Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Alokasi Dana Sukuk Dalam APBN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Oleh : Diyanti NIM : 106046101609
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat memberikan pengaruh yang signifikan pada pasar modal diberbagai negara di dunia, tidak sedikit indeks harga saham yang jatuh dan mengalami kemerosotan akibat krisis financial global. Akibatnya, Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%. Bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41%, dan zona Eropa 37%. 1 Dari realitas yang terjadi pada krisis financial yang terjadi pada Amerika dan membawa akibat yang buruk bagi negara-negara di dunia, telah memberikan gambaran bahkan bukti tentang keburukan yang sebenarnya dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan pada perekonomian dunia. Hilangnya kepercayaan dari kegagalan sistem ekonomi kapitalis ini membuat para intelektual muslim di Indonesia harus melihat kembali pemikiran-pemikiran dari para pakar ekonomi islam salah satunya seperti Ibnu 1
Anjrah Lelono Broto. Kapitalisme Dan Sukuk. Artikel diakses pada tanggal 29 januari 2010 dari http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/07/08/kapitalisme-dansukuk/
2
Taimiyah, yang pembahasannya lebih menekankan pada karakter religius dan tujuan dari sebuah pemerintahan : “Tujuan terbesar dari negara adalah mengajak penduduknya melaksanakan kebaikan dan mencegah mereka berbuat mungkar”. 2 Hingga akhirnya para ahli ekonomi dunia melirik sistem yang ditawarkan dalam ekonomi islam yang konsepnya lebih kepada membawa keadilan dan kemaslahatan umat. Kebijakan pemerintah untuk menambah pendapatan negara salah satunya adalah dengan melakukan pinjaman yang diperoleh dari dalam negeri atau luar negeri disamping dari penarikan pajak, pendapatan dari Badan Usaha Milik Negara dan industri dalam negeri, atau dengan dikeluarkannya Surat Berharga Negara (SBN). Pinjaman-pinjaman yang berasal dari luar negerilah yang paling membahayakan eksistensi suatu negara karena tidak pernah lepas dari bunga sebagai return yang timbul dari adanya pinjaman tersebut. Padahal Islam dengan tegas telah mengharamkan riba. 3 Jika melihat adanya batasan berhutang dalam kacamata ekonomi islam, dan bagaimana upaya pemerintah untuk menambah pemasukan negara dan memberikan pendanaan bagi program-program proyek produktif dengan dana yang memadai tanpa adanya beban bunga yang harus di tanggung negara. Maka, pemerintah harus berupaya melihat kemapuan Negara dalam
2
Euis Amalia, M.Ag. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: Granada Press, 2007), h.179. 3 4 kali proses turunnya wahyu yang menyatakan larangan bunga dalam islam, (1) ar Rum: 39, (2) an Nisa: 160-161, (3) Ali Imran: 130-132, (4) al Baqarah: 278-279)
3
memberikan pembiayaan sebelum mengeluarkan uang. Agar terhindar dari beban bunga yang akan membawa kepada kesusahan bagi negara itu sendiri. Cross border transaction atau transaksi keuangan antar negara sudah mulai marak dibicarakan dan tampaknya merupakan suatu transaksi keuangan syariah yang ideal untuk dilakukan guna menjaring dan menyerap dana dari Negara-negara di Timur Tengah atau Gulf Corporation Council (GCC). Negara-negara GCC adalah negara-negara kaya penghasil minyak di kawasan Timur Tengah. Salah satu transaksi cross border yang ideal adalah dengan menerbitkan global sukuk. 4 Dengan merujuk kepada besarnya pembayaran utang dan beban bunga utang yang sangat besar telah mereduksi alokasi anggaran belanja pembangunan yang seharusnya menjadi prioritas. Sebagai contoh, anggaran negara pada tahun 2004 dari Rp 343,9 triliun, alokasi untuk anggaran belanja pembangunan hanya 68,1 triliun rupiah, masih lebih kecil dari pada anggaran untuk pembayaran “bunga utang” sebesar 68,5 triliun rupiah. Sebagaimana telah diketahui bahwa setiap tahunnya negara menanggung pembayaran beban utang baik pokok dan bunganya hampir mencapai 30 persen dari total APBN. 5 Dengan melihat besarnya prosentase pembayaran bunga dalam anggaran
4
Nibra Hosen. Dampak Global Penerbitan Sukuk Pada Perkembangan Ekonomi Syariah. Artikel diakses pada tanggal 23 Maret 2009 dari http://www.pkesinteraktif.com/sukuk dan persyaratan investor 5 Sigit Pramono, dkk. Obligasi Syariah (Sukuk) Untuk Pembiayaan Infrastruktur: Tantangan Dan Inisiatif Strategis. Artikel diases pada tanggal 16 November 2009 dari http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2008/03/11/
4
APBN telah menjelaskan pada kita betapa beratnya terbebani utang luar negeri. Penerbitan sukuk negara (SBSN) yang ditawarkan pada tahun 2008 ini diharapkan dapat mengakhiri ketergantungan pembiayaan dengan basis hutang yang menghasilkan beban bunga, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya di bidang pengembangan infrastruktur serta fasilitas umum yang dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat, seperti jalan raya, jembatan, pertamanan, gedung kantor, rumah sakit, dan sebagainya. Sukuk memang diakui sebagai instrumen keuangan publik yang disarankan
dalam
ekonomi
islam.
Sukuk
berperan
besar
dalam
menyeimbangkan kekayaan yang terdapat dalam neraca keuangan pemerintah, otoritas moneter, perusahaan, bank dan lembaga keuangan serta berbagai bentuk entitas lain yang memobilisasi masyarakat. 6 Keputusan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor B-273/DSNMUI/VIII/2009 per tanggal 10 Agustus 2009 menjadi acuan bahwa sukuk telah memenuhi prinsip syariah. 7 Sekalipun SBSN perdana yang dikeluarkan pada tanggal 26 Agustus 2008 belum mampu menarik minat investor asing, namun total permintaan oleh investor dalam negeri mencapai Rp.7,1 triliun atau oversubscribed 6
Khairunnisa Musari.“Sukuk Untuk Fiskal Sustainability”. Majalah Sharing, Edisi 35 Thn IV (November,2009): h. 22 7 ibid
5
sebesar 1,6 kali dengan target indikatif Rp.5 triliun dan pemerintah berhasil menerbitkan sukuk senilai Rp. 4,699 triliun. 8 Hasil ini ditujukkan untuk membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek. Belum lagi penjualan Sukuk Ritel (SR) perdana pada tanggal 20 Februari 2008 yang penjualannya lebih dulu dari SBSN, telah mampu menyerap permintaan hingga Rp.5,556 triliun. Suatu kesuksesan yang harus diakui bahwa Indonesia juga bisa mensiasati penerimaan negara tanpa bunga melalui penerbitan instrumen sukuk. Sekalipun telah menuai keberhasilan, namun dalam penerbitan sukuk ini mendapati kritikan tentang perlunya transparansi dari pemerintah dalam menjelaskan untuk kegunaan apa saja sukuk yang diterbitkan tersebut. Pakar Ekonomi Syariah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Agustianto MA, mengungkapkan bahwa pemerintah harus menjelaskan penggunaan dana sukuk, karena dana sukuk diperoleh dana investor dan masyarakat, maka penggunaannya harus lebih kepada sektor produktif. 9 Konsep keuangan publik dalam islam adalah amanah yang harus diemban. Saat ini penggunaan dana sukuk memang digunakan untuk menutup defisit APBN, karena untuk menutupi defisit ini sehingga jika sudah masuk anggaran maka dana sukuk akan tercampur menjadi satu dengan dana-dana
8
“Seri IFR 001 dan 002: Belum Mampu Menarik Asing Dan Konvensional”. Majalah Sharing, Edisi 34 Thn IV (Oktober,2009): h.37 9 “Penggunaan Dana Sukuk Harus Syariah”. Majalah Sharing, Edisi 35 Thn IV (November 2009): h. 24
6
lain yang diperoleh diluar sukuk. Sehingga, peruntukkan dana sukuk itu tidak jelas alokasinya untuk menutupi defisit dibagian yang bisa dijelaskan secara detail. Padahal, dalam Undang-Undang SBSN Bab III pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan penerbitan SBSN adalah untuk membiayai APBN yang termasuk juga membiayai pembangunan proyek. 10 Pembangunan proyek disini dijelaskan dalam penjelasan UU SBSN yaitu membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam APBN, termasuk didalamnya proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat. Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian, memberikan gambaran apa dan bagaimana mekanisme pengelolaan dana sukuk yang dalam APBN, sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul “TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP ALOKASI DANA SUKUK DALAM APBN”
B. Batasan dan Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang diatas, agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas dan keluar dari topik yang ingin dibahas, maka
10
Departemen Keuangan. “Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara”
7
dalam penulisan ini penulis memfokuskan dan merumuskan pembahasan penelitian ini dalam bentuk pertanyaan berikut: 1.
Bagaimana mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN?
2.
Apakah alokasi dana sukuk telah sesuai dengan prinsip ekonomi islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Dari adanya pembatasan dan perumusan masalah diatas, diharapkan penelitian ini mempunya tujuan yang bermanfaat untuk pribadi sediri atau untuk orang lain. Diantara tujuan yang diharapkan adalah: a. Untuk mengetahui mekanisme pengelolaan dana sukuk dalam APBN sehingga mampu untuk membiayai kegiatan produktif secara maksimal. b. Untuk mengetahui kesesuaian alokasi dana sukuk pada APBN menurut ekonomi islam.
2.
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang bisa ditimbulkan dari penelitian ini, penulis ingin agar penelitian ini bisa memberikan manfaat: a. Untuk menambah wawasan tingkat pemahaman dan pengetahuan bagi penulis sendiri khususnya, dan bagi para praktisi maupun akademisi
8
pada
umumnya
dalam
memahami
potensi
penerbitan
sukuk,
pengelolaan dana sukuk dan alokasinya dalam APBN. b. Sebagai khazanah ilmu pengetahuan untuk menambah referensi terkait pendanaan syariah melalui instrumen sukuk. c. Menjadi masukan dan saran bagi para praktisi, akademisi dalam penelitian selanjutnya sehingga bisa menjadi perbandingan bagi penelitian yang lain.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan penelitian yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, peneliti menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih dahulu membahas terkait dengan sukuk, diantaranya adalah: 1.
Ani Khoironi, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. “Potensi Sukuk Bagi Pertumbuhan Investasi di Pasar Modal Indonesia”. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Dalam penelitian Ani menyatakan bahwa disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN, memberikan payung hukum dan memberikan peluang baik bagi pertumbuhan investasi syariah pada pasar modal di Indonesia. Di dukung dengan populasi muslim terbesar di
9
Indonesia dan banyaknya permintaan dari pasar internasional khususnya Timur Tengah, sehingga memungkinkan prtumbuhan instrument sukuk berpengaruh bagi pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN. 2.
Fadlyka Himmah Syahputera Harahap, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. “Kebijakan Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Sebagai Instrument Pembiayaan Defisit APBN (Analisis Kebijakan Fiskal Islam)”. Dalam penelitiannya menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam menerbitkan SBSN untuk pembiayaan defisit APBN dalam kebijakan fiskal islam dapat ditempuh ketika pendapatan negara dari pengelolaan Badan Usaha Milik Negara, pendapatan dari pajak, infak, zakat dan derma sudah tidak dapat menutupi defisit APBN. Artinya penerbitan SBSN boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat saja. Hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa dana hasil SBSN diprioritaskan untuk mengadakan pembiayaan infrastruktur dan sarana umum yang diharapkan dapat memberikan penjaminan kebutuhan pokok masyarakat. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana sukuk dalam APBN.
3.
Reva Arbano, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
10
“Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Sebagai Alternative
Pembiayaan
Pembangunan
Negara”.
Penelitiannya
menggunakan studi kepustakaan dan penelitian lapangan. Dari hasil penelitiannya menunjukkan tentang mekanisme penerbitan SBSN di Indonesia menggunakan akad ijarah dengan mekanisme sale and lease back dengan metode penjualan bookbuilding. Kemudian menjelaskan analisa SWOT dan strategi tentang penerbitan SBSN sebagai alternatif pembiayaan pembangunan di Indonesia. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana SBSN dalam APBN ditinjau dari ekonomi islam. 4.
Amelia Febriani, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Skripsinya berjudul “Obligasi Syariah; Studi Analisis Fatwa DSN-MUI”. Dalam penelitiannya mengungkapkan perbedaan mendasar antara obligasi syariah dan obligasi konvensional, serta menjelaskan payung hukum yang menaungi kehalalan dan keabsahan obligasi syariah di Indonesia dan dikeluarkannya Fatwa DSN-MUI No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang obligasi syariah. Dikeluarkannya fatwa tersebut beriringan dengan perkembangan produk-produk syariah dalam negeri seperti produkproduk yang ada dalam perbankan, asuransi dan dana reksa syariah. Tidak menjelaskan tentang mekanisme pengelolaan dan alokasi dana SBSN dalam APBN.
11
E. Kerangka Teori Jauh sebelum masyarakat mengenal istilah sukuk atau obligasi syariah, obligasi sudah banyak dikenal masyarakat sebagai instrument untuk menarik minat masyarakat untuk memberikan pendanaan bagi perusahaan atau negara demi
menambah
kebutuhan
perluasan
perkembangan
proyek-proyek
perusahaan atau negara. Obligasi yang selama ini kita kenal adalah surat utang yang dikeluarkan oleh emiten (dapat berupa badan hukum/perusahaan atau pemerintah) yang memerlukan dana untuk kebutuhan operasi maupun ekspansi mereka. 11 Atau menurut Adrian Sutedi dalam bukunya Aspek Hukum Obligasi Dan Sukuk, yang dikutip dari Arthur J. Keown dalam karyanya Basic Financial Management, menyatakan bahwa obligasi adalah surat utang jangka panjang yang dikeluarkan oleh peminjam, dengan kewajiban untuk membayar kepada bond holder (pemegang obligasi) sejumlah bunga tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. 12 Sejalan dengan berkembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia dan pesatnya permintaan instrumen pendanaan syariah terutama investor asing dari Timur Tengah membuat negara ini tidak ingin ketinggalan
11
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 83. 12 Adrian Sutedi, SH. MH, Aspek Hukum Obligasi Dan Sukuk, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 1.
12
kesemapatan untuk mendapatkan dana segar dari negara penghasil minyak terbesar di dunia. Dengan mengikuti perkembangan pasar investasi syariah, maka Indonesia membuat kebijakan untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) berbasis syariah yang kini dikenal dengan sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Mengingat obligasi yang selama ini dikenal adalah surat utang yang melahirkan bunga dalam pengembaliannya kepada investor. Obligasi syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSNMUI/IX/2002, adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo. 13 Payung hukum mengenai Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk ini diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Meski sedikit tertinggal dari negara-negara lain, akan tetapi Indonesia dapat menarik minat investor asing untuk berinvestasi pada negara ini. Dalam Undang-Undang No 19 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud SBSN atau sukuk adalah surat berharga Negara yang diterbitkan 13
2005), h. 17
Dr. Muhammad Firdaus, Konsep Dasar Obligasi Syariah, (Jakarta: renaisan,
13
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing. Sedangkan Keuangan Negara adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran Negara beserta segala sebab dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. 14 Dalam hal pengelolaan keuangan negara, sepenuhnya dikuasai oleh Presiden yang pada praktiknya dijalankan oleh Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara. 15 Adanya teori dalam suatu penelitian untuk membantu dalam memberikan pengarahan pada penelitian. Dengan kata lain, agar penelitian lebih terarah dan terfokus pada teori-teori yang akan dimunculkan. Pada penelitian kali ini bahasannya terfokus pada alokasi dana sukuk dalam APBN.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Model penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
dilakukan dengan cara menelaah litaratur kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam 14
Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia. “Pengelolaan Keuangan Negara”. (Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, 2009), h. 18 15 Ibid
14
bentuk desain deskriptif dan metode pengumpulan data dengan cara observasi. Penelitian deskriptif ini merupakan kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan. 16
2.
Jenis Data Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menggunakan jenis data
kualitatif yang menghasilkan data deskrptif berupa kata-kata tertulis dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. 17 Prosedur analisis kualitatif tidak menggunakan analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya, kalaupun ada hal itu hanya sebagai pendukung dan menguatkan argumentasi dalam penelitian. Adapun jenis data yang digunakan adalah: a. Data primer Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan jenis data berupa data primer yang didapat dari hasil wawancara dengan pihak yang berkompeten
mengetahui
secara
teknis
tentang
mekanisme
pengelolaan dana sukuk dalam APBN.
16
Consuelo G Sevilla, dkk. Pengantar Metode Penelitian. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), h.71 17 Lexy Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif, ed: Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h.4
15
b. Data sekunder Yang didapat dari literatur kepustakaan seperti buku-buku, majalah, artikel atau karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang sedang dijalankan penulis.
3.
Teknik Pengumpulan Data Karena model penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (library research) Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari dan memahami data atau bahan yang diperoleh dari berbagai literature, serta mencatat teori-teori yang didapat dari buku-buku, majalah, artkel, atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan penelitian ini. b. Penelitian Lapangan (field research) Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti melalui media wawancara langsung kepada staf Departemen Keuangan yang menangani dan mengerti tentang persoalan penggunaan dana sukuk dalam APBN sehingga dapat memberikan keterangan tentang masalah yang ingin dibahas, serta pengamatan melalui dokumen-dokumen hasil pengumpulan data di lapangan.
16
4.
Teknik analisan data Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data-data menjadi kata-kata tertulis dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi yang diperoleh melalui penelitian lapangan.
5.
Teknik Penulisan Skripsi Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.
G. Sistematika Penulisan Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka teori dan metode penelitian.
BAB II
Mekanisme pengelolaan Keuangan Negara Dalam Ekonomi Islam Dan Tinjauan Umum Sukuk. Pada bab ini membahas tentang pengertian keuangan negara dalam ekonomi islam, sumber keuangan negara dalam islam, pengelolaan keuangan negara dalam islam yang meliputi kebijakan pendapatan negara dan kebijakan pengeluaran dan belanja negara, membahas
17
tentang sukuk yang meliputi defisinsi dan konsep dasar sukuk, jenis-jenis
sukuk
dan
perbedannya
dengan
obligasi
konvensional, dan tinjauan fatwa dewan syariah nasional. BAB III
Tinjauan umum mekanisme pelaksanaan keuangan Negara dan implimentasi sukuk dalam membiayai APBN, pada bab ini akan membahas tentang sumber penerimaa Negara dalam APBN yang meliputi keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara, dan sumber-sumber penerimaan negara. Instrument pembiayaan APBN, pengelolaan keuangan negara yang meliputi pengelolaan kas umum negara dan asas umum pengelolaan keuangan negara, implimentasi penerbitan sukuk dalam APBN, potensi dana sukuk untuk membiayai APBN dan prospek sukuk dalam membiayai APBN.
BAB IV
Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Penggunaan Dana Sukuk Dalam APBN. Pada bab ini akan menjawab semua perumusan masalah yang ada di bab I dan akan membahas tentang mekanisme pengelolaan dana sukuk dalam APBN, serta tinjauan ekonomi islam terhadap alokasi dana sukuk dalam APBN.
BAB V
Penutup, pada bab terakhir ini menjelaskan pokok-pokok kajian dalam penelitian yang memuat kesimpulan dan saran.
18
BAB II MEKANISME PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM EKONOMI ISLAM DAN TINJAUAN UMUM SUKUK A. Pengertian Keuangan Negara Dalam Ekonomi Islam Keuangan Publik yang kini berkembang menjadi sebuah disiplin tersendiri dalam ilmu ekonomi modern pada dasarnya dipahami sebagai studi tentang perpajakan dan kebijakan pengeluaran belanja pemerintah, meliputi barang-barang publik, analisis untung rugi, transfer, beban pajak, keadilan distributif, dan kesejahteraan. Dalam teori klasik, kebijakan fiskal bisaanya didasarkan pada kemampuan pemerintah dalam menarik pajak dan memicu tarip pada subsidi asing. Keuangan publik meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat, baik yang dikeloa secara individual, kolektif ataupun oleh pemerintah. 18 Kebijakan pengelolaan keuangan publik juga dikenal dengan kebijakan fiskal, yaitu suatu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliharaan, pembayaran dari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik dan pemerintahan. Kebijakan fiskal meliputi kebijakan-
18
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 515.
19
kebijakan pemerintah dalam penerimaan, pengeluaran dan utang. 19 Kebijakan fiskal adalah salah satu bagian dari instrumen ekonomi publik yang juga merupakan kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan dan belanja suatu negara (APBN). Peranan kebijakan fiskal dalam suatu ekonomi ditentukan oleh keterlibatan pemerintah dalam aktivitas ekonomi, khususnya yang kembali ditentukan oleh tujuan sosio ekonominya, komitmen ideologi, dan hakikat sistem ekonomi. Dalam ekonomi konvensional kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak atau dalam pembelanjaan. Tujuan kebijakan fiskal dalam perekonomian sekuler adalah tercapainya kesejahteraan, yang di definisikan sebagai adanya benefit maksimal bagi individu dalam kehidupan tanpa memandang kebutuhan spiritual manusia. Fiskal terutama ditujukkan untuk mencapai alokasi sumber daya yang efisien, stabilisasi ekonomi, pertumbuhan, dan distribusi pendapatan serta kepemilikan. 20 Kebijakan fiskal dan keuangan mendapat perhatian serius dalam tata perekonomian islam sejak awal. Dalam Negara islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang 19
M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya Dengan Ekonomi Kekinian. (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)- STIS Yogyakarta. 2003). h.202 . 20 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalam Ekslusif Ekonomi Islam.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 203.
20
dijelaskan Imam al Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap
menjaga
keimanan,
kehidupan,
intelektualitas,
kekayaan,
dan
kepemilikan. 21 Kebijakan fiskal pada Negara pada dasarnya dapat dilihat melalui variable anggaran Negara. Dari variabel ini terlihat bagaimana negara mengatur arus dana yang ada dalam pemerintahan, dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu melaksanakan program-program pembangunan, baik yang bersifat abstrak seperti pembangunan moral, maupun yang bersifat fisik atau materi seperti pembangunan ekonomi. 22 Beberapa instrument pembiayaan bagi program pembangunan ekonomi yang juga sebagai variable penerimaan dana bagi negara dalam islam diantaranya adalah seperti zakat, kharaj, jizyah, khums, ushur, ghaminah, fay’, atau nawaib (pajak khusus). Penerimaan Negara yang bersifat regulasi atau ketentuan yang mengikat warga Negara tentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, serta ada yang bersifat sukarela. Pada masa Rasulullah digambarkan bahwa Negara islam yang di pimpin Rasulullah lebih banyak mengandalkan penerimaan Negara yang bersifat sukarela untuk program pembangunan ekonomi, sosial atau bahkan
21
Ibid Ali Sakti, Analisi Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. (Jakarta: Aqsa Publishing, 2007), h. 372 22
21
pertahanan Negara. Penerimaan Negara yang bersifat sukarela tersebut seperti infak, shadaqah dan wakaf. 23
B. Sumber Keuangan Negara Dalam Islam Dalam tata keuangan Negara terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menghimpun dana dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) guna menjalankan pemerintahan diantaranya adalah: 24 1.
Melakukan bisnis, misalnya mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dari perusahaan Negara ini dharapkan akan memberikan keuntungan yang dapat menjadi sumber pemasukan kas Negara.
2.
Melakukan pemungutan pajak kepada masyarakat. Dalam teori keijakan fiskal konvensional pajak menjadi sumber utama pendapatan negara. 25
3.
Meminjam uang, atau dengan kata lain dengan jalan berutang. Jika pada tata keuangan Negara saat ini penerimaannya diperoleh dari
sumber-sumber diatas, maka dalam islam pos penerimaan Negara mengenal adanya zakat, yang merupakan sistem dan instrument yang orisinil dari sistem ekonomi islam. Yang bertugas mendistribusikan kekayaan pada golongan
23
Ibid. Adiwarman A Karim, Ekonomi Makro Islam. Edisi Kedua. (PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 257 25 Atep Adya Barata & Bambang Trihartanto, Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah. Rayendra L Toruan, ed. (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), h. 52 24
22
masyarkat yang membutuhkan. 26 Sumber penerimaan lain selain zakat adalah kharaj, jizyah, ‘usyur, ghanimah, khums, fay’, nawaib (pajak khsusu) dan lainlain. Jika dilihat dari ketentuan syariat yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits tentang pengelolaan dana dari berbagai penerimaan seperti zakat, kharaj, jizyah, ‘usyur, fay’, atau pajak khusus serta penerimaan lain yang bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah, dan wakaf, maka akan terlihat bahwa kebijakan belanja publik islam memiliki karakteristik yang khas. Yang lebih menonjol dari karakteristik ini adalah bagaimana pemerintah dapat membelanjakan dananya bagi masyarakat tak mampu, dikarenakan setiap penerimaan memiliki perpedaan peruntukkan. Rasulullah
yang
merupakan
kepala
negara
pertama
yang
memperkenalkan konsep baru dibidang keuangan negara, mengatur semua hasil penghimpunan kekayaan negara itu harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Masjid Nabawi adalah tempat yang digunakan Rasulullah untuk pengumpulan dana tersebut. Dari
pemasukkan
negara
yang
sedikit
inilah
dalam
Rasulullah
mendistribusikannya kepada seluruh rakyat.
26
Ali Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, h. 175
23
Tabel 2.1: Kebijakan Belanja Publik 27 POS PENERIMAAN
POS PENGELUARAN/ALOKASI
Zakat
Fakir, Miskin, Ibnusabil, Fisabilillah, Gharimin, Budak, Muallaf, Amil
Fay’
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak Yatim, Miskin, Ibnusabil
Khums (1/5 Ghanimah)
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak Yatim, Miskin, Ibnusabil
Kharaj
Tergantung prioritas Negara
Jizyah
Tergantung prioritas Negara
Ushur
Tergantung prioritas Negara
Hibah-Hadiah
Tergantung prioritas Negara
InfakShadaqah
Tergantung prioritas Negara
Wakaf
Tergantung akad & needy people
Pajak
Seluruh Masyarakat
4/5 Ghanimah
Mujahidin (tentara)
Abu Yusuf mengklasifikasikan penerimaan Negara dalam tiga kategori utama yaitu: (i) ganimah, (ii) shadaqah, (iii) harta fay’ yang di dalamnya termasuk jizyah, ‘usyur dan kharaj. Menurut Abu Yusuf prinsip-prinsip umum keuangan publik sebagai salah satu aktivitas ekonomi yag penting bagi negara telah dibahasa dalam Al 27
Ibid, h. 215
24
Qur’an. Walaupun tidak dijelaskan secara terperinci mengenai kebijakan fiskal, akan tetapi ada beberapa pelajaran dan petunjuk yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas pemerintahan, akan tetapi Abu Yusuf tetap memperingatkan khalifah untuk menganggap sumber daya sebagai suatu amanah dari Tuhan yang akan diminta pertanggungjawaban. Oleh karena itu, efisinsi dalam penggunaan sumber
daya
merupakan
suatu
hal
penting
bagi
keberlangsungan
pemerintahan. 28 Pernyataan yang hampir sama dengan Abu Yusuf juga disampaikan pada Ibnu Taimiyah. Ibnu Taimiyah menyimpulkan sumber-sumber penerimaan keuangan negara sesuai syariah, dalam tiga ketentuan pokok, yaitu ghanimah, shadaqah, dan fay’. Dalam mengklisifikasikan seluruh sumber penerimaan ia mempertimbangkan asal-usul dari penerimaan yang dihimpun dari berbagai sumber dan kebutuhan anggaran pengeluarannya, termasuk seluruh sumber pendapatan diluar ghanimah dan zakat, dibawah nama fay’. 29 Klasifikasi seperti ini menurut Abu Yusuf adalah mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber pendapatan Negara tersebut. Melakukan 28
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. (Jakarta: Granada Press. 2007), h. 71 29 A. A Silalahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), h. 265
25
klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendaptan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur sama sekali. Ibnu Taimiyah membedakan antara ghanimah dan fay’, menurutnya seluruh penerimaan selain ghanimah dan zakat bisa masuk kategori fay’. Karena istilah fay’ pertama kali digunakan untuk: 30 1.
Jizyah yang dikenakan pada orang Yahudi dan Nasrani.
2.
Upeti yang dibayar oleh musuh.
3.
Hadiah yang dipersembahkan kepada kepala Negara.
4.
Bea cukai atau pajak tol yang dikenakan pada pedagang dari negeri musuh.
5.
Benda berupa uang.
6.
Kharaj.
7.
Harta benda tak bertuan.
8.
Harta benda yang tak memiliki ahli waris.
9.
Simpanan, atau utang atau barang rampasan yang pemilik sebenarnya tak diketahui lagi dan karena itu tak bisa dikembalikan.
10. Berbagai sumber pandapatan lain.
30
Ibid, h. 269
26
C. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Islam 1.
Kebijakan Pendapatan Negara Diantara beberapa variable instrument penerimaan, ada penerimaan
Negara yang bersifat regulasi atau ketentuan yang mengikat warga Negara dengan tujuan tertentu saja berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, serta ada yang bersifat sukarela. Pada masa Rasulullah, penerimaan Negara banyak mengandalkan dari penerimaan yang bersifat sukarela dan digunakan untuk program pembangunan ekonomi, sosial atau bahkan pertahanan Negara. Penerimaan yang bersifat sukarela itu seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pemerintah melalui zakat, ghanimah, fay, jizyah, kharaj, shadaqah dan beberapa penerimaan lain. Jika di klasifikasikan maka pendapatan tersebut ada yang bersifat rutin seperti zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah serta pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti ghanimah, fay’ dan harta yang tidak ada perwarisnya. 31 Klasifikasi seperti ini menurut Abu Yusuf dalam kitabnya Al-Kharaj, adalah mengikuti sifat keagamaan dari sumber-sumber pendapatan negara tersebut. Melakukan klasifikasi seperti ini sangat penting, karena pendapatan dari setiap kategori harus dipelihara secara terpisah dan tidak boleh dicampur. Secara umum, ada kaidah-kaidah syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan tersebut. Khaf (1999) berpendapat sedikitnya ada 3 prosedur yang 31
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, h. 221
27
harus dilakukan pemerintah dalam kebijakan pendapatannya fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya kebijakan pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak). 32 1.
Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat. Ajaran Islam dengan rinci telah menentukan syarat, kategori harta
yang harus dikeluarkan zakatnya, lengkap dengan basaran (tarifnya). Maka dengan ketentuan yang jelas tersebut tidak ada hal bagi pemerintah untuk mengubah tarif yang telah ditentukan. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap relita modern. Adapun mengenai kebijakan pemungutannya Nabi dan para sahabat telah member contoh mengenai fleksibilitas, Nabi pernah menangguhkan zakat pamannya Abbas karena krisis yang dihadapinya, sementara sayyidina Umar menengguhkan zakat Mesir karena paceklik yang melanda Mesir pada tahun tersebut. selain fleksibilatas diatas kaidah lainnya fleksibilitas dalam bentuk pembayaran zakat yaitu dapat berupa benda atau nilai. 2.
Kaidah syari’iyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah. Menurut kaidah syar’iyah pendapatan dari aset pemerintah dapat
dibagi dalam dua kategori: (a) pendapatan dari aset pemerintah yang umum,
32
Ibid.
28
yaitu berupa investasi aset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah sendiri atau masyarakat. Ketika aset tersebut dilkelola individu masyarakat maka pemerintah berhak menentukan berapa bagian pemerintah dari hasil yang dihasilkan oleh aset tersebut dengan berpedoman kepada kaidah umum yaitu maslahah dan keadilan; (b) berdasarkan kaidah syar’iyah yang menyatakan bahwa manusia berserikat dalam memiliki api, air, garam dan semisalnya. Kaidah ini dalam konteks pemerintah kodern adalah saranasarana umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 3.
Kaidah syar’iyah yang berkaitan dengan kebijakan pajak. Prinsip ajaran islam tidak memberikan arahan dibolehkannya
pemerintah mengambil sebagian harta milik orang kaya secara paksa (undangundang dalam konteks ekonomi modern). Sesulit apapun kehidupan Rasulullah saw. Di madinah beliau tak pernah menentukan kebijakan pungutan pajak. Dalam konteks ekonomi modern pajak merupakan satusatunya sektor pendapatan terpenting dan terbesar dengan alasan bahwa pendapatan tersebut dialokasikan pada publiks goods dan mempunyai tujuan sebagai alat redistribusi, penstabilan dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Seandainya pungutan pajak itu diperbolehkan dalam islam maka kaidahnya harus berdasarkan pada kaidah a’dalah dan kaidah dharurah yaitu pungutan tersebut hanya bagi orang-orang yang mampu dan untuk pembiayaan yang sangat diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lainnya.
29
2.
Kebijakan Pengeluaran dan Belanja Negara Seperti yang telah dijelaskan bahwa instrument–instrument fiskal
Islam memiliki karakteristik yang yang cukup khas, berbeda dengan pajak konvensional. Instrumen fiskal Islam terkait dengan penggunaan atau pemanfaatan dan fungsi Negara yang telah ditetapkan secara syariat. 33 Abu Yusuf dalam kitab al Kharaj sangat mengutamakan akan tanggung jawab ekonomi penguasa terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat, pentingnya keadilan, pemerataan dalam pajak, serta kewajiban penguasa untuk menghargai keuangan publik sebagai amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya. Dalam analisanya Abu Yusuf menerangkan seputar keuangan Negara yang berhubungan dengan permasalahan pajak, administrasi penerimaan dan pengeluaran negara sesuai dengan syariat islam yang dilakukan untuk mencegah kezaliman pada masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga kebijakan yang dilakukan tidak hanya berorientasi pada pencapaian target penerimaan Negara, tapi juga pada pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam menganjurkan
analisanya beberapa
permasalahan-permasalahan kebijakan
bagi
pertumbuhan
fiskal,
Beliau
ekonomi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. 33Ali
220
sakti. Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaan atas Kekacauan Ekonomi Modern. h.
dan
30
Kontribusi yang lain adalah dengan menunjukkan keunggulan pajak proporsional (muqasamah) menggantikan sistem pajak tetap pada tanah. Beliau juga menekankan pentingnya pengawasan pada petugas pengumpul pajak untuk mencegah korupsi dan menghilangkan penindasan. Dalam penggunaan dana publik, beliau mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk mendukung produktivitas dalam meningkatkan pendapatan negara. 34 Abu Yusuf menyatakan bahwa negara boleh menggunakan anggaran belanjanya untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur yang sangat berguna bagi rakyat dan memiliki nilai tambah (value added) dikaitkan dengan perolehan pajak. Menurutnya, sesungguhnya sekalipun proyek ini dalam bidang infrastruktur pembangunan, namun memiliki nilai investasi yang tinggi karena tidak saja akan meningkatkan penghasilan nasional tapi juga akan meningkatkan pendapatan negara. 35 Infrastruktur merupakan hal yang sangat penting dan mendapat perhatian dan porsi besar. Pada zaman Rasulullah SAW pembangunan infastruktur berupa pembangunan sumur umum, pos, jalan raya , dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini diikuti oleh para sahabat, bahkan Khlifah Umar bin Khattab r.a menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk
34
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Edisi Revisi. (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 118-119 35 Ikhwan Abidin Basri, Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. (Kartasura: PT. Aqwam Media Profetika, 2008), h. 53
31
membelanjakan
minimal
1/3
dari
pengeluaran
untuk
pembangunan
infratruktur. 36 Titik paling mendasar pada dari prinsip yang ditekankan Ibnu Timiyah adalah penerimaan publik harus dijamin oleh pemegang otoritas dan menggunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan publik menurut petunjuk Allah. Dia menyatakan bahwa keadilan harus dipelihara diantara penduduk dalam kaitannya dengan masalah keuangan. 37 Pokok pengeluaran dalam pandangan Ibnu Taimiyah adalah sebagai berikut: (a) orang-orang miskin dan orang-orang melarat, (b) untuk meningkatkan kemampuan pasukan selalu siap melaksanakan jihad dan pertahanan keamanan, (c) memelihara hukum dan tatanan dalam negeri, (d) pension dan gaji pejabat, (e) pendidikan, (f) pengembangan infrastruktur, (g) kesejahteraan umum. 38 Konsep Maqashid yang dikemukakan oleh al-Syatibi dapat dijadikan rujukan untuk penentuan prioritas pengeluaran, bahwa tujuan syariat adalah memelihara kemaslahatan umat menusia dan kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila 5 unsur pokok kehidupan manusia dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. dalam kerangaka ini
36 37 38
Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islami, hal. 247 A. A Silalahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, hal. 272 Ibid, h. 273
32
ia membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajjiyat, dan tahsiniyat. 39 Efisiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah, yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah syar’iyah dan penentuan skala prioritas. Menurut Chapra, komitmen terhadap nilai-nilai Islam dan maqashid harus dilakukan. Maqashid akan membantu terutama mereduksi kesimpangsiuran keputusan pengeluaran pemerintah dengan memberikan kriteria untuk membangun prioritas. Maqashid dapat diperkokoh dengan sandaran kepada enam prinsip dalam hal pengeluaran yang dikemukakan Umar Chapra diantaranya: 40 1.
Kriteria pokok semua alokasi pengeluaran harus diperuntukkan bagi kesejahteraaan rakyat.
2.
Penghapusan
kesulitan
dan
bahaya
harus
didahulukan
daripada
penyediaaan kenyamanan. 3.
Kepentingan mayoritas yang lebih besar harus didahulukan daripada kepentingan mayoritas yang lebih sempit.
4.
Suatu pengorbanan atau kerugian privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan korban atau kerugian publik, dan suatu pengorbanan atau
39
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 382 40 Umar Chapra, Islam Dan Tantangan Ekonomi. (Jakarta: Gema Insani, 2000), h. 287
33
kerugian yang lebih besar dapat dihindari dengan merelakan suatu pengorbanan atau kerugian yang lebih kecil. 5.
Siapa saja yang menerima manfaat harus bayar ongkos.
6.
Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat dipenuhi, maka sesuatu itu wajib hukumnya. Kaidah-kaidah ini memiliki bobot yang sangat penting pada
perpajakan dan pengeluaran pemerintah di negara-negara muslim. Dalam islam, dalam pos pengeluaran Negara, tentu saja sangat dipengaruhi oleh fungsi negara itu sendiri. Pos pengeluaran negara dapat terdiri dari pos kesejahteraan sosial, pendidikan dan penelitian, infrastruktur, pertahanan, dan kemananan, dakwah dan penyebaran fikrah islam. Ada beberapa hal yang perlu dipahami dalam anggaran negara islam, bahwa islam memiliki karakteristik yang khas pada pos penerimaan dan pengeluaran negara. Khususnya pengeluaran negara, karakteristik dalam membiayai pembangunan negara itu terbagi menjadi dua, yaitu pos pengeluaran yang terikat, dan yang tidak terikat. Maksud pengeluaran terikat adalah dimana pengeluaran dari instrument penerimaan tertentu menghedaki penggunaan akumulasi dananya hanya dikhususkan pada objek penerimaan tertentu misalnya zakat, khums, dan wakaf. Pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab, pengeluaran negara ditentukan pos pengeluarannya berdasarkan sumbernya. Pembiayaan anggaran belanja negara islam di masa Umar bin Khattab untuk kemaslahatan umum
34
diambil dari devisa negara yaitu jizyah, kharaj, dan ‘ushur. Pembiayaan atas kemaslahatan
umum
mencakup
seluruh
pembiayaan
atas
perangkat
kenegaraan dan pemberian pelayanan untuk kemaslahatan rakyat. 41
D. Sukuk 1. Definisi dan Konsep Dasar Sukuk Hasil keputusan majelis Majma al-Fiqh al-Islami yang diselenggarakan di Jeddah Saudi Arabia, menetapkan bahwa: obligasi yang mencerminkan kewajiban membayar harganya disertai bunga yang dinisbahkan kepada harga tersebut atau disertai manfaat yang disyaratkan adalah haram secara syar’i, baik pengeluaran, pembelian ataupun pengedarannya. 42 Awalnya di Indonesia, konsep obligasi syariah bukan lagi di definisikan sebagai surat utang, tetapi surat berharga. Belakangan istilah obligasi syariah tidak disenangi oleh regulator mengingat kata obligasi pada dasarnya merupakan utang-piutang jangka panjang yang didalamnya terdapat imbal hasil berupa bunga. Sehingga kata obligasi syariah ini dirubah penyebutannya menjadi sukuk. 43
41
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 128 42 Dr. Muhammad Firdaus NH. (Tim Penyunting), Konsep Dasar Obligasi Syariah. (Jakarta: Renaisan, 2005), h.26. 43 Prof. Fathurrahman Djamil, MA. Disampaikan Pada Kuliah Kuliah Umum Mata Kuliah Fiqih Muamalah Kontemporer.
35
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara: “Surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing” . Secara singkat AAOIFI 44 mendefinisikan sukuk sebagai sertifikasi bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu asset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu. 45 Dengan merujuk pada Fatwa Dewan Syariah Nasional, No. 32/DSNMUI/IX/2002 bahwa definisi dari obligasi syariah adalah: “Suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”. 46
44
AAOIFI (The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) merupakan lembaga nirlaba internasional yang bertujuan menyusun dan menyiapkan standarisasi di bidang keuangan sysari’ah, khususnya terkait dengan masalah akuntansi, auditing, governance, ethics dan kesesuaian prinsip syari’ah atas produk-produk keuangan syari’ah. 45 Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Departemen Keuangan. “Mengenal Sukuk Instruemen Investasi & Pembiayaan Berbasis Syariah” (Jakarta: Departemen Keuangan, 2008), hal. 1 46 Dewan Syariah Nasional MUI-Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Edisi Revisi. (Cipayung: CV Gaung Persada,2006), hal. 197
36
Kata sukuk sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu shakk ()ﺻﻚ, sukuk berarti jamak dari shakk, yang artinya “check”. Alat ini pada jaman dahulu bisaa digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim, juga pada perbankan kontemporer. 47 Dengan kata lain yang lebih sederhana, sukuk adalah surat berharga jangka panjang yang dikeluarkan oleh lembaga corporate atau pemerintah guna mendapatkan pendanaan atas proyek-proyek tertentu yang di biayai. Surat tersebut diterbitkan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariah sehingga terhindar dari hal-hal yang diharamkan syariah dalam bermuamalah. Seperti mengandung unsur riba, gharar, maisir dan lainlain. Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar sukuk, maka perlu dipahami pula konsep dasar dari obligasi konvensional. Jika konsep dasar obligasi konvensional adalah adanya hak mendapatkan bunga oleh investor dari penerbit obligasi yang telah disepakati sebelumnya, dan janji untuk mengembalikan sejumlah pokok utang pada jangka waktu tertentu. Dikatakan utang karena adanya kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang investor. Maka pada konsep dasar sukuk tidak jauh berbeda dengan konsep dasar obligasi konvensional, hanya saja perbedaan yang sangat dasar adalah tidak adanya bunga yang diperoleh investor atas obligasi. 47
Nurul huda & Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 136
37
Prinsip syariah tidak mengenal adanya utang, tetapi mengenal adanya kewajiban untuk mengembalikan pokok uang yang didapat emiten hasil dari transaksi pembiayaan pada saat jatuh tempo, dan sesuai dengan definisi dari sukuk itu sendiri yaitu investor berhak atas pendapatan emiten berupa bagi hasil/margin/fee. Rekonstruksi terhadap obligasi dilakukan agar sesuai dengan kaidah-kaidah syariah, diantaranya: 1. Penghapusan bunga yang tetap dan mengalihkannya kesurat investasi yang ikut serta dalam keuntungan dan dalam kerugian serta tunduk pada kaidah al gaunm bi al ghurm, yaitu keuntungan/penghasilan itu berimbang dengan kerugian yang ditanggungnya. 2. Penghapusan syarat jaminan atas kembalinya harga obligasi dan bunganya sehingga menjadi saham bisaa. 3. Pengalihan obligasi ke saham bisaa. Obligasi syariah tersebut dapat diterbitkan oleh emiten dengan pembatasan tidak boleh dipergunakan untuk refinancing utang emiten, tetapi hanya diperbolehkan sebagai modal kerja emiten saja, disamping itu emiten juga harus menjamin bahwa pendapatan yang dibagihasilkan dengan para pemegang obligasi harus bersih dari unsur non-halal, adapun maksud dari non-halal adalah sesuai dengan Fatwa DSN No. 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksandana Syariah. 48 48
Adrian Sutedi, SH. MH. Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 103
38
Sehingga akan terlihat konsep dasarnya bahwa obligasi konvensional terletak pada penetapan bunga yang besarnya sudah ditentukan diawal transaksi, sedangkan pada obligasi syariah yang ditentukan adalah besaranya porsi pembagian hasil apabila emiten mendapatkan keuntungan dimasa yang akan datang. Akan tetapi hal ini sesuai dengan akad obligasi yang dikeluarkan emiten, dalam artian bahwa pemegang obligasi tidak selalu mendapatkan imbalan berupa bagi hasil, akan tetapi bisa berupa margin atau fee sesuai dengan akad dalam obligasi yang digunakan yang mana semua itu akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
2. Jenis-Jenis Sukuk dan Perbedaannya Dengan Obligasi Konvensional a. Jenis-Jenis Sukuk 1) Sukuk Mudharabah Mudharabah 49 adalah akad yang telah dikenal sejak jaman Rasulullah bahkan sebelum itu. Praktik mudharabah ini adalah termasuk akad yang digunakan Rasulullah dalam berdagang 50 pada saat ia membawa barang dagang Khadijah ke Syam untuk di
49
Mudharabah disebut juga Qiradh atau Muqaridh. Makna keduanya sama. Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan isrilah Qiradh digunakan oleh masyarakat Hijaz. 50 Pada saat itu Rasulullah belum menikah dengan Khadijah.
39
perdagangkan. Dengan demikian, jika di tinjau dari segi hukum islam maka praktik mudharabah ini dibolehkan. 51 Sedangkan pengertian mudharabah itu sendiri secara bahasa adalah akad kerjasama antara dua orang atau lebih dimana seorang diantara mereka memiliki modal dan yang lain adalah yang mengelola modal yang ada. 52 Ikatan yang terdapat dalam akad mudharabah pada hakikatnya adalah ikatan penggabungan atau percampuran berupa hubungan kerjasama antara pemilik usaha dengan pemilik harta, dimana pemilik harta hanya menyediakan dana secara penuh dalam suatu kegiatan usaha dan tidak berwenang untuk turut campur daam kegiatan usaha tersebut selain hanya melakukan kontrol. Sedangkan pemilik usaha adalah yang mengelola harta dalam usahanya secara mandiri. Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya dipasar perdana. Adapun
ketentuan
atau
mekanisme
obligasi
syariah
mudharabah adalah: 53 1.
Kontrak atau akad mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwalimatan.
51
Adiwarman A Karim, SE. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 204 52 Nasrun Harun, MA. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 175 53 Dr. Muhammad Firdaus, h. 30
40
2.
Rasio atau persentase nisbah bagi hasil dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing). Namun berdasarkan Fatwa No.15/DSN-MUI/IX/2000 bahwa yang lebih maslahat adalah penggunaan revenue sharing.
3.
Nibah bagi hasil dapat ditetapkan secara konstan, meningkat, ataupun
menurun
dengan
mempertimbangkan
proyeksi
pendapatan emiten, tetapi sudah ditetapkan diawal kontrak. 4.
Pendapatan bagi hasil merupakan jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obliges syariah. Bagi hasil yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
5.
Pembagian hasil pendapatan atau keuntungan dapat dilakukan scara periodik (tahunan, semesteran, kwartalan, maupun bulanan).
6.
Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return ternetu.
41
Jika merujuk pada Fatwa DSN No. 32/DSN-MUI/IX/2002, jelas bahwa obligasi syariah mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah diketahui dengan jelas. Juga penerapan sistem mudharabah pada obligasi yang cukup sederhana. Membuat obligasi mudharabah termasuk jenis obligasi yang banyak diminati investor. Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan struktur obligasi mudharabah, diantaranya: 54 1.
Obligasi syariah mudharabah merupakan bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka waktu yang relative panjang.
2.
Obligasi syariah mudharabah dapat dipergunakan untuk pendanaan umum (general financing), seperti pendanaan modal kerja atatupun capital expenditure.
3.
Mudharabah merupakan campuran kerjasama antara modal dan jasa
(kegiatan
usaha),
sehingga
membuat
strukturnya
memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas asset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas asset yang didanai. 54
Umi Karomah Yaumidin, Sukuk sebuah Alternatif Instrumen Investasi, dalam Jusmailani, ed., Investasi syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, cet.I, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), h. 352
42
4.
Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur mudharabah dan bai’ bi’tsaman ajil menjadi mudharabah dan ijarah.
Gambar 2.1 Contoh Skema Sukuk Mudharabah Investor/ Pemodal (Shohibul Mal)
Modal
Keterampilan Kegiatan Usaha
Nisabah
Pengembalian Modal Pokok
Bagi Hasil Pendapatan
Emiten/ Penerbit
Nisbah
Modal
1) Sukuk Istishna 55 Istisna adalah perjanjian kontrak untuk barang-barang industri yang memperbolehkan pembayaran tunai dan pengiriman di masa depan atau pembayaran di masa depan dan pengiriman di masa depan dari barang-barang yang dibuat berdasarkan kontrak tertentu. Hal ini dapat digunakan untuk menghasikan fasilitas pembiayaan pembuatan atau pembangunan rumah, pabrik, proyek, jembatan, jalan, dan jalan tol. 55
Prof. Dr H. Abdul Manan, SH, S.IP, M.Hum. “Obligasi Syariah” . Artikel di akses pada tanggal 24 April 2010 dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/OBLIGASI%20SYARIA H.pdf
43
2) Sukuk Musyarakah Yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian akad Musyarakah
dimana
menggabungkan
dua
modal
pihak
untuk
atau
lebih
membangun
bekerjasama proyek
baru,
mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan ataupun kerugian yang timbul ditanggung bersama dengan jumlah partisipasi modal masing-masing. 3) Sukuk Ijarah Sukuk ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah. Akad ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Artinya, pemilik harta memberikan hak untuk memanfaatkan objek dengan manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik objek. Sedikitnya, ijarah mirip dengan leasing, tetapi tidak sepenuhnya sama. Dalam akad ijarah disertai dengan adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Sukuk ijarah merupakan sekuritas yang mewakili kepemilikan asset yang keberadaannya jelas dan diketahui, yang melekat pada suatu kontrak sewa beli (leas), sewa dimana pembayaran return pada pemegang sukuk. Ada beberapa yang melekat pada ketentuan sukuk ijarah, diantaranya adalah:
44
1.
Objeknya dapat berupa barang (harta fisik yang tidak bergerak, bergerak, maupun harta perdagangan) dan juga dapat berupa jasa.
2.
Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
3.
Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
4.
Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah.
5.
Pemakai manfaat (penyewa) haruslah pemilik mutlak. Secara teknis sukuk ijarah dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu 56 : 1.
Investor
dapat
bertindak
sebagai
penyewa
(mustajir),
sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor dan Property
Owner
dapat
bertindak
sebagai
orang
yang
menyewakan (mu’jir). 2.
Selanjutnya setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali obyek sewa tersebut kepada emiten. Atas dasar transaksi sewa menyewa tersebut, maka
56
Umi Karomah Yaumidin, hal. 356
45
terbitlah surat berharga jangka panjang (obligasi syari’ah ijarah), di mana emiten wajib membayar pendapatan kepada investor berupa fee serta membayar kembali dana saat jatuh tempo. Gambar 2.2 Contoh Mekanisme Penerbitan Sukuk Al Ijarah Muntahiya Bittamlik (Sale and Leaseback)
Pemerintah (Obligor/Penjual) Purchase and sales Undertaking
(2) Purchase Agreement (1) pembetukan SPV
SPV (Penerbit/Lessor)
(4) Perjanjian sewa (Ijarah)
(5) Servicing Agent Agrement
(3) penerbitan sukuk
Pemegang Sukuk (Investor)
1) 2)
3) 4)
SPV dibentuk untuk penerbitan sukuk SPV melakukan perjanjian pembelian dengan pemerintah (obligor) untuk membeli aset tertentu seperti tanah, bangunan dan lain-lain (Aet SBSN). Dalam waktu yang sama pemerintah membuat Purchase Undertaking dimana pemerintah menjamin untuk membeli kembali Aset SBSN dari SPV pada saat akhir periode sewa atau apabila terjadi default. SPV menerbitkan sukuk untuk membiayai pembelian Aset Pool. Pemerintah melakukan perjanjian sewa (Ijarah/Lease Agreement) dengan SPV untuk menyewa aset SBSN untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan.
46
5)
SPV melakukan perjanjian keagenan (Serving agency agreement) dengan pemerintah dimana pemerintah ditunjuk sebagai agen yang antara lain bertanggung jawab untuk melakukan perawatan dan perbaikan serta penyediaan asuransi terhadap aset SBSN. Gambar 2.3 Pembayaran Imbalan Pemerintah (Obligor)
1)
2)
Pemegang Sukuk (Investor)
SPV
Obligor membayar sewa (Imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa. Imbalan dapat bersifat tetap (fixed rate) ataupun mengambang (floating rate). SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada investor. Gambar 2.4 Saat Jatuh Tempo Pemerintah (Obligor)
1) 2)
SPV
1
Pemegang Sukuk (Investor)
2
Penjualan kembali aset oleh SPV kepada obligor sebesar nilai nominal sukuk, pada saat sukuk jatuh tempo. Hasil penjualan aset, digunakan oleh SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.
b. Perbedaan Obligasi Syariah (Sukuk) Dengan Obligasi Konvensional Ada banyak sisi yang membedakan antara sukuk dengan obligasi konvensional: 57
57
Departemen Keuangan Republik Indonesia, “Tanya Jawab Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan Berbasis Syar’ah”. (Jakarta: Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syari’ah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2007), h. 11.
47
1. Sukuk merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title) dari suatu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, sedangkan obligasi merupakan instrumen utang; 2. Penerbitan sukuk memerlukan adanya underlying transaction sebagai
dasar
penerbitan,
sedangkan
obligasi
tidak
memerlukan; 3. Penghasilan yang diberikan sukuk bukan berupa bunga melainkan berupa imbalan/sewa, bagi hasil atau margin, sedangkan
penghasilan
obligasi
berupa
bunga
yang
merupakan harga dari uang; 4. Penerbitan sukuk pada umumnya memerlukan SPV sebagai penerbit, sedangkan obligasi diterbitkan secara langsung oleh obligor; 5. Sukuk merupakan instrumen penyertaan sementara obligasi adalah instrumen utang; 6. Penerbitan sukuk memerlukan adanya akad dan dokumen syariah, sedangkan penerbitan obligasi hanya memerlukan dokumen pasar modal; 7. Penggunaan dana hasil sukuk tidak dapat bertentangan dengan prinsip syariah. Sementara, procced obligasi dapat
48
digunakan secara bebas tanpa memperhatikan ketentuan syariah.
Tabel 2.2: Perbandingan Sukuk dan Obigasi Konvensional 58 Deskripsi Prinsip dasar
Sukuk Negra/SBSN Surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN
Underlying Asset
Harus Ada
Fatwa/Opini
Harus Ada
Surat Utang Negara surat berharga yang merupakan surat pengakuan utang yang diterbitkan dalam periode tertentu, dengan tujuan untuk meningkatkan modal melalui pinjaman tanpa harus menjaminkan suatu aset Tidak Tidak
Syariah Penggunaa Dana
Return
58
Dana hasil penjualan SBSN harus dialokasikan untuk pembiayaan yang sesuai dengan syariah; Sumber pembiayaan APBN; Pembiayaan proyek pemerintah Imbalan, bagi hasil, margin
Sumber pembiayaan APBN
Bunga, capital gain
Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, Opcit, h. 8
49
Secara prinsipil, sukuk dengan obligasi konvensional tidak jauh berbeda dengan kebanyakan bisnis syariah lainnya, diantara pebedaan tersebut adalah: 59 1. Dari
sisi
orientasi,
obligasi
konvensional
hanya
memperhitungkan keuntungan semata. Tidak demikian bagi sukuk, disamping memperhatikan keuntungan juga harus memperhatikan sisi halal-maram, dalam artian harus benarbenar sesuai dengan prinsip syariah; 2. Obligasi konvensional, keuntungannya didapat dari besaran bunga yang ditetapkan, sedangkan sukuk keuntungan akan diterima dari besarnya margin/fee ataupun bagi hasil yang didasarkan pada asset dan produksi; 3. Pada setiap transaksi sukuk, ditetapkan akadnya. Baik itu mudharabah, ijarah, musyarakah, salam atau istishna. Hal ini untuk menyesuaikan return yang akan diberikan emiten kepada investor.
3. Tinjauan Fatwa Dewan Syariah Nasional Mengenai Obligasi Syariah Salah satu kebutuhan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN). Seiring
59
M. Nadratuzzaman Hosen, dkk, Materi Dakwah Ekonomi Syariah (Jakarta: PKES, 2008), h. 186
50
dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengembangkan pasar keuangan syariah di Indonesia, maka pemerintah berupaya meluncurkan instrumen investasi dan pembiayaan yang berbasis syariah, yaitu Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau yang dikenal dengan sukuk negara. Banyak perjuangan pemerintah untuk menerbitkan SBSN karena harus benar-benar
terjaga
dari
unsur
yang
mengharamkannya
atau
yang
membuatnya terlihat tidak syariah. Akan tetapi, dengan usaha dan kerja keras pemerintah selama ini dalam menyediakan landasan hukum bagi penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), maka pada tanggal 7 Mei 2008 disahkan lah Undang-Undang No 19 Tahun 2008 tentang SBSN, sehingga mampu menyediakan basis serta koridor hukum bagi pengelolaan dan penerbitan SBSN secara hati-hati, transparan, dan akuntabel, serta memberikan kepastian hukum bagi investor. Hal ini pun didukung dengan di fatwakannya obligasi syariah yang dalam istilah Negara disebut sukuk Negara oleh Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu Fatwa: 1. No 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah; 2. No 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah; 3. No 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah. Instrumen-instrumen syariah yang dikeluarkan oleh suatu badan usaha atau lembaga keuangan selalu diawali dengan adanya Fatwa dari Dewan Syariah Nasional yang menjadi keabsahan dan kehalalan suatu produk.
51
Dengan adanya Fatwa yang memayungi keabsahan sukuk, maka investor tidak perlu ragu untuk berinvestasi pada sukuk karena MUI sudah menyatakan kehalalan sukuk. Ketua DSN-MUI, Ma’ruf Amin menyatakan bahwa tidak ada unsurunsur yang dilanggar dalam penerbitan sukuk, kecuali jika ada pihak yang menyatakan bahwa sukuk melanggar syariat maka itu akan di diskusikan lebih lanjut. 60 Terlebih ada 4 Fatwa yang dikeluarkan MUI terkait penerbitan sukuk. Diantara 4 Fatwa tersebut adalah: 61 1. Sukuk Negara diterbtkan atas bukti bagian kepemilikan asset. Asset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN atau barang milik Negara yang memiliki nilai ekonomis. Akad-akad yang dapat digunakan ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna dan beberapa akad yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelesaian perselisihan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan sesuai dengan prinsip syariah. 2. Sale and lease back, hukumnya boleh akad yang digunakan adalah Ba’i dan ijarah yang dilaksanaan secara terpisah. Sale and lease back adalah jual beli suatu asset untuk kemudian pembeli menyewakan kembali asset kepada penjual yang dapat disesuaikan dengan syariah.
60
Redaksi Sinar Baru, “MUI: Investasi Sukuk Halal”, Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2010 dari http://hariansib.com/?p=36039 61 Ibid
52
3. SBSN ijarah sale and lease back penyebutannya yang dibutuhkan secara spesifik mengantisipasi dikeluarkannya SBSN ijarah head lease dan sub lease yang banyak menggunakan dasar fatwa DSN No 41. Akad yang digunakan adalah Ba’i dan ijarah yang dilaksanakan secara terpisah dimana pembeli berjanji untuk menjual kembali asset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan. 4. Metode penerbitan SBSN dilakukan melalui agen lelang yang investor menyampaikan penawaran pembelian baik secara kompetitif maupun non kompetitif melalui peserta lelang. Bookbuilding, kegiatan penjualan SBSN kepada investor melalui agen penjual dimana agen penjual
mengumpulkan
pemesanan
penawaran yang telah ditentukan.
pembelian
dalam
periode
53
BAB III TINJAUAN UMUM MEKANISME PELAKSANAAN KEUANGAN NEGARA DAN IMPLIMENTASI DANA SUKUK DALAM APBN A. Sumber Penerimaan Negara Dalam APBN 1. Pengertian Keuangan Negara Pemahaman terhadap hukum keuangan Negara harus dimulai dengan terlebih dahulu mengetahui pengertian keuangan Negara terhadap cukup banyak variasi pengertian keuangan Negara, tergantung dari aksentuasi terhadap suatu pokok persoalan dalam pemberian definisi dari para ahli dibidang keuangan negara. Secara umum keuangan Negara diartikan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pemerimaan dan pembayaran uang. Oleh karena itu, keuangan sering diartikan sebagai suatu sistem mengenai penerimaan dan pengeluaran uang. Bertolak dari pengertian ini, maka yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hal yang bertalian dengan masalah penermaan dan pengeluaran dari suatu Negara. 62 Menurut M Ichwan: 63 keuangan negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata
62
Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber daya Manusia. Pengelolaan Keuangan Negara. (Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2009), h. 4 63 W Riawan Tjandra. Hukum Keuangan Negara (Jakarta: PT. Grasindo. 2006) h. 1
54
uang), yang akan dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya satu tahun mendatang. Sedangkan menurut Menurut Gheodart: 64 keuangan negara merupakan keseluruhan
Undang-Undang
memberikan
kekuasaan
yang
pemerintah
ditetapkan untuk
secara
periodik
melaksanakan
yang
pengeluaran
mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut. Unsur-unsur keuangan negara menurut Gheodart meliputi: a.
Periodik,
b.
Pemerintah sebagai pelaksana anggaran,
c.
Pelaksanaan anggaran mencangkup dua wewenang, yaitu wewenang pengeluaran dan wewenang untuk menggali sumber-sumber pembiayan untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran yang bersangkutan, dan
d.
Bentuk anggaran Negara adalah berupa suatu undang-undang. Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 3003 Tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa keuangan Negara “Adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
64
Ibid.
55
Dalam penjelasan atas UU No. 17 Tahun 2003 tersebut, ada 4 pendekatan yang digunakan untuk merumuskan Keuangan Negara: 1. Pendekatan Obyektif. Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, yang meliputi subbidang pengelolaam kekayaan negara yang dipisahkan. 2. Pendekatan subjektif. Keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana yang tersebut diatas yang dimiliki oleh negara, dan dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 3. Pendekatan proses. Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut diatas. Mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. 4. Pendekatan tujuan. Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Berdasarkan pengertian diatas, maka keuangan negara pada dasarnya berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran negara beserta segala sebab
56
dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Pembahasan lebih lanjut hanya akan membahas tentang keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal atau lebih spesifik lagi tentang pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 2. Ruang Lingkup Keuangan Negara Menurut Pasal 2 UU Keuangan Negara, ruang lingkup keuangan negara meliputi: a. Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengerakan uang, dan melakukan pinjaman; b. Kewajiban Negara untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum
pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga; c. Penerimaan negara; d. Pengeluaran daerah; e. Penerimaan daerah; f. Pengeluaran daerah; g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
57
i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Kesembilan
kelompok
pengertian
kekayaan
negara
tersebut
menyebabkan pengertian kekayaan negara yang harus diperiksa oleh BPK, termasuk juga kekayaan pihak lain yang diperoleh oleh pihak yang bersangkutan yang dengan menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. 3. Sumber-Sumber Penerimaan Negara Disamping mempunyai kewajiban menyelenggarakan keuangan, negara atau pemerintah juga mempunyai berbagai hak. Salah satu haknya adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai
pengeluaran
sehubungan
dengan
kegiatan
penyelenggaraan
Negara/pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah. Penerimaan atau pendapatan negara adalah semua penerimaan kas umum (kas pemerintah pusat) dari berbagai sumber yang sah, yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah pusat atau daerah. Dalam arti yang luas, penerimaan atau pendapatan negara adalah seluruh penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang-barang dan jasa-jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pencetakan uang, pinjaman pemerintah, menjalankan berbagai pungutan dari masyarakat yang didasarkan pada Undang-Undang.
58
Pokok sumber-sumber penerimaan atau pendapatan Negara dapat dikelompokkan sebagai berikut: Dalam buku “Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah” karangan Atep Adya Barata & Bambang Trihartanto pokok sumber penerimaan atau pendapatan negara dikelompokkan sebagai berikut: 65 1) Sumber penerimaan dari pajak, meliputi: a. Pajak Pusat: : Pajak Pengasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN; PPn-BM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Bea Materai, Bea Masuk, Cukai, Pajak Ekspor. b. Pajak Daerah: Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Hotel dan Restoran (PHR), Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Bahan Bakar. 2) Penerimaan lain dalam negeri: a. Penerimaan Negara dari Retribusi; b. Laba BUMN; c. Penerimaan dari denda atas pelanggaran masyarakat (individu/kelompok/organisasi); 65
Atep Adya Barata & Bambang Trihartanto “Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah” Rayendra L Toruan, ed. (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004), h. 52
59
d. Pencetakan Uang; e. Pinjaman dalam negeri dan luar negeri; f. Penerimaan dari hadiah atau hibah Dari berbagai sumber penerimaan yang telah disebutkan diatas, pajak merupakan sumber utama bagi penerimaan negara, sedangkan pinjaman dan penerimaan lainnya merupakan pembiayaan alternative yang baru diambil bilamana pajak tidak mampu menutupi defisit anggaran negara. Pencetakan uang juga baru dilaksanakan jika negara sangat terdesak. Dalam nota keuangan RAPBN-P 2010, penerimaan negara berasal dari: 66 I. Penerimaan dalam negeri, yang meliputi: 1. Penerimaan perpajakan: a. Pajak dalam negeri; b. Pajak perdagangan internasional. 2. Penerimaan bukan pajak: a. Penerimaan SDA b. Bagian laba BUMN c. PNBP lainnya d. Pendapatam BLU II. Hibah. 66
Departemen Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan RAPBN-P Tahun Anggaran 2010.( Jakarta: Departemen Keuangan, 2010), h. 27
60
III. Pembiayaan, yang meliputi: 1. Pembiayaan dalam negeri: a. Perbankan; b. Non perbankan. 2. Pembiayaan, meliputi: a. Pinjaman luar negeri; b. Pinjaman dalam negeri. Table 3.1 Anggaran APBN 67 APBN 2010 (dalam miliar rupiah) Uraian A. Pendapatan Negara Dan Hibah I. Penerimaan Dalam Negeri 1. Penerimaan Perpajakan a. Pajak Dalam Negeri b. Pajak Perdagangan Internasional 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak a. Penerimaan SDA 1) SDA Migas 2) Non Migas b. Bagian Laba BUMN c. PNBP Lainnya d. Pendapatan BLU II. Hibah B. Belanja Negara I. Belanja Pemerintah Pusat (K/L & Non K/L) 1. Belanja K/L 2. Belanja Non K/L a. Pembayaran Bunga Utang 1) Utang Dalam Negeri 2) Utang Luar Negeri b. Subsidi 67
Ibid
APBN
RAPBNP
Selisih thd APBN
949.656,1 948.149,3 742.738,0 715.534,5 27.203,5 205.411,3 132.030,2 120.529,8 11.500,5 24.000,0 39.894,2 9.486,9 1.506,8
974.819,7 973.161,7 733.238,0 710.313,6 22.924,4 239.923,6 160.512,7 149.012,2 11.500,5 28.000,0 41.924,1 9.486,9 1.658,0
25.163,6 25.012,3 (9.500,0) (5.221,0) (4.279,1) 34.512,3 28.482,5 28.482,5 0,0 4.000,0 2.029,0 0,0 151,3
1.047.666,0 725.243,0 340.149,23 385.093,8 115.594,6 77.436,8 38.157,8 157.820,3
1.104.636,6 770.368,2 355.583,2 414.785,1 112.452,8 74.126,7 38.326,1 199.336,5
56.970,5 45.125,2 15.434,0 29.691,2 (3.141,9) (3.310,1) 168,3 41.516,1
61
1) Subsidi Energi 2) Subsidi Non Energi c. Belanja Lain-Lain
106.526,7 51.293,6 30.714,9
143.793,7 55.542,7 29.472,7
37.267,0 4.249,0 (1.242,3)
322.423,0 306.023,4 81.404,8 203.485,2 21.133,4 16.399,6 7.343,2
334.268,3 310.525,5 85.906,9 203.485,2 21.133,4 16.399,6 7.343,2
11.845,3 4.502,1 4.502,1 0,0 0,0 0,0 7.343,2
C. SURPLUS DEFISIT ANGGARAN (A-B) % Defisit terhadap PDB
(98.009,9) (1,6)
(129.816,9) (2,1)
(31.806,9) (0,4)
D. PEMBIAYAAN (I + II) I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 1. Perbankan Dalam Negeri 2. Non-Perbankan Dalam Negeri II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto) 1. Penarikan Pinjaman LN (bruto) 2. Penerusan Pinjaman (SLA) 3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN
98.009,9 107.891,5 7.129,2 100.762,3 (9.881,5) 57.605,8 (8.643,8) (58.843,5)
129.816,9 130.319,5 45.477,1 84.842,4 (502,6) 72.322,8 (16.924,1) (55.901,3)
31.806,9 22.428,0 38.347,9 (15.919,9) 9.378,9 14.717,0 (8.280,3) 2.942,2
II. TRANSFER KE DAERAH 1. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaiannya 3. Hibah Ke Daerah
Sumber: Kementrian Keuangan Negara Sebenarnya, salah satu sumber pembiayaan APBN adalah bersumber dari pinjaman, baik itu pinjaman dalam negeri ataupun pinjaman dari luar negeri. Dari pinjaman ini akan melahirkan utang, berutang bisa dilakukan melalui pinjaman secara langsung, atau dengan menerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah melakukan penerbitan SBN sebagai sarana menambah pembiayaan untuk menutupi defisit. SBN yang diterbitkan dapat berupa obligasi atau sukuk/SBSN. Dalam program pembiayaan APBN, SBSN/sukuk masuk ke dalam kategori Surat Berharga Negara. Hanya saja, obligasi yang diterbitkan akan
62
melahirkan bunga, sedangkan pada sukuk pemerintah harus mengatur margin atau fee atau imbal hasil dari penerbitan sukuk.
B. Instrumen Pembiayaan APBN Sejak tahun 2000 anggaran pendaptan dan belanja begara tidak lagi menggunahkan prinsip anggaran berimbang, tetapi disusun menjadi anggaran defisit. Akibatnya, terdapat selisih antara jumlah pendapatan dan belanja Negara. Karena anggaran defisit, maka keseimbangan umum dalam APBN adalah negative. Anggaran disusun defisit setelah memperhitungkan: 68 1.
Perkembangan terakhir realisasi pendapaan dan belanja Negara dalam tahun anggaran berjalan dan proyeksi hingga akhir tahun.
2.
Perkiraan riil kemampuan mobilisasi sumber-sumber pendapatan dalam negeri.
3.
Perhitungan beban anggaran belanja Negara tahun mendapatang setelah memperhitungkan: (a) asumsi berbagai besaran ekonomi makro, (b) perkembangan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian sasaran ekonomi APBN, (c) berbagai kebijakan yang telah, sedang, dan akan diambil oleh pemerintah baik kebijakan yang telah berkaitan dengan
68
Tim Pengembangan Sumber Daya Manusia. Pengelolaan Keuangan Negara. (Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusat Pendidian dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2009), h.38
63
pendapatan maupun belanja Negara dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dalam anggaran defisit diperlukan pembiayan untuk menutupi kekurangan pembiayaan dalam APBN. Upaya yang dilakukan pemerintah diantaranya: 69 1) Pembiayaan dalam negari. Adalah pembiayaan defisit anggaran yang bersumber dari dalam negeri, yaitu sektor perbankan, non perbankan dan penerbitan surat utang negara. a. Sektor perbankan terdiri terdiri dari pinjaman/kredit baik dari bank umum maupun bank swasta yang berbentuk rekening dana investasi dan non rekening dana investasi. Pembiayaan dari sektor perbankan akan memicu timbulnya inflasi, oleh karena itu pembiayaan dari sektor perbankan bukan menjadi prioritas utama. b. Sektor non perbankan meliputi penerimaan hasil divestivikasi saham pemerintah pada BUMN/BUMD (privatisasi) dan penjualan asset perbankan
(restrukturisasi).
Privatisasi
disini
maksudnya
penjualan/pelepasan saham BUMN/BUMD pemerintah kepada swasta dalam/luar negeri. Hal ini membuat pemerintah kehilangan hak monopolistic atas perusahaan milik Negara tersebut. Restrukturisasi merupakan penjualan asset perbankan dalam upaya penyehatan lembaga perbankan dalam negeri. Jika ternyata pemerintah sulit untuk 69
Ibid, h. 39
64
mengembalikan keseimbangan asset perbankan, maka lembaga perbankan tersebut dinyatakan sebagai bank beku operasi dan asetnya menjadi milik pemerintah untuk kemudian dijual untuk menutup defisit. c. Penerbitan Surat Utang Negara, langkah ini dilakukan dengan menjual atau menerbitkan surat utang yang berbentuk mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam penerbitan SUN terkandung aspek biaya dan resiko, yaitu bunga, resiko nilai tukar valas dan dan resiko pada saat pembayaran kembali. Sehingga dalam pengelolaan SUN pemerintah harus lebih hati-hati. 2) Pembiayaan luar negeri. Kebijakan ini dilakukan pemerintah melalui pinjaman luar negeri. Berutang kepada pihak luar menjadi sumber utama dalam pembiayaan APBN. 70 Kebisaaan pemerintah dalam berutang kepada pihak untuk menutupi pendanaan anggaran telah dilakukan sejak tahun 1969. Dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negaran Tahun Anggaran 2010. Kebijakan dalam pinjaman kepada pihak luar ini terbagi menjadi dua: a. Pinjaman program, adalah pinjaman yang diterima dalam bentuk tunai (cash financing) dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya
70
Direktorat Pembiayaan Syariah dan Pengelolaan Utang, Instrument Sukuk Negara dan Metode Penerbitan. Makalah disampaikan pada seminar: Sukuk Goes To Campus Universitas Indonesia, Jakarta 7 April 2010, h. 4
65
kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak seperti matriks kebijakan atau dilaksanakannya kegiatan tersebut. b. Pinjaman program, adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai
kegiatan
tertentu
kementrian
negara/lembaga
atau
pemerintah daerah dan BUMN melalui perusahaan pinjaman yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan berdasarkan Undang-Undang ini.
Gambar 3.1: 71 Instrument pembiayaan APBN
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) SUN Obligasi Negara
SBN
SBSN Instrumen pembiayaan
1. Wholesale 2. SBSN Ritel 3. Islamic T-Bills 4. Project Financing k k
Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Pinjaman Dalam Negeri
71
Direktorat Pembiayaan Syariah dan Pengelolaan Utang, Instrument Sukuk Negara dan Metode Penerbitan. Makalah disampaikan pada seminar: Sukuk Goes To Campus Universitas Indonesia, Jakarta 7 April 2010, h. 7
66
C. Pengelolaan Keuangan Negara 1.
Pengelolaan Kas Umum Negara Keuangan negara adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan
penerimaan dan pengeluaran negara beserta segala sebab dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2003 Pasal 6 dikatakan bahwa pada hal Pengelolaan Keuangan Negara, Presiden adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan negara yang pada praktiknya dijalankan oleh Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan Negara. Sehingga dalam hal ini, Menteri Keuangan selaku bendahara umum Negara berwenang mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah. Dalam rangka penyelenggaraan rekening pemerintah, Menteri Keuangan membuka Rekening Kas Umum Negara. Uang Negara disimpan dalam Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral. Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluran Negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada Bank Umum dengan mempertimbangkan Asas Kesatuan Kas dan Asas Kesatuan Perbendaharaan, serta optimalisasi
67
pengelolaan kas. Akan tetapi, pada hal tertentu, Bendahara Umum Negara dapat membukan rekening pada lembaga keuangan lainnya. 72 Dari dua rekening tersebut, rekening penerimaan digunakan untuk menampung penerimaan Negara setiap hari yang penyetorannya wajib dilakukan seluruhnya Pada Rekening Kas Umum Negara di bank sentral dan disetorkan secara berkala. Sedangkan rekening pengeluaran, pada bank umum diisi dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral. Jumlah dana yang disediakan pada rekening pengeluaran untuk berbagai kegiatan disesuaikan pada dengan rencana pengeluaran APBN.
2.
Asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara Dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara Undang-Undang
Keuangan Negara menetapka asas-asas umum dalam pengelolaan keuangan Negara agar tujuan pengelolaan seluruh kebijakan, dan semua bentuk kegaitan yang berkaitan dengan penguasaan obyek keuangan Negara dapat memberikan daya dukung penyelenggaraan pemerintah yang optimal. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: 73
72
Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. Sistem Administrasi Keuangan Negara I. (Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 2007) h. 59 73 Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pengelolaan Keuangan Negara, h. 10
68
a. Akuntabilitas yang berorientasi pada hasil, maksudnya adalah setiap pengguna anggaran wajib menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawab; b. Profesionalitas, seharusnya pengelolaan keuangan Negara harus di kelola oleh tangan-tangan yang profesional; c. Proporsionalitas, alokasi anggaran dilaksanakan secara proporsional pada
fungsi-fungsi
kementrian/lembaga
sesuai
dengan
otoritas
tujuannya; d. Keterbukaan
dalam
pengelolaan
Keuangan
Negara,
padahal
pembahasan, penetapan, perhitungan dan pengawasan oleh lembaga audit; e. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, maksudnya
Badan
Pengawas
Keuangan
berwenang
untuk
melaksanakan pemeriksanaan keuangan secara objektif dan independen. Asas-asas umum tersebut sangat diperlukan dan harus di praktikan guna mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara serta menjamin terselenggaranya prinsi-prinsip pemerintahan negara. Sehingga, pelaksanaan undang-undang tentang Keuangan Negara selain sebagai acuan dalam manajemen keuangan negara, tetapi juga dimaksudkan untul memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia.
69
D. Implimentasi Penerbitan Sukuk Dalam APBN Sejauh ini, penerintah Indonesia telah menuai keberhasilan dalam penerbitan SBSN dan mendapatkan dana yang tinggi dari sejumlah investor. Realisasi penerbitan SBSN sampai dengan Mei 2010 mencapai Rp. 35,1 Triliun 74 , bukan nominal yang sedikit untuk kategori pemenuhan kebutuhan pembiayaan bagi negara Indoensia dalam kurun waktu 2 tahun. Di Indonesia kehadiran SBSN sangat strategis mengingat pesatnya perkembangan pasar syariah dalam negeri kini menjadi salah satu pilar pengautan ekonomi nasional. Dengan disahkannya UU No 19 tahun 2008 tentang SBSN, instrumen di pasar keuanganpun menjadi kian terdiversifikasi. Terlebih lagi setiap produk dalam negeri yang dikeluarkan berdasarkan prinsip syariah selalu di awali dengan fatwa DSN-MUI untuk menjamin kehalalannya. Sampai saat ini, pemerintah menempatkan sukuk sebagai salah satu instrumen untuk mengelola Keuangan Negara dan sumber pemenuhan kebutuhan defisit anggaran. Dibanding dengan Surat Utang Negara (SUN), struktur investasi sukuk dan tingkat transparansinya yang lebih pasti, hal ini tercermin dari adanya kewajiban negara dalam menyediakan asset sebelum melakukan proses penerbitan SBSN, penghitungan tingkat pengembalian dan kepastian proyek-proyek yang dibiayai. 74
Agus P. Laksono. “Sukuk Negara (SBSN): Instruemn Investasi Pembiayaan dan Investasi Berbasis Syariah”. Makalah disampaikan dalam ‘Sukuk Goes To Campus’ yang diselenggarakan Ditjen Pengelolaan Utang Bekerja Sama Dengan Universitas Trisakti, Jakarta 7 Mei 2010, h. 32
70
Meski demikian, implimentasi sukuk bukan tidak memiliki kelemahan. Secara nyata, sukuk bisa menjadi solusi pebiayaan yang adil, jauh dari syubhat, maisir, dan gharar. Khairunnisa Musari, Mahasiswa S3 dari Prodi Ekonomi Islam dari Unair menyatakan, bahwa sekalipun penerbitan sukuk sudah sesuai dengan konteks syariah, akan tetapi implimentasi sukuk dalam konteks keIndonesiaan masih cukup rentan. Menurutnya, jika melihat pada tata kelola fiskal dalam perspektif islam, kondisi dan paradigm tata kelola fiskal di Indonesia sudah banyak terjadi ketidaktepatan dan ketidakbenaran. 75 Kebijakan defisit anggaran harusnya menjadi kebijakan yang dihindari. Defisit anggaran menunjukkan sebuah perilaku “besar pasak dari pada tiang”. Ekonomi Islam menuntun agar belanja anggaran disesuaikan dengan besarnya penerimaan dan bukan mencari-cari sumber penerimaan untuk menutupi defisit. Dalam Undang-Undang SBSN Pasal 4 menyatakan bahwa penerbitan sukuk untuk membiayai APBN termasuk membiayai pembangunan proyek, dalam penjelasan UU SBSN di jelaskan bahwa pembangunan proyek yang dimaksud adalah sektor-sektor yang produktif. Sehingga hakikat sukuk itu
75
Khairunnisa Musari. “Rentannya Implimentasi Sukuk di Indonesia”.
Artikel di akses pada tanggal 31 Maret 2010 dari http:// khairunnisamusari .blogspot.com/2008/09/rentannya-implementasi-sukuk-di.html
71
benar-benar untuk pembiayaan pada sektor riil, bukan hanya untuk menabal defisit. Dalam konteks ekonomi islam, pemerataan tingkat ekonomi menjadi saran utama bagi masyarakat dalam suatu negara. Jika orienasi penerbitan SBSN di upayakan untuk mendorong pertumbuhan pada sektor riil, upaya ini dapat menstimulasi tingkat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi. Sehingga sukuk negara bisa dijadikan sebagai gerbang investasi di sektor riil, termasuk dalam pembangunan infrastruktur, transportasi dan pembangunan industri yang dapat memberikan peluang terciptanya lapangan baru dengan mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia. 76
E. Potensi Dana Sukuk (SBSN) Untuk Membiayai APBN Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara mempunyai peluang menjadi hubungan keuangan Islam di Asia Tenggara, bahkan bisa menjadi pusat keuangan dunia dimasa mendatang. Khususnya dalam pemanfaatan sukuk sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Untuk saat ini, secara global Malaysia dan Arab Saudi masih menduduki tingkat teratas dalam penerbitan sukuk. Indonesia pun bisa
76
Irfan Syauqi Beik. “Optimalisasi Sukuk Sebagai Pintu Investasi”. Artikel di akses pada tanggal 12 Mei 2010 dari http:// suarapembaca.detik. com/read/2009/11/17/175559 /1243578/471/optimalisasi-sukuk-sebagai-pintu-investasi
72
menyusul untuk menjadi Negara terbesar dalam penerbitan sukuk. Pasalnya terdapat permintaan yang cukup besar terhadap sukuk dari beberapa Negara seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa investor sukuk lebih luas dari pada investor obligasi konvensional. Seorang pakar ekonomi syariah sekaligus Kepala Prodi Muamalah Fakutas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, Dr.Euis Amalia, M.Ag menyatakan, semua itu tidak terlepas bahwa berinvestasi dengan sukuk akan aman karena resikonya ditanggung pemerintah. Terlebih lagi jaminan mengenai transaksi sukuk telah dijamin dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. 77 Selain itu, proyeksi sukuk kedepannya sangat bisa menyeimbangkan dengan obligasi konvensional dengan catatan adanya good corporate governance dan transparansi pengelolaan dana sukuk kemana arahnya. Banyaknya proyek-proyek pembangunan, infrastruktur, ataupun proyek pengembangan lainnya, sangat memberikan potensi bagi Indonesia untuk meningkatkan penerbitan sukuk untuk mendapatkan dana segar dari para investor dalam atau luar negeri. Banyaknya
proyek-proyek
infrastruktur
seharusnya
menjadikan
Indonesia mempunyai daya tarik luar bisaa bagi investor syri’ah. Apalagi sektor infrastruktur bisaanya paling diminati investor syri’ah. Hal ini dikarenakan 77
Bella Donna. “Sukuk Bisa Melampaui Obligasi Konvensional”. Artikel diakses pada tanggal 12 Mei 2010 dari http://www.vibiznews.com/articles_ last.php?id=1118 &sub=article&month=Maret&tahun=2010&page=bondsmutual
73
investor syri’ah bisaanya memilih dan memiliki horizon investasi jangka panjang, antara 5 sampai 15 tahun. 78
Gambar 3.2: Realisasi Penerbitan SBSN sampai dengan 7 Mei 2010 79
Total Outstanding SBSN Rp. 35,1 Triliun
Sukuk Ritel Rp. 13.590 T IFR Rp. 9.671 T SDHI Rp. 6. 028 T SNI Rp. 5864 T
Total Penerbitan SBSN Rp. 15,07 T
Sukuk Ritel Rp. 8,033 T IFR Rp. 3,694 T SDHI Rp. 3,342 T
78
Artikel diakses pada tanggal 16 November 2009 dari http://faiz2006.
wordpress.com2009/04/20/sukuk‐untuk‐pembiayaan‐infrastrukturkendala‐dan beberapa‐langkah‐strategis/ 79 Agus P Laksono, “Sukuk Negara (SBSN): Instruemn Investasi Pembiayaan dan Investasi Berbasis Syariah”, h. 32
–
74
Dari gambar diagram diatas dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia telah banyak mendulang dana dari penerbitan sukuk. Sehingga, dapat dikatakan bahwa penerbitan sukuk cukup berpotensi untuk membiayai APBN. Sekalipun penggunaan sukuk masih banyak menuai kritik dengan dalih bahwa dana sukuk tidak dialokasikan kepada sektor riil.
F. Prospek Sukuk Dalam Membiayai APBN Indonesia
mempunyai
banyak
projek
infrastruktur
yang
menjadikannya daya tarik luar bisaa bagi investor syariah. Industri energi (pertambangan, migas), industri berbasis sumber daya alam (perkebunan), dan industri infrastruktur berpendapatan valas (airport, seaport) merupakan sektor yang bisaanya paling diminati investor syariah. Dalam hal jangka waktu investasi, perilaku investor syariah juga agak berbeda. Investor syariah bisaanya memilih dan memiliki horison investasi jangka panjang, 5 sampai 15 tahun. Perhatian utama investor ini adalah pada keutuhan modal, return yang kompetitif, tetapi dengan horison investasi yang panjang, bukan pada return jangka pendek. Untuk saat ini, penggunaan dana sukuk memang difungsikan sebagai pembiayaan dalam APBN dan tujuannya untuk menutupi defisit. Sekalipun di media masa banyak yang mengkritisi pengalokasian dana sukuk yang lebih diutamakan penggunaannya untuk sektor riil. Akan tetapi, sejalan dengan berkembangan pasar keuangan syariah dalam negeri dan pasar sukuk di dunia,
75
memberikan kesempatan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak melewati dana segar yang bisa di dapat dari negara-negara GCC untuk membantu pembiayaan dalam APBN. Pola penerbitan sukuk negara yang menggunakan akad ijarah dengan struktur sale and lease back, tidak menghalangi arah alokasi dana sukuk. Secara terbuka Dewan Syariah Nasional menyatakan bahwa tidak ada keraguan bagi investor yang ingin berinvestasi pada sukuk, karena MUI sudah menyatakan kehalalan sukuk. 80 Jika pada sub bab sebelumnya kita sudah mengetahui betapa pemerintah Indonesia juga mampu bersaing dalam penerbitan sukuk, maka dari itu, kita berharap penerbitan sukuk yang akan datang tidak hanya akan menjadi salah satu sumber pembiayaan untuk menambal defisit APBN. Namun, sudah seharusnya modal yang terkumpul melalui penerbitan SBSN dapat lebih dimanfaatkan pada sektor-sektor produktif, khususnya untuk pengembangan proyek infrastruktur yang berdampak pada pertumbuhan sektor rill.
80
Redaksi Sinar Baru, “MUI: Investasi Sukuk Halal”, Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2010 dari http://hariansib.com/?p=36039
76
BAB IV TINJAUAN EKONOMI ISLAM TERHADAP ALOKASI DANA SUKUK DALAM APBN
A. Mekanisme Pengelolaan dan Alokasi Dana Sukuk (SBSN) Dalam APBN Banyak negara kini berupaya menambah pemasukan negaranya dengan menerbitkan Surat Berharga Negara dengan prinsip syariah atau yang dikenal dengan Sukuk. Sama halnya Indonesia yang juga berupaya menambah sumber pendanaan untuk mengoptimalkan berbagai pembiayaan guna meningkatkan perekonomian dalam negeri. Di Indonesia, APBN itu ada 2, yaitu penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan adalah dimana pemerintah menerima pemasukan kas negara dari berbagai sumber, sedangkan pengeluaran
adalah
belanja
pemerintah
untuk
tujuan
meningkatkan
perekonomian negara. Dalam hal penerimaan dan pengeluaran, tidak menutup kemungkinan bagi suatu negara terjadi defisit, defisit adalah selisih negatif antara pendapatan dan pengeluaran. Sebagaimana yang telah diketahui oleh masyarakat pada umumnya, implimentasi sukuk di Indonesia lebih di utamakan penggunaannya untuk menutup defisit APBN. Setiap tahunnya pemerintah mengalami defisit, hal ini secara tidak langsung memberikan gambaran dan menandakan bahwa belanja pemerintah lebih besar dari pada pendapatan yang didapat. Sehingga dikatakan wajar jika APBN kita terus mengalami defisit. Padahal jika melihat
77
kembali tata keuangan APBN pada jaman Rasul, defisit hampir jarang terjadi, karena kebijakan belanja Rasul selalu merujuk kepada besaran pendapatn. Rasul tidak akan berusaha belanja lebih jika dana yang didapat negara tidak mencukupi. Dalam kamus ekonomi, defisit adalah jumlah uang yang dibutuhkan lebih kecil dari jumlah uang yang didapat. 81 Pemerintah mengartikan dan menggunakan kata defisit ini sebagai selisih negatif antara pendapatan dan belanja negara, bisaanya hal ini terjadi karena negara menginginka tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga membuat pemerintah tersebut harus mencari tambahan pembiayaan untuk menutup defisit. Dalam Undang-Undang APBN Pasal 1 ayat 29 dikatakan bahwa “Pembiyaan defisit anggaran adalah semua jenis penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk menutup defisit anggaran Negara dalam APBN dan kebutuhan pengeluaran pembiayaan”. Di Indonesia, untuk memperoleh pembiayaan defist pemerintah menjadikan utang sebagai sumber utama untuk menutup defist. Padahal dalam sistem ekonomi islam berutang sebisa mungkin dihindarkan bagi suatu negara, karena disadari atau tidak, dengan seringnya negara melakukan transaksi utang semakin besar pula bunga beban bunga yang harus dibayar pemerintah.
81
Ahmad Antoni K Muda. Kamus Lengkap Ekonomi. Cet I. (Jakarta: Gita Media Press. 2003), h. 103
78
Sebagai contoh adalah Negara Yunani, negara ini merupakan negara dengan perekonomian terbesar ke-27 di dunia dengan populasi hanya 11,2 juta orang dan GDP 360 miliar dolar AS, tapi Yunani menjadi Negara yang mengalami krisis besar-besaran ketika krisis melanda Amerika serikat, Yunani hampir menjadi Negara gagal bayar utang luar negeri sepanjang sejarah, mengapa? Yunani banyak melakukan pinjaman terhadap pemerintah AS, sehingga ketika AS mengalami krisis, Yunani pun ikut terkena imbasnya. 82 Dari contoh ini sedikitnya sudah memberikan gambaran pada kita bahwa mengambil utang itu tidak akan membawa pada peningkatan kekayaan, bahkan mungkin dapat mengganggu eksistensi suatu negara karena walau bagaimanapun, negara yang berutang akan menemukan kesulitannya dimasa yang akan datang. 83 Saat ini, Indonesia memang bukan Yunani yang melakukan banyak pinjaman kepada pihak luar. Sejak tahun 2003, pemerintah Indonesia melakukan pemulihan perekonomian setelah sebelumnya dilanda krisis pada tahun 1997. Usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia kala itu adalah menata kembali keuangan negara dengan mengurangi pinjaman luar negeri. Bahkan netto pinjaman luar negeri terhitung positif, artinya jumlah komitmen
82 83
220
Adiwarman A Karim, “This Time Is Different”. Republika, 31 Mei 2010, h. 1 Abdurrahman Al Maliki, Politik Ekonomi Islam (Bogor: Al Azhar Press, 2009), h.
79
pinjaman baru dengan pelunasan lebih besar pelunasan, jadi kebijakan pemerintah Indonesia saat itu melunasi hutang luar negeri. 84 Dengan mengikuti terobosan yang kini marak dilakukan oleh negaranegara seperti Malaysia (yang sejak tahun 2002 sudah mendominasi penerbitan sukuk di dunia), Saudi Arabia, Bahrain, dan beberapa negara lain penerbit sukuk, Indonesia pun ikut meramaikan instrument pembiayan berprinsip syariah ini. Penerbitan sukuk negara memang menjadi alternatif surat utang negara tentu sangat baik bagi perekonomian, karena dengan sukuk tidak memberikan beban kepada negara untuk membayar bunga. Dengan kondisi itu, Sigit Pramono dan A Aziz Setiawan mengutarakan, sukuk merupakan sumber pembiayaan yang sangat menjanjikan. Apalagi, Indonesia membutuhkan
dana
dalam
jumlah
signifikan
untuk
membangun
infrastruktur. 85 Akan tetapi, pakar Ekonomi Islam Adiwarman A Karim dalam analisisnya disebuah media masa Republika tangal 31 Mei 2010 menyatakan, penerbitan sukuk sangat baik untuk eksistensi perekonomian negara, dan bisa dijadikan aternatif dari SUN. Namun, bila penerbitan sukuk negara sebagai tambahan surat utang negara dan jumlahnya melebihi kemampuan negara membayarnya, maka bisa terjadi kemungkinan pemerintah Indonesia bisa 84
Agus P Laksono, Staff Direktorat Pembiayaan Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta 8 Juni 2010. 85 Orin Basuki, “Sukuk: Mari Mengejar Malaysia”. Artikel di akses pada tanggal 20 Juni dari http://detiker.com/financial-news/banking/sukuk-mari-mengejar-malaysia.html
80
seperti Yunani. Dari sini seakan memberikan gambaran bahwa sukuk bukanlah alat bagi pemerintah untuk menghindar jika terjadi gagal bayar dalam melunasi utang. Penerbitan sukuk pun jika digunakan untuk menambah surat utang dan memberikan imbal hasil yang tinggi, bukan berarti itu tidak merisaukan pemerintah. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa dana sukuk yang digunakan untuk menutup defisit APBN, maka alokasinya menjadi tidak syariah. Bisa saja dana sukuk ini digunakan untuk membayar utang pemerintah, atau membayar bunga utang konvensional, atau dialokasikan untuk hal-hal lain yang tidak seharusnya, karena tujuan penerbitan sukuk itu sudah diatur dalam UU SBSN Pasal 4 bahwa tujuan penerbitan sukuk itu untuk membiayai APBN termasuk untuk membiayai proyek produktif. Proyek produktif inilah yang menjadi alasan bagi masyarakat banyak untuk mengkritik alokasi dana sukuk, karena menurut mereka bahwa kearah sinilah seharusnya alokasi dana sukuk itu ditempatkan. Sebagaimana kita ketahui dalam perekonomian, setiap negara tentu mempunyai target-target pertumbuhan perekonomian, begitu pula Indonesia. Pemerintah
Indonesia
pasti
akan
memperhitungkan
jika
target
pertumbuhannya meningkat, maka kesejahteraan pun akan meningkat. Sebagai contoh misalnya pada tahun ini, dalam turunan Undang-Undang APBN TA 2010 pemerintah Indonesia mempunyai target pertumbuhan
81
sebesar 5,5% 86 dari tahun sebelumnya yang hanya 4,3% 87 . Untuk mencapai tingkat pertumbuhan 5,5%, pemerintah memerlukan Rp. 1.047.666,0 Triliun, sedangkan pendapatan pemerintah pada tahun 2010 ini diperkirakan hanya sebesar Rp. 949.656,1 Triliun, maka terjadi defisit sebesar Rp. 98.009,9 Triliun. 88 Defisit ini lah yang kemudian oleh pemerintah di cukupi dengan adanya pembiayaan dari utang, Surat Berharga Negara, pinjaman luar negeri, dan lain-lain. Kalaupun misalnya pemerintah ingin menyesuaikan belanja negara dengan jumlah pendapatan sebesar Rp. 949.656,1 Triliun, maka target pertumbuhan yang sudah direncanakan tidak akan berjalan, yang ada pertumbuhan Indonesia akan lambat. Sehingga Indonesia memang sengaja membuat bahwa konteks defisit disini adalah alat yang digunakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan. 89 Padahal, dalam sistem ekonomi islam mengajarkan bahwa dalam keuangan publik, sebisa mungkin negara tidak mengalami defisit, tapi bukan berarti suatu negara juga harus surplus, akan tetapi seimbang dalam hal pendapatan dan pengeluaran. Bahkan untuk
86
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 87 Departemen Keuangan Republik Indonesia. Data Pokok APBN 2005-2010. (Jakarta, Kementrian Keuangan Republik Indonesia), h. 3 88 Departemen Keuangan Republik Indonesia, Nota Keuangan Dan Rancangan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2010 Republik Indonesia. h. 33 89 Agus P Laksono, Staff Direktorat Pembiayaan Syariah, Wawancara Pribadi, Jakarta 8 Juni 2010.
82
berhutangpun sebisa mungkin suatu negara menghindarinya karena akan merusak eksistensi suatu negara dimasa yang akan datang. Tabel 4.1: Program Pembiayaan APBN 2008-2009
Revenue
Program Pembiayaan APBN 2008-2010 2008 2009 2010 APBN-P APBN-P % APBN % GDP APBN-P %GDP GDP % GDP 895,0 20,0 871.0 16.3 949.7 15.9 990.50 15.8
Expenditure 989,5 22,1 1000,8 18.8 1047.7 17.5 1,126.15 18.0 Surplus/(Defisit) -94,5 -2,1 -129.8 -2.4 -98.0 -1.6 -133.7 -2.1 Financing 94.5 2.1 129.8 2.4 98.0 1.6 -133.7 -2.1 Debt. Financing 104.7 2.3 86.5 1.6 94.5 1.5 133.7 2.1 Govt. 117.8 2.6 99.3 1.9 104.4 1.7 107.5 1.7 Securities -13.1 -0.3 -12.7 -0.2 -9.9 -0.2 -0.2 0.0 (Nett) Loan (Nett) -10.2 -0.2 43.3 0.8 3.5 0.1 26.4 0.4 Others Notes: • Nominal figures are in trillion IDR; • Percentage figures are percentage of GDP; • APBN means State Budget; • APBN-P means Adjusted State Budget; • Debts will become the main sources for defiscit and debt refinancing; • Government Securities issuance and program Loan will play significant role to cover the defisit financing; • Other/Non-Debt Financing include privatization proceed, assets recovery (by PPA), government investment fund and SOE’s restructuring (infrastructure fund), and domestic bank financing (investment fund account, government deposit/SILPA, government receivable settlement, etc) Sumber: Kementrian Keuangan Dari table diatas, pemerintah membutuhkan pembiayaan sebesar Rp. 98.009,9 Triliun untuk bisa memenuhi target pertumbuhan 5,5%. Pembiayaan
83
tersebut didapat dari utang (Debt Finacing) yang merupakan sumber utama untuk menutupi defisit, Surat Berharga Negara (Govt Scurities), pinjaman luar negeri (Loan) dan penerimaan lain. Posisi sukuk termasuk kedalam Surat Berharga Negara (SBN) yang dalam UU APBN Pasal 1 No 32 menyebutkan bahwa “surat berharga negara, selanjutnya disingkat SBN, meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara”. Karena sukuk ini masuk kedalam SBN, maka setiap kali pemerintah melakukan penerbitan dan pelelangan, semua dana sukuk yang didapat akan masuk kedalam satu rekening Kas Umum Negara, sebagai tempat penyimpanan uang negara yang memang sudah diatur oleh pemerintah dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah. Bukan hanya sukuk, tapi semua penerimaan negara dari berbagai sumber akan masuk kedalam 1 rekening kas umum negara, baik itu dari utang, pinjaman luar negeri, Surat Utang Negara, Obligasi Republik Indonesia (ORI), dan penerimaan lainnya. Oleh karena pemerintah mempunyai satu rekening kas umum di Bank Sentral, maka benar adanya jika dana sukuk itu bercampur dengan penerimaan lain diluar sukuk, sehingga tidak terlihat secara rinci kemana saja dana sukuk itu dialokasikan. Selain itu, defisit yang terjadi pada pemerintah adalah karena adanya target pertumbuhan perekonomian yang sudah direncanakan. Pertumbuhan perekonomian Indonesia diraih melalui belanja pemerintah dengan
stimulus,
juga
dengan
penyediaan
infratruktur.
Tersedianya
84
infrastruktur yang memadai akan memicu peningkatan aktifitas ekonomi pada sektor swasta. Maka, untuk bisa mengaktifkan perekonomian melalui sektor swasta, pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas infrastruktur yang dananya diambil dari pembiayaan defisit pada APBN. Yang mana dana defisit dalam APBN tersebut terdapat dana yang salah satunya diperoleh dari sukuk/SBSN. Pemerintah memang mengupayakan bahwa dana sukuk itu akan digunakan secara produktif dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Akan tetapi saat ini pemerintah tidak bisa menjelaskan kemana arah dana SBSN itu di alokasikan. Hal inilah yang kemudian memicu masyarakat berfikir bahwa pemerintah tidak transparansi terhadap dana SBSN yang masuk dalam APBN. Pelunasan utang juga menjadi salah satu kewajiban bagi pemerintah, namun kekhawatiran masyarakat akan penyelewengan penggunaan dana sukuk itu hendaknya
memicu
pemerintah
untuk
sebisa
mungkin
menghindari
penggunaan dana sukuk digunakan untuk membayar utang negara dan bunganya. Jika mungkin penggunaan dana sukuk ini hanya untuk menutup deficit, seakan terlihat bahwa pemerintah tidak ingin menanggung resiko. Mengapa tidak, dengan akad ijarah yang tingkat pengembalian pendapatan berupa fee kepada investor akan tetap/fix. Selain itu, kebebasan penggunaan dananya yang membuat pemerintah merasa enggan untuk menerbitkan SBSN dengan pola yang berbeda namun tetap syariah seperti penerbitan SBSN
85
dengan akad mudharabah. Jika akad mudharabah yang akan digunakan dalam pola penerbitan sukuk, maka pemerintah akan benar-benar mempergunakan dana sukuk untuk di investasikan ke sector ril. Akan tetapi, karena Indonesia adalah negara berkembang, dimana konteks perekonomian Indonesia lebih banyak menginginkan terlaksananya kegiatan aktifitas ekonomi terus berjalan, maka ketersediaan infrastruktur seperti fasilitas jalan raya, angkutan darat dan laut yang memadai dan lain sebagainya menjadi pendukung utama bagi keberangsungan peningkatan dan pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Jika pemerintah Indonesia bisa menerapkan pola akad istishna pada penerbitan sukuk negara (SBSN), maka akan sangat cocok dengan keadaan Indonesia yang boleh dibilang sebagai negara berkembang. Dalam isi teori yang telah di paparkan pada bab 2 dari skripsi ini telah dijelaskan jika akad istishna pada sukuk negara, dapat digunakan untuk menghasilkan fasilitas pembiyaan pembuatan atau pembangunan jalan raya, pabrik, proyek, jembatan, jalan atau jalan tol. Sekalipun demikian, pada tahun yang akan datang pemerintah berencana menyediakan sukuk proyek atau Sukuk Project Finacing, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menyebutnya Sukuk Al Milkiya Al Maujudat Al Mu’jarah. 90 Sukuk jenis akan didedikasikan oleh pemerintah 90
Gunawan Yasni, Anggota Kelompok Kerja Pasar Modal Syariah, Badan Pekasana Harian DSN-MUI. Wawancara Pribadi. Jakarta 9 Juni 2010
86
khusus untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur untuk masa yang akan datang, dengan struktur underlying asset adalah proyek yang dibiayai dari sisi kesyariahannya sudah difatwakan tinggal menunggu realisasinya. Sehingga melalui sukuk ini maka tujuan dari penerbitan sukuk akan semakin jelas arahnya. Pola sukuk ini sangat cocok jika menggunakan akad istishna karena dalam realisasinya pemerintah akan menghasilkan fasilitas infrastruktur yang memang sudah direncanakan. Indonesia memang bukan negara islam yang dipimpin oleh seorang khalifah layaknya khalifah yang ada pada jaman Rasulullah dan para sahabat. Dan Indonesia mempunyai peraturan sendiri untuk mengatur sistem negaranya terutama pada sisi pengelolaan keuangan publik. Akan tetapi, kedisiplinan dan tatakelola yang syariah bisa saja di adopsi oleh Indonesia dalam hal pengelolaan dana sukuk. Jika peruntukkan dana sukuk itu untuk membiayai APBN dan proyek infrastruktur, maka hendaknya pemerintah juga mengalokasikan dananya untuk itu, dan membuat transfaransi laporan keuangan pengeluaran dana sukuk yang juga masuk kedalam nota anggaran keuangan setiap tahunnya. Sehingga tidak terjadi kecurigaan dikalangan masyarakat soal arah alokasi dana sukuk. Para pakar keuangan yang objektif telah mengakui bahwa obligasi syri’ah (sukuk) dengan sistem syri’ahnya akan jauh lebih baik dari pada surat hutang dengan basis bunga. Hal ini didasari oleh beberapa ketentuan yang
87
bisaanya harus dipenuhi dalam emisi obligasi syri’ah, yaitu: pertama, penggunaan dana obligasi syari’ah sejak awal jelas untuk membangun proyek tertentu. Kedua, resiko obligasi syari’ah terdifinisi sejak awal oleh proyek yang dibiayainya. Ketiga, tuntutan kedisiplinan penggunaan dana obligasi syari’ah karena sifat peruntukkan penggunaan dana yang terdefinisi secara jelas berkaitan dengan proyek tertentu. Banyaknya proyek-proyek infrastruktur seharusnya menjadikan Indonesia mempunyai daya tarik luar bisa bagi investor syari’ah baik dalam atau luar negeri. Apalagi sektor infrastruktur biasanya paling diminati investor syari’ah. Hal ini dikarenakan prilaku investor syari’ah memang berbeda dengan investor konvensional. Investor syari’ah biasanya memilih dan memiliki horizon investasi jangka panjang, antara 5 sampai 15 tahun. Perhatian utama investor ini adalah pada kebutuhan modal, return (hasil) yang kompetitif, dengan horizon investasi jangka panjang, bukan pada return jangka pendek. Sayangnya sampai dengan saat ini, pemerintah belum secara sistematis menciptakan instrument investasi yang bisa digunakan oleh investor syari’ah global untuk masuk, pemerintah juga belum mempromosikan Indonesia secara serius sebagai lokasi investasi yang memberikan kepastian dan kenyamanan bagi investor syri’ah.
88
B. Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Alokasi Dana Sukuk (SBSN) dalam APBN Kebijakan pengelolaan keuangan negara juga dikenal dengan kebijakan fiskal, yaitu kebijakan yang terkait dengan pengelolaan sumbersumber pemerimaan untuk memenuhi kebutuhan publik dan pemerintah. Kebijakan fiskal meliputi kebijakan pemerintah dalam hal pendapatan, dan belanja negara serta pengelolaan utang. Dalam negara islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang dijelaskan Imam al Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. 91 Setiap tahunnya pemerintah membuat suatu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang berisi rencana kebijakan tahun mendatang. RAPBN kemudian diajukkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN ini tercermin kebijakan fiskal yang akan diterapkan pada tahun tersebut beserta strategi-strategi pencapaiannya. Target pertumbuhan negara tergantung dari kebijakan pemerintah dalam mengatur APBN. Sebelumnya penulis telah memaparkan bahwa pemerintah menjadikan kebijakan defisit untuk meningkatkan pertumbuhan. 91
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalam Ekslusif Ekonomi Islam.(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 203
89
Dalam hal keuangan publik, setiap perubahan terhadap pendapatan maupun penerimaan negara memberikan dampak terhadap anggaran pemerintah (government budget). Selayaknyalah anggaran pemerintah ini sesuai dengan kemampuan negara (government budget constraint) 92 untuk melaksanakan kebijakan pendapatan dan belanja negara. Kebijakan budget defisit memang tidak disukai, tapi boleh dilakukan asal tidak secara terus menerus, dalam artian hanya sementara. hampir setiap tahun Indonesia mengalami budget defisit. Pada zaman Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin, jarang sekali APBN mengalami defist karena para memimpin berpegang pada prinsip bahwa pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan. 93 Dalam artian, pengeluaran negara dilakukan sesuai dengan pemasukan yang ada, sehingga tidak memaksakan pengeluaran yang menyebabkan terjadinya defisit. Belajar dari sistem ekonomi yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, paling tidak pemerintah bisa mengikuti jejaknya. Padahal ada mekanisme dalam administrasi keuangan pemerintah Indonesia yang disebut norma earmark, norma dimana pemerintah bisa memastikan suatu pengeluaran dapat dilakukan sesuai dengan penerimaan yang didapat. Dengan mencoba menerapkan mekanisme ini, sedikit demi sedikit tata kelola keuangan negara bisa seperti yang dilakukan Rasulullah. 92
Adiwarman A Karim. Ekonomi Makro Islam. Edisi kedua (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006), h. 242 93 ibid
90
Kebijakan belanja publik dalam islam dilihat dari tata cara pengelolaan dana dari berbagai pos penerimaan seperti zakat, kharaj, jizyah, ushur, fay’, atau pajak khusus serta penerimaan lain yang lebih bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah, himma, dan wakaf. Dari beberapa sumber penerimaan ini, maka peruntukkannya pun berbeda-beda, dan pengelolaannya pun dilakukan sesuai pos-posnya. 94 Ali Sakti dalam bukunya Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawabann Atas Kekacauan Ekonomi Modern mengklasifikasikan pengeluaran negara menurut sumbernya. Sehingga dalam pengelolaan dan alokasinya diharapkan akan tertib dan terinci. Tabel 4.2: Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Islam 95 POS PENERIMAAN Jenis Regulasi Zakat
Kebutuhan Dasar
Kharaj
Kesejahteraan Sosial
Jizyah
Pendidikan dan Penelitian
Usyur
Infrastruktur (fasilitas publik)
Jenis Sukarela
POS PENGELUARAN/ALOKASI
Dakwah dan Propaganda Islam
Infak-Shadaqah
Administrasi Negara
Wakaf
Pertahanan dan Keamanan
Jenis Kondisional Khums Pajak (nawaib) 94
Ali Sakti. Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. (Jakarta: Aqsa Publishing. 2007), h. 215 95 Ibid, h. 381
91
Keuntungan BUMN (mustaghlah/fay’) Lain-lain
Sistem Keuangan Islam ditandai dengan transparansi, transparansi dalam masalah-masalah keuangan publik mengantarkan kepada pemahaman rakyat atas politik keuangan yang telah ditetapkan oleh negara demi kebaikan seluruh tugas mereka dan masa depan generasinya. Pemahaman individu tentang politik ini mengikat rakyat dengan pemerintahannya, yang karenanya dapat menopang orientasi pemerintahan baik secara politik maupun ekonomi. 96 Transfaransi dalam hal pengelolaan keuangan publik bukan hanya ada dalam aturan syari’ah saja, Indonesia pun menganut asas umum terkait dengan pengelolaan keuangan negara yaitu adanya transfaransi. Hanya mungkin pemerintah belum terlalu maksimal dalam menerapkan asas ini. Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang tatacara pengelolaan dan alokasi serta peruntukkan dari setiap sumber, jika pemerintah juga bisa mengklasifiksikan penerimaan dan pengeluran khususnya dana dari penerbitan SBSN, maka akan sangat terlihat tertib seperti yang di praktikan Rasulullah.
96
Qutb Ibrahim Muhammad. Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi Keuangan Dan Sistem Administrasi. Diterjemahkan dari kitab al Siyasah al Maliyah li al Rasulullah. (Jakarta: Gaung Persada Press. 2007), h. 29
92
Menurut Monzer Khaf, sekalipun keuangan publik suatu Negara tidak mampu menerapkan sistem ekonomi menggunakan konsep islam, sebaiknya instrumen fiskal beserta pos-pos penerimaan yang lainnya memiliki karakteristik yang sama seperti yang dimiliki oleh sistem ekonomi islam, baik pada sisi penerimaannya atau pengeluarannya. 97 Dari pernyataan ini, keuangan publik Indonesia mungkin terbilang jauh berbeda dengan sistem keuangan publik pada zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin, akan tetapi tidak ada salahnya juga jika mengikuti praktik yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengatur dan mengelola setiap penerimaan yang masuk dan mengontrol pengeluarannya. Kebijakan fiskal dalam suatu negara harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nilai-nilai islam. Prinsip islam dalam kebijakan fiskal atau anggaran pendapatan dan belanja negara bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarkat yang didasarkan atas distribusi kekayaan yang berimbang. 98 Dalam pandangan Abu yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya, selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. 99
97
Ali Sakti. Analisis Teoritis Ekonomi Islam Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern, h. 222 98 M.A Manan. Ekonomi Islam Teori dan Praktek. (Jakarta: PT. Internusa, 1992), h. 230. 99 Adiwarman A Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi Ketiga. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006), h. 236.
93
Jika pada tahun 2010 ini kebijakan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi nasional dalam rangka memcu pertumbuhan, menciptakan dan memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan mengurangi tingkat kemiskinan, maka pemerintah bisa mengaloksikan dana sukuk untuk kegiatan riil yang dapat mencapai salah satu sasaran sebagaimana yang sudah diarahkan diatas. Lemahnya pembangunan infrastruktur akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam memacu perkembangan perekonomia dalam negeri. Ketersediaan infrastruktur yang baik merupakan pondasi dari pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Jika pemerintah serius untuk melakukan hal ini, maka sukuk akan sangat dapat membantu karena
tujuan
penerbitan
sukuk
pembangunan infrastruktur dan dimasa depan
itu
memang
diperuntukkan
untuk
potensinya untuk Indonesia sangat baik
94
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Dalam kamus ekonomi, defisit adalah jumlah uang yang dibutuhkan lebih kecil dari jumlah uang yang didapat. Demikian defisit yang terjadi pada negara, dimana pengeluaran atau pembiayaan pemerintah lebih besar dari pada pendapatan. Pemerintah menjadikan defisit sebagai alat untuk meningkatkan pertumbuhan. Setiap tahunnya pemerintah mempunyai target pertumbuhan, seperti halnya tahun 2010 ini target pertumbuhan pemerintah yang tercatat pada penjelasan UU APBN adalah 5,5%. Untuk mencapai target pertumbuhan ini belanja pemerintah diperkirakan sebesar Rp. 1.047.666,0 Triliun sedangkan perkiraan pendapatan pemerintah hanya sebesar Rp. 949.656,1 Triliun, maka masih kurang sebesar Rp. 98.009,9 Triliun. Kekurangan ini lah yang diperlukan dan dicari oleh pemerintah melalui pinjaman dalam negeri melalui sektor swasta, utang luar negri, dan penerbitan surat berharga Negara yang termasuk didalamnya ada SBSN atau Sukuk Negara. Implimentasi sukuk di Indonesia masih digunakan untuk menutup defisit APBN, besaran perolehan dana sukuk tidak terlihat dalam nota keuangan APBN karena dia termasuk kedalam surat berharga negara yang meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara. Oleh karena dana sukuk dari hasil penerbitan atau pelalangan masuk menjadi satu dalam satu rekening
95
pada penerimaan lain, sehingga tidak terlihat kemana dana sukuk itu di alokasikan, atau untuk alokasi defisit bagian mana dalam APBN. Pemanfaatan dana SBSN masih belum mengena pada sasaran sektor rill negara, negara baru akan menerbitkan sukuk yang akan diberi nama Sukuk Project Financing. 2.
Dalam kaca mata ekonomi islam, konsep defisit sangat dihindari. Defisit menunjukkan perilaku “besar pasak dari pada tiang”. Suatu negara sebisa mungkin menghindari defisit dalam mengelola keuangan publik. Dalam keuangan publik islam belanja negara disesuaikan dengan pemasukan. Dibuat klasifikasi pengeluaran negara menurut sumbernya, sehingga dalam pengelolaan dan alokasinya diharapkan akan tertib, transparan dan terinci. Sistem keuangan publik islam ditandai dengan transfaransi, transfaransi dalam masalah keuangan publik mengantarkan kepada pemahaman rakyat atas politik keuangan yang diterapkan oleh pemerintah. Seluruh pengeluaran disesuaikan dengan pendapatan harta yang ada. Pengeluarannya pun sangat disiplin, karena alokasinya disesuaikan juga dengan dari mana perolehan dana tersebut.
B. Saran 1.
Dalam konstruksi UU SBSN Pasal 4 dikatakan bahwa sukuk digunakan untuk membiayai APBN “termasuk” membiayai proyek. Ini yang menjadi masalah karena seharusnya kata “termasuk” tersebut tidak ada sehingga dipastikan bahwa sukuk hanya untuk pembiayaan produktif. Karena
96
selama ini sukuk tidak dikaitkan dengan proyek tertentu sehingga bisa saja sukuk digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya konsumtif. Pemerintah hendaknya mempergunakan dan mengalokasikan dana sukuk secara langsung untuk membiayai sektor atau proyek-proyek produktif agar terihat lebih jelas peruntukkan dananya. Pemeritah tidak memaksakan belanja yang tinggi jika pendapatan negara tidak mencukupi, sehingga tidak terjadi defisit. Atau mungkin pemerintah bisa mengklasifikasikan pengeluaran menurut sumbernya, sehingga alokasinya akan terlihat lebih rinci, transparan dan tertib sesuai dengan dengan apa yang diarahkan dalam sistem ekonomi islam. 2.
Transparansi dalam masalah keuangan publik dapat mengantarkan pemahaman rakyat atas politik keuangan yang telah diterapkan, untuk itu hendaknya pemerintah menerapkan sistem ini (transparansi anggaran) terhadap perolehan dana sukuk. Dalam artian pemerintah juga mencantumkan besaran jumlah perolehan dana sukuk dalam nota keuangan APBN dan alokasi dananya. Perlunya peningkatan pengawasan dari Dewan Syariah Nasional dalam hal alokasi dana sukuk jika sekiranya terjadi kekhawatiran jika dana sukuk digunakan untuk membiayai sektorsektor yang tidak sesuai dengan tujuan awal penerbitan sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang SBSN, terlebih lagi jika dana sukuk itu digunakan untuk membiayai sektor non halal. Sukuk al Milkiyat al Maujudat al Mu’jarah atau Sukuk Project Financing yang sedang
97
direncanakan pemerintah hendaknya disegerakan dalam hal penerbitan atau penjualan. Agar tujuan penerbitan sukuk, penggunaan dan alokasinya terlihat lebih jelas, sehingga tidak terjadi kontroversi pada masyarakat pada dana yang tidak jelas arah alokasinya. Selain sukuk Project Finacing, pemerintah bisa saja menggunakan akad istishna atau mudharabah, sehingga penggunaan dana sukuk efektif alokasinya kepada sector-sektor
paroduktif
yang
memungkinkan
pemerintah
merasakan akan manfaat dana yang diperoleh dari penerbitan sukuk.
lebih
DAFTAR PUSTAKA Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Granada Press, 2007. Al Maliki, Abdurrahman. Politik Ekonomi Islam. Bogor: Al Azhar Press, 2009. Arbano, Reva. “Penerbitan Syariah Berharga Syariah Negara (SBSN) Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Negara”. Skripsi S1, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan. Sistem Administrasi Keuangan Negara I. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 2007. Basri, Ikhwan Abidin. Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik. Kartasura: PT Aqwam Media Profetika, 2008. Broto, Lelono Anjrah. “Kapitalis dan Sukuk”. Artikel diakses pada tanggal 29 Januari 2010 dari http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2009/07/08/ Beik, Irfan Syauqi. “Optimalisasi Sukuk Sebagai Pintu Investasi”. Artikel diakses pada tanggal 12 Mei 2010 dari http:// suarapembaca.detik.com/ read /2009/11/17/175559/1243578/471/optimalisasi-sukuk-sebagai-pintu-investasi Chapra, Umar. Islam Dan Tantangan Ekonomi. Jakarta: Gema Insani, 2000.
Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syariah, Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Departemen Keuangan. “Mengenal Sukuk Instruemen Investasi & Pembiayaan Berbasis Syariah” Jakarta: Departemen Keuangan, 2008. Departemen Keuangan Republik Indonesia. Tanya Jawab Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan Berbasis Syariah. Jakarta: Direktorat Kebijakan Pembiayaan Syari’ah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia, 2007.
Dewan Syariah Nasional MUI-Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Edisi Revisi. Cipayung: CV Gaung Persada,2006 Donna, Bella. “Sukuk Bisa Melampaui Obligasi Konvensional”. Artikel di akses pada tanggal 12 Mei 2010 dari http://www.vibiznews.com/articles _last.php?id=1118&sub = article&month=Maret&tahun=2010&page=bondsmutual
Firdaus, Dr. Muhammad, dkk. Konsep Dasar Obligasi Syariah. Jakarta: Renaisan, 2005. Harahap, Fadlyka Himmah Syahputera. “Kebijakan Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara Sebagai Instrument Pembiayaan Defisit APBN (Analisis Kebijakan Fiskal Islam)”. Skripsi S1, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Harun, Nasrun. Fiqih Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000 Hosen, Nibra. “Dampak Global Penerbitan Sukuk Pada Perkembangan Ekonomi Syariah”. Artikel diakses pada tanggal 23 Maret 2009 dari http://www.pkesinteraktif.com/sukuk Hosen, Nadratuzzaman M. dkk. Materi Dakwah Ekonomi Syariah. Jakarta: PKES, 2008. Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi Pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Karim, Adiwarman A. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Karim, Adiwarman A. Ekonomi Makro Islam. Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007 Karim, Adiwarman A. “This Time Is Different”. Republika, 31 Mei 2010 Khorani, Ani. “Potensi Sukuk Bagi Pertumbuhan Investasi di Pasar Modal Indonesia”. Skripsi S1, Jurusan Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Laksono, Agus P. Sukuk Negara (SBSN): Instrument Investasi Pembiayaan Dan Investasi Berbasis Syariah. Makalah disampaikan dalam Sukuk Goes To Campus yang diselenggarakan Ditjen Pengelolaan Utang bekerja sama dengan Universitas Trisakti, Jakarta 7 Mei 2010, h. 32 Majid, M. Nazori. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf Relevansinya Dengan Ekonomi Kekinian. Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI)- STIS Yogyakarta. 2003
Moleong, Lexy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Muda, Ahmad Antoni K. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Gitamedia Press, 2003 Musari, Khairunnisa. “Rentannya Implimentasi Sukuk di Indonesia”. Artikel di akses pada tanggal 31 Maret 2010 dari http://khairunnisamusari .blogspot.com /2008 /09/rentannya-implementasi-sukuk-di.html
Musari, Khairunnisa. “Sukuk Untuk Fiscal Sustainability”. Majalah Sharing, Edisi 35 Thn IV (November 2009). Muhammad, Qutb Ibrahim. Bagaimana Rasulullah Mengelola Ekonomi Keuangan Dan System Administrasi. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007
Majalah Sharing, Edisi 34 Thn IV (Oktober 2009). Muhammad, Qutb Ibrahim. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Nasution, Mustafa Edwin. Dkk. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006. Pramono, Sigit, dkk. “Obligasi Syariah (Sukuk) Untuk Pembiayaan Infrastruktur: Tantangan Dan Inisiatif Strategis”. Artikel diases pada tanggal 16 November 2009 dari http://konsultasimuamalat.wordpress.com/2008/03/11/ Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Redaksi Sinar Baru. “MUI: Investasi Sukuk Halal” Artikel diakses pada tanggal 4 Mei 2010 dari http://hariansib.com/?p=36039 Sakti, Ali. Analisis Teoritis Ekonomi Islam, Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern. Jakarta: Aqsa Publising, 2007.
Siamat, Dahlan. Instrument Sukuk Negara dan Metode Penerbitan. Makalah disampaikan pada seminar: Sukuk Goes To Campus Universitas Indonesia, Jakarta 7 April 2010. h. 1-45 Silalahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.
Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Obligasi dan Sukuk. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Tim Pusdiklat Pengembangan Sumber daya Manusia. Pengelolaan Keuangan Negara. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2009. Tjandra, W Riawan. Hukum keuangan Negara, Jakarta: PT. Grasindo, 2006. Trihartanto, Bambang dan Barata, Atep Adya, ed. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2004 Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara. Undang-Undang Republik Indonesia No. 47 Tahun 2009 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 Yaumidin, Umi Karomah. Sukuk sebuah Alternatif Instrumen Investasi, dalam Jusmailani, ed., Investasi syari’ah Implementasi Konsep pada Kenyataan Empirik, cet.I, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008
Wawancara pribadi dengan Agus P Laksono. Jakarta. 8 Juni 2010 Wawancara pribadi dengan Gunawan Yasni. Jakarta. 9 Juni 2010