32
BAB II HUBUNGAN ISI SURAT AL BAQARAH AYAT 282 DENGAN ETIKA PROFESI NOTARIS
A. Penafsiran Ulama Tentang Surat Al Baqarah Ayat 282
32
Universitas Sumatera Utara
33
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah dengan cara tidak tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah (Tuhannya) dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya”. jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendikte sendiri, maka hendaklah walinya mendikte dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan untuk menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidak raguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah maha mengetahui segala sesuatu(QS-Al Baqarah:282) Dalam penulisan tesis ini dikutip pandangan beberapa ulama tafsir yang mewakili Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir-Riwayah (tafsir murni), Tafsir Bil Ra,yi (akal), Tafsir Kontemporer, dan Tafsir Nusantara. Sumber kajian ini dihadapkan kepada berbagai kitab tafsir terkemuka yang memiliki penjelasan komprehensif beserta riwayat, bahasa ataupun hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Selain itu, kitab-kitab tafsir tersebut merupakan kitab tafsir yang dijadikan rujukan oleh pihak yang ingin mendalami Al-Qur'an sehingga penjelasan yang ada dapat dipertanggungjawabkan. Kitab tafsir yang dimaksudkan adalah seperti berikut:
Universitas Sumatera Utara
34
a) Kitab Tafsir Ibnu Kathir62. Menurut Ibnu Katsir QS. Al Baqarah ayat (282) di atas menjelaskan bahwa apabila melakukan mua’malah supaya ditulis untuk dapat terjaga terhadap apa yang disepakati serta menjadi kekuatan hukum bagi saksi. Kemudian mengenai frasa “Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis” Ibnu Katsir menjelaskan, orang yang ahli dalam ilmu penulisan tidak boleh menolak jika ada masyarakat yang meminta bantuan dan dilarang menyusahkan mereka.63 Mengenai
hal
ini
Ibnu
Katsir
mengutip
Hadist
Rasulullah
Saw:
“Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seseorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat baik bagi orang yang tidak mengerti” (H.R.Bukhari dan Ahmad).64 Ibnu Katsir menambahkan, orang yang memiliki hajat terhadap sesuatu yang hendak ditulis dapat mendiktekan kepada orang yang menulis dan penulis wajib menulis dengan jujur tanpa melebihi dan mengurangi redaksionalnya sedikitpun. Kemudian menyertakan dua orang laki-laki adil sebagai saksi. Namun apabila sulit menemukan dua orang saksi dari laki-laki, maka boleh menyertakan dua orang saksi perempuan dan seorang laki-laki yang direkomendasikan oleh pemilik hajat. Apabila
62
Kitab Tafsir Ibn Kathir Adalah Judul Buku Yang Diterjemahkan Daripada Tafsir Al-Qur'an Al-‘Azim Karya Abu al-Fida’ Isma‘il Ibn Kathir. 63 Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, 2004, Hal.563 64 Ibnu Katsir, Loc.Cit
Universitas Sumatera Utara
35
terjadi klaim sepihak atas perkara di atas, maka para saksi tadi berkewajiban hadir apabila dipanggil sebagai saksi oleh pihak yang berwenang.65 Mengomentari mengenai ayat “Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya”, Ibnu Katsir menjelaskan, ayat itu sebagai bentuk perintah menulis kebenaran baik hal yang bersifat kecil apalagi perkara besar. Perintah dalam ayat itu untuk menghindari konflik horizontal dikemudian hari sesama masyarakat.66 ”Dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan”. Makna ayat tersebut menurut Ibnu Katsir adalah, tidak diperbolehkan bagi penulis dan saksi untuk memperumit permasalahan, dimana ia menulis sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang didektekan, dan si saksi memberikan kesaksian dengan apa yang bertentangan dengan yang ia dengar, atau bahkan ia menyembunyikannya secara keseluruhan.67 Firman Allah Ta’ala selanjutnya, “Jika lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu”. Maksudnya, jika kamu menyalahi apa yang telah Allah perintahkan, atau kamu mengerjakan apa yang telah dilarangnya-Nya, maka yang demikian itu merupakan suatu kefasikan pada dirimu. Yaitu, kamu tidak akan dapat menghindarkan dan melepaskan diri dari kefasikan tersebut.68
65
Ibnu Katsir, Ibid, Hal.564-565. Ibnu Katsir, Ibid, Hal. 567. 67 Ibnu Katsir, Ibid, Hal.569 68 Ibnu Katsir, Ibid, Hal. 570. 66
Universitas Sumatera Utara
36
Firman Allah yang artinya: “bertakwalah kepada Allah.” Ibnu Katsir memberi pengertian, hendaklah kamu takut dan senantiasa merasa berada di bawah pengawasan-Nya, ikutilah apa yang diperintahkan-Nya, dan jauhilah semua yang dilarang-Nya. ”Allah mengajarmu”. Penggalan ayat ini adalah seperti firman Allah:” Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu Furqan”(QS. Al-Anfaal:29), Furqan disini artinya, petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Dapat juga di artikan disini dengan pertolongan.69 Terkait dengan ayat yang artinya ”Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”. Ibnu Katsir mengartikan, Allah mengetahui hakikat seluruh persoalan, kemaslahatan, dan akibatnya. Sehingga tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dariNya, bahkan ilmu-Nya meliputi seluruh alam semesta.70 b) Kitab Tafsir Al-Jalalain71. Menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Sayuti dalam Tafsir Jalalain, Ayat 282 Surat Al Baqarah ini menjelaskan muamalat seperti jual beli, sewamenyewa, utang-piutang, dan lain-lain yang tidak secara tunai misalnya pinjaman atau pesanan untuk waktu yang ditentukan atau diketahui, maka hendaklah dituliskan untuk pengukuhan dan menghilangkan pertikaian nantinya.72
69
Ibnu Katsir, Ibid, Hal. 570. Ibnu Katsir, Ibid, Hal. 570. 71 Kitab Tafsir al-Jalalain Merupakan Judul Buku Yang Diterjemahkan Daripada Kitab Tafsir al-Jalalain Karya Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti. 72 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin Al-Suyuti, Tafsir Jalalain, Juz I, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2003, Hal.156-157 70
Universitas Sumatera Utara
37
Hal ini sesuai dengan Teori Sadd Al Zari’ah / Teori Preventif Jalan yang menyampaikan kepada tujuan yang haram, maka hukumnyapun menjadi haram. Sedangkan jalan yang menyampaikan kepada tujuan yang halal, maka hukumnyapun menjadi halal.73 Mengenai frasa “hendaklah seorang penulis diantara kamu mencatatnya dengan adil” Imam Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As-Sayuti berpendapat bahwa hendaklah ada seorang pencatat yang berlaku adil maksudnya benar tanpa menambah atau mengurangi jumlah utang atau jumlah temponya. Penulis tidak boleh keberatan jika ada orang yang meminta bantuannya, karena kemampuan mencatat adalah karunia allah yang diberikan kepadanya, maka ia tidak boleh kikir terhadap ilmunya74 Dalam teknis penulisan harus diimlakan/ didekte, ini sebagai penguat oleh yang berhutang, agar ini menjadi persaksiannya, sehingga ini menjadi pengakuan langsung penghutang dengan begitu dia mengetahui kewajibannya. Mengimlakan merupakan sebuah kewajiban jadi jika yang berhutang tidak sanggup mengimlakan atau dalam kondisi lemah karena keterbatasan yang dimilikinya, maka harus di imlakan oleh walinya.75 Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti dalam Tafsir Jalalain menyatakan, frasa “lemah” dalam ayat itu bermakna lemah keadaan baik karena terlalu muda atau terlalu tua atau tidak menguasai bahasa dan sebagainya, maka dapat diwakilah kepada walinya atau orang kepercayaannya.
