BAB II IBADAH AQIQAH
A. Pengertian Ibadah Aqiqah Ibadah berasal dari kata „abd artinya pelayan atau budak. Jadi ibadah berarti penghambaan atau perbudakan. 1 Selain itu, Perkataan ibadah atau ibadat banyak ta’rifnya, berdasarkan pada perbedaan pandangan para ahli dan maksud yang dikehendaki oleh masing- masing ahli ilmu. Diantaranya yaitu: Ta’rif Ahli Bahasa
1.
Ahli lughat (bahasa) mengartikannya taat, menurut, mengikut, tunduk. Dan mereka mengartikan juga tunduk yang setinggi- tingginya, dan do’a. 2 Sebagaimana firman Allah surat Yasin ayat 60 yang berbunyi:
﴾٦۰﴿ َ ْ ِ ََ َ َ ْا َ ََي ْ ُ ُ َّشاْ َ َاج َِّشوُ َ ُ ْ َ ُ ٌ ُّم
ََِ َْ َ ْ َ ْ َِْ ُ ْ ََي ْ
“bukankah Aku teleh memerintahkan kepadamu wahaianak cucu adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu”(QS. Yasin: 36: 60).3
1
Abul A’la Maududi, Dasar- Dasar Islam (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 107.
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah : Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah (Semarang:
Pustaka Rizki Setya, 2000), hlm. 1 . 3
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al- Qur’an, Al- Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 1995), hlm. 354.
22
Ta’rif Ulama Tauhid, Tafsir, dan Hadits
2.
Ulama tauhid mengartikan ibadah adalah:
.ُلَّشَي ْ ِ ْ ِ َ َ لَّش َ ُ ِ َ ْ ُ ُ ْ ِ َو
َ َ َ ََُي ْ ِ ْ ُ اِ َ ََي ْ ِ ْ ُ و
“mengesakan Allah, menta‟zhimkan- Nya dengan sepenuh- penuh ta‟zhim serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepada- Nya (menyembah Allah sendiri- Nya).” Ta’rif Ulama Akhlak
3.
Ulama akhlak mengartikan ibadah adalah:
ِ ِ ََْ َ َ ِ ِ َّش َ ِ ْ َ َ َِ ِ َ ْ ِ َ ِ ِ َّشل “mengerjakan segala taat badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum)”. Dalam arti ini termasuk akhlak (budi pekerti) dan masuk pula segala tugas hidup (kewajiban- kewajiban yang diwajibkan atas seseorang pribadi), baik mengenai diri sendiri, maupun mengenai keluarga dan masyarakat bersama.
4
Ta’rif Menurut Fuqaha
4.
Dalam pengertian fuqaha, ibadah itu ialah segala taat yang semata- mata karena mencari keridhaan Allah dan tidak pula nyata kemuslihatannya yang terang, mereka namai ibadah.
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. cit., hlm. 2-3.
23
Pada hakikatnya, ibadah itu mensyukuri nikmat Allah. Atas dasar inilah, tidak diharuskan kita baik oleh syara’, maupun oleh akal untuk beribadah kepada selain Allah. Karena Allah sendiri yang berhak menerimanya, lantaran Allah sendiri yang memberikan nikmat yang paling besar kepada kita. 5 Jadi ibadah yang sebenarnya kepada Allah ialah mengikuti hukum dan aturanaturan Allah dan menjalankan hidup yang sesuai dengan perintah- perintahNya sejak dari usia aqil- baligh hingga meninggal dunia. 6 Istilah aqiqah berasal dari bahasa Arab al- aqiqah waal uqoqu yang berarti kilat yang dapat disaksikan di tengah- tengah gumpalan awan, sebagaimana kilatan yang ditimbulkan oleh sebuah pedang terhunus. Pengertian lain adalah rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak dalam perut ibu hingga tampak pada saat dilahirkan. Pengertian kedua inilah yang menurut Zamakhsyari merupakan makna asal aqiqah. Adapun makna yang umumnya digunakan ulama merupakan makna musytaqqah, dari makna asal “rambut bayi” tersebut. 7 Aqiqah berasal dari kata dasar „uquq, memiliki beberapa arti yaitu permata akik, putus, durhaka (kebalikan dari berbakti), dan juga berarti rambut yang tumbuh pada kepala bayi yang baru lahir. Dalam konteks hukum Islam makna terakhir ini yang terpakai, yakni rambut bayi yang baru lahir dicukur disertai dengan penyembelihan kambing untuknya. Oleh karenanya, sebutan aqiqah dikaitkan dengan perayaan kelahiran bayi (walimah al-maulid) sebagai tanda syukur kepada Allah. 8
5
Ibid., hlm. 4.
6
Abul A’la Maududi, op. cit., hlm. 113.
7
Sri Suhandjati Sukri, Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Yogyakarta: Gama Media, 2002),hlm.
8
Muhammad Solikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa (Jakarta: Narasi, 2010), hlm. 139.
95- 96.
24
Bagi masyarakat Arab awal Islam, aqiqah dapat dipandang sebagai bentuk “solidaritas bersama” di mana kelahiran anak laki-laki dirayakan dengan membagikan daging sembelihan kepada orang lain dalam rangka berbagi rasa suka cita. Namun, muatan ibadah dalam aqiqahpun cukup jelas, seperti adanya sedekah dengan perak seberat rambut si bayi dan juga pengutamaan pembagian daging itu kepada fakir miskin, sebagaimana dikatakan oleh Taqi al- Din al- Husain.9 Aqiqah merupakan tuntunan bagi keluarga yang mendapatkan anak dalam rangka bersyukur mendapat nikmat Allah yang berupa keturunan di mana setiap manusia itu mempunyai kecenderungan menginginkan keturunan. 10 Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk anak yang baru lahir. Pengarang kitab Mukhtar Ash Shihhah mengatakan: “Al-„aqiqah” atau “Al-„Iqqah” adalah rambut makhluk yang baru dilahirkan, baik manusia atau binatang. Dinamai pula dari padanya binatang yang disembelih untuk anak yang baru lahir pada hari keseminggunya. 11 Dari beberapa definisi di atas makna aqiqah dapat disederhanakan sebagai berikut: Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan merayakan kelahiran anak dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari ketujuh, lalu dagingnya disedekahkan kepada fakir miskin bersamaan dengan mencukur rambut kepala anak serta memberikan nama anak. Jadi pengertian ibadah aqiqah yaitu melaksanakan perintah Allah sebagai bentuk ketaatan dan ungkapan rasa syukur dengan menyembelih binatang (kambing)
9
Sri Suhandjati Sukri, op. cit,. hlm. 106.
10
Tim Majelis Trjih dan Tjdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jwab Agama 2 (Yogyakarta:
Surya Sarana Utama, 2003), hlm. 233. 11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, 13, 14 ( Bandung: PT. al- Ma’arif, 1987), hlm 167.
25
pada hari ketujuh kelahiran anak bersamaan dengan mencukur rambut dan pemberian nama bagi anak itu.
B. Hukum Ibadah Aqiqah Para ahli hukum Islam berbeda pendapat mengenai hukum aqiqah, yaitu: 1.
Hukum Wajib Menurut Imam Abu Dauwud, Syaikh Hasan al-Bashri, Imam Abu al-La’its, dan lain- lain hukum aqiqah adalah wajib. 12 Argument mereka didasarkan pada hadits berikut:
ِِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ْ لُ َ ُ ُ ْ َ ُ ِ َ َْي َ لو ُ ْ َ ُ َْنوُ ََي:َ َ َ َ َ َا َ ُ ْ ُا ا َ َ ا ََْو:َ ْ َََُ َ َا ) َ ُُْيَ ُق َأْ ُ وُ ( ه رت ي, َ ُ َ َّش, ِ ِ ّ َّش “dari Samurah, sesungguhnya Rasullullah SAW telah bersabda: setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya” (HR. Thurmudhi). 13 Berdasarkan hadits tersebut, dijelaskan bahwa anak lahir adalah sesuatu yang digadai, dan penebusan gadaian itu hanya dengan aqiqah, tidak bisa dengan yang lain. Oleh karenanya, jika orang tuanya menghendaki untuk memiliki barang gadaian dalam bentuk anak ini, ia harus mengaqiqahi anaknya.14
12
M. Solikhin, op. cit,. hlm. 142.
13
M. Isa bin Surah At- Tirmidzi, Terjemah Sunan At- Tirmidzi Juz III (Semarang: Adhi
Grafika, 1992), hlm. 85. 14
M. Solikhin, op. cit., hlm. 142 .
26
2.
Sunnah Mu’akkad Menurut Jumhur al-Fuqaha’, hukum aqiqah adalah sunnah, dan seabagian menyatakan sebagai sunnah yang dianjurkan (sunnah mu‟akaddah). Diantara mereka adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, Imam Abu Tsur dan ulama ahli Madinah.15 Menurut Syafi’iyyah asal, hukum aqiqah ini disandarkan pada hadits Samrah bin Jundab berikut:
َ َ ْلُ َ ِ َ ِ َْي َ ٌ فَأ َْى َِْي ُ ْ َْنوُ َ ً ََِ ْ ُْ َْنوُ ْأل َذى “setiap bayi yang lahir disyariatkan baginya aqiqah, maka hendaklah kalian menyembelih kambing dan memotong rambut bayi itu (untuk aqiqahnya)”.16 3.
Bukan Fardu dan Bukan Sunnah Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa hukum aqiqah bukan fardhu dan juga bukan sunnah (tidak ada hukumnya). Beliau menyandarkan pendapatnya dengan pernyataan sebuah hadits dari Abu Daud yang menyatakan ketika Rasulullah ditanya tentang Aqiqah, beliau menjawab:
ِ ِ ِ ِ ْ َ َ ْ ُ َ َوُ َ َ ٌ فَأَ َ َّش أَ ْا ََيْن ُ َ َْنوُ فََيََْي ْف:َُ ُّم ْ ُ ُ ْ َ َ أََّشوُ َ َه ْ ْ َ َ َ َا “Aku tidak suka uquq”. Seakan- akan beliau tidak menyukai penamaan demikian, lalu beliau bersabda, “barangsiapa yang anaknya lahir, lalu dia ingin menyembelih untuk anak itu, maka hendaklah dia melakukannya”17
15
16
Ibid., hlm. 143 . Abu Abdullah bin Ismail Al- Bukhari, Ensiklopedia Hadits Shahih Al- Bukhari 2 (Jakarta: al-
Mahira, 2012), hlm. 423. 17
Al- Imam Al- Hafiz Ibnu Hajar Al- Asqalani, Fathul Baari 27: Penjelasan Kitab Shahih Al- Bukhari,
alih bahasa Amiruddin (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 8.
27
Hadits tersebut menjelaskan bahwa jika tidak diaqiqahi dikhawatirkan anak akan durhaka kepada orang tua, dan orang tua tidak memiliki hak sepenuhnya untuk menuntut kedurhakaan itu dihadapan Allah. Maka ketika Rsulullah ditanyya tentang aqiqah, beliau menjawab tidak suka kedurkaan, maksudnya adalah “laksanakanlah aqiqah, sehingga orang tua akan memiliki hak menuntut jika anak durhaka. 18
C. Waktu Pelaksanaan Ibadah Aqiqah Aqiqah ini batas waktu maksimalnya tidak ditentukan, walaupun yang paling disukai adalah hari ketujuh kelahiran. 19 Penyembelihan aqiqah sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh sejak kelahiran si anak, bersamaan dengan memberinya nama, serta mencukur rambutnya, dan menyedekahkan seharga emas atau perak sesuai dengan berat rambutnya itu.20 Sebagaimana dalam hadits Nabi yang diirwayatkan oleh at- Tirmidzi di atas, dijelaskan bahwa setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya. Para ulama fiqih menentukan batas waktu dari sejak hari kelahiran sampai masa habisnya nifas sang ibu, yakni 60 hari, dan setelah waktu itu keharusan orang tua mengakikahi anaknya menjadi gugur. Akan tetapi menurut ulama Syafi’iyah, masih terdapat kelonggaran melakukan aqiqah tersebut. Mulai bayi dilahirkan sampai usia akil balighnya. Dikaitkan dengan aqiqah yang dilakukan Rasulullah atas dirinya sendiri, maka sebenarnya ketika anak sudah sampai usia akil baligh, yang gugur bukan kesunnahan
18
M. Solikhin, op. cit., hlm. 143.
19
Ibid., hlm. 146.
20
M. Bagir Al- Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al- Qur‟an, As- Sunnah, dan Pendapat para Ulama,
(Bandung: Mizan, 1999), hlm. 453- 454.
28
aqiqahnya. Yang gugur hanyalah keharusan orang tua mengaqiqahi anaknya, karena kondisi yag tidak mampu. Oleh karena itu sebaiknya seorang anak melakukan aqiqah atas dirinya sendiri mewakili orang tuanya tersebut. Dalam konteks hukum fiqih, pelaksanaan suatu perbuatan memiliki dua konteks waktu, yakni watu ada‟ dan waktu qadha‟. Waktu ada‟ adalah waktu yang tepat atau dilaksanakan tepat pada waktunya. Dalam hal aqiqah, maka waktu ada‟ adalah sejak kelahiran bayi sampai maksimal 60 hari (batas maksimal masa nifas ibunya). Namun waktu afdhal adalah sampai hari ketujuh, ketika dsertai dengan peresmian nama dan pencukuran rambut kepala. Sedangkan waktu qadha‟ adalah pelaksanaan suatu kewajiban atau kesunahan pada waktu lain (ditunda atau tertunda) karena adanya alasan syar’i. Dikemukakan oleh Imam al-Rafi’i dan para ulama Syafi’iyah bahwa
pelaksanaan aqiqah setelah hari
ketujuh adalah pelasanaan qadha‟. Secara sistematis, para ulama madzhab Syafi’iyah kemudian membuat strata kemampuan pelaksanaan aqiqah, dengan urutan sebagai berikut: 1. Jika pada hari pertama sampai hari ketujuh sudah mampu, maka sebaiknya segera dilaksanakan. Namun, jika sampai hari ketujuh belum mampu, maka boleh dilaksanakan sampai masa nifas ibu selesai, yakni dalam masa 60 hari. 2. Jika sampai masa nifas sang ibu selesai dan belum mampu melaksanakan aqiqah, maka aqiqah boleh dilaksanakan hingga berakhirnya masa menyusui (al-radha‟ah), yakni usia 2 tahun, sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah: 233. 3. Jika sampai pada masa menyusui belum mampu melaksanakan juga, maka dianjurkan agar aqiqah dilaksanakan hingga anak berusia tujuh tahun.21
21
M. Solikhin,. Opcit,. hlm. 147- 148.
29
4. Jika sampai usia tujuh tahun terlewati dan belum mampu melaksanakan aqiqah, maka dipersilahkan aqiqah samapai anak Sebelum berusia akil baligh. 5. Jika sampai usia akil baligh, dan orangtuanya belum mampu melaksanakan aqiqah terhadap anaknya, maka anak dipersilahkan untuk melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri. 22
D. Jenis, Jumlah dan Syarat Hewan untuk Aqiqah a. Jenis Hewan untuk Aaqiqah Sebagaiman halnya binatang yang digunakan dalam kurban, binatang untuk kepentingan aqiqah bisa memilih diantara empat jenis binatang, yakni kambing, sapi, domba, dan unta. Perbedaanya, jika dalam berkurban boleh ada persekutuan atau penggabungan, maka dalam aqiqah tidak boleh ada penggabungan. Jadi jika dalam satu keluarga ada dua anak yang lahir, maka tetap dihitung dua, dan kedua anak tersebut sunnah diaqiqahi. Jenis domba jelas pernah dipergunakan oleh Rasulullah ketika mengaqiqahi Hasan dan Husain serta beliau sendiri, sebagimana dalam hadits riwayat Abu Dawud. Namun yang paling banyak disinggung adalah kambing, sehingga kebanyakan ulama fiqih menyatakan bahwa kambing lebih afdhal dibanding dengan binatang lain. 23 Adapun sapi dan unta tidak pernah disinggung oleh Rasulullah, namun jika diqiyaskan dengan qurban, maka sapi, kerbau, dan unta boleh juga digunakan sebagai hewan aqiqah. Bahkan bagi kaum berada, tentu akan lebih utama jika hewan yang disembelih untuk aqiqah anak- anaknya memiliki nilai manfaat yang lebih luas dan besar bagi masyarakat, sehingga tentu sapi dan sejenisnya akan lebih utama bagi
22
Ibid,. hlm. 147- 148.
23
Ibid., hlm. 150.
30
mereka. Oleh karenanya, para ulama Syafi’iyah mengemukakan, bagi kaum berada sesungguhnya unta dan sapi lebih afdhal daripada kambing. 24 b. Jumlah Hewan untuk Aqiqah Jumlah hewan aqiqah adalah dua ekor kambing untuk satu anak laki-laki, dan satu ekor kambing untuk satu anak perempuan. 25 Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh At- Tirmidzi berikut:
ً َ َ ِ ْجلَ َِِ َ ِ َ ٌ َ َ ُ ُّمُ ْ ذُ ْ َ ً ُ َّش أَ ْ إَِ ث,َ ِ ْ لُ َ ِ َا َ ِا “Untuk anak laki-laki itu dua ekor kambing, dan untuk anak perempuan itu seekor kambing. Tidak ada masalah bagimu apakah kambing itu jantan atau betina”.(HR. Tirmidzi)26 Untuk yang kurang mampu, untuk anak laki-laki bisa hanya satu, kaena Rasulullah sewaktu mangakikahi Hasan dan Husein, menurut salah satu riwayat, masing- masing hanya satu ekor domba (kambing kibas). Hal tersebut disandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud berikut:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ُ َ ْ ْ ِ ََّش ٍا َ َّشا َ ُ ْ َا ا َ َ ا ََْو َ َ َّش َ َ َّشق َ ِ ْ َْ َ ِ َ ْ ُ َ ْ َ َ اُ َْنَي . َ ْ ًل “Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah SAW mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain bin Ali masing- masing seekor domba (kambing kibas). (HR: Abu Daud) 24
M. Solikhin, op. cit., hlm. 150.
25
Ibid., hlm. 149.
26
27
M. Isa bin Surah At- Tirmidzi, op.cit., hlm. 78. Imam Abu Dawud Sulaiman bin Al- Asy’ats As- Sajastani, Sunan Abu Dawud Juz II (Beirut: Dzar
Al- Kutab al- Ilmiah, 1996), hlm. 313.
31
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud tersebut, dapat dijadikan wacana dalam pelaksanaan ibadah aqiqah jika dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi. 28 Sehingga orang tua bisa mengaqiqahkan anak laki-lakinya dengan satu ekor kambing atau domba. c. Syarat Hewan untuk Aqiqah Adapun persyaratan kesempurnaan tubuh serta usia hewan yang dijadikan aqiqah, sama seperti persyaratan dalam udhiyah.29 Tabel 1 Syarat Hewan untuk Aqiqah30 No
Jenis Hewan
Usia
Persyaratan
1.
Kambing
Minimal 2 tahun
1.
Sehat dan gemuk.
2.
Domba
Minimal 1 tahun
2.
Tidak rusak mata,
(sudah ganti gigi
tidak sakit, tidak pncang.
3.
Sapi atau Kerbau
Minimal 2 tahun
4.
Unta
Minimal 5 tahun
3.
Sebaiknya jantan yang bertanduk. Kalau bisa yang putih warna bulunya.
28
Sri Suhandjati Sukri, op. cit., hlm. 107
29
M. Bagir Al- Habsyi, op. cit., hlm. 454
30
M. Solikhin, op. cit., hlm. 151
32
E. Tata Cara Pelaksanaan Ibadah Aqiqah 1.
Penyembelihan Hewan Aqiqah Ketika dilaksanakan penyembelihan hewan aqiqah, terdapat berbagai hal yang harus dilaksanakan, yaitu: a. Alat penyembelihan hendaknya dipertajam (diasah) terlebih dahulu. b. Menutupi tubuh dan binatang yang disembelih dengan kain atau dengan daun yang lebar. c. Tidak memperlihatkan penyembelihan kepada hewan yang lain. d. Binatang aqiqah yang disembelih dihadapkan ke arah kiblat (dengan menempatkan lambung kiri di sebelah bawah). e. Orang yang menyembelih juga menghadap ke arah kiblat. f. Ketika menyembelih mwmbaca basmalah (dan takbir) dan do’a:
ِ ِْن/ ِ...ُ َ ِ ِ اِ َ ّ َّش ى َ ِ ْن َ إَِ َ ِ َي. ا َ ْ َي. ِ ِ ِ ِ اِ َّشَّش ْ ِ َّش ت َ َْ ْ َ َ ُ ْ ْ َْ ُ ْ ْ g. Membaca shalawat dan salam kepada Nabi. h. Kemudian membaca do’a. i. Binatang berleher pendek, seperti sapi, kambing dipotong pada bagian tengah lehernya. Sedang binatang leher panjang seperti unta, dipotong pada bagian pangkal leher (terdekat dengan tubuh). j. Kedua kaki kiri dan bagian kepala binatang diikat dengan kuat- kuat, sedangkan kaki kanannya diikat tidak terlalu kuat untuk memberikan ruang gerak pada hewan. k. Memotong kedua urat besar pada bagian kiri- kanan leher binatang hingga putus.31 31
Ibid., hlm. 151- 152.
33
2.
Mencukur Rambut Kepala Bayi Upacara aqiqah biasanya bersamaan dengan upacara cukuran rambut dan pemberian (peresmian) nama anak yang diberikan oleh orang tuanya. 32 Disunnahkan mencukur rambut bayi yang baru dilahirkan itu adalah pada hari ketujuh, kemudian menyedekahkan perak/ emas sesuai dengan timbangan rambut yang dicukur tadi. Menurut Nasikh Ulwan, mengutip pendapat Ibnu al-Qayyim, menyebutkan bahwa cukuran rambut anak yang baru dilahirkan mengandung dua hikmah. Pertama, hikmah higienis, karena mencukur rambut akan memperkuat anak itu, membuka selaput kulit kepala, dan mempertajam indra penglihatan, penciuman dan pendengaran. Kedua, merupakan hikmah sosial, karena bersedekah dengan perak sebanyak berat timbangan rambut kepala. Selanjutnya, para ahli lain juga mengatakan bahwa mencukur rambut bayi paling tidak memiliki dua kegunaan utama, pertama, untuk kebersihan dan kesehatan, diantaranya dengan membuang atau mencukur rambut anak yang baru dilahirkan akan terbuka semua lubang rambutnya yang mungkin akan mengukuhkan panca indera penglihatan, pernapasan, dan pendengaran. Kedua, manfaat bagi kemasyarakatan, dapat bersedekah dengan emas seberat timbangan rambutnya yang dipotong itu. 33
3.
Memberi Nama kepada Bayi Salah satu kebaikan oranng tua terhadap anaknya yang baru lahir adalah memberikan nama yang baik. Maka seharusnya orang tua muslim memberikan nama yang baik kepada anak- anaknya. Berilah nama yang baik dengan memiliki
32
Mahmud, dkk, Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga (Jakarta: Akademia Permata, 2013), hlm.
33
Ibid., hlm. 103- 104.
103.
34
kandungan arti yang baik pula, agar dengan nama iyu anak merasa terdidik olehnya. Terdorog untuk berbuat baik dan terdorong pula untuk menjauhi perbuatanperbuatan yang tidak baik.34 Bagi umat Islam, nama bukan hanya sebagai alat untuk membedakan orang yang satu dengan yang lainnya untuk memudahkan orang yang memanggil. Akan tetapi nama yang diberikan memberikan pengaruh yang amat besar bagi oarnag yang diberi nama itu. Dan ternyata nama akan bersangkutan dengan harga diri seseorang. Nama yang baik akan membawa harkat dan martabat yang bersangkutan menjadi baik. Dan sebaliknya nama yang jelek akan membuat yang bersangkutan merasa rendah diri, tidak percaya diri dalam pergaulan. 35 Adapun cara- cara memberikan nama yang baik, antara lain: a) Menggunakan kata- kata yang memiliki arti baik. b) Mencontoh nama- nama nabi. c) Mengidhafahkan (merangkaikan) sebuah kata yang berarti pengabdian (abdun) atau kata lain dengan nama- nama Allah. 36 4.
Penanganan dan Pembagian Daging Aqiqah Dalam hal penanganan dan pembagian daging aqiqah, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan karena terkait sunnah Rasulullah. 1) Tidak memecahkan tulang- tulangnya. Konteks penyembelihan hewan aqiqah itu, makruh hukumnya memecah tulang hewan aqiqah, apalagi memotong- motong semua tulang dari sendinya. Hal itu sebagai komitmen sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah SAW
34
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 172. Mahmud, dkk,. O.p.cit,. hlm. 105 36 Mansur, op.cit., hlm. 172. 35
35
dan sebagai pentuk optimisme (harapan) akan keselamatan seluruh anggota badan bayi dimasa mendatang. 37 2) Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin. Dalam standar fiqih Islam, daging binatang udhiyyah boleh dimakan pemiliknya sampai tiga hari sekalipun (Shahih Bukhari), sambil untuk diberikan kepada fakir miskin di sekitarnya, semakin banyak fakir miskin yang memperoleh, maka akan semakin baik (Shahih Bukhari). Nabi mombolehkan sebagian dimakan sendiri, sebagian dibagi- bagikan, dan sebagian disimpan untuk persediaan bagi orang yang meminta atau tamu. Maka dalam hal memakan daging aqiqah, Rasulullah memberikan batas tidak boleh melebihi ukuran sepertiga dari daging sembelihannya. 38 Selain itu dilarang menjual sebagian daging atau kulitnya, dan menjadi wajib disedekahkan seluruhnya jika hal itu dinazarkan (yakni tidak boleh ikut memakannya). 39 3) Daging dibagikan setelah dimasak. Dalam penyajiannya, Rasulullah memberikan anjuran, sebagai simpul pelayanan sosial secara utuh (dalam hal keikhlasannya), maka penyajiannya diutamakan dalam bentuk daging yang telah diolah atau dimasak. Namun distribusinya tetap mengutamakan pelayanan kepada fakir miskin.
