BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1
Ayam Ras Petelur Menurut Sudaryani dan Santosa. (2000) ayam ras petelur adalah yang
dipelihara dengan tujuan menghasilkan produktivitas banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh disilangkan kembali. Ayam petelur untuk menghasilkan telur mulai umur ± 6 bulan dengan jumlah telur sekitar 250- 300 butir per ekor per tahun (Susilorini, dkk., 2008). Berdasarkan fase pemeliharaannya, fase pemeliharaan ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari - 6 minggu), fase grower (umur 6 - 18 minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu - afkir) (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Menurut Scanes dkk. (2004) ayam memiliki taksonomi sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata,
Subfilum
: Vertebrata,
Kelas
: Aves,
Subkelas
: Neonithes,
Ordo
: Galiformers,
Famili
: Phasianidae,
Genus
: Gallus,
Spesies
: Gallus gallus
13
Strain adalah klasifikasi ayam berbasarkan garis keturunan tertentu melalui persilangan dari berbagai kelas, bangsa, atau varietas sehingga ayam tersebut memiliki bentuk, sifat, dan tipe produksi tertentu sesuai dengan tujuan produksi (Sudarmono, 2003). Menurut Sudarmono (2003), ayam ras petelur strain ISA Brown ialah jenis ayam hibrida unggulan hasil persilangan dari ayam jenis Rhode Island Red dan White Leghorns, yang diciptakan di Inggris pada tahun 1978 oleh perusahaan breeder ISA. Ciri khasnya adalah bulu dan telurnya berwarna cokelat. Fase pemeliharaan ayam ras petelur berdasarkan kebutuhan zat makanannya ada tiga yaitu fase starter mulai umur 0-6 minggu, fase grower mulai umur 6-18 minggu dan fase layer di atas umur 18 minggu (NRC, 1994). Menurut Wahju (2004) fase layer juga dapat dibagi dalam dua tahap fase produksi. Fase I ayam mulai bertelur pada umur 22 minggu, bobot badan 1350 g dan konsumsi pakan sebanyak 75 g/ekor/hari. Selama 20 minggu dari periode 22-42 minggu diharapkan ayam mencapai puncak produksi ±85-90%, bobot badan sampai ±1800 g dan berat telur naik dari 40 g/butir menjadi 56 g/butir. Fase I adalah periode yang sangat kritis selama hidup berproduksi. Kebutuhan zat makanan harus terpenuhi secara baik, sehingga ayam petelur dapat berproduksi dengan baik. Fase II mulai umur 42-72 minggu dan ayam telah mencapai bobot badan yang tetap. Pertumbuhan ayam petelur dipengaruhi oleh banyak faktor, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soeharsono (2010), bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah strain yang digunakan, mutu ransum,temperatur lingkungan,
14
sistem perkandangan, dan pengendalian penyakit. Lebih lanjut dikatakan bahwa pertumbuhan adalah hasil interaksi antara heriditas dan lingkungan dimana sumbangan genetik terhadap pertumbuhan kurang lebih 30%, sedangkan lingkungan 70%. 2.2
Penyebab Stres Ternak Ayam petelur merupakan ternak bersifat homoioterm memiliki tingkat
metabolisme yang tinggi yang bergantung pada suhu lingkungan luar, ayam petelur mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses homeostasis, hal ini dapat dilakukan karena terdapat reseptor pada otak yaitu hipotalamus untuk mengatur suhu tubuh. Ayam petelur mempunyai suhu tubuh normal yang berbeda atau bervariasi yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor jenis kelamin, factor panjang siang dan malam, faktor lingkungan dan faktor pakan (Frandson, 1992; Yahav dkk. 2004). Suhu lingkungan mempengaruhi pertumbuhan baik langsung maupun tidak langsung, yang berpengaruh terhadap metabolisme dan morfologis ialah ; suhu udara, aliran udara, radiasi matahari, suhu lingkungan rata-rata dan kelembaban. (Mount, 1980). Terjadi perubahan perilaku pada ayam yang dapat diamati selama stres panas antara lain hiperventilasi (panting), yaitu meningkatnya kecepatan respirasi sampai lebih dari 20 kali per menit. Selama stres panas metabolisme dalam tubuh berlangsung cepat sehingga membutuhkan banyak oksigen, sedangkan karbondioksida dalam darah menurun (Fuller dan Rendon, 1977).
15
Mekanisme homeostatis mencakup keseimbangan panas, pengaturan panas, tekanan darah, pernafasan dan aktivitas lainnya di tubuh (Hafez, 1969). Homeostatis adalah penyesuaian diri untuk mencapai suatu keseimbangan (Abbas, 2009). Homeostasis ini berarti mempertahankan hidup normal baik pada tingkat seluler, jaringan, organ, dan individual. Ketidakmampuan ternak dalam mempertahankan homeostasis menyebabkan stres (Siegel, 1980; North, 1980; Young, 1981). Stres pada ternak ayam ras petelur dalam keadaan tubuh akibat adanya tekanan
yang merusak stressor
sehingga
menyebabkan
disekresikannya
adrenocorticotropin hormone (ACTH) (Duncan, 1981). Stressor penyebab meningkatnya ACTH akan menyebabkan korteks adrenal meningkatkan sekresi glukokortikoid seperti hormone kosrtisol dan kortikosteron (McDonald, 1980). Menurut Mushawwir (2014). Stressor stres antara lain cekaman panas yang dapat timbul bagi ternak ayam yang dipelihara dalam kondisi diatas zona nyamannya (upper zonathermoneutral) maupun oleh keadaan yang tidak nyaman. Penyebab stres tubuh ternak dapat ditangani dengan mengaktifkan neurogenic system, sebagai aktivatornya adalah epinephrine (adrenalin) dan norepinepirin sedangkan nonadrenalin berfungsi sebagai transmitter antaraunsur-unsur dalam thermoregulator (Richard, 1970). Ayam yang mengalami stres panas atau dingin, jumlah neurogenic amine tersebut meningkat dalam darahnya (Edens dan Siegel, 1975; Freeman, 1976; Young, 1981).
16
2.3
Darah Ayam Ras Petelur Darah merupakan cairan tubuh yang berada dalam sistem pembuluh darah
(Harper, 1979). Menurut Coles (1996), darah merupakan cairan yang beredar dalam system pembuluh darah yang sifatnya tertutup, terdiri dari suatu cairan yang kompleks mengandung sel-sel yang dihasilkan oleh jaringan hematopoetik yang dipompa dan diedarkan ke seluruh tubuh oleh jaringan. Darah tersusun atas plasma darah dan sel darah. Sel darah mencakup eritrosit, leukosit dan trombosit. Plasma darah terdiri atas 90% air, 7-8% protein yang dapat larut, 1% elektrolit, dan sisanya 1-2% berbagai zat lain (Villee dkk., 1988). Menurut Soeharsono (2010). Darah mempunyai fungsi: a. Alat pengangkut dan menyebarkannya keseluruh tubuh b. Alat pengangkut oksigen dan menyebarkannya keseluruh tubuh c. Alat pengangkut sari makanan dan menyebarnya keseluruh tubuh d. Alat pengangkut hasil oksidasi untuk dibuang melalui alat ekskresi e. Alat mengangkut getah hormon dan kelenjar buntu f. Menjaga suhu temperatur tubuh g. Mencegah infeksi dengan sel darah putih, antibodi dan sel darah beku h. Mengatur keseimbangan asam basa tubuh, dll. Sel-sel darah merah atau eritrosit meruapakan sel darah paling besar volumenya yaitu 99 % dari darah keseluruhan, sedangkan leukosit hanya sekitar 0.6 - 1 %. Selama diferensiasi, RBCD kehilangan inti, Golgi apparatus, centriol, mitokondria, dan ribonucleicacid (RNA). Kadang-kadang sel dikeluarkan dari
17
tempat pembuatannya sebelum diferensiasi sempurna, misalnya dalam keadaan stress, sehingga sel darah merah mengandung RNA tidak sempurna dan sel diberi nama retikulosit walaupun sudah mempunyai inti (Soeharsono dkk,. 2010). Dalam fungsinya eritrosit sebagai membawa oksigen dari paru-paru keseluruh tubuh. Haemoglobin (Hb) sebagai prtein dalam sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen dari paru-paru kebagian tubuh lainnya sedangkan hematokrit yang mengukur persentasi sel darah merah dalam seluruh volume darah. Volume eritrosit secara internasional dikenal dengan mean corpuscular volume (MCV) yang maksudnya mengukur besar rata-rata sel darah merah eritrosit yang kecil berarti ukuran sel darah merahya lebih kecil dari ukuran normal. Biasanya hal ini disebabkan oleh kekurangan zat bezi atau penyakit kronis. Cara lain untuk mengukur sel darah merah mengukur nilai rata-rata haemoglobin. Nilai rata-rata Hb atau MCV masing-masing digunakan untuk mengukur jumlah dan kepekatan haemoglobin. (Soeharsono dkk,. 2010). 2.3.1
Eritrosit Di dalam eritrosit terdapat hemoglobin (Hb) yang berfungsi penting dalam
mengangkut oksigen dari paru-paru ke berbagai jaringan tubuh. Produksi eritrosit dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kandungan oksigen dimana protein penginduksi akan menginduksi pertumbuhan dan diferensiasi sehingga produksi eritrosit akan meningkat. Hemoglobin merupakan komponen dari eritrosit (Sturkie, 1998). Pembentukan eritrosit melalui sebuah proses yang disebut eritropoesis. Eritropoesis
18
pada masa embrional unggas terjadi dalam kantung kuning telur. (Guyton dan Hall 1997). Hati dan kelenjar limfe dapat berfungsi sebagai penghasil eritrosit pada kondisi tertentu setelah lahir. Limpa turut berperan dalam pembentukan eritrosit tetapi dalam jumlah yang sedikit. Masa hidup eritrosit pada unggas rata-rata 28 sampai 35 hari (Sturkie, 1998). 2.3.2
Haemoglobin Hemoglobin adalah senyawa yang berasal dari ikatan komplek antara
protein dan Fe yang menyebabkan timbulnya warna merah pada darah. Hemoglobin diproduksi oleh sel darah merah yang disintesis dari asam asetat (acetic acid) dan glycine menghasilkan porphyrin. Porphyrin dikombinasikan dengan besi menghasilkan satu molekul heme. Empat molekul heme dikombinasikan dengan molekul globin membentuk hemoglobin (Rastogi, 1977). Hemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen yang diangkut. Kandungan oksigen dalam darah yang rendah menyebabkan peningkatan produksi hemoglobin dan jumlah eritrosit. Penurunan kadar hemoglobin terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (eritropoesis) (Frandson, 1992). Jain (1993) menyatakan bahwa kadar normal hemoglobin ayam yaitu 7,013,0 g/dl.Hemoglobin sangat penting untuk kelangsungan hidup karena membawa dan mengantarkan O2 ke jaringan. Hemoglobin memiliki dua fungsi pengangkutan penting dalam tubuh, yaitu pengakutan oksigen dari organ respirasi ke jaringan
19
perifer dan pengakutan karbondioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke organ respirasi untuk selanjutnya dieksrkresikan keluar (Murray dkk., 2003). 2.3.3
Hematokrit Nilai hematokrit berkaitan erat dengan jumlah eritrosit/sel darah merah
dalam tubuh. Nilai hematokrit secara umum juga menjadi indikator penentuan kemampuan darah dalam mengangkutoksigen (Davey dkk., 2000). Nilai hematokrit merupakan presentase dari sel-sel darah terhadap seluruh volume darah, termasuk eritrosit (Soeharsono dkk., 2010). Jumlah eritrosit, nilai hematokrit, dan kadar hemoglobin berjalan sejajar satu sama lain apabila terjadi perubahan (Meyer dan Harvey, 2004). Nilai normal hematokrit ayam yaitu 22%- 35% (Jain, 1993) . Peningkatan
nilai
hematokrit
mengindikasikan
adanya
dehidrasi,
pendarahan atau edema akibat adanya pengeluaran cairan dari pembuluh darah.Peningkatan nilai hematokrit memiliki manfaat yang terbatas karena dapat menaikkan viskositas (kekentalan) darah yang akan memperlambat aliran darah pada kapiler dan meningkatkan kerja jantung (Chunningham, 2002). Penurunan nilai hematokrit dapat dijumpai pada kondisi anemia atau akibat kekurangan sel darah (Wientarsih dkk., 2013). Kadar hematokrit akan menurun ketika terjadi penurunan hemokonsentrasi, karena penurunan kadar seluler darah atau peningkatan kadar plasma darah (Sutedjo, 2007). Penurunan nilai hematokrit dapat disebabkan oleh kerusakan eritrosit, penurunan produksi eritrosit atau dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran eritrosit (Coles, 1982; Wardhana dkk., 2001).
