16
BAB II IBADAH AQIQAH A. Pengertian Ibadah Aqiqah Dari segi bahasa ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan1, sedangkan dari segi istilah ibadah adalah semacam kepatuhan yang sampai pada batas penghabisan, yang bergerak dari perasaan hati untuk mengagungkan kepada yang disembah2. Menurut ahli fiqih ibadah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat3. Majlis Tarjih
Muhammadiyah
memberikan
definisi
tentang
ibadah
adalah
bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diizinkan-Nya4. Dari tiga definisi tersebut, jelaslah bahwa ibadah adalah segala kegiatan yang semata-mata dikerjakan berdasarkan pada memperhambakan diri kepada Allah SWT. Aqiqah berasal dari bahasa Arab dari fiil madhi
yaitu mashdar (kata benda)
dengan fiil mudhore’
yang berarti
“mengaqiqahkan anak atau menyembelih kambing aqiqah”5. Menurut bahasa aqiqah artinya memotong atau memisahkan, misalnya kata “Uquq AlWalidaini” artinya durhaka kepada kedua orang tua, karena ia memutuskan hubungan baik kepada keduanya6. 1
Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah dalam Islam, (tt.p. Central Media, tt), hlm. 29. Ibid., hlm. 33. 3 Hasby Ash-shiddieqy, Kuliah Ibadah (Ibadah ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah), (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), Cet. 5, hlm. 4. 4 Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Semarang: Al-Ma’arif, 1971), hlm. 47. 2
5
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran Al-Qur’an, 1973), hlm. 273. 6
Muhammad Zuhdi Zaeni, Merayakan kelahiran Bayi, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), hlm. 8.
17
Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis ialah rambut kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya7. Adapun untuk mengetahui makna aqiqah secara istilah syara’, penulis petikkan beberapa pendapat ulama berikut; 1. Menurut Sayyid Sabiq, Aqiqah adalah sembelihan yang disembelih untuk anak yang baru lahir8. 2. Menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Aqiqah adalah nama sesuatu yang disembelihkan pada hari ketujuh, yakni hari mencukur rambut kepalanya yang disebut Aqiqah dengan menyebut sesuatu yang ada hubunganya dengan nama tersebut9. 3. Menurut jumhur ulama mengartikan bahwa aqiqah yaitu menyembelih hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya seorang anak baik laki-laki maupun perempuan10. 4. Menurut Drs. R. Abdul Aziz dalam bukunya Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, mengatakan bahwa aqiqah adalah menyembelih kambing untuk menyelamati bayi yang baru lahir dan sekaligus memberikannya sebagai sedekah kepada fakir miskin11. 5. Menurut Abdullah Nashih Ulwan, aqiqah berarti menyembelih kambing untuk anak pada hari ketujuh kelahirannya.12 Selain definisi-definisi tersebut Rasulullah SAW juga menjelaskan pengertian aqiqah dalam sabdanya:
7
M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), (Jakarta: Pustaka Amani, 2001) hlm. 4. 8 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm. 151. 9 Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang Shaleh), Bagian Kedua, Penerjemah KH. Syaifuddin Anwar dan KH. Misbah Mustafa,(Surabaya: Bina Iman, tt.), hlm. 505 10 Mujahid A.K, Materi Pokok Fiqih II, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam dan Universitas Terbuka, 2000), hlm. 409. 11 R.S. Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, direvisi Moh. Rifa’i, (Semarang: CV. Wicaksana, 1990), hlm. 87. 12 Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 71.
18
( )*+,- ./01" 13
?=7- (1">"'<
!"# $ !"% & ' 96:' ;
8# 3 82)31".& 4 5)67
Dari Samurah, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Setiap bayi tergadai pada aqiqahnya, yang disembelih pada hari ketujuh, dan pada hari itu diberi nama dan dicukurlah rambutnya”. (HR. Turmudhi). Hadist ini mengisyaratkan sebuah pengertian aqiqah secara jelas, yaitu binatang yang disembelih sebagai tebusan bagi tergadainya kesejatian hubungan batin antara orang tua dengan anak. Dan penyembelihannya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran anak bersamaan dengan mencukur rambut kepalanya serta memberikan nama baginya. Dari beberapa definisi di atas makna aqiqah dapat disederhanakan sebagai berikut: Aqiqah adalah suatu rangkaian kegiatan merayakan kelahiran anak dengan menyembelih binatang yang dilakukan pada hari ketujuh, lalu dagingnya disedekahkan pada fakir miskin bersamaan dengan mencukur rambut kepala anak serta memberikan nama anak. Dengan demikian apabila dilihat dari kegiatannya, aqiqah meliputi tiga kegiatan yaitu: a. Mencukur rambut kepala anak b. Memberi nama anak c. Menyembelih binatang (kambing, domba, sapi atau unta) yang kemudian dinamakan binatang aqiqah. Jadi pengertian ibadah aqiqah yaitu melaksanakan perintah Allah SWT berupa menyembelih binatang pada hari ketujuh kelahiran anak bersamaan dengan mencukur rambut kepalanya dan memberi nama baginya.
