BAB II DESKRIPSI TEORI DAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritis
2.1.
Tinjauan Kepemimpinan
a. Hakikat Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan unsur penting karena menyangkut hubungan antara pemimpin dengan karyawan. Hal ini memberikan implikasi bahwa kepemimpinan merupakan rangkaian kegiatan yang saling berhubungan satu sama lain. Rangkaian ini berisisi kegiatan menggerakkan, membimbing dan mengarahkan serta mengawasi orang lain baik secara perorangan maupun bersama-sama. Dalam kaitan ini, Fulan (2000, hal. 3) mengemukakan pendapatnya bahwa : “Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi anggota organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang sudah dirumuskan oleh pemimpin
dan
anggota
organisasi
lainnya.
Ini
artinya
bahwa
kepemimpinan bukan hanya didefinisikan dari sudut jabatan, tapi lebih tepatnya, kepemimpinan ini adalah kemampuan seseorang untuk
10
mempengaruhi orang lain tanpa paksaan untuk mencapai sesuatu yang sudah dirumuskan sebelumnya oleh anggota organisasi.” Sedangkan Payaman J. Simanjuntak (1993:42) menyatakan bahwa : “Kepemimpinan atau leadership adalah kemampuan menggerakkan orang-orang terutama bawahan untuk dapat bekerja secara bersamasama dan produktif untuk mencapai sasaran atau tujuan perusahaan atau organisasi”. Berdasarkan
kajian
tersebut,
kepemimpinan
berhubungan
dengan
bawahan, teman sekerja, langganan dan atasan. Untuk itu, setiap pemimpin harus mampu menjelaskan sasaran atau tujuan organisasi, apa manfaatnya serta dukungan apa yang diharapkan bawahan. Ini berarti, pemimpin harus mampu menumbuhkan motivasi, terutama motivasi bawahan untuk bertindak dan melakukan kerja. Hal ini dapat dilakukan melalui teknik-teknik persuasi dan memberikan perintah sesuai dengan perubahan sitiuasi dan kondisi termasuk tantangan dan peluang-peluang baru yang dihadapi perusahaan. Kondisi demikian mengakibatkan pemimpin harus mengambil keputusan, program
yang
dilaksanakan
dan
pilihan
akternatif.
Ini
memberikan
interprestasi bahwa Kepemimpinan efektif afalah pemimpin yang mempunyai hubungan saling menunjang dengan bawahan. Kepemimpinan efektif cenderung menerapkan pengambilan keputusan kelompok daripada individu,
11
dan mendorong bawahan agar memiliki kinerja tinggi. Kepemimpinan efektif harus memperhatikan tiga factor, yaitu pemimpin dan bawahan, isi pekerjaan dan
lingkungan.
Kepemimpinan
efektif
terutama
berkaitan
dengan
menggerakkan karyawan untuk menghasilkan kinerja tinggi. Miftah Thoha (1983 ; 292), pemimpin agar menjadi efektif maka harus melakukan usaha-usaha sebagai berikut : 1. Mengetahui dan mengemukakan kebutuhan-kebutuhan bawahan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat dikontrol pimpinan. 2. Member insentif kepada bawahan yang memiliki kinerja tinggi. 3. Membuat suatu jalan yang mudah dilewati oleh bawahan untuk menaikkan prestasinya dengan cara latihan dan pengarahan. 4. Mebantu bawahan dengan menjelaskan apa yang bisa diterapkan. 5. Menaikkan kesempatan-kesempatan untuk memuaskan bawahan yang memungkinkan tercapainya efektivitas. Dengan demikian, Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang dapat memadukan dan mengkombinasikan tiga dimensi yaitu kondisi pimpinan, kondisi bawahan dan konsidi pekerjaan. Seorang tenaga supervisi pada satu saat dapat efektif bila bergeser sedikit diantara demokratis dan otoriter. Akan tetapi pada saat yang lain akan efektif bila kepemimpinannya bergeser diantara demokratis dan liberal.
12
Dalam kaitan ini, Handy dalam soebagio (1992 ; 42) menelaah kepemimpinan pada 3 (tiga) pola pemikiran yang diklarifikasikan sebagai (a) teori karakteristik personalitas; (b) teori kontigensi dan (c) teori gaya kepemimpinan. Teori
karakteristik
personalitas
menekankan
pada
pribadi-pribadi
dibandingkan situasi dan kondisi lingkungan. Teori kontigensi menitikberatkan pada 3 (tiga) factor situasional yaitu (a) hubungan atasan/ pimpinan dan bawahan, (b) struktur tugas dan (c) ketataan posisional. Sedangkan teori gaya
kepemimpinan
menekankan
pada
penciptaan
kombinasi
pengembangan pemikiran sosiologis dan pendekatan psikologis. Titik tolak pemikiran adalah pegawai bersedia kerja keras (efektif), jika menerapkan gaya yang akomodatif. Teori ini mendasari pada pandangan perilaku atasan dan bawahan antara lain : (a) Struktur
inisiatif
yang
merupakan
tingkat
keterlibatan
pimpinan
menentukan peran dirinya dan peran bawahan yang bersofat komunikasi atau satu arah (b) Pertimbangan yang merupakan tingkat perilaku pimpinan terhadap bawahan yang dicerminkan pada rasa saling mempercayai, saling menghormati, member dukungan pada ide-ide bawahan dan komunikasi yang bersifat dua arah.
13
Sehubungan dengan hal diatas, efektivitasnya organisasi bergantung pada kualitas kepemimpinan. Soebagio (1999;4) mengemukakan bahwa : 1. Esensi kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi sikap orang lain, apakah dia pegawai bawahan, rekan sekerja atau atasan. 2. Adanya pengikut yang dipengaruhi, baik dalam bentuk anjuran, bujukan, sugesti, perintah, saran, atau bentuk lainnya. 3. Adanya tujuan. Berdasarkan hal di atas, pemimpin adalah orang yang memegang kedudukan dan memiliki kelebihan dibandingkan rata-rata anggota kelompok terutama kecerdasan, pendidikan, daya tahan dalam melaksanakan tanggung jawab, aktivitas dan partisipasi sosial dan status ekonomi. Keith Devis (1974:373) mengemukakan beberapa sifat yang perlu dimiliki pemimpin. Sifat-sifat ini adalah sebagai berikut : 1. Kecerdasan Hasil penelitian membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan anggotanya. Namun demikian, pemimpin tidak perlu melampaui kecerdasan anggota. 2. Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial Pimpinan cenderung matang dan mempunyai etos dan emosi yang stabil, serta perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas sosial. 3. Motivasi diri dan dorongan berprestasi 14
Pemimpin secara relatif mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk berprestasi. Mereka bekerja mendapatkan penghargaan yang intrinstik dan ekstrinstik. 4. Sikap-sikap hubungan kemanusiaan Pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan dan berpihak pada pengikutnya. Berdasarkan hal tersebut, maka syarat-syarat seorang pemimpin adalah sebagai berikut: 1. Intelegensi 2. Inisiatif 3. Energy atau rangsangan 4. Kedewasaan emosional 5. Persuasif 6. Skill kompetitif 7. Kepercayaan pada diri sendiri 8. Perseptif 9. Kreativitas 10. Partisipasi sosial Berdasarkan definisi yang dijelaskan para ahli diatas, maka fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut :
15
1. Penciptaan visi Pemimpin mempunyai visi yang jelas. Visi ini harus sejalan dengan visi yang dimiliki organisasi. 2. Penegasan nilai-nilai Pemimpin menetapkan pedoman perilaku dalam bentuk norma-norma sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam kerangka organisasi.
3. pemberdayaan pengikut Pemimpin dapat memberdayakan pengikut organisasi melalui : a) Meningkatkan pengetahuan ketrampilan sikap dan perilakunya b) Pendelegasian wewenang atau kekuasaan c) Memberikan dukungan dan memotivasi pengikut
4. Penciptaan sinergi Penciptaan sinergi berarti pemimpin berusaha untuk mengelola konflik agar mengarah ke konflik konstruktif yang menciptakan yang baru, kemudian mempersatukan pengikut agar mampu menciptakan sinergi 5. Penciptaan perubahan Pemimpin harus menjadi inspirasi untuk melakukan perubahan sesuai kebutuhan
dan
persaingan
secara
regional,
nasional
maupun
internasional. Proses ini dapat diimplementasikan melalui proses sebagai organisasi pembelajar. 16
6. Memotivasi pengikut Pemimpin harus memberikan motivasi kepada pegawai sesuai tingkat kebutuhan khususnya menyangkut kebutuhan yang bersifat primer 7. Mewakili system sosialnya Pemimpin harus merefleksikan kehidupan pribadi yang dapat memberikan contoh kepada pegawai khususnya dalam melakukan interaksi sosial.
b. Gaya Kepemimpinan
Pemimpin tidak mungkin mempunyai sifat kepemimpinan yang harus dimiliki pemimpin pada tingkatan yang lebih tinggi. Dalam kenyataannya, dilingkungan kerja yang berbeda memerlukan tipe dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Oleh sebab itu, sifat pemimpin yang diutamakan dapat berbeda juga. Ada beberapa teknik dan gaya kepemimpinan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : (a) Teknik memimpin merupakan kemauan yang dapat dipelajari dan dikembangkan pemimpin. Ini berarti, setiap orang dipersiapkan baik sebagai tenaga supervise maupun pimpinan puncak. Untuk itu, seorang pemimpin perlu memahami teknik berkomunikasi, teknik persuasive dan motivasi, serta teknik pengambilan keputusan. (b) Seorang pemimpin mampu berkomunikasi dengan bawahan, atasan dan rekan sekerja. Syarat agar mampu berkomunikasi seorang adalah : 17
Memahami masalah yang akan dikomunikasikan Mengetahui tingkat kemampuan komunikasi Menyampaikan secara sistematis dan jelas Memilih alat komunikasi yang tepat Bersedia mendengar mengerti tanggapan komunikan. Sehubungan dengan hal tersebut, gaya kepemimpinan bergerak secara terus menerus diantara gaya yang relative otoriter dan gaya yang relatif liberal diantara dua gaya tersebut terdapat gaya kepemimpinan yang demokratis atau partisipasif. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Gaya Otoriter atau Direktif Semua kebijaksanaan ditetapkan pimpinan. Teknik dan tahap-tahap kegiatan ditetapkan oleh pimpinan. Pemimpin kurang terbuka atas saran dan umpan balik bawahan. Pimpinan sangat subyektif dalam menilai bawahan. 2. Gaya liberal atau laissez faire leadership. Keputusan dilakukan oleh bawahan dengan sedikit partisipaso atasan. Pimpinan memberikan nasehat atau penjelasan bila diminta. Pimpinan tidak bertanggung jawab atas kekurangan atau kekeliruan pekerjaan bawahan. Pimpinan menggunakan laporan sebagai bahan evaluasi bawahan.
18
3. Gaya kepemimpinan demokratis atau partisipasif. Kebijakan dibahas bersama, ditetapkan pimpinan setelah mendengar dan mengakomodasikan saran dan pendapat bawahan. Bawahan memberikan informasi hasil pembahasan unit-unit terkait (completed staff work) untuk bahan pertimbangan pimpinan. Bawahan bebas mengembangkan inisiatif dalam kerangka acuan yang telah disepakati bersama dan pedoman yang telah ditetapkan. Pemimpin menilai bawahan berdasarkan criteria obyektif atas prestasi kerja mereka. Kepemimpinan demokratis atau partisipasif akhir-akhir ini dikaitkan dengan manajemen Gugus Kendali Mutu dan Pengendalian Mutu Terpadu (GKM/PMT). Prinsipnya konsep ini adalah mengikut-sertakan bawahan dan pimpinan dalam setiap tahapan proses produksi mulai dari perumusan kebijaksanaan, perencanaan dan peyusunan program, pelaksanaan operasional, pemecahan masalah, pengendalian dan pengawasan untuk menjamin mutu hasil produksi. Adapaun ciri-ciri kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut : 1. Proses pergerakan bawahan bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia adalah makhluk mulia. 2. Selalu berusaha mengsinkronisasikan antara kepentingan dan tujuan organisasi dengan pribadi dari bawahan.
19
3. Ia senang menerima saran, pendapat dan kritik bawahannya. 4. Mengutamakan kerjasama dan team work 5. Ikhlas memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada bawahan untuk berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani berbuat kesalahan yang lain 6. Selalu berusaha menjadikan bawahan lebih sukses dari dirinya 7. Mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin Dengan demikian, kepemimpinan demokratis menempatkan karyawan sebagai factor terpenting
dan
utama.
Gaya
kepemimpinan
demokratis
diwujudkan dengan dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dalam mewujudkan kepemimpinan
dan
mengembangkan
sebagai
pelaksana
organisasi (eksekutif).
dan
bahkan
Pemimpin
perilaku
menempatkan
karyawan sebagai subyek yang memiliki kepribadian seperti kemauan, kehendak, kemampuan buah pikiran, pendapat, minta, kreativitas, inisiatif yang berbeda-beda dan disalurkan secara wajar. Berdasarkan prinsip tersebut, gaya kepemimpinan demokratik selalu terlihat usaha untuk memanfaatkan anggota. Proses kepemimpinan diwujudkan dengan cara memberikan kesempatan luas untuk berpartisipasi. Partisipasi disesuaikan dengan jabatan dengan memperhatikan pola, tingkat dan jenis kemampuan. Pemimpin pelaksana memperoleh pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang sama bagi pencapaian tujuan. Sedangkan bagi anggota,
20
kesempatan berpartisipasi dilaksanakan dan dikembangkan dalam berbagai kegiatan di lingkungan unit masing-masing dengan mendorong terwujudnya kerjasama. Ini berarti, karyawan tidak saja aktif tetapi dibantu dalam mengembangkan sikap dan kemampuan. Kondisi itu memungkinkan setiap orang siap untuk dipromosikan menduduki posisi secara berjenjang. Hal ini untuk menjaga kesinambungan, sehingga tidak terjadi kekosongan karena pensiun, pindah, meninggal dunia atau sebab-sebab lain. Kepemimpinan
demokratik
dalam
mengambil
keputusan-keputusan
sangat memungkinkan melalui musyawarah yang diwujudkan pada setiap unit. Pelaksanaan setiap keputusan tidak dirasakan sebagai paksaan tetapi terdorong untuk mensukseskan sebagai tanggung jawab bersama. Setiap anggota merasa perlu diaktifkan bukan untuk kepentingan dirinya atau orang tertentu tetapi untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, pemimpin demokratis dihormati dan disegani karena mampu mengembangkan, memelihara, dan menjaga kewibawaan atas dasar hubungan yang efektif. Setiap instruksi terasa sebagai ajakan untuk kepentingan bersama. Selanjutnya, secara operasional selalu terbuka kesempatan meninjau kembali setiap keputusan. Peninjauan dilakukan apabila menemui hambatan, sehingga kegiatan tidak efektif. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan kritik, pendapat dan saran-saran untuk memperbaiki keputusan.
21
Setiap anggota kelompok mempunyai kebebasan untuk menyatakan pendapat, tetapi jika dihasilkan keputusan berdasarkan pendapat mayoritas anggota, maka seluruh anggota wajib tunduk kepada keputusan tersebut dan melaksanakan dengan penuh kesadaran. Sondang. P. Siagian (1999:34) menyatakan bahwa “pemimpin yang demokratis biasanya memandang peranannya selaku kordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu totalitas”. Gaya
demokratis
berorientasi
terhadap
hubungan
manusia
yang
didasarkan asumsi bahwa kuasa pemimpin diperoleh dari kelompok. Oleh karena itu, karyawan dapat mengaktualisasikan diri sendiri dan kreatif di tempat kerja jika di motivasi dengan tepat. Gaya kepemimpinan seseorang sangat dipengaruhi oleh system nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, penerapan gaya kepemimpinan tergantung beberapa kondisi antara lain : • Tingkat pendidikan dan pengalaman dalam pekerjaan • Penguasaan dan pemahaman mengenai pelaksanaan tugasnya • Tingkat kemandirian dan kemampuan bekerjasama • Kesediaan dan kesiapan memikul tanggung jawab • Perhatian bawahan terhadap soal-soal yang dihadapi pimpinan
22
• Toleransi bawahan Selain itu, gaya kepemimpinan dipengaruhi seberapa jauh kebebasan diberikan kepada karyawan menyangkut kompleksitas pekerjaan, besarnya resiko atas rendahnya prestasi kerja, keterbatasan waktu dan peluang yang tersedia, serta factor-faktor penghambat. Dengan demikian, gaya kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai satu pola perilaku yang dirancang untuk memadukan kepentingan organisasi dan personalia guna mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin menjalankan peranan kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memberikan sifat kepada pendekatan dalam memimpin orang sebagai bawahan. Seorang pemimpin harus menemukan dan memilih gaya kepemimpinan yang paling sesuai atau tidak sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga tidak ada gaya kepemimpina yang terbaik dan cocok untuk semua situasi. Pemimpin harus siap menyesuaikan gaya kepemimpinan menurut situasi dan kondisi dan menerapkan pendekatan-pendekatan yang tidak sama terhadap keadaan dan kondisi. Gaya kepemimpinan yang ditampilkan seorang pemimpin didalamnya terdapat factor-faktor sebagai berikut : 1. Proses mempengaruhi kegiatan orang lain (process of influencing peoples activity).
