31
BAB II KAIDAH HUKUM KEHUTANAN DAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PERATURAN KEHUTANAN
2.1 Kaidah Hukum Kehutanan Istilah “Ubi societas ibi ius” sudah menjadi “communis opinion doctrum” (pandangan umum yang sama di kalangan para pakar), ungkapaan tersebut secara arfiah berarti “di mana ada masyarakat manusia di situ ada atau berlakunya hukum” atau “tidak ada masyarakat tanpa hukum”. Artinya dalam
suatu
masyarakat,betapapun sederhananya , pasti tumbuh sebagi perangkat kaidahkaidah perilaku yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan memenuhi rasa atau tuntutan keadilan , yang kepatuhannya tidak sepenuhnya diserahkan kepada kemauan bebas warga masyarakat , melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat secara terorganisasi . perangkat-perangkat kaidah perilaku itulah yang disebut Hukum .ketika masyarakat sudah berkemang menjadi majemuk dan berbagai kaidah perilaku tersebut juga berubah menjadi semakin majemuk. Hukum menampilkan diri dalam bentuk kaidah yang disebut kaidah hukum positif (positif recht), yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis . Kaidah hukum yang tertulis itu disebut undang-undang dalam arti luas (de wet in ruime zin), yakni putusan pemerintah yang terbentuk melalui prosedur yang berlaku untuk itu oleh badan atau lembaga atau pejabat yang memiliki kewenangan untuk itu dan dirumuskan dalam bentuk yang sudah ditentukan untuk itu . Undang-undang dalam arti luas itu dibedakn kedalam undang-undang dalam arti materil (de wet in materiel zin). Undang-undang dalam arti materil adalah putusan pemerintah yang isinya berlaku umum atau mengikat secara umum , jadi 31 Universitas Sumatera Utara
32
yang isinya berupa peraturan (de regel) . undang-undang dalam arti formal adalah putusan pemerintah yang karena prosedur pembentukannya dinamakan undangundang (de wet) , misalnya untuk Indonesia produk putusan DPR yang disahkan oleh presiden dan dinamakan unndang-undang ex pasal 20 UUD’45. Keseluruhan kaidah hukum positif yang tertulis itu disebut perundangundangan yakni keseluruhan dalam arti materil (peraturan) yang tersusun dalam suatu sistem yang berlaku dalam suatu Negara (masyarakat yang terikat pada suatu wilayah tertentu dan terorganisasi secara politikal dalam bentuk badan hukum public) . Hukum tidak tertulis dalam bentuk keputusan kepala persekutuan atau hal mengulangi atau masyarakat adat yang mengharuskan dilaksanakannya perilaku tertentu daan putusan kepala persekutuan atau hal hal yang mengulangi perilaku yang sama dan dirasakan sebagai tuntutan demi terwujudnya keadilan. Berdasarkan uraian di atas tentang kaidah hukum positif, hukum kehutanan juga merupakan kumpulan nima hukum
bagaimana menciptakan
hukum kehutanan yang dapat mengikat secara umum, secara hukum materil maupun prosedural hukum kehutanan telah memenuhi ketentuan sebagaimana seharusnya ia dipandang sebagai kaidah hukum yang bersifat mengikat . hukum kehutanan merupakan amanah dari UUD’45 dan diwujudkan dalam bentuk peraturan perundan-undangan.31 Untuk menmahami keberlakuan hukum kehutanan dapat dilihat dari keberlakuan hukum yang berlaku yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan yuridikal dan keberlakuan moral.
