BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori 1.
Pendidikan Sekolah Dasar a.
Konsep Pendididikan Pendidikan merupakan salah satu indikator utama pembangunan dan
kualitas sumber daya manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pendidikan merupakan bidang yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan nasional, karena merupakan salah satu penentu kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bahkan merupakan sarana paling efektif untuk meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesejahteraan masyarakat, serta yang dapat mengantarkan bangsa mencapai kemakmuran. Dari segi etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata “pais” yang berarti “anak” dan kata “ago” yang berarti “aku membimbing”. Jadi paedagogike berarti aku membimbing anak. Orang yang pekerjaan membimbing anak dengan maksud membawanya ke tempat belajar, dalam bahasa Yunani disebut ”paedagogos” (Soedomo A. Hadi, 2008: 17). Jadi pendidikan adalah usaha untuk membimbing anak. Pendidikan seperti yang diungkapkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
11
pengajaran dan pelatihan. Definisi pendidikan lainnya yang dikemukakan oleh M. J. Langeveld (Revrisond Baswir dkk, 2003: 108) bahwa: 1) Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan. 2) Pendidikan ialah usaha untuk menolong anak untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya agar dia bisa mandiri, akil-baliq dan bertanggung jawab. 3) Pendidikan adalah usaha agar tercapai penentuan diri secara etis sesuai dengan hati nurani. Pengertian tersebut bermakna bahwa, pendidikan merupakan kegiatan untuk membimbing anak manusia menuju kedewasaan dan kemandirian. Hal ini dilakukan guna membekali anak untuk menapaki kehidupannya di masa yang akan datang. Jadi dapat dikatakan bahwa, penyelenggaraan pendidikan tidak lepas dari perspektif manusia dan kemanusiaan. Tilaar (2002: 435) menyatakan bahwa “hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia, yaitu suatu proses yang melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya”. Mencermati pernyataan dari Tilaar tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa dalam proses pendidikan, ada proses belajar dan pembelajaran, sehingga dalam pendidikan jelas terjadi proses pembentukan manusia yang lebih manusia. Proses mendidik dan dididik merupakan perbuatan yang bersifat mendasar (fundamental), karena di dalamnya terjadi proses dan perbuatan yang mengubah serta menentukan jalan hidup manusia. Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
12
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pengertian pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut menjelaskan bahwa pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang belajar untuk mengetahui, mengembangkan kemampuan, sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya untuk menyesuaikan dengan lingkungan di mana dia hidup. Hal ini juga sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad Saroni (2011: 10) bahwa, “pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung dalam kehidupan sebagai upaya untuk menyeimbangkan kondisi dalam diri dengan kondisi luar diri. Proses penyeimbangan ini merupakan bentuk survive yang dilakukan agar diri dapat mengikuti setiap kegiatan yang berlangsung dalam kehidupan.” Beberapa konsep pendidikan yang telah dipaparkan tersebut meskipun terlihat berbeda, namun sebenarnya memiliki kesamaan dimana di dalamnya terdapat kesatuan unsur-unsur yaitu: pendidikan merupakan suatu proses, ada hubungan antara pendidik dan peserta didik, serta memiliki tujuan. Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi (penyusunan kembali) pengalaman yang bertujuan menambah efisiensi individu dalam interaksinya dengan lingkungan.
b. Tujuan Pendidikan Dalam tujuan pembangunan, pendidikan merupakan sesuatu yang mendasar terutama pada pembentukan kualitas sumber daya manusia.
13
Menurut Herbison dan Myers (Panpan Achmad Fadjri, 2000: 36) “pembangunan
sumber
daya
manusia
berarti
perlunya
peningkatan
pengetahuan, keterampilan dari kemampuan semua orang dalam suatu masyarakat”. Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Melalui pendidikan selain dapat diberikan bekal berbagai pengetahuan, kemampuan dan sikap juga dapat dikembangkan berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Tujuan pokok pendidikan adalah membentuk anggota masyarakat menjadi orang-orang yang berpribadi, berperikemanusiaan maupun menjadi anggota masyarakat yang dapat mendidik dirinya sesuai dengan watak masyarakat itu sendiri, mengurangi beberapa kesulitan atau hambatan perkembangan hidupnya dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun mengatasi problematikanya (Nazili Shaleh Ahmad, 2011: 3). Pentingnya
pendidikan
tercermin
dalam
UUD
1945,
yang
mengamanatkan bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 yang menyebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Mencermati tujuan pendidikan yang disebutkan dalam UndangUndang Sisdiknas tersebut dapat dikemukakan bahwa pendidikan merupakan wahana terbentuknya masyarakat madani yang dapat membangun dan
14
meningkatkan martabat bangsa. Pendidikan juga merupakan salah satu bentuk investasi manusia yang dapat meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Kyridis, et al. (2011: 3) mengungkapkan bahwa “for many years the belief that education can increase social equality and promote social justice, has been predominant”. Hal senada dikemukakan oleh Herera (Muhadjir Darwin, 2010: 271) bahwa “melalui pendidikan, transformasi kehidupan sosial dan ekonomi akan membaik, dengan asumsi bahwa melalui pendidikan, maka pekerjaan yang layak lebih mudah didapatkan”. Dari apa yang dikemukaka oleh Kyridis dkk dan Herera tersebut dapat memberi gambaran bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting dalam mencapai kesejahteraan hidup. Todaro & Smith (2003: 404) menyatakan bahwa “pendidikan memainkan peran kunci dalam membentuk kemampuan manusia untuk menyerap teknologi modern, dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan.” Jadi, pendidikan dapat digunakan untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga. Dengan pendidikan akan terbentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Hal senada juga diungkapkan oleh Bruns, dkk (2003: 1) bahwa: Education is fundamental for the construction of globally competitive economies and democratic societies. Education is key to creating, applying, and spreading new ideas and technologies which in turn are critical for sustained growth; it augments cognitive and other skills, which in turn increase labor productivity.