Kamal Yusuf al-Hauti, Al-Jami al-Sahih (Sunan al-Turmudzi), Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt.), hlm. 85. 13
19
B. Hukum Aqiqah Ulama berbeda pendapat tentang status hukum aqiqah. Menurut Daud Adz-Dzahiri dan pengikutnya aqiqah hukumnya wajib, sedangkan menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah. Imam Abu Hanifah menetapkan bahwa hukum aqiqah adalah ibahah artinya tidak wajib dan tidak sunnah14. Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam bukunya Minhajul Muslim, mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad bagi orang yang mampu melaksanakannya, yaitu bagi orang tua anak yang dilahirkan15. Perbedaan itu terjadi karena berbeda dalam menginterpretasikan makna dan maksud hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Samurah yang tersebut di atas. Menurut Imam Ahmad maksud dari kata-kata; “anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya”, dalam hadist tersebut ialah bahwa pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan, jika ibu bapaknya tidak melaksanakan aqiqah baginya. Pendapat tersebut juga diikuti Al-Khattabi dan didukung oleh Ibn Qoyyim. Bahkan Ibn Qoyyim menegaskan, bahwa aqiqah itu berfungsi untuk melepaskan anak yang bersangkutan dari godaan syetan16. Selanjutnya kata “Murtahanun” ditafsirkan bahwa aqiqah adalah suatu kebiasaan yang harus dilaksanakan seperti keharusan seseorang menebus barang yang digadaikan. Pendapat ini menguatkan aliran Daud Adz-Zahiri yang mengatakan bahwa aqiqah itu wajib17. Dalam kitab-kitab fiqh Syafi’i selalu dinyatakan bahwa hukum aqiqah adalah mustahab (sunnah)18. Maksudnya bagi orang tua muslim, khususnya
14
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid VI, Alih Bahasa A. Hanafi M.A., (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 118. 15 Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Pola Hidup Muslim: Thaharah, Ibadah dan Akhlak (Minhajul Muslim),Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), Cet. I, hlm. 79. 16 Ahmad Ma’ruf Asrari, Suheri Ismail, Khitan dan Akikah: Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani, (Surabaya: Al-Miftah, 1998), Cet. 2, hlm. 51. 17 M. Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 11. 18 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Keshalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya),Op.Cit., hlm. 6.
20
bagi yang mampu, bahwa mengaqiqahkan anak adalah perbuatan yang sangat disukai oleh Allah SWT dan sangat baik, yang hal ini juga membuktikan rasa cinta kasih mereka terhadap anak-anaknya. Dan dengan mengaqiqahkan anak-anaknya ini, mereka akan mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT. Menurut Imam Malik aqiqah adalah suatu sunnah yang disyari’atkan19. Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah dalam bukunya “Fiqih Wanita” yang diterjemahkan M. Abdul Ghoffar E.M. mengatakan bahwa hukum aqiqah merupakan ibadah sunnah muakkad bagi mereka yang mampu. Hukum yang berlaku pada aqiqah ini adalah sama seperti hukum yang berlaku pada binatang qurban, tetapi dalam aqiqah tidak diperbolehkan adanya kebersamaan (satu kambing untuk beberapa anak)20. Dasar hukum aqiqah Dasar hukum disyari’atkannya aqiqah adalah adanya beberapa hadist yang menerangkan tentang aqiqah. Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan dari sahabat Samurah yang telah diterangkan di muka. Hadist tersebut merupakan hadits yang paling shahih yang menerangkan tentang aqiqah karena diriwayatkan oleh lima ahli hadist, yaitu Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud dan Imam At Turmudzi. Sehingga sangat wajar jika hal ini akhirnya dijadikan dasar hukum bagi kesunnahan aqiqah.21 Selain hadist yang diriwayatkan Samurah ada pula dua hadist yang menggunakan kalimat perintah beraqiqah, kedua hadist tersebut yaitu: a. Hadist yang diriwayatkan dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
19
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Fiqih Islam Tnijauan antar Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 195. 20 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Terjemah M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka al-Kaustar, 2002), Cet. X , hlm. 481. 21 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Anak Khitan dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 8
21
2-
! E $ !"%& ' 22
8BCD1"@-
)A 6
" 4 "&%L -" - 4 "&% FGH ?M "M&)">"' < I"JK6
./061"
Dari Salman Bin Amir Adh-Dhabi berkata: “Rasulullah SAW bersabda: Bersamaan dengan anak terdapat hak untuk diaqiqahi maka tumpahkanlah darah untuknya (dengan menyembelih binatang aqiqah) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur rambut kepalanya). (HR. Abu Dawud) b. Hadits Aisyah r.a. (istri rasulullah SAW) yang menyatakan:
6A" F -: N 23
! E $ !" & 'A" +,CO: PQ
?=7- (1">"'< HT 'U6 1"
8A (RGS- A ,T ./061"
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orangorang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi) Kedua hadits di atas sama-sama mengandung perintah untuk beraqiqah. Secara sepintas, jika dipahami keduanya dapat menujukkan hukumnya wajib beraqiqah, sebab menurut kaidah ushul fiqh perintah itu menunjukkan adanya hukum yang wajib. Namun
demikian,
perlu
disadari
bahwa
perintah
yang