40
Sebagaimana yang dikutip oleh M. Solikhin, menurut Imam Taqi ad-Din dalam kitabnya “Kaifat al- akhyar” mengemukakan dua pendapat terkait dengan distribusi daging aqiqah: 1) menurut Imam al- Rafi, daging aqiqah yang 37
Hanan Athiyah Ath- Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak- Kanak (Jakarta: Amzah,
2007), hlm. 11-12. 38
M. Solikhin, op. cit., hlm. 163.
39
Ibid., hlm. 156.
40
Ibid., hlm. 163.
36
sudah dimasak lebih utama jika dikirimkan langsung ke rumah fakir miskin, tanpa harus mengundang mereka dalam acara walimahan. 2) sedang menuruut al- Syafi’i tidak mengapa kalaupun harus mengundang fakir miskin dalam acara walimahan. 41
F. Hikmah Ibadah Aqiqah Aspek kemaslahatan atau manfaat aqiqah antara lain: 1. Mempublikasikan nasab anak dengan cara santun. 2. Mengikuti dorongan kedermawanan dan menepis dorongan kekikiran. 3. Mendekatkan diri bayi kepada Allah SWT sesaat setelah kelahirannya di dunia, dan hal itu sangat bermanfaat bagi bayi. 4. Memecah ketergadaian bayi dari jeratan setan yang terus membayanginya sejak ia lahir di dunia.
42
karena aqiqah berfungsi sebagai tebusan barang gadaian yang
menandai pelaksanaan amanat sebagai orang tua. 5. Sebagai i’tikad jihad fisabilillah dengan simbol darah dan daging, suatu keinginan kuat orang tua terhadap anak dalam bentuk kepasrahan orang tua terhadap anaknya, untuk menjadi pembela Islam yang tangguh, atau menjadikan anaknya sebagai pemuka bagi orang- orang yang bertaqwa. 6. Sebagi proses tarbiyah (pendidikan dan pembelajaran) pada si anak. 7. Menjadi sarana pengokoh tali silaturrahmi dan persaudaraan, wujud kecintaan di antara warga masyarakat dengan berkumpul di suatu tempat dalam menyambut kehadiran hamba Allah yang baru.43
41
Ibid., hlm. 157.
42
Hanan Athiyah Ath- Thur,. op.cit,. hlm. 12.
43
M. Solikhin, op. cit., hlm. 161- 163.
37
Menurut Nasikh Ulwan sebagaimana yang dikutip oleh Mansur, Pelaksanna aqiqah, yang sesuai dengan tuntunan Islam tentu memiliki banyak hikmah, yaitu sebagai berikut: 1. Merupakan suatu korban yang akan mendekatkan anak kepada Allah pada awal menghirup udara kehidupan. 2. Merupakan suatu pengorbanan bagi anak dari musibah dan kehancuran, sebagaimana Allah telah mengorbankan Ismail a.s. dengan penyembelihan yang besar. 3. Merupakan bayaran hutang anak untuk memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya. 4. Meruapakan luapan rasa gembira dengan lahirnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah pada hari kiamat. 5. Akan memperkuat ikatan tali cita diantara anggota masyarakat, sebab mereka berkumpul di meja- meja makan dengan penuh kegembiraan, emnyambut kedatangan anak yang baru. 6. Memberikan sumber jaminan sosial yang baru, merupakan dasar- dasar keadilan sosial, dan menghapus gejala kemiskinan di masyarakat.44
44
Mahmud,. Opcit,.hlm. 103
38