73
Zamakhsyari,Op.Cit,Hal.156 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Ibid, Hal.157 75 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Ibid, Hal.157 74
Universitas Sumatera Utara
38
Proses transaksi harus melibatkan dua orang saksi laki-laki yang adil, Islam, baligh dan merdeka. Boleh juga merekomendasikan dua saksi dari perempuan dan satu laki-laki. Terkait dengan frasa, Dan hendaklah persaksikan dua orang saksi di antara laki-lakimu. Jika keduanya itu bukan dua orang laki-laki, maka seorang lakilaki dan dua orang perempuan di antara saksi-saksi yang kamu sukai. supaya jika seorang lupa, maka yang lain – yakni yang ingat – akan mengingatkan kawannya (QS Al Baqarah:282), menurut imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin AsSuyuti hal ini sebagai langkah antisipatif dan untuk menghindari percekcokan dikemudian hari, adanya saksi bisa menjadi sarana untuk meluruskan persoalan, karena adanya saksi yang mengingatnya.76 Terkait ayat “dan janganlah penulis dan saksi – maksudnya yang punya utang dan yang berutang-manyulitkan atau mempersulit makna mempersulit disini menurut Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti adalah dengan mengubah surat tadi, atau tak hendak menjadi saksi atau menuliskannya, begitu pula orang yang punya utang, tidak boleh ia membebani si penulis dengan hal-hal yang tidak patut untuk ditulis atau dipersaksikan. Penulis dalam akad tidak boleh dipaksakan menulis yang bertentangan dengan kepatutan.77 Teori kepatutan menyatakan bahwa kedudukan, hak, dan tanggung jawab antara pihak-pihak yang mengikatkan diri pada suatu perjanjian harus seimbang.78
76
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Ibid, Hal.158. Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Ibid, Hal.158. 78 Natsir Asnawi, Penerapan Asas Billijkheild (Kepatutan) Dalam Pembebanan Pembuktian Pada Perkara Perdata dan Perdata Agama (Suatu Tinjauan Dengan Pendekatan Hukum Islam dan 77
Universitas Sumatera Utara
39
“Dan jika kamu perbuat, maka sesungguhnya itu suatu kefasikan bagi kamu, dan bertakwalah kamu kepada Allah, Allah mengajarimu dan Allah mengetahui segala sesuatu”(QS. Al Baqarah:282). Terkait frasa ini Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti menjelasaskan, apa yang dilarang itu jika tetap dilakukan, maka itu suatu kefasikan artinya keluar dari ketaatan kepada Allah yang sekali-kali tidak layak bagi seorang hamba, dan bertakwalah kamu kepada Allah dalam perintah dan larangan-Nya Allah mengajarimu tentang kepentingan urusanmu. Dan Allah mengetahui segala sesuatu.79 c) Kitab Tafsir fi Zilal Al-Qur'an80. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk
waktu
untuk
waktu
yang
ditentukan,
hendaklah
kamu
menuliskannya”. (QS Al-Baqarah: 282) Said Quthub dalam menafsirkan ayat ini menyebutkan bahwa prinsip umum yang hendak ditetapkan dalam ayat ini adalah menulis ini merupakan sesuatu yang diwajibkan dengan nash, tidak dibiarkan manusia memilihnya (untuk melakukannya atau tidak melakukannya) pada waktu melakukan transaksi secara bertempo (utangpiutang), karena suatu hikmah yang akan dijelaskan pada akhir nash.81
Hukum Positif, Maret 2013. Diakses tanggal 21 Januari 2014 dari situs: http://www.papurworejo.go.id. 79 Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Ibid, Hal. 159 80 Kitab Tafsir fi Zilal Al-Qur'an Merupakan Buku Yang Diterjemahkan Daripada Kitab Tafsir fi Zilal al-Qur'an Karya Sayyid Qutb. 81 Sayyid Qutb, Ibid, Hal.391
Universitas Sumatera Utara
40
“Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”(QS Al Baqarah: 282) Mengenai frasa di atas Sayyid Quthub menjelaskan, ini merupakan tugas bagi orang menulis utang-piutang itu sebagai sekretaris, bukan pihak-pihak yang melakukan transaksi. Hikmah mengundang pihak ketiga, bukan salah satu dari kedua belah pihak yang malakukan transaksi, ialah agar lebih berhati-hati. Juru tulis ini diperintahkan menulisnya dengan adil (benar), tidak boleh condong kepada salah satu pihak, dan tidak boleh mengurangi atau menambahkan sesuatu dalam teks yang disepakati itu.82 “Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya”.(QS Al Baqarah:282) Sayyid Quthub memberikan pengertiannya bahwa Penugasan di sini adalah dari Allah, kepada penulis, agar dia jangan menunda-nunda, enggan, dan merasa keberatan melaksanakannya sendiri. Itu adalah kewajiban dari Allah melalui nash tasyri’. Pertanggungjawabannya adalah kepada Allah. Ini merupakan penunaian terhadap karunia Allah atas dirinya yang telah mengajarinya bagaimana cara menulis. “Falyaktub (Maka hendaklah ia menulis)” sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepadanya.83 “Hendaklah orang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya. Jika orang yang berutang itu orang yang lemah 82 83
Sayyid Qutb, Ibid, Hal.392 Sayyid Qutb, Ibid, Hal.392
Universitas Sumatera Utara
41
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur.”(QS Al-Baqarah:282). Dalam memahami frasa ayat di atas yang terkait dengan teknis penulisan Sayyid Quthub menjelaskan bagaimana seharusnya menulis: Orang yang berutang hendaklah mendiktekan kepada juru tulis mengenai utang yang diakuinya itu, berapa besarnya, apa syaratnya, dan temponya. Hal ini karena dikhawatirkan terjadinya kecurangan terhadap yang berutang kalau pemberi yang yang mendiktekannya, dengan menambah nilai utangnya, atau memperpendek temponya, atau menyebutkan beberapa syarat tertentu untuk kepentingan dirinya. Orang yang berutang itu dalam posisi lemah yang kadang-kadang tidak berani menyatakan ketidaksetujuannya karena ingin mendapatkan harta yang diperlukannya, sehingga ia dicurangi. Sayyid Qutb melanjutkan penjelasannya, apabila orang berutang itu yang mendiktekan, maka tidaklah ia mendiktekan kecuali apa yang ingin ia ikatkan dengan niat yang baik. Kemudian pengakuannya terhadap utang itu lebih kuat dan lebih mantap karena ia yang mendiktekan. Pada waktu yang sama orang yang berutang ini juga dituntut untuk bertakwa kepada Allah dan jangan sampai mengurangi sedikitpun utang yang diakuinya itu dan jangan pula curang dalam penetapan-penetapan lainnya. Jika yang berutang itu bodoh, tidak dapat mengatur urusannya itu dengan baik, pendek akalnya, atau tidak dapat mendiktekannya karena kebodohannya atau karena adanya gangguan pada lisannya, atau karena sebab-sebab lain yang berkenaan dengan
perasaan
atau
pikiran,
maka
hendaklah
wali
pengurusnya
yang
Universitas Sumatera Utara
42
mendiktekannya
‘dengan adil”. Disebutkannya “adil” disini
untuk menambah
kejelian, karena adakalanya si wali agak sembrono, karena utang itu tidak mengenai dirinya.84 “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”(QS Al Baqarah:282) Sayyid Quthub menjelaskan tentang penggalan ayat di atas sebagai berikut, harus ada dua orang saksi terhadap akad (transaksi) itu “dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. “Ridha” di sini mengandung dua makna. Pertama, kedua orang saksi itu adil dan diridhai di kalangan jamaah (masyarakat). Kedua, kedua belah pihak ridha terhadap kesaksiannya. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak mudah mendapatkan dua orang saksi laki-laki. Maka, dalam kondisi seperti ini syariat memberikan kemudahan dengan menjadikan perempuan sebagai saksi. Sebenarnya, syariat mengutamakan laki-laki karena biasanya merekalah yang melakukan tugastugas besar di kalangan masyarakat Islam. Sedangkan, wanita tidak perlu turut serta karena akan dapat menghilangkan keibuannya, kewanitaannya, dan kewajibannya dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang lebih berharga, yaitu memelihara pertumbuhan anak-anak yang akan menjadi generasi masa depan. Padahal, dengan bekerja dia hanya mendapatkan beberapa suap makanan atau sedikit uang, sebagaimana kondisi masyarakat sekarang ini yang sudah amburadul kehidupannya. 84
