BAB II ETIKA SOSIAL DAN PEMBINAAN AKHLAK
A. Etika Sosial 1. Pengertian Etika Pada dasarnya seluruh tindakan dan perbuatan manusia itu selamanya berpangkal pada pertimbangan dan anggapan pikiran. Perilaku dan kepribadian seseorang terbentuk melalui kebiasaan yang bebas dan akhlak yang lepas (akhlak mursalah). Di samping itu budi pekerti, kebiasaan, tindakan, anggapan dan pikiran adalah kesatuan dan rangkaian antara satu sama lain dan sukar untuk dipisahkan. Urusan pergaulan dan hubungan manusialah yang menjadi sasaran yang diberi ketetapan dengan baik dan buruk. Untuk memberikan penjelasan mengenai etika secara tepat, jelas dan mudah untuk dipahami, maka etika dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: a. Etimologi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “etika” berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.1 Di dalam Kamus Teologi, etika (ethics) yang berarti “yun”, adat-istiadat kebiasaan yang merupakan cabang filsafat yang mempelajari prinsip-prinsip moral untuk menjernihkan mana yang benar dan mana yang salah atau mana yang bebas harus dilaksanakan dan mana yang harus dihindari oleh manusia”.2
1
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm 237 2 Gerald O’ Collins, S. Edward G, Farrugio, Sj. Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) , hlm. 74.
18
19 b. Terminologi Selain dari sudut pandang bahasa, kata etika juga didefinisikan oleh para pakar ilmuwan ataupun para ahli disiplin ilmu lainnya, mereka mengemukakan dengan ungkapan yang berbeda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut Ahmad Amin definisi etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada yang lain, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.3 Sementara itu, dalam Encyclopedia Britanica, etika didefinisikan sebagai berikut: Ethics is the branch of philosophy that is concerned with what ismorally good on bad, right and wrong, a synonym for it is moral philosophy.4 Artinya, etika adalah cabang filsafat mengenai kesusilaan baik dan buruk, benar dan salah, etika merupakan sinonim dari filsafat moral. Menurut Ki Hajar Dewantara, sebagaimana dikutip Achmad Charis Zubair etika adalah “ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan”.5 Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat
3
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
4
The New Encyclopedia Britanica (In. 30 Volumes, Volume 6, Macropedia, 1982), hlm.
5
Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th.), hlm. 15.
hlm. 3. 976.
20 yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalani kehidupannya.6 Syaifuddin menyatakan etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan daya fikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia mau menjadi baik.7 Dari beberapa definisi etika tersebut di atas, dapat diketahui bahwa etika berhubungan empat hal, yakni: Pertama, dilihat dari obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia, Kedua, dilihat dari sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat, artinya tidak bersifat mutlak, Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan manusia, apakah baik, buruk, mulia, hina dan sebagainya. Keempat, dari segi sifatnya, etika bersifat relatif. Dengan demikian, etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Sementara itu, pengertian etika sosial secara spesifik diartikan oleh Burhanuddin Salam, bahwa etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan perilaku sebagai anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai-nilai sopan santun, tata krama dan saling menghormati, yaitu bagaimana saling berinteraksi yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara perorangan dan langsung maupun secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan idiologi, sikap dan pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing maupun tentang tanggung jawab manusia terhadap makhluk hidup lainnya serta alam semesta pada umumnya.
6
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa (Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 6. 7 M. Syaefuddin, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 17.
21 Tujuan dan fungsi dari etika sosial pada dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran kita akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala dimensinya. Etika sosial mau mengajak kita untuk tidak melihat segala sesuatu dan bertindak dalam kerangka kepentingan kita saja, melainkan juga mempedulikan kepentingan bersama, dalam bidang kekhususan masing-masing, berusaha merumuskan prinsip-prinsip moral dasar yang berlaku untuk bidang khusus tersebut.8
2. Teori Etika Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dan dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya itu karena memang ada alasanalasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu. Kant menyatakan bahwa etika berurusan dengan hukum-hukum tindakan moral, semua hukum ini merupakan unsur-unsur apriori (unsurunsur non empiris) hukum etika berlaku atas kehendak manusia yang dipengaruhi oleh pelbagai kecenderungan dan nafsu yang bisa diketahui dalam pengalaman.9 Menurut al-Ghazali ada tiga teori penting mengenai etika, yang pertama, etika sebagai studi murni teoritis yang berusaha memahami ciri kesusilaan (moralitas) tapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. Kedua, etika akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. Ketiga, karena etika terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan etis harus terdapat kritik yang terus menerus 8
Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 8-9. 9 Immanuel Kant, Hukum Moral Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 13.
22 mengenai standar moralitas yang ada, sehingga etika menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri.10 Dalam kaitan dengan hal ini, ada dua macam etika yang digumuli, yaitu: a. Etika Deskriptif Etika deskriptif meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas konkret yang membudaya. Ia berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai, tanpa menilai, dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi
hidup
ini,
dan
tentang
kondisi-kondisi
yang
memungkinkan manusia bertindak secara etis. b. Etika Normatif Etika normatif berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia, atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan apa tindakan yang seharusnya diambil untuk mencapai apa yang bernilai dalam hidup ini. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek. Orang akan selalu cenderung hati melaksanakan kehendak Allah dengan baik, tanpa menganggap itu sebagai beban hidup yang berat. Dengan sentuhan ruhaniah ini, orang akan ikhlas menerima apa yang Allah berikan kepadanya, selalu optimis memandang masa depan, tidak pernah mengeluh dalam putus asa di celah-celah irama kehidupan. Akhlakul karimah akan tumbuh, orang bebas memilih apa 10
M. Abdul Quasem, Kamil, “Etiket al-Ghazali Etika Majemuk di dalam Islam”, terj. The Ethic al-Ghazali, A Composite Ethic in Islam, (Bandung: Pustaka, 1975), hlm. 13.
23 yang dia kehendaki, akan tetapi dia tidak bebas menentukan kepastian dari suatu pilihan, hukum kepastian ini yang mempunyai hanya Tuhan.11 Orang beragama berpendapat bahwa tidak mungkin moral itu dibangun tanpa agama atau tanpa menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari sumber pengetahuan etika adalah kitab tua. c. Etika Sosiologis Kata sosiologis juga berasal dari bahasa Yunani, kata itu terjadi dari kata “socius” dan “logos”. Socius artinya kawan atau teman dan logos artinya pengetahuan. Sosiologi dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang hidup berkawan atau hidup bermasyarakat. Etika sosiologis adalah etika yang menitikberatkan keselamatan atau kesejahteraan hidup bermasyarakat. Jadi etika dipandang sanggup untuk
memperbaiki
kehidupan
masyarakat
dan
akhirnya
membahagiakan kehidupan masyarakat.12 Selain itu terdapat berbagai macam aliran mengenai teori etika antara lain: a. Naturalisme Yang menjadi ukuran (kriteria) baik dan buruknya perbuatan manusia menurut aliran etika naturalisme, ialah perbuatan yang sesuai dengan fitrah (naluri manusia itu sendiri) baik fitrah lahir maupun batin.13 Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap manusia didapat dengan memenuhi panggilan natur atau kejadian manusia itu sendiri.
11
Sukanto Mm., Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa, (Solo: Indika Press, 1994), hlm. 81. 12 Alex Gunur, Etika sebagai Dasar dan Pedoman Pergaulan, (Flore: Nusa Indah, 1975) , hlm. 14-16. 13 Hamzah Ya’kub, Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah, (Bandung: Diponegoro, 1991), hlm. 3.
24 Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu dalam dunia ini menuju kepada suatu tujuan tertentu. Dengan memenuhi panggilan natur setiap sesuatu tujuan tertentu, manusia menuju tujuan itu dengan akal pikirannya karena akal itulah yang menjadi wasilah bagi manusia untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan kewajibannya dengan berpedoman kepada akal. Akallah yang menjadi pedoman hidupnya, naluri itulah “jalan yang luhur” di mana akal sebagai suluh yang menerangi menuju tujuan kesempurnaan. Sesuai dengan pola pendekatan etika yang kritis dan rasional kedua jenis etika ini pada akhirnya menuntun orang untuk mengambil sikap dalam hidup ini. Bedanya, etika deskriptif memberi fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil, sedangkan etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.14 Selain daripada itu, etika dapat ditinjau dari beberapa pandangan yang lazim, yaitu: 1) Etika ditinjau dari pandangan filosofis atau etika filosofis Etika filosofis adalah etika dipandang dari sudut filosof. Filosofis berasal dari kata “philosophis” yang asalnya dari bahasa Yunani “Philos” artinya cinta dan “Sophia” artinya kebenaran. Jadi menurut kata-katanya philosophi, filosofi atau filsafat itu artinya cinta akan kebenaran, maka filsafat itu kita artikan sebagai pengetahuan akan kebenaran sesuatu melalui pemikiran (akal budi) yang tepat. Etika filosofis adalah etika yang menguraikan pokok-pokok etika atau moral itu menurut pandangan filsafat. Dalam filsafat yang diuraikan adalah terbatas pada pokok-pokok pengertian mengenai etika itu, misalnya masalah baik dan buruk, masalah hak
14
Burhanuddin Salam, op. cit., hlm. 35.
25 dan kewajiban, masalah nilai-nilai moral dan sebagainya, di sana ditinjau hubungan antara moral kemanusiaan secara mendalam. 2) Etika Teologis Etika teologis berasal dari bahasa Yunani, kata teologis terjadi dari kata “theos” dan “logos”. Theo berarti dewa atau Tuhan dan logos artinya pengetahuan. Jadi, teologis artinya pengetahuan tentang Tuhan. Etika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal yang baik dan buruk itu berdasarkan ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam kitab-kitab suci agama. Etika teologis memandang semua perbuatan moral itu sebagai: a) Perbuatan-perbuatan yang mewujudkan kehendak Tuhan atau sesuai dengan kehendak Tuhan. b) Perbuatan-perbuatan sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan. c) Perbuatan-perbuatan sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Theologis bisa memahami dan merasakan timbulnya rangkaian hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Kebiasaan ini mendorong orang untuk menemukan suatu konsepsi yang sekaligus menundukkan adanya hubungan itu dalam suasana yang harmonis, tanpa menimbulkan ketegangan dan konflik. b. Idealisme Seseorang berbuat baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun dicela atau diancam orang lain, perbuatan baik itu dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang bersemi dalam nurani manusia. Aliran ini menganggap bahwa faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah kemauan yang akan melahirkan suatu tindakan yang konkrit dan yang menjadi pokok di sini adalah kemauan
26 baik. Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakannya yaitu rasa kewajiban.15 c. Utilitarianisme Utilitarianisme asal kata dari “utilitas”, yang berarti useful, yang berguna, yang berfaedah. Paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya. Utilitarianisme menganggap bahwa seseorang itu boleh bersikap sesuai dengan situasi yang menguntungkan dirinya.16
3. Karakteristik Etika Setelah kita ketahui karakteristik dari ciri khas pelbagai aliran etika filsafat yang merupakan hasil renungan dan pemikiran manusia. Ada yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi semua manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan, setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri. Sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal pikiran, tidak dari agama. Di sinilah letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak ialah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus.
15
Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 43. Burhanuddin Salam, op. cit., hlm. 76.
16
27 Untuk menghilangkan kesamaran tersebut, maka perlulah diketahui karakteristik etika Islam, yang membedakannya dengan etika filsafat dan etika sosial, yaitu sebagai berikut: a. Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk. b. Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral ukuran baik buruknya perbuatan didasarkan kepada ajaran Allah SWT. (alQur’an) dan ajaran Rasul-Nya (sunnah). c. Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima oleh seluruh umat manusia di segala waktu dan tempat. d. Dengan ajaran-ajarannya yang praktis dan tepat, cocok dengan fitrah (naluri) dan akal pikiran manusia (manusiawi), maka etika Islam dapat dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia. e. Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang luhur dan meluruskan perbuatan manusia di bawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT. menuju keridhaan-Nya. Dengan melaksanakan etika Islam niscaya akan selamatlah manusia dari pikiran-pikiran
dan
perbuatan-perbuatan
yang
keliru
dan
17
menyesatkan.
Jadi, sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Islam bahwa seluruh kegiatan hidup, harta, kematian sekalipun semata-mata dipersembahkan kepada Allah, dan tujuan tertinggi dari segala tingkah laku adalah mendapatkan ridla Allah SWT. Ridla Allah itulah menjadi kunci kebahagiaan yang kekal dan abadi yang dijanjikan Allah dan yang dirindukan oleh setiap manusia beriman, tanpa ridla Allah maka kebahagiaan yang sejati tidak akan dapat diraih. Sedangkan karakteristik etika sosial yang dimaksud adalah kewajiban-kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia. Artinya, secara sadar yang berpangkal dari hati nuraninya, seseorang harus merasa berkewajiban untuk berbuat baik untuk kepentingan dirinya sebagai 17
Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 13-14.
28 sesama manusia bukan kepentingan pribadi dalam pengertian egois dan merugikan orang lain.18 Dengan demikian, etika sosial adalah sebagai ajaran yang sama bagi perorangan maupun dari kesatuan yang lebih besar. Tujuan etika ini memberitahukan bagaimana kita dapat menolong manusia di dalam kebutuhannya yang riil cara yang susila dapat dipertanggungjawabkan guna mencapai tujuan ini. Seseorang etikus sosial tidak hanya harus tahu norma-norma susila yang berlaku, melainkan ia harus tahu pula kebutuhan yang tersebut tadi, dan sebab-sebab timbulnya kebutuhan tadi. Dalam etika sosial lebih mudah timbul beragam pandangan dibandingkan etika yang lain. Norma-norma harus selalu diterapkan pada keadaan yang konkrit. Setiap norma menyamakan kewajiban. Kewajiban yang paling umum itu melakukan kebaikan.19 Dan pada kenyataannya, bahwa etika sosial tidak hanya ada satu macam, melainkan berbagai macam kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal ini terbukti bahwa masih banyak nilai-nilai Islam yang berkenaan dengan etika sosial yang perlu mendapat perhatian serius dalam proses pembelajaran agama Islam. 4. Faktor yang mempengaruhi etika Segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki corak berbeda antara satu dengan lainnya, pada dasarnya merupakan akibat adanya pengaruh dalam diri manusia. Maka perlu kita ketahui pelbagai faktor penting dalam akhlak, yang memainkan peranan dalam penentuan baik buruknya tingkah laku seseorang. Faktor-faktor tersebut turut “mencetak” dan mempengaruhi tingkah laku manusia dalam pergaulannya, untuk itu berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai berikut:
18
Qodri Azizi, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Rineka Cipta, 2003), hlm. 24. 19 Ahmad Charis Zubair, op. cit., hlm. 105.
29 a. Manusia Manusia selaku makhluk yang istimewa dengan kelainankelainannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, memiliki kelebihan-keebihan dan juga kekurangan-kekurangan tertentu. Bukan hanya berbeda dengan makhluk lainnya, tetapi juga antara manusia itu sendiri mempunyai perbedaan baik fisik maupun mental yang membedakan manusia dengan lain makhluk terutama terletak pada akal budinya.20 Dengan kelebihan dan kekurangan itu pula bahwa dalam diri manusia terdapat nafsu yang mempunyai arti sebagai organ rohani yang besar pengaruhnya dan yang paling banyak di antara anggota rohani yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak. Nafsu adalah makna keseluruhan dari potensi amarah dan senang yang ada dalam diri manusia.21 Nafsu juga merupakan tenaga potensial yang berupa dorongandorongan untuk berbuat dan bertindak kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada dua arah, yaitu kebaikan dan kejahatan.22 Ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Syams ayat 2 sebagai berikut:
(8 :ﺎ)ﺍﻟﺸﻤﺲﺍﻫﺗ ﹾﻘﻮﻭ ﺎﺭﻫ ﻮﺎ ﹸﻓﺠﻤﻬ ﻬ ﹶﻓﹶﺄﹾﻟ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. al-Syams: 8)23 Inilah yang menunjukkan bahwa nafsu itu berpotensi positif dan negatif. Akan tetapi diperoleh pula isyarat, bahwa hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari negatif, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu, manusia dituntut untuk memelihara kesucian nafsu dan tidak mengotorinya.
20
Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 53. Umary Barmawie, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995) , hlm. 21. 22 Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Jakarta: Alfabeta, 1993), hlm. 13. 23 Seonarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 1076. 21
30 Untuk itu identitas kemanusiaan ini perlu diselidiki dalam pelajaran akhlak, karena manusia selaku pelaku akhlak itu sendiri dan faktor-faktor
kemanusiaannya
itu
menentukan
kesanggupannya
bekerja mencetak amal kebaikan itu sendiri, dicetak oleh pelbagai kondisi dan situasinya. b. Keturunan (wirotsah) Salah satu faktor yang diselidiki dalam etika adalah masalah “keturunan”, dari sunnatullah yang berlaku di alam ini dapat diketahui bahwa
cabang
itu
menyerupai
pokoknya
menghasilkan
atau
24
melahirkan yang serupa atau hampir serupa dengannya. Keturunan
merupakan
faktor
kemampuan
dasar
yang
mendukung ciri-ciri psikologik dan fisiologis yang diturunkan bila orang tua baik dalam garis yang dekat maupun yang jauh.25 Manusia mendapatkan warisan fisik dan mental, mulai dari sifat-sfiat umum sampai pada sifat-sifat khusus, adapun warisan itu ialah:
.ﺍﻧﺘﻘﺎﻝ ﺍﳋﺼﺎ ﻧﺺ ﻣﻦ ﺍﻷﺻﻮﺍﻝ ﺇﱃ ﺍﻟﻔﺮﻭﻉ ﻫﻮﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﺑﺎﺍﻟﻮﺭﺍﺛﺔ Berpindahnya sifat-sifat tertentu dari pokok (orang tua) kepada cabang (anak turunan) yaitu dinamakan (wira>tsah)26. Adapun yang diturunkan itu bukanlah sifat yang dimiliki yang telah tumbuh dengan matang karena pengaruh lingkungan, adat atau pendidikan, melainkan sifat-sifat bawaan (persediaan sejak lahir). Sifat-sifat yang biasa diturunkan itu pada garis besarnya, ada dua macam: a. Sifat-sifat jasmaniah Sifat-sifat jasmaniah adalah kekuatan dan kelemahan otot dan urat saraf orang yang kekar ototnya, kemungkinan mewariskan kekekaran itu kepada anak cucunya. Gejala-gejala ini menunjukkan 24
Zahrudin, Hasanudin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 96. 25 Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 66-69. 26 Zahrudin, op. cit., hlm. 97.
31 bahwa faktor keturunan yang menjadi latar belakang, kelakuan memang ada. b. Sifat-sifat ruhaniah Sifat-sifat ruhaniah adalah lemah kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku anak cucunya. Sebagaimnaa dimaklumi bahwa setiap manusia mempunyai naluri (instink), tetapi kekuatan naluri itu berbedabeda.27 Dalam hal ini, keturunan secara langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi bentukan sikap dan tingkah laku seseorang meskipun dari keturunan ini lebih mengarah pada bentuk fisik dan kejiwaan yang dimiliki oleh individu atau memiliki keturunan dengan orang-orang terdekatnya seperti kedua orang tuanya. c. Instink (naluri) Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri (instink). Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli dalam bahasa arab disebut “gharizah”.28 Insting atau gharizah adalah suatu kemampuan berbuat atau bertingkah laku dengan tanpa melalui proses belajar. Kemampuan insting inipun merupakan pembawaan sejak lahir. Dalam dunia psikologi pendidikan, kemampuan ini disebut dengan istilah kapabilitas.29 Naluri (gharizah) kebanyakan digunakan untuk binatang dan jarang sekali untuk manusia. Sebab hakekat naluri yang sebenarnya masih belum jelas hingga saat ini.30 Namun demikian 27
Ibid., hlm. 101. Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 58. 29 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan Pendekatan Multi Disipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 101. 30 Murtadha Muthahari, Fitrah, terj. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera Basritama, 1998), hlm. 18-19. 28
32 masih terdapat beberapa pendapat mengenai insting oleh beberapa sarjana yang memberikan ta’rif naluri sebagai suatu sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir terlebih dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.31 Segenap naluri insting manusia itu merupakan pokok yang inheren dengan kehidupan manusia yang secara fitrah sudah ada tanpa perlu dipelajari terlebih dahulu. Dengan potensi naluri itulah manusia dapat memproduksi corak perilaku sesuai pola dengan corak instingnya. Insting
merupakan
tendensi
khusus
dari
jiwa
manusia/binatang yang menimbulkan tingkah laku yang sudah terbawa sejak lahir tanpa melalui proses belajar. d. Pendidikan Yang dimaksud dengan pendidikan di sini adalah segala tuntutan dan pengajaran yang diterima seorang dalam membina kepribadian. Pendidikan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam akhlak. Pendidikan
turut
mematangkan
kepribadian
manusia
sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterimanya. Betapa pentingnya faktor pendidikan ini, karena naluri yang terdapat pada seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah.32 Jadi, pendidikan itu merupakan salah satu faktor yang mematangkan kepribadian manusia, oleh karena itu pendidikan akhlak perlu diintensifkan melalui pelbagai macam metode pendidikan, baik melalui pendidikan formal maupun non formal langsung maupun tidak langsung.
31
Hamzah Ya’qub, loc. cit. Ibid., hlm. 82.
32
33 Pendidikan juga dapat mempengaruhi seseorang agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan, yakni membentuk kepribadian muslim.33 Melalui
pendidikan
diharapkan
menjadi
anggota
masyarakat yang baik dalam arti: 1) Mampu membawa diri dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tidak merusak kehidupan masyarakat. 2) Mampu mengembangkan diri sendiri, sehingga tidak menjadi beban bagi masyarakatnya. 3) Mampu
pula
mengembangkan
masyarakatnya
dengan
34
ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki.
Jadi kalau seseorang mau dijadikan manusia yang baik, maka jalan yang harus ditempuh pertama kali adalah melalui pendidikan, baik pendidikan dalam keluarga, dalam sekolah maupun dalam masyarakat umum. 5. Kebiasaan Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia ialah “kebiasaan” atau “adat kebiasaan”. Yang dimaksud dengan “kebiasaan” ialah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan.35 Terdapat dua faktor penting yang melahirkan adat kebiasaan itu, yaitu: Pertama, karena adanya kecenderungan hati kepada perbuatan itu, dia merasa senang untuk melakukannya, dengan lain perkataan dia ditarik oleh
sikap
dan
perbuatan
tersebut.
Kedua,
diperturutkannya
kecenderungan hati itu dengan praktek yang diulang-ulang, sehingga menjadi biasa. Di antara dua faktor ini yang kedua itulah yang sangat menentukan sebab walaupun ada kecenderungan hati untuk melakukannya, tapi apabila tidak ada kesempatan untuk memperbuatnya, misal ada pencegahan, maka 33
Ibid., hlm. 87. Alex Gunur, op. cit., hlm. 50. 35 Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 61. 34
34 kecenderungan hal itu tidak akan terturutkan, seperti pepatah bahasa Jawa mengatakan “Witing tresna saka kulina”.36 Manusia itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di permukaan bumi, dan nilainya tergantung kepada kebiasaannya yang membarengi suksesnya dalam hidup. 6. Lingkungan Salah satu faktor yang turut menentukan kelakukan seseorang atau suatu masyarakat adalah lingkungan (milieu).37 Milieu artinya suatu yang melingkupi tubuh yang hidup. Lingkungan tumbuh-tumbuhan ialah tanah dan udaranya; lingkungan (mileu) manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, sungai dan bangsa. Milieu dibagi menjadi dua yaitu milieu alam (kebendaan) dan milieu pergaulan (rohani)38 Milieu alam melingkungi manusia, ini merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku umat, lingkungan alam ini dapat mematahkan atau mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa oleh seseorang dan tidak seharusnya manusia menyerah kepada milieu, sehingga tidak dapat merubahnya atau menguasainya. Ukuran berhasil atau tidak tergantung kepada dapatnya mereka menguasai apa yang melingkunginya dan mempergunakannya untuk kemanfaatan mereka. Milieu yang kedua adalah milieu pergaulan yang mengandung susunan pergaulan yang meliputi manusia, seperti: rumah, pekerjaan dan sebagainya. Milieu ini mempunyai pengaruh yang berlawanan, terkadang menguatkan hidup manusia dan meninggikannya terkadang melemahkan atau mematikannya.39
36
Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islami (Akhlak MUlia), (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 48-49. 37 Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 70. 38 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Agama), terj. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 53. 39 Ibid., hlm. 55.
35 Untuk itu pengaruh lingkungan sangat besar bagi setiap perbuatan, karena lingkungan juga merupakan arena yang memberikan kesempatankesempatan untuk berbuat baik atau buruk. 7. ‘Azam Salah satu kekuatan yang berlindung dibalik tingkah laku manusia adalah kemauan keras (‘azam), itulah yang menggerakkan manusia berbuat dengan bersungguh-sungguh. Kehendak/kemauan menjadi faktor penting di dalam akhlak, yaitu bahwa akhlak adalah membiasakan kehendak, yaitu prosesnya melalui: a. Adanya kecenderungan atau cinta atau semangat setelah ada stimulanstimulan b. Bimbang atau ragu, mana yang harus dipilih di antara kecenderungankecenderungan tadi. c. Memutuskan memilih salah satu kecenderungan/keinginan yang banyak untuk dikerjakan. Kecenderungan/keinginan yang dipilih/dimenangkan inilah yang disebut kehendak/kemauan.40 Perbuatan itu tidak harus selalu mengikuti kehendak, karena manusia itu kadang-kadang berazam pada sesuatu yang dekat atau jauh. Di dalam sesuatu yang dekat yang langsung pada azam, bergantilah azam menjadi perbuatan. Diketahui bahwa suatu perbuatan yang hasil dari kehendak, mengandung perasaan, keinginan, pertimbangan dan azam yang disebut kehendak, kemudian sesudah itu perbuatan kadang-kadang tidak terjadi.41 Jadi kehendak itu bisa terwujud jika kehendak itu bisa dilakukan, apa yang dimaksudkan walaupun menghadapi segala kesulitan, tidak akan mundur setapakpun di hadapan rintangan-rintangan yang menghalanginya, akan tetapi usaha sekuat mungkin untuk melakukannya.
40
Rahmat Djatmika, op. cit., hlm. 51. Ahmad Amin, op. cit., hlm. 60.
41
36 8. Suara Batin (dlamir) Dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada diambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah “suara batin atau suara hati” yang dalam bahasa Inggris disebut conscience. Fungsi dari suara batin itulah memperingatkan bahayanya perbuatan buruk dan berusaha mencegahnya. Jika seseorang terjerumus melakukan keburukan, maka batin merasa tidak senang (menyesal). Selain memberikan isyarat untuk mencegah dari keburukan dan sebaliknya juga merupakan kekuatan yang mendorong manusia melakukan perbuatan yang baik (kewajiban).42 Di dalam batin manusia terdapat dua suara, suara was-was (temption) dan suara batin, masing-masing memiliki kecenderungan yang tertekan karena pada setiap manusia ada keinginan baik dan keinginan buruk. Bedanya was-was adalah suara keburukan yang menguasai kebaikan, sedangkan suara hati adalah suara kebaikan yang menguasai keburukan. Suara hati ini timbul dari manusia berupa perintah untuk melakukan
kewajiban
dan
memperingatkan
agar
jangan
sampai
menyalahinya walaupun tidak mengharap balasan atau takut siksaan yang lahir.43 Jadi, melalui suara batin manusia diharapkan berlangsung sebuah transformasi diri dan sosial. Sebuah gerakan untuk menyatukannya orientasi hidup yang bermacam-macam menjadi utuh karena diikat oleh kesadaran. Dampaknya, akan terbangun relasi sosial yang konstruktif dengan jalan mengendalikan tutur kata dan perilaku.
B. Pembinaan Akhlak 1. Pengertian akhlak Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri manusia dan bisa bernilai baik atau bernilai buruk. Akhlak tidak selalu identik dengan 42
Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 78. Zahrudin, op. cit., hlm. 104.
43
37 pengetahuan, ucapan ataupun perbuatan orang bisa mengetahui banyak tentang baik buruknya akhlak, tapi belum tentu itu didukung oleh keluhuran akhlak, orang bisa bertutur kata yang lembut dan manis, tapi kata-kata bisa meluncur dari hati munafik. Dengan kata lain, akhlak bisa bersembunyi seperti udang dibalik batu. Al-Qur’an selalu menandaskan, bahwa akhlak itu baik atau buruknya akan memantul kepada diri sendiri.44 Ketinggian budi pekerti atau dalam bahasa Arab disebut akhlakul karimah yang terdapat pada seseorang menjadikan seseorang itu dapat melaksanakan kewajiban dan pekerjaan dengan baik dan sempurna, sehingga menjadikan seseorang itu dapat hidup berbahagia. Walaupun unsur-unsur hidup yang lain seperti harta dan pangkat tak terdapat padanya. Sebaliknya apabila manusia buruk akhlaknya, kasar tabiatnya, buruk prasangkanya terhadap orang lain, maka itu sebagai pertanda bahwa orang itu akan hidup resah sepanjang hayatnya dan budi pekerti atau akhlak yang dimaksud di sini ialah bukan semata-mata teori yang mulukmuluk tetapi akhlak sebagai tindak tanduk manusia yang keluar dari hati, sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazali, yaitu:
ﺎ ﹸﻝﺎ ﹶﺍ ﹾﻓﻌﻨﻬ ﻋ ﺭﺼﺪ ﺗ ﺐ ِ ﺤﺔﹲ ﻓِﻰ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﹾﻠ ﺻ ِ ﺍﺻ ﹶﻔﺔﹲ ﺭ ِ ﻲ ِﻫﻼﻕ ﺧ ﹶ ﹶﺍ َﻷ 45
.ﻳ ٍﺔﺅ ﻭﺭ ﺟ ٍﺔ ِﺍﻟﹶﻰ ِﻓ ﹾﻜ ٍﺮ ﺎﻴ ٍﺮ ﺣ ﻦ ﹶﻏ ﻴ ِﺮ ِﻣ ﺴ ِ ﺗﻭ ﻮﹶﻟ ٍﺔ ﻬِﺑﺴ
Artinya: Akhlak ialah sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan segala perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan. Senada dengan hal itu, menurut al-Ghazali bahwa berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik melakukannya dan mencintainya”.46
44
Sukanto, op. cit., hlm. 80. Muhammad Rifa’i, Pembina Pribadi Musilm, (Semarang: Wicaksana, 1993), hlm. 574. 46 Zahrudin, op. cit, hlm. 158. 45
38 Jadi, akhlak ialah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya, artinya sesuatu perbuatan atau suatu tindak tanduk manusia yang tidak dibuat-buat, dan perbuatan yang dapat dilihat ialah gambaran dari sifatsifatnya yang tertanam dalam jiwa, jahat atau baiknya. Akhlak bertujuan hendak menciptkan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya, akhlak hendak menjadikan manusia orang-orang yang berkelakuan baik, bertindak baik terhadap manusia, terhadap sesamanya makhluk, dan terhadap Allah, Tuhan yang menciptakan manusia. Budi pekerti termasuk bagian akhlak, yang secara keseluruhan merupakan kiprah hidup manusia di masyarakat, sikap ramah dan lemah lembut mencerminkan budi pekerti yang baik dari seseorang. Mulia atau hina jalan kehidupan yang ditempuh seseorang dapat dilihat dari perilaku budi pekertinya sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarganya, dalam lingkungan masyarakatnya.47 H. Oemar Bakry mengatakan orang yang baik akhlaknya ialah yang bersifat lapang dada, tidak menyakiti orang lain, tidak berdusta, tidak memfitnah,
tidak
dengki,
baik
dengan
tetangga,
kata-kata
dan
perbuatannya disenangi orang lain dan lain-lain sifat utama. Orang yang baik akhlaknya banyak teman sejawatnya, sedikit musuhnya
hatinya
senang
dan
tenang,
hidupnya
bahagia
dan
membahagiakan. Itulah sifat terpuji dikasihi Allah, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Fajr ayat 27, 28, 29 dan 30
ﺔﺿﻴ ِ ﺮ ﻣ ﻴ ﹰﺔﺿ ِ ﺍﻚ ﺭ ِ ﺑﺭ ﺭ ِﺟﻌِﻲ ِﺇﻟﹶﻰ (ﺍ27)ﻨﺔﹸﻤِﺌ ﹾﻄ ﺍﹾﻟﻤﻨ ﹾﻔﺲﺎﺍﻟﻬﻳﺘﺎﹶﺃﻳ
:( )ﺍﻟﻔﺠﺮ30)ﻨﺘِﻲﺟ ﺧﻠِﻲ ﺩ ﺍ(ﻭ29)ﺎﺩِﻱﺧﻠِﻲ ﻓِﻲ ِﻋﺒ ﺩ (ﻓﹶﺎ28)ً (30-27 Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hambahamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. al-Fajr: 27-30)48 47
Muhammad Rifa’i, op. cit, hlm. 575. Oemar Bakri, Akhlak Muslim, (Bandung: Angkasa, 1986), hlm. 21-22.
48
39 Budi pekerti yang baik itulah sendi utama dari berdirinya suatu masyarakat yang aman dan damai, senang dan tentram. Suatu desa, suatu suku, suatu bangsa sampai kepada antar-antar bangsa akan hidup aman damai dengan budi pekerti yang baik.49 Thoyib I.M dan Sugiyanto mengatakan bahwa akhlak mulia atau akhlak terpuji merupakan hal yang amat penting sebab menyangkut martabat seseorang, tanpa akhlak yang luhur manusia dianggap tidak berbeda dengan binatang malah mungkin lebih rendah dari binatang. Ia membagi akhlak khasanah atau terpuji ini dibagi atas tiga tingkatan, yakni: a. Tingkat “adel” atau tingkat wajar, yakni apabila seseorang muslim berusaha melaksanakan sekedar kewajibannya dan tidak mau mengganggu hak-hak orang lain. b. Tingkat “ihsan” atau tingkat baik, yakni apabila seseorang muslim tidak sekedar melakukan kewajibannya dan bersedia mengurangi hakhaknya untuk kebaikan orang lain. c. Tingkat “ita-izil-qurba” atau tingkat luhur, yakni apabila seseorang muslim secara sukarela mengorbankan kepentingan pribadi demi untuk kepentingan bersama kepentingan orang banyak tanpa pamrih seperti ia melakukan terhadap keluarga sendiri.50 Jadi akhlak nilia bukanlah sekedar teknik yang bersifat sementara, melainkan sifat yang terus menerus. Jika dicermati esensi ajaran Islam, akan ditemukan semua unsur-unsur akhlak terpuji yang dianjurkan oleh Islam itu, amat relevan dengan tuntutan hati manusia. Dalam arti, perilaku yang dianjurkan Islam itu tidak ada yang bertentangan dengan fitrah manusia, karena Islam memang agama fitrah. Menurut Hamka, ada beberapa hal yang mendorong seseorang untuk berbuat baik di antaranya: a. Karena bujukan atau ancaman dari manusia lain 49
Soenarjo, dkk., op. cit., 1059. Thoyib IM dan Sugianto, Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 62-63. 50
40 b. c. d. e. f.
Mengharap pujian, atau karena takut mendapat cela Karena kebaikan dirinya (dorongan hati nurani) Mengharapkan pahala dan surga Mengharapkan pujian dan takut azab Tuhan Mengharap keridhaan Allah semata.51
2. Faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak Faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada khususnya dan pendidikan pada umumnya ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama, aliran Nativisme, kedua aliran empirisme, dan
ketiga aliran
Konvergensi. Untuk
menjelaskan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pembentukan akhlak ini bisa melihat aliran konvergensi yang menyatakan bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: pertama, faktor internal yang merupakan pembawaan si anak, kedua, faktor eksternal, yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik ada di dalam diri manusia, dibina secara intensif melalui berbagai metode.52 Teori ini diperkuat dengan adanya ayat al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78:
ﻊ ﻤ ﺴ ﺍﻟﻌ ﹶﻞ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺟ ﻭ ﻴﺌﹰﺎ ﺷ ﻮ ﹶﻥﻌ ﹶﻠﻤ ﺗﻢ ﹶﻻ ﻬﺎِﺗ ﹸﻜ ﻣ ﺑﻄﹸﻮ ِﻥ ﺃﹸ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺟﻜﹸ ﺮ ﺧ ﷲ ﹶﺃ ُ ﺍﻭ (78 :ﻭ ﹶﻥ)ﺍﻟﻨﺤﻞﺸ ﹸﻜﺮ ﺗ ﻢ ﻌ ﱠﻠﻜﹸ ﺪ ﹶﺓ ﹶﻟ ﺍﹾﻟﹶﺄ ﹾﻓِﺌﺭ ﻭ ﺎﺑﺼﺍﹾﻟﹶﺄﻭ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl: 78)53 3. Cara Pembinaan Akhlak Pada prinsipnya pembinaan akhlak yang merupakan bagian dari pendidikan umum di lembaga manapun harus bersifat mendasar dan menyeluruh,
51
sehingga
mencapai
sasaran
yang
diharapkan
Zahrudin, op. ciy., hlm. 158. Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Media, 2002), hlm. 154-155. 53 Soenarjo, dkk., op. cit., hl. 154. 52
yakni
41 terbentuknya pribadi manusia yang insan kamil dengan kata lain memiliki karakteristik yang seimbang antara aspek dunia dengan aspek ukhrawy.54 Dan yang menjadi dasar pembinaan dan penyucian akhlak adalah kebaikan akhlak itu sendiri. Sebagaimana telah menjadi sifat para Nabi dan menjadi perbuatan para ahli Siddiq, karena merupakan separuhnya agama.55 Seseorang yang jiwanya sudah senantiasa dikalahkan oleh nafsu kebatinan tentulah ia akan sukar untuk bersungguh-sungguh melatih jiwanya itu, atau berusaha untuk menyucikannya serta membekasnya didikan budi pekerti, sehingga jiwanya tidak berkesempatan lagi untuk berbuat jahat, demikian tadi keadaan yang semacam ini boleh jadi karena keteledorannya atau berkurang keikhlasan hatinya atau memang buruk watak dan tabiatnya. Akhirnya ia menyangka bahwa akhlak tidak mungkin dapat dirubah-rubah, terhadap orang yang berfaham sedemikian ini perlulah kita berikan jawabannya yaitu andaikata akhlak itu memang dapat berubah-ubah
tentu
tidak
berguna
lagi
perintah-perintah
untuk
memberikan wasiat, pesan, nasihat dan pendidikan. Pembinaan akhlak menurut Ibnu Maskawih dititikberatkan kepada pembersihan pribadi dari sifat-sifat yang berlawanan dengan tuntutan agama dengan pembinaan akhlak ingin dicapai terwujudnya manusia yang ideal, anak yang bertakwa kepada Allah SWT dan cerdas. Dengan teori akhlaknya Ibnu Maskawih bertujuan untuk menyempurnakan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan ajaran Islam yang taat beribadah dan sanggup hidup bermasyarakat dengan baik. Di dunia pendidikan pembinaan akhlak tersebut dititikberatkan kepada pembentukan mental anak atau remaja agar tidak mengalami penyimpangan. Dengan demikian akan mencegah terjadinya “juvenile
54
Ahmad Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, Media Tranformasi Pengetahuan), 2004, hlm. 311. 55 Imam Yahya Ibn Hamzah, Riyadhah Upaya Pembinaan Akhlak¸ (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 49.
42 delinquency” sebab pembinaan akhlak berarti bahwa anak remaja dituntun agar belajar memiliki rasa tanggung jawab.56 Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadipribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya. Keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela dan seterusnya, ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina. Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Perhatian Islam terhadap pembinaan akhlak ini dapat pula dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik. Karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia lahir dan batin. Pembinaan
akhlak
dalam
Islam
juga
terintegrasi
dengan
pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis Muhammad al-Ghazali terhadap rukun Islam yang lima telah menunjukkan dengan jelas, bahwa dalam rukun Islam yang lima terkandung konsep pembinaan akhlak.57 56
Yang dimaksud dengan ia telah mulai dapat bertanggung jawab, bahwa ia telah mengerti tentang Perbedaan antara yang benar yang salah, yang boleh yang dilarang, yang dianjurkan dan yang dicegah, yang baik dan yang buruk, dan ia sadar bahwa ia harus menjauhi segala sesuatu yang bersifat negatif dan membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal positif. Soedarsono, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, (Jakarta: Bina Aksawa, 1989), hlm. 147-148. 57 Rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, kalimat ini adalah mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya manusia hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah.. Kedua, shalat lima waktu. Shalat yang dikerjakan, akan membawa pelakunya dari perbuatan yang keji dan mungkar. Ketiga, zakat yaitu agar orang yang melaksanakannya dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kikir, mementingkan diri sendiri, membersihkan hartanya dari hak orang lain, Keempat, Puasa bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum
43 Jadi hubungan antara rukun iman dan rukun Islam terhadap pembinaan akhlak menunjukkan bahwa pembinaan akhlak yang ditempuh Islam adalah menggunakan cara atau sistem yang integrated, yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak. Pembinaan akhlak, sebenarnya dimulai sejak anak lahir, dengan perlakuan orang tua yang sesuai dengan ketentuan akhlak, dan dilanjutkan dengan membiasakan anak melakukan sopan santun yang sesuai dengan agama serta mendidiknya agar meninggalkan yang tercela dan terlarang dalam agama.58 Maka pembinaan akhlak yang pertama adalah orang tua. Apa yang dilakukan orang tua melalui perlakuan dan pelayanan kepada si anak telah merupakan pembinaan akhlak terhadap anak itu. Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil, dan berlangsung secara kontinyu. Berkenaan dengan ini Imam al-Ghazali mengatakan bahwa kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasakan berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat. Untuk ini al-Ghazali menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan cara melatih jiwa kepada pekerjaan atau tingkah laku yang mulia.59 Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam surat al-Ahzab ayat 21:
ﻡ ﻮ ﻴﺍﹾﻟﷲ ﻭ َ ﻮ ﺍﺮﺟ ﻳ ﻦ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻤ ﻨﺔﹲ ِﻟﺴ ﺣ ﻮﺓﹲ ﺳ ﷲ ﹸﺃ ِ ﻮ ِﻝ ﺍﺭﺳ ﻢ ﻓِﻲ ﺪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﹶﻟ ﹸﻜ ﹶﻟ ﹶﻘ (21 :ﺍ)ﺍﻷﺣﺰﺍﺏﷲ ﹶﻛِﺜﲑ َ ﺮ ﺍ ﻭ ﹶﺫ ﹶﻛ ﺮ ﺍﻟﹾﺂ ِﺧ dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang . Kelima, haji, dalam ibadah haji ini nilai pembinaan akhlaknya lebih besar dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada ibadah dan rukun Islam lainnya.. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 156-159. 58 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), hlm. 88. 59 Abuddin Nata, op. cit., hlm. 162.
44 Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. alAhza>b: 21)60 Selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya. Dalam hubungan ini Ibn Sina mengatakan jika seseorang menghendaki dirinya berakhlak utama hendaknya ia lebih dahulu mengetahui kekurangan dan cacat yang ada dalam dirinya, dan membatasi sejauh mungkin untuk tidak berbuat kesalahan, sehingga kecacatannya itu tidak terwujud dalam kenyataan. Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada usia kanak-kanak misalnya menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan.61 Melalui pembinaan dan pengembangan akhlak, seorang anak dapat memiliki akhlak karimah yang melekat pada dirinya. Sasaran ini bisa saja ditanamkan untuk pertama kalinya di lingkungan keluarga. Sementara itu Linda Richard Eyre seperti yang dikutip A. Tafsir mengemukakan bahwa pembinaan nilai-nilai yang luhur yang akan menentukan perilaku seseorang harus melingkupi dua aspek yaitu: Pertama, nilai nurani (values of being) meliputi: kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri dan potensi, disiplin diri dan tahu batas, serta kemurnian dan kesucian. Kedua, nilai-nilai memberi (values of giving) meliputi: hormat, sayang, setia, tidak egois, ramah dan murah hati.62 Hal ini tentu saja yang paling penting yang tidak boleh diabaikan manusia adalah akhlak (hubungan yang harmonis) dengan Khaliqnya. 60
Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 670. Abuddin Nata, op. cit., hlm. 164. 62 Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 52. 61
45 Selain terletak pada pengembangan dan pembinaan pribadi yang utuh manusia yang manusiawi sesuatu perbuatan yang sudah dilakukan seringkali ia akan menjadi tabiat, susah merubahnya. Tabiat atau kebiasaan
jahat
bisa
menjadi
darah
daging
yang
sulit
sekali
memisahkannya. Untuk meninggalkan sifat-sifat yang buruk memerlukan kemauan keras, tekad yang membaja serta kesadaran yang mendalam. Di antara cara-cara yang dapat dilakukan merubah tabiat buruk adalah: a. Kemauan yang keras membaja untuk merubah, berani memaksakan diri berbuat dan melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan jahat yang pernah dilakukan b. Jangan sekali-kali meninggalkan perbuatan baik yang baru dicoba sebagai ganti dari tingkah laku jahat yang baru ditinggalkan, walaupun bagaimana berat dan sulitnya meninggalkan kebiasaan lama itu ia harus berjuang dengan segala daya upayanya. c. Hendaklah bertindak merubah dan meninggalkan kebiasaan jahat yang sudah pernah dilakukan secepat mungkin sebagai realisasi dari tekadnya. d. Membiasakan membaca sejarah (otobiografi) orang-orang ternama membaca sejarah orang-orang besar memberikan suatu inspirasi dalam jiwa. Cara lain dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses, melainkan jika disertai dengan pemberian contoh dan teladan yang baik dan nyata.63
63
Abuddin Nata, op. cit., hlm. 161.
46 Jadi, dari berbagai cara pembinaan akhlak tersebut, pembinaan akhlak merupakan salah satu cara untuk membentuk mental manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan bersusila. Melalui pembinaan akhlak juga merupakan penuntun bagi umat manusia untuk memiliki sikap mental dan kepribadian sebaik yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw.