apabila perlu, menyiapkan standar prosedur Kebakaran Hutan dan Lahan pelaksanaan untuk kerjasama regional dan langkah nasional yang disyaratkan berdasarkan Persetujuan Belum adanya pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antar institusi terkait
Implikasi Kelembagaan AATHP memberikan implikasi terhadap pembagian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih jelas dalam penanggulangan bencana kebakaran melalui penunjukan dan pemberntukan National Focal Point (NFP), National Monitoring Centre (NMC) dan Competent Authorities (CA) sesuai dengan tugas dan fungsi yang dijelaskan dalam ketentuan Persetujuan (AATHP)
AATHP memberikan implikasi terhadap perbaikan kepedulian masyarakat dan dunia usaha dalam memenuhi ketentuan penyiapan lahan tanpa bakar melalui : 1. Adanya penjaminan bahwa langkah legislatif, administratif dan lainnya yang relevan telah diambil untuk mencegah pembukaan lahan dengan membakar, 2. Kerjasama teknis untuk mempromosikan praktik pembukaan lahan tanpa bakar
AATHP memberikan implikasi dalam memacu pembuatan SOP Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
No. 7.
Persoalan Kelembagaan Alokasi pendanaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tidak memadai
Sumber : Hasil Analisis, 2007
Isi AATHP yang Terkait • Pasal 11 (Tanggap Darurat Nasional) ayat 1 : Setiap Pihak wajib menjamin bahwa langkah legislatif, administratif dan pendanaan yang sesuai telah diambil untuk memobilisasi peralatan, bahanbahan, sumberdaya manusia dan keuangan yang disyaratkan untuk menanggapi dan memitigasi dampak dari kebakaran lahan dan/atau hutan serta pencemaran asap yang timbul dari kebakaran tersebut
Implikasi Kelembagaan AATHP memberikan implikasi terhadap perbaikan alokasi dana yang lebih memadai untuk menanggapi dan memitigasi dampak kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran asap lintas batas