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 392
Universitas Sumatera Utara
43
Adapun jika tidak didapati dua orang laki-laki, bolehlah saksi itu seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Akan tetapi, mengapa dua orang perempuan? Sesungguhnya nash ini tidak membiarkan kita hidup dalam menduga-duga. 85 ”supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”(QS Al Baqarah:282) Kelupaan atau kekeliruan itu banyak sebabnya. Kadang-kadang karena minimnya pengetahuan wanita itu terhadap pokok masalah dalam trasnsaksi itu, yang menjadikannya tidak dapat meliputi segala persoalan yang halus-halus dan lembut. Sehingga ia tidak dapat memberikan kesaksian dengan jelas dan rinci ketika diperlukan. Karena itu, diperlukanlah orang lain untuk saling membantu dengannya guna mengingat hal-hal yang rumit itu. Kadang-kadang juga disebabkan oleh tabiat perempuan yang lebih emosional karena tugas keibuan secara biologis itu tentu memerlukan rasa kejiwaan. Dalam hal ini seorang perempuan memang harus sensitif dan emosional, supaya dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengan cepat dan penuh semangat, tidak menunggu pemikiran yang berproses dulu. Ini termasuk karunia Allah atas kaum wanita dan anak-anak. Karakter ini tidak terbagi-bagi. Demikianlah kepribadian wanita dan karakternya, dan semuanya begitu. Sedangkan, kesaksian dalam transaksi seperti dalam masalah utang-piutang ini memerlukan orang yang lepas dari emosional, dan memfokuskan perhatiannya kepada masalah yang sedang dihadapi dengan tidak terpengaruh oleh apapun. Dengan adanya dua orang perempuan diharapkan akan dapat memberikan jaminan dengan saling mengingatkan 85
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 392
Universitas Sumatera Utara
44
apabila salah satunya lupa karena pengaruh emosinya. Dengan demikian, akan dapat kembali kepada persoalan sebenarnya secara objektif.86 Sebagaimana disebutkan pada awal nash ini bahwa firman ini ditujukan kepada para penulis agar jangan enggan menuliskannya. Maka, di sini juga diberikan pengarahan kepada para saksi agar jangan enggan memberikan kesaksian (menjadi saksi). “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”(QS.Al Baqarah:282) Maksudnya, mendatangi panggilan untuk menjadi saksi itu merupakan “kewajiban”, bukan sunnah (sukarela). Karena, kesaksian merupakan sarana untuk menegakkan keadilan dan merealisasikan hak. Allah mewajibkannya supaya para saksi itu memberikan keterangan dengan rela hati dan penuh kesadaran, tanpa merasa terpaksa dan ogah, dengan tidak mengutamakan yang satu atas lainnya dari kedua pihak yang bertransaksi itu, bila mereka dipanggil oleh keduanya atau salah satunya.87 “Janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besarsampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.” (QS.Al Baqarah:282) “Janganlah kamu jemu!” Ini adalah mengenai kesan kejiwaan manusia ketika ia merasa bahwa beban pekerjaan yang dilakukan itu lebih besar daripada nilainya.
86 87
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 393 Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 393
Universitas Sumatera Utara
45
“Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah”, yakni lebih adil dan lebih utama. Ini merupakan pengarahan spiritual bahwa Allah menyukai hal tersebut dan mengutamakannya.”Dan lebih dapat menguatkan persaksian”, karena persaksian atas sesuatu yang tertulis itu lebih kuat daripada persaksian lisan yang hanya sematamata mengandalkan ingatan. Kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan itu juga lebih kuat dan lebih tepat daripada kesaksian seorang laki-laki atau seorang laki-laki dan seorang perempuan. “Dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguan”, yakni keraguan tentang sahihnya keterangan yang terkandung dalam perjanjian (transaksi), atau keraguan di dalam hatimu dan hati orang lain apabila urusan itu dibiarkan tanpa ketentuan.88 “(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Persaksikanlah jika kamu berjual beli.” (QS.Al Baqarah:282). Zahir nash ini menunjukkan bahwa tidak menulisnya itu merupakan rukhshah dan tidak berdosa; tetapi mempersaksikannya adalah wajib. Ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa persaksian itu hanya bersifat anjuran (nadb) dan tidak wajib, tetapi yang terkuat ialah yang wajib itu. Kesimpulan dari pensyariatan (pengaturan) masalah utang-piutang dan jualbeli secara tunai. Keduanya bertemu pada suatu syarat yang berupa penulisan dan persaksian, sebagai suatu kewajiban dan rukhshah. Maka, dalam hal ini ditetapkanlah hak-hak para juru tulis dan saksi, sebagaimana telah ditetapkan kewajiban-kewajiban 88
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 392
Universitas Sumatera Utara
46
mereka sebelumnya. Mereka telah diwajibkan untuk tidak menolak menulis dan menyaksikannya. Maka, sekarang hak dan kewajiban dengan menunaikan tugas-tugas umum. “Janganlah penulis dan saksi itu diberi kemudharatan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan kepada dirimu. Bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al Baqarah:282) Tidak boleh ditimpakan kemudharatan kepada penulis atau saksi. Karena, mereka menunaikan kewajiban yang difardhukan oleh Allah atasnya itu. Kalau terjadi, sesungguhnya kalian telah keluar dari syariat Allah dan menyimpang dari jalan-Nya. Karena itu, harus diambil langkah kehati-hatian. Pasalnya, para penulis dan saksi itu sangat rentan untuk terkena sasaran kemarahan salah satu pihak dari kedua pihak yang mengadakan transaksi. Maka, mereka harus disenangkan dengan diberi jaminan-jaminan yang menenteramkan hatinya. Juga harus dilindungi dalam semua hal dan harus dimotivasi untuk menunaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, amanah, dan penuh semangat.89 “Bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarkanmu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS.Al Baqarah:282) Kebiasaan Al-Qur’an di dalam membangkitkan hati dan perasaan setiap kali hendak memberikan tugas (talif), supaya taklif itu dapat dijalankan dengan dorongan dari dalam jiwa, bukan semata-mata karena tekanan nash—diserulah orang-orang 89
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 392
Universitas Sumatera Utara
47
mukmin untuk bertakwa kepada Allah pada ujung ayat ini. Juga diingatkan kepada mereka bahwa Allahlah yang memberikan karunia kepada mereka, Dialah yang mengajarkan dan membimbing mereka, dan bahwasanya takwa itu akan membuka hati mereka untuk mendapatkan pengetahuan dan menyiapkan ruh mereka untuk mendapatkan pengajaran. Agar, mereka dapat menunaikan hak nikmat ini dengan taat, ridha, dan patuh,90 d) Kitab Tafsir al-Misbah91 Ayat 282 Al Baqarah adalah ayat terpanjang dalam Al-Qur’an, dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama ‘Ayat al-Mudayanah (ayat utang-piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran—atau menurut sebagian ulama— kewajiban menulis utang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktu.92 Ayat ini ditempatkan setelah uraian panjang tentang anjuran bersedekah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang-piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri. Anjuran