31
Sadino,Mengelola Hutan dengan Pendekatan Hukum Pidana :Suatu Kajian Yuridis Normatif,hlm. 15-17
Universitas Sumatera Utara
33
Keberlakuan faktual
yaitu kaidah hukum yang dikatakan memiliki
keberlakuan faktual, jika kaidah itu dalam kenyataan sungguh-sunguh dipatuhi oleh warga Negara masyarakat dan oleh para pejabat yan berwenang sunguhsungguh diterapkan dan diteggakkn. Dengan demikian, kaidah hukum tersebut dikatakan efektif, sebab berhasil mempengaruhi perilaku para warga Negara dan pejabat masyarakat. keberlakuan faksual dapat disebut juga keberlakuan social atau keberlakuan sosiologikal atau keberlakuan empirikal. Keberlakuan yuridikal yaitu kaidah hukum memiliki keberlakuan yuridikal jika kaidah itu dibentuk sesuai dengan aturan prosedur yang berlaku oleh pihak (badan,pejabat) yang berwenang dan isinya secara substansial tidak bertentangan
dengan
kaidah
–kaidah
hukum
lainnya
(terutama
yang
kedudukannya lebih tinggi). artinya, jika kaidah hukum itu dapat ditempatkan atau mempunyai tempat di dalam keseluruhan sistem hukum yang berlaku . keberlakuan yuridikal dapat disebut juga keberlakuan formal atau keberlakuan normatif.32 Keberlakuan Moral yaitu kaidah hukum memiliki keberlakuan moral jika isinya secara etik atas dasar pertimbangan akal dapat diterima (dibenarkan) ; jadi berdasarkan keyakinan moral yang hidup dalam masyarakat tidak bertentanga n dengan nilai-nilai fundamental dan mertabat manusia, dan dengan demikian memenuhi rasa atau tuntutan keadilan keberlakuan moral dapat disebut juga keberlakuan filosofikal atau keberlakuan evaluative atau keberlakuan meteriil atau keberlakuan substansial.
32
Sadino,ibid.,hlm.18-19
Universitas Sumatera Utara
34
Kaidah hukum positif dikatakan memiliki kekuatan berlaku atau hukum yang berlaku memiliki daya –penegakan, jadi memilki kekuatan mengikat warga masyarakat Indonesia dan otoritas publik, jika kaidah hukum itu memiliki keberlakuan faktual, keberlakuan yuridikal, dan keberlakuan
moral . kaidah
hukum yang hanya memiliki yuridikal saja, namun kepatuhannya di paksakan dengan penggunaan aparat kekuasaan Negara adalah bukan hukum lagi , melaikan hanya pernyataan kekuasaan belaka. Kaidah hukum yang hanya memiliki keberlakuan faktual saja adalah kaidah moral positif atau adat saja. Kaidah hukum yang memilki keberlakuan filosofih saja adalah kaidah moral saja. ketentuan pasal 83 undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan bahwa , pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka dinyatakan tidak berlaku undang-undang No.5 Tahun 1967. Undang-undang No.41 Tahun 1999 mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan kehutanan, termasuk sebagian mencakup konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya33. dengan di tetapkannya Undang-undang No.5 Tahun 1990 , maka semua ketentuan yang tidak diatur dalam undang-undang tersebut tidak lagi diatur dalam undang-undang No.41 Tahun 1999. 34 Dengan demikian, di dalam kajian ini hukum kehutanan adalah sebagaimana yang terkait di dalam undang-undang No.5 tahun1990 dan undangundang No.41 Tahun1999. Undang –undang No.41 Tahun 1999 adalah undang-undang yang megatur khusus tentang hutan dan kehutanan di Indonesia, yang meskipun dalam kelahirannya telah mendapat tantangan berbagai pihak yang akan terkena dampak pada saat itu. Dapat dipahami apabila undang-undang tersebut mendapat 33 34
Undang-undang No.41 Tahun1999 tentang Kehutanan Undang-undang No.5 tahun 1990
Universitas Sumatera Utara
35
tantangan karena lahirnya undang-undang kahutanan saat itu adalah tidak murni atas keinginan pemerintah, tetapi ada tekanan dari pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan.35 Dari sisi substansi hukumnya, undang-undang ini masih bersifat sentralistik dan dominan pada Pemerintahan Pusat (Mentri Kehutanan). Sebab dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa, penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana di atur dalam penjelasan undang-undang tersebut. Dalam undangundang tersebut dinyatakan bahwa Negara bukan sebagai pemilik hutan, tetapi Negara memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan hasil hutan, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta engatur mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan ijin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan.