20
2.3.4
Mean Corpuscular Volume (MCV MCV (Mean Corpuscular Volume) merupakan volume eritrosit rata-rata di
dalam darah. MCV normal pada ayam berkisar antara 90-140 fl (Hodges, 1977). Anemia normositik ditandai dengan sel darah merah yang berukuran normal dan MCV normal, pada anemia mikrositik sel darah merah berukuran kecil dan MCV menurun serta pada anemia makrositik sel darah merah berukuran besar dan MCV meningkat (Sriwati, dkk., 2014). Nilai MCV yang kecil di bawah normal dapat mengindikasikan adanya anemia akibat defisiensi zat besi, thalasemia dan anemia sekunder (Hodges, 1977). 2.4
Manfaat Kitosan kitosan (2-asetamida-deoksi--D-glukosa) merupakan kitin deasetilasi,
tersebar luas di alam berasal dari eksoskeleton artropoda seperti kepiting, udang, serangga, dan makhluk laut lainnya dalam keluarga crustacea (Crini, 2005; Huang dkk., 2005; Li dkk., 2009). Sekitar 60-70% bagian dari udang yang digunakan dalam pembuatan chitosan (Sihombing, 2006). Komponen tersebut memiliki sifat multifungsi, yaitu antibakteri (Sudarshan dkk., 1992;. Xie dkk., 2001; Jia dkk., 2002) fungisida (Allan dan Hadwiger, 1979), dan berfungsi sebagai antioksidan (Xie dkk., 2001; Jeon dkk., 2003). Manfaat kitosan dapat menurunkan stres pada ayam petelur, karena kitosan dapat meningkatkan respon imunitas dalam tubuh ternak (Xu, 2013). Hasil penelitian Huang dkk. (2005) menunjukkan bahwa performa ayam mengalami
21
peningkatan dengan kadar pemberian kitosan 150 ppm/kg ransum. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa kitosan mampu meningkatkan kinerja metabolisme dan meningkatkan imunitas. Yin dkk. (2008) mengemukakan bahwa pemberian 100 – 250 ppm/kg ransum mampu meningkatkan imunitas dengan meningkatnya konsentrasi imunoglobulin A (IgA), imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG). Sekitar 60-70% bagian dari udang yang digunakan dalam pembuatan kitosan merupakan turunan kitin yang paling bermanfaat. Ini disebabkan karena berat molekul yang tinggi, sifat polielektrolit, keberadaan gugus fungsional, kemampuan untuk membentuk gel, dan kemampuan mengabsorbsi. Selanjutnya kitosan dapat dimodifikasi secara kimia dan enzimatik dan bersifat biodegradable dan biokompatibel dengan sel dan jaringan manusia, untuk pemanfaatannya, berat molekul dan tingkat deasetilasi sangat berperan, karena kedua parameter ini mempengaruhi kelarutan, sifat-sifat fisikokimia, dan sifat biokompatibilitas serta aktivitas immunitas. Kapasitas mengabsorbsi kitin dan kitosan meningkat dengan bertambahnya kandungan gugus amino yang bebas (Synowiecki and Al-Kateeb, 2003) Kitosan juga merupakan biopolimer alami yang memiliki gugus aktif yaitu amina dan hidroksil (Jae-Song dkk., 1998), sehingga mampu dijadikan sebagai adsorben melalui pembentukan ikatan hidrogen dengan molekul amoniak. Kitin murni mengandung gugus asetamida (NH-COCH3), dan kitosan murni
22
mengandung gugus amino (NH2). Perbedaan gugus ini akan mempengaruhi sifatsifat kimia senyawa tersebut (Roberts, 1992).