menunjukkan hukum wajib adalah perintah yang mutlak tanpa adanya qarinah.24 Padahal jika dicermati lebih lanjut, perintah aqiqah dalam hadits di atas mengandung qarinah berupa kemampuan si orang tua, yaitu kemampuan untuk menyediakan dua ekor kambing jika anaknya lak-laki atau seekor jika anaknya perempuan, jika orang tua mampu menyediakan, 22
Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Beirut: Dzar al-Kutub al-Ilmiah, 1996), hlm. 313 23 Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 24 Qarinah artinya tanda, lihat Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 118
22
maka dia harus beraqiqah. Tapi jika dia tidak mampu tidak ada alasan untuk mewajibkannya. Dengan demikian, akan lebih tepat apabila kita katakan bahwa perintah aqiqah dalam hadist di atas bukan menujukkan hukum wajib, tetapi menunjukkan hukum sunnah, atau perintah anjuran bukan perintah mewajibkan. Adanya qarinah dalam perintah aqiqah, nampak lebih jelas jika mempelajari hadist berikut:
! E $ !"%& ' YR
>WX
>"'"8 )"
K6"> \ ]\ 8[&% 61"!"V ; K A (RGS- A ,T ./061"
GZ
8V T ) 61"
8_ 346G 4 _ 34 6A"V ^ G *W1 1W1 25
?M "M&)">"'< `HT 'U6 1"
Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah ditanya tentang aqiqah? Maka beliau bersabda Allah tidak menyukai aqiqah-aqiqah itu, seperti halnya nama yang dimakruhkan, nabi bersabda bagi orang tua yang melahirkan dan ingin memperlihatkan rasa cintanya dengan melakukan ibadah aqiqah, maka beribadahlah (beraqiqahlah) dengan menyembelih dua ekor kambing yang sama-sama cukup umur untuk anak lakilakinya dan seeokor untuk anak perempuan. (HR. Abu Dawud). Dalam hadits tersebut awalnya Rasulullah sekan-akan justru melarang
beraqiqah
tapi
kemudian
pada
kalimat
selanjutnya
menganjurkannya. Dari sini nampak jelas bawah perintah aqiqah mengandung qarinah dan qarinahnya berupa kemampuan ekonomi orang tua. Jika kedua orang tuanya mampu dan ingin merayakan kelahiran anaknya, maka lakukanlah ibadah yang berupa melaksanakan aqiqah. Berdasarkan keterangan di atas, kiranya jelas bahwa hukum mengaqiqahkan anak adalah sunnah dan dianjurkan. Ini menurut 25
Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm.313
23
kebanyakan imam dan ahli fiqh. Maksudnya meskipun Rasulullah SAW tidak menggolongkannya ke dalam perintah yang diwajibkan, namun beliau senantisa melaksanakannya. Tidak pernah mengabaikannya, ataupun hanya beliau lakukan sesekali secara berkala. Bagaimanapun
aqiqah
merupakan
ibadah
sosial
yaitu
menyedekahkan daging binatang kepada orang lain, oleh karena itu hendaklah orang tua melakukannya, jika memang memungkinkan dan mampu menghidupkan sunnah Rasulullah SAW. Sehingga ia menerima keutamaan dan pahala dari Allah SWT. Mengingat hukumnya hanya sunnah, maka tidak akan memberatkan bagi orang tua yang memang benar-benar tidak mampu untuk beraqiqah, karena tanpa mengaqiqahkan anak-anaknya pun mereka tidak akan menerima sanksi siksaan dari Allah SWT. C. Jenis, Jumlah dan Syarat Binatang Aqiqah Berdasarkan keterangan beberapa hadist yang kita pelajari, sepintas telah dapat kita pahami bahwa jenis binatang aqiqah adalah kambing dan jumlah masing-masing dua ekor untuk bayi laki-laki dan seekor untuk bayi perempuan. Namun demikian, agar pemahaman kita lebih jelas, perlulah kiranya kita ketahui lebih jauh tentang jenis, jumlah dan syarat binatang aqiqah dalam pembahasan berikut ini: a. Jenis Binatang Aqiqah Perlu kita ketahui bahwa jenis binatang aqiqah ini tidak luput dari perbedaan pendapat para ulama. Kita maklum adanya perbedaan ini kadang-kadang membingungkan bagi kaum awam, tetapi jika kita sadari lebih jauh, perbedaan itu justru memberikan jalan kemudahan tersendiri, terutama jika kita sadar bahwa pemikiran dan keyakinan kita sendiri pada dasarnya memiliki perbedaan yang sangat komplek. Pada dasarnya aqiqah memiliki banyak kesamaan dengan qurban termasuk di dalamnya kesamaan dalam hal jenis binatangnya. Maka
24
sebagaimana halnya jenis binatang yang digunakan untuk keperluan qurban jenis binatang yang digunakan untuk keperluan aqiqah biasanya memilih di antara empat jenis, yaitu: 1. Kambing Jenis kambing inilah yang banyak disinggung dalam beberapa hadist. Menurut sebagian pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i, beraqiqah menggunakan kambing akan lebih afdhal dibanding dengan binatang yang lain26. 2. Domba Jenis ini pernah dipergunakan oleh baginda Rasulullah SAW, ketika mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain. 3. Sapi Dalam beberapa pengertian tidak ditegaskan bahwa aqiqah harus menggunakan kambing. Namun jika dikiaskan dengan qurban, maka aqiqah pun boleh menggunakan binatang lain semisal sapi. 4. Unta Bagi orang tua yang tergolong berekonomi tinggi, maka disunnahkan untuk menggunakan jenis binatang yang harganya lebih tinggi semisal unta. Demikian itu, jenis-jenis binatang yang dapat dipergunakan untuk keperluan aqiqah. Dengan mengetahui jenis-jenisnya, orang tua dapat memilih jenis binatang mana yang paling sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. b. Jumlah Binatang Aqiqah Tentang jumlah binatang yang ditetapkan untuk pelaksanaan aqiqah ini ada beberapa pendapat: 1. Untuk anak laki-laki disembelih dua ekor kambing dan untuk anak perempuan disembelih satu ekor kambing27. 26
Muhammad Rifa’i, dkk., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: Toha Putra, 1978), hlm. 431. 27 Ramlan Mardjoned, Aqiqah, (Jakarta: Media Dakwah, 2002), hlm. 46.
