BAB II DINAMIKA PROBLEMATIKA PENGUNGSI ASING DI DAERAH PROVINSI ACEH
Pada bab II ini, penulis akan membahas secara umum tentang gambaran wilayah provinsi Aceh. Diikuti dengan penjelasan bentuk pemerintah Aceh dari masa ke masa, seperti yang kita ketahui bahwa Aceh mengalami beberapa kali perubahan status terkait wilayah Aceh ini sendiri. Lalu, akan dijabarkan kebijakan politik provinsi Aceh berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Kemudian akan dijelaskan sejarah problematika kehadiran pengungsi asing di wilayah Aceh dari tahun ke tahun. Terakhir, terdapat penjelasan tentang dinamika kebijakan pemerintah Aceh terkait penanganan pengungsi asing di aceh. A. Gambaran Umum Wilayah Aceh Provinsi Aceh merupakan salah satu wilayah yang berada di Negara Indonesia. Aceh terletak diujung barat laut Sumatera ( 1˚40‟ – 6˚30‟ Lintang Utara dan 94˚40‟” - 98˚30‟ Bujur Timur ) dengan ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 58. 375,63 km2 atau 5. 677.081 Ha), wilayah lautan sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Ha dengan garis pantai 2.667,27 km2. Dengan cakupan wilayah Aceh yang terdiri dari 119 pulau, 35 gunung, serta 73 sungai utama. Secara administratif, provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, dan 6.455 kelurahan. 1
Wilayah Aceh terletak dekat dengan kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan dengan laut Andaman. Provinsi Aceh memiliki letak geografis yang sangat strategis sebagai gerbang lalu lintas perniagaan berskala nasional maupun internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat dengan batas wilayahnya yaitu sebelah utara berbatasan dengan selat malaka dan teluk Benggala, sebelah timur berbatasan dengan selat malaka dan provinsi sumatera utara, sebelah barat berbatasan dengan samudera Hindia, serta sebelah selatan berbatasan dengan provinsi sumatera utara dan samudera Hindia. 1 Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar serta landai memiliki jumlah sekitar 32 persen dari luas wilayah, sedangkan daerah berbukit hingga bergunung mencapai jumlah 68 persen dari luas wilayahnya. Wilayah Aceh juga memiliki ketinggian rata-rata 125 m diatas permukaan laut. Provinsi Aceh memiliki beragam kekayaan sumber daya alam antara lain gas alam, minyak bumi, pertanian, industri, perikanan darat dan laut, perkebunan serta pertambangan umum. Kekayaan sumber daya ini memiliki potensi yang sangat besar bila dikembangkan dengan baik dan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah daerah Aceh. Secara demografi, populasi penduduk provinsi Aceh berjumlah 5.096.248 jiwa. Adapun, jumlah penduduk Aceh ini semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Disamping itu, terdapat beberapa 13 1
Muhammad ibrahim, dkk., Sejarah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh , ( Jakarta: Proyek IDSN, 1991), Hlm.31.
2
kelompok etnis yang tersebar di wilayah Aceh yaitu suku Aceh, Jawa, Gayo, Batak, Alas, Simeulue, Tamiang, Aneuk Jamee, Singkil,dan lain sebagainya. Suku Aceh merupakan suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir mulai dari Daerah Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku gayo, gayo luwes dimana penduduknya mendiami wilayah Aceh di pengunungan tengah. Suku Aneuk jamee mendiami wilayah selatan Aceh. Serta masih banyak suku lain yang tersebar mendiami setiap bagian dari wilayah Aceh. Setiap kelompok etnis di Aceh memiliki bahasa daerah yang dituturkan dalam kesehariannya. Bahasa daerah yang paling banyak digunakan di wilayah Aceh adalah bahasa Aceh dari etnis Aceh. Penutur bahasa Aceh bisa dilihat di beberapa daerah seperti di kabupaten Aceh Barat, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Utara, sebagian kabupaten Aceh Selatan,dan beberapa daerah pesisir dan pedalamannya. Selebihnya, penduduk provinsi Aceh merupakan penutur bahasa Gayo, Alas, Tamieng, Jamee, Singkil, Kluet, Sigulai, dan Defayan. 2 Berdasarkan sejarah, islam pertama kalinya masuk ke indonesia melalui peisisir pulau Sumatera (Aceh) pada abad 1 Hijriah. Dimana daerah yang pertama dimasuki islam yaitu Peureulak, kemudian menjalar ke Tamieng, Pase, Lingga, Lamuri, Pidie, dan Jaya. Kerajaan islam yang pertama berdiri di kepulauan Nusantara bahkan mungkin di Asia Tenggara
2
Budiman Sulaiman, Bahasa Aceh, (Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan bahasa, 1979), hlm.1.
3
yaitu kerajaan islam Peureulak pada tahun 840 M. 3 Masuknya agama serta budaya di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh letak daerah Aceh sebagai pintu gerbang lalu lintas kebudayaan dan perdagangan yang menghubungkan barat dan timur, serta menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Eropa, China, Arab, dan India sehingga menjadikan wilayah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di Nusantara. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terdiri dari kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa serta diberi kewenangan khusus untuk mengelola, mengurus pemerintahan dan kepentingan daerahnya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan republik Indonesia berdasarkan Undang-undang dasar 1945. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan Aceh ini terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Salah satu hal yang diatur dalam Undang-undang tersebut adalah pemberlakuan Qanun yang merupakan perundang-undangan
sejenis
peraturan
daerah
yang
mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Selain itu, penyelenggaraan hukum syariat islam juga dituangkan dalam perundang-undangan pemerintahan Aceh, dimana tindakan implementasi dari penegakan syariat islam masih dilakukan dalam masyarakat Aceh.
3
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, ( Jakarta: BEUNA, 1983), hlm. 36-44.
4
B. Bentuk Pemerintahan Aceh Dari Masa ke Masa Berdasarkan sejarah umat manusia, masyarakat Aceh telah mendiami wilayah Aceh sejak masa pleistosin, dimana masa ini berlangsung kira-kira antara tiga juta sampai 10.000 tahun sebelum sekarang. Temuan kerangka dari masa tersebut bisa dilihat di daerah sepanjang pantai timur sumatera ( mulai sekitar Medan hingga daerah Aceh Utara ). Lalu, keadaan geografis provinsi Aceh yang sangat penting tersebut membentuk jaring lalu lintas internasional yang menjadikan tempat persinggahan oleh banyak Negara. Terdapat banyak tulisan dari beberapa tokoh dunia yang bercerita tentang Aceh sejak masa kuno ( ± abad ke-1 ( 1-1500 M). Mengkaji tentang pemerintahan Aceh memang baiknya ditilik dari zaman berdirinya kerajaan Aceh, arus penjajahan kolonial Belanda dan Jepang, lahirnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh, hingga lahirnya Undang-undang otonomi khusus bagi wilayah Aceh. Aceh adalah tempat pertama masuknya agama Islam di Indonesia dan tempat timbulnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun oleh Sultan Ali Mughayat Syah dengan ibukotanya di Bandar Aceh Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas wilayahnya yang meliputi sebagian besar pantai Barat dan Timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin bertambah kokoh dengan terbentuknya
5
Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. 4 Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “ Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu
mempertahankan
kebesaran
kerajaan
tersebut.