bersedekah
dan
melakukan
infaq
di
jalan
Allah,
merupakan
90
Sayyid Qutb, Ibid, Hal. 395 Kitab Tafsir Al Mishbah ini Merupakan Buku Tafsir Karya Prof Dr Quraish Shihab. 92 Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan & Keserasian Al-Qur’an), Lentera Hati, Jakarta, Hal.602 91
Universitas Sumatera Utara
48
pengejawantahan rasa kasih sayang yang murni; selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, maka dengan perintah menulis hutang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan Al-Qur’an, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba.93 Larangan mengambil keuntungan melalui jalan riba dan perintah bersedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa Al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang-piutang walaupun sedikit, serta mempersaksikannya. Seandainya kesan itu benar, tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian rinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan hutang-piutang.94 Di sisi lain, ayat sebelum ayat ini adalah nasehat ilahi kepada orang memiliki piutang untuk tidak menagih siapa yang sedang dalam kesulitan, nasehat itu dilanjutkan oleh ayat ini, kepada yang melakukan transaksi hutang-piutang, yakni bahwa demi memelihara harta serta mencegah kesalahpahaman, maka hutang-piutang hendaknya ditulis walau jumlahnya kecil, disamping nasehat serta tuntunan lain yang berkaitan dengan hutang-piutang.95 Ayat Al Baqarah ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
93
Quraish Shihab, Ibid, Hal.602 Quraish Shihab, Ibid, Hal.602 95 Quraish Shihab, Ibid, Hal.603 94
Universitas Sumatera Utara
49
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (QS.Al Baqarah:282) Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman, tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berhutang. Ini agar orang yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu. Karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintanya.96 Kata tadayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’, dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan, dan agama. Kesemuanya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.97 Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi hutang-piutang dengan dua nasehat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berhutang masa pelunasannya harus ditentukan; bukan dengan berkata,”Kalau saya ada uang,” atau “Kalau si A datang,” karena ucapan semacam ini tidak pasti, rencana kedatangan si A pun dapat ditunda atau tertunda. Bahkan anak kalimat ayat ini bukan hanya mengandung isyarat tersebut, tetapi juga mengesankan bahwa ketika berhutang 96 97
Quraish Shihab, Ibid, Hal.603 Quraish Shihab, Ibid, Hal.603
Universitas Sumatera Utara
50
seharusnya sudah harus tergambar dalam benak pengutang, bagaimana serta dari sumber mana pembayarannya diandalkan. Ini secara tidak langsung mengantar sang muslim untuk berhati-hati dalam berhutang. Sedemikian keras tuntutan kehati-hatian sampai-sampai Nabi saw. enggan menshalati mayat yang berhutang tanpa ada yang menjamin hutangnya (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i), bahkan beliau bersabda, “Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali hutang” (HR. Muslim dari ‘Amr Ibn al-‘Ash).98 Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri. Karena itu agama tidak menganjurkan seseorang berhutang kecuali jika sangat terpaksa. “Hutang adalah kehinaan di siang hari dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. seorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak merasa risih karenanya, maka dia bukan seorang yang menghayati tuntunan agama. Salah satu doa Rasul saw. yang populer adalah: allahumma inni a’udzu bika min dhala’il ad-dain wa ghalabat ar-rijal (Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari hutang yang memberatkan serta penekanan manusia terhadapku). Di sisi lain beliau bersabda, “Penangguhan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim).99 Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi saw. ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh
98 99
Quraish Shihab, Ibid, Hal.603 Quraish Shihab, Ibid, Hal.604
Universitas Sumatera Utara
51
kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang piutang adalah wajib, karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata idzal (apabila) pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah orang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat.100 Selanjutnya Allah swt. menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian, dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.101 Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan oleh Allah. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan bagi yang berlaku adil, juga karena seorang yang adil tapi tidak
100 101
Quraish Shihab, Ibid, Hal.604 Quraish Shihab, Ibid, Hal.604
Universitas Sumatera Utara
52
mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari sanksi. Selanjutnya kepada para penulis diingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur, sebab telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, tetapi ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.102 Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang-piutang, penulis, kriteria, dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni degnan firman-Nya: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan didepan penulis, serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejalasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar 102
Quraish Shihab, Ibid, Hal.605
Universitas Sumatera Utara
53
hendaknya ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Demikian ia diingatkan untuk bertakwa dengan menyebut dua kata yang menunjuk kepada Tuhan, sekali Allah yang menampung seluruh sifat-sifat-Nya yang Maha Indah, termasuk sifat Maha Perkasa, Maha Pembalas, Maha Keras siksa-Nya dan dikali kedua rabbahu, yaitu Tuhan Pemeliharanya. Ini untuk mengingatkan yang berhutang bahwa hutang yang diterimanya serta kesediaan pemilik uang untuk mengutanginya tidak terlepas dari tarbiyah, yakni pemeliharaan dan pendidikan Allah terhadapnya, karena itu lanjutan nasehat tersebut menyatakan, Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup oleh kesepakatan bersama.103 Bagaimana kalau yang berhutang, karena suatu dan lain hal tidak mampu mengimlakkan? Lanjutan ayat menjelaskannya, Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya, tidak pandai mengurus harta, karena suatu dan lain sebab, atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengatahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.104 Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut ini adalah menyangkut persaksian, baik dalam hal tulis menulis maupu selainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Kata saksi yang digunaan ayat in adalah syahiidain bukan syaahidain.
103 104
Quraish Shihab, Ibid, Hal.606 Quraish Shihab, Ibid, Hal.606
Universitas Sumatera Utara
54
Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut.dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi-saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada - demikian tim Departemen Agama RI dan banyak ulama menerjemakan dan memahami lanjutan ayat – atau kalau bukan – menurut hemat penulis – yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.105 Quraish Shihab mengutip pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam hal kriminal, pernikahan, cerai, dan rujuk. Mazhab hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga, sepertti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelamahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka yang dharapkan lebih banyak memberi perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya. Betapapun, ayat
105
Quraish Shihab, Ibid, Hal.606
Universitas Sumatera Utara
55
diatas tidak menutup kemungkinan kesaksian wanita – baik secara luas, terbatas, maupun sempit.106 Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa kesaksian dua orang lelaki, diseimbangkan dengan satu lelaki dan dua orang perempuan. Yakni seorang lelaki diseimbangkan dengan dua orang perempuan? Ayat ini menjelaskan bahwa hal tersebut adalah supaya jika salah seorang dari perempuan itu lupa maka seorang lagi,
yakni
yang
menjadi
saksi
bersamanya
kemungkinan itu disebutkan dalam konteks
mengingatkannya.
Mengapa
kesaksian wanita. Apakah karena
kemempuan intelektualnya kurang, seperti diduga sementara ulama? Atau karena emosinya sering tidak terkendali? Persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya. Al-Qur’an dan Sunnah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Suami bertugas mencari nafkah dan dituntut untuk memberi perhatian utama dalam hal ini untuk menyediakan kecukupan nafkah untuk anak istrinya. Sedang tugas utama wanita atau istri adalah membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertubuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Namun perlu dicatat, bahwa pembagian kerja itu tidak ketat. Tidak jarang istri para sahabat Nabi Muhammad saw. ikut bekerja mencari bafkah, karena suaminya tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga, dan tidak sedikit pula suami yang melakukan aktivitas dirumah dan mendidik anakanaknya. Pembagian kerja yang disebut di atas, dan perhatian berbeda yang dituntut terhadap masing-masing jenis kelamin, menjadikan kemapuan dan ingatan mereka 106
Quraish Shihab, Ibid, Hal.607
Universitas Sumatera Utara
56
menyangkut objek perhatiannya berbeda. Ingatan wanita dalam soal rumah tangga, pastilah lebih kuat dari priayang perhatiannya lebih banyak atau seharusnya lebih banyak tertuju kepada kerja, perniagaan, temasuk hutang-piutang. Ingatannya pasti juga lebih kuat dari wanita yang perhatian utamanya tidak tertuju atau tidak diharapkan tertuju ke sana. Atas dasar besar kecilnya perhatian itulah tuntunan di atas diterapkan. Dan, karena Al-Qur’an menghendaki wanitamemberi perhatian lebih banyak kepada rumah tangga, atau atas dasar kenyataan pada masa turunnya ayat ini, wanita-wanita tidak memberi perhatian yang cukup terhadap hutang-piutang, baik karena suami tidak mengizinkan keterlibatan mereka maupun oleh sebab lain, maka kemungkinan mereka lupa lebih besar dari kemungkinannya oleh pria, karena itu – demi menguatkan persaksian – dua orang wanita diseimbangkan dengan seorang pria, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkan. Sekali lagi – hemat penulis – ayat ini tidak berbicara tentang kemempuan intalektual wanita, tidak juga berarti bahwa kemampuannya menghafal lebih rendah dari kemampuan pria. Kenyataan dalam masyarakat ikut membuktikan kekeliruan persepsi sementara orang, bahkan sementara ulama dan intelektual.107 Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis, kepada para saksi pun Allah berpesan, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil,” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau menjadi korban. Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjaid saksi, walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian, dan dapat juga secara aktual telah
107
Quraish Shihab, Ibid, Hal.608
Universitas Sumatera Utara
57
menjadi saksi. Jika Anda melihat satu peristiwa – katakanlah tabrakan – maka ketika itu Anda telah berpotensi memikul tugas kesaksian, sejak saat itu Anda telah dinamai saksi walaupun belum lagi melaksanakan kesaksian itu di pengadilan. Ayat ini dapat berarti, Janganlah orang-orang yang berpotensi menjadi saksi enggan menjadi saksi apabila mereka diminta. Memang, banyak orang, sejak dulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang memberi keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.108 Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini berbicara tentang penulisan hutangpiutang, tapi dengan memberi penekanan pada hutang-piutang yang jumlahnya kecil, karena biasanya perhatian tidak diberikan secara penuh menyangkut hutang yang kecil, padahal yang kecilpun dapat mengakibatkan permusuhan, bahkan pembunuhan. Apalagi yang kecil bagi seseorang boleh jadi dinilai besar oleh yang lain. Memang menulis yang kecil-kecil, apalagi seringkali dapat membosankan. Karena itu, ayat ini mengingatkan, janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang
dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam 108
Quraish Shihab, Ibid, Hal.608
Universitas Sumatera Utara
58
kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu. Petunjuk-petunjuk di atas adalah jika muamalah dilakukan dalam bentuk hutang-piutang. Tetapi jika ia merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; (QS.Al Baqarah:282) perintah di sini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutangpiutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang. Penggalan ayat berikut yang menyatakan wala yudharra katibun wa la syahid, dapat berarti janganlah penulis
dan saksi memudharatkan yang
bermuamalah, dan dapat juga berarti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan
Universitas Sumatera Utara
59
mereka ganti biaya transport dan biaya administrasi, sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan
yang
bermuamalah
dengan
memperlambat
kesaksian,
apalagi
menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu,wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka ssesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.109 Kefasikan terambil dari akar kata yng bermakna terkelupasnya kulit sesuatu. Kefasikan adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Allah swt., atau dengan kata lain kedurhakaan. Ini berarti, siapapun yang melakukan suatu aktivitas yang mengakibatkan kesulitan bagi orang lain, maka dia dinilai durhaka kepada Allah serta keluar dari ketaatan kepada-Nya. Ayat ini diakhirai dengan firman-Nya: Dan bertakwalah keada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan
menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara
terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. 110
109 110
Quraish Shihab, Ibid, Hal.609 Quraish Shihab, Ibid, Hal.609
Universitas Sumatera Utara
60
B. Surat Al Baqarah Ayat 282 Dan Kaitannya Dengan Profesi Notaris Indonesia Dalam Surat Al Baqarah secara panjang diceritakan mengenai Kajian tentang dasar-dasar, manfaat dan pentingnya pencatatan dan pencatat dalam setiap transaksi keuangan (terutama tentang utang-piutang), sebagaimana disinyalir dalam Al Qur’an QS-Al Baqoroh:282. Tidak ada yang samar pada pengertian ayat tersebut, Sejak 16 Abad yang silam, telah diperintahkan dengan tegas bagi ummat Islam untuk mempelajari, mengamalkan dan menjaga kebiasaan menulis (Membuat akad perjanjian serta membukukan) dalam setiap bermu’amalah (Melakukan Jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa dan lain sebagainya) yang dilakukan secara tidak tunai (Kredit) dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Secara implisit, ayat tersebut mengandung isyarat tentang beberapa ketentuan dalam melakukan transaksi (Terutama transaksi non tunai), yaitu: pertama, Dalam membuat akad perjanjian, diperlukan seorang pencatat yang mencatat transaksi tersebut. Kedua, hendaknya kedua belah pihak memeriksa dengan teliti terhadap seluruh isi perjanjian agar tidak menimbulkan masalah dibelakang hari. Ketiga, Akad perjanjian dan saksi merupakan alat bukti apabila terjadi sengketa. Keempat, Apabila diantara keduabelah pihak ada yang menyulitkan dalam perjanjian tersebut, maka yang bersangkutan tergolong orang Fasik (telah mencederai ajaran agamanya). Begitulah bagian dari ajaran Islam yang agung dan amat terencana sebelum maupun
Universitas Sumatera Utara
61
setelahnya, selanjutnya tergantung kepada setiap individu pemeluknya untuk melakukan atau mengingkarinya.111 “Hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar” (Al Baqarah:282)112. Ini adalah tugas bagi orang yang menulis utang piutang itu, bukan para pihak yang melakukan transaksi. Hikmah mengundang pihak ketiga, bukan salah satu dari kedua belah pihak yang melakukan transaksi, ialah agar lebih berhati-hati. Juru tulis ini diperintahkan untuk menulisnya dengan adil (benar), tidak boleh condong kepada salah satu pihak, dan tidak boleh mengurangi atau menambahkan sesuatu dalam teks yang disepakati itu.113 “Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya”(QS Al Baqarah :282) Penugasan di sini adalah dari Allah, kepada penulis, agar dia jangan menundanunda, enggan, dan merasa keberatan melaksanakannya sendiri.itu adalah kewajiban dari Allah melalui nash tasyri’. Pertanggungjawabannya adalah kepada Allah. Ini merupakan penunaian terhadap karunia Allah atas dirinya yang telah mengajarinya bagaimana cara menulis. “Maka hendaklah ia menulis” sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepadanya.114
111
file:///C:/Users/ACER/Downloads/Artikel Pentingnya Pembukuan, Dalam Perspektif Islam.htm,di unduh 10 Oktober, 2010 112 Al Qur’an Terjemahan DEPAG, Al Huda, Depok, 2005 113 Sayyid Quthb,Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Di bawah Naungan Al Qur’an ( Surat Al-FatihahAl-Baqarah) Jillid I,Gema Insani,2000, Hal. 392 114 Sayyid Quthb,Ibid, Hal.393
Universitas Sumatera Utara
62
Dari ayat tersebut sudah cukup jelaslah bahwa untuk menjalankan suatu profesi terdapat beberapa prinsip-prinsip kerja seorang penulis yang mempunyai kemiripan dengan profesi notaris, beberapa kemiripan tersebut antara lain: a.
Penulis membuat akad/perjanjian hutang piutang, notaris membuat akta yang dapat berupa perjanjian hutang piutang Dalam Surat Al Baqarah 282 ini menerangkan mengenai perlunya seseorang atau para pihak untuk menuliskan transaksinya sebagai bukti tertulis atas transaksi atau perjanjian yang telah dibuat. Dan di sini menerangkan pula perlu adanya seoarng yang bertindak sebagai penulis dan saksi dalam transaksi dalam transaksi atau perjanjian tersebut.Khususnya perjanjian hutang piutang. Jika melihat peran penulis disini adalah untuk membuat alat bukti tertulis berupa akta perjanjian bisa juga disebut sebagai akta otentik, ini sangat sesuai dengan peran notaris dewasa ini. Notaris berwenang membuat akta otentik. Khususnya dibidang utang piutang. Karena hutang piutang memiliki akibat hukum, akta otentik sebagai alat bukti yang kuat sangat dibutuhkan,jika suatu waktu ada para pihak yang melakukan wanprestasi.115
b.
Kesamaan dalam berbuat adil Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan di antara kamu. Dengan demikian,
115
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris (Mengenal Profesi Notaris, Memahami Praktek Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting Yang Di Urus Notaris, Tips Agar Tidak Tertipu Notaris), Raih Asa Sukses, Depok, 2009
Universitas Sumatera Utara
63
dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tatacara menulis perjanjian, dan kejujuran.116 Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan oleh Allah. Ini karena keadilan, disamping menuntut adanya pengetahuan bagi yang berlaku adil, juga karena seorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tetapi tidak adil. Ketika itu pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidakadilannya. Ia akan mencari celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan menghindari sanksi.117 Dalam
Bab
III
UUJN
pasal
16
disebutkan
dalam
menjalankan
tugasnya,notaris berkewajiban “bertindak jujur, seksama,tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan akta. c.
Keharusan menghadirkan saksi “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”(QS Al baqarah:282) Sayyid Quthub menjelaskan tentang penggalan ayat di atas sebagai berikut, harus ada dua orang saksi terhadap akad (transaksi) itu “dari saksi-saksi yang kamu ridhai”. “Ridha” di sini mengandung dua makna. Pertama, kedua orang
116 117
Quraish Shihab,Op cit, Hal. 604 Quraish Shihab,Op.Cit, Hal.605
Universitas Sumatera Utara
64
saksi itu adil dan diridhai di kalangan jamaah (masyarakat). Kedua, kedua belah pihak ridha terhadap kesaksiannya. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi tertentu yang tidak mudah mendapatkan dua orang saksi laki-laki. Maka, dalam kondisi seperti ini syariat memberikan kemudahan dengan menjadikan perempuan sebagai saksi. Sebenarnya, syariat mengutamakan laki-laki karena biasanya merekalah yang melakukan tugas-tugas besar di kalangan masyarakat Islam. Sedangkan, wanita tidak perlu turut serta karena akan dapat menghilangkan keibuannya, kewanitaannya, dan kewajibannya dalam menjalankan tugas kemanusiaan yang lebih berharga, yaitu memelihara pertumbuhan anak-anak yang akan menjadi generasi masa depan. Padahal, dengan bekerja dia hanya mendapatkan beberapa suap makanan atau sedikit uang, sebagaimana kondisi masyarakat sekarang ini yang sudah amburadul kehidupannya. Adapun jika tidak didapati dua orang laki-laki, bolehlah saksi itu seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Akan tetapi, mengapa dua orang perempuan? Sesungguhnya nash ini tidak membiarkan kita hidup dalam menduga-duga. Maka, dalam lapangan tasyri’ pembuatan peraturan/hukum semua nashnya terbatas, tetapi jelas, dan mengemukakan illat ‘sebab hukum’, ”supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya” (QS.Al Baqarah:282) Kelupaan atau kekeliruan itu banyak sebabnya. Kadang-kadang karena minimnya pengetahuan wanita itu terhadap poko masalah dalam trasnsaksi itu, yang menjadikannya tidak dapat meliputi segala persoalan yang halus-halus dan
Universitas Sumatera Utara
65
lembut. Sehingga ia tidak dapat memberikan kesaksian dengan jelas dan rici ketika diperlukan. Karena itu, diperlukanlah orang lain untuk saling membantu dengannya guna mengingat hal-hal yang rumit itu. Kadang-kaang juga disebabkan oleh tabiat perempuan yang lebih emosional karena tugas keibuan secara biologis itu tentu memerlukan rasa kejiwaan. Dalam hal ini seorang perempuan memang harus sensitif dan emosional, supaya dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengna cepat dan penuh semangat, tidak menunggu pemikiran yang berproses dulu. Ini terrmasuk karunia Allah atas kaum wanita dan anak-anak. Karakter ini tidak terbagi-bagi. Demikianlah kepribadian wanita dan karakternya, dan semuanya begitu. Sedangkan, kesaksian dalam transaksi seperti dalam masalah utang-piutang ini memerlukan orang yang lepas dari emosional, dan memfokuskan perhatiannya kepada masalh yan gsedang dihadapi dengan tidak terpengaruh oleh apapun. Dengan adanya dua orang perempuan diharapkan akan dapat memberikan jaminan dengan saling mengingatkan apabila salah satunya lupa karena pengaruh emosinya. Dengan demikian, akan dapat kembali kepada persoalan sebenarnya secara objektif. Sebagaimana disebutkan pada awal nash ini bahwa firman ini ditujukan kepada para penulis agar jangan enggan menuliskannya. Maka, di sini juga diberikan pengarahan kepada para saksi agar jangan enggan memberikan kesaksian (menjadi saksi), “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.”
Universitas Sumatera Utara
66
Maksudnya, mendatangi panggilan untuk menjadi saksi itu merupakan “kewajiban”, bukan sunnah (sukarela). Karena, kesaksian merupakan sarana untuk menegakkan keadilan dan merealisasikan hak. Allah mewajibkannya supaya para saksi itu memberikan keterangan dengan rela hati dan penuh kesadaran, tanpa merasa terpaksa dan ogah, dengan tidak mengutamakan yang satu atas lainnya dari kedua pihak yang bertransaksi itu, bila mereka dipanggil oleh keduanya atau salah satunya. Dalam Bab II tentang kewajiban dalam pasal 16 huruf l disebutkan keajiban notaris untuk membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris Hal ini menunjukkan peran saksi dalam setiap pembutan akta notaris merupakan kewajiban, di sini kita dapat melihat persamaan antara profesi notaris dengan tuntunan penulisan oleh penulis dalam Surat Al Baqarah 282 d.
Anjuran memudahkan kerja penulis “Janganlah penulis dan saksi itu diberi kemudharatan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan kepada dirimu. Bertakwalah kepada Allah. Allah mengajarmu. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. Tidak boleh ditimpakan kemudharatan kepada penulis atau saksi. Karena, mereka menunaikan kewajiban yang difardhukan oleh Allah atasnya itu. Kalau terjadi, sesungguhnya kalian telah keluar dari syariat Allah dan menyimpang dari
Universitas Sumatera Utara
67
jalan-Nya. Karena itu, harus diambil langkah kehati-hatian. Pasalnya, para penulis dan saksi itu sangat rentan untuk terkena sasaran kemarahan salah satu pihak dari kedua pihak yang mengadakan transaksi. Maka, mereka harus disenangkan dengan diberi jaminan-jaminan yang menenteramkan hatinya. Juga harus dilindungi dalam semua hal dan harus dimotivasi untuk menunaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab, amanah, dan penuh semangat. Dalam uujn pasal 36 ayat (1) disebutkan “notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai kewenangannya. Menurut Habib Adjie, Akta notaris sebagai produk intelektual Notaris, harus diberi penghargaan sebagai implementasi dari keilmuan seoarang notaris, setiap akta notaris mempunyai sentuhan nilai tersendiri dari notaris.118 e.
Kehendak para pihak Akta yang di buat oleh (door) notaris dlam praktek notaris disebut akta relaas atau berita acara yang berisi berupa urian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat di hadapan (te overstaan) Notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak.119 Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan
118 119
Habib Ajdi, Op Cit, Hal.108 G.H.S.Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, Hal. 51.
Universitas Sumatera Utara
68
permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan kedalam akta notaris, meskipun demikian hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.120 “Hendaklah orang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya. Jika orang yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan, maka hendaklah walinya mendiktekan dengan jujur.”(QS Al-Baqarah:282). Orang yang berutang hendaklah mendiktekan kepada juru tulis mengenai utang yang diakuinya itu, berapa besarnya, apa syaratnya, dan temponya. Hal ini karena dikhawatirkan terjadinya kecurangan terhadap yang berutang kalau pemberi yang yang mendiktekannya, dengan menambah nilai utangnya, atau memperpendek temponya, atau menyebutkan beberapa syarat tertentu untuk kepentingan dirinya. Orang yang berutang itu dalam posisi lemah yang kadangkadang tidak berani menyatakan ketidaksetujuannya karena ingin mendapatkan harta yang diperlukannya, sehingga ia dicurangi.
120
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai pejabat publik. Refika Aditama, Bandung, 2013, Hal. 57
Universitas Sumatera Utara
69
Apabila orang berutang itu yang mendiktekan, maka tidaklah ia mendiktekan kecuali apa yang ingin ia ikatkan dengan niat yang baik. Kemudian pengakuannya terhadap utang itu lebih kuat dan lebih mantap karena ia yang mendiktekan. Pada waktu yang sama orang yang berutang ini juga dituntut untuk bertakwa kepada Allah dan jangan sampai mengurangi sedikitpun utang yang diakuinya itu dan jangan pula curang dalam penetapan-penetapan lainnya. Jika yang berutang itu bodoh, tidak dapat mengatur urusannya itu dengan baik, pendek akalnya, atau tidak dapat mendiktekannya karena kebodohannya atau karena adanya gangguan pada lisannya, atau karena sebab-sebab lain yang berkenaan dengan perasaan atau pikiran, maka hendaklah wali pengurusnya yang mendiktekannya ‘dengan adil”. Disebutkannya “adil” disini untuk menambah kejelian, karena adakalanya si wali agak sembrono, karena utang itu tidak mengenai dirinya.121 Dari beberapa uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi penulis dalam Surat Al Baqarah ayat 282 adalah sama dengan fungsi notaris, hal ini diperkuat oleh tafsier beberapa ulama, seperti quraish shihab yang dalam tafsiernya tentang ayat ini langsung menyebut penulis yang dimaksud dalam ayat ini adalah notaris. Selain itu jika kita melihat riwayat penyusunan undang-undang jabatan notaris dalam risalah sidang kita dapat mengatakan bahwa uujn banyak terinspirasi dari ajaran Surat Al Baqarah Ayat 282, hal ini dibuktikan dengan beberapa pendapat anggota dewan yang mengutip ayat tersebut, seperti fraksi 121
Sayyid Quthub.Op.Cit, Hal.567
Universitas Sumatera Utara
70
dari Partai Bulan Bintang dalam pandangan akhirnya, pada saat penyusunan UUJN yang dibacakan oleh Drs.Bondan Abdul Majid menyatakan bahwa Surat Al Baqarah Ayat 282 inilah bagi ummat Islam sebagai landasan adanya lembaga notaris yang modern sekarang ini.122 C. Hukum Pencatatan Yang Dilakukan Notaris Menurut Surat Al Baqarah Ayat 282 Kalau kita melihat penafsiran ulama tafsir tentang hukum pencatatan, ada dua objek pemberlakuan hukum pencatatan. pencatatan secara umum
Pertama pengertian hukum tentang
atau hukum pencatatan khususnya oleh pelaku
transaksi,disini ditujukan bagi seluruh orang yang beriman, yang akan melakukan muamalah khususnya utang piutang, yang kedua hukum pencatatan oleh notaris, artinya hukum bagi orang yang memiliki profesi khusus sebagai penulis. Yang dibutuhkan untuk menjadi pihak ketiga untuk mencatat suatu muamalah khususnya utang piutang. 1) Hukum Pencatatan Oleh Pelaku Transaksi Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan ini ada anggapan bahwa ini tidak wajib hanya berupa anjuran dan ada yang bersifat wajib. Ibnu Kashir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Firman Allah, “hendaklah kamu menuliskannya” merupakan perintah dari Allah agar dilakukan pencatatan
122
Hadi Setia Tunggal, Kompilasi Peraturan Jabatan Notaris dan PPAT, Harvarindo, Jakarta, 2012
Universitas Sumatera Utara
71
