BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKHLAK DAN MATERI DAKWAH
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,
yaitu
pendekatan
linguistik
(kebahasaan),
dan
pendekatan
terminologik (peristilahan).1 Secara etimologis, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).2 Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki manakala tindakan. atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhlaq diartikan sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
1 2
Abuddin Nata, 2002, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 1 Yunahar Ilyas, 2004, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI, hlm. 1.
13
kewajiban dan sebagainya.3 Istilah lain dari akhlaq, orang kadangkala menyebut dengan istilah moral dan etika. Akhlak (akhlaq) ini merupakan bentuk jamak dari kata khulq dalam bahasa Arab. la mempunyai akar kata yang sama degan kata-kata Khaliq (Pencipta, yakni Tuhan) dan makhluq (yang diciptakan, yakni segala sesuatu selain Tuhan), dari kata khalaqa (menciptakan). Dengan demikian, kata khulq dan akhlaq selain mengacu kepada konsep "penciptaan" atau "kejadian" manusia, juga mengacu kepada konsep penciptaan "alam semesta" sebagai makhluq.4 Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, melainkan juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan, bahkan, dengan alam semesta sekalipun. Karena itu, dalam akhlak sudah tercakup etika lingkungan hidup sebagaimana yang tengah digalakkan pertumbuhannya, guna menjaga keharmonisan sistem lingkungan akibat proses pembangunan.5 Selain itu, dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khalik dengan perilaku makhluk, manusia. Dengan kata lain, dalam pengertian ini, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlak yang hakiki, manakala suatu tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khalik, Tuhan,
3
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud, Balai Pustaka, hlm. 754 4 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm. 98 5 Ibid, hlm. 98
Dengan demikian, sesungguhnya akhlak telah mengatasi hukum syariat yang lebih mengacu kepada norma perilaku lahiriah. Apa yang baik menurut syariat belum tentu baik menurut akhlak. Sebaliknya, apa yang baik menurut akhlak sering tidak terlihat oleh syariat. Misalnya, seseorang yang secara lahiriah telah melakukan ibadat salat, tidak berarti ia sudah pasti orang baik menurut akhlak. Dengan kata lain, akhlak lebih melihat motivasi suatu tindakan, sedangkan syariat lebih melihat bentuk praktisnya. Karena itu,menurut akhlak segala motivasi tindakan harus diacukan kepada Tuhan (ikhlas).6 Wilayah akhlak Islam memiliki cakupan luas, sama luasnya dengan perilaku dan sikap manusia. Nabi Muhammad saw. bahkan menempatkan akhlak sebagai pokok kerasulannya. Melalui akal dan kalbunya, manusia mampu memainkan perannya dalam menentukan baik dan buruknya tindakan dan sikap yang ditampilkannya. Ajaran Islam secara keseluruhan mengandung nilai akhlak yang luhur, mencakup akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitar. Praktek pelaksanaan akhlak adalah berpedoman kepada nash al-Qur'an dan al-hadis, perbuatan yang dianggap benar adalah perbuatan-perbuatan yang berpijak pada kebenaran yang telah digariskan oleh nash agama yang bersumber kepada wahyu.7 Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama
6 7
Ibid Zuhairini, 2004, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 52.
manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.8 Secara terminologis (ishthilahan) ada beberapa definisi tentang akhlaq. di antaranya; 1. Abdul Karim Zaidan, akhlaq adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya.9 2. Imam al-Ghazali: Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 10 3. Barmawi Umari, ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.11 4. Ahmad Amin, akhlak adalah kebiasaan kehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak.12 5. Asmaran, AS, akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir
8
Ibid Abdul Karim Zaidan, 1984, Dasar-Dasar Ilmu Da'wah, alih bahasa, Asywadie Syukur, Jakarta: Media Da'wah, hlm. 150 10 Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, 1989, Ihya Ulum ad-Din, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 58. 11 Barmawie Umary, 1996, Materia Akhlak, Solo: Ramadhani, hlm. 1. 12 Ahmad Amin, 1975, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 62. 9
berupa perbuatan baik, disebut akhlak yang mulia, perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya.13 Kelima definisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Adapun yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu'tazilah.14 Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara' (Al-Qur'an dan Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah dan jujur misalnya dinilai baik? Tidak lain karena Syara' menilai semua sifat-sifat itu baik. Begitu Juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara' menilainya demikian.
13
Asmaran, AS, tt, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm.
1. 14
Menurut Mu'tazilah, baik dan buruk dalam amal perbuatan itu adalah dua zat (dzatiyani), artinya baik dan buruk dengan sendirinya, bukan disebabkan oleh faktor di luar dirinya. Misalnya jujur itu dinilai baik karena memang baik dengan sendirinya. Begitu sebaliknya, dusta itu dinilai buruk karena memang buruk dengan sendirinya. Syara' hanya berfungsi melegalisir atau menguatkan. Lihat Yunahar Ilyas, op. cit, hlm. 4.
Apakah Islam menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat dalam menentukan baik dan buruk? Atau dengan ungkapan lain dapatkah ketiga hal tersebut dijadikan ukuran baik dan buruk? Hati nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur'an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum 30; 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaranajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak.15 Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran. Oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata. Ukuran baik dan buruk harus dikembalikan kepada penilaian Syara'. Syara' tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena syara dan hati nurani berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT. Demikian juga halnya dengan akal pikiran. la hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Dan keputusannya bermula dari
pengalaman
15
empiris
kemudian
Asmaran AS, op. cit, hlm, hlm. 40.
diolah
menurut
kemampuan
pengetahuannya. Oleh karena itu keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subyektif.16 Demikianlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan prilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran. Dari uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), obyektif, komprehensif dan universal untuk me- nentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan yang lain-lainnya. Muhammad 'Abdullah Diraz dalam bukunya Dustur al-Akhlaq fi alIslam membagi ruang lingkup akhlaq kepada lima bagian: 1. Akhlaq
Pribadi
{al-akhlaq
al-fardiyah}.
Terdiri
dari:
(a)
yang
diperintahkan (al-awamir), (b) yang dilarang (an-na-wahi), (c) yang dibolehkan (al-mubahat) dan (d) akhlaq dalam keadaan darurat (almukhalafah bial-idhthirar). 2. Akhlaq Berkeluarga (al-akhlaq al-usariyah}. Terdiri dari: (a) kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa. al-ushul -wa al-furu’), (b) kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan (c) kewajiban terhadap karib kerabat {wajibat naha al-aqaribh).
16
Ibid, hlm 35.
3. Akhlaq Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtima'iyyah). Terdiri dari: (a) yang dilarang {al-mabzhurat), (b) yang diperintahkan (al-awamir} dan (c) kaedah-kaedah adab (qa'wa'idal-adab). 4. Akhlaq Bernegara (akhlaq ad-daulah}. Terdiri dari: (a) hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-'alaqah baina ar-rais wa as-sya'b), dan (b) hubungan luarnegeri (al-'alaqatal-kharijiyyah). 5. Akhlaq Beragama (al-akhlaq ad-diniyyah). 17 6. Yaitu kewajiban terhadap Allah SWT (wajibat nahwa Allah) Dari sistematika yang dibuat oleh 'Abdullah Daraz di atas tampaklah bagi kita bahwa ruang lingkup akhlaq itu sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal sesama makhluk-Nya. B. Pengertian dan Ruang Lingkup Materi Dakwah Maddah dakwah adalah masalah isi pesan atau materi yang disampaikan da'i pada mad'u. Dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, membahas yang menjadi maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas itu bisa dijadikan maddah dakwah Islam. Akan tetapi, ajaran Islam yang dijadikan maddah dakwah itu pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Akidah, yang meliputi: a. Iman kepada Allah 17
Yunahar Ilyas, op. cit, hlm. 5-6.
b. Iman kepada Malaikat-Nya c. Iman kepada Kitab-kitab-Nya d. Iman kepada Rasul-rasul-Nya e. Iman kepada hari akhir f. Iman kepada qadha-qadhar 2. Syari'ah a. Ibadah (dalam arti khas): - Thaharah - Sholat - Zakat - Shaum - Haji
b. Muamallah (dalam arti luas) meliputi: 1. Al-Qununul Khas (hukum Perdata); - Muamalah (hukum niaga) - Munakahat (hukum nikah) - Waratsah (hukum waris) - Dan lain sebagainya. 2. Al-Qanunul 'am (hukum publik); - Hinayah (hukum pidana) - Khilafah (hukum negara) - Jihad (hukum perang dan damai)
- Dan lain-lain 3. Akhlaq, yaitu meliputi: a. Akhlak terhadap khaliq b. Akhlak terhadap makhluk yang meliputi: −
Akhliq terhadap manusia a) Diri sendiri b). Tetangga c). Masyarakat lainnya
−
Akhlaq terhadap bukan manusia a). Flora b). Fauna c). Dan lain sebagainya18
a. Masalah Keimanan (akidah) Masalah pokok yang menjadi materi dakwah adalah akidah Islamiah. Karena akidah mengikat kalbu manusia dan menguasai batinnya. Dari akidah inilah yang akan membentuk moral (akhlaq) manusia. Oleh karena itu, yang pertama kali dijadikan materi dalam dakwah Islam adalah akidah atau keimanan. Dengan iman yang kukuh akan lahir keteguhan dan pengorbanan yang selalu menyertai setiap langkah dakwah.19 Akidah yang menjadi materi utama dakwah ini mempunyai ciri-ciri yang membedakan kepercayaan dengan agama lain, yaitu:
18 19
Jakarta:
Endang Saifuddin Anshari, 1996, Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, hlm. 71 Ali Yafie, 1992, Dakwah dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, (makalah seminar),
1. Keterbukaan melalui persaksian (syahadat). Dengan demikian seorang Muslim selalu jelas identitasnya dan bersedia mengakui identitas keagamaan orang lain. 2. Cakrawala pandangan yang luas dengan memperkenalkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh alam, bukan Tuhan kelompok atau bangsa tertentu. Dan soal kemanusiaan juga diperkenalkan kesatuan asal-usul manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam (QS. An-Nisa' ayat 1 dan QS. al-Hujarat: 13). 3. Kejelasan dan kesederhanaan diartikan bahwa seluruh ajaran akidah baik soal ketuhanan, kerasulan, ataupun alam gaib sangat mudah untuk dipahami. 4. Ketahanan antara iman dan Islam atau antara iman dan amal perbuatan. Dalam ibadah-ibadah pokok yang merupakan manifestasi dari iman dipadukan dengan segi-segi pengembangan diri dan kepribadian seseorang dengan kemaslahatan masyarakat yang menuju pada kesejahteraannya. Karena akidah memiliki keterlibatan dengan soal-soal kemasyarakatan. Aspek ajaran Islam tentang ketuhanan dan kepercayaan (akidah) pada intinya mengandung keyakinan terhadap ke-Maha Esa-an Allah swt. (tauhid) dan hari akhirat sebagai hari pembalasan. Dalam dakwah materi akan keyakinan tersebut harus diimbangi dengan pemahaman dan penghayatan yang mendalam serta ikrar yang tulus terhadap Dzat yang mutlak berdasarkan pemberitaan al-Qur'an, yang kemudian ditopang
dengan argumen-argumen rasional, sehingga mewujudkan pandangan dunia (weltannschauung, way of life) yang kokoh. Keyakinan demikian yang oleh al-Qur'an disebut dengan Iman. Iman merupakan esensi dalam ajaran Islam. Dan iman juga erat kaitannya antara akal dan wahyu. Dalam al-Qur'an istilah iman muncul dalam berbagai variasinya, muncul sekitar 244 kali. Yang paling sering adalah lewat ungkapan, "Wahai orang-orang yang beriman," yaitu sebanyak 55 kali. Meski istilah ini pada dasarnya pada para pengikut Nabi Muhammad, 11 di antaranya merujuk pada para pengikut Nabi Musa dan pengikutnya, dan 22 kali kepada para nabi lain dan para pengikut mereka. Dalam (QS. 2:177) pada ayat tersebut dijelaskan bahwa iman itu merupakan sebuah pengetahuan yang diperoleh oleh akal melalui argumen-argumen yang kuat yang membawa seseorang untuk tunduk dan menyerah. Orang yang memiliki iman haqiqy itu akan cenderung untuk berbuat baik, karena ia tahu bahwa perbuatannya itu adalah baik dan menjauhi perbuatan jahat, karena dia tahu perbuatan jahat itu akan konklusi pada hal-hal yang buruk. Dan iman haqiqy itu sendiri terdiri atas amal sholeh, karena mendorong untuk melakukan perbuatan yang riil. Posisi iman di sinilah yang berkaitan dengan dakwah Islam di mana amr ma'ruf nahi munkar dikembangkan. Yang kemudian menjadi tujuan utama dari suatu proses dakwah. Tauhid sebagai bagian yang mendasar dari iman, dalam kehidupan nyata, akan mengimplementasikan pembebasan manusia dari bentuk
perbudakan dan penyembahan terhadap selain Allah swt. Sementara itu, keyakinan terhadap hari akhirat akan berdampak perwujudan dari tanggungjawab manusia atas segala tindakannya selama hidup di dunia, sehingga setiap insani akan senantiasa menjalani hidup dengan rasa tanggung jawab, bahwa segala yang diperbuatnya pastikan mendapat balasan dari Allah swt. Hasil yang didapat dari materi tersebut adalah diharapkan dakwah mampu memberikan manusia sebuah kebebasan hidup, akan tetapi bukan kebebasan mutlak. Sebab kebebasan mutlak justru akan membawa manusia kepada kehancuran. Kebebasan manusia adalah kebebasan terbatas yang diikat oleh peraturan sebagai ramburambu yang membatasinya dari perbenturan kepentingan antara satu individu dan individu lainnya. Materi tentang akidah Islam terkait pula dengan ajaran tentang adanya malaikat, kitab suci, para rasul, dan kadar baik dan buruk. Dengan demikian ajaran pokok dalam akidah mencakup enam elemen, yang biasa disebut dengan rukun iman, Inti dari materi akidah ini adalah keyakinan tentang keesaan Allah swt. dan hari akhir, sedangkan selebihnya merupakan elemen-elemen yang mengukuhkan kedua inti akidah itu. b. Masalah Syar'iah Syariat Allah yang ditujukan untuk umat manusia itu pada dasarnya satu, dan risalah yang ditujukan untuk para nabi bersifat kekal dan abadi. Pangkalnya dimulai sejak Nabi Adam sedangkan cabangcabangnya berakhir sampai manusia terakhir, yaitu hingga terjadinya hari
kiamat. Nabi Muhammad sebagai Khatam al-Ambiya wa al-Mursalin (penutup para nabi dan rasul), sesungguhnya risalahnya tetap terkait hingga sekarang ini dan sampai hari kiamat. Dan karenanya Allah telah memberi syariat kepada manusia berupa agama itu yang esensinya satu, yaitu "Islam" dan tidak akan berubah dengan bergantinya nabi, serta tidak akan berubah dengan berubahnya masa. Prinsip dasar utamanya adalah menebarkan nilai keadilan di antara manusia, membuat sistem hubungan yang baik antara kepentingan individual dan sosial, mendidik hati agar mau menerima sebuah undang-undang untuk menjadi hukum yang ditaati.20 Secara umum agar tujuan tersebut dapat tercapai adalah ada syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi dalam syariat. Pertama, isi ketentuan Tuhan harus diketahui, atau setidaknya dapat diketahui. Kedua, manusia harus mampu bertindak, mengaktualisasikan ketentuan Tuhan dalam ruang waktu, alam atau ciptaan, harus dapat dibentuk, yaitu dapat diubah melalui perbuatan manusia menjadi seperti yang dikehendaki. Ketiga, harus ada penilaian, sehingga tindakan tidak sia-sia, namun membawa konsekuensi yang penting. Keempat, perhitungan pelaksanaan ketentuan Allah oleh manusia harus dilakukan berdasarkan neraca keadilan.21 Hukum atau syariat sering disebut sebagai cermin peradaban dalam pengertian bahwa ketika ia tumbuh matang dan sempurna, peradaban mencerminkan dirinya dalam hukum-hukumnya. Pelaksanaan 20
Muhammad Alwi Al-Maliki, 2003, Syariat Islam Pergumulan Teks dan Realitas, Jogyakarta: eLSQ Press, hlm. 123-124. 21 Ibid., hlm.295
syariat merupakan sumber yang melahirkan peradaban Islam, yang melestarikan dan melindunginya dalam sejarah. Dan syariat inilah yang akan selalu menjadi kekuatan peradapan di kalangan kaum Muslim.22 Materi dakwah yang bersifat syari'ah ini sangat luas dan mengikat seluruh umat Islam. la merupakan jantung yang tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam di berbagai penjuru dunia, sekaligus merupakan hal yang patut dibanggakan. Kelebihan dari materi syariat Islam antara lain adalah bahwa ia tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Dan syariat ini bersifat sangatlah universal, yang menjelaskan hak-hak umat Muslim dan non-Muslim, bahkan hak seluruh umat manusia. Dengan adanya materi syariat ini maka tatanan sistem dunia akan teratur dan sempurna. Di samping syariat ini mengandung dan mencakup kemaslahatan sosial dan moral. Dan materi dakwah dalam bidang syari'ah ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang benar, pandangan yang jernih, kejadian secara cermat terhadap hujjah atau dalil-dalil dalam melihat setiap persoalan pembaruan, sehingga umat tidak terperosok ke dalam kejelekan, sementara yang diinginkan dalam dakwah adalah kebaikan. Karena kesalahan dalam meletakkan posisi yang benar dan seimbang di antara beban syariat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Islam akan
22
Ismail. R. Al-Faruqi, ibid, h. 305. Disebutkan pula bahwa hukum yang membentuk syariat itu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: ibadah dan peribadatan, status pribadi, kontrak, kesalahan atau kerugian, hukum pidana, hukum konstitusional, perpajakan dan keuangan publik, hukum administrasi, hukum tanah, hukum perdagangan, hukum internasional, etika dan perilaku pribadi.
menimbulkan satu hal yang sangat membahayakan terhadap agama dan kehidupan. Namun demikian syariat Islam itu sangatlah luas dan luwes (fleksibel). Akan tetapi tidak berarti Islam lalu menerima setiap pembaruan yang ada, tanpa ada filter sebelumnya. Dan inilah yang akan dijadikan materi dakwah sebagaimana da'i mampu mengemas masalah syari'ah ini ke dalam permasalahan umat era sekarang yang bisa menjawab atau memberikan solusi terhadapnya. Dan terpenting materi syariat ini tidak bertentangan dengan sumber utamanya yaitu al-Qur'an dan Hadits. Karena Islam mengembangkan hukum lengkap (komprehensif) yang meliputi segenap kehidupan manusia. Kelengkapan mi mengalir dari konsepsi Islam tentang kehidupan manusia yang diciptakan untuk memenuhi ketentuan yang membentuk kehendak Ilahi. Dan materi dakwah yang menyajikan unsur syari'at harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas dalam bidang hukum yang bisa wajib, mubbah (dibolehkan), dianjurkan (mandub), makruh (dianjurkan supaya tidak dilakukan), dan haram (dilarang). c. Masalah Muamalah Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Dan Islam adalah agama yang menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Ibadah dalam muamalah di sini diartikan sebagai ibadah yang
mencakup hubungan dengan Allah dalam rangka mengabdi kepada Allah swt. Dan muamalah jauh lebih luas daripada ibadah. Hal demikian dengan alasan:23 a. Dalam al-Qur'an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar sumber hukum itu berkenaan dengan urusan muamalah. b. Adanya sebuah realita bahwa jika urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (bukan ditinggalkan). c. Ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perorangan. Karena itu sholat jamaah lebih tinggi nilainya daripada shalat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat. d. Bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifarat-nya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan muamalah. Sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan muamalah, maka urusan ibadah tidak dapat menutupinya. e. Melakukan amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatkan ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
23
Jalaludin Rachmat, 1998, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, hlm. 46.
d. Masalah Akhlak Ajaran tentang nilai etis dalam Islam disebut akhlak. Wilayah akhlak Islam memiliki cakupan luas, sama luasnya dengan perilaku dan sikap manusia. Nabi Muhammad saw. bahkan menempatkan akhlak sebagai pokok kerasulannya. Melalui akal dan kalbunya, manusia mampu memainkan perannya dalam menentukan baik dan buruknya tindakan dan sikap yang ditampilkannya. Ajaran Islam secara keseluruhan mengandung nilai akhlak yang luhur, mencakup akhlak terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, dan alam sekitar. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).24 Secara etimologis, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).25 Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai akhlaq yang hakiki manakala tindakan. atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Khaliq (Tuhan). 24 25
Abuddin Nata, 2002, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 1 Yunahar Ilyas, 2004, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI, hlm. 1.
Dari pengertian etimologis seperti ini, akhlaq bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.26 Secara terminologis (ishthilahan) ada beberapa definisi tentang akhlaq. Penulis pilihkan tiga di antaranya; 1. Imam al-Ghazali:
ﻔﺲ ﺭﺍﺳﺨﺔ ﻋﻨﻬﺎ ﺗﺼﺪﺭ ﺍﻻ ﻓﻌﺎﻝﻗﺎﳋﻠﻖ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﻫﻴﺌﺔ ﰱ ﺍﻟﻨ ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ ﻭﻳﺴﺮﻣﻦ ﻏﲑ ﺣﺎﺟﺔ ﺍﱃ ﻓﻜﺮﻭﺭﺅﻳﺔ "Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan." 27 2. Barmawi Umari, ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin.28 3. Ahmad Amin, akhlak adalah kebiasaan kehendak. Berarti bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaannya itu disebut akhlak.29 4. Asmaran, AS, akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya. Sifat itu dapat lahir berupa perbuatan baik, disebut akhlak yang mulia, 26
Ibid Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, 1989, Ihya Ulum ad-Din, Beirut: Dar al-Fikr, jilid III, hlm. 58. 28 Barmawie Umary, 1966, Materia Akhlak, Solo: Ramadhani, hlm. 1. 29 Ahmad Amin, 1975, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang, , hlm. 62. 27
perbuatan buruk, disebut akhlak yang tercela sesuai dengan pembinaannya.30 Keempat definisi yang dikutip di atas sepakat menyatakan bahwa akhlaq atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Dalam Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn dinyatakan tashduru al-afâl bi suhûllah 'wa yusr, min ghairi hâjah ilâ fikr ma ru'yah (yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan). Sifat spontanitas dari prilaku tersebut dapat diilustrasikan dalam contoh berikut ini. Bila seseorang menyumbang dalam jumlah besar untuk pembangunan mesjid setelah mendapat dorongan dari seorang da'i (yang mengemukakan ayat-ayat dan haditshadits tentang keutamaan membangun mesjid di dunia), maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat pemurah, karena kepemurahannya waktu itu lahir setelah mendapat dorongan dari luar, dan belum tentu muncul lagi pada kesempatan yang lain. Boleh jadi, tanpa dorongan seperti itu, dia tidak akan menyumbang, atau kalaupun menyumbang hanya dalam jumlah sedikit. Tapi manakala tidak ada doronganpun dia tetap menyumbang, kapan dan di mana saja, barulah bisa dikatakan dia mempunyai sifat pemurah. 30
hlm. 1.
Asmaran, AS, 2002, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
Contoh lain, dalam menerima tamu. Bila seseorang membeda-bedakan tamu yang satu dengan yang lain, atau kadangkala ramah dan kadangkala tidak, maka orang tadi belum bisa dikatakan mempunyai sifat memuliakan tamu. Sebab seseorang yang mempunyai akhlak memuliakan tamu, tentu akan selalu memuliakan tamunya. Dari keterangan di atas jelaslah bahwa akhlaq itu haruslah bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan serta dorongan dari luar. Sekalipun dari beberapa definisi di atas kata akhlaq bersifat netral, belum menunjuk kepada baik dan buruk, tapi pada umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka yang dimaksud adalah akhlaq yang mulia. Misalnya bila seseorang berlaku tidak sopan lalu dikatakan padanya, "kamu tidak berakhlaq". Padahal tidak sopan itu adalah akhlaqnya. Tentu yang kita maksud adalah kamu tidak memiliki akhlaq yang mulia, dalam hal ini sopan. Di samping istilah akhlaq, juga dikenal istilah etika dan moral. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaannya terletak pada standar masingmasing. Bagi akhlaq standarnya adalah Al-Qur'an dan Sunnah; bagi etika standarnya pertimbangan akal pikiran; dan bagi moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.31 Sekalipun dalam pengertiannya antara ketiga istilah di atas (akhlaq, etika dan moral) dapat dibedakan, namun dalam pembicaraan sehari-hari, bahkan dalam beberapa
31
Ibid, hlm. 9.
literatur keislaman, penggunaannya sering tumpang tindih. Misalnya judul buku Ahmad Amin, al-Akhlaq, diterjemahkan oleh Farid Ma'ruf dengan Etika (Ilmu Akhlaq). Dalam Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily, moral juga diartikan akhlaq.32 Adapun yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaimana pandangan Mu'tazilah.33 Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena Syara' (Al-Qur'an dan Sunnah) menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, syukur, pemaaf, pemurah dan jujur misalnya dinilai baik? Tidak lain karena Syara' menilai semua sifatsifat itu baik. Begitu Juga sebaliknya, kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? Tidak lain karena Syara' menilainya demikian. Apakah Islam menafikan peran hati nurani, akal dan pandangan masyarakat dalam menentukan baik dan buruk? Atau dengan ungkapan lain dapatkah ketiga hal tersebut dijadikan ukuran baik dan buruk? Hati 32 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1988, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia, hlm. 385. 33 Menurut Mu'tazilah, baik dan buruk dalam amal perbuatan itu adalah dua zat (dzatiyani), artinya baik dan buruk dengan sendirinya, bukan disebabkan oleh faktor di luar dirinya. Misalnya jujur itu dinilai baik karena memang baik dengan sendirinya. Begitu sebaliknya, dusta itu dinilai buruk karena memang buruk dengan sendirinya. Syara' hanya berfungsi melegalisir atau menguatkan. Lihat Yunahar Ilyas, op. cit, hlm. 4.
nurani atau fitrah dalam bahasa Al-Qur'an memang dapat menjadi ukuran baik dan buruk karena manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki fitrah bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-Rum 30; 30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenaran mutlak.34 Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah hanyalah merupakan potensi dasar yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga hati nuraninya tidak dapat lagi melihat kebenaran. Oleh sebab itu ukuran baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani atau fitrah manusia semata. Harus dikembalikan kepada penilaian Syara'. Semua keputusan Syara' tidak akan bertentangan dengan hati nurani manusia, karena kedua duanya berasal dari sumber yang sama yaitu Allah SWT. Demikian juga halnya dengan akal pikiran. la hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari kebaikan atau keburukan. Dan keputusannya bermula dari pengalaman empiris kemudian diolah menurut kemampuan
34
Asmaran AS, op. cit, hlm, hlm. 40.
pengetahuannya. Oleh karena itu keputusan yang diberikan akal hanya bersifat spekulatif dan subyektif.35 Demikianlah tentang hati nurani dan akal pikiran. Bagaimana dengan pandangan masyarakat? Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran baik dan buruk, tetapi sangat relatif, tergantung sejauh mana kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga. Masyarakat yang hati nuraninya sudah tertutup dan akal pikiran mereka sudah dikotori oleh sikap dan prilaku yang tidak terpuji tentu tidak bisa dijadikan ukuran. Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.
Dari uraian di
atas jelaslah bagi kita bahwa ukuran yang pasti (tidak spekulatif), obyektif, komprehensif dan universal untuk menentukan baik dan buruk hanyalah Al-Qur'an dan Sunnah, bukan yang lain-lainnya. Muhammad 'Abdullah Diraz dalam bukunya Dustur al-Akhlaq fi al-Islam membagi ruang lingkup akhlaq kepada lima bagian: 1. Akhlaq Pribadi {al-akhlâq al-fardiyah}. Terdiri dari: (a) yang diperintahkan (al-awâmir), (b) yang dilarang (an-na-wâhi), (c) yang dibolehkan (al-mubâhat) dan (d) akhlaq dalam keadaan darurat (almukhâlafah bi al-idhthirâr). 2. Akhlaq Berkeluarga (al-akhlâq al-usariyah}. Terdiri dari: (a) kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wâjibât nahwa. al-ushûl -wa al-
35
Ibid, hlm 35.
furû’), (b) kewajiban suami isteri (wajibât baina al-azwâj) dan (c) kewajiban terhadap karib kerabat {wâjibat nahwa al-aqârib).
.
3
Akhlaq Bermasyarakat (al-akhlaq al-ijtimâ'iyyah). Terdiri dari: (a) yang dilarang {al-mahzhûrât), (b) yang diperintahkan (al-awâmir} dan (c) kaedah-kaedah adab {qa'wâ'idal-adab}.
4. Akhlaq Bernegara (akhlâq ad-daulah}. Terdiri dari: (a) hubungan antara pemimpin dan rakyat (al-'alâqah baina ar-raîs wa as-sya'b), dan (b) hubungan luar negeri (al-'alâqât al-khârijiyyah). 5. Akhlaq Beragama (al-akhlâq ad-dîniyyah),36 yaitu kewajiban terhadap Allah SWT (wâjibât nahwa Allah) Dari sistematika yang dibuat oleh 'Abdullah Daraz di atas tampaklah bagi kita bahwa ruang lingkup akhlaq itu sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal sesama makhluk-Nya. C. Akhlak Sebagai Salah Satu Materi Dakwah Da'wah dapat diartikan "ishlah" yaitu usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebathilan, kema'siyatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, da'wah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang mungkar, memenangkan yang haq atas yang bathil.37 Dakwah merupakan bagian
36
Yunahar Ilyas,2004, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta, LPPI UMY, hlm. 5-6. Shalahuddin Sanusi, 1964, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Da'wah Islam, Semarang: Ramadhani, hlm. 11. 37
integral dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim.38 Dakwah adalah terma yang terambil dari al-Qur'an. Ada banyak ayat yang di antara kata-kata yang digunakannya adalah dakwah, atau bentuk lain yang akar katanya sama dengan akar kata dakwah, yaitu dal, ain, wawu.39 Islam adalah agama dakwah. Yaitu agama yang menugaskan umatnya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam kepada seluruh umat manusia. Sebagai rahmat bagi seluruh alam, Islam dapat menjamin terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia, bilamana ajaran Islam yang mencakup segenap aspek kehidupan itu dijadikan sebagai pedoman hidup dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh umat manusia.40 Da'wah Islamiyah artinya menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia, agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam.41 Pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi iman (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan
38
Awaludin Pimay, 2005, Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Dakwah Prof. KH. Saifuddin Zuhri, Semarang: RaSAIL, hlm. 1 39 Muhammad Sulthon, 2003, Menjawab Tantangan Zaman Desain Ilmu Dakwah Kajian Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerja sama Walisongo Press Semarang, hlm. 4 40 A.Rosyad Shaleh, 1976, Management Da'wah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 11 41 Isa Anshari, 1979, Mujahid Da'wah Pembimbing Muballigh Islam, Bandung: Diponegoro, hlm. 17
individual dan sosok kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu.42 Berda'wah dan bertabligh bukan hanya dengan lisan dan tulisan, tidak hanya dengan lidah dan pena. Tapi dengan teladan: lisanul 'amal, lisanul akhlak.43 Dalam konteksnya dengan akhlak, bahwa materi akhlak dalam tulisan ini ialah pengertiannya yang paling mendasar dalam percakapan sehari-hari, tidak dimaksudkan sebagai suatu yang hanya mengisyaratkan masalah kesopanan semata, melainkan sebagai konsep dan ajaran yang serba meliputi (komprehensif), yang menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah. Dengan demikian, ajaran dan pesan moral dalam makna yang seluas-luasnya, menurut Nurcholish Madjid,"44 mencakup keseluruhan pandangan dunia (Weltanschauung, world outlook) dan pandangan hidup (liehenanschauung, way of life'). Pembicaraan tentang etika atau moral dengan sendirinya tidak lepas dari pembicaraan tentang etika secara keseluruhan. Dalam kajian ini, pengertian etika, sebagaimana dikatakan Karl Barth, sebanding dengan pengertian moral, yang secara umum diberi pengertian sebagai filsafat, ilmu, atau disiplin tentang model-model tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia. Persamaan antara akhlak, dan moral, yaitu menentukan hukum/nilai perbuatan manusia dengan keputusan baik atau buruk. Perbedaan terletak pada 42
Amrullah Ahmad (Editor), 1985, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: PLP2M, hlm. 2 43 Isa Anshari, op.cit., hlm. 233 44 Nurcholish Madjid, 1992, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, hlm. 466
tolok ukurnya masing-masing, di mana akhlak dalam menilai perbuatan manusia dengan tolok ukur ajaran al-Qur'an dan Sunnah, dan moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat.45 Pada dasarnya, akhlak atau moral merupakan dimensi ketiga dari ajaran Islam sebagai materi dakwah setelah akidah dan syari'ah. Kalau akidah menyangkut permasalahan yang harus diimani dan diyakini oleh manusia sebagai sesuatu yang hakiki, syariah menyangkut berbagai ketentuan berbuat dalam menata hubungan baik dengan Allah dan sesama makhluk. Sementara itu, akhlak menyangkut berbagai masalah kehidupan yang berkaitan dengan ketentuan dan ukuran baik dan buruk atau benar salahnya suatu perbuatan. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan lahir dan dapat juga berupa perbuatan batin. Akhlak berkenaan dengan cara seseorang bertindak sehingga ia dapat mengukur dan diukur moralitasnya. Norma-norma keislaman ditentukan oleh pola-pola perilaku yang disebut akhlak. Norma-norma kehidupan yang ditetapkan oleh Islam, karena datang dari Allah, bersifat sakral, absolut, imperatif, akurat, dan universal. Dikatakan sakral karena norma-norma Islam memiliki keterhubungan dengan Allah sehingga keterikatan padanya merupakan ibadah yang berdampak pahala dan dosa. Dikatakan absolut dalam pengertian memiliki kemutlakan sebagai standar baik dan buruk, benar dan salah secara baku dan
45
Asmaran As, 2002, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, hlm. 7
tidak berubah, baik karena perbedaan budaya masyarakat maupun karena perkembangan waktu. Adapun dikatakan bersifat imperarif karena mengikat setiap orang. Akurat, dalam pengertian sangat pas dan tepat sebagai alat untuk mengendalikan perilaku manusia sehingga selaras dengan kepentingan penataan kehidupan yang damai dan harmonis serta universal dalam pengertian berlaku di mana pun dan kapan pun. Sangat jelas dinyatakan bahwa perbaikan akhlak merupakan tujuan inti dari setiap diutusnya rasul, sebagai penyampai risalah kerahmatan di tengah-tengah manusia.46 Masalah akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai materi dakwah) merupakan pelengkap saja, yakni untuk melengkapi keimanan dan keislaman seseorang. Meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap, bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah keimanan dan keislaman, akan tetapi akhlak adalah sebagai penyempurna keimanan dan keislaman.47 Akhlak juru dakwah harus sesuai dengan akhlak Islam seperti yang diterangkan Allah di dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sunnahnya, serta dipraktekkan oleh para sahabat dalam amal perbuatan mereka. Akhlak yang demikian harus dilaksanakan oleh setiap muslim lebihlebih lagi oleh juru dakwah, sehingga tidak ada suatu alasan untuk tidak melaksanakannya atau tidak bersedia melaksanakannya. Sebagian dari akhlak
46
Zahruddin dan Hasanuddin Sinaga, 2004, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 55 47 Asmuni Syukir, tt, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, al-Ikhlas, Surabaya, hlm. 62
yang telah dikemukakan dalam pembahasan mengenai akhlak, sesungguhnya hanya merupakan sebagian saja yang dianggap penting, yang mempunyai hubungan langsung dengan dakwah dan tugas juru dakwah, sehingga dengan demikian dakwahnya mendapat hasil yang lebih baik.48 Sistem akhlak yang berdasarkan Islam bertitik tolak dari kepercayaan (aqidah) yang diwahyukan Allah kepada para Rasul untuk disampaikan kepada umatnya. Ajaran Islam berdasarkan praktek yang dilakukan oleh Rasulullah saw menunjukkan bahwa pendidikan akhlakul karimah (akhlak yang mulia) merupakan faktor yang penting dalam membina umat atau suatu bangsa. Pendidikan akhlak mulia ini harus ditanyakan kepada seluruh lapisan dan tingkatan masyarakat. Akhlak suatu bangsa sangat menentukan tingkah laku perbuatannya untuk menjadi suatu bangsa yang terhormat atau sebaliknya hancur.49
48
Abdul Karim Zaidan, 1984, Dasar-dasar Ilmu Da'wah, Jakarta: Media Da'wah,
hlm. 64 49
Aminuddin Sanwar, 1987, Ilmu Da'wah Suatu Pengantar Studi, Semarang: Penerbit Fakultas Da'wah IAIN Walisongo, hlm. 92