2.2 Kebijakan Hukum Kehutanan di Indonesia Kebijakan hukum kehutanan di Indonesia berhubungan dengan hukum pidana, kebijakan hukum pidana yang terkait dengan pengelolahan hutan dan perlindungan hutan di Indonesia sudah ada sejak dikeluarkannya undang –undang No.5 Tahun 1967 di dalam pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “peraturan pelaksanaan dari undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman pidana penjra atau kurungan dan / denda”. Pengaturan selanjutnya diatur dalam Pasal 18 PP No.28 Tahun 1985, yaitu kejahatan dan pelanggaran . perbedaannya dapat dianalisis dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif.dari segi 35
Ibid.,hlm.21
Universitas Sumatera Utara
36
kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum (recht delic) , yitubperbuatan yang bertentangan dengan keadilan sedangkan pelanggaran merupakan delik undangundang (wet delict), yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana , karena undang-undang menentukannya sebagai delik, jadi karena undangundang mengancamnya dengan pidana 36 . Kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman / ancaman pidananya
kejahatan ancaman
hukumannya lebih berat sedangkan terhadap pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan. Tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam pasal 18 ayat (1) ayat(2) ayat(3) PP No. 28 Tahun 1985 sedangkan pelanggaran diatur dalam pasal 18 ayat (4), dan ayat (5). Terdapat empat macam sanksi pidana yang diatur dalam pasal 18 yaitu (1) hukum penjara, (2) hukuman kurungan, (3) hukuman denda dan, (4) hukuman perampasan benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.37 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi pidana di dalam pasal 19 ayat (1) dan 21. Pasal 19 ayat(1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam38; dan pasal 21 ayat (1). Undang-udang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan mengatar tentang ketentuan pidana, ganti rugi, sanksi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum di bidang kehutanan. Dalam rangka penegakan hukum, terutama yang terkait dengan 36
Salim HS,op.cit.,hlm.120 , ibid., Ibid.,hlm.24 38 Penjelasan pasal19 ayat 1 UU No.5 tahun1990 .yang dimaksudkan dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya , perubahan satwa yang berada dalam kawasan hutan ,dan memasukkan jeni-jenis bukan asli. 37
Universitas Sumatera Utara
37
penyidikan dan penyelidikan di bidang kehutanan, selain penyidikan kepolisian, di dalam undang-undang ini juga ada penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) kehutanan yang mempunyai wewenang dalam melaksanakan tugas penyidikan patuh terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP). Dapat kita lihat selama setahun terakhir ini
perkembangan kebijakan
yang berhubungan dengan Pengelolahan Sumber Daya Alam sangatlah cepat ,khususnya sector kehutanan, perkembangan kebijakan tidak saja mulai dari surat keputusan mentri tetapi juga sampai pada pembahasan undang-undang baru, misalnya Rancangan Peraturan Pemerintahan No.34 Tahun2002, PP No. 35 Tahun 2002 dan pada tingkat UU terdapat Revisi Undang-undang no.41 tentang Kehutanan dan pembentukan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal ( atau sering disebut dengan RUU Ilegal Logging). Kedua inisiaif UU tersebut merupakan bagian dari Program Legislatif Nasional (PROLEGNAS) yang dikeluarkan oleh DPR-RI . meskipun terjadi perubahan peraturan perundangan di sektor kehutanan , tetapi dari sudut paradigma, isi dan pelaksanaannnya tetap saja berorientasi pada hal-hal sempit dan jangka pendek. Bila kita lihat kebelakang pengelolahan hutan di Indonesia secara lebih terarah dan terencana ,dimulai dengan dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1967 tentang Undang-undang pokok Kehutanan atau disingkat UUPK, meskipun politik dan kebijakan kehutanan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan tahun1945 yaitu zaman kolonial Belanda yang arah politik dan kebijakannya mengarah kepada kepentingan penguasa kolonial.