untuk arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan. Ibnu katsir kemudian mengutip Abu Said, Asy-Sya’bi, Rabi’ bin Anas, dan yang lainnya mengatakan bahwa pada mulanya mencatat transaksi itu wajib, kemudian hal itu dibatalkan oleh firman Allah, “Namun, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya”. Dalil lain yang menunjukkan hal itu adalah hadits yang menceritakan tentang syari’at yang ada sebelum kita dan ditetapkan dalam syari’at kita, serta tidak diingkari, yang isinya menjelaskan tentang tidak adanya (kewajiban untuk) penulisan. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hirairah, dari Rasulullah saw., beliau bercerita: “Sesungguhnya ada seorang Bani Israel yang memohon kepada Bani israel lainnya untuk meminjaminya uang seribu dinar. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Datangkanlah saksi-saksi. Aku ingin mempersaksikan peminjaman ini kepada mereka’, peminjam berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai saksinya’. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Datangkanlah seorang penjamin’. Peminjam berkata, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin’. Orang yang meminjamkan berkata, ‘Kamu benar’. Maka si pemberi pinjaman itu menyerahkan kepadanya seribu dinar dengan batas waktu tertentu. Kemudian orang (peminjam uang) itu pun pergi melintasi lautan untuk menunaikan hajatnya. Ketika hutang sudah jatuh tempo ia mencari perahu guna menghantarkan uang pinjaman yang sudah jatuh tempo pembayarannya. Namun ia tidak juga mendapatkan perahu, lalu ia mengambil sebatang kayu dan melobanginya. Selanjutnya ia mamasukkan uang seribu dinar kedalam kayu tersebutberikut selembar
Universitas Sumatera Utara
72
surat yang ditujukan kepada pemilik uang itu (pemberi pinjaman). Kemudian ia melapisinya (agar tidak terkena air). Setelah itu ia membawa kayu itu ke laut. Selanjutnya ia berucap: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku telah meminjam uang seribu dinar kepada si fulan. Lalu ia meminta kepadaku seorang pemberi jaminan, maka kukatakan kepadanya, ‘Cukuplah Allah yang memberi jaminan’. Dan ia pun menyetujui hal itu. Selanjutnya ia meminta saksi kepadaku, dan kukatakan kepadanya, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’. Dan ia pun menyetujui hal itu. Dan sesungguhnya aku telah berusaha mencari perahu untuk mengirimkan uang pinjaman itu. Namun aku tidak mendapatkannya. Kini kutitipkan uang ini kepada-Mu”. Maka orang itu pun melemparkan kayu tersebut ke laut hingga tenggelam. Kemudian pun pergi sambil tetap mencari perahu yang bisa menghantarkannya ke negerinya (pemberi pinjaman). Sementara itu si pemberi pinjaman keluar untuk memperhatikan barangkali ada perahu datang membawa uangnya (yang dipinjamkan). Tiba-tiba ia menemmukan sebatang kayu yang didalamnya terdapat uangnya, maka iapun mengambilnya untuk diberikan kepada keluarganya sebagai kayu bakar. Ketika ia membelah kayu tersebut ia menemukan uang dan selembar surat. Kemudian orang yang meminjam uang darinya pun datang dengan membawa seribu dinar. Peminjam itu berkata: ‘Demi Allah, sebelum mendatangi Anda sekarang ini, aku secara terus menerus berusaha mencari perahu untuk mengembalikan uang Anda, namun aku tidak mendapatkan perahu sama sekali’. Si pemberi pinjaman itu bertanya: ‘Apakah engkau mengirimkan sesuatu kepadaku?’ Si peminjam menjawab: ‘Bukankah telah kuberitahukan kepada Anda bahwa aku tidak mendapatkan perahu
sebelum kedatanganku ini’. Si pemberi
pinjaman berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah mengantarkan pinjamanmu yang telah
Universitas Sumatera Utara
73
engkau letakkan dalam kayu. Maka kembalilah dengan uangmu yang seribu dinar itu dengan baik’. (Isnad hadits ini shahih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam tujuh tempat menuju jalan yang shahih secara muallaq dan dengan memakai sighat jazm (ungkapan yang tegas).123 Sayyid Quthub berbeda pendapat dalam hal ini, ia menilai bahwa pencatatan wajib, dalam tafsirnya Fi Zhilalil Quran, dalam menafsirkan frasa Surat Al Baqarah ayat 282 di bawah ini beliau menyatakan “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk
waktu
untuk
waktu
yang
ditentukan,
hendaklah
kamu
menuliskannya”. (QS Al-Baqarah: 282). Inilah prinsip umum yang hendak ditetapkan. Maka, menulis ini merupakan sesuatu yang diwajibkan dengan nash, tidak dibiarkan manusia memilihnya (untuk melakukannya atau tidak melakukannya) pada waktu melakukan transaksi secara bertempo (utang-piutang), karena suatu hikmah yang akan dijelaskan pada akhir nash.124 2) Hukum pencatatan yang dilakukan oleh penulis Menurut Ibnu Katsir mengenai firman Allah: “Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.” Maksudnya, orang yang mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkanna, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka hendaklah ia berbuat baik kepada orang
123 124
Ibnu Katsir. Loc.Cit Said Quthub,Op Cit, Hal 568
Universitas Sumatera Utara
74
lain yang tidak mengenal tulis menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat sesuatu bagi orang bodoh” (HR. Al Bukhari dan Ahmad).125 “Segala sesuatu yang ma’ruf adalah sedekah”(H.R Bukhari Muslim)126 Dan hadits yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang diketahuinya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat kelak dengan tali kekang dari api neraka.” (HR. Ibnu Majah)127. Ibnu katsir kemudian mengutip Mujahid dan ‘Atha’
yang mengatakan:
“Orang yang dapat menulis berkewajiban untuk menuliskan.”128 Jadi hukum pencatatan oleh penulis dalam hal ini adalah wajib, penulis dalam zaman saat ini biasa disebut notaris tidak boleh menolak jika disuruh membuat akta kecuali dengan alasan tertentu seperti yang tersebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d UUJN, namun jika ia tidak dapat melakukannya maka tidak apa-apa jika dia tidak menuliskannya. Kaerena dalam praktek ditemukan alasan-alasan sehingga notaris menolak memberikan jasanya, antara lain: a.
Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik.
b.
Apabila notaris tidak ada karena dalam keadaan cuti, jadi karena sebab yang sah.
125 Fu’ad, Muhammad, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim, Jakarta: Insan Kamil, 2012.Hal. 189 126 Imam Nawawi,Terjemahan Syarah Bukhari Muslim,Mustaqim,Jakarta,2003,Hal.170 127 Imam Nawawi,Ibid, Hal.190 128 Ibnu Katsir, Op.Cit,Hal.395
Universitas Sumatera Utara
75
c.
Apabila notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain.
d.
Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada notaris.
e.
Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
f.
Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang diwajibkan.
g.
Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum.
h.
Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.129
129
Habib Adjie,Op Cit, Hal. 87
Universitas Sumatera Utara