REGULASI HUTANG PIUTANG DALAM TINJAUAN EKONOMI ISLAM [Telaah Terhadap Surat al-Baqarah Ayat 282] Muzakkir S. Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Alumnus Fakultas Syariah IAIN Mataram Email:
[email protected] Abstrak Islam sangat menekankan regulasi sosial yang berdasarkan prinsip saling tolong menolong, keseimbangan dan kesetaraan. Dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia dalam konsep Islam harus bekerjasama dengan sesama manusia karena organisasi sosial manusia digambarkan sebagai satu bangunan yang komponen-komponennya adalah individu-individu yang saling mendukung satu sama lain. Hal yang sangat dihindari dalam interaksi sosial, adalah lahirkan konflik yang bermotifkan materi, yang tidak jarang bisa menjadi bencana kemanusiaan. Salah satu pemicunya adalah konflik atau sengketa yang diakibatkan oleh hutang piutang. AlQuran secara khusus memberikan perhatian lebih terhadap masalah ini yang diindikasikan dengan detailnya ayat yang mengatur masalah hutang piutang ini. Tercatat ayat al-Quran yang paling panjang adalah ayat mengenai hutang piutang. Tulisan ini akan mengelabirasi lebih jauh substansi pesan moral dan juga regulasi hutang piutang sebagaimana dalam ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 282 ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tematik-kontektual, dengan data-data dari al-Quran dan juga juga data dari teks-teks normatif lainnya. Kata kunci: regulasi sosial, hutang piutang, dan kontektualisasi
Pendahuluan Pada dasarnya, setiap manusia selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi ke butuhan ini, sifat manusia pada umumnya berharap selalu ingin dapat memenuhi kebutuhan. Padahal, ke butuhan tersebut beraneka ragam.1 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. . 1
64 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Dengan menghadapi adanya kebutuhan tersebut manusia selalu berkeinginan untuk memenuhi seluruhnya karena pada dasarnya mereka ingin hidup layak dan selalu berkecukupan. Implikasinya adalah mereka harus bekerja supaya memperoleh penghasilan yang dijadikan sebagai modal memenuhi kebutuhan. Maka siklus dalam kehidupan tidak
terlepas dari transaksi utang piutang, yang dilatarbelakangi untuk pemenuhan kebutuhan. Hutang piutang atau pinjam me minjam sebagaimana diatur dalam bab Ketiga Belas Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam pasal 1754 KUH Perdata menyebutkan, pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang be lakangan ini akan mengembalikan se jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.2 Perjanjian hutang piutang pada dasarnya dapat dibuat dengan bebas dalam bentuk lisan atau tertulis sa ngat tergantung pada para pihak yang mengadakan perjanjian. Pada umum nya apabila nilai utangnya besar dan berhubungan dengan salah satu pihak nya adalah perusahaan, maka perjanjian utang piutang tersebut dibuat dalam bentuk tertulis. Tujuan surat perjanjian itu untuk kepentingan administratif perusahaan dan sekaligus sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi sengketa di antara keduanya. Namun apabila skala utang itu kecil sering kali dibuat secara lisan atau tanpa penulisan. Namun Islam dengan komplisitas hukumnya mengarahkan umatnya untuk senantiasa mencatat transaksi utang piutang sebagai bentuk antisipasi konflik kedua pihak di kemudian hari. 2
Ibid..., hlm 9.
Syumuliyah Islam tergambar dalam segala aspek kehidupan manusia. Mana jemen hutang piutang diatur begitu detail dalam al-Quran sehingga ayat yang berkaitan dengan hutang piutang tersebut menjadi ayat yang paling panjang dalam al-Quran yang populer dengan ayat dain atau ayat mudayanah. Namun, perkembangan dewasa ini, apa yang disebut dengan akuntansi merupakan term yang populer di kalangan ilmuan dan mengasumsikan bahwa itu semua tidak ada dalam Islam. Kedatangan al-Quran merupakan ben tuk respons terhadap fenomena dan problamatika kehidupan manusia salah satunya tentang akuntansi. Berdasarkan fenomena di atas, pertanyaan sederhana sering kali muncul bagaimana pandangan Islam tentang hutang piutang? bagaimana mekanisme dan pola hutang piutang dalam alQuran? Untuk itu, dalam makalah ini penulis mencoba mengutarakan kon sep-konsep yang termaktub dalam alQuran sebagai pijakan dalam melaku kan transaksi hutang piutang. . Teks Normatif yang Berkaitan dengan Hutang Piutang Kata Dain dalam al-Quran terdapat lima kata yang menyebut secara implisit dengan lafadz dain itu sendiri yaitu ter dapat satu kata dalam surat al-Baqarah ayat 282 dan empat kata dalam al-Nisa ayat 11 dan 12.3 Dari lima ayat tersebut hanya satu ayat yang mengarah kepada Farid ‘Iwad Haidar, Al-Khashaisul al-Dalaliyah li Ayati al-Muamalat al-Madiyah (Mesir: Dar al-Kutub, 1995), hlm. 306.
Iqtishaduna
3
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 65
dain yang mu’amalah sedangkan yang empat ayat yang lain mengarah kepada gairu mu’amalah. Dengan demikian, pada paper ini penulis hanya akan fokus pada satu ayat yang mengacu pada masalah mu’amalah pada surat alBaqarah ayat 282 dan ayat 283 sebagai korelasi dengan ayat 282. Ayat yang fokus membahas masalah hutang piutang secara detail termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 282, yaitu;
ين آ َمنُوا إِ َذا تَدَايَنْتُ ْم بِ َديْ ٍن إِ ىَل َ يَا أَيُّ َها الَّ ِذ ب بَيْنَ ُك ْم ْ ُأَ َج ٍل ُم َس ًّمى فَا ْكتُبُوهُ َولْيَ ْكت ب ٌ ِب َكات ٌ َِكات َ ْب بِالْ َع ْد ِل َولاَ يَأ َ ُب أَ ْن يَ ْكت َّلله ب َولْيُ ْم ِل ِل الَّ ِذي ْ َُك َما َع َّل َم ُه ا ُ فَلْيَ ْكت َ ََّعلَي ِه حْالَ ُّق َولْيت ِ لله س َ ْ َّق ا َربَّ ُه َولاَ يَبْ َخ ْ ِمنْ ُه َشيْئًا فَإِ ْن َكا َن الَّ ِذي َعلَيْ ِه حْالَ ُّق ً ض ِع َ َس ِفي ًها أَ ْو َطي ُع أَ ْن يمُِ َّل ِ يفا أَ ْو لاَ يَ ْست ْ است َش ِه ُدوا ْ ُه َو فَلْيُ ْم ِل ْل َولِيُّ ُه بِالْ َع ْد ِل َو َش ِهي َديْ ِن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَإِ ْن مَلْ يَ ُكونَا َ ان مِمَّ ْن تَ ْر ض ْو َن ِ َي فَ َر ُج ٌل َوا ْم َرأَت ِ َْر ُجلَ ن
ُّ ِم َن الش َهدَا ِء أَ ْن تَ ِض َّل إِ ْحدَا ُه َما فَتُ َذ ِّك َر ُْإِ ْحدَا ُه َما أ ُّ ب الش َهدَا ُء إِ َذا َ ْال ْخ َرى َولاَ يَأ ريا ً ص ِغ َ َُما ُد ُعوا َولاَ تَ ْسأَ ُموا أَ ْن تَ ْكتُبُوه ريا إِ ىَل أَ َج ِل ِه َذلِ ُك ْم أَ ْق َس ُط ِعنْ َد ً ِأَ ْو َكب َّ ِاللهَِّ َوأَ ْق َو ُم ل لش َها َد ِة َوأَ ْدنَى أَلاَّ تَ ْرتَابُوا يرونَ َها ِ إِلاَّ أَ ْن تَ ُكو َن جِتَا َر ًة َح ُ اض َر ًة تُ ِد اح أَلاَّ تَ ْكتُبُو َها ٌ َس َعلَيْ ُك ْم ُجن َ ْبَيْنَ ُك ْم فَلَي َ َُوأَ ْش ِه ُدوا إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َولاَ ي ب ٌ ِار َكات َّ ض ٌ َولاَ َش ِهي ٌد َوإِ ْن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّ ُه فُ ُس وق بِ ُك ْم
66 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
َواتَّ ُقوا اللهَّ َ َويُ َع ِّل ُم ُك ُم اللهَّ ُ َواللهَّ ُ بِ ُك ِّل )282( َش ْي ٍء َع ِلي ٌم
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hen daklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menulis kannya sebagaimana Allah mengajar kannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur, dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orangorang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”4 Sedangkan ayat yang memiliki ko relasi dengan ayat 282 adalah al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi;
ت ُدوا َكاتِبًا ََِوإِ ْن ُكنْتُ ْم َعلَى َس َف ٍر َو مَلْ ج َ ُفَ ِر َها ٌن َمقْب ض ُك ْم بَ ْع ًضا ُ وض ٌة فَإِ ْن أَِم َن بَ ْع َ ََّّق الله ِّ فَلْيُؤ ِ َد الَّ ِذي اؤمُْتِ َن أَ َمانَتَ ُه َولْيَت َّ َربَّ ُه َولاَ تَ ْكتُ ُموا الش َها َدةَ َو َم ْن يَ ْكتُ ْم َها فَإِنَّ ُه آثِ ٌم قَلْبُ ُه َواللهَّ ُ مِبَا تَ ْع َملُو َن َع ِلي ٌم
)283(
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan: Al-Jumânatul ‘Ali (Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2004), hlm.48. 4
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Asbabun Nuzul Adapun masalah asbabun nuzul surat al-Baqarah ayat 282 adalah sebagaimana yang tertera dalam kitab ringkasan tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Sufyan al-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas “ayat yang diturunkan berkaitan dengan masaah salam (mengutangkan) hingga waktu tertentu. Saya bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk diselesaikan pada tempo tertentu adalah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah, kemudian dia membaca ayat ياأيها الذين آمنوا إذا تداينتم بدين اىل أجل مسمى فاكتبواه. Di riwayatkan oleh Bukhari dan ditegaskan dalam Shahihain.5 Pendapat lain mengatakan bahwa “dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Nabi saw tiba di madinah sedang penduduknya mengutangkan buah se lama satu, dua, atau tiga tahun maka rasulullah saw bersabda
من اسلف فليسلف يف كيل معلوم ووزن معلوم اىل اجل معلوم
“Barang siapa yang meminjamkan sesuatu hendaklah dia melakukannya dengan takaran, timbangan, dan jangka waktu yang pasti. 6
Abu Jafar Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah), hlm. 43. 5
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, ter.Syihabudin cet.1 (Jakarta: Gema Insani, 1999). juz 1. hlm. 462.
Iqtishaduna
6
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 67
Ada beberapa hadits yang menjelaskan asbabunnuzul ayat tersebut dengan rawi yang berbeda namun dengan sanad yang sama yaitu dari Ibnu Abbas. Adapun tentang ayat 283 dalam hal ini penulis tidak menemukan asbabunnuzul dan tidak akan fokus pada pembahasannya. Penyertaan ayat 283 dalam makalah ini hanya sebatas menunjukkan adanya korelasi dengan ayat sebelumnya. Namun perbedaannya adalah pada ayat 282 membahas tentang tata cara pencatatan dan persaksian dalam transaksi hutang piutang sedangkan pada ayat 283 hanya membahas tentang rahn.
Dari ayat mudayanah di atas, penulis akan mengambil beberapa kata yang memiliki interpretasi secara umum yang ada dalam beberapa kitab. Sebagaimana yang disebut dalam kitab al-Maraghi sebagai berikut;7
تداينتم: kamu bermuamalah tidak
secara tunai artinya melakukan transksi hutang piutang di antara kalian.
بدين: dengan transaksi secara tidak
tunai. Imam Ats-Ts’alaby mengatakan bahwa dain itu adalah transaksi secara tidak tunai sedang ‘Ain itu adalah transaksi secara tunai.8
اىل أجل مسمى: sampai batas waktu yang
ditentukan baik berupa hari, bulan, tahun
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktab Musthafa al-Bani, 1946), hlm. 67. 7
Abu Ishaq Ahmad, Al-Kasyfu wa al-Bayan (Bairut: Daru Ihya al-Turats al-Araby, 2002), juz. II. hlm. 290. 8
Iqtishaduna
بالعدل: dengan sama rata tanpa
memihak kepada salah satu dua belah pihak
وال يأب: dan janganlah enggan, artinya
tidak mencegah diri untuk tidak menulis sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah.
كما علمه اهلل: sebagaimana yang telah
diajarkan oleh Allah, artinya dengan cara yang telah diajarkan oleh Allah SWT berupa tata cara menulis yang terpercaya
وليملل: hendaklah mendiktekan
kepada penulis apa yang akan ditulis
وال يبخس: dan tidak mengurangi
Tafsir Mufradat
68 |
dan sebagainya yang dapat diketahui dan dimaklumi bersama.
Jurnal Ekonomi Islam
سفيها: lemah ingatan dan tidak cakap
dalam transaksi karena faktor akal yang lemah juga
ضغيفا: anak kecil atau orang tua
jompo
او ال يستطع أن ميل:
karena
faktor
bodoh atau bisu
استشهدوا شهدين: minta kepada dua
orang laki-laki menjadi saksi
ترضون
: yang kalian ridhai karena faktor agama dan keadilan mereka
أن تضل: kamu salah karena tidak
menulis dan kurang perhatian
وال تسأموا: jangan condrong dan
memihak
أقسط: lebih adil dan sesuai أقوم: dapat lebih membantu untuk
melaksanakannya
أدنى: lebih dekat
أال ترتابوا: untuk menegasikan sebuah
keraguan pada masalah hutang piutang baik jenis, ukuran ataupun batas jatuh tempo
تديرونها: melakukan transaksi secara
tunai
اجلناح: sama dengan ( اثمdosa) atau
( ذنبdosa)
وال يضار: tidak melakukan dharar
kepada dua belah pihak dengan cara melarang menulis, mendatangkan saksi, dengan merubah, menambah dan mengurangi
فسوق: keluar dari ketaatan. Tafsir Ayat Dalam ayat 282, perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintannya. Namun ada beberapa penggalan ayat yang dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam memahami ayat tersebut, yaitu; Pertama, kalimat إذا تداينتم بدين diartikan apabila kalian bermu’amalah dan saling memberi hutang piutang. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak
pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. menegaskan: “Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak,” Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran. Yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan), akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Kedua, kalimat اىل أجل مسمىartinya pada waktu jatuh tempo baik dalam hitungan hari atau bulan. Maksud “Untuk waktu yang ditentukan.” Ibnu al-Mundzir mengatakan: firman Allah ini menunjukkan bahwa pinjaman yang dilakukan dengan waktu yang tidak ditentukan itu tidak diperbolehkan. Sebuah hadist shahih menyebutkan, bahwa ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, penduduk Madinah saat itu sudah terbiasa bertransaksi dengan cara berutang untuk menanam tanaman mereka, dengan jangka waktu pelunasan dua atau tiga tahun. Lalu Rasulullah saw. bersabda : “Barang siapa yang ingin bertransaksi salam pada kurma, maka bertransaksilah, dengan timbangan
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 69
yang diketahui, takaran yang diketahui, dan waktu yang diketahui.” Hadist ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, oleh Imam al-Bukhari, imam Muslim, dan para imam hadist lainnya. Ketiga, kalimat فاكتبواهartinya menuliskan utang tersebut dan waktu pembayarannya. Beberapa ulama mengatakan perintah pada ayat ini adalah untuk menuliskan, namun makna sebenarnya adalah perintah untuk menuliskan serta mempersaksikan, karena penulisan tanpa disaksikan tidak dapat menjadi hujjah yang kuat.9 Lalu ada juga yang berpendapat bahwa perintah penulisan tersebut adalah agar kedua belah pihak tidak ada yang lupa dengan transaksi. Perintah ayat tersebut bukan wajib tapi merupakan perintah untuk dilakukan pencatatan sebagai arsip. Perintah disini merupakan perintah yang bersifat membimbing, bukan mewajibkan. Abu Said al-Sya’bi, Rabi’ bin Anas dan yang lainnya mengatakan bahwa pada mulanya mencatat transaksi itu wajib, kemudian hal itu dinasakh dengan firman allah “apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya” (yang dinasakh adalah ke wajiban mencatat, bukan mencatat itu sendiri, karena mencatat transaksi itu lebih utama).10 Keempat, Firman Allah swt., وليكتب بينكم كا تب با لعدل “ Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.” Atha’ serta ulama lainnya mengatakan yang diwajibkan untuk menuliskannya adalah seorang penulis (yang bekerja di bidang tersebut/seorang yang dipercaya). Kata bil’adli artinya penulis yang dapat dipecaya dan tidak memihak kepada salah satu,menulis dengan penuh ihtiyath dan sawiyah11 serta tidak melebih atau mengurangkan. Dalam tafsir al-Maraghi disebutkan bahwa syarat penulis itu harus adil bukan cerdas dikarenakan orang adil itu bisa belajar dengan mudah tentang tata cara penulisan tetapi orang yang cerdas atau pintar susah untuk belajar tentang keadilan. Bahkan alMaraghi mengatakan “sedikit sekali kita melihat kerusakan yang diakibatkan oleh orang adil sekalipun ilmunya sedikit, sebaliknya banyak sekali kerusakan yang terjadi oleh orang yang banyak ilmu tapi keadilan tidak ada dalam dirinya.12 Huruf ba’ pada firman Allah swt.. بالعدل itu kaitannya kepada firman-Nya وليكتب, bukan kepada kata كاتب, karena dalam penulisan ini tidak perlu seorang yang benar untuk menuliskannya, namun yang terpenting adalah ia menuliskannya dengan benar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa penulisan dokumen sebaiknya tidak ditulis oleh seseorang kecuali ia benar-benar mengetahui perihal isi dokumen tersebut, dan ia juga dapat
Abu al-Laitsi Nash bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Samarqandi, Bahr al-Ulum (Bairut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1993), juz. I. hlm. 237.
Abu Qasim Mahmud bin Umar al-Zamahsyari, al-Kasysyaf (Riyad; Makatabatul Abikan, 1998), hlm. 512.
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan dari Allah ..., hlm. 463.
Ahmad Mushtafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktab Musthafa al-Bani, 1946), hlm. 69.
9
10
70 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
11
12
dipercaya. Dalilnya adalah firman Alllah swt. Menurut Ali al-Shabuny bahwa ayat ini menurut ilmu Balaghah mengandung unsur ithnab yaitu kalimat yang menggunakan banyak kalimat akan tetapi mengandung satu pengertian. Hal ini terdapat pada kalimat فاكتبواهdan kalimat فليكتب بينكم كاتب, artinya pada intinya adalah perintah menulis.13 Kelima, Firman Allah swt., وليملل
وال يبخس منه,آلذى عليه آحلق وليتق آهلل ربه “شيىاyakni agar orang yang berutang
dapat mengakui dengan lisannya sen diri tentang pinjaman tersebut, dan mendiktekannya kepada si penulis agar ia dapat memahaminya. Ayat ini memerintahkan kepada orang yang berutang untuk mendiktekan apa yang harus dituliskan oleh si penulis, karena persaksian itu diambil dari pengakuan yang berutang melalui pengejaannya. Allah swt. juga memerintahkan kepadanya untuk bertakwa kepadaNya atas apa yang didiktekannya itu. Allah swt. juga melarang untuk mengurangi sedikitpun dari utangnya dan menyimpang dari kebenaran. Keenam, Firman Allah swt. ان كان
آلذي عليه آحلق سفيها أوضعيفا أوال يستطيع أن “ميل هوBeberapa pendapat mengatakan bahwa maksud dari kata سفيها pada
ayat ini adalah anak-anak yang masih kecil. Namun maksud tersebut tidak dapat diterima, karena kata سفيها sering pula disebutkan untuk orang-orang yang sudah besar namun tidak berakal. Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwat al-Tafasir (Bairut: Darul Quran al-Karim, 1981), juz. I. hlm. 179. 13
Ketujuh, Firman Allah swt., أو ضعيفا
بالعدل,“أوال يستطيع أن ميل هو فليملل وليه Makna dari kata ضعيفا pada ayat ini
adalah orang-orang yang lemah akalnya secara fitrah dan orang-orang yang tidak mampu untuk mengeja, entah itu karena penyakitnya atau ketuliannya atau atau karena yang lainnya. Jika demikian, maka yang berhak menjadi walinya adalah orang tuanya atau aahli warisnya. Jika para wali ini juga tidak dapat menyaksikannya, entah karena sakit ataupun alasan syar’i lainnya, maka yang menjadi walinya adalah perwakilan dirinya.
Kedelapan, Firman Allah swt. “وآستشهدوأ شهيدين من رجالكمMak na dari kata وآستشهدوأ pada ayat ini adalah meminta mereka untuk me nyaksikan atau bersaksi. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kesaksiannya, apakah diwajibkan atau disunahkan. Namun hukum yang benar dari sebuah persaksian adalah disunahkan. Setelah menjelaskan tentang penulisan, uraian selanjutnya akan membahas tentang persaksian, dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Kata saksi yang digunakan ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. De ngan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi dimaksud adalah saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 71
ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهدatau شهيدyaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata pluralnya ialah اشهادdan شهودkata شهيدpluralnya ialah شهداءdan bentuk masdarnya adalah الشهادةyang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Yang patut dipertanyakan adalah mengapa dua wanita disetarakan dengan seorang laki-laki? karena supaya jika salah seorang wanita saksi itu akan lupa maka seseorang lagi menjadi saksi bersamaan atau berlaku salah, di samping tidak mengingat peristiwa yang sebenarnya, maka dibutuhkan kedua orang wanita dalam kesaksian ini. Sebab, bila yang seorang lupa, maka yang lainnya bisa mengingatkannya, dan melengkapi kesaksiannya. Kajian ini menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya berbilangnya jumlah saksi wanita dalam syariat agama. Sebab, menurut kebiasaan wanita, biasanya tidak melibatkan diri dalam urusan yang berkaitan dengan harta benda dan lainnya yang masuk dalam lingkup mu’amalah transaksi, sehingga ingatan mereka tampak lemah dalam menangani masalah ini.14 Berbeda halnya dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ingatan mereka terhada masalah 14
Ahmad Mushtafa al-Maraghi…, hlm. 71.
72 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
terakhir ini boleh dibilang lebih kuat dibanding perhatian lelaki. Sebab, fitrah manusia akan selalu mengingat hal-hal yang berkaitan dengan urusanurusannya, dan kesibukan wanita zaman sekarang bukan berarti merubah prinsip dari ketetapan hukum ini. Sebab, hukum ditentukan untuk umum dan mayoritas umat, jika ada, maka bilangannya sangat sedikit untuk setiap generasi. Kesembilan, Firman Allah swt., فان مل “يكونا ر جلني فرجل وآمر أتانMaknanya adalah jika orang yang meminta dipersaksikan tidak mendatangkan dua orang lakilaki maka ia harus menghadirkan satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama. Ulama lain menafsirkan, makna dari ayat ini jika tidak ada dua orang lakilaki. Dengan demikian, persaksian dua orang wanita dengan satu orang lakilaki ini tidak diperbolehkan jika masih ada satu orang laki-laki lain. Ibnu Athiyah mengatakan pendapat ini lemah, karena lafadzh ayat tidak menunjukkan seperti itu. Yang jelas dari ayat diatas adalah seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama, yakni jika yang bersaksi itu bukan dua orang laki-laki, yakni jika pemilik piutang lupa mendatangkan dua orang lakilaki sebagai saksi, atau ia tidak dapat mendatangkan dua orang laki-laki sebagai saksi karena ada alasan tertentu yang syar’i, maka persaksian itu diboleh kan untuk dilakukan oleh satu orang laki-laki dan dua orang wanita. Hal ini dibolehkan hanya untuk masalah keuangan saja, tidak untuk yang lainnya, karena pada masalah keuangan Allah
swt. telah menyebutkan banyak sekali cara meratifikasikannya, juga karena banyaknya bentuk pencarian, dilakukan oleh semua orang, dan pengulangannya. Al-Maraghi berkomentar tentang masalah hikmah persaksian dua perempuan sebanding dengan satu orang laki karena kelemahan status kesaksian seorang wanita dan minimnya orang percaya tentang kesaksian mereka.15 وال ( تسأموا أن تكتبوه صغريا او كبريا اىل آجلهdan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya). Selanjutnya Allah mengingatkan agar tidak bosan untuk menulis transaksi yang jumlahnya kecil, janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya. Kesepuluh, firman Allah swt.
Kesebelas, Firman Allah swt. إال ان
تكون جتارة حاضرة تديرونها بينكم فليس عليكم جناح أال تكتبواهاkecuali jika mu>amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Ayat ini mengindikasikan bahwa transaksi secara tunai tidak dituntut untuk mencatatnya. Namun bila dilihat secara mashalahah dari pencatatan tersebut maka baik tunai atau secara hutang piutang, anjuran pencatatan tetap dilaksanakan akan lebih menjaga dari konflik atau perselisihan serta menjadi arsip atau administrasi formal. Keduabelas,
firman Allah swt. واشهدوا اذا تبايعتمdan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; Penggalan
ayat ini mengindikasikan bahwa dalam masalah hutang piutang dianjurkan untuk mencatat guna memperkuat dan mengantisipasi. Namun dalam masalah jual beli dianjurkan adanya saksi.16 Perintah ini oleh mayoritas ulama dipahami sebagai petunjuk umum, bukan perintah wajib. Janganlah pe nulis dan saksi memudharatkan yang bermuamalah, dan dapat juga ber arti janganlah yang bermuamalah memudharatkan para saksi dan penulis. Salah satu bentuk kemudharatan yang dapat dialami oleh saksi dan pe nulis adalah tersitannya waktu yang dapat dipergunakan untuk mencari rezeki, biaya transportasi, dan biaya administrasi, dan dibenarkan untuk memberi imbalan atas pengorbanan tersebut. Sebagai penutup ayat, perintah bertaqwa yang disusul dengan meng ingatkan pengajaran ilahi merupakan penutup yang amat tepat karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang di milikinya dengan berbagai cara ter selubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini, peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pe ngajaran Ilahi menjadi sangat tepat. Penutup Ayat ini merupakan dasar dari Akuntansi syariah, sangat dianjurkan untuk transaksi yang tidak secara tunai baik yang memiliki nilai besar, ataupun kecil hendaknya dicatat dalam sebuah pembukuan, menjadi Abu Ishaq Ahmad, Al-Kasyfu wa al-Bayan (Bairut: Daru Ihya al-Turats al-Araby, 2002), juz.II. hlm. 291. 16
15
Ibid...., hlm. 70.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 73
saksi hukumnya fardhu kifayah, dan janganlah enggan menjadi saksi dengan alasan kemaslahatan pribadi, disisi lain hendaknya yang melaukuan muamalah tidak memberi mudharat kepada saksi dan pencatat transaksi, perintah bertakwa diakhir ayat dimaksudkan agar yang melakukan transaksi perdagangan tidak menggunakan pengetahuannya untuk menarik keuntungan yang berakibat kerugian dipihak lain. Analisis Kontekstual Ayat Ayat hutang piutang ini memiliki korelasi (tanasubul ayat) dengan ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat jauh dari kesalahan dan kedzaliman serta kedua pihak tidak rugi. Ayat ini dikenal dengan ayat alMudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguhan pembayaran hutang kepada yang tidak mampu membayar hutang nya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu (ayat 280).17 Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwat al-Tafasir (Bairut: Darul Quran al-Karim, 1981), juz. I. hlm. 177. 17
74 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Dari ayat 282 di atas ada beberapa kalimat yang secara linguistik Arab memiliki korelasi. Di antara kalimat yang memiliki makna korelasi dengan kalimat yang lain adalah seabagai berikut; 1. Lafadz perintah yang ada menggunakan bentuk derivasi kalimat yang berbeda Dalam ayat tersebut ada tiga bentuk perintah yaitu lafadz فليكتب, فاكتبواهdan lafadz أن تكتبوا. Tiga lafadz perintah tersebut mengindikasikan begitu pen tingnya proses pencatatan dalam masalah hutang piutang. Akan tetapi perintah tersebut bukan berarti wajib namun itu perintah tersebut untuk membimbing. Sebenarnya ayat tersebut hanya mengandung dua perintah yaitu perintah mencatat hutang piutang dan perintah kesaksian. Dengan demikian status perintah tersebut adalah sunnat. Namun pendapat yang mengatakan hukumnya wajib maka itu terjadi kon tradiksi yaitu ada yang mengatakan tetap wajib yang dipelopori oleh Atha’, Ibnu Juraih, dan al-Nakha’i. Selain itu ada yang mengatakan bahwa perintah tersebut wajib namun dinasakh dengan ayat selanjutnya yang mengatakan فإن
أمن بعضكم بعضا فاليؤد الذي امتن أمنته...
pendapat itu dipelopori oleh Imam Asy-Sya’bi, Al-Hasan, al-Hakam dan Ibnu Uyainah. 2. Status Katib dalam Ayat Tersebut Harus Adil. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan
yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, di samping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Oleh karena itu, di akhir ayat tersebut Allah memunculkan sinonim adil dengan kata aqsath yang merupakan tujuan dan fungsi pencatatan itu sendiri. Allah berfirman ذلك أقسط عند اهلل واقوم. Dengan demikian, ada korelasi antara pensyaratan seorang katib yang adil dengan ending dari perintah pencatatan tersebut. Namun dari beberapa kajian yang ada, penulis melihat bahwa konsep adil yang menjadi interpretasi para mufassir adalah keadilan normatif bukan subyektif. Karena pada dasarnya adil itu memiliki dua makna secara definisi, yaitu pertama األستواء بني األمرين (seimbang/tidak memihak kepada sa lah satu) dan kedua وضع الشيء يف حمله (menempatkan sesuatu pada memang tempatnya). Dengan demikian, konsep adil yang dimaksud dari ayat di atas adalah konsep adil yang pertama. 3. Model Transaksi Model transaksi yang dianjurkan untuk dicatat adalah transaksi hutang piutang bukan transaksi tunai. dikarena kan ayat tersebut menggunakan kata dain bukan ‘ain. Karena dian itu sendiri artinya transaksi dengan cara hutang piutang sedangkan ‘ain transaksi secara
tunai. Status kekuatan pencatatan le bih kuat daripada kesaksian. Karena secara fisik dapat menjadi bukti adanya transaksi. 4. Kuantitas Saksi Mendatangkan kuantitas saksi, yaitu dua orang laki-laki atau satu lakilaki dengan dua orang perempuan. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh beberapa mufassir bahwa ayat ini bukan berarti membeda-bedakan kesaksian perempuan. Dengan de mikian, fenomena yang terjadi bahwa perempuan lebih telaten dalam masalah keuangan bukan berarti akan merubah hukum tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al-Tsa’alaby bahwa kesaksian perempuan itu dapat diterima pada empat tempat, yaitu masalah rahasia kewanitaannya; ma salah melahirkan; masalah menyusui dan masalah istihlal (mampu melihat bulan).18 Kesimpulan Maka konklusi yang dapat diambil bahwa penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak pe nulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemam puannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Setelah menjelaskan hukum penulisan utang-piutang, penulis, kriteria dan 18
Iqtishaduna
Ibid..., hlm. 293. Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 75
tanggung jawabnya, dikemukakan ten tang siapa yang mengimlakkan kan dungan perjanjian, yakni dengan firman Allah: Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakan apa yng telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi hutang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berutang mengingkarinya. Dengan mengimlakkn hutangnya sendiri, dan di hadapan pemberi hutang dan memberinya juga, tidak ada alasan untuk mengingkari, sambil mengimlakan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT. Namun dari paparan di atas, secara umum ada beberapa konklusi yang dapat diambil pijakan hukum yaitu; 1. Ayat 282 tersebut merupakan ayat yang terpanjang dalam al-Quran dan paling detail dalam memberikan penjelasan tentang bermuamalah. Tidak ada ayat muamalah yang sekomplit ayat al-mudayanah ter sebut.
dalam transaksi maka dia bisa men jadi suatu kewajiban. 4. Seorang katib harus adil. Dalam hal ini adil dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. Tidak me mihak kepada salah satu dengan cara menambah atau mengurangi salah satu dari kedua belah pihak. Adil menjadi dasar awal seorang akuntan. Bukan sekedar cerdas, namun lebih kepada bagaimana seseorang berlaku adil secara normatif. 5. Anjuran pencatatan berlaku pada transaksi hutang piutang adapun transaksi jual beli dianjurkan untuk menghadirkan saksi. Daftar Pustaka Abu Al-Laitsi Nash bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim AlSamarqandi, Bahrul Ulum, Bairut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1993. Abu Ishak Ahmad, Al-Kasyfu wal Bayan Bairut: Dar Ihya Al-Turats AlAraby, 2002. Abu Jafar Muhammad Bin Jari AlThabari, Tafsir Al-Thabari Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1989.
2. Ayat 282 tersebut mengandung perintah penting yaitu perintah men catat dan perintah mendatangkan saksi. Hal itu sebagai upaya dalam memperkuat bukti atau sebagai arsip bagi kedua belah pihak.
Abu Qasim Mahmud bin Umar AlZamahsyari, Al-Kasysyaf Riyad; Makatabatul Abikan, 1998,
3. Perintah mencatat hutang piutang pada dasarnya dianjurkan namuan bila itu diperlukan sebagai bukti
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahan : Al-Jumânatul ‘Ali Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2004.
76 |
Iqtishaduna
Jurnal Ekonomi Islam
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir AlMaraghi Mesir: Maktab Musthafa Al-Bani, 1946.
Farid ‘Iwad Haidar, Al-Khashaisul AlDalaliyah Liayati al-Muamalai AlMadiyah. Mesir: Dar al-Kutub, 1995.
Muhammad Nasib alr-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, ter.Syihabudin cet.1, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang. Jakarta: Kencana, 2013. Muhammad Ali al-Shabuny, Shafwatut al-Tafasir, Bairut: Darul Quranil Karim, 1981.
Iqtishaduna
Volume 5 Nomor 1 Juni 2014
| 77