Sehingga
kedudukan daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai dimasuki pengaruh dari luar.5 Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di Sumatera. 6 Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan perang kepada Sultan Aceh. Tantangan yang disebut „Prang Sabi‟ ini berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa yang cukup besar tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Tgk. Muhd. Daud untuk mengakui kedaulatan
4
Acehprov, “sejarah provinsi Aceh”, http://www.acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html, pada tanggal 15 November 2016 5 Ibid., 6 Hardi, SH, Daerah Istimewa Aceh Latar Belakang Politik dan Masa Depannya , (Jakarta: PT. Karya Unipress, 1993), hlm. 14.
6
Belanda di tanah Aceh. Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk propinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi karesidenan hingga kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Pemberontakan melawan penjajahan Belanda masih saja berlangsung sampai ke pelosok- pelosok Aceh.7 Kemudian peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada tahun 1942. Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tahun 1945. Dalam jaman perang kemerdekaan, sumbangan dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar, sehingga Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno memberikan julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh. Sejak bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia sebagai sebuah karesidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen. Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status.Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan
7
Acehprov, Loc.Cit.,
7
adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh. Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April 1948 ditetapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Utara meliputi keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Selatan, dengan pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin. Dalam menghadapi agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik Indonesia, Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia Nomor 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan Sipil dan Militer kepada Gubernur Militer.8 Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. beberapa waktu kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950
8
Ibid,.
8
propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik yang menyebabkan
terganggunya
stabilitas
keamanan,
ketertiban
dan
ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh wilayah bekas keresidenan Aceh.9 Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama,
9
Ibid.,
9
adat dan pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.10 Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan alam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur " Aceh ". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan
10
Ibid.,
10
Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.11 C. Kebijakan Politik Pemerintah Aceh; Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Aceh ialah suatu provinsi yang terdiri dari kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat Aceh sesuai perundang-undangan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan Indonesia sangat mengakui dan menghormati satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Pemberian otonomi khusus ini tidak terlepas dari perjalanan ketatananegaraan yang disebut dalam poin menimbang huruf b dan c didalam UUPA tentang pemerintahan Aceh yaitu “ berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa terkait dengan salah satu karakter khas perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi, dimana ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at islam yang melahirkan budaya islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI ”.12
11
Ibid., Biro Hukum dan Humas Setda Provinsi Aceh NAD, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh, (Banda Aceh: Biro Hukum dan Humas Setda Provinsi NAD bekerjasama dengan GTZ IS ALGAP II,2009), hal. 1-10. 12
11
Dasar kehidupan masyarakat Aceh yang religius membentuk sikap dan daya juang yang tinggi serta budaya islam yang kuat. Hal ini menjadi pertimbangan utama penyelenggaraan keistimewaan bagi Aceh dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999. Lalu, pembentukan kawasan Sabang dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000 dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh dan pertumbuhan
mendorong
ekonomi dan pembangunan di kawasan Aceh. Dalam
penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dipandang kurang memberikan kehidupan didalam keadilan,sehingga kondisi ini belum dapat mengurangi pergolakan di provinsi Aceh.sehingga pemerintah kembali melahirkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Namun penyelenggaraan Undang-undang ini belum juga memadai dalam mengimplementasikan segala aspirasi dan kepentingan pembangunanan ekonomi dan keadilan politik. Hal inilah yang mendorong lahirnya Undang-undang tentang Pemerintah Aceh dengan prinsip otonomi khusus seluas-luasnya, dimana isi dari UUPA ini merupakan adopsi atau turunan dari Nota Kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005. Pemberian otonomi khusus seluas-luasnya di bidang politik kepada masyarakat Aceh serta mengatur pemerintah daerah dengan prinsip good governace, dengan tujuan untuk memakmurkan
dan
mensejahterakan 12
masyarakat
Aceh.
Dalam
penyelenggaraan otonomi khusus yang seluas-luas ini, masyarakat Aceh memiliki peran dalam merumuskan, menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan pemerintah daerah. Berdasarkan penjelasan diatas, maka baiknya jika kita menjelaskan secara singkat beberapa kebijakan poltik pemerintah Aceh berdasarkan UUPA Nomor 11 tahun 2006. Adapun kebijakan politik pemerintah Aceh, yaitu: 1. Pembagian Daerah Aceh dan kawasan khusus : Daerah Aceh dibagi atas kabupaten/kota, kecamatan,mukim, kelurahan dan gampong. Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh
dan
kabupaten/kota.
Kawasan
khusus
tersebut
diperuntukkan untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas. 2. Kewenangan pemerintah Aceh dan kabupaten/kota : pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah, seperti urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik
luar
negeri,
pertahanan,
keamanan,
kekuasaan
kehakiman, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam agama. 3. Lembaga Wali Nanggroe : merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, 13
dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat, dan upacara adat lainnya. Jadi, lembaga ini buka merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe, dimana beliau berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga. 4. Lembaga Adat : merupakan lembaga yang memiliki fungsi sebagai ruang partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat Aceh. Dimana setiap penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga adat yang dimaksud yaitu: Majelis Adat Aceh, Imeum Mukim, Tuha Peut, Tuha Lapan, Imeum Meunasah, Keujreun Blang, Panglima Laot, Pawang Glee, Peutua Seunenboh, Haria Peukan, Syahbanda. Dimana tugas dan wewenang lembaga adat tersebut diatur dalam Qanun Aceh. 5. Syari‟at islam dan pelaksanaannya : syari‟at islam dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah, dan akhlak dimana syariat islam yang dimaksud ini ialah ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, 14
syiar, dan pembelaan islam. Ketentuan pelaksanaan syariat islam ini diatur didalam qanun Aceh. Setiap pemeluk agama islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari‟at islam, dan setiap orang yang tinggal dan berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari‟at islam. Dan pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan syari‟at islam. 6. Mahkamah Syariah : peradilan syari‟at islam merupakan bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah syariah. Dimana mahkamah syariah ini merupakan suatu pengadilan bagi setiap orang yang beragama islam dan berada di Aceh. Mahkamah syariah memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara dalam bidang hukum keluarga, hukum perdata, hukum pidana, yang didasarkan oleh syariat islam. 7. Perekonomian
:
perekonomian
di
Aceh
merupakan
perekonomian yang terbuka serta tanpa hambatan dalam bidang investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional, dimana diselenggarakan atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan, serta menjaga keseimbangan kemajuan kabupaten/kota di Aceh. 15
8. Sosial : pemerintah, pemerintah Aceh dan kabupaten/kota memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pelayanan sosial dasar kepada penyandang sosial, menyediakan akses yang memudahkan kehidupan penduduk Aceh yang meyandang
masalah
sosial,
mengupayakan
penangangan/penanggulangan korban bencana (alam/sosial), dan merehabilitasi sarana publik serta membantu merehabilitasi harta benda perseorangan yang hancur akibat bencana. 9. Qanun, Peraturan Gubernur, dan Peraturan Bupati/Walikota : qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA.