25
Pendapat ini didasarkan pada hadist Nabi SAW:
6A" F -: N 28
! E $ !" & 'A" +,CO: PQ
?=7- (1">"'< HT 'U6 1"
8A (RGS- A ,T ./061"
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan orangorang agar menyembelih aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan seekor kambing. (HR. Turmudzi) Jumhur ulama berpendapat bahwa anak perempuan diaqiqahi setengah dari anak laki-laki. Maksudnya apabila anak perempuan satu maka untuk anak laki-laki dua. 2. Ada yang boleh mengaqiqahi anak laki-laki dengan satu kambing. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
3;61"
a 29
!" # $ !" & ' A" @b C )"
?M "M&)">"'< c PC\ cPC\ +4 !"Bd' 3;61"
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW mengaqiqahkan cucunya Hasan dan Husain bin Ali masing-masing seekor domba (kambing kibas). (HR. Abu Dawud) Demikian halnya dengan pendapat imam mazdhab yang empat. Di antara mereka juga ada ketidaksamaan jumlah binatang aqiqah. Tiga orang imam yaitu Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambali menyatakan bahwa “aqiqah ialah menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan, dilakukan pada hari yang ketujuh dari kelahirannya”. Sementara imam Malik bin Annas menyatakan baik untuk lelaki maupun perempuan disembelih seekor saja30. 28
Kamal Yusuf al-Hauti, Op.Cit., hlm. 81 Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy’ats As-Sajastani, Op.Cit., hlm. 313 30 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Hukum Fiqh Islam Tinjauan antar Mazhab, Op.Cit., hlm. 195 29
26
Berdasarkan keterangan hadist dan pendapat imam madhab tersebut, maka dapat kita ambil pemahaman bahwa khusus bagi orang tua yang kurang mampu, mereka bisa mengaqiqahkan anak laki-lakinya hanya dengan seekor kambing. Hal ini tidak akan mengurangi nilai aqiqah, asal kita jujur dan tidak berpura-pura tidak mampu. c. Syarat Binatang Aqiqah Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa semua binatang yang disembelih untuk aqiqah sama dengan binatang untuk qurban. Bila untuk qurban binatang itu sah untuk disembelih, hal itu berlaku juga untuk binatang yang disembelih untuk aqiqah. Menurut Malik, aqiqah sama dengan qurban, kita tidak boleh menyembelih untuk aqiqah, binatang yang cacat, kurus, berpenyakit dan yang kakinya patah. Binatang betina sama halnya dengan binatang qurban, boleh juga disembelih31. Mayoritas ulama berpendapat, bahwa usia binatang yang disembelih untuk aqiqah sama dengan usia binatang untuk qurban. Dapat dikatakan bahwa persyaratan binatang untuk aqiqah sama dengan syarat binatang untuk qurban yaitu binatang yang baik, gemuk dan tidak cacat. Prof. Dr. Ramayulis dkk, mengatakan bahwa binatang yang akan diaqiqahkan mempunyai beberapa syarat, yaitu32: a. Hendaknya sembelihan itu tidak cacat. Berdasarkan alasan ini, tidak sah mengorbankan binatang yang buta total, pincang, terpotong telinganya dan sebagainya. b. Hendaknya binatang itu berumur satu tahun atau lebih atau memasuki dua tahun, jika binatang itu biri-biri atau kambing. c. Tidak boleh kooperatif, misalnya tujuh orang bergabung untuk melaksanakan aqiqah. Sebab, jika cara kooperatif itu sah maka tujuan untuk mengaqiqahkan anak itu tidak tercapai. 31
Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddiqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Diedit oleh H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddiqy, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 56. 32 Ramayulis, dkk., Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,(Jakarta: Kalam Mulia,2001) hlm. 125-126.