Universitas Sumatera Utara
38
Setelah dikeluarkannya Reglement Hutan No. 6 Tahun1865 penguasaan sumber daya hutan oleh Negara dan hutan termasuk sebagai sumber kehidupan sehari-hari masyarakat mulai sangat penting setelah dikelurkannya peraturan tersebut . dengan di tentukannya batas kawasan yang ditetapkan Belanda berdasarkan “Domeinverklaring” pada tahun 1870, justru dapat menyelamatkan kawasan hutan di jawa hingga seperti sekarang ini (meliputi 22% dari luar jawa). “Domeinverklaring pada intinya bahwa semua tanah yan dimiliki pihak lain (individu dan komunal ) jika tidak dapat membuktikan tanah (eigendomnya) ,merupakan domein (dikuasai) oleh Negara. Perkembangan politik dan kebijakan kehutanan selanjutnya seiring dengan perkembangan perkebunan besar di luar jawa, khususnya tanaman karet di sumatera, yang ditandai dengan banyak masyarakat jawa dikirim dan dipekerjakan sebagai kuli diperkebunan-perkebunan besar diluar jawa (Konentjaraningrat,1982) dengan demikian secara administrasi sektor perkebunan menjadi satu dengan kehutanan, sebelum akhirnya di pisahkan alaw abad ke -20. Pada masa kolonial Belanda ada beberapa hal positif kebijakan di bidang kehutanan yaitu : lahirnya jawatan kehutanan, pembentukan lembaga penelitian kehutanan dan penerbitan berbagai kebijakan (khususnya jawa dan Madura) , dan pada akhirnya politik kehutanan kolonial belanda pada akhir tahun 40 –an ditandai dengan politik bumi hangus yang berakibat pada kerusakan sumber daya hutan dan timbulnya penyerobotan tanah di beberapa tempat. Politik dan kebijakan kehutanan untuk luar jawa menjadi tidak jelas pada masa penjajahan jepang, hutan-hutan yang ada di jawa khususnya mejadi tempat basis atau dimanfaatkan bagi kepentingan perang untuk mendukung industry
Universitas Sumatera Utara
39
persenjataan dan bahan baku pembuatan kapal banyak arel hutan dialihkan ke areal pertanian, guna menjamin kesedian pangan oleh para serdadunya. Setelah revolusi fisik hingga awal orde baru pada pertengahan tahun 60an, pembenahan administrasi kehutanan dan upaya-upaya pemanfaatan hutan bagi usaha dalam rangka meningkatkan perekonomian Negara baru dimulai dalam perkembangan mulai dibentuknya Jawatan Kehutanan Republik Indonesia (dibawah mentri kehutanan), pada tahun 1964 menjadi departemen kehutanan (keppres No.170 Tahun 1966), dilakukan perintis pendirian industry perkayuan diluar jawa (Kalimantan) dan rancangan untuk membangun hutan industry . untuk desentralisasi dalam hubungan dengan pengelolahan kehutanan keluarlah PP No.54 Tahun 1957. UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria merupakan undangundang yang tidak ada hubungannya dengan kebijakan kehutanan, namun sangat mempengaruhi dalam pengusahaan hutan . Melalui pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyebutkan, “ Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . ini memperjelas posisi Negara sebagai pengusaha sumber daya hutan, termasuk hutan . Kemudian pada pasal 2 ayat(1) UU No. 5 Tahun1960 tegas bahwa , “atas dasar pasal 31 ayat(3) UUD 1945 dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara; sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.” Perubahan kekuasaan dari orde lama ke orde baru, dengan keluarnya UU No. 1 Tahun1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.6 Tahun 1968
Universitas Sumatera Utara
40
tentang Penanaman Modal Dalam Negri, serta UU No.5 Tahun 1967 . Telah terjadi perubahan pada masyarakat local sekitar hutan pada waktu itu .Dalam pola Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) selanjutnya kebijakan hutan mulai di dukung dengan aspek perlindungan alam, ditandai keluarnya UU No.5 Tahun1990 tentang Keanekaragaman Alam Hayati dan Ekosistemnya , UU No.4 Tahun 1982 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup. Perubahan UU No.22 Tahun 1999 Jo. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah , dan UU No.25 Tahun 1999 jo. UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. ada juga perubahan dibidang kehutaan dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 1999 jo UU No.19 Tahun 2004 tentang kehutanan. Adanya perubahan kebijakan dan perubahan UU kehutanan, namun dalam pelaksanaannya kebijakan kehutanan yang ada membuat hutan semakin hancur, dan carut marutnya kebijakan -kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, dan banyak terdapat ketidak sinkronan peraturan-peraturan lain dengan peraturan kehutanan, sehingga sering terdapat ketidakjelasan kebijakan atau peraturan dalam suatu peraturan di lapangan.
2.3 Kebijakan Hukum Pidana yang Megatur Kehutanan di Indonesia Hukum pidana kehutanan mengatur bentuk sanksi pidana sebagaimana tercantum di dalam peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan sejak tahun 1967 sampai sekarang, yang terdiri dari :
Universitas Sumatera Utara
41
2.3.1
Undang-undang No.5 Tahun 1967 Pasal 19 Ayat (1) dan PP No.28 tahun 1985 Undang-undang No.5 Tahun 1967 mengandung kesesatan , karena berisi
aturan yang memerintahkan peraturan pelaksana untuk memuat aturan pidana . Pasal 19 ayat (1) menyatakan “Peraturan palaksana dari undang-undang ini dapat memuat sangsi pidana berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau benda” 39 . Padahal sangsi pidana harus diatur dalam undang-undang untuk menjamin hak azasi dari rakyat Indonesia. Ketentuan pasal 19 ayat (1) tersebut kemudian ditindak lanjutin dengan terbentuknya PP No.28 Tahun 1985. pada pasal 18 PP No.28 Tahun 1985 tersebut terdapat dua macam perbuatan pidana yang diatur yaitu kejahatan dan pelanggaran. perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dapat dianalisis dari dua segi yaitu segi kualitatif dan segi kuantitatif . dari segi kualitatif, kejahatan merupakan delik hukum
(rechts delict), yaitu
perbuatan yang bertentangan dengan keadila, sedangkan pelanggaran merupakan delik undang-undang (wet delict) yaitu perbuatan yang oleh umum baru disadari dapat dipidana, kajian pidana dari segi kuantitatif didasarkan pada segi hukuman.ancaman pidananya
40
. Kejahatan ancaman hukuman lebih berat
sedangkan pelanggaran ancaman hukumannya lebih ringan . Tidak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan diatur dalam pasal 18 ayat (1), ayat (2) ,ayat (3) PP No.28 Tahun 1985, sedangkan pelanggaran diatur dalam pasal 18 ayat (4) dan ayat(5).
39 40
UU No.5 Tahun 1967 pasal19 ayat 1 Ibid.,hlm.40,Salim HS,op.cit.,hlm.120
Universitas Sumatera Utara
42
Hukuman penjara yang berkaitan dengan kehutanan diatur dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 28 tahun 1985 . terdapat tiga ketegori perbuatan pidana yang dapat dihukum berdasarkan pasal 18 ayat (1),41 yaitu : 1) Mengerjakan atau menduduki kawasan hutan lindung atau hutan cadangan tanpa izin Mentri Kehutanan , pasal 6 ayat (1);42 2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalam kawasan hutan lindung tanpa izin dari pejabat yang berwenang , pasal 9 ayat (2);43 3) Membakar hutan, (pasal 10 ayat(1))44 Ancaman pidana terhadap perbuatan di atas, diatur dalam PP No.28 Tahun 1985 Pasal 18 Ayat (1) dan ayat (2) yang terdiri dari dua kategori : 1) Mengerjakan dan menduduki kawasan hutan yang bukan hutan lindung tanpa ijin Menteri Kehutanan, (hutan produksi, hutan suaka alam, dan hutan wisata), 2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalm kawasan hutan yang bukan hutan lindung . Ancaman hukuman kurungan diatur dalam PP No28 Tahun 1985 Pasal 18 ayat (3), ayat (4), ayat (5). Terdapat enam macam perbuatan pidana yang dapat diancam hukuman berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) yaitu : 1) Menggunakan kawasan hutan yang menyimpang dari segi fungsi dan peruntukannya tanpa persetujuan Menteri Kehutanan (pasal 5 ayat (2))
41
Ibid.,hlm.41 PP No.28 tahun1985 Pasal 6 ayat (1) Kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang dikerjakan atau diduduki tanpa izin mentri 43 Pasal 9 ayat (2)”setiap orang dilarang melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. 44 Pasal 10 ayat(1) Setiap orang dilarang membakar hutan kecuali dengan kewenangan yang sah . 42
Universitas Sumatera Utara
43
2) Melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang bertujuan untuk mengambil bahan-bahan galian yang dilakukan dalam kawasan hutan atau hutan cadangan tanpa izin dari pejabat yang berwenang (pasal7 ayat (1)) 3) Melakukan kegiatan ekploritasi dan eksploitasi dalam areal yang telah ditetapkan dalam kawasan hutan setelah pemberian ijin eksplorasi dan ekploitasi dari instansi yang berwenang tidak sesuai dengan petunjukan Menteri Kehutanan (pasal 7 ayat (2)); 4) Melakukan pemungutan hasil hutan dalam kawasan hutan dan hutan cadangan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsi hutan dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan (pasal 7 ayat (3))45. Pengertian kondisi tanah dan lapangan termasuk keadaan tifografi, yang sifat-sifat tanah dan iklim, sedangkan tegakan adalah keseluruhan pohon yang ada di dalam hutan. 5) Melakukan penebangan pohon dalam radius /jarak tertentu dari mata air, jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang terletak dalam kawasan hutan (pasal8 ayat(2))
46
. Jurang yang harus dilindungi adalah lereng yang
mempunyai kemiringan minimum 45% dam memunyai kedalaman tertentu sehingga kekurangan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya dan mengakibatkan longsor; 6) Karena kelalaian menimbulkan kebakaran hutan .47
45
Pasal 7 ayat (3) “didalam kawasan hutan dan hutan cadangan dilarang melakukan pemungutan hasil hutan dengan menggunakan alat-alat yang tidak sesuai dengan kondisi tanah dan lapangan atau melakukan perbuatan lain yang dapat menimbulkan kerusakan tanah dan tegakan .” 46 Pasal 8 ayat (2) “siapaun yang dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius /jarak tertentu dari mata air, tepi jurang ,waduk,sungai,anak sungai yang terletak di daerah kawasan hutan ,hutan cadangan, dan hutan lainnya. 47 Pasal 18 ayat 3 huru b : “ karena kelalaiannya menimbulkan kebakaran hutan “>
Universitas Sumatera Utara
44
Menurut Pasal 18 ayat (4) terdapat empat perbuatan pidana yang dapat dihukum ; 1) Memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan tanpa kewenangan yang sah ; (pasal 4 ayat (2)) 2) Melakukan penebangan pohon-pohon dalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang, (pasal 9 ayat(2)) 3) Melakukan pengembalaan ternak dalam hutan, pengambilan rumput ,dan makanan ternak lainnya serta serasah dari dalam hutan yang tidak sesuai dengan yang ditunjuk secara khusus oleh pejabat yang berwenang ; 4) Memiliki dan/atau mengusai dan/atau menangkut hasil hutan tanpa harus disertai surat keterangan sahnya hasil hutan, sedangkan hasil hutan yang berbentuk
bahan
mentah
tersebut
sudah
dipindahkan
dari
tempat
pemungutannya ,(pasal 14 ayat (1)).48 Menurut pasal 18 ayat (5), terdapat dua kategori tindak pidana yang dapat dituntut: 1) mengurangi atau menduduki hutan lainnya tanpa izin dari yang berhak untuk itu kualifikasi hutan lainnya adalah hutan milik dan bukan hutan milik , seperti hak guna usaha, hak pakai, hak guna bangunan dan sebagainya ; 2) dengan sengaja membawa alat-alat yang digunakan untuk memotong, menebang dan membelah pohon di dalam kawasan hutan. Dalam PP 28 Tahun1985 tindak pidana tersebut diatas, selain diancam dengan sangsi pidana (penjara atau kurungan), juga tindak pidana tersebut dapat dikenakan sangsi berupa hukuman denda dan perampasan benda yan diatur dalam 48
Sadino,ibid.,hlm.43-44
Universitas Sumatera Utara
45
pasal 18 ayat (1), ayat(2), ayat(3), ayat (4), ayat (5) yang telah ditentukan besarnya dan harus dibayar oleh seseorang yang telah dijatuhi hukuman . pembayaran tersebut dimasukkan ke dalam kas Negara, perampasan benda diatur dalam pasal 18 ayat (7). Ancaman hukuman dalam bentuk pidana penjara, kurungan denda dan perampasan benda sebagaimana tertuang dalam PP No.28 Tahun 1985 sudah tidak berlaku lagi setelah adanya undang-undang No.41 Tahun 1999, namun sebagian besar ketentuan yang terdapat di PP. No. 28 tahun1985 tersebut telah di adopsi ke dalam ketentuan pidana pasal 50 jo pasal 78 Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang kehutanan. 2.3.2 Undang-undang No.5 Tahun1990 Dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sangsi pidana di dalam pasal 19 ayat (1) dan 21. Pasal 19 ayat (1) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan kuasa alam49; dan pasal 21 ayat (1) setiap orang dilarang : 1) Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagaan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagianya dalam keadaan hidup atau mati ; 2) Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain dalam atau di luar Indonesia.
49
Penjelasan pasal 19 ayat 1 UU No.5 Tahun1990 .yang dimaksud dengan perubahan terhadap keutuhan suaka alam adalah melakukan perusakan terhadap keutuhan dan ekosistemnya , perburuhan satwa yang berada dalam kawasan,dan memasukkan jenis-jenis bukan asli .
Universitas Sumatera Utara
46
Pasal 21 ayat (2) menyatakan bahwa , setiap orang dilarang : 1) Mengangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaaan hidup; 2) Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; 3) Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tepat lain yang di dalam atau diluar Indonesia ; 4) Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tumbuh, atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian –bagian satwa tersebut ata mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia ; 5) Mengambil, merusak, memusnakan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan /atau sarang satwa yang dilindungi. Pasal 33 ayat 91) setiap orang dilarang melakukan kegiatn yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasiona; dan ayat (3) setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemnfaatan dan zona lain dan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.50 2.3.3 Undang-undang No.41 Tahun 1999 Sangsi pidana yang terdapat adan UU No.41 Tahun1999 yang diundangkan sejak tahun1999 banyak mengambi dari ketentuan dalam PP. No 28 Tahun 1985 tentang perlindungan hutan. PP No.28 tahun 1985 merupan Peraturan 50
Ibid.,hlm 45-46
Universitas Sumatera Utara
47
Pemerintah yang diamanahkandalam Undang-undang No. 5 tahun 1967, maka secar otomatis peraturan pemerintah tersebut tidak berlaku lagi sesuai dengan ketentuan pasal 83 undang-undang No.41 Tahun1999 51. di dalam undang-undang No.41 Tahun1999 diatur tentang ketentuan pidana, ganti rugi ,sangsi administrasi, dan penyelesaian sengketa terhadap setiap orang melakukan perbutaan melanggar hukum di bidang kehutanan. dengan sangsi administrasi yang berat diharapkan akan menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan selain enyidik kepolisian di dalam undang-undang ini juga ada penyidik pegawai negri sipil (PPNS) kehutanan yang mempunyai wewenang peyidikan secara mandiri yang dalam melaksanakan tugas penyidik tunduk kepada kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).52 Tindak pidana kehutanan diatur dalam pasal 50 sebagai berikut : ayat (1) setiap orang dilarang merusak prasarana dan darana perlindungan hutan . ayat (2) setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan , izin udaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu , dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. 53 Ayat (3) setiap oran dilarang : a. Mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. Merambah kawasan hutan: c. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarang sampai dengan ; 51
UU No.41 Tahun1999 pasal 83 ayat (2) pada saat mulai berlakunya undang-undang ini maka dinyatakan tidak berlaku: Undang-undang nomor 5 Tahun1967 tentang Ketentuan-ketenutan bPokok Kehutanan . 52 Lihat penjelasan umum UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 53 Ibid.,hlm. 46-47
Universitas Sumatera Utara
48
1. 500 (lima ratus) meter dari waduh dan danau ; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) mete dari kiri kanan tepi sungai ; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang ; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah di tepi sungai d. Membakar hutan; e. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa meliki hak atau izin dari peabat yang berwenang ; f. Menerima atau membeli atau menjual , menerima tukar ,menerima titipan , menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. Melakukan kegiartn penyelidik umum atau eksplorasi tau eksploitasi bahan tambang di kawasan hutan, tanpa izin Menteri ; h. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan ; i. Mengembalakan ternak di kawasan hutan yan tidak di tunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang j. Membawa alat-alat berat atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
Universitas Sumatera Utara
49
k. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang , memotong , atau membelah pohon dikawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan ; dan; m. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.54 Pasal 78 , mengatur tentang ketentuan pidana kehutan sebgai berikut : (1)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1) atau pasal 50 ayat(2) diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepulu) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.00-, (lima miliyar rupiah ).
(2)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat(3) huruf a dan b , diancam dengan pidana penjara minimal 3 (tiga ) tahun dan paling lama 10 (sepuluh tahun) serta denda paling banyak sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliyar ).
(3)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat(3) huruf d , diancam dengan pidana penjar palinglama 15 (lima belas) tahun dengan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliyar rupiah)
(4)
Barang siapa dengan kelalaian melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama
54
Ibid.,hlm.48-49
Universitas Sumatera Utara
50
5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000 (datu miliyar lima ratus juta rupiah) (5)
Barang sapa dengan sengaja membayar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huru e atau huruf f ,diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000, (lima miliyar rupiah)
(6)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketetuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (4) atau pasal 50 ayat (3) huruf g . diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepulu) tahun dan di denda paling banyak Rp. 5.000.000.000-, (lima miliyar rupiah)
(7)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak Rp.10.000.000.000-, (sepuluh miliyar)
(8)
Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000-, (sepluh miliyar rupiah)
(9)
Barang siapadengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara palin lama lima (5) tahun dengan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000-, (lima miliyar rupiah)
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama
Universitas Sumatera Utara
51
3 (tiga) tahun dan paling banyak denda Rp. 1000.000.000-, (satu miliyar rupiah ) (11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) hutul l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000-. (satu miliyar rupiah) (12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu ) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000-, (lima puuh juta rupiah) (13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), ayat (9), ayat (10 ), dan ayat (12) , ayat (13), ayat (14) dan ayat (17) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (11), ayat (15) dan ayat (16) adalah pelanggaran . (14) Tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sangsi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusannya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhakan. (15) Semau hasi hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan
Universitas Sumatera Utara
52
atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. Selain diancam dengan sangsi pidana dan denda, maka didalam Undangundang 41 tahun 1999 juga ditur mengenai perampasan hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 79 : (1)
Kekayaan Negara berupa hasil hutan dan barang lainnya
baik beruta
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 dilelang untuk Negara; (2)
Bagi pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan intensif yang disisihkan dari hasil lelang yang dimaksud ;
(3)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri ;55 Selain sangsi pidana, sangsi denda, sangsi perampasan, hasil kejahatan
didalam undnag-undang No, 41 tahun1999 juga mengatur adanya ganti rugi dan sangsi administratif sebagaimana diatur dalam pasal 80 : (1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan megurangi sangsi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.
55
Ibid.,hlm 49-53
Universitas Sumatera Utara
53
(2) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undangundang ini, apabila melanggar ketentuan diluar ketentuan pidana sebagimana diatur dalam pasal 78 dikenakan sangsi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara