19
BAB II ETIKA, AKHLAK DAN DAKWAH 2.I Pengertian Moral, Akhlak dan Etika 2.1.1 Moral Agar tidak terjadi kerancuan antara pengertian etika dan moral, akhlak maka harus dibedakan terlebih dulu antara pengertian Etika, Moral dan Akhlak. Karena ketiga kata itu sesungguhnya memiliki perbedaan makna yang sangat mendasar. Secara etimologi, menurut pendapat ahli, moral bermakna sebagai berikut : - Menurut K Bertens, secara etimologi, moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak : mores) yang berarti : kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia (pertama dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998) kata mores masih dipakai dalam arti yang sama dengan etika. Jadi, etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda : etika berasal dari bahasa Yunani dan moral berasal dari bahasa Latin.1 - Namun menurut Zahrudin AR dan Hasanuddin Sinaga, dalam bahasa Indonesia moral sering diartikan sebagai ‘susila’. Secara terminologi,
1
K Bertens, 1993, Etika, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm.5
20
moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar.2 Secara terminologi adalah sebagai berikut : - Haidar Bagir mengungkapkan secara singkat moral lebih condong kepada pengertian “nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia”.3 - Burhanuddin Salam menyatakan bahwa Moralitas merupakan sistem nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu. Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku baik dan buruk. Sehingga moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk kongkrit tentang bagaimana ia harus hidup dan bertindak secara baik dan dapat menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik..4 Jadi, moral adalah sistem nilai tentang baik atau buruknya perbuatan manusia.
2
Zahruddin AR dan Hasannudin Sinaga, 2004, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta, PT Raja Grafindo, hlm. 46. 3 Haidar Bagir, 2002, Etika Barat, Etika Islam, kata pengantar dalam M Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, Antara Al-Ghazali dan Kant, Bandung, Mizan, hlm.15. 4 Burhanuddin Salam, 1997, Etika Sosial, Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 3.
21
2.1.2 Akhlak Mengenai pengertian akhlak, akan dipaparkan pendapat beberapa ahli sebagai berikut; -
Menurut HA Musthofa seperti dikutip Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga bahwa secara etimologi, kata akhlak adalah jamak dari kata Khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Bentukan definisi akhlak muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik yang kemudian disebut hablum minallah dan pola hubungan antara sesama manusia dan mahluk lainnya yang disebut hablum minannas.5
-
Suwito
mengungkapkan
akhlak
disebut
juga
ilmu
tingkah
laku/perangai ('ilm al-suluk), atau tahzib al-akhlak (filsafat akhlak), atau al-hikmat al-'amaliyat, atau al-hikmat al-khuluqiyat. Yang dimaksudkan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang keutamaankeutamaan dan cara memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa utuk mensucikannya.6 -
Menurut para ahli masa lalu (al-qudama) mengartikan akhlak sebagai kemampuan jiwa untuk melahirkan suatu perbuatan secara spontan, tanpa pemikiran atau pemaksaan. Sering pula yang
5 6
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op,Cit, hlm.1 Suwito, 2004, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawih, Yogyakarta, Belukar, hlm.32
22
dimaksud akhlak adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik atau buruk.7 -
Ahmad Amin mengungkapkan bahwa sebagian orang mengartikan akhlak ialah “kebiasaan kehendak”. Berarti bahwa kehendak itu membiasakan sesuatu, maka kebiasaanya itu disebut akhlak. Dekat dari pengertian diatas, akhlak ialah menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan langsung dan berturut-turut. Sebagai contoh, seorang dermawan ialah orang yang menguasai keinginan memberi, dan keadaan ini selalu ada padanya bila terdapat keadaan yang menariknya kecuali didalam keadaan yang luar biasa, dan orang kikir adalah orang yang dikuasai oleh suka harta, dan mengutamakannya lebih dari membelanjakannya.8
-
Menurut Al-Ghazali dalam Ihya-Ulumiddin seperti dikutip Rachmat Djatnika, yakni ;
! , "# # $% & ' ( )* + $ "# Artinya : khuluq ; perangai ialah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak membutuhkan pikiran.9 -
Menurut Ibnu Miskawih, akhlak merupakan keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu.10
7
Ibid, hlm. 31 Ahmad Amin, Ethika : Ilmu Akhlak, Jakarta, Bulan Bintang, 1973, hlm. 74 9 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, Jakarta, Pustaka Panjimas, Februari 1996, hlm.27 8
23
-
Ja’ad Maulana mendefinisikan akhlak dalam 2 pengertian, yakni; (1) Ilmu yang menyelidiki perjalanan hidup manusia di muka bumi ini dan mempergunakan sebagai norma atau ukuran untuk mempertimbangkan perbuatan, perkataan dan hal ihwal manusia dalam hidup mereka dan menjelaskan bagi mereka, bagaimana kewajiban mereka dalam hidup, bukan bagaimana meraka hidup. (2) Ilmu yang menyelidiki gerak jiwa manusia, apa yang dibiasakan mereka dari perbuatandan perkataan yang menyingkap hakikat baik dan buruk.11
-
Dalam Ensiklopedi Islam, akhlak dimaknai sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang daripadanya lahir perbuatanperbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan (hal) tersebut melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan syarak (hukum Islam), disebut akhlak yang baik. Sedangkan jika perbuatanperbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk. Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat didalam jiwa, maka suatu perbuatan baru disebut akhlak, jika memenuhi beberapa syarat; (1) perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Kalau perbuatan dilakukan sekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak. Misalnya, pada suatu saat, orang-orang yang jarang berderma tibatiba memberikan uang kepada orang lain karena alasan tertentu.
10 11
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op Cit, hlm.4 Ibid, hlm.6
24
Dengan tindakan ini, ia tidak dapat disebut murah hati atau berakhlak dermawan karena hal itu tidak melekat dalam jiwanya. (2) perbuatan itu harus timbul dengan mudah tanpa dipikirkan atau diteliti lebih dahulu, sehingga ia benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang, maka tidak dapat disebut akhlak.12 -
Ali Saifuddin mengungkapkan bahwa dalam Islam, akhlak dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, karena akhlak merupakan sesuatu yang membedakan antara manusia dengan makhkluk lainnya. Menurut Ali Saifudin, akhlak merupakan mustika hidup yang membedakan antara manusia dengan mahluk lainnya, karena manusia adalah manusia yang paling mulia dan sebaik-sebaik ciptaan Allah SWT..13 Sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat At-Tin ayat 4 :
-.
(
/ 01 . 2 .
Artinya : Sesungguhnya kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Qs : At-Tin ayat 4) -
Pentingnya akhlak ini dipertegas oleh Jasadi, menurutnya dalam agama Islam, akhlak dipandang sebagai asas kehidupan yang sangat penting. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW dalam sebuah hadits :
12
Penyusun Ensiklopedi Islam, 1993, Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 102. 13 Ali Saifudin, Etika Islam Sebagai Modal Kebahagiaan, dalam Jurnal Theologia, Juni 1999, Semarang, Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, no 28, hlm. 19
25
“Sesungguhnya saya hanyalah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia” (HR Bukhari, Al Hakim dan Al Baihaqi).14 -
Definisi secara lebih operasional diungkapkan oleh Sidi Gazalba. Yakni akhlak merupakan sikap kepribadian yang melahirkan laku perbuatan manusia terhadap Tuhan, manusia, diri sendiri dan mahluk lain sesuai dengan perintah dan larangan serta petunjuk AlQur’an dan Al-Hadits. 15 Dengan mencermati pendapat para ahli, yang dimaksud akhlak
adalah perbuatan baik atau buruk kepada Tuhan, alam dan manusia lain yang dilakukan secara berulang-ulang, yang perbuatan itu timbul dari dalam jiwa dan telah menjadi kebiasaan, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. 2.1.3 Etika Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa : padang rumput, kandang : kebiasaan, adat : akhlak, watak : perasaan, sikap, cara berfikir. Dalam bentuk jamak (la etha) artinya : adat kebiasaan.16 Makna etika secara terminologi adalah sebagai berikut : -
Dalam kamus filsafat, diungkapkan ethics (berasal dari bahasa Yunani, ethikos dari ethos, berarti penggunaan, karakter, kebiasaan,
14
H Jasadi, Beberapa Ajaran Akhlak Rasulullah SAW Didalam Kitab Maulid Al Barzanji, dalam Jurnal Theologia, Semarang, Fakultas Usuluddin IAIN Walisongo, Ibid, hlm. 78 15 Ibid, hlm. 79 16 K Bertens, Opcit, hlm 3.
26
kecenderungan, sikap). Ada 3 makna, yakni, pertama, analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, tugas, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, dll. Kedua, pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, pencarian kehidupan yang baik secara moral.17 -
Menurut K Bertens latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf besar Yunani Aristoteles (384-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, jika membatasi pada asalusul kata ini, maka etika berarti : ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.18 Meski demikian, menelusuri makna etika hanya dari segi etimologis, tentu saja tidak cukup. Menurut K Bertens, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada 3 arti etika yang kemudian perumusannya dipertajam lagi. Pertama, kata “etika bisa dipakai dalam arti : nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika berbicara tentang etika suku-suku Indian, etika agama Budha dsb. Etika disini tidak dimaksudkan sebagai ilmu, melainkan secara singkat dapat diartikan sebagai “sistem nilai”. Sistem nilai itu bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Kedua, etika berarti juga : kumpulan asas atau nilai moral, yang dimaksud disini adalah kode etik. Misalnya pada beberapa
17
Tim Penulis Rosda (penyusun), Kamus Filsafat, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1995, hlm. 100 18 K Bertens, Op.Cit, hlm. 4
27
tahun lalu, Departemen Kesehatan RI menerbitkan kode etik untuk rumah sakit yang diberi judul : “Etika Rumah Sakit Indonesia” (1986) disngkat ERSI. Disini jelas dimaksudkan kode etik. Ketiga, etika juga mempunyai arti : ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat-seringkali tanpa disadarimenjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika disini sama artinya dengan filsafat moral.19 -
Menurut Robert C Soimon seperti dikutip M Amin Syukur, etika merupakan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum tingkah laku. Dengan demikian, menurut Amin Syukur, etika adalah ilmu yang berisi kaidah baik dan buruk suatu perbuatan dan aktivitas.20 Seperti diungkapkan oleh Poedjowijatna, sebagai sebuah ilmu, obyek materia etika adalah manusia, sedang obyek formanya adalah tindakan manusia yang dilakukan secara sengaja.21
-
Menurut Haidar Bagir, Etika berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi, bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk (ethics atau ilm al-akhlaq) dan moral
19
ibid, hlm. 6 M Amin Syukur, Etika Keilmuan, dalam Jurnal Theologia, Semarang, Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo, Edisi No 28, Juni Tahun 1999, hlm. 2 21 Poedjawijatna, 1990, Filsafat Tingkah Laku, Jakarta, PT Rineka Cipta, Maret, Cet VII, hlm. 15. 20
28
(akhlaq) adalah praktiknya. Dalam disiplin filsafat, terkadang etika disamakan dengan filasfat moral.22 -
Menurut Ahmad Amin, etika merupakan suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.23
-
M Amin Abdullah mengungkapkan bahwa etika harus dipahami tidak semata-mata dari pengertian tradisional yang mencoba mempertahankan aspek normatifnya dan mengabaikan aspek-aspek lain yang terlibat dalam pembentukan suatu sikap dan tindakan. Wacana etika sesungguhnya merupakan suatu bentuk diskursus praktis secara umum. Pendeknya, mengungkapkan sikap, keputusan tentang prinsip atau pernyataan tentang apa yang menjadi perhatian adalah juga pokok-masalah penting dari etika.24 Dari perspektif yang lebih luas, M Amin Abdullah mengklaim bahwa etika terkait erat dengan “cara berpikir” (way of thought) manusia pada umumnya. Jika cara berpikir seseorang berbeda, keseluruhan pengalaman hidupnya akan berbeda. Ia tidak saja akan berperilaku berbeda, tetapi juga memiliki pikiran, perasaan, sikap dan keinginan yang berbeda. Oleh karena pertimbangan utama inilah, “tindakan etis” manusia tidak dapat dipisahkan dari “cara berpikirnya”-nya. Terdapat
22
Haidar Bagir, Op.Cit. hlm. 15 Ahmad Amin, 1973, Ethika : Ilmu Akhlak, Jakarta : Bulan Bintang, hlm. 15 24 M Amin Abdullah, Op.Cit hlm. 37 23
29
semacam hubungan timbal balik antara keduanya. “Cara berpikir” dapat dijelaskan dan digambarkan dari pemikiran etika manusia, dan “tindakan etis” merepresentasikan atau merefleksikan cara berfikir manusia.25 Dalam rangka menjernihkan istilah, juga perlu disimak perbedaan antara etika dan etiket. Kerapkali keduanya dicampur adukkan, padahal perbedaan antara keduanya sangat hakiki. Jika ‘etika’ disini berarti ‘moral’ sementara ‘etiket’ berarti ‘sopan santun’. Jika dilihat dari asal usulnya, sebenarnya tidak ada hubungan antara kedua istilah ini. Hal itu menjadi jelas, jika dibandingkan bentuk kata dalam bahasa Inggris, yakni ethics dan etiquette.26 Jika etiket menyangkut cara suatu perbuatan manusia harus dilakukan manusia. Artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam kalangan tertentu. Misalnya jika menyerahkan sesuatu kepada atasan maka harus menggunakan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket jika menggunakan tangan kiri. Sedangkan etika tidak terbatas pada cara melakukan suatu perbuatan; etika memberi norma pada perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak. Apakah mencuri menggunakan tangan kanan atau kiri, disini sama sekali tidak relevan. Norma etis tidak terbatas pada cara perbuatan, melainkan menyangkut perbuatan itu sendiri.27
25
ibid, hlm. 38 K Bertens, Op.Cit, hlm. 8 27 ibid, hlm. 9 26
30
Menurut Hans Kung, perbedaan antara etik dan etika yakni, etik berarti sikap moral manusia yang mendasar, sedang etika menunjuk pada teori sikap, nilai dan norma moral secara filosofis atau teologis. Sayangnya, memang tidak selalu mudah untuk membedakan variasi kata tersebut. Karena kata Yunani ‘ethos’ tidaklah selalu digunakan dalam banyak bahasa. Dalam bahasa Indonesia, dipilih kata etik. Dengan menterjemahkan ‘etik’ untuk bahasa Inggris ‘ethic’; etika untuk istilah bahasa Inggris ‘ethics’ dan etis kata Inggris ‘ethical’.28 Melihat uraian diatas, nampaknya bisa dipahami jika sering ditemukan penyamaan arti antara kata; moral, akhlak, etiket dan etika. Meski demikian, sebenarnya ada perbedaan arti yang sangat mendasar antara empat kata tersebut. Pendapat beberapa ahli mengenai perbedaan 4 kata tersebut, yakni; -
Menurut Suwito, pengertian yang berbeda akan ditemukan bila menyangkut perilaku lahir dan batin manusia. Hanya kata akhlaq dan etika yang mempunyai maksud sama ketika menyangkut baik dan buruknya perbuatan lahir dan batin manusia. Kata moral dan etiket cenderung dimaksudkan sebagai perilaku lahiriah semata.29
-
Namun menurut Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, bahwa antara akhlak dan etika memiliki sisi kesamaan dan juga perbedaan yang mendasar, yakni; sisi kesamaannya adalah pada objek antara akhlak dan etika, yaitu sama-sama membahas tentang baik dan
28
Hans Kung, Sejarah, Signifikansi, dan Metode Deklarasi Menuju Etik Global, dalam Hans Kung dan Karl Josef Kuschel, Op.Cit., hlm. 77 29 Suwito, Op.Cit, hlm 35
31
buruknya perbuatan manusia. Sementara sisi perbedaanya terletak pada sumber norma, etika bersumber dari rasio, sedang akhlak bersumber dari alqur’an dan hadits.30 Dalam skripsi ini, sesuai pendapat Hans Kung, penulis menggunakan kata etik (ethic) yang berarti sikap moral manusia yang mendasar. Sikap moral yang mendasar ini salah satunya tertuang dalam etik global yang kemudian akan penulis bahas lebih lanjut dalam bab berikutnya. 2.2. Ruang Lingkup Akhlak Dalam bahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai pengertian akhlak dan perbedaanya dengan etika dan moral. Mengenai pembahasan akhlak, menurut Haidar Bagir didalam sejarah Islam, upaya perumusan etika dilakukan oleh berbagai pemikir dari berbagai cabang pemikiran-termasuk didalamnya ulama hukum (syariat atau eksoteris), para teolog, mistikus dan para filsof. Paling tidak Haidar Bagir mengungkapkan bahwa peta pemikiran etika dalam Islam dapat dijelaskan dalam 5 hal : (1) Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya semua manusia pada hakikatnya-baik itu muslim ataupun bukan-mengetahui pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Disinilah letak bertemunya filsafat Islam dengan pandangan filsafat Yunani era Socrates dan Plato, serta Kant dari masa modern. Tampaknya, para pemikir Islam dari berbagai pendekatan sama sepakat mengenai hal ini. Namun sebagian diantaranya-yakni kaum Mu’tazilah (kaum teolog rasional) dan para filosof pada umumnya percaya bahwa manusia-manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang etika yang benar dari pemikiran rasional mereka. Sementara itu, kaum Asy’ariyyah (teolog tradisional), para ulama hukum dan kaum mistikus (ortodoks) lebih menekankan pada peran 30
Zahrussin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 45
32
wahyu sebagai sarana untuk mencapai pengetahuan etik manusiameskipun barangkali “hanya” sebagai sarana untuk mengudar potensi etis yang sebenarnya sudah merupakan bawaan dalam diri manusia. (2) Moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Disini tampak kesejalanannya dengan teori Aristoteles tentang moderasi (hadd al-wasatth). Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan itu sendiri. Mencuri misalnya bisa bernilai terlarang, tetapi bisa juga bernilai sunnah, bahkan wajib. Disini kaum tradisonalis memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, tindakan etis adalah yang sejalan dengan wahyu, sebagaimana direkam dalam tradisi. (3) Tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan. (4) Tindakan etis bersifat rasional. Kaum rasionalis muslim tidak bisa sependapat dengan anggapan-sebagaimana dilontarkan oleh Immanual Kant, meskipun dalam banyak masalah kefitrian dorongan etis pendapatnya justru sejalan dengan Islam-bahwa menggunakan nalar dalam merumuskan etika akan mengakibatkan perselisihan pendapat yang tak pernah bisa dipersatukan. Justru, menurut mereka, Islam sangat percaya kepada rasionalitas sebagai alat dalam mendapatkan kebenaran. Disinilah Kant bersesuaian dengan Al-Ghazali, keduanya lebih menekankan pada faktor kewajiban (deon)-yang berdasarkan nalar praktis, sedangkan yang lain berdasarkan wahyu-sebagai sumber tindakan etis, keduanya pun sepakat bahwa etika lebih primer daripada metafisika. Bukan hanya itu, bahwa sesungguhnya metafiska yang dibangun atas landasan nalar murni sesungguhnya amat rapuh dan karena itu, tidak dapat dijadikan landasan sebagai dasar perumusan etika. Hanya saja, Kant mendekati etika secara lebih rasional dan analitis (ilmiah) sementara AlGhazali lebih dogmatis.31 Menurut Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, melacak pemikiran etika (akhlak) dalam Islam adalah melalui 4 fase perkembangan, yakni; etika fase Yunani, Akhlak fase Arab Pra Islam, Akhlak Fase Islam hingga Akhlak Fase Abad Pertengahan dan Modern.32 Pada Akhlak fase Islam, bisa dikatakan sedikit sekali pemikir yang mempelajari tentang akhlak, karena kalangan bangsa Arab merasa cukup mengambil ajaran akhlak dari agama. Oleh karena itu, agama menjadi motif 31 32
Haidar Bagir, Op.Cit, hlm. 18-20 Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 19-36
33
bagi para pemikir Islam untuk mengulas tentang akhlak. Diantaranya dapat dilihat dalam Al-Ihya karya Al-Ghazali dan Adabuddunya Waddin oleh Mawardy. Kemudian pembahasan akhlak secara ilmiah diantaranya dilakukan oleh; Abu Nashr Al Faraby dan Abu Alin Bin Sina, serta pembahas akhlak yang terbesar dari kalangan Arab adalah Ibnu Miskawih dalam bukunya yang termasyhur; Tadzibul Akhlak wa- Tathhirul ‘Araq.33 2.2.1. Sumber Akhlak Menurut Yunahar Ilyas, bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela adalah Al-Qur’an dan Sunnah.34 Jadi apakah suatu perbuatan misalnya jujur, pemurah, penyabar dinilai baik, itu karena syara’ menilainya baik. Begitu juga sebaliknya, misalnya perbuatan dendam, kikir dan dusta dinilai buruk karena syara’ menilainya demikian 2.2.2. Prinsip-Prinsip Akhlak Secara teoritis, Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga memetakan tentang prinsip-prinsip akhlak, yakni, (1)
Moral Force dengan iman sebagai internal power atau motor penggerak dan memotivasi terbentuknya kehendak untuk direfleksikan dalam tata rasa, tata karsa, tata karya dan tata cipta yang konkret.
(2)
Landasan Pijakan adalah Iman, Islam dan Ihsan.
(3)
Disiplin Moral; siapa yang berbuat maka harus bertanggung jawab menjadi Prinsip Akhlak Islam. Seperti termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Zalzalah ayat 7-8. 33
Ibid, hlm. 28-30 Yunahar Ilyas, 2004, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, LPPI bekerjasama Pustaka pelajar, Cet.VII, hlm.4-5 atau lih. Sholihan, Op.Cit, hlm. 71-72 34
34
(4)
Akhlak Terhadap Alam; ini berdasarkan kajian ihsan yang tidak hanya terbatas akhlak kepada sesama manusia, namun juga kepada mahluk lain.
(5)
Akhlak Terhadap Sesama; yakni, terhadap suami/istri, orang tua dan masyarakat.
(6)
Agama; dengan akalnya manusia mampu berbudaya, mencari jalan kebahagiaan baik materiil maupun spirituil. Namun karena keterbatasan kemampuan manusia, maka dibutuhkan peran agama. Dalam teologi Islam, unsur-unsur agama adalah Iman (Akidah, Tauhid), Islam (Ibadah, amal saleh) dan Ihsan (akhlak).35 Secara lebih sistematis, Musa Asy’ari memetakan pemikiran etika Islam
sebagai berikut; (1)
Etika Sosial, yang meliputi; prinsip persamaan dan kebersamaan, keadilan sosial, serta keterbukaan dan musyawarah.
(2)
Etika Ekonomi, yakni etika kaitannya dengan kegiatan atau usaha memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia.
(3)
Etika Politik, yakni etika kaitannya dengan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh dan merebut kekuasaan.
(4)
Etika Kebudayaan, etika kaitannya dengan kebudayaan sebagai proses.
35
Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Op.Cit, hlm. 63-83
35
(5)
Etika Agama, yang meliputi; etika hubungan manusia dengan Tuhannya, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya.36 Yunahar Ilyas membagi ruang lingkup prinsip akhlak menjadi 6; yakni;
(1) Akhlak terhadap Allah SWT yang diimplementasikan melalui; takwa, cinta dan ridla, ikhlas, khauf (takut) dan raja’ (harap) yang seimbang, tawakal, syukur, muraqabah (pengawasan) dan taubat. (2) Akhlak terhadap Rasulullah SAW melalui; mencintai dan memuliakan Rasul, mengikuti dan menaati Rasul, serta mengucapkan shalawat dan salam. (3) Akhlak pribadi, yakni; shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), istiqomah (teguh pendirian dan konsekuen), iffah (menjaga kehormatan diri), mujahadah (mencurahkan segala kemampuan), syajaah (berani), tawadhu’ (rendah hati), malu, sabar dan pemaaf. (4) Akhlak dalam keluarga, yakni; berbakti kepada orang tua (birrul walidain), hak, kewajiban dan kasih sayang suami istri, kasih sayang dan tanggung jawab terhadap anak, silaturrahim dengan karib kerbat. (5) Akhlak bermasyarakat, yakni; akhlak bertamu dan menerima tamu, hubungan baik dengan tetangga, hubungan baik dengan masyarakat, pergaulan muda-mudi dan ukhuwah Islamiyah.
36
Musa Asy’arie, 2002, Filsafat Islam Sunnah Nabi Dalam Berfikir, Yogyakarta, Lesfi, Cet 3, hlm. 94-125.
36
(6) Akhlak bernegara, yakni; musyawarah, menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar dan akhlak hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin.37 Secara lebih praktis, TM Hasbi as-Shiddieqy mengungkapkan beberapa prinsip akhlakul karimah melalui landasan mahabbah (cinta), dengan runtutan sebagai berikut;38 (1) Cinta kepada Allah SWT; yakni dengan mentaati-Nya, mendahulukan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya. Seorang Muslim baru benar-benar dikatakan mencintai Allah, jika benar-benar taat kepada Allah dan RasulNya. (2) Cnta dan benci karena Allah SWT, yakni mencintai seseorang lantaran orang itu melaksanakan segala kewajiban agama dan membenci seseorang lantaran orang itu tidak memenuhi kewajibannya terhadap Allah dan rasul-Nya. Cinta dan benci karena Allah merupakan sendi akhlak Islam dan sendi hidup bahagia. (3) Cinta, Ta’dhim (membesarkan) dan mentaati Rasul, yakni mengikuti segala petunjuk, ajaran dan perintah Rasul dan berpegang teguh kepada agama yang dibawa oleh Rasul SAW. (4) Ikhlas, yakni melaksanakan suatu amal semata-mata karena Allah SWT. Maka ibadah yang dipandang sah oleh allah adalah ialah ibadah yang dikerjakan karena dan untuk Allah semata dan tidak dicemari oleh suatu tujuan lainnya. Kebalikan dari akhlak ini adalah riya’ (memperlihatkan 37 38
581
Yunahasr Ilyas, Op.Cit, hlm.6 TM Hasbi As-Shiddieqy, 1998, Al-Islam I, Semarang, Pustaka Rizki Putra, hlm.415-
37
amalan kebajikan kepada orang lain supaya mendapat pujian), kemudian Nifaq (mengerjakan sesuatu amal kebajikan di muka khalayak supaya khalayak mengatakan bahwa si pembuat amalan itu masuk kedalam orang-orang yang membenarkan kebajikan), dan Sum’ah (menceritakan dan memperdengarkan amal perbuatan kepada orang lain untuk mendapat simpati dan mendapatkan keistimewaan). (5) Taubat, yakni menyesal atas kesalahan dan dosa yang telah dilakukan, keluar dari kemungkaran, membersihkan kemungkaran pada diri lalu melaksanakan amal saleh. Atau dalam arti lain, taubat adalah berpindah dari keadaan yang dibenci dan dikutuk Allah kepada keadaan yang diridlai dan dicintai Allah. Hubungan taubat dengan budi pekerti adalah taubat membukakan pintu keluar bagi orang-orang yang durhakadan memindahkan mereka dari keadaan hina dan tidak disukai, ke keadaan mulia dan dicintai. Mengenai dosa besar, banyak ulama’ mengungkapkan beragam pendapat. Namun dosa-dosa besar itu antara lain; menyekutukan Allah dan riya dalam amal dan perbuatan, menghilangkan nyawa seseorang yang diharamkan Allah, mengamalkan sihir, meninggalkan shalat, enggan mengeluarkan zakat, sengaja berbuka di hari bulan Ramadlan, tidak menunaikan haji padahal memiliki kesanggupan, durhaka kepada orang tua, memutuskan hubungan silaturrahim, berzina, homoseksualitas, makan riba, makan harta anak yatim, berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya, pemimpin yang menipu dan menganiaya rakyatnya, takabur/sombong/’ujub/bermegah-megah, menjadi saksi palsu, mabuk-
38
mabukan, berjudi, menuduh perempuan baik-baik berzina, korupsi, mencuri, merampok, sumpah palsu, berbohong, menipu, berkhianat, menganiaya suatu golongan dll. (6) Takut kepada Allah SWT, yakni perasaan takut ditimpa azab dan siksa Allah karena suatu kesalahan atau dosa yang telah diperbuat. (7) Harap kepada Allah, yakni, mempunyai pengharapan bahwa Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dengan tidak berputus asa. (8) Syukur (penghargaan atas nikmat), yakni mempergunakan seluruh bagian anggota badan menurut kesanggupan dan tempatnya masing-masing yang ditentukan oleh SWT. Artinya, mensyukuri nikmat Allah dengan menjauhkan anggota badan dari perbuatan maksiat. Sementara nikmat yang sebenarnya dalam Islam adalah kebahagiaan yang diperoleh di akhirat. (9) Menepati janji, yakni; menyempurnakan segala yang telah dijanjikan, baik berupa kontrak tertulis maupun lisan atau dalam bentuk lainnya. (10) Tawadhu’ ialah sikap menundukkan kepala karena kesadaran bahwa semua manusia mempunyai asal yang sama, tidak ada lebihnya seseorang dari yang lain, kecuali ketakwaan kepada Allah SWT. Apabila sifat ini telah melekat pada jiwa, maka hilanglah sifat ujub dan takabur. Malu, yakni; perasaan surut apabila ada sesuatu yang mengakibatkan tercacat. Seseorang yang memiliki rasa malu, akan taat kepada segala perintah dan menghindar dari larangan Allah SWT. Muru’ah ialah memelihara
39
keutamaan kemanusiaan, terjauh dari yang dipandang buruk dan dari yang mendatangkan cacat. (11) Sabar, yakni; tahan menderita atas yang tidak disenangi dengan rela dan menyerahkan diri kepada Allah SWT. Jenis-jenis sabar yakni, pertama, menahan diri dari berbuat jahat dan menuruti hawa nafsu yang angkara murka, dan dari melakukan segala perbuatan yang dapat menghinakan diri atau mencemarkan nama baik. Kedua, menahan kesusahan, kepedihan dan kesengsaraan dalam menjalankan suatu kewajiban. Ketiga, menahan diri dari surut kebelakang ditempat-tempat yang tidak patut dan tidak layak kita mengundurkan diri, seperti dikala menegakkan kebenaran, meyebarkan kemaslahatan dll. Sabar yang ketiga inilah yang disebut Syaja’ah (berani). Kebalikan dari sifat ini adalah penakut/pengecut. (12) Rahmat dan Syafakat ialah perasaan halus dan belas kasihan didalam hati yang membawa kepada berbuat amalan utama, memberi maaf dan berlaku ihsan. Sifat ini merupakan suatu keutamaan dan ketinggian budi yang menjadikan hati mencurahkan belas kasihan kepada semua hamba Allah. Ihsan ialah melaksanakan sesuatu dengan sebagus-bagusnya dan sebaikbaiknya. Rifq ialah melaksanakan sesuatu dengan lemah lembut dengan cara yang sangat menyenangkan orang yang menerimanya. (13) Tawakal, ialah menyerahkan diri kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Syara’ membagi tawakal menjadi 2, yakni; meyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai sebab dan ‘illat, dan menyerahkan diri kepada Allah pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak
40
mempunyai sebab dan ‘illat. Artinya mengusahakan sebab-sebab itu dan mewujudkan ‘illat-illatnya, setelah itu menyerahkan diri kepada Allah pada sebab yang tidak nyata atau pada kemungkinan datangnya halanganhalangan. Implementasinya, dalam mencari rezeki yang halal, umat Islam diwajibkan berusaha dan bekerja guna memperoleh harta kekayaan dengan jalur yang diridlai Allah SWT. Sebaliknya, Islam membenci sifat berpangku tangan dan tawakkal buta. (14) Ridla akan qada Allah, ialah menerima segala kejadian yang menimpa diri dengan tabah dan dada yang lapang. Ini merupakan penawar dari rasa kecewa apabila sesuatu yang diinginkan tidak diperoleh. Ridla qada ini, misalnya terhadap bencana-bencana yang menimpa dan terhadap ketetapan-ketetapan agama, baik berupa perintah maupun larangan. (15) ‘Ujub, ialah merasa bahwa segala nikmat, kejayaan dan kemuliaan yang diperoleh adalah semata-mata dari hasil usahanya atau kesungguhannya sendiri. Akhirnya, ‘ujub ialah merasa diri cakap, pandai, tangkas, cerdas berkemampuan dsb. Merasa bahwa apa yang diperolehnya adalah hasil dari kecerdasannya semata-mata. Salah satu akibat dari ‘ujub ialah Takabur, yakni; seseorang yang menganggap derajat orang lain lebih rendah dari derajatnya, dan merasa kedudukannya diatas dan lebih tinggi dari kedudukan orang lain. (16) Hasad (dengki), ialah berusaha menghilangkan nikmat yang telah diperoleh seseorang, agar nimat itu jatuh kepadanya, atau supaya nikmat terlepas hilang dari orang yang didengkikan itu. Hasut dan fitnah,
41
merupakan salah satu akibat dari sifat dengki. Dan orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini ialah jauh dari keridlaan Allah SWT. (17) Hiqid (dendam), ialah mengandung rasa permusuhan didalam hati dan menanti waktu yang terbaik untuk membalas sakit hati dengan mencelakakan orang yang dimusuhi itu. Apabila dendam itu timbul lantaran seseorang mencegah kita dari bebuat kesalahan, maka dendam yang seperti ini adalah dosa besar dan haram hukumnya. Sedangkan dendam yang timbul karena suatu penganiayaan, walaupun tidak diharamkan, namun sangat dianjurkan untuk menyerahkan urusan itu kepada Allah SWT. (18) Ghadab (marah), ialah jiwa bergolak apabila tertimpa suatu bencana yang tidak disukai, ini adalah nafsu yang sukar ditundukkan oleh manusia. Sepenting-penting kewajiban yang harus dipegang adalah mensucikan dari nafsu marah dan dari tanda-tanda panas hati. Orang yang memlihara nafsu amarah sama keadaanya dengan membiarkan ular bekeliaran di dalam rumah, pasti bencana segera muncul. Hilm, ialah dapat mengekang rasa marah atau menderita gangguan dari orang lain dengan tenang dan tidak terlihat rasa marah. Hilm, menghasilkan kebajikan kepada diri sendiri dan masyarakat. (19) Kicuh dan tipu, ialah tidak jujur atau membaguskan sesuatu yang tidak bagus baik melalui perbuatan maupun perkataan guna menipu orang lain. Islam melarang perbuatan menipu karena merupakan perbuatan aniaya
42
dan curang. Karena menipu adalah merusakkan kewajiban tanggung jawab dan kepercayaan serta membiasakan diri memakai yang haram. Demikian luasnya prinsip-prinsip akhlak Islam yang dipaparkan oleh para ahli, namun secara lebih sederhana Muhammad Daud Ali memetakan prinsip akhlak dengan landasan Ihsan adalah sebagai berikut; (1)
Akhlak terhadap Khalik melalui Tasawuf dalam bentuk tarekat-tarekat.
(2)
Akhlak terhadap makhluk, -
Akhlak terhadap makhluk hidup, yakni kepada manusia, baik kepada diri sendiri, keluarga, tetangga dan masyarakat. Akhlak kepada mahluk hidup bukan manusia, yakni; nabati, hewani, bumi, air dsb.
-
Akhlak terhadap mahluk mati.39 Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, maka dalam skripsi ini
penulis akan mencoba membahas tentang prinsip-prinsip akhlak manusia terhadap mahluk lainnya, baik sesama manusia maupun akhlak kepada alam dan lingkungan hidup guna menganalisa prinsip-prinsip etik global yang digagas oleh Hans Kung yang akan dikaji dalam bahasan selanjutnya. 2.3. DAKWAH
2.3.1 Pengertian Dakwah Dari segi etimologi (bahasa), dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti panggilan, ajakan dan seruan. Dalam Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim masdar. Kata ini berasal dari fi' il (kata kerja) 39
artinya, memanggil, mengajak,
Muhammad Daud Ali, 2002, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo, Cet 4, hlm. 345- 361
43
atau menyeru.40 Tetapi mengingat bahwa proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah mubaligh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan (message) kepada pihak komunikan.41 Dengan demikian secara etimologi pengertian dakwah dan tabligh itu merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan atau seruan. Sedangkan dakwah menurut istilah terdapat perbedaan diantara para ahli. Hal tersebut tergantung pada sudut pandang mereka, diantaranya yaitu : a) Menurut Dr. H. Hamzah Ya' qub, dakwah dalam Islam adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan rasul-Nya.42 Dengan kata lain dakwah merupakan usaha dan perjuangan merubah situasi yang tidak diridlai oleh Allah kepada situasi yang diridlai oleh-Nya. Tegasnya merubah keadaan yang buruk kepada yang baik, mencegah yang munkar dan menegakkan yang ma’ruf. b) Menurut Asmuni Syukir, dakwah itu dapat diartikan dalam dua segi atau dua sudut pandang, yakni pengertian dakwah yang bersifat pembinaan dan pengertian dakwah yang bersifat pengembangan.
40
Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.17. Toto Tasmara, 1987, Komunikasi Dakwah, Jakarta, CV Gaya Media Pratama, hlm.31. 42 Hamzah Ya’qub, 1992, Publistik Islam : Teknik Da’wah dan Leadership, Bandung, CV Diponegoro, hlm. 13. 41
44
Pembinaan artinya suatu kegiatan untuk mempertahankan dan menyempurnakan
sesuatu
hal
yang
telah
ada
sebelumnya.
Sedangkan pengembangan berarti suatu kegiatan yang mengarah kepada pembaharuan atau mengadakan sesuatu hal yang belum ada.43 c) Menurut Muhammad Al-Bahy seperti dikutip Muhammad Sulthon, dakwah Islam adalah dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi-pribadi didalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku antar manusia.44 Dakwah kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi-pribadi didalam hubungan antar manusia dan sikap perilaku antar manusia, maupun antara manusia dengan alam, adalah menjadi pembahasan dalam skripsi ini. 2.3.2 Dasar dan Tujuan Dakwah a) Dasar Dakwah
Pada dasarnya setiap aktivitas yang dilakukan oleh manusia secara sadar, tentu mempunyai landasan dasar dari apa yang dilakukannya. Demikian juga dengan dakwah. Dakwah sebagai suatu proses penyebaran agama Islam tentu mempunyai dasar atau landasan yang kuat agar tercapainya proses yang diinginkan. Dalam surat An-Nahl ayat 125, Allah berfirman :
43 44
Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm. 20. Muhammad Sulthon, Op.Cit, hlm. 8
45
345 4567589:;5< 3'3# 533 3= ; 5>?583@;3# 53@;%5= ;53A B3 5C 53 D>5E:F 8< 3"5368:@;5:9>8>G3:3# 5H553 83 7C3I 83@5:9>8>G3: 3A J3 7/5E:3 8(>G L
C= K
Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang slebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl : 125)45 b) Tujuan Dakwah Bagi proses dakwah, tujuan adalah merupakan salah satu faktor yang paling penting dan sentral. Pada tujuan itulah dilandaskan segenap tindakan dalam rangka usaha kerjasama dakwah tersebut. Tujuan tersebut oleh Asmuni Syukir (1987:51-57) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :46 1) Tujuan umum dakwah (major objective). Tujuan umum dakwah adalah mengajak umat manusia (meliputi orang mukmin maupun orang kafir atau musyrik) kepada jalan yang benar yang diridlai Allah SWT, agar dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akherat. Tujuan ini masih bersifat umum, karena tujuan dakwah yang utama adalah menunjukkan pengertian kepada seluruh umat, baik yang sudah memeluk agama maupun yang masih dalam keadaan kafir atau musyrik. 2) Tujuan khusus dakwah (minor objective). Adapun tujuan khusus dakwah merupakan perumusan dari perincian tujuan umum, sehingga seluruh pelaksanaan kegiatan 45
Yayasan Penyelenggaran Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, 1989, AlQur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV Thoha putra, hlm. 421. 46 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.51-57.
46
dakwah dapat diketahui dengan jelas arahnya. Tujuan ini terbagi dalam beberapa tujuan yang khusus lagi yaitu : (a) Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk lebih meningkatkan taqwanya kepada Allah SWT, artinya mereka diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah dan selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarang-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
M.J3# 5/ 3#8:;3# 59;N5O; D>3 :03# 33 >3# P3;.J6 3# B$5; D>3 :03# 333# L
STK 5Q >.5; :"53R 3H7 7/5E3H7
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelangggaran. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya berat siksaannya (bagi orang yang tolong menolong dalam kejahatan) . (QS. Al-Maidah :2)47 (b) Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih muallaf. Muallaf artinya bagi mereka yang masih menghawatirkan tentang keIslaman dan keimanannya (baru beriman). (c) Mengajak umat manusia yang belum beriman agar beriman kepada Allah (memeluk agama Islam). Tujuan ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi :
47
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Op.Cit., hlm.156-157.
47
89M%73>89M%58>U 85+ 3"5V73# 89M%>.>32 W5V7 :9M%J3 #::8 :X J 3Y">G3" L
Z$. K >/ M.J63
Artinya : Hai sekalian manusia, beribadahlah kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa kepada Allah. (QS. AlBaqarah : 21)48 Dengan demikian, dakwah juga bertujuan untuk memproses masyarakat agar bertindak sesuai syari' at Islam seperti yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Sehingga mereka mempunyai keyakinan yang tinggi, karena nilai-nilai agama yang dipeluknya sudah sesuai dengan hati nurani kemanusiaan. Jadi, sudah menjadi tujuan dan proses kegiatan dakwah untuk menjadikan manusia supaya mampu menyebarluaskan Islam, dari yang mula-mula apatis terhadap Islam ditingkatkan untuk mau menerimanya sebagai kawan dan menjadi petunjuk dalam hidupnya. 2.3.3 Unsur-unsur Dakwah a) Subyek Dakwah Subyek dakwah adalah orang yang melakukan dakwah, yaitu orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi informasi dan missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban berdakwah, melakukan amar ma' ruf nahi
48
Ibid., hlm.11.
48
mungkar. Jadi, mustinya setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da' i karena sudah menjadi kewajiban baginya. Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidaklah semua muslim dapat berdakwah dengan baik dan sempurna, karena pengetahuan dan kesanggupan mereka berbeda-beda pula. Namun bagaimanapun,
mereka
wajib
berdakwah
menurut
ukuran
kesanggupan dan pengetahuan yang dimilikinya. Oleh karena itu, menurut Toto Tasmara, yang berperan sebagai mubaligh dalam berdakwah dibagi menjadi dua yaitu :49 1) Secara umum : adalah setiap muslim / muslimat yang mukallaf (dewasa), dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai penganut Islam 2) Secara khusus : adalah mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama. Drs. H. M. Hafi Anshari memberi syarat-syarat bagi mubaligh sebagai berikut :50 1) Persyaratan jasmani atau fisik Seorang da' i atau mubaligh adalah orang yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat dan selalu berhubungan secara dekat dengan anggota masyarakat. Oleh sebab itu kesehatan jasmani menjadi faktor yang berperan dalam memperlancar tugas dakwah, disamping itu pula kondisi jasmani dan penampilan 49
Toto Tasmara, Op.Cit., hlm.41-42. Hafi Anshari, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya, Al-Ikhlas, hlm.105-107. 50
49
fisik seorang da' i akan menjadi kebanggaan para jamaah atau mad' u. Persyaratan jasmaniyah yang dimaksud adalah berupa kesehatan jasmani secara umum, keadaan tubuh bagian dalam dan keadaan tubuh mengenai cacat atau tidak. Namun persyaratan jasmani ini tidaklah mutlak karena ternyata pengabdian demi tegaknya agama Allah melalui dakwah tidak memandang siapapun juga. Dimaksudkan dengan persyaratan jasmani itu sekedar untuk mengurangi akibat-akibat yang kurang baik terhadap orang lain dan dirinya sendiri, lebih-lebih kalau da' i mengidap suatu penyakit berbahaya atau menular. 2) Persyaratan ilmu pengetahuan. Persyaratan ilmu pengetahuan ini berkaitan dengan pemahaman da' i terhadap keseluruhan unsur-unsur dakwah yang ada, sebagai berikut : (a) Tentang obyek dakwah, yakni pemahaman bahwa orang yang dihadapi beraneka ragam dalam segala seginya, baik dalam segi jumlah, sosial ekonomi, tingkat umur, tingkat pendidikan dan lain sebagainya. (b) Tentang dasar dakwah, yakni pemahaman terhadap latar belakang secara yuridis dalam melakukan dakwah. Baik landasan yang bersifat agamis maupun landasan yang berbentuk undang-undang, peraturan-peraturan atau normanorma lainnya. (c) Tentang tujuan dakwah, yakni pemahaman terhadap apa yang akan dicapai dalam usaha dakwah, apakah tujuannya bersifat sementara, tujuan insidental, tujuan khusus dan sebagainya, yang semua itu dalam rangka mencapai tujuan akhir dakwah. (d) Tentang materi dakwah, yakni pemahaman terhadap pesan atau informasi tentang ajaran agama yang akan disampaikan kepada orang lain secara benar dan baik. (e) Tentang metode dakwah, yakni pemahaman terhadap caracara yang akan dipakai dalam aktifitas dakwah, manakah yang lebih sesuai dengan kemampuan dirinya dengan materi yang diberikan sesuai dengan kondisi dan yang lebih relevan dengan obyek dakwah yang dihadapi. (f) Tentang alat dakwah, yakni pemahaman terhadap alat-alat yang perlu digunakan untuk melancarkan usaha dakwah terutama dalam mencapai tujuan yang diinginkan. 3) Persyaratan kepribadian. Persyaratan ini menyangkut masalah keseluruhan untuk batin atau rohaniah manusia yang tercermin dalam sikap, sifat dan tingkah laku yang kesemuanya itu dihiasi oleh akhlakul karimah atau budi pekerti yang luhur. Persyaratan ini penting, karena ada kaitannya dengan subyek itu sendiri disamping sebagai
50
penyampai missi keagamaan dia juga sebagai panutan ummat dan juga dia sebagai manusia teladan. Sebagai pemimpin yang akan menjadi panutan sudah barang tentu haruslah mempunyai kewibawaan, sedangkan kewibawaan itu terwujud antara lain ditentukan oleh faktor kemapanan subyek untuk memulai dari dirinya lebih dahulu sebagai contoh dan keteladanan. Suksesnya usaha dakwah tergantung juga kepada kepribadian yang menarik, jika dia tidak memiliki kepribadian yang baik, maka tidak akan mempunyai daya tarik dan usahanya akan mengalami kegagalan. b) Obyek Dakwah Manusia sebagai obyek dakwah atau sasaran dakwah adalah salah satu unsur yang penting dalam berdakwah, yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan unsure-unsur dakwah yang lain. Oleh sebab itu, masalah obyek dakwah harusnya dipelajari secara sebaik-baiknya sebelm melangkah ke aktivitas dakwah yang sesungguhnya. Maka dari itu, sebagai bekal bagi seorang da’i, hendaknya melengkapi dirinya dengan beberapa pengetahuan dan pengalaman yang erat hubungannya dengan masalah obyek dakwah ini. Misalnya, Sosiologi, Ekologi, Psikologi, Ilmu Sejarah, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Antropologi, Ilmu Ekonomi, Georafi dan ilmu-ilmu
pengetahuan
masyarakat.51
51
Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.65-66.
lainnya
yangbertalian
erat
dengan
51
Prof. H. M. Arifin M.Ed. membagi obyek dakwah ke dalam delapan golongan yakni :52 1) Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis berupa masyarakat terasing, pedesaan. kota besar, kota kecil serta masyarakat di daerah marginal dari kota besar. 2) Sasaran dakwah yang menyangkut golongan masyarakat pemerintah dan keluarga. 3) Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial kultural berupa golongan priyayi, abangan dan santri. 4) Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua. 5) Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dari segi okuposional (profesi atau pekerjaan) berupa golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri atau administrator. 6) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomis, berupa golongan orang kaya, menengah dan miskin. 7) Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin (seks) berupa golongan wanita dan pria. 8) Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus berupa golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, nara pidana dan sebagainya. Bila
dilihat
dari
psikologi
masing-masing
golongan,
masyarakat tersebut diatas memiliki ciri-ciri khusus yang menuntut kepada sistem dan metode pendekatan dakwah atau penerangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. c) Metode Dakwah Metode dakwah adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da' i untuk menyampaikan materi dakwah yaitu Al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.53
52 53
Arifin, Op.Cit., hlm.3-4. Wardi Bachtiar, 1997, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Logos, Jakarta, hlm. 34.
52
Berhasil atau tidaknya usaha dakwah tidak hanya tergantung dari macam-macam metode dan efisiensinya, akan tetepi tergantung pula pada orang yang melaksanakan metode tersebut (the man behind the gun / orang yang ada dibelakang senjata). Selain ditentukan orang yang melaksanakan metode itu, ditentukan pula oleh peranan cara memilih metode itu sendiri. Dalam setiap usaha dakwah da’i harus memilih dan menentukan macam metode yang akan dipakai. Seorang da’i harus sadar bahwa metode dimanapun selalu berubah mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Dan harus
diinsafi
bahwa
metode
dakwah
yang
tidak
tepat
penggunaannya, tidak hanya membuang tenaga yang percuma saja, tetapi juga menambah jauhnya obyek dakwah terhadap da’i tersebut.54 Penggunaan metode ini sudah tersirat dalam AlQur' an surat An-Nahl ayat 125, yang oleh Asmuni Syukir diterangkan sebagai berikut :55 1) Metode ceramah ; yaitu suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh karakteristik bicara oleh da' i (mubaligh) pada suatu aktifitas dakwah. Metode ini digunakan ketika sasaran atau obyek dakwah berjumlah banyak. 2) Metode tanya jawab ; yaitu penyampaian materi dakwah dengan cara mendorong sasarannya (obyek dakwah) untuk menyatakan suatu masalah yang dirasa belum dimengerti dan da' i (mubaligh) nya sebagai penjawabnya. 3) Metode debat (mujadalah) ; yaitu mempertahankan pendapat dan ideologinya agar pendapat dan ideologinya itu diakui kebenaran dan kehebatannya oleh musuh. Metode ini akan efektif apabila digunakan pada mereka yang membantah akan kebenaran Islam. 54
Dzikron Abdullah, 1992, Metodologi Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Waliongo Semarang, Semarang, hlm.51. 55 Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.104-157.
53
4) Metode percakapan antar pribadi (percakapan bebas) ; yaitu percakapan bebas antara seorang da’i dengan individu-individu sebagai sasaran dakwahnya. Percakapan pribadi bertujuan untuk menggunakan kesempatan yang baik di dalam percakapan atau mengobrol untuk aktivitas dakwah. 5) Metode demonstrasi ; yaitu metode dakwah dengan cara memperlihatkan suatu contoh baik berupa benda, perbuatan dan sebagainya. Metode ini bertujuan agar sasaran dapat mengerjakan dan mengamalkan suatu pekerjaan dengan benar dan bermanfaat. 6) Metode pendidikan dan pengajaran agama ; metode ini pada dasarnya adalah membina dan (melestarikan) fitrah anak yang dibawa sejak lahir, yakni fitrah beragama (perasaan ber-Tuhan). 7) Metode mengunjungi rumah (silaturrahmi / home visit) ; metode ini efektif dilaksanakan dalam rangka mengembangkan maupun membina umat Islam. Dengan adanya beberapa metode dakwah di atas, para da' i (mubaligh) dituntut untuk bijaksana dalam menggunakan dan menerapkannya sesuai dengan keadaan dan lingkungan daerah dimana Islam disebarkan. d) Media Dakwah Yang dimaksud dengan media dakwah adalah alat obyektif yang menjadi saluran, yang menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah. Dalam arti sempit media dakwah dapat diartikan sebagai alat bantu dakwah, atau yang popular di dalam proses belajar mengajar disebut dengan istilah alat peraga. Alat bantu berarti media dakwah memiliki peranan atau kedudukan sebagai penunjang tercapainya tujuan. Artinya proses dakwah tanpa adanya media masih dapat mencapai tujuan yang semaksimal mungkin.56 56
Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.164.
54
Hamzah Ya’qub mengklasifikasikan media dakwah dalam beberapa bentuk, yaitu :57 1) Lisan; termasuk dalam bentuk ini ialah khutbah, pidato, ceramah, kuliah, diskusi, seminar, musyawarah, nasihat, pidatopidato radio, ramah tamah dan anjang sana, obrolan secara bebas setiap ada kesempatan, yang kesemuanya dilakukan dengan lidah atau bersuara. 2) Tulisan; yaitu dakwah yang dilakukan dengan perantaraan tulisan umpamanya, buku-buku, majalah-majalah, surat-surat kabar, buletin, risalah, kuliah-kuliah tertulis, pamplet, pengumuman-pengumuman tertulis, spanduk-spanduk dan sebagainya. Da' i yang spesial dibidang ini harus menguasai jurnalistik yakni ketrampilan mengarang dan menulis. 3) Lukisan; yakni gambar-gambar hasil seni lukis, foto, film cerita dan lain sebagainya. Bentuk terlukis ini banyak menarik perhatian orang dan banyak dipakai untuk menggambarkan suatu maksud ajaran yang ingin disampaikan kepada orang lain, termasuk umpamanya komik-komik bergambar yang dewasa ini sangat disenangi anak-anak. 4) Audio visual; yaitu suatu cara penyampaian yang sekaligus merangsang penglihatan dan pendengaran. Bentuk itu dilaksanakan dalam televisi, sandiwara, ketoprak wayang dan lain sebagainya. 5) Akhlak ; yaitu suatu cara penyampaian langsung ditunjukkan dalam bentuk perbuatan yang nyata, umpamanya, menziarahi orang sakit, kunjungan ke rumah bersilaturrahmi, pembangunan masjid dan sekolah, poliklinik, kebersihan, pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Asmuni Syukir (1983:168-180) menambahkan, disamping media-media tersebut di atas, terdapat pula beberapa media, diantaranya yaitu :58 1) Lembaga-lembaga Pendidikan Formal ; artinya lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum, siswa sejajar kemampuannya, pertemuan rutin dan sebagainya. Seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan sebagainya. 2) Lingkungan Keluarga ; keluarga adalah kesatuan social yang terdiri dari ayah, ibu dan anak atau kesatuan social yang terdiri 57 58
Hamzah Ya’qub, Op. Cit., hlm.47. Asmuni Syukir, Op.Cit., hlm.168 –180.
55
3)
4)
5)
6)
dari beberapa keluarga (famili) yang masih ada hubungan darah. Keuarga memiliki kepala keluarga yang berkuasa atas segalanya di dalam keluarga. Ada juga keluarga (yang besar) memiliki salah satu anggota keluarga yang paling disegani (berwibawa) Organisasi-organisasi Islam ; Organisasi Islam sudah barang tentu segala gerak organisasinya berazaskan Islam. Apalagi tujuan organisasinya, sedikit banyak menyinggung Ukhuwah Islamiyah, Dakwah Islamiyah dan sebagainya. Hari-hari Besar Islam ; Tradisi umat Islam Indonesia setiap peringatan hari besarnya secara seksama mengadakan upacaraupacara. Upacara perigatan hari besar Islam dilaksanakan di berbagai tempat, di istana negara, kantor-kantor sampai di daerah-daerah pelosok / pedesaan. Media Massa ; Media massa di negara kita pada umumnya beruparadio, elevisi, surat kabar / majalah. Media massa ini tepat sekali dipergunakan sebagai media dakwah, baik melalui rubrik /acara khusus agama ataupun yang lain. Seperti sandiwara, membaca puisi, lagu-lagu dan sebagainya Seni Budaya ; Beberapa group kesenian maupun kebudayaan akhir-akhir ini nampak sekali peranannya dalam usaha penyebaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar). Seperti group qosidah, dangdut, band, sandiwara, wayang kulit dan sebagainya. Dengan
demikian
untuk
megoptimalkan
keberhasilan
dakwah, seharusnya secara teoritis semua metode maupun media dakwah harus dipergunakan dan diterapkan secara terpadu sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, dan sesuai pula dengan kondisi mad' u. e) Materi Dakwah Materi dakwah dan kadang-kadang pula disebut ideologi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Ajaran Islam berpangkal pada dua pokok ajaran yaitu Al Qur' an dan Sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, seorang da' i tidak boleh menyimpang dari kedua pokok yang menjadi materi dakwah ini. Rasulullah SAW
56
dalam berdakwah menjadikan Al Qur' an (wahyu Allah) itu srbagai materi inti. Setiap Rasulullah berdakwah selalu membawakan firman Allah dan menyampaikan pula penjelasannya. Segala kata-kata dan perbuatan Rasulullah SAW yang merupakan penjelasan dari Al Qur' an dipandang sebagai sunnah (hadits).59] Menurut
Asmuni
Syukir,
materi
dakwah
dapat
diklasifikasikan dalam tiga hal pokok, yaitu : 60 1) Masalah keimanan (aqidah) 2) Masalah keIslaman (syariah) 3) Masalah budi pekerti (akhlaqul karimah) Sedangkan penjelasan dari ketiga materi tersebut diterangkan oleh H.M. Hafi Anshari, yaitu :61 1) Aqidah, yaitu yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah SWT. Dan ini menjadi landasan yang fundamental bagi seluruh aktivitas seorang muslim. 2) Syariah, yaitu serangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan, dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang mubah dan sebagainya. Dan ini menyangkut hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya. 3) Akhlak, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah SWT, maupun secara horisontal dengan sesama manusia dan makhluk-makhluk Allah Berdasarkan paparan diatas, bahwa materi dakwah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah dalam bidang akhlakul karimah kepada sesama manusia dan makhluk lainnya, yakni alam dan 59
Hamzah Ya' qub, Op.Cit., hlm.29. Asmuni Syukir, Op. cit., hlm. 60. 61 Hafi Anshari, Op.Cit., hlm.146. 60
57
lingkungan hidup. Mengenai pembahasan akhlak telah penulis paparkan dalam bahasan sebelumnya.