23
2. Ada sekelompok orang yang dipengaruhi (potential follower). 3. Kearah satu tujuan atau keinginan (toward goal achievement) 4. Pada situasi tertentu (in given situation). Michael Armstrong (1988 ; 104) menyatakan gaya kepemimpinan cenderung untuk digolongkan menjadi : otoriter, otokratis, terpusat pada kerja, ketat serta suka mengarahkan, demografis, partisipatif, terpusat kepada orang, umum/ mudah menerima. Sepuluh tahun terakhir, teori kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam dua klasifikasi besar yaitu teori mekanistis dan humanistis. Kedua teori ini berkembang menjadi teori kepemimpinan gabungan dan teori kepemimpinan situasional.
a) Teori Kepemimpinan Mekanistis Teori ini didasarkan pada prinsip “stimulus response (S-R)”, dimana bawahan akan dianggap akan bekerja jika diperintah, diarahkan atau dirangsang. Pada dasarnya, teori ini menganut asumsi bahwa setiap karyawan harus dihukum jika dia ingkar dan malas, dan diberi hadiah jika rajin bekerja. Skinner, Mc Clelland, Atkinson, Liker, dan Mayo (1984) adalah diantara mereka yang berpendapat bahwa perangsang atau motivasi adalah
24
“alat” yang paling ampuh untuk membuat karyawan bekerja untuk menghasilkan kinerja. b) Teori Kepemimpinan Humanistis Teori ini bertentangan dengan teori mekanis. Teori ini berasumsi bahwa manusia berbeda dari hewan yang dapat dipaksa atau dirangsang supaya berbuat sesuatu. Menurut teori ini, manusia pada dasarnya ingin bekerja, tetapi produktivitas mereka tergantung pada pemenuhan kebutuhan pokok. Seseorang pemimpin harus senantiasa peka terhadap kebutuhan-kebutuhan dan berusaha memenuhinya agar bawahan lebih giat lagi bekerja sebagaimana mestinya. Blake dan Mouton (1990 : 83) mengusulkan satu teori kepemimpinan dimana faktor-faktor mekanistis dan humanistis digabungkan dalam berbagai kombinasi yang menggambarkan gaya kepemimpinan. Seorang pemimpin dapat mencurahkan perhatiannya pada karyawan, produksi, atau kombinasi keduanya. Akan tetapi, teori tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh sekelompok ahli manajemen di Ohio State University (Amerika Serikat) dengan bantuan data-data hasil penelitian di kalangan manajer dan kepala rumah tangga. Hasil penelitian dikongkritkan dan dikembangkan oleh Center for Leadership Studies di Lajolla California dibawah pimpinan Paul Harsey dan Kenneth Blanchard. Teori ini diberi nama “Situational Leadership”. Teori ini sama dengan sebangun dengan kepemimpinan perusahaan di berbagai negara, dimana gaya kepemimpinan
25
berubah-ubah menurut keadaan bawahannya. Miftah Thohha (2001 : 63), mereka berpendapat bahwa Kepemimpinan Situasional didasarkan pada saling berhubungan diantara hal-hal sebagai berikut: 1. Jumlah petunjuk dan pengarah yang diberikan pimpinan 2. Jumlah dukungan sosioemosional yang diebrikan pimpinan 3. Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau tujuan tertentu. Konsepsi
gaya
kepemimpinan
dikembangkan
untuk
membantu
menjalankan kepemimpinan tanpa memperhatikan peran didalam interaksi dengan orang lain. Walaupun banyak variable situasional lainnya seperti organisasi, tugas-tugas pekerjaan, pengawasan dan waktu kerja, akan tetapi penekanan dalam kepemimpinan situasional hanya pada perilaku pemimpin dan bawahan. Teori kepemimpinan situasional menekankan pada fungsi dari perilaku memerintah dan memberi dukungan. Perilaku memerintah adalah banyaknya perintah melalui komunikasi searah yang diberikan seorang pemimpin kepada bawahannya. Sedangkan perilaku mendukung adalah banyaknya dukungan yang disampaikan melalui komunikasi dua arah antara atasan dan bawahannya. Fungsi kedua unsur ini berubah-ubah menurut sebuah garis kurva linier yang disesuaikan dengan tingkat kedewasaan mental para bawahannya.
26
Miftah Thohha (2001:65) menggambarkan kedua norma perilaku tersebut ditempatkan pada dua poros yang terpisah dan berbeda sebagai berikut :
Gambar 1 BANYAK DUKUNGAN/ SEDIKIT PERINTAH (S-3)
BANYAK DUKUNGAN/ BANYAK PERINTAH (S-2) SEDIKIT DUKUNGAN/ BANYAK PERINTAH (S-1)
SEDIKIT DUKUNGAN/ SEDIKIT PERINTAH (S-4)
PERILAKU MEMERINTAH Sumber : Hersey, 1987 Berdasarkan gambar diatas perilaku Gaya kepemimpinan yang berubahubah ini dapat dijabarkan sebagai berikut : •
Gaya memerintah (banyak perintah, dan sedikit dukungan)
•
Gaya
menjual
(banyak
memberikan
perintah
dan
banyak
dukungan) •
Gaya partisipasi (banyak memberikan dukungan, dan sedikit perintah)
•
Gaya mendengarkan (sedikit perintah dan sedikit dukungan).
Gaya kepemimpinan disesuaikan dengan dengan tingkat kedewasaan mental para bawahan. Tingkat kedewasaan mental para bawahan. Tingkat 27
kedewasaan mental akan berubah-ubah dari rendah ke sedang dan tinggi, atau sebaliknya. Hersey memberikan simbol-simbol M-1 untuk tingkat kedewasaan yang rendah. M-2 dan M-3 untuk menengah, dan M-4 untuk yang tinggi. penentuan tingkat kedewasaan mental dilakukan dengan menarik sebuah garis lurus vertikal dari tingkat kedewasaan mental yang telah diketahui hingga bertemu dengan garis kurva linier dalam petak disebelah atas. Titik pertemuan inilah yang menunjukkan koordinat gaya kepemimpinan yang dianggap paling sesuai untuk situasi tersebut (lihat gambar 2). Gambar 2 GAYA KEPEMIMPINAN MENURUT SITUASI
Tingkat Kedewasaan Mental
28
Sumber : Hersey & Blancchard (1987) Gaya kepemimpinan memerintah (S1), seorang pemimpin menunjukkan perilaku yang lebih banyak memberikan pengarahan dan sedikit dukungan. Gaya ini ditandai komunikasi satu arah dalam pencapaian hasil dan penyelesaian tugas-tugas secara langsung. Ini membawa implikasi kepada pemimpin yang otoriter. Gaya kepemimpinan menjual (S2), perilaku pemimpin mengarah kepada banyak memberikan pengarahan dan banyak dukungan. Gaya kepemimpinan ini mau menjelaskan keputusan dan kebijakan organisasi dan mau menerima pendapat para bawahannya. Gaya
kepemimpinan
partisipasi
(S3),
dimana
perilaku
pemimpin
menekankan kepada pemberian pengarahan yang sedikit, tetapi lebih banyak menerima saran bawahan sehingga banyak dukungan. Gaya ini ditandai dengan tingkah laku pemimpin memberikan semangat, menyusun keputusan bersama-sama dengan bawahannya dan mendukung usaha-usaha mereka menyelesaikan tugas. Gaya kepemimpinan pendelegasian (S4), dimana pemimpin memberikan sedikit pengarahan dan dukungan. Perilaku ini ditandai pendelegasian keputusan-keputusan
dan
tanggung
jawab
pelaksanaan
tugas
kepada
29
bawahannya. Tingkah laku pemimpin ini hanya sedikit memberikan petunjuk sehingga komunikasi dua arah sangat rendah. Dalam kepemimpinan situasional, kematangan sebagai akibat dari kemampuan dan kemajuan bawahan untuk bertanggung jawab dalam menarahkan
perilakunya
sendiri.
Kematangan
yang
dimaksud
adalah
kematangan jiwa seorang bawahan dalam menerima tugas-tugasnya. Salah satu
factor
yang
berkaitan
dengan
kematangan
adalah
kemampuan.
Kemampuan ini menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pendidikan, latihan dan atau pengalaman. Sedangkan faktor lain adalah keyakinan diri dan motivasi seseorang. Oleh karena itu, seseorang cenderung berada pada tingkat yang berbeda-beda tergantung pada tugas, fungsi, dan tujuan. Dengan demikian, kepemimpinan situasional berfokud pada kesesuaian atau efektivitas gaya kepemimpinan sejalan dengan tingkat kematangan atau perkembangan yang relevan. Miftah Thoha (2001 : 70) menggambarkan model kepemimpinan situasional yaitu :
30
Gambar 3 Model Kepemimpinan Situasional
31
Dengan
membagi
kontinum
tingkat
kematangan
dibawah
model
kepemimpinan ke dalam empat tingkat yaitu rendah (M1) ke sedang (M2) dan (M3) dan tinggi (M4), maka beberapa tanda yang menunjukkan tingkat kematangan itu dapat dirujuk. Tiap tingkat perkembangan menunjukkan kombinasi kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda seperti dilihat dalam ilustrasi sebagai berikut : Gambar 4 Tingkat Kematangan Bawahan
Gambar diatas merupakan gambaran hubungan antara tingkat kematangan para pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai untuk diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang sedang ke kematangan yang telah berkembang (dari M1 sampai dengan M4) Pada tingkat M1, bawahan benar-benar tidak siap untuk bekerja tetapi mau memiliki tanggung jawab. Instruksi (G1) adalah salah satu cara untuk mengatasi bawahan yang rendah kematangannya.
32
Pada tingkat M2, bawahan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan tetapi bekerja dan memiliki kemauan belajar. Konsultasi (G2) adalah salah satu cara untuk memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias khususnya untuk tingkat kematangan yang rendah ke sedang. Pada tingkat M3, bawahan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan hanya memiliki sedikit motivasi. Motivasi rendah akibat kurangnya keyakinan untuk mengaplikasikan ke dalam tugas pekerjaan. Oleh karena itu, partisipasi (G3) adalah salah satu cara sehingga akan memuka komunikasi dua arah dan aktif mendengar dan mendukung usaha para bawahan. Pada tingkat M4, bawahan berada pada kondisi yang benar-benar siap untuk bekerja. Oleh karena itu, delegasi (G4) khususnya delegasi yang berprofil rendah adalah cara terbaik untuk memberikan sedikit dukungan sehingga memberikan implikasi pada kepemimpinan yang efektif. Keempat
tindakan
tersebut
merupakan
perwujudan
dari
pelaksanaan gaya kepemimpinan situasional dimana pemimpin dapat bertindak sesuai dengan situasi dan kondisi. Untuk itu, pemimpin situasional
adalah
pemimpin
yang
memahami
bahwa
upaya
mempengaruhi bukan sesuatu yang penting tetapi lebih merupakan 33
proses. Proses kepemimpinan dalam suatu organisasi tidak dapat dilihat langsung dan nyata tetapi direalisasikan dalam bentuk kinerja. Dengan demikian, gaya kepeimpinan yang sesuai untuk masingmasing potensi bawahan dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 5 Tingkat Potensi Prestasi Bawahan
Potensi Prestasi Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat diringkas strategi pengambilan keputusan, komunikasi dan penghargaan yang sesuai untuk keempat gaya kepemimpinan yaitu :
34
Berdasarkan
kajian-kajian
teori-teori
tersebut,
maka
memberikan
kerangka dasar gaya kepemimpinan sebagai berikut : 1. Kepemimpinan dimana pemimpin tidak memperhatikan karyawan atau produksi. Pemimpin ini lebih menyenangi untuk bekerja sendiri. Pemimpin ini akan memiliki prestasi yang sangat minim. 2. Kepemimpinan dimana perhatian utama adalah karyawan. Pemimpin ini berasumsi bahwa karyawan bekerja dengan giat jika senang dan merasa puas. Ini berdampak pada peningkatan produksi sesuai dengan perhatian terhadap karyawan.
35
3. Pemimpin dimana selalu mendesak adanya peningkatan produksi. Akan tetapi, ini mengakibatkan karyawan melakukan protes. Pemimpin ini akan memberikan perhatian secara berpindah-pindah mulai dari produksi kepada karyawan dan sebaliknya secara silih berganti. Apabila ia membicarakan masalah produksi, secara bersamaan akan membiarkan para karyawan bekerja sendiri. 4. Kepemimpinan yang memiliki kebersamaan. Pemimpin merasa yakin bahwa suatu keadaan dimana karyawan memperoleh kepuasan untuk memenuhi keinginan dan meningkatkan gairah jika mereka leluasa mencapat sasaran perusahaan. Ia beranggapan bahwa setiap masalah dapat diselesaikan secara bersama. 2.2
Tinjauan Motivasi Motivasi berasal dari kata motif yaitu kemampuan dan gaya upaya yang mendorong seseorang melakukan sesuatu. Motif dapat dilihat dari perilaku sebagai realisasi dari kebutuhan. Semakin kuat kebutuhan seseorang, maka akan mengarah pada perubahan perilaku. Perubahan perilaku memberikan dampak terhadap pola kerja karyawan yang dapat meningkatkan prestasi kerja. Tindakan karyawan ini merupakan awal yang mengarah pada pencapaian tujuan. Tindakan ini terjadi begitu saja, melainkan sebagai
36
akibat adanya motivasi. Motivasi seseorang sitentukan oleh kebutuhan yang ada dalam dirinya atau kebiasaan sehari-hari terutama pengalaman. Hal ini disesuaikan dengan model motivasi Keith Davis (1985:67) sebagai berikut:
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
berbagai
teori
motivasi
dikemukakan oleh para ahli teori dilihat secara isi motivasi maupun secara proses motivasi. Salah satu yang berdasarkan isi teori motivasi adalah motivasi yang didasarkan pada tingkatan kebutuhan dari Maslow (1996:201) antara lain : 1. Kebutuhan Fisiologis (physiological Needs) 2. Kebutuhan Keamanan (Safety Needs) 3. Kebutuhan Sosial (Social Needs) 4. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) 5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization) Teori Maslow menggolongkan bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki tingkat kebutuhan yang paling rendah yaitu kebutuhan fisiologis dan tingkat kebutuhan tertinggi adalah perwujudan diri (Self37
Actualization
Needs).
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut
didefinisikan
sebagai berikut : a) Fisiologi
(Physiological
Needs)
;
Kebutuhan
fisiologis
adalah
kebutuhan paling dasar untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kebutuhan
fisiologis
seperti
pangan,
perumahan,
kehangatan,
kebebasan dari rasa sakit, kebutuhan biologis dan kebutuhan lain. Apabila kebutuhan pokok telah terpenuhi maka timbul kebutuhan tingkatan selanjutnya. b) Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan (Safety and Security Needs) ; Menusia membutuhkan keselamatan dan keamanan dari bahaya fisik maupun bebas dari ancaman kejadian atau lingkungan. c) Kebutuhan Sosial (Social Needs) ; Manusia yang telah terpenuhi kebutuhan fisioligi (sandang, pangan, papan, biologis) dan keamanan, keselamatan akan meningkat kebutuhannya ingin hidup kepada rasa kemasyarakatan (rasa sosial) yaitu kebutuhan akan teman, afiliasi, interaksi dan cinta di tengah masyarakat. d) Kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) ; Manusia memiliki kebutuhan ingin dihargai dan dihormati orang lain maupun diri sendiri, prestise, prestasi,
reputasi
dan
status,
rasa
pengendalian
diri
untuk
meneguhkan kewibawaan. Idealnya prestise timbul larena adanya prestasi dan perlu diperhatikan semakin tinggi kedudukan seseorang dalam lembaga, maka semakin tinggi prestasinya. 38
e) Kebutuhan Aktualisasi/ Perwujudan diri (Self Actualization) ; apabila keempat kebutuhan manusia telah terpenuhi, maka timbul kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan untuk mengembangkan diri diperoleh melalui cara memaksimalkan penggunaan, keahlian, kecakapan dan potensi yang ada dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu sehingga diberi kesempatan untuk melaksanakan kemampuannya. Maslow mengasumsikan bahwa orang berusaha memmenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (aktualisasi diri). Dalam pemikiran Maslow, kebutuhan yang telah dipenuhi akan mereda daya motivasinya. Apabila karyawan telah menerima upaya yang cukup, maka uang tidak mempunyao daya motivasi lagi. Teori Maslow ini didasarkan pada asumsu bahwa orang mempunyai keinginnan untuk berkembang dan maju. Dalam uraian teori kebutuhan Maslow ada 2 (dua) kesimpulan yang menarik, yaitu : a. Bila salah satu dari kebutuhan pegawai lebih kuat terancam, maka oegawai tergerak untuk mempertahankan kebutuhan yang tidak terpenuhi
sehigga
dapat
menyebabkan
frustasi,
konflik,
dan
ketegangan mental dan membawa implikasi tidak ada motivasi.
39
Pegawai tidak akan memikirkan status jika mengalami kelaparan. Jika seorang pemimpin mengancam keamanan pegawai akibat adanya berbagai perubahan kebijakan maka pimpinan akan mendapatkan tanggapan yang sifatnya bela diri. b. Kebutuhan yang sudah dipenuhi tidak memotivasi lagi seperti gaji, kebutuhan lain seperti kebutuhan sosial, harga diri, yang akan memotivasinya. Sejalan dengan Maslow, seorang ahli Mc. Clelland mengemukakan bahwa kebutuhan seseorang sangat kuat dampaknya ialah motivasi orang tersebut untuk menggunakan perilaku yang mengarah ke pemuas kebutuhannya. Mc. Clelland (2001:103) mengelompokkan 3 (tiga) kebutuhan dorongan yaitu : (1) Need of Achievement (Kebutuhan Berprestasi); (2) Need of Affiliation (Kebutuhan untuk Memperluas Pergaulan); (3) Need of Power (Kebutuhan untuk Menguasai Sesuatu). Kebutuhan berprestasi dapat mengingkatkan kreativitas dan mengembangkan kemampuan. Prestasi kerja tinggi mengakibatkan pendapatan naik sehingga mengakibatkan terpenuhinya kebutuhan. Sedangkan kebutuhan memperluas pergaulan dapat meningkatkan semangat kerja melalui dorongan untuk diterima di lingkungan, untuk dihormati, dan berpartisipasi aktif dalam lingkungan kerja. Kebutuhan
40
menguasai sesuatu akan merangsang karyawan utnuk mencapai kekuasaan dan kedudukan yang terbaik. Kondisi diatas mengikuti pola motivasi sehingga dapat mencapai keberhasilan yang tinggi. pola ini seperti dikemukakan Mc. Clelland yang dikutip Hasibuan (1996:1997), bahwa pola motivaisi adalah sebgai berikut: 1) Achievement Motivation adalah suatu keingingan untuk mengatasi atau
mengalahkan
suatu
tantangan
untuk
kemajuan
dan
perkembangan. 2) Affiliation Motivation adalah dorongan untuk melakukan hubunganhubungan dengan orang lain. 3) Competence Motivation adalah dorongan untuk berprestasi baik dengan melakukan pekerjaan yang bermutu tinggi. 4) Power Motivation adalah dorongan untuk dapat mengendalikan suatu keadaan
dan
kecenderungan
untuk
mengambil
resiko
dalam
menghancurkan rintangan-rintangan yang terjadi. Sedangkan Herzberg yang dikenal dengan teori dua faktor yang dikutif Mathis (2001:90) berasumsi bahwa “satu kelompok dari kelompok motivator memberikan motivasi tingkat tinggi. kelompok lain dari faktor higinie dapat menyebabkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan” implikasi dari teori Herzberg adalah manajer harus mempertimbangkan faktor higinie untuk menghindari ketidakpuasan tenaga kerja. 41
Faktor-faktor Higinie atau dissatisfier adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan konteks pekerjaan yang meliputi (1) semua segi penggajian, gaji pokok, honot, uang lembur, bonus, (2) keamanan kerja, (3) pengawasan yang kompeten dan adil serta dukungan kerja, (4) semua segi kondisi kerja, (5) status dan pengakuan yang diberikan oleh organisasi kepada anggotanya, (6) hubungan antar pribadi, antara manajer dan tim kerja, maupun diantara para karyawan sendiri, (7) manajemen organisasi, dan komunikasi. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan ketidak-puasan apabila tidak memadai bahkan kalaupun semuanya tercukupi, maka karyawan hanya terpuaskan dan belum secara positif termotivasi mencapai kinerja. Dalam pandangan Herzberg, motivasi muncul apabila terdapat faktor hygiene atau satisfier dan motivator. Faktor-faktor satisfier adalah faktor isi pekerjaan yang menyebabkan kepuasan kerja dan menimbulkan motivasi. Motivator yang ditunjuk oleh Herzberg adalah isi pekerjaan. Karyawan termotivasi apabila pekerjaan memberi kesempatan untuk mencapai lima hal yaitu (1) Prestasi, yaitu kepuasan pribadi karena telah mampu menyelesaikan tugas, memecahkan masalah atau karena melihat hasil-hasil yang sukses. (2) Pengakuan, yaitu pengakuan atau pujian atas pekerjaan
yang
diselesaikan
dengan
baik.
(3)
Pertumbuhan
(perkembangan), yaitu kesempatan untuk mengembangkan berbagai keahlian dan kemampuan baru. (4) Kemajuan, yaitu kesempatan untuk 42
promosi dalam organisasi. (5) Tanggung jawab, yaitu derajat kontrol terhadap pekerjaan variasi kerja, dan kesempatan-kesempatan untuk menggunakan prakarsa pribadi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa unsur-unsur pendorong motivasi kerja terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pribadi dan sosial tingkat tinggi, dan bukannya kebutuhan-kebutuhan fisik (biologis) dan rasa aman. Menurut Herzberg bahwa satu cara untuk memotivasi pekerja yaitu meningkatkan satisfier sebagai suatu pendekatan yang dikenal dengan “job enrichment”. Dengan kata lain, kepuasan dan motivasi, ditentukan oleh faktor-faktor pekerjaan yang dinamakan satisfiers seperti insentif atau gaji, pengawasan yang lebih baik, serta program-program lain dipandang sebagai pendekatan yang efektif untuk meningkatkan kepuasan dan motivasi kerja pegawai. Sedangkan tori yang didasarkan pada proses motivasi adalah Porter dan Lawyer yang dikutif Mathis (2001:91) yang memfokuskan pada nilai yang ditempatkan orang untuk suatu tujuan seperti pandangan seseorang terhadap kesamaan dalam tempat kerja atau keadilan sebagai faktor yang mempengaruhi kelakuan kerja. Dalam situasi kerja, persepsi adalah cara seseorang dalam ,e,amdang pekerjaan. Porter menegaskan bahwa motivasi dipengaruhi oleh harapan seseorang. Jika harapan tidak 43
terpenuhi, maka seseorang merasa diperlakukan tidak adil dan berakibat terjadinya ketidak-puasan. Untuk itu intisari teori Porter tentang motivasi adalah persepsi yang dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 7 Model Motivasi Porter dan Lawler
! &
!
"#
$ %%
Sejalan dengan teori Lawler dan Porter, Vromm dengan teori harapan dikutif GouZALI Saydam (2000:87) mengatakan bahwa : “Motivasi merupakan akibat dari suatu hasil yang ingin dicapai seseorang bila seseorang menginginkan sesuatu dengan harapan untuk 44
memperolehnya amat kuat, maka yang bersangkutan akan tersorong untk memperoleh apa uang diinginkannya itu. Sebaliknya bila harapan untuk mendapatnya kecil, maka motivasi untuk mengusahakannya juga rendah”. Berbagai usaha dilakukan pimpinan untuk meningkatkan kinerja seperti memberikan kepuasan. Kepuasan berupa menerapkan azas-azas motivais
yaitu
mengikutsertakan
pekerja
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan. Azas berikutnya adalah membangun komunikasi harmonis, pemberian pengakuan atas prestasi pekerja, azas perhatian timbal balik dan memberikan delegasi dan wewenang kepada bawahan. Dalam kaitan ini, mengukur kepuasan pegawai disebut Job Descriptive Inventory (JDI), mencakup lima bidang yaitu : (1) Pekerjaan (work), (2) Gaji (Pay), (3) Kesempatan Promosi (Opportunities for Promotion), (4) Supervisi (Supervision), (5) Hubungan dengan rekan sekerja (Relationship with coworkers). (Encyclopedia of Social Work, 1987:18). Dengan demikian, motivasi menjadi dasar seseorang memasuki berbagai organisasi untuk memuaskan kebutuhan. Seseorang yang menyenangi pekerjaan selalu bersemangat, giat, berinisiatif karena dapat memenuhi kebutuhan fisiknya seperti masalah pakaian, makanan. Imbalan ini berdampak pada peningkatan prestasi kerja.
45
Sehubungan dengan imbalan dapat mempengaruhi prestasi kerja para karyawan. Ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya prestasi kerja pada seseorang yaitu : 1) Kondisi kerja yang menarik 2) Sikap pimpinan terhadap karyawan 3) Sikap dalam hal pengangkatan, prospek kenaikan karir 4) Ada pengakuan harga diri 5) Adanya keamanan kerja 6) Adanya kerjasama yang menarik 7) Adanya penghargaan terhadap prestasi, cara kerja, dan hasil kerja Secara proses, maka motivasi menurut H. Malayu S.P. Hasibuan (2000) dapat digambarkan sebagai berikut :
46
Gambar 8 PROSES MOTIVASI
& , ! " $
% # & '() $ & * +
#
#
Sumber : Merie J Moskowits dalam SP. Hasibuan (2000)
Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah kondisi fisikologis dan psikologis yang terdapat dalam, diri pribadi seseorang untuk melakukan aktivitas guna mencapai tujuan. Keberhasilan motivasi harus didukung oleh berbagai faktor. Harold. E. Burt yang dikutip oleh Moh. As’ad (1995, 112) faktorfaktor yang menimbulkan motivasi kerja adalah : (1). Faktor hubungan 47
antar karyawan; (2). Faktor individual; (3). Faktor luar (ekstern). Sedangkan menurut Glimer yang dikutip Moh. As’ad (1998, 114), faktorfaktor yang mempengaruhi motivasi kerja adalah : 1) Kesempatan untuk maju 2) Keamanan kerja 3) Gaji 4) Organisasi dan manajemen yang baik 5) Pengawasan (supervisi) bagi karyawan 6) Faktor intrinsik dan pekerjaan 7) Kondisi kerja 8) Aspek sosial dalam pekerjaan 9) Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pihak manajemen. Menurut Sondang P. Siagian (1995:63-39) terdapat sembilan faktor motivasi yang mempengaruhi kepuasan kerja dan harus mendapatkan perhatian setiap pimpinan dalam organisasi yaitu : 1) Kondisi kerja yang baik 2) Perasaan diikut-sertakan 3) Cara pendisiplinan yang baik 4) Pemberian penghargaan atas pelaksanaan tugas dengan baik 5) Kesetiaan pimpinan pada para karyawan 6) Promosi dan perkambangan bersama organisasi 48
7) Pengertian yang simpatik terhadap masalah-masalah pribadi bawahan 8) Keamanan pekerjaan 9) Tugas pekerjaan yang sifatnya mendidik Agaknya berbeda dengan pandangan tersebut diatas, setelah melalui kajian dan berbagai literature: Stephen (1996, 181) mengatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting memotivasi untuk kepuasan kerja adalah kerja yang secara mental menantang, ganjaran yang pantas, kondisi kerja yang mendukung dan rekan kerja yang mendukung. Kajian ini lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Kerja yang Secara Mental Menantang Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan secara optimal dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik terhadap hasil kerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak menantang dapat menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.
49
2) Ganjaran yang Pantas Para karyawan menginginkan system upah dan kebijakan promosi jabatan secara adil dan jelas. Banyak orang bersedia menerima uang yang relatif lebih kecil, tetapi bekerja dalam lokasi yang lebih diinginkan dan mempunyai keleluasaan lebih besar dalam kerja. Kuci yang mengkaitkan upah dengan kepuasan bukan jumlah mutlak yang dibayarkan tetapi lebih penting pada persepsi keadilan. Demikian pula, karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktek promosi jabatan. Promosi memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, tanggung jawab yang lebih banyak, dan peningkatan status sosial. Oleh karena itu, individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan promosi yang adul kemungkinan besar mengalami kepuasan. 3) Kondisi Kerja yang Mendukung Karyawan peduli lingkungan kerja, baik karyawan pribadi maupun memudahkan mengerjakan tugas. Karyawan lebih menyukai keadaan fisik yang tidak berbahaya atau merepotkan temperature, cahaya, suara, dan faktor-faktor lingkungan lain. Disamping itu, karyawan lebih menyukai bekerja dekat dengan rumah dengan fasilitas yang bersih dan relatif modern serta peralatan memadai. 4) Rekan Kerja yang Mendukung
50
Dalam
bekerja,
karyawan
tidak
hanya
mengharapkan
untuk
mendapatkan uang semata tidak hanya ingin mendapatkan prestasi kerja saja, tetapi juga mengharapkan hubungan yang lebih baik dengan rekan sekerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung akan meningkatkan kualitas kerja. Perilaku atasan merupakan determinan utama dari kepuasan. Berdasarkan kajian diatas, salah satu bentuk motivasi kerja adalah keinginan yang tumbuh dalam diri sendiri berupa kesadaran pentingnya pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan bentuk kedua adalah motivasi yang bersumber dari luar berupa keharusan melaksanakan pekerjaan berupa aturan, ikatan dan perjanjian. Sebagai implementasi dari teori motivasi yang diuraikan diatas di lingkungan perusahaan dapat diwujudkan sebagai berikut: 1. Tujuan merupakan focus utama. Untuk itu, pimpinan perlu memiliki kemampuan merumuskan tujuan secara jelas dan terperinci. 2. Tujuan perusahaan menentukan tingkat intensitas pelaksanaan pekerjaan sesuai tingkat kesulitan. Untuk itu, pimpinan perlu merumuskan
tujuan
yang
bersifat
menantang
sesuai
dengan
kemampuan pekerjaan. 51
3. Tujuan yang sulit menimbulkan kegigihan dan ketekunan dalam usaha mencapainya. Untuk itu, pimpinan perlu menghargai pekerja yang berhasil mewujudkan tujuan perusahaan.
2.3
Tinjauan Kinerja a. Hakikat Kinerja Mutu karyawan berkaitan dengan kinerja. Kinerja harus menjadi skala prioritas khususnya kinerja karyawan yang memberikan implikasi terhadap kinerja perusahaan. Kinerja secara prinsif mengarah pada suatu proses pencapaian hasil. Istilah kinerja sering disebut Performance. Kinerja terdapat 2 (dua) terminology yaitu kinerja karyawan (Individual Performance)
dan
kinerja
organisasi
(Institusional
Performance).
Keduanya saling bersinergi. Menurut Russel dalam bukunya Ruky (2001;15) memberikan definisi bahwa “Performance is defines as the record of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time periode” (kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsifungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu). Sedangkan Suryadi (1992;2) mendefinisikan Kinerja sebagai berikut: 52
“Hasil kerja yang dicapau seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi
dengan
wewenang
dan
tanggung
jawab
masyarakat dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai moral maupun etika” Berdasarkan pendapat tersebut, kinerja bukan hanya ditujukan pada hasil melainkan proses untuk mendapatkan hasil. Ini berarti, tinggi rendahnya kinerja dapat dievaluasi dari tindakan dan prilaku. Kinerja individu akan berbeda tergantung interaksi terhadap kemampuan yang dimiliki dengan motivasi yang dirasakan seseorang. Potler dan Lawler membuat rumusan kinerja sebagai hasil perkalian antara Effort (usaha) dengan kemampuan dan role perception (pemahaman peran) dengan rumusan sebagai berikut : Kinerja = f (Motivasi, kemampuan, pemahaman peran) Hal ini sesuai dengan pendapat Mangkunegara (2001:67) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemamouan (ability) dan Motivasi (motivation). Secara psikologis, kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realty (knowledge + skill). Ini berarti, karyawn yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110 – 120) dengan pendidikan yang memadai dan
53
terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka lebih mudah mencapai kinerja. Akan tetapi, dilihat secara mendalam maka pencapaian kinerja harus ada perpaduan antara IQ dan EQ. Kecerdasan
emosi
(EQ)
merujuk
pada
kemampuan
untuk
mengenali perasaan sendiri dan orang lain, kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi sementara IQ adalah kemampuan kognitif murni. Menurut Goleman (Patricia Pattern, 1998:2) menyatakan bahwa IQ hanya mendukung sekitar 20 persen faktor-faktor yang menentukan keberhasailan, 80 persen berasal dari faktor lain, termasuk kecerdasan emosional. Secara ilmiah Spiritual Quotient (SQ) yaitu hasil akhir dari teori IQ dan EQ yang merupakan penghubung antara unsur kebendaan dan agama yang sangat dibutuhkan selain IQ dan EQ. berkenaan hal ini, Ary Ginanjar Agustian (2001:39) seorang pakar ESQ menyatakan bahwa tujuan
mereka
bersifat
abadi,
jangka
panjamg
dan
mutlak.
Ini
dimanifestasikan dalam dimensi pencapaian tujuan ideal yang menyatu dalam batin pengikutnya (SQ). Sementara motivaswi terbentuk dari sikap (attitude) karyawan menghadapi
situasi
kerja.
Motivasi
merupakan
kondisi
yang
menggerakkan karyawan untuk mencapai tujuan organisasi. Ini berarti, 54
karyawna harus siap mental, mampu secara fisik, memahami tujuan utama dan target kerja serta mampu memanfaatkan dan menciptakan situasi kerja yang kondusif. Blumberg dan Pringle (Robbins, 1996; 233) mengemukakan teori bahwa kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi dan opportunity to perform (kesempatan untuk berpartisipasi) dengan rumus sebagai berikut : Kinerja = f (Kemampuan X Motivasi X Opertunity to Perform) Yang dimaksud dengan Opertunity to Perform adalah kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan support, bantuan atau fasilitas dari luar seperti kondisi tempat kerja, peralatan dan perlengkapan kerja, ada teman yang membantu, tercukupinya informasi yang diperlukan, aturan dan prosedur kerja. Berbicara tentang Empowermant, yang berarti the gaining of power, ada beberapa cara empowerment agar pekerja bekerja dengan efektif yaitu : 1. Pekerja memperoleh informasi sehingga dapat mengakses informasi untuk meningkatkan peranan (sense of involvement). 2. Memberkan kewenangan dan tanggung jawab kepada individu atau tim untuk bertindak dan mengatur dirinya sendiri.
55
3. Membantu mengembangkan hubungan lateral (lateral relationship) sebagai sarana atau fasilitas problem solving dan learning. Sejalan
pendapat
diatas,
Mathis
dan
Jackson
(2001:83)
mengatakan bahwa kinerja (P) adalah hasil dari Ability (kemampuan) ddikalikan
dengan
Effort
(usaha)
dengan
Support
(dukungan).
Kemampuan berkaitan dengan perekrutan dan seleksi yang melibatkan pemilihan dengan bakat dan minat. Usaha berkaitan dengan pemberian motivasi, insentif dan rancangan oekerjaan. Sedangkan support berkaitan dengan dukungan termasuk pekatihan dan peralatan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, disini dikemukakan model kinerja individu maupun organisasi seperti dibawah ini :
Gambar 9 Model Kinerja Individu
56
Model Kinerja Individu/Organisasi (Mathis dan Jackson;90) b. Hakikat Penilaian Kinerja Penilaian kinerja dinilai sebagai kontribusi karyawan selama periode waktu tertentu. Umpan balik kinerja (performance feedback) memungkinkan karyawan mengetahui seberapa baik bekerja jika dibandingkan dengan standar. Apabila penilaian dilakukan secara benar akan menguntungkan karyawan, penyelia, departemen sumber daya manusia dan akhirnya organisasi melalui pemastian bahwa upaya–upaya individu memberikan kontribusi kepada fokus strategic organisasi. Didalam
organisasi
modern,
penilaian
kinerja
memberikan
mekanisme penting bagi manajemen dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar-standar kinerja dan motivasi kinerja individu diwaktu berikutnya. Penilaian kinerja memberikan basis bagi keputusan-keputusan yang mempengaruhi gaji, promosi, pemberhentian, pelatihan, transfer dan kondisi-kondisi kepegawaian lainnya. Semua organisasi menilai kinerja dalam beberapa cara. Organisasi yang kecil, evaluasi bersifat informal. Sedangkan pada organisasi besar, penilaian kinerja merupakan prosedur yang sistematik dimana kinerja jaryawan manajerial, professional, teknis penjualan dan hasil kerja dinilai secara formal. 57
Wirawan (1998:76) memberikan definisi penilaian kinerja adalah proses mengumpulkan informasi kinerja yang didokumentaswikan secara formal dengan membandingkan kinerjanya dengan standar kinerja secara periodic untuk membantu pengambilan keputusan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu diketahui beberapa alas an pokok mengadakan penilaian kinerja. Bittel dan Newstorm (1996:216), mengemukakan 3 alasan pokok yaitu : 1. Mendorong perilaku yang baik atau mempengaruhi serta mengikis kinerja (prestasi) dibawah standar 2. Memuaskan rasa ingin tahu karyawan tentang seberapa baik kerja mereka 3. Memberikan
alasan
yang
kuat
bagi
pengambilan
keputusan
selanjutnya sehubungan dengan karir seorang karyawan. Sejalan dengan hal tersebut, Soekidjo (91998;131) memberikan beberapa asumsi tentang perilaku tentang keinginan seseorang untuk dilakukan penilaian prestasi kerja di perusahaan antara lain: 1. Setiap
orang
ingin
memiliki
peluang
untuk
mengembangkan
kemampuan kerjanya sampai tingkat yang maksimal 2. Setiap
orang
ingin
mendapatkan
pengharaan
apabila
dinilai
melaksanakan tugas dengan baik
58
3. Setiap orang ingin mengetahui secara pasti tangga karier yang dinaikinya apabila dapat melaksanakan tugas dengan baik 4. Setiap orang ingin mendapatkan perlakuan yang obyejtif dan penilaian dasar prestasi kerjanya 5. Setiap orang bersedia menerima tanggung jawab yang lebih besar 6. Setiap orang pada umumnya tidak hanya melakukan kegiatan yang sifatnya rutin tanpa informasi Berdasarkan
beberapa
asumsi
dan
alas
an
pokok
dapat
disimpulkan bahwa penilaian prestasi kerja sangat penting khususnya dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Kegiatan ini secara langsung memperbaiki keputusan pimpinan khususnya memberikan umpan balik kepada karuyawan. Secara rinci manfaat penilaian prestasi kerja seperti dikemukakan Soekidjo (1998:1331) adalah sebagai berikut : 1. Peningkatan prestasi kerja 2. Kesempatan kerja yang adil 3. Kebutuhan pelatihan pengembangan 4. Penyesuaian kompensasi 5. Keputusan promosi dan demosi 6. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan 7. Penyimpangan-penyimpangan proses recruitment dan seleksi
59
Melihat berbagai manfaat tersebut, maka penilaian kinerja harus dapat memberikan gambaran yang akurat tentang factor-faktor yang harus diukur dalam penilaian. Ini berarti, penilaian harus benar-benar menilai prestasi pekerjaan karyawan secara obyektif. Gomes (1995;142) mengemukakan factor yang dapqat diukur dalam penilaian kinerja, yaitu : 1. Quantity Work; adalah jumlah kerja yang dilaksanakan dan berhasil dicapau dalam suatu periode tertentu 2. Quality Work; yaitu syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya 3. Job Knowledge; adalah luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya 4. Dependability; adalah kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja 5. Initiative; adalah semangat untuk melaksanakan tugas baru dalam memperbesar tanggung jawabnya 6. Corporation; adalah kerjasama dengan karyawan lainnya. Factor-faktor tersebut menggambarkan bahwa kinerja bukan terletak pada hasil kerja, tetapi memperhatikan prilaku dan pengetahuan tentang lingkup pekerjaan. Hal ini diperkuat oleh Stephen (Pujaatmaka, 1996;256) tentang adanya seperangkat factor kinerja yaitu “kuantitas kerja, kualitasw kerja, kedalaman pengetahuan, kehadiran, koorperasi dan prakarsa”.
60
Dalam kaitan ini, penilaian tidak dapat mencapai hasil yang baik apabila pelaksanaan penilaian tidak dilakukan secara benar. Soekidjo (1998;134) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu : 1. Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (Join Related). Penilaian harus menggambarkan perilaku atau kerja yang mendukung kegiatan karyawan. 2. Adanya standar pelaksanaan kerja (Performance Standards). Standar penilaian
berkaitan
dengan
hasil-hasil
yang
diinginkan
setiap
pekerjaan. Oleh karena itu harus ada alat ukur orestasi kerja seperti validitas dan reliabilitas. 3. Praktis. System penilaian harus mudah dimengerti dan dipahami serta digunakan baik oleh penilai maupun bawahan. Berdasarkan kajian diatas, maka prestasi kerja adalah hasil kerja melalui udaha kerja keras dan beberapa penilaian yang diterapkan dengan benar. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal terutama
mempersiapkan
dan
mempertahankan
karyawan
yang
menghadapi tantangan khususnya perusahaan sejenis baik dalam skala regional nasional maupun internasional. B. Kerangka Konseptual 1. Hubungan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja
61
Kontz, Harold dan Cyril dalam Subagio (1999;59) “Kepemimpinan yang efisien dan efektif”, adalah mencapai sesuatu melalui pekerjaan orang lain. Hal ini disimpulkan bahwa keberhasilan pimpinan dapat diukur dan tercermin dari tingkat keberhasilan pekerjaan bawahannya. Subagio (1999;153) dalam buku yang sama menjelaskan pokok persoalan bagi seprang pimpinan pada organisasi apapun dia berada, adalah masalah “bagaimana mengeerakkan bawahan agar mau bekerja secara produktif. Hampir semua pimpinan ingin menempatkan “orang cakap, pada tempat yang tepat (the right men in the right place), namun pada prinsipnya dalam mencapai tujuan seseorang memahami dan menyenangai pekerjaan. Herzberg membedakan dua macam pengaruh kepuasan bekerja (1) factor pemeliharaan (maintenance factors) antara lain gaji, kondisi kerja, kepastian kerja, supervise yang menyenangkan, berbagai macam tunjangan-tunjangan dan (2) factor motivasional (motivasional factor) antara lain tantangan, kesempatan untuk mencapai pertumbuhan pribadi dan feedback tentang hasil pekerjaan.
2. Hubungan Motivasi Terhadap Kinerja Karyawan Winardi (1989;312) mengemukakan factor-faktor terpenting yang mempengaruhi motivasi sebagai berikut : (1) kebutuhan-kebutuhan
62
oribadi; (2) tujuan-tujuan dan persepsi-persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan (3) cara dengan apa kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuan tersebut akan direalisasikan. Apabila karyawan menyukai pekerjaan, mereka menganggap tugas penuh tantangan dan menyukai lingkungan kerja secara umum akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan pekerjaan secara antusias. Dengan demikian, karyawanmemiliki motivasi tinggi,k baik secara eksistensi berasal dari tindakan yang dilakukan pemimpin dengan gaya kepemimpinan atau secara instrinsik akibat gaya kepemimpinan yang menyenangkan atau gaya kepemimpinan yang diterima bawahan akan meningkatkan kinerja. Peningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan kinerja pegawai yang lebih baik . 3. Hubungan Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Kinerja Pegawai Gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin menjalankan peranan kepemimpinan. Gaya kepemimpinan membawa sifat kepada pendekatan dalam memimpin bawahan. Gaya kepemimpinan yang diuraikan dalam teori tersebut diatas adalah otoriter, demokratis, otokratis, supportif, direktif, goal oriented teladanan dan konsultatif. Seorang pimpinan yang baik akan memilih gaya kepemimpinan yang cocok dengan situasi dan kondisi bawahan dan orgasnisasi. Seorang pemimpin harus mampu
63
mendiagnosa situasi bawahan dengan tujuan untuk menyesuaikan gaya kepemimpinan yang paling tepat dengan situasi. Karyawan yang memiliki motivasi tinggi, tercermin secara ekstrinsik akibat tindakan yang dilakukan pemimpin dengan gaya kepemimpinannya atau secara instrinsik akibat gaya kepemimpinan yang diterima bawahan untuk meningkatkan kinerja. Jadi hubungan gaya kepemimpinan, motivasi dan kinerja positif. Kenerja sangat dipengaruhi dan tergantung pada motivasi dan motivasi sangat dipengaruhi gaya kepemimpinan. Hal ini berarti gaya kepemimpinan, motivasi secara bersama-sama akan mempengaruhi kinerja karyawan. C. Kerangka Berfikir Bila melihat persepsi dari dinamika organisasi moderna baik yang bergerak dalam bidang industry maupun jasa, keunggulan sumber daya manusia menjadi satu pijakan atau standar, dimana kekuatan sumber daya
yang dimiliki menjadi bagian
yang mewujudkan
eksistensi
organisasi. Permasalahan subtansi dari implementasi pemberdayaan sumber daya manusia terletak dari pimpinan sebagai tenaga yang mengelola kekuatan sumber daya manusia. Dengan kata lain, kehandalan dan
kemahiran
pimpinan
dalam
mengoperasionalisasikan
setiap
kemampuan bawahannya dalam menjalankan tugas sesuai dengan tujuan
64
serta terwujudnya the right man in the right place merupakan proses yang sangat panjang. Dengan
demikian,
kecakapan
pimpinan
dalam
mengelola
organisasi diwarnai oleh gaya kepemimpinan Robert Tannenbaun dan Schmidt (Simamora, 2000;453) bahwa gaya kepemimpinan adalah sebagai
dasar
perilaku
pemimpin.
Kennet
Blanchard
(1979;52)
mengemukakan 4 gaya kepemimpinan (a) mengarahkan (delegating) melatih
(coaching)
mendukung
(supporting)
dan
mendelegasikan
(delegating). Keempat gaya kepemimpinan sebagaimana situasi dan kondisi maka, implementasi gaya kepemimpinan dapat dirasakan sebagai satu dorongan berupa motivasi. Akan tetapi, persoalan pokok pimpinan pada organisasi adalah “bagaimana memperhatikan bawahan agar mau bekerja”, tetapi juga “bekerja secara produktif”. Dengan demikian tujuan terpenting dalam peningkatan motivasi pekerja adalah mendorong gairah kerja
dengan
meningkatkan
kepuasan
kerja,
produktivitas
kerja,
kedisiplinan karyawan, menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik dan meningkatkan kreativitas dan partisipasi. Hal ini menunjukkan bahwa gaya pemimpin yang ideal akan melahirkan sikap bijak dalam mengatur dan memberdayakan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pemberdayaan sumber daya manusia akan menghasilkan lebih bayak
65
usaha dan meningkatkan kinerja. Peningkatan kinerja akan meningkatkan motivasi karena menimbulkan perasaan berprestasi. Dengan demikian, kinerja sangat tergantung motivasi selain kemampuan. Jadi kinerja sangat ditentukan oleh interaksikemampuan dan motivasi, sehingga Pottler dan Lawler membuat rumusan kinerja sebagai hasil perkalian antara Effort (usaha) dengan kemampuan dan role perception (pemahaman peran), dengan rumus sebagai berikut : Kinerja = f (motivasi, kemampuan, pemahaman peran) Sedangkan Blumberg dan Pringle (Stephen P. Robbins; 1996;233) mengemukakan teori bahwa kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi dan opportunity to perform (kesempatan untuk berpartisipasi). Kinerja = f (Kemampuan X Motivasi X Kesempatan) Dengan demikian jelas bahwa kinerja merupakan hasil dari motivasi yang diberikan manajemen kepada pekerja dengan pemanfaatan kemampuan sehingga menciptakan kepaduan hasil berupa kinerja. Berdasarkan kajian diatas, maka disusun kerangka pemikiran gaya kepemimpinan dan motivasi terhadap kinerja
66
. / 0 1
/0 0 ( ( '( )* ' ', -) .
101
- 302 '+ & ' ' '/ . '0 ' ' 1 ' & '
2 0 2
& & - -
& - #
&
# 4 #
4
()
/0 0 ( ( ' ' '2
101
Berdasarkan landasan
' ' '
$ # '3 '3 ' ' ' ' ' ' '
#
#
#
- 302 -
D. Hipotesis
&
1 0
& ,
-
4
& "1
-
*
teori diatas serta kerangka 67
konseptual dalam menghubungkan antara gaya kepemimpinan, motivasi terhadap kinerja, maka dapat diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut :
Ho1
: Tidak ada hbungan gaya kepemimpinan (X1) terhadap kinerja karyawan
(Y) Ha1
: Ada hubungan gaya kepemimpinan (X1) terhadap kinerja karyawan (Y)
Ho2
: Tidak ada hubungan motivasi kerja (X2) terhadap kinerja karyawan (Y)
Ha2
: Ada hubungan motivasi kerja (X2) terhadap kinerja karyawan (Y)
Ho3
: Tidak ada pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan motivasi kerja (X2) secara bersamasama terhadap kinerja karyawan (Y)
Ha3
: Ada pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan motivasi kerja (X2) terhadap secara bersama-sama kinerja karyawan Y
68