D. Sejarah Problematika Kehadiran Pengungsi Asing di Aceh Jejak sejarah dari masuknya para imigran di wilayah Aceh ini dapat dilihat dari beberapa tahun belakang. Dimana Gelombang arus manusia perahu tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebenarnya kedatangan para pengungsi asing di wilayah aceh beberapa waktu lalu, tepatnya pada bulan Mei 2015 bukanlah kali pertama bagi Aceh dalam menerima para imigran. Hal ini bisa ditilik dari awal tahun 2009, 2011, 2012, 2013, 2015, serta pada pertengahan tahun 2016. Berikut akan
16
dipaparkan secara singkat kilas sejarah kedatangan pengungsi asing di Aceh dari awal tahun 2009 sampai pertengahan 2016. 1. Tahun 2009 Wilayah provinsi Aceh pertama kali didatangi oleh pengungsi asing pada awal tahun 2009. Pada Desember 2008, terdapat kurang lebih 1.200 masyarakat dari etnis Rohingya
yang meninggalkan
Myanmar menuju Thailand. Namun, kedatangan mereka tidak disambut dengan baik oleh pihak otoritas Thailand. Hal tersebut dinyatakan oleh perdana menteri Thailand Abhisit Vejjajiva dalam pengakuannya terkait adanya pejabat pemerintah Thailand yang memerintahkan agar para pengungsi beretnik Rohingya ini didorong kembali ke laut lepas. 13 Dimana tujuan sebenarnya mereka adalah ingin mendapatkan suaka di Malaysia. Mereka yang sempat terdampar di Thailand dan ditolak oleh otoritas pemerintahan disana dan dikembalikan lagi melalui jalur laut ini membuat para pengungsi sempat terkatung-katung di tengah laut akibat kehabisan bahan bakar.Para pengungsi Rohingya yang telah meninggalkan Thailand tersebut ada yang tiba ke wilayah laut Andaman Aceh. Terdapat dua gelombang manusia perahu etnis Rohingya yang berhasil mendarat di wilayah Indonesia tepatnya di Provinsi Aceh. Gelombang pertama, tepatnya pada tanggal 7 Januari 2009, terdapat 193 orang yang terdampar di wilayah Sabang. Lalu, 13
Anonym, “ Thailand akui dorong Rohingya ke laut”, http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31421, pada tanggal 4 Desember 2016
17
gelombang kedua tepatnya pada tanggal 3 Februari 2009, nelayan menemukan kapal kayu yang berisi 198 orang, lalu TNI AL berupaya menyelamatkan seluruh penumpang kapal serta menemukan 20 orang meninggal di dalam kapal tersebut,
pengungsi ini terdampar di
wilayah Idi Rayeuk, Aceh Timur.14 Berdasarkan dari hasil verifikasi pada tanggal 9 Februari 2009, total pengungsi yang terdampar di wilayah Aceh adalah sebanyak 391 orang, dimana diantaranya terdapat 56 orang yang berasal dari Bangladesh. Para pengungsi yang terdampar di Sabang menempati kamp pengungsian TNI AL. Sedangkan, mereka yang terdampar di Aceh Timur ditampung di kantor camat Idi Rayeuk dan sebagian dari mereka ada yang menempati rumah nelayan dan warga sekitar disana sampai menunggu proses investigasi dan verifikasi yang jelas terkait kedatangan mereka. Penanganan terhadap pengungsi asing ini dilakukan oleh banyak pihak, baik dari masyarakat setempat, pemerintah daerah, serta lembaga swadaya masyarakat. dukungan
kemanusiaan
Pemerintah setempat
selama
mereka
memberikan
menempati
kamp
pengungsian, seperti penyediaan kebutuhan pangan yang disuplai oleh Depsos, penanganan medis juga ditangani pihak PMI Provinsi Aceh, dan penyediaan Shelter bagi pengungsi. Kepedulian terhadap pengungsi rohingya ini terlihat dari antusias rakyat setempat yang tidak ingin mereka dideportasi bahkan Himpunan Ulama Dayah Aceh 14
Kontras Aceh &PCC, “ pengungsi, Negara,dan UNHCR”, http://waa-aceh.org/pengungsi-negaradan-unhcr/, pada tanggal 4 Desember 2016
18
(HUDA), hal ini terlihat dari pernyataan sekjen HUDA Tgk.Faisal Aly, beliau menyampaikan akan siap menampung seluruh pengungsi asing ini baik dalam waktu sementara dan permanen karena hal tersebut merupakan dukungan moral bagi kaum muslim dan sekitar 500-an dayah (pesantren) di Aceh siap menampung warga Myanmar tersebut. 15 dukungan moral lainnya juga diberikan bagi pengungsi ini baik dalam bentuk obat-obatan maupun tenaga medis. Kemudian disusul pada tanggal 14 mei 2009, nelayan Aceh menyelamatkan 55 pengungsi asing dari Sri lanka yang berenang ke tepian setelah kapal yang mereka tumpangi hancur terkena hantaman gelombang tinggi di perairan wilayah Aceh, tepatya di perairan desa Alue Rumbok, Nagan Raya. 16 Mereka mengaku meninggalkan Sri lanka dengan tujuan Australia untuk mencari suaka politik karena daerah mereka sedang dilanda konflik bersenjata. Warga Sri Lanka yang terdampar di kawasan Nagan Raya ini semuanya berstatus lakilaki. Penanganan langsung dilakukan oleh masyakat setempat dan juga dari pihak kepolisian setempat. Kepala polisi Nagan Raya Ari Subianto mengatakan mereka ditemukan dalam kondisi sangat lemah, setelah berenang sekitar dua kilometer ke pantai. Kondisi ini langsung membaik setelah ditangani dengan memberi makan dan diperiksa oleh
15
Anonym,” pengungsi Rohingya bagaikan di kampung sendiri di Aceh”, http://www.republika.co.id/berita/shortlink/32047, pada tanggal 4 Desember 2016 16 Ellin Yunita Kristanti,” 55 pengungsi Sri Lanka terdampar di Aceh”, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/58079-55-pengungsi-sri-lanka-terdampar-di-aceh, pada tanggal 4 Desember 2016
19
tenaga medis. 17 55 pengungsi asal Sri Lanka ditampung di lapas Meulaboh, Aceh Barat. 2. Tahun 2011 Pada tanggal 16 Februari 2011, 129 warga etnis muslim Rohingya ditemukan oleh masyarakat setempat di sebuah perahu di perairan dekat Krueng Raya, Aceh Besar. Para pengungsi yang semuanya berstatus laki-laki ini ditemukan terkatung-katung selama 20 hari di laut setelah mesin perahu kayu milik mereka macet. Ketika ditemukan, mereka dalam keadaan sangat lemah dan kelelahan. Akhirnya tujuh diantara mereka harus menjalani perawatan, dan tiga diantaranya hari menerima infus untuk memulihkan kondisi kesehatan mereka. Mereka mengaku meninggalkan negaranya dengan alasan untuk menghindari tekanan ataupun kekerasan terhadap suku Rohingya. Penanganan langsung dilakukan oleh aparat kepolisian daerah Aceh. 18 Para pengungsi ini ditampung di fasilitas pelabuhan laut Malahayati dibawah pengawasan polisi. Selain itu, bantuan juga mengalir dari para warga setempat, dimana ada yang memberi pakaian dan bantuan lainnya. 3. Tahun 2012 Pada tanggal 1 Februari 2012, sebanyak 54 orang etnis Rohingya ditemukan terdampar di daerah Krueng Geukueh, Aceh 17
Ibid,. Anonym, “ puluhan orang Rohingya terdampar di Aceh”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2011/02/110216_rohingyamen.shtml, pada tanggal 4 Desember 2016 18
20
Utara. Mereka di diselamatkan oleh para nelayan Aceh dengan memboyong para pengungsi asing ini ke pesisir pantai di wilayah tersebut. 19 Lima diantara 54 warga Myanmar ini berusia dari 12 tahun sampai 15 tahun. Panglima laot kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Jamali Abdullah mengatakan mereka terombang-ambing di laut dengan kondisi mesin perahu mati karena kehabisan bahan bakar. Kondisi para pengungsi asing ini juga dalam keadaan lemah dikarenakan stok makanan habis. Para warga Myanmar telah berlayar selama 15 hari dengan tujuan ke Thailand. Mereka pun diduga melarikan diri dari negaranya guna menhindari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh junta militer terhadap etnis Rohingya, serta berharap bisa mendapatkan suaka politik dari negara lain. Penanganan terhadap para pengungsi ini langsung dilakukan oleh beberapa pihak baik dari masyarakat Aceh setempat, aparat kepolisian, pihak imigrasi, serta pihak pemerintah daerah. Kabid Humas Polda Aceh, Komisaris Besar Polisi Gustav Leo saat dikonfirmasi membenarkan puluhan warga Myanmar ini ditemukan terdampar di Krueng Geukueh. Warga Rohingya ini sempat ditampung di Mushalla Blukat Teubai, selanjutnya mereka dibawa ke gudang PT.PIM. penanganan selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan memberi bantuan logistik serta pemeriksaan kesehatan secara medis. pemerintah daerah serta pihak imigrasi akan 19
Redaksi, “ 54 etnis Rohingya terdampar di Krueng Geukueh”, https://www.acehkita.com/54etnis-rohingya-terdampar-di-krueng-geukuh/, pada tanggal 4 Desember 2014
21
memindahkan mereka ke suatu tempat di daerah Lhoksemawe guna memudahkan proses verifikasi dan perolehan status untuk mereka. Penanganan juga dilakukan oleh masyarakat setempat dengan membantu dengan memberikan makanan dan minuman, dan lain sebagainya. Selain itu, terdapat kesulitan dalam menangani para pengungsi ini yaitu adanya kendala terhadap bahasa. Mereka tidak bisa berbahasa inggris ataupun indonesia, sehingga warga kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka.20 4. Tahun 2013 Pada tanggal 26 Februari 2013, sebanyak 118 warga etnis Rohingya terdampar di pesisir pantai Desa Cot Trueng, Aceh Utara. Nelayan Aceh setempat menemukan mereka yang terombang-ambing di atas sebuah kapal dengan kondisi mesin mati, sekitar 150 mil dari tepi perairan Lhoksemawe. Para nelayan ini langsung menyelamatkan serta menarik mereka ke daratan, mereka juga ditemukan dalam kondisi kelaparan. Para warga etnis Rohingya ini sudah 27 hari di atas laut. Mesin boat dari kapal yang ditumpangi hanya bertahan hidup sampai 15 hari, sisanya mereka hanya mengandalkan arus laut saja. Mereka juga mengaku terpaksa melarikan diri dari Myanmar karena konflik bersenjata terus terjadi di daerahnya. Salah satu pengungsi asing
yang
bernama
Syamsul
20
menyebutkan
banyak
yang
Pipiet Tri Noorastuti & Riza Nasser,” manusia perahu Myanmar terdampar di Aceh”, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/284801-manusia-perahu-myanmar-terdampar-diaceh, pada tanggal 4 Desember 2016
22
menyarankan, bila ingin lari dari kejaran otoritas rezim pemerintah Myanmar,maka lari saja ke Aceh. Informasi tentang Aceh dikenal di kalangan warga rohingya sebgai daerah yang memliki mayoritas muslim dan dikenal suka membantu serta menolong. Ia menambahkan tidak keinginan lain pergi ke negara lain, hanya Aceh yang menjadi tujuan hidup mereka. 21 Sejumlah warga langsung membawa para pengungsi asing ini ke Meunasah setempat untuk diberi pertolongan darurat. Masyarakat setempat diketahui memberikan penanganan sangat baik, seperti memasak nasi, dan bantuan lainnya. 22 Penanganan dari pihak pemerintah daerah ialah memberikan otoritas kepada pihak imigrasi Lhoksemawe untuk menangani para pengungsi. Albert selaku salah satu petugas imigrasi Lhoksemawe mengatakan para pengungsi tersebut akan ditampung sementara di kantor imigrasi lama Lhoksemawe, yang berlokasi di Punteut, Lhoksemawe, untuk dilakukan pendataan terlebih dahulu. Lalu, pada tanggal 1 Maret 2013, para pengungsi yang sempat ditampung di bekas kantor imigrasi Punteut kota Lhoksemawe, provinsi Aceh ini
21
Irwansyah Putra, “124 warga Myanmar terdampar di Aceh Utara”, http://www.antarasultra.com/berita/266751/124-warga-myanmar-terdampar-di-aceh-utara, pada tanggal 4 Desember 2016 22 Anonym,” pengungsi Rohingya terdampar di Aceh Utara”, https://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/27/058464066/pengungsi-rohingya-terdampardi-aceh-utara, pada tanggal 4 Desember 2016
23
diambil alih penanganannya oleh Badan Dunia International Migration Organization.23 Kemudian pada tanggal 28 Februari 2013, rombongan imigran ilegal etnis Rohingya kembali terdampar dan diselamatkan oleh warga setempat di perairan Idi, Aceh Timur. 63 imigran ini ditemukan terdampar oleh nelayan Aceh Timur, sekitar 100 mil dari kawasan pantai. Para nelaya tersebut menemukan boat tanpa mesin dalam kondisi terapung-apung, dimana banyak ditemukan orang didalamnya. Para imigran ini terlihat dalam kondisi lemas dan mengalami dehidrasi. Kapolres Aceh Timur AKBP Muhajir mengatakan, 63 imigran etnis Rohingya ini terdiri dari 14 anak dibawah umur 7 tahun, 9 remaja, 10 perempuan dewasa, dan 30 laki-laki.24 Penanganan awal langsung ditangani oleh pihak kepolisian setempat. Kapolres juga langsung melakukan koordinasi dengan pihak imigrasi dan pemerintah daerah setempat untuk penanganan dan pertolongan sementara, baik dalam hal medis, pangan, maupun kebutuhan lainnya. Pengungsi yang kondisinya lemas dan kelaparan tersebut disambut masyarakat dan pemerintah daerah Aceh Timur dengan memberi bantuan makanan. Pemerintah Aceh Timur mengambil inisiatif untuk mengantar mereka ke tempat penampungan
23
Imran, “ pengungsi Rohingya di Aceh Utara ditangani oleh IOM”, https://m.tempo.co/read/news/2013/03/01/058464546/pengungsi-rohingya-di-aceh-utaraditangani-iom, pada tanggal 4 Desember 2016 24 Daspriani Y. Zamzami, ” lagi, etnis Rohingya terdampar di Aceh”, http://internasional.kompas.com/amp/read/2013/03/01/17303689/Lagi.Etnis.Rohingya.Terdam par.di.Aceh, pada tanggal 4 Desember 2016
24
sementara di gedung UPTD perikanan Aceh Timur. Lalu dipindahkan ke gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB)
di kota Langsa.
Pemerintah Aceh Timur juga menfasilitasi bantuan untuk bahan makanan. Fasilitas kesehatan ditangani oleh dinas kesehatan dengan mendirikan posko di lokasi penampungan. Selain fasilitas yang diberi oleh pemerintah daerah, masyarakat sekitar juga terus berdatangan untuk menyumbangkan pakaian layak pakai bagi pengungsi. Selain itu, Forum Peduli Rakyat Miskin (FPRM) juga melakukan pedampingan bagi pengungsi Rohingya.25 Kedatangan pengungsi asing tidak berhenti disitu saja, pada tanggal 8 April 2013, puluhan warga Rohingya terdampar di pulau Aceh, Aceh Besar. Sebanyak 76 muslim Rohingya, terdiri dari lima anak-anak, lima perempuan, dan 66 pria berlayar dengan kapal kayu sebelum terddampar di perairan yang memiliki jarak 14,5 kilometer dari daratan Banda Aceh. 26 Kepolisian Resort Aceh Besar Ajun Komisaris Besar polisi Djadjuli, mengatakan tujuan dari pengungsi yang terdampar ini ialah ke Australia guna mencari suaka politik, namun dalam perjalanan, kapal kayu yang mereka tumpangi kehabisa bahan bakar, sehingga mereka mencari pulau terdekat untuk menyelamatkan diri. Kondisi pengungsi ini ditemukan dalam keadaan
25
Anonym,” FPRM dampingi pengungsi Rohingya AcehTimur”, http://www.acehtraffic.com/2013/03/fprm-dampingi-pengungsi-rohingya-aceh.html, pada tanggal 4 Desember 2016 26 Suryanta Bakti Susila,” Foto: pengungsi Rohingya kembali terdampar di Aceh”, http://m.viva.co.id/berita/nasional/403607-foto-pengungsi-rohingya-kembali-terdampar-di-aceh, pada tanggal 5 Desember 2016
25
lemas dan kelaparan. Warga Pulo Aceh setempat memberikan banyak pertolongan dan bantuan baik makanan, dan bantuan lainnya bagi pengungsi.27 Penanganan langsung dilakukan oleh kepolisian Resort dan pemerintah daerah Aceh Besar. Para pengungsi yang awalnya ditampung di penampungan sementara Pulo Aceh dipindahkan ke Banda Aceh, tepatnya di komplek Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Aceh Besar. Pemerintah daerah setempat meminta agar pengungsi dipindahkan, lantaran fasilitas penampungan dan kesehatan kurang memadai di Pulo Aceh. Menurut Djadjuli, mereka ditempatkan dikomplek pelabuhan Malahayati Krueng Raya untuk sementara waktu karena ada tempat yang bisa digunakan sebagai penampungan. Penanganan juga dilakukan dengan mendata setiap pengungsi. Pemerintah daerah juga telah melakukan koordinasi dengan pihak imigrasi, serta menunggu petunjuk lebih lanjut dari International Organization Migration (IOM) maupun United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).28 Disusul pada tanggal 29 Juli 2013, sebanyak 68 pengungsi beretnis Rohingya terdampar di pantai kecamatan Teunom, Aceh Jaya. Mereka terdampar karena boat yang ditumpangi mengalami kerusakan
27
Anonym,” lihat pengungsi Rohingya,warga Aceh berikan makan”, https://m.tempo.co/read/news/2013/04/08/058471888/lihat-pengungsi-rohingya-warga-acehberikan-makan, pada tanggal 5 Desember 2016 28 Anonym,” pengungsi Rohingya di bawa ke Banda Aceh”, https://m.tempo.co/read/news/2013/04/08/058471823/pengungsi-rohingya-dibawa-ke-bandaaceh, pada tanggal 5 Desember 2016
26
berat. Para pengungsi ini ditemukan oleh nelayan Aceh setempat. Pengevakuasian terhadap mereka ke daratan langsung dilakukan oleh nelayan, warga, polisi, dan sukarelawan lainnya. Menurut Kapolres Aceh Jaya, Ajun Komisaris Besar Galih Sayudo, para pengungsi ini mengaku romobongan dari Malaysia menuju ke Australia. Seluruh pengungsi ini ditampung di gedung panti asuhan kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Penanganan lebih lanjut dilakukan oleh warga dan pihak Dinas Sosial Aceh Jaya dalam bekerjasama
untuk
emmenuhi
kebutuhan
mereka
selama
di
penampungan sementara. Pihak kepolisian juga telah berkoordinasi dengan pihak imigrasi yang selanjutnya melapor kepada IOM dan UNHCR Sumatera Utara.29 5. Tahun 2015 Tahun 2015 merupakan tahun bagi wilayah Aceh dimana peningkatan masuknya imigran ilegal sangatlah tinggi. Diawali pada tanggal 10 Mei 2015, terdapat empat kapal yang mengangkut 576 jiwa pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di perairan Aceh Utara, tepatnya di kecamatan Seunudon. 576 jiwa pengungsi asing ini terdiri dari 247 warga Bangladesh dan 329 warga Myanmar. Kapal yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar, sehingga karam di lepas pantai Aceh. Beruntung, Nelayan Aceh menyelamatkan
29
Anonym,”puluhan pengungsi Rohingya terdampar di Aceh”, https://pemilu.tempo.co/read/news/2013/07/29/058500684/Puluhan-Pengungsi-RohingyaTerdampar-di-Acehpada, tanggal 5 Desember 2016
27
mereka. Mereka ditemukan dalam keadaan lemas dan kelaparan. Dalam perjalanan, terjadi banyak peristiwa seperti penumpang yang meninggal akibat kelaparan dan mati dibunuh oleh tekong kapal yang mereka tumpangi. Para tekong kapal juga meninggalkan mereka di lautan. Tujuan dari imigran Bangladesh adalah ingin ke Malaysia untuk mendapatkan pekerjaan. Sedangkan, Rohingya ingin melarikan diri dari konflik di Myanmar. Penanganan terhadap pengungsi dilakukan sangat baik oleh pemerinrtah daerah setempat. Pemerintah daerah setempat berjanji akan menyediakan temat yang layak bagi pengungsi. Bantuan makanan dan pemeriksaan medis bagi pengungsi terus dilakukan. Kabid Humas polda Aceh, AKBP Teuku Saladin mengatakan setelah didata oleh pihak imigrasi dan kepolisian Aceh Utara, mereka akan dievakuasi sementara di gedung olah raga Lhoksukon, Aceh Utara.30 Setelah sempat ditampung di gedung olah raga, pemerintah daerah Aceh Utara memutuskan untuk memindahkan ratusan pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh ini ke lokasi penampungan baru di Tempat Pelalangan Ikan atau TPI Kuala Cangkoi. 31 Empat bangunan di TPI ini belum pernah digunakan, sehingga lokasi penampungan baru ini dapat menampung pengungsi yang berjumlah lebih dari 500 orang.
30
Anonym,” ratusan orang Rohingya terdampar di Aceh”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150510_aceh_rohingya_kapal, pada tanggal 5 Desember 31 Anonym,” pengungsi Rohingya, kelaparan dan kelelahan”, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/05/150514_rohingya_aceh_update, pada tanggal 5 Desember 2016
28
Juru Bicara Pemkab Aceh Utara Amir Hamzah menyatakan fasilitas sanitasi di TPI Kuala Cangkoi lebih baik dibandingkan GOR Lhoksukon yang ditempati pengungsi yang diselamatkan oleh nelayan. Ini merupakan lokasi yang paling dapat menampung mereka yang ada di Aceh Utara sebelum dipindahkan oleh pihak imigrasi. Selain itu, bantuan juga terus mengalir dari pihak masyarakat seperti memberikan pakaian bekas, beras, buah-buahan, hingga obat-obatan.32 Kemudian pada tanggal 15 Mei 2015, pengungsi asing ini datang dalam dalam dua gelombang. Pertama, sekitar 682 jiwa pengungsi dari Bangladesh dan Myanmar ditemukan terdampar di pantai Langsa, bagian timur provinsi Aceh. Mereka Mereka terdiri dari 425 warga Bangladesh, dan 231 warga Myanmar. Mereka diselamatkan oleh para nelayan Aceh setempat. Para nelayan ini juga meminta bantuan terhadap polisi air untuk pengevakuasian para pengungsi ini. menurut informasi, mereka sempat masuk ke perairan Malaysia namun ditolak oleh angkatan laut malaysia. Mereka ditemukan dalam kondisi lemas akibat dehidrasi dan kelaparan. Para pengungsi ini ditampung di penampungan sementara di pelabuhan Kuala Langsa. Kedua, sekitar 49 jiwa pengungsi ditemukan terdampar di pesisir pantai Manyak Payed, Aceh Tamiang. Mereka diselamatkan oleh nelayan setempat. Penangangan juga dilakukan oleh pihak
32
Syahrul Anshari & Zulkarnaini Muchtar, ” menyelamatkan pengungsi Rohingya”, http://www.viva.co.id/kemenpar/read/625672-menyelamatkan-pengungsi-rohingya, pada tanggal 5 desember 2016
29
pemerintah daerah guna memudahkan proses pemeriksaan dan pemeberian bantuan bagi pengungsi. Para pengungsi ini ditampung sementara di Gedung Pemda Aceh Tamiang, Lalu disusul pada tanggal 19 Mei 2015, sekitar 409 jiwa pengungsi ditemukan terdampar di wilayah perairan Julok, Aceh Timur.
Mereka terdiri dari 342 warga Myanmar dan 67 warga
Bangladesh. Para pengungsi ini diselamatkan oleh nelayan Simpang Lhee yang melihat perahu ini terombang-ambing di tengah laut. Penanganan langsung ditangani oleh pemerintah daerah Aceh timur secara baik. Menurut wakil Bupati Aceh Timur, Syahrul bin Samaun, para pengungsi ini adalah tamu yang harus mereka agungkan, selaku pemerintah daerah mereka siap untuk menyediakan semua keperluan yang dibutuhkan. Para pengungsi ini ditampung di lahan bekas pabrik kertas di kecamatan Birem Bayeun. Lahan pabrik ini sangatlah luas, beberapa tenda didirikan untuk menampung para pengungsi ini. Bantuan juga terus mengalir dari pihak masyarakat Aceh setempat, berupa pakaian bekas, selimut, kasur, makanan ringan, dan tikar.33 Pengungsi asing yang datang antara tanggal 10 - 20 mei 2015 di wilayah Aceh ini berjumlah 1.807 orang. Jumlah yang besar ini membuat pihak IOM dan UNHCR turut membantu pemerintah dalam menangani pengungsi ini
33
Dhanny Amardhanu,” pengungsi Rohingya ditampung di bekas pabrik kertas”, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20150522092645-106-54962/pengungsi-rohingyaditampung-di-bekas-pabrik-kertas/, pada tanggal 5 Desember 2016
30
6. Tahun 2016 Pada tanggal 11 Juni 2016, sebanyak 44 imigran asal Sri Lanka ditemukan terdampar di perairan Lhoknga, Aceh Besar. Mereka terdiri dari 20 laki-laki, 15 perempuan, dan 9 Anak.
34
Diketahui, para
imigran ini memiliki tujuan awal yaitu menuju ke Australia. Namun, kapal yang mereka tumpangi mengalami kerusakan mesin, sehingga terdampar di kawasan Lhoknga. Para pengungsi yang terdampar ini langsung di beri bantuan logistik. Beda halnya dengan kondisi pengungsi sebelumnya, para imigran asal Sri Lanka ini memiliki dokumen yang lengkap dan dalam keadaan yang baik. IOM juga turut dalam menangani pengungsi yang terdampar ini.35 Pengungsi ini dipindahkan menuju penampungan sementara di Lhoksemawe. Pemindahan ini diputuskan dalam rapat koordinasi oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Pemindahan ini didasari oleh keadaan kapal yang mereka tumpangi mengalami kerusakan berat, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali berlayar ke pulau Christmas, Australia.
34
Hanna Azarya Samosir , “kapal berisi 44 imigran Sri Lanka terdampar di Aceh”, http://www.cnnindonesia.com/internasional/20160616181414-106-138689/kapal-berisi-44imigran-sri-lanka-terdampar-di-aceh/, pada tanggal 5 Desmber 2016 35 Endah Lismartini & Dinia Andrianjara ,” pengungsi Tamil Sri Lanka terdampar di Aceh”, http://dunia.news.viva.co.id/news/read/786200-pengungsi-tamil-sri-lanka-terdampar-di-aceh, pada tanggal 5 Desember 2016
31
E. Arus Migrasi Pengungsi Para penyintas yang diselamatkan oleh nelayan Aceh pada bulan Mei 2015 lalu, terdiri dari campuran etnis Rohingya dari Myanmar dan etnis lainnya dari Bangladesh. Mereka terlibat dalam 2 bentuk perjalanan/migrasi yaitu migrasi dipaksakan dan migrasi sukarela. Disebut migrasi terpaksa dikarenakan adanya pemaksaan secara langsung ataupun ancaman terhadap keselamatan hidupnya hingga memilih keluar dari negara asalya. Sedangkan migrasi sukarela adalah karena adanya pilihan perjalanan untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. Etnis Rohingya yang berasal dari Myanmar merupakan etnis minoritas tanpa pengakuan kewarganegaraan yang motivasi utamanya melakukan imigrasi adalah untuk mencari perlindungan dari tindakan penyiksaan dan diskriminasi, dikarenakan kurangnya perlindungan dari negara. Sementara sebagian besar dari warga Bangladesh tersebut memilih keluar dari negara asalnya dengan tujuan mencari pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik, dengan pengecualian sejumlah kasus kecil migrasi dengan pemaksaan baik oleh sebab diculik maupun penipuan oleh para penyeludup.36
1. Faktor Pendorong Migrasi Secara Terpaksa Etnis Rohingya Gelombang masuknya pengungsi etnis Rohingya dari Myanmar telah berlangsung sejak beberapa dekade terakhir, tepatnya sejak deklarasi kemerdekaan Myanmar dari Inggris Raya 36
Yayasan Geutanyoe, Hidup dalam penantian ( setahun pengungsi Rohingya di Aceh), (Aceh: The Geutanyoe Foundation, 2016), hal.4.
32
pada tahun 1948, lalu disusul dengan berbagai mekanisme tindakan diskriminasi guna membatasi mobilitas dan pertumbuhan warga Rohingya disana. Puncaknya terjadi pada tahun 1982 ketika UU kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dari beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam etnis lainnya dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil lainnya. Status etnis Rohingya kemudian diturunkan menjadi temporary resident dan hanya menyandang temporary registration cards. Jauh sebelum UU kewarganegaraan disahkan, Myanmar disahkan, pemerintah Myanmar juga telah berkali-kali membuat kebijakan keras terhadap warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan mengusir mereka keluar dari Myanmar.37 Berbagai faktor diskriminasi, pelanggaran HAM berat, serta kemiskinan yang dihadapi etnis Rohingya membuat mereka terpaksa keluar dari Myanmar, ditambahkan mereka harus melewati perjalanan yang buruk dan berbahaya dan terdampar di wilayah perairan Indonesia, Thailand, dan Malaysia dalam kondisi yang memprihatinkan. UNHCR mencatat dalam 3 tahun terakhir lebih dari 123.000 orang pengungsi etnis Rohingya keluar dari Myanmar melalui laut dengan menggunakan kapal. Secara umum, pengungsi Rohingya telah menjadikan Malaysia sebagai destinasi
37
Ibid., hal.5
33
utama, dimana Thailand menjadi lokasi transit menunggu kesempatan untuk bisa menuju ke Malaysia baik melalui darat dan laut. Sementara untuk Indonesia sendiri, para pengungsi Rohingya ini umumnya rombongan penumpang kapal yang terlunta-lunta di laut
dan
diselamatkan
oleh
nelayan
atas
pertimbangan
kemanusiaan. 38
2. Faktor Pendorong Migrasi Sukarela Warga Bangladesh Latar belakang sosial masyarakat Bangladesh berbeda dengan warga etnis Rohingya, demikian pula motivasi migrasi keduanya. Bangladesh umumnya migrasi dikaitkan dengan kondisi negaranya yang jumlah pengangguran sangat tinggi. Hal inilah yang menjadikan warga Bangladesh bermigrasi ke nagara lain guna mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Antara 1976-2015 diperkirakan 9,3 juta rakyat Bangladesh telah bermigrasi mencari pekerjaan ke seluruh penjuru dunia. Bangladesh juga bergantung pada devisa dari luar negeri, dengan kostribusi hingga 12% dari GDP/PDB negara. Bertahun-tahun, kegiatan migrasi menjadi semakin beresiko dan para pencari kerja pun semakin berani mengambil resiko, termasuk melakukan perjalanan secara ilegal dan berbahaya, mengambil pinjaman, hingga terperangkap dalam jebakan hutang rentenir. Trend kini, jaringan penyeludup semakin
38
Ibid.,
34
mengakar dalam masyarakat, dengan para agen secara bebas bekerja dalam komunitasnya. Sebagaiman terbukti kemudian, sejumlah besar warga Bangladesh terperangkap dalam krisis perahu Mei 2015 lalu adalah korban perdagangan manusia dan umurnya berusia di bawah 18 tahun.39
3. Perjalanan Laut yang Berbahaya Pelayaran maritim di teluk Benggala dan laut Andaman bukanlah yang baru. Bahkan selama bertahun-tahun menjadi modus utama migrasi bagi pengungsi Rohingya yang berlayar dari Myanmar ke Malaysia melalui Thailand. Jumlah pengungsi Rohingya yag berangkat dari teluk Benggala terus meningkat sejak 2012. UNHCR memperkirakan lebih dari 150.000 jiwa etnis Rohingya dan Bangladesh telah meninggalakan negaranya dengan menggunakan kapal sejak 2012. Satuan pengawasan maritim UNHCR menjelaskan antara Juni 2012 dan Agustus 2014, diperkirakan 87.000 Rohingya dan Bangladesh melakukan perjalanan laut berbahaya dari teluk Benggala. Dan sekitar 3 bulan pertama
2015,
diperkirakan
25.000
orang
Rohingya
dan
Bangladesh berangkat secara tidak teratur lewat laut dari teluk Benggala, atau berjumlah dua kali lipat dari periode yang sama di
39
Ibid., hal.6
35
tahun 2014. Setidaknya ada sekitar 400 jiwa dilaporkan telah meninggal di laut.40 Pengungsi, imigran korban penyeludupan dan perdagangan manusia itu menghadapi pelecehan di tangan para calo. Di dalam kapal mereka tidka diberi makanan dan minuman secara memadai dan terpaksa tinggal dalam kondisi sempit dan sesak selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Diketahui pula, bahwa sejumlah pengungsi perempuan menerima pelecehan seksual dari kru kapal, demikian pula anak-anak turut mengalami kekerasan.41
4. Mengapa Aceh ? Lokasi geografis provinsi Aceh yang terletak di selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas kapal internasional, menjadikan Aceh sebagai bagian dari negara Indonesia yang pertama kali dijumpai kapal-kapal pengungsi yang terkatung-katung di tengah lautan. Demikian halnya, lalu lintas kelompok nelayan Aceh yang beroperasi menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) menjadi faktor penting yang kemudian mempertemukan para
pengungsi
Rohingya
ini
dengan
masyarakat
Aceh.
Keberuntungan itu ditambahkan dengan adat laot ( tradisi bahari) rakyat Aceh yang mewajibkan seluruh nelayan Aceh untuk menolong siapapun yang dijumpai dan membutuhkan bantuan di 40 41
Ibid., hal. 7 Ibid,.
36
laut. Hal ini mencatatkan Aceh sebagai daerah terdepan Indonesia yang terlibat dalam upaya penyelamatan pengungsi Rohingya di Indonesia. Terhitung sejak tahun 2009, nelayan Aceh telah berulang
kali
menyelamatkan
rombongan
pengungsi
yang
terdampar ini. 42 Aceh dan Indonesia sedianya bukan menjadi tujuan awal dari pelarian. Berhubung sikap keras yang ditunjukkan pemerintah Malaysia dan Thailand terhadap para pendatang ilegal ini, menjadikan Aceh sebagai harapan terakhir bgai para pengungsi dan imigran yang terkatung-katung ini. Trend kedatangan pengungsi Rohingya dan imigran Bangladesh ke Aceh tampaknya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sikap ramah dan terbuka secara alamiah ditunjukkan oleh masyarakat Aceh menjadi magnet bagi pengungsi,khususnya etnis Rohingya, selain terdapat kesamaan agama dan cara hidup tradisional. Fenomena kecenderungan Rohingya untuk menjadikan Aceh sebagai destinasi utama pengungsiannya tampaknya akan terus berlangsung hingga tahuntahun kedepan.43
42 43
Ibid., hal.8 Ibid,.hal.9
37
F. Dinamika Kebijakan Pemerintah Aceh Terhadap Pengungsi Asing di Aceh Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, tidak tertera pengaturan yang mengatur tentang penanganan terhadap pengungsi asing. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 7 ayat 1 dan ayat 2. Pasal 7 ayat 1 menjelaskan, “bahwasanya pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah”. Sedangkan dalam pasal 7 ayat 2 menjelaskan, “bahwa kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama”. Dari pernyataan pasal di atas kita bisa menyimpulkan bahwasanya kebijakan terkait penangangan pengungsi merupakan suatu kewenangan pemerintah pusat. Sehingga pemerintah daerah sebenarnya tidak memiliki kewenangan dalam menangani pengungsi asing. Seperti
yang telah tertera dalam bagian sejarah pengungsi di
Aceh. sejak awal tahun 2009, wilayah Aceh telah didatangi oleh banyak imigran ilegal maupun pengungsi asing dari etnis Rohingya dan Bangladesh. Kedatangan para pengungsi asing ini pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Atas dasar tersebut, pemerintah Aceh pun harus mengambil langkah kebijakan terkait pengungsi, termasuk dalam 38
penanganannya dan mendorong atau meminta pemerintah pusat untuk melakukan penanganan terhadap pengungsi.
Dari awal tahun masuk
pengungsi di wilayah Aceh, pemerintah Aceh mengambil kebijakan untuk menerima kedatangan para pengungsi ini. Pemerintah Aceh tidak pernah mengusir para pengungsi yang telah terdampar di Aceh. Pihak pemerintah Aceh pun terus memberikan upaya penanganan yang terbaik. Dinamika kebijakan pemerintah Aceh terhadap pengungsi bisa dikaji dari awal tahun para pengungsi dan imigran ilegal ini terdampar di wilayah Aceh, yaitu tahun 2009 sampai pertengahan tahun 2016. Dalam jenjang waktu yang panjang tersebut, kita bisa melihat bahwasanya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kebijakan pemerintah Aceh terhadap pengungsi. Bila dirunut dari awal penanganan atas pengungsi asing tersebut, sebenarnya nelayan Aceh merupakan satu-satunya aktor yang pertama kali menyelamatkan para pengungsi yang terkatung-katung di lautan lepas ini. Setelah diselamatkan, barulah para nelayan ini akan menghubungi pihak kepolisian untuk melakukan penanganan yang lebih lanjut. Lalu pihak kepolisian dan pemerintah daerah akan melakukan penanganan darurat bagi para pengungsi, dan melakukan koordinasi dengan pihak imigrasi serta pemerintah pusat untuk penanganan lebih lanjut,lalu pemerintah pusat akan memberi kewenangan bagi IOM maupun UNHCR untuk melakukan langkah penanganan bagi pengungsi terkait status pengungsi agar bisa dilakukan resettlement ataupun repatriasi.
39
Penanganan pemerintah Aceh sejak awal pengungsi masuk ke wilayah Aceh telah ditangani secara luar biasa. Baik dari penyediaan kamp pengungsian, bantuan makanan, dan lain sebagainya. Bila pemerintah pusat belum merespon terkait penanganan pengungsi, maka penyediaan kebutuhan pengungsi akan disediakan oleh pemerintah daerah dalam waktu sementara melalui penggunaan anggaran pemerintah daerah. Masyarakat Aceh pun sangat antusias dalam membantu para pengungsi tersebut. Banyak bantuan yang mengalir bagi para pengungsi ini, jadi pemerintah Aceh sangat terbantu atas bantuan yang diberikan oleh pihak masyarakat. Secara formal pada tanggal 28 Januari 2013, di Aceh sudah tidak ada lagi pengungsi Rohingya yang ditampung di wilayah Aceh. Mereka telah dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi ( Rudenim) terdekat antara lain Rudenim Medan-Belawan, dan Tanjung Pinang. Dalam hal ini, imigran Bangladesh bersedia dipulangkan ke negara asalnya. Sedangkan pengungsi Rohingya tidak bersedia, dikarenakan alasan keamanan yang mencekam di negaranya.44 Namun, pengungsi dari etnis Rohingya dan
Bangladesh yang
datang pada Mei 2015 merupakan pengungsi yang terdampar dalam jumlah yang relatif banyak serta menjadi sorotan dunia. Pengungsi ini diselamatkan oleh nelayan setelah berhari-hari terombang-ambing di laut.
44
Heri Aryanto, “ PIARA Indonesia :kondisi faktual muslim rohingya Myanmar”, https://www.academia.edu/3377924/PIARA_Indonesia_Kondisi_Faktual_Muslim_Rohingya_Miy anmar, pada tanggal 5 Desember 2016
40
Sehingga, pemerintah Aceh mengambil kebijakan untuk melakukan koordinasi yang lebih mendalam dengan pemerintah pusat serta pihak yang terkait seperti IOM, UNHCR, Dinas kesehatan, Dinas Sosial, Imigrasi, dan pihak terkait lainnya untuk pendataan, serta masalah pemenuhan kebutuhan lainnya. Masyarakat Aceh sejak beberapa tahun terakhir telah memainkan peran penting bagi penyelamatan para pengungsi yang terkatung-katung di laut. Kini Pemerintah Aceh bertindak lebih jauh dengan turut menampung para pengungsi di wilayahnya sebelum memperoleh penempatan ke Negara ketiga. Berbeda dengan kawasan lain di Indonesia, masyarakat dan pemerintah di Aceh sejak awal tidak menganggap para pengungsi ini sebagai pendatang ilegal, sehingga tidak menempatkan mereka ke dalam Rudenim, tapi mengalokasikan sejumlah lokasi yang bisa dipakai untuk membangun penampungan bagi para pengungsi.45 Berikut beberapa inovasi penanganan kemanusiaan dari pemerintah Aceh terhadap pengungsi asing, yaitu: -
Pembangunan
komplek
penampungan/shelter
pengungsi,
dilengkapi dengan fasilitas umum yang dibutuhkan oleh pengungsi seperti bangunan kelas untuk belajar, balai pertemuan, mushalla, dan lain-lain. Pemda-pemda Aceh berhasil
45
menjalin
mitra
Ibid., hal. 13
41
dengan
lembaga
donor
dan
kemanusiaan internasional sejak penyusunan master plan pembangunan. -
Pemda di Aceh bersama konsorsium lembaga kemanusiaan berhasil menyusun Standard Operasional dan Prosedur (SOP) dan kode etik tentang panduan kerja penanganan panduan kerja penanganan kemanusiaan bagi pengungsi lintas negara dan berhasil melakukan konsultasi publik atas hal tersebut sebagai panduan bersama dalam penanganan pengungsi di Langsa dan Aceh Timur.
-
Pemko Langsa dan Aceh Timur bersama lembaga-lembaga kemanusiaan baerhasil menyekolahkan anak-anak pengungsi ke sistem pendidikan formal, yaitu tingkat PAUD ( 6 anak di pemkot Langsa) daa sekolah dasar (15 anak, 6 anak di Pemkot Langsa, dan 9 anak di Kabupaten Aceh Timur).46
46
Yayasan Geutanyoe, Loc.Cit., hal.17-19
42