27
d. Daging-daging yang diaqiqahkan itu hendaklah dibagi-bagikan kepada orang lain, dan diutamakan dibagi-bagikan kepada fakir miskin. e. Dianjurkan agar aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan f. Apa yang sah di dalam qurban adalah sah di dalam aqiqah, ditinjau dari segi maknanya, bersedekahnya dan menghadiahkannya. Persyaratan tersebut sesungguhnya untuk melatih agar senantiasa memakan sesuatu yang terbaik, sesuai dengan firman Allah SWT:
?
C1"< % \ 46e' - f Cgh - "&%%\ "&4-"i 71" +:
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baikbaik yang Kami berikan kepadamu”. (QS. Al-Baqarah: 172).33 Yang dimaksud dengan kata “Thayyib” (baik) adalah
yang baik
menurut penelitian para ahli atau dengan kata lain yang bergizi. Kata “Thayyib” dari segi bahasa berarti sesuatu yang telah mencapai puncak dalam bidangnya34. Dalam ayat di atas, menjelaskan, kepada orang-orang muslim yang beriman untuk memakan rizki yang baik-baik. Maksudnya yang bersih serta halal yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, bukan makanan yang basi, kotor dan sebagainya. D. Waktu Ibadah Aqiqah Jumhur ulama berpendapat bahwa aqiqah itu hanya berlaku bagi anakanak kecil saja berdasarkan hadist yang menyatakan bahwa tiap-tiap anak tergadai pada aqiqahnya yaitu dengan menyembelih binatang aqiqah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya35. Tetapi ada pendapat yang menunjukkan bahwa keterikatan dengan hari ketujuh itu bukan merupakan suatu keharusan, melainkan hanya merupakan
33
Soenarjo, dkk., Op.Cit., hlm. 42. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 287. 35 Proyek Pembinaan Sarana Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, IAIN Jakarta, Ilmu Fiqih, Jilid I, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1983), Cet. II, hlm. 501. 34
28
suatu anjuran. Jika diaqiqahi pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau setelah itu, maka aqiqah itupun telah cukup36. Ada yang mengatakan bahwa menyembelih pada hari ketujuh, hanya merupakan keutamaan, Asy-Syafi’i berpendapat, aqiqah boleh disembelih sebelum atau sesudah hari ketujuh asal anak tersebut belum baligh37. Terdapat
perselisihan
pendapat
para
ulama
menyangkut
hari
menyembelih aqiqah. Namun kita harus berpegang kepada hadist yang shahih mengenai masalah ini, ialah kenyataan bahwa Rasulullah SAW menyembelih aqiqah untuk kedua cucunya pada hari ketujuh kelahirannya. Imam Malik berpendapat, hari kelahirannya tidak dihitung kecuali jika ia lahir malam hari, sebelum terbit fajar. Kelihatannya batasan hari tersebut merupakan anjuran saja. Jika ia disembelih pada hari keempat, kedelapan, kesepuluh atau sesudah itu, maka itu boleh saja. Demikian pula, yang dilihat adalah hari penyembelihannya, bukan hari dimasak dan dimakannya38. Menurut Drs. RS. Abdul Aziz, aqiqah itu waktunya sejak anak itu lahir dan tidak ada batas waktunya. Kalau anak itu telah baligh dan aqiqahnya belum dilakukan, maka sunnah ia sendiri melakukannya39. Dari beberapa pendapaat di atas, maka dapatlah kita pinjam istilah waktu ada’ dan waktu qadha’ dalam sebuah kewajiban. Waktu ada’ adalah waktu yang tepat atau kewajiban yang dilaksanakan tepat pada waktunya. Sedangkan waktu qadha’ adalah kewajiban yang dilaksanakan pada waktu yang lain.40
36
Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Bandung: Asysyifa’, 1990), Cet. II, hlm. 82. 37 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Op.Cit., hlm. 58 . 38 Ibn Qoyyim Al-Jauziyyah, Mengantar Balita Menuju Dewasa, Penerjemah Fauzi Bahreisy, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta , 2002), Cet. 2, hlm. 55-56. 39 R.S. Abdul Aziz, Op.Cit., hlm. 88. 40 M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 20
29
Waktu ada’ Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah seperti yang diterangkan di muka, jelaslah waktu ada’ atau waktu yang tepat untuk mengaqiqahkan anak adalah pada hari ketujuh dari kelahiran anak atau pada saat anak berusia tujuh hari. Yaitu bersamaan dengan acara mencukur rambut kepalanya serta menamainya. Apabila aqiqah bisa dilaksanakan tepat pada hari ketujuh dari kelahiran anak tentu akan lebih baik dan lebih afdhal dan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Waktu qadha’ Istilah qadha’ dalam hal ini menjiplak istilah al-Mawardi, salah seorang ulama dari kalangan mazhab Syafi’i dalam kitabnya Al-Uddah dan Al-Hawi, ia menyatakan: “sesungguhnya aqiqah (yang dilaksanakan) setelah hari ketujuh (dari kelahiran anak) adalah pelaksanaan qadha’41 Pernyataan ini menujukkan bahwa aqiqah boleh dilaksanakan pasca pencukuran dan penamaan anak. Di sisi lain hal itu mengisyaratkan pula bahwa sunnahnya aqiqah tidak akan gugur karena berlalunya hari ketujuh dari waktu kelahiran anak. Pendapat (qaul) Mukhtar, yaitu pendapat terpilih para ulama dari kalangan mazhab Syafi’i menyatakan bahwa waktu aqiqah masih berlaku pasca hari ketujuh kelahiran anak dengan urutan sebagai berikut:42 1. Jika pada hari ketujuh masih belum mampu, maka aqiqah boleh dilaksanakan ketika masa nifas ibu berakhir. 2. Jika sampai masa nifas si ibu bayi berakhir dan belum mampu maka aqiqah boleh dilaksanakan hingga berakhirnya masa menyusui. 3. Jika
masa-masa
menyusui
telah
berakhir
dan
belum
mampu
mengaqiqahkan juga, maka aqiqah dianjurkan agar dilaksanakan hingga anak berusian tujuh tahun.
41 42
Imam Taqiyyudin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Op.Cit., hlm. 506 Ibid.,
30
4. Jika usia tujuh tahun bagi si anak telah terlewati dan belum mampu mengaqiqahkan maka dipersilahkan mengaqiqahkannya sebelum anak dewasa. 5. Jika anak telah berusia dewasa maka gugurlah kesunnahan aqiqah bagi orang tuanya dan dipersilahkan anak untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri. Aqiqah pada dasarnya adalah sebuah kesunnahan yang diberlakukan bagi orang tua atau wali yang menanggung nafkah anak yang bersangkutan. Namun mengingat dalam qaul Mukhtar dikatakan bahwa setelah anak dewasa dan orang tuanya belum mampu mengaqiqahkannya, kemudian anak tadi dipersilahkan untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri, maka ada beberapa pendapat:43 a. Pendapaat qaul tersebut ternyata didukung pula oleh pendapat Ar-Rafi’i dan pendapat sebagian ulama lainnya. Imam Ar-Rafi’i mengemukakan bahwa Nabi SAW menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah diangkat menjadi Nabi. Yang lain juga mengemukakan alasan yang sama dan menambahkan bahwa kejadian itu diturunkan sesudah surat AlBaqarah, tetapi hadist ini lemah dipandang dari semua sanadnya. b. Imam Syafi’i telah menentukan bahwa seseorang tidak boleh menunda aqiqah karena dirinya sendiri. Pendapat ini juga diikuti oleh An-Nawawi Dari keterangan di atas, menurut penulis, kecenderungan itu ada pada pendapat As-Syafi’i yaitu tidak perlu mengaqiqahkan diri sendiri. Mengingat sunnahnya aqiqah itu terletak pada pihak orang tua atau wali yang menanggung nafkah si anak. Di lingkungan kita, mungkin ada kebiasaan mengaqiqahkan orang yang telah meninggal. Menurut penulis, jika menurut As-Syafi’i mengaqiqahkan diri sendiri saja tidak boleh, maka mengaqiqahkan orang tua yang sudah meninggalpun tidak perlu. Dengan demikian patokan yang digunakan untuk aqiqah, tepatlah pada hari ketujuh anak itu dilahirkan itu lebih utamanya, jika pun ditunda, maka
43
Ibid., hlm. 507
31
penundaan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan pendapat (qaul) Mukhtar yang telah disebutkan di atas. E. Proses Ibadah Aqiqah Sebagaimana halnya walimatul ursy dan walimah khitan pada umumnya pesta aqiqah juga dilakukan dengan mengundang sanak keluarga, para famili, dan tetangga tanpa pandang bulu. Miskin, kaya, laki-laki dan perempuan boleh diundang. Tentu saja segala sesuatunya harus ditata sedemikian rupa sehingga tidak mengotori makna aqiqah yang merupakan sunnah Rasul. Semuanya harus dilakukan dengan cara-cara yang islami, baik pengaturan tempat duduk, cara berpakaian maupun tata cara makan. Bahkan guna menambah nilai spiritual aqiqah, ada baiknya jika dalam rangkaian acara aqiqah ini juga diselipkan ceramah agama. Materinya bisa tentang pendidikan anak, kewajiban anak terhadap orang tua, tanggungjawab orang tua terhadap anak dan sebagainya yang sekiranya relevan. Dengan demikian pihak keluarga dan para undangan tidak sekedar hadir untuk pesta makan, melainkan juga bisa mendapatkan tambahan ilmu sebagai bekal untuk menjalani kehidupan ke arah yang lebih baik. Adapun waktunya bisa siang, sore atau malam sesuai kondisi. Misalnya pagi mengadakan pencukuran rambut dan pemberian nama, siangnya menyembelih
kambing
kemudian
sore
harinya
digunakan
untuk
mendengarkan ceramah agama dan makan bersama. Proses aqiqah pada dasarnya meliputi tiga kegiatan yang dilakukan secara bersamaan yaitu kegiatan menyembelih binatang aqiqah, mencukur rambut kepala anak dan menamainya44. Namun mengingat sulitnya melaksanakan ketiga kegiatan secara bersamaan dalam satu waktu sekaligus. Maka pengertian “bersamaan” itu dapat kita artikan dengan serangkaian,
yaitu
serangkaian kegiatan yang meliputi penyembelihan binatang aqiqah, pencukuran rambut kepala anak dan pemberian nama anak.
44
M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak (Akikah, Pemberian Nama, Khitan dan Maknanya), Op.Cit., hlm. 23.
32
Hal tersebut sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Samurah yang telah disinggung di bagian atas. Di mana berdasarkan hadist tersebut, maka serangkaian kegiatan aqiqah didahului dengan menyembelih binatang aqiqah, kemudian diiringi dengan mencukur rambut kepala anak dan terakhir menamainya. Berikut pembahasannya satu persatu: 1. Menyembelih Binatang Aqiqah Menyembelih binatang untuk aqiqah harus dilakukan sesuai dengan cara yang telah disyari’atkan. Secara lebih terurai, cara menyembelih binatang aqiqah adalah sebagai berikut:45 a. Mengasah pisau hingga benar-benar tajam. b. Mengikat binatang dengan tali agar ketika disembelih tidak bebas bergerak sehingga tidak menyulitkan penyembelihan. c. Membaringkan binatang dengan lambung kiri menempel ke tanah sehingga tangan kiri orang yang menyembelih berada di sebelah kepala binatang dan kepala binatang ada di selatan. d. Penyembelih menghadap kiblat. e. Membaca do’a:
````````````
6YC,_ 1" _ 4- % 61">7F 8 C6\"!"8!" 3)
Dengan nama Allah. Allah maha besar. Ya Allah, aqiqah ini adalah karunia-Mu dan aku kembalikan kepada-Mu. Ya Allah, ini aqiqah………(sebut nama anak yang diaqiqahi), maka terimalah”. f. Pisau ditekan dengan kuat ke leher binatang, sehingga saluran pernapasan dan saluran makanan benar-benar putus. g. Penyembelihan bisa dilakukan sendiri atau boleh juga diwakilkan kepada orang lain. h. Penyembelih dalam keadaan berakal sehat. 2. Mencukur Rambut Kepala Anak
45
Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 82-84
33
Mengiringi usainya penyembelihan binatang aqiqah, maka akan dilakukan rentetan kegiatan kedua, yaitu mencukur rambut kepala anak. Mencukur rambut yang disyari’atkan oleh agama saat pelaksanaan aqiqah adalah mencukur seluruh rambut kepala anak yang dibawa sejak dalam kandungan ibunya46. Mencukur rambut kepala anak sebaiknya dilakukan di hadapan sanak keluarga agar mereka mengetahui dan menjadi saksi. Boleh dilakukan oleh orang tuanya sendiri atau jika tidak mampu, bisa diwakilkan kepada ahlinya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam mencukur rambut kepala anak, yaitu:47 a. Dengan membaca basmallah. b. Arah mencukur rambut dari sebelah kanan ke kiri. c. Dicukur bersih (gundul) tidak boleh ada bagian yang disisakan sehingga kelihatan belang-belang. d. Rambut hasil cukuran dan nilainya disedekahkan. Maksudnya, setelah anak dicukur, semua rambutnya ditimbang. Berat timbangan rambut tersebut diganti dengan nilai emas dan perak. Nilai tukar emas atau perak tersebut bisa diwujudkan uang sesuai dengan harga emas atau perak di pasaran saat itu, lalu disedekahkan kepada fakir miskin. Islam menganjurkan agar manusia selalu menjaga kesehatan anak dan dimulai sejak bayi karena membiasakan hidup bersih dan sehat hanya dapat dibentuk bila dipraktekkan sejak kecil. Pepatah mengatakan,”Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air”. Maka mulailah membangun hidup sehat dan bersih sejak anak dilahirkan dan terus dididik sehingga menjadi kebiasaan dalam hidupnya. Mencukur rambut kepala anak adalah awal dari kebiasaan hidup bersih dan sehat yang diperintahkan agama. Oleh karena itu, bersihkanlah 46 47
Muhammad Zuhdi Zaeni, Op.Cit., hlm. 59. Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 65-66
34
anak dengan mencukur seluruh rambutnya. Dengan demikian Islam telah mendidik jiwa bersih sejak lahir. 3. Menamai Anak Rangkaian yang ketiga dari serentetan kegiatan aqiqah ialah menamai sang anak. Kegiatan menamai inilah yang biasanya digelar dalam bentuk upacara, dengan mengundang sanak kerabat serta para tetangga dekat. Shakespeare mengatakan: “Apa arti sebuah nama”, namun tidak dapat dipungkiri, bahwa nama bisa menunjukkan identitas keluarga, bangsa bahkan akidah. Nama merupakan sarana yang mudah dan umum digunakan untuk mengenali sesorang dan memperlancar hubungan sosial. Dengan demikian ungkapan di atas, lebih merupakan peringatan agar orang tidak terjebak ke dalam penampilan lahiriah dan melupakan makna keberadaan manusia yang hakiki. Sebab, baik buruknya seseorang memang tidak terletak pada namanya, melainkan pada akhlak dan amal shalehnya48. Di dalam ajaran Islam, nama seseorang di samping sebagai panggilan atau pengenalan terhadap seseorang, juga berfungsi sebagai do’a. Berbagai kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah bahwa ketika anak dilahirkan, maka orang tua memilihkan sebuah nama untuk anaknya. Nama yang baik mengandung ciri dan unsur-unsur sebagai berikut:49 a. Bermakna dan berarti pujian, misalnya Ahmad atau Muhammad, artinya terpuji. b. Bermakna do’a dan harapan, misalnya Muhsin, artinya orang yang baik. c. Bermakna semangat, misalnya Syaifullah, artinya pedang Allah Oleh karena itu, pada tempatnyalah anak diberi nama yang baik sesuai dengan ajaran Islam. Demikianlah keseluruhan prosesi aqiqah, yang diakhiri dengan makan dan do’a bersama, semoga anak yang diaqiqahi kelak bisa menjadi anak 48 49
Ahmad Ma’ruf Asrari dan Suheri Ismail, Op.Cit., hlm. 68. Ramlan Marjoned, Op.Cit., hlm. 53.
35
yang shaleh, yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berbakti kepada orang tuanya serta berguna bagi agama, nusa, bangsa serta masyarakatnya. F. Kesunnahan Dalam Menangani Daging Aqiqah Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan ada beberapa sunnah yang harus diperhatikan dalam rangka menangani daging binatang aqiqah, antara lain: 1. Tidak memecahkan tulang belulangnya. Di antara beberapa kesunnahan yang harus diperhatikan dalam mengaqiqahi anak ialah agar tulang binatang sembelihan itu jangan sampai hancur sedikitpun, baik pada saat menyembelih maupun pada saat memakannya. Bahkan setiap tulang harus dipotong dari ruasnya, jangan sampai dihancurkan.50 Sebagian
ulama
menyebutkan
beberapa
hikmah
dari
tidak
memecahkan tulang belulang binatang aqiqah:51 a. Untuk menunjukan kemuliaan makanan tersebut. Saat diberikan kepada siapa saja yang makan dianjurkan agar daging tersebut berbentuk potongan. Hal ini lebih utama dan lebih menunjukkan sikap kedermawanan daripada kalau dipotong kecil-kecil. b. Apabila pemberian tersebut baik, maka akan mendapat kesan yang baik pula dari orang yang menerima. Hal itu juga menunjukkan betapa mulianya jiwa orang dan betapa besar perhatiannya. Di sana ada harapan besar orang tua kepada si anak agar ia menjadi besar, mempunyai perhatian yang tinggi dan kemuliaan jiwa. c. Ketika aqiqah disimbolkan sebagai penebus diri, dianjurkan agar tulang tidak dipatahkan sebagai harapan agar anggota tubuh sang anak juga selamat, sehat dan kuat. Sunnah yang demikian mengandung pelajaran dan harapan (tafa’ul) agar fisik si jabang bayi yang diaqiqahkan kelak tumbuh dewasa secara normal dan sehat tanpa ada cacat ataupun penyakit tulang. 50
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Op.Cit., hlm. 82. 51 Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Op.Cit., hlm. 69.
36
2. Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin Seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakan daging aqiqah, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada fakir miskin atau menghadiahkan kepada teman atau karib kerabat52. Akan tetapi daging aqiqah akan lebih utama jika dibagikan kepada fakir miskin semuanya. Dengan banyaknya jumlah daging aqiqah yang diberikan kepada fakir miskin, maka sudah barang tentu kemungkinan terkabulnya do’a, juga semakin banyak. Apalagi kita sama-sama meyakini do’a fakir miskin lebih mudah dikabulkan. Dengan demikian, harapan akan terbentuknya pribadi yang shaleh bagi anak yang diaqiqahi juga semakin banyak. 3. Daging aqiqah dibagikan setelah masak Tidak sebagaimana halnya dengan daging qurban yang dibagikan dalam keadaan mentah, daging aqiqah disunnahkan agar dibagikan setelah dimasak lebih dahulu, kemudian disedekahkan kepada fakir miskin53. Hal demikian dikarenakan jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap ni’mat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab, orang yang diberi daging yang sudah dimasak, siap dimakan, enak rasanya tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika diberi daging mentah yang masih membutuhkan tenaga lain untuk memasaknya. Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukkan rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain. Sebab hal tersebut lebih menunjukkan akhlak terpuji dan sikap kedermawanan daripada memberikan daging secara mentah.
52
Abu Muhammad Ishom Bin Mar’i, Perayaan Aqiqah menurut Islam, (Yogyakarta: Litera Sunny Press Kerjasama dengan Titian Illahi Press, 1997), hlm. 50. 53 Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Jakarta: At-Tahiriyah, 1976), Cet. 17, hlm. 453.
37
Bagi orang tua yang kurang mencukupi, mungkin lebih tepat jika daging aqiqah yang sudah dimasak itu dibagikan bersamaan dengan upacara penamaan anak dalam jamuan makanan para tamu yang diundang. Demikian beberapa kesunnahan dalam menangani daging aqiqah. Kesemuanya mengandung pendidikan yang berharga yang perlu kita singkap.