15
Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Barbara dkk tersebut tampak bahwa, pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan ekonomi dan masyarakat. Pendidikan merupakan kunci untuk menciptakan ide-ide baru dan teknologi yang sangat penting dalam keberlanjutan pembangunan, bahkan dengan pendidikan pula akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Dari berbagai tujuan pendidikan yang telah dikemukakan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan adalah membentuk sumber daya manusia yang handal dan memiliki kemampuan mengembangkan diri untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal ini berarti, dengan pendidikan anak akan memiliki bekal kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara ataupun sebagai bagian dari anggota masyarakat dunia. Dengan pendidikan pula, memungkinkan sesorang memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan taraf hidupannya menjadi lebih baik dan sejahtera.
c.
Konsep Sekolah Dasar Pendidikan dapat berlangsung di sekolah sebagai institusi pendidikan
formal, yang diselenggarakan melalui proses belajar mengajar. Suparlan Suhartono (2008: 46) menyatakan bahwa “menurut pendekatan dari sudut pandang sempit, pendidikan merupakan seluruh kegiatan yang direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di lembaga pendidikan sekolah”. Suharjo (2006: 1) menyatakan bahwa “sekolah dasar pada dasarnya merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan
16
enam tahun bagi anak-anak usia 6-12 tahun.” Hal senada juga diungkapkan Fuad Ihsan (2008: 26) bahwa “sekolah dasar sebagai satu kesatuan dilaksanakan dalam masa program belajar selama 6 tahun.” Mencermati kedua pernyataan Suharjo dan Fuad Ihsan dapat dijelaskan bahwa sekolah dasar merupakan jenjang pendidikan yang berlangsung selama enam tahun. Pernyataan tentang sekolah dasar lainnya yang dikemukakan oleh Harmon & Jones (2005: 1) bahwa: “Elementary schools usually serve children between the ages of five and eleven years, or kindergarten through sixth grade. Some elementary schools comprise kindergarten through fourth grade and are called primary schools. These schools are usually followed by a middle school, which includes fifth through eighth grades. Elementary schools can also range from kindergarten to eighth grade”. Pernyataan oleh Harmon & Jones agak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Suharjo yaitu terletak pada usia. Jika Suharjo menyatakan sekolah dasar lebih ditujukaan pada anak yang berusia 6-12 tahun, maka Harmon dan Jones menyatakan sekolah dasar biasanya terdiri atas anak-anak antara usia 5-11 tahun, atau TK sampai kelas enam. Kemungkinan perbedaan ini terletak pada fisik antara anak yang ada di Indonesia dan anak yang ada di negara Eropa dan sekitarnya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah jenis pendidikan formal untuk peserta didik usia 7 sampai 18 tahun dan merupakan persyaratan dasar bagi pendidikan yang lebih tinggi”. Jika usia anak pada saat masuk sekolah dasar, merujuk pada definisi pendidikan dasar dalam Undang-Undang tersebut, berarti pengertian sekolah dasar dapat
17
dikatakan sebagai institusi pendidikan yang menyelenggarakan proses pendidikan dasar selama masa enam tahun yang ditujukan bagi anak usia 7-12 tahun. Batasan usia 7-12 tahun inilah yang digunakan peneliti dalam melakukan penelitian.
d. Tujuan Sekolah Dasar Proses pendidikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan atau bagian integral dari pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Dengan demikian, pendidikan harus mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan tidak menjadi beban pembangunan dan masyarakat, yaitu SDM yang menjadi sumber kekuatan atau sumber pengerak (driving forces) bagi seluruh proses pembangunan dan kehidupan masyarakat. Sekolah memainkan peran yang sangat penting sebagai dasar pembentukan sumber daya manusia yang bermutu. Melalui sekolah, anak belajar untuk mengetahui dan membangun keahlian serta membangun karakteristik mereka sebagai bekal menuju kedewasaan.“ The school function as a socializing agent by providing the intellectual and social experiences from which children develop the skill, knowledge, interest, and attitudes that characterize them as individuals and that shape their abilities to perform adult roles” (Berns, 2004: 212-213). Bagi anak, ketika masuk ke sekolah dasar menandai suatu perubahan dimana peran-peran dan kewajiban baru akan dialami. “For most children,
18
entering the first grade signal a change a from being a “homechild” to being a “schoolchild” a situation in which new roles and obligations are experiences Santrock (2004: 355). Melalui sekolah dasar, pertama kalinya anak belajar untuk berinteraksi dan menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang lain yang baru dikenalinya. Suharjo (2006: 8) mengemukakan tujuan pendidikan sekolah dasar sebagai berikut: 1) Menuntun pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, bakat dan minat siswa. 2) Meberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar yang bermanfaat bagi siswa. 3) Membentuk warga negara yang baik 4) Melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan di SLTP 5) Memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap dasar bekerja di masyarakat. 6) Terampil untuk hidup di masyarakat dan dapat mengembangkan diri sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup. Tujuan pendidikan sekolah dasar lainnya dikemukakan oleh Eka Ihsanudin (2010) yaitu: (1) memberikan bekal kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, (2) memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya, (3) mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan di SLTP. Jika dicermati, tujuan pendidikan SD yang dikemukakan oleh Suharjo dan Eka Ihsanidin memiliki kesamaan yaitu bahwa sekolah dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar bagi anak yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat. Selain itu, pendidikan sekolah dasar bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah
19
e.
Karakteristik Anak Sekolah Dasar 1) Perkembangan Fisik dan Kognitif Masa sekolah dasar berlangsung antara usia 6 – 12 tahun. Masa ini sering disebut juga masa sekolah, yaitu masa matang untuk belajar atau sekolah. Pada masa ini anak-anak lebih mudah diarahkan, diberi tugas yang harus diselesaikan, dan cenderung mudah untuk belajar berbagai kebiasaan seperti makan, tidur, bangun, dan belajar pada waktu dan tempatnya dibandingkan dengan masa pra sekolah. Dilihat dari karateristik anak pertumbuhan fisik dan psikologisnya anak
mengalami
pertumbuhan
jasmaniah
maupun
kejiwaannya.
Pertumbuhan dan perkembangan fisik anak berlangsung secara teratur dan terus menerus kearah kemajuan. “Anak SD merupakan anak dengan katagori banyak mengalami perubahan yang sangat drastis baik mental maupun fisik” (Sugiyanto, 2010: 1). Pada fase ini pertumbuhan fisik anak tetap berlangsung. Anak menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat, dan juga lebih banyak belajar berbagai keterampilan. Pada masa ini juga perkembangan kemampuan berpikir anak bergerak secara sekuensial dari berpikir konkrit ke berpikir abstrak. Hal ini sejalan dengan apa yang di kemukakan oleh Jean Piaget (Crain, 2004: 121-131) bahwa anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkrit. Pada tahap operasi konkrit ini anak sudah mengetahui simbolsimbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Dalam tahap ini anak mulai berkurang egosentrisnya dan lebih
20
sosiosentris (mulai membentuk peer group). Akhirnya pada tahap operasi formal anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentukbentuk yang lebih kompleks. 2) Hubungan Orang Tua dan Anak SD Santrock (2004: 349) menyatakan bahwa “as children move into the middle and late chilhood years, parents spend considerably less time with them”. Pada usia akhir, waktu anak-anak bersama keluarganya cenderung berkurang. Hal ini dikarenakan anak lebih banyak di sekolah dan atau bermain dengan teman-teman sebayanya yang banyak menyita waktu. Anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah, karena anak mempunyai keinginan kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok. Namun demikian, dalam hal penanaman norma sosial, kontrol, dan disiplin, orang tua masih memiliki peranan penting bagi anak. Kontrol yang diberikan orang tua terhadap anak lebih berkaitan dengan memonitor perkembangan anak, mengarahkan dan memberi dukungan (support), pemanfaatan waktu secara efektif ketika mereka langsung berhubungan dengan anak-anaknya. Selain itu, orang tua juga harus berusaha menanamkan kepada anak kemampuan untuk mengontrol perilaku mereka sendiri, untuk menghindari resiko cedera, untuk memahami perilaku yang diharapkan, dan merasakan perhatian ataupun dukungan dari orang tuanya. Berbagai hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap anaknya.
21
Fuad Ihsan (2008: 63-64) menyatakan bahwa tanggung jawab pendidikan yang perlu disadarkan dan dibina oleh kedua orang tua terhadap anak antara lain: (a) memelihara dan membesarkannya, (b) melindungi dan menjamin kesehatannya, (c) mendidik dengan berbagi ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi hidupnya, (d) membahagiakan anak dunia dan akhirat dengan memberikannya pendidikan anak. Dari penyataan ini, dapat dijelaskan bahwa orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua adalah bentuk perhatian orang tua terhadap anaknya untuk memasuki masa depan yang lebih baik.
2.
Putus Sekolah a.
Konsep Putus Sekolah Ary H. Gunawan (2010: 71) menyatakan bahwa “putus sekolah
merupakan predikat yang diberikan kepada mantan peserta didik yang tidak mampu menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, sehingga tidak dapat melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan berikutnya”. Hal ini berarti, putus sekolah ditujukan kepada sesorang yang pernah bersekolah namun berhenti untuk bersekolah. Hal senada diungkapkan oleh Nazili Shaleh Ahmad (2011: 134) bahwa yang dimaksud dengan putus sekolah yaitu “berhentinya belajar seorang murid baik ditengah-tengah tahun ajaran atau pada akhir tahun ajaran karena berbagai alasan tertentu yang mengharuskan atau memaksanya untuk berhenti
22
sekolah”. Hal ini berarti putus sekolah dimaksudkan untuk semua anak yang tidak menyelesaikan pendidikan mereka. Berdasarkan konsep putus sekolah tersebut maka, yang dimaksud dengan putus sekolah dalam penelitian ini adalah, terhentinya proses pendidikan anak dalam menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan mereka yang oleh karena itu tidak memiliki ijazah SD.
b. Penyebab Putus Sekolah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini berarti, setiap anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan beberapa hal penting sebagai berikut: 1) Pasal 4 mengungkapkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diksriminasi. 2) Pasal 9 mengungkapkan dua hal pokok yaitu; a) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
23
b) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Undang-undang tersebut memberi makna bahwa, kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang. Kesempatan itu diberikan kepada semua anak-anak Indonesia, tanpa melihat latar belakang apapun, termasuk anak yang memiliki kebolehan fisik atau mental. Sabates, et al. (2011: 1) menyatakan bahwa “policies to improve school progression and reduce the numbers of children dropping out of school are critical if Universal Primary Education (UPE) is to be achieved”. Namun demikian, masih terdapat sejumlah anak-anak terutama yang berada di daerah pedesaan tidak bersekolah dan juga mengalami putus sekolah. Hal ini tentu saja merupakan fenomena yang berkaitan dengan sejumlah faktor. Menurut BPS (2010: 36) penyebab utama anak sampai mengalami putus sekolah adalah karena kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak, keterbatasan ekonomi/tidak ada biaya, keadaan geografis yang kurang menguntungkan, keterbatasan akses menuju ke sekolah, karena sekolah jauh atau minimnya fasilitas pendidikan. Mudjito AK, (2008: 5) menyatakan bahwa masih banyaknya siswa SD mengalami putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: “(1) rendahnya kemampuan ekonomi termasuk eksploitasi tenaga anak sebagai pekerja anak oleh orang
24
tuanya demi membantu mencari nafkah keluarga; (2) rendahnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan dan kurangnya dukungan motivasi dari keluarga”. Mencermati apa yang diungkapkan oleh Mudjito AK memberikan gambaran bahwa kondisi keluarga sangat mempengaruhi keberlanjutan sekolah anak, salah satunya adalah kondisi perekonomian keluarga. Hal senada juga diungkapkan oleh Muhammad Saroni (2011: 148) bahwa, “tingkat perekonomian keluarga pada kenyataannya merupakan salah satu aspek penghambat kesempatan proses pendidikan dan pembelajaran. Ada banyak anak usia sekolah yang terhambat, bahkan kehilangan kesempatan mengikuti proses pendidikan hanya karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang mendukung”. Lebih lanjut Nazili Shaleh Ahmad (2011: 134-135) menyatakan bahwa, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah yaitu: (1) adat istiadat dan ajaran-ajaran tertentu, (2) karena kecilnya pendapatan orang tua murid, (3) jauhnya jarak antara rumah dan sekolah (4) lemahnya kemampuan murid untuk meneruskan belajar dari satu kelas ke kelas selanjutnya dan (5) kurang adanya perhatian dari pihak sekolah. Mencermati apa yang diungkapkan oleh Nazili Shaleh Ahmad dapat diketahui bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah yaitu faktor eksternal anak dan faktor internal anak. Faktor eksternal anak meliputi adat istiadat atau budaya, faktor ekonomi, jarak yang ditempuh untuk mengakses sekolah serta kurangnya perhatian dari orang tua
25
dan sekolah. Sedangkan yang termasuk dalam faktor internal anak adalah kemampuan belajar anak. Berbagai macam faktor-faktor yang ada tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Maksudnya, faktor ekonomi dapat menyebabkan rendahnya minat anak, fasilitas belajar dan perhatian orang tua yang kurang. Faktor minat anak yang kurang dapat diakibatkan oleh perhatian orang tua dan fasilitas belajar yang rendah, budaya kurang mendukung, dan jarak antara tempat tinggal anak dengan sekolah yang jauh. Dari berbagai penjelasan tentang permasalahan yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah dapat diketahui bahwa yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah dipengaruhi oleh berbagai sebab, baik yang berasal dari internal anak maupun eksternal anak. Dalam penelitian ini, peneliti akan lebih fokus pada sebab eksternal yaitu perhatian orang tua pada pendidikan anak.
3.
Perhatian Orang Tua pada Pendidikan Anak a. Pengertian Perhatian Orang Tua Kesadaran
masyarakat
akan
pentingnya
pendidikan
untuk
meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan martabatnya sangat diperlukan bagi pendidikan anak. Dengan kesadaran seperti ini masyarakat akan mempunyai pandangan bahwa penyelenggaraan pendidikan adalah sematamata untuk mereka. Tugas sekolah adalah memberikan pencerahan dan
26
penyadaran di tengah-tengah masyarakat bahwa pendidikan sangatlah penting artinya untuk peningkatan taraf dan martabat hidup mereka. Salah satu bentuk dari kesadaran orang tua terhadap keberhasilan pendidikan
anaknya adalah dengan
memberikan
perhatian.
Sumadi
Suryabrata (2006: 14) mengemukakan bahwa terdapat dua definisi mengenai perhatian yang diberikan oleh para ahli psikologi yaitu: (1) perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju kepada suatu objek dan (2) perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas yang dilakukan. Hal senada diungkapkan oleh Baharuddin (2007: 178) bahwa “perhatian merupakan pumusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada suatu sekumpulan objek”. Lebih lanjut Baharuddin mengatakan bahwa “perhatian sangat dipengaruhi oleh perasaan dan suasana hati, serta ditentukan oleh kemaun”. Mencermati pernyataan dari Sumadi Suryabrata dan Baharuddin tersebut dapat dijelaskan bahwa perhatian merupakan pemusatan seseorang yang diarahkan pada suatu objek tertentu, dalam hal ini adanya kepedulian terhadap objek tersebut, yang disertai oleh suasana hati dan kemauan. Pengertian perhatian lainnya yang dikemukakan oleh Slameto (2010: 105) bahwa, “perhatian adalah kegiatan yang dilakukan seseorang dalam hubungannya dengan pemilihan ransangan yang datang dari lingkungannya”. Hal ini berarti dalam perhatian adanya proses penyeleksian dan menuntut kesadaran penuh.
27
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perhatian merupakan bentuk kepedulian terhadap suatu kegiatan tertentu. Sedangkan perhatian orang tua yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepedulian orang tua pada pendidikan anak di sekolah dasar, sebagai salah satu bentuk kesadaran orang tua pada pendidikan anak.
b. Bentuk-bentuk Perhatian Orang Tua terhadap Pendidikan Anak
Lingkungan keluarga banyak dihubungkan dengan keberhasilan pendidikan anak. Karena itu, yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pendidikan seorang anak adalah orang tua, di samping lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Orstein dan Levin (T. O. Ihromi, 2004: 68) menyatakan bahwa “persiapan yang dilakukan orang tua bagi keberhasilan pendidikan anaknya antara lain ditunjukkan dalam bentuk perhatian terhadap kegiatan pembelajaran anak di sekolah dan menekankan arti penting pencapain prestasi oleh sang anak”. Dari pernyataan tersebut memberi makna bahwa, bentuk perhatian orang tua pada pendidikan anaknya dapat dilakukan dengan perhatian pada kegiatan belajar anak dalam hal ini adalah pengawasan terhadap belajar anak dan pemberian motivasi. Halim Malik (2011) menyatakan bentuk-bentuk perhatian orang tua pada pendidikan anak dapat berupa “(1) mengontrol waktu belajar dan cara belajar anak, (2) memantau perkembangan kemampuan akademik anak, (3) memantau perkembangan kepribadian (sikap, moral, tingkah laku), dan (4) memantau efektivitas jam belajar di sekolah”. Dari pernyataan tersebut,
28
perhatian orang tua pada pendidikan anak terutama ditujukan kepada perkembangan dan kegiatan belajar anak. Orang tua harus memperhatikan sekolah anaknya, yaitu dengan memperhatikan
pengalaman-pengalamannya
dan
menghargai
segala
usahanya. Begitu juga orang tua harus menunjukkan kerjasamanya dalam mengarahkan cara anak belajar di rumah, membuat pekerjaan rumahnya, tidak disita waktu anak dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, orang tua harus berusaha memotivasi dan membimbing anak dalam belajar (Hasbullah, 2005: 90). Pernyataan oleh Hasbullah tersebut bermakna bahwa bentuk-bentuk perhatian orang tua pada pendidikan anak dapat berupa memperhatikan pengalaman-pengalaman anak selama bersekolah, menghargai segala usaha anak, membimbing atau mengarahkan anak untuk belajar di rumah serta memberikan motivasi kepada anak. Dari berbagai macam bentuk-bentuk perhatian yang telah dipaparkan, adapun bentuk-bentuk perhatian orang tua pada pendidikan yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah perhatian terhadap kegiatan belajar anak, pemberian motivasi dan pemenuhan kebutuhan sekolah anak. 1) Perhatian Orang Tua terhadap Kegiatan Belajar Sugihartono dkk (2007: 74) berpendapat bahwa “belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya”.
29
Hal senada diungkapkan Muhibbin Syah (2010: 90) bahwa “belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif”. Hal ini berarti dengan belajar akan membawa perubahan. Dari pengertian belajar yang dikemukakan oleh Muhibbin Syah dan Sugihartono, terdapat dua unsur pokok dalam belajar yaitu (1) adanya proses perubahan tingkah laku (2) proses belajar terjadi karena ada interaksi dengan lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik, sebagai hasil dari pengalaman seseorang dalam proses pembelajaran dan interaksi dengan lingkungan. Nana Sudjana (2005: 105) menyatakan bahwa “kegiatan belajar atau aktivitas belajar sebagai proses terdiri atas enam unsur yaitu tujuan belajar, peserta didik yang termotivasi, tingkat kesulitan belajar, stimulus dari lingkungan, peserta didik yang memahami situasi, dan pola respon peserta didik”. Dari apa yang dikemukakan Nana Sudjana memberikan gambaran bahwa dalam kegiatan belajar melibatkan dua unsur utama, yaitu unsur yang berasal dari dalam siswa dan unsur yang berasal dari luar siswa berupa stimulus dari lingkungan, salah satunya adalah stimulus yang berasal dari perhatian orang tua. “Belajar memerlukan bimbingan orang tua agar sikap dewasa dan tanggung jawab belajar tumbuh pada diri anak” (Abu Ahmadi dan
30
Widodo Supriyono, 2004: 87). Hal ini berarti, perhatian orang tua membantu perkembangan belajar anak dan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap anak dalam menyelesaikan semua tugas sekolah yang diberikan. Dengan perhatian orang tua dapat membantu anak dalam mengatasi kesulitannya dalam belajar, sebagaimana yang dikemukakan oleh Mulyono Abdurrahman (2009: 11) bahwa “kesulitan belajar akademik dapat diketahui oleh guru atau orang tua, ketika anak gagal menampilkan salah satu atau beberapa kemampuan”. Selain itu, orang tua dituntut untuk dapat membentuk suasana belajar di rumah yang menyenangkan. Peran orang tua dalam membentuk lingkungan belajar yang kondusif di rumah antara lain (E. Mulyasa, 2005: 167-168): a) Menciptakan budaya belajar di rumah. b) Memprioritaskan tugas yang terkait secara langsung dengan pembelajaran di sekolah. c) Mendorong anak untuk aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi sekolah, baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler. d) Memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan gagasan, ide, dan berbagai aktivitas yang menunjang kegiatan belajar. e) Menciptakan situasi yang demokratis di rumah agar tukar pendapat dan pikiran sebagai sarana belajar dan membelajarkan. f) Memahami apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh sekolah, dalam mengembangkan potensi anaknya. g) Menyediakan sarana belajar yang memadai, sesuai dengan kemampuan orang tua dan kebutuhan sekolah.
31
Lebih lanjut Nasruddin (2009: 65-66) menguraikan langkahlangkah yang harus dilakukan orang tua berhubungan dengan proses belajar anak, antara lain: a) b) c)
d) e)
f) g) h)
Setiap ada pekerjaan rumah (PR) orang tua harus membantu dalam menyelesaikannya apabila anak mendapat kesukaran. Memberikan petunjuk atau bimbingan kepada anak tentang caracara belajar yang efektif. Mengatur kedisiplinan waktu yang teratur kepada anak agar dapat memanfaatkan waktunya sebaik mungkin dalam belajar, bekerja dan waktu istirahat. Mengontrol setiap ada kegiatan di rumah, apakah ada kegiatan belajar yang diberikan guru di sekolah. Memenuhi segala kebutuhan anak yang dapat menunjang proses belajar misalnya tentang buku-buku pelajaran dan alat-alat tulis menulis. Setiap belajar anak diikuti secara seksama, apakah benar-benar belajar atau tidak. Mengusahakan bantuan dari orang lain bila orang tuanya tidak mampu menyelesaikan kesulitan belajar anak. Mengecak kehadiran anaknya di sekolah, baik dengan menanyakan kepada guru-guru, ataupun melalui teman-teman sekelasnya atau melalui absen kehadiran di sekolah.
Peranan orang tua yang dikemukakan oleh Mulyasa dan Nasruddin tersebut memberikan gambaran bahwa, sesungguhnya orang tua merupakan penanggung jawab utama pendidikan anak. Dalam pengertian ini, keberhasilan belajar anak di sekolah bukan hanya merupakan usaha dari guru dan anak sebagai peserta didik, tetapi keberpihakan orang tua yang memberikan dukungan berupa perhatian, dorongan dan pengawasan kepada anaknya untuk belajar di rumah ikut memberikan andil. Dengan kata lain, orang tua mempunyai peranan besar terhadap keberhasilan pendidikan anak.
32
2) Memberikan Motivasi Oemar Hamalik (2004: 173) menyatakan bahwa “istilah motivasi menunjuk kepada semua gejala yang terkandung dalam semua stimulasi tindakan ke arah tujuan tertentu dimana sebelumnya tidak ada gerakan menuju ke arah tujuan tersebut”. Hal ini berarti motivasi sebagai pendorong bagi seseorang untuk melakukan kegiatan. Peran motivasi yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang, semangat untuk belajar dan sekolah. Pengertian motivasi lainnya dikemukakan oleh Santrock (2008: 510) bahwa “motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah dan kegigihan perilaku yang penuh energi, dan bertahan lama”. Dari apa yang dikemukakan oleh Santrock ini dapat dijelaskan bahwa dengan memberikan motivasi akan memberikan semangat kepada seseorang untuk terus berusaha sekuat tenaga dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Sebagai pendidik yang utama dan pertama bagi anak, orang tua sudah seharusnya mampu memberikan dorongan dalam hal ini memotivasi anak untuk terus belajar. Ngalim Purwanto (2007: 105) mengatakan bahwa “jika guru atau orang tua dapat memberikan motivasi yang baik pada anak-anak timbullah dalam diri anak itu dorongan dan hasrat untuk belajar lebih baik. Anak dapat menyadari apa gunanya belajar dan apa tujuan yang hendak dicapai dengan pelajaran itu, jika
33
diberi perangsang, diberi motivasi yang baik dan sesuai”. Dari apa yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto tersebut diketahui bahwa motivasi memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan belajar anak. Dengan motivasi belajar yang tinggi akan memberikan semangat bagi anak yang bersangkutan untuk tetap bersekolah walaupun dengan ekonomi yang tidak memadai. Berbeda dengan anak yang motivasi belajarnya rendah, maka semangat untuk bersekolah juga rendah, yang pada akhirnya berpeluang besar untuk putus sekolah. 3) Pemenuhan Kebutuhan Sekolah Di samping memberikan perhatian pada kegiatan belajar anak dan motovasi, bentuk perhatian orang tua yang tidak kalah pentingnya adalah memenuhi kelengkapan kebutuhan sekolah anak. Kebutuhan sekolah adalah segala alat dan sarana yang diperlukan untuk menunjang kegiatan pendidikan anak. Kebutuhan tersebut bisa berupa ruang belajar anak, seragam sekolah, buku-buku, alat-alat belajar, dan lain-lain. Kebutuhan belajar, menurut Bimo Walgito (Insan Cita, 2012: 3), adalah “segala alat dan sarana yang diperlukan untuk menunjang kegiatan belajar anak. Kebutuhan tersebut bisa berupa ruang belajar anak, seragam sekolah, buku-buku, alat-alat belajar, dan lain-lain”. Belajar tidak akan berjalan dengan baik tanpa alat-alat belajar yang cukup. Hal ini berarti, salah satu penunjang keberhasilan pendidikan anak adalah didukung sarana sekolah yang memadai. Dengan adanya fasilitas sekolah yang
34
memadai, maka anak menjadi termotivasi untuk ke sekolah. Anak tidak merasa kesulitan dan bersemangat dalam melakukan kegiatan belajar karena semua fasilitas belajarnya telah tersedia.
c. Hubungan Perhatian Orang Tua dengan Putus Sekolah Para ahli sosiologi menyatakan bahwa proses sosialisasi pertama dan utama dari proses sosialisasi di dalam kebudayaan masyarakat manusia adalah sosialisasi di lingkungan keluarga. “Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dalam perkembangan peserta didik” (Conny R. Semiawan, 2009: 79). Di dalam keluarga anak belajar melakukan interaksi sosial yang pertama serta mulai mengenal tentang perilaku-perilaku yang diperankan oleh orang lain di lingkungannya. Dengan kata lain, pengenalan tentang nilai-nilai budaya masyarakat dimulai dari lingkungan keluarga. Pendidikan merupakan sesuatu yang paling penting bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak. Untuk itu, peran dari keluarga sangat dibutuhkan sebagai salah satu penentu keberhasilan perkembangan dan penyelengaraan pendidikan anak. Menurut Altenhofen (Salkind, NJ, 2008: 298) “Family features have been found to be the most predictive determinants to child development outcomes for children in early care and education settings” Berns (2004: 239) menyatakan “when families are involved, children benefit by having a more positive attitude toward learning, better attendance,
35
fewer placements in special education, better grades, and increased likelihood of graduating from high school and going to work or continuing their education”. Dari apa yang dikemukakan oleh oleh Berns tersebut, dapat diketahui pentingnya keterlibatan orang tua pada pedidikan anak. Dengan keterlibatan orang tua, anak akan memiliki sikap yang positif terhadap belajar sehingga memperoleh nilai yang baik dan memungkinkan anak untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta menyelesaikan pendidikannya. Dalam proses pendidikan anak, perhatian orang tua merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan anak dalam menempuh pendidikannya. Dengan perhatian, orang tua akan mau dan dapat memikirkan berbagai kebutuhan dan keperluan anak dalam proses pendidikannya. Dengan perhatian, orang tua dapat menerima dan memilih stimuli yang relevan dengan permasalahan yang dihadapinya. “Perhatian dapat membuat orang tua mengarahkan diri ke tugas-tugas yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi terhadap tuntutan anak, memfokuskan diri pada masalah yang harus diselesaikan terlebih dahulu dan mengabaikan hal-hal yang tidak relevan” (Halim Malik, 2011). Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Halim Malik tersebut dapat dijelaskan bahwa keterlibatan orang tua pada pendidikan anak, dengan memberikan perhatian merupakan salah satu penentu keberhasilan anak dalam menyelesaikan studinya. Dengan kata lain orang tua yang tidak
36
memberikan perhatian akan pendidikan anaknya, kemungkinan akan mengalami kegagalan. Orang tua yang kurang atau bahkan tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya merasa acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan atau melengkapi alat belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak belajar atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain, dapat menyebabkan anak tidak atau kurang berhasil dalam belajarnya (Slameto, 2010: 61). Pernyataan Slameto tersebut memberi gambaran bahwa, orang tua yang tidak memberikan perhatian terhadap pendidikan anak, menyebabkan anak tidak berhasil dalam belajarnya yang pada akhirnya akan berdampak pada keberlangsungan pendidikan anak. Hal ini berdasarkan suatu asumsi bahwa ketidakberhasilan anak dalam belajar merupakan salah satu faktor anak untuk berhenti sekolah. Anak dengan hasil belajar yang baik, akan memiliki motivasi untuk terus bersekolah, sebaliknya anak yang terus menerus mempunyai hasil belajar yang rendah akan merasa minder dan tidak semangat untuk pergi ke sekolah. Jadi dapat disimpulkan bahwa perhatian orang tua erat kaitannya dengan keberlangsungan pendidikan anak. Orang tua yang memberikan perhatian pada pendidikan anaknya lebih mungkin untuk menyelesaikan studinya, sedangkan anak dengan perhatian yang kurang, dapat menyebabkan terhentinya proses pendidikan anak atau mengalami putus sekolah.
37
d. Kendala-kendala
Perhatian
Orang
Tua
dalam
Memberikan
Perhatian pada Pendidikan Anak Siskandar (2008: 668) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan rendahnya peran serta masyarakat khususnya orang tua pada penyelenggaraan pendidikan. Pertama, adalah kurangnya kesadaran orang tua akan kewajiban mereka untuk menyelenggarakan pendidikan. Kedua, rasa ketidaktahuan orang tua berkaitan dengan bentuk partisipasi yang bisa mereka berikan. Dari apa yang dikemukan oleh Siskandar ini dapat diketahui bahwa, ketidaksadaran dan kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan
bagi
anaknya,
menyebabkan
kurangnya
perhatian
pada
pendidikan anak. Ketidaksadaran dan kurangnya pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua. Menurut Schneider & Coleman (Santrock, 2008: 532) “orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mungkin percaya bahwa keterlibatan mereka dalam pendidikan anak adalah penting. Mereka lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam pendidikan anak dan memberi stimuli intelektual di rumah”. Hal ini berarti tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi baik tidaknya perhatian orang tua akan pendidikan anak. Penyebab lainnya yang merupakan kendala orang tua untuk mencurahkan perhatian pada pendidikan anaknya adalah kendala ekonomi keluarga, sebagaimana yang ditemukan oleh Burhanudin (2007: 20) dalam penelitiannya di Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa Barat Provinsi NTB. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, rendahnya perhatian orang
38
tua terhadap pendidikan anak dapat disebabkan karena kondisi ekonomi keluarga atau rendahnya pendapatan orang tua si anak sehingga perhatian orang tua lebih banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan sosial ekonomi keluarga memiliki peranan krusial terhadap proses perkembangan anak-anak. Anak memiliki kesempatan lebih luas untuk mengembangkan pengetahuan dan beragam kecakapan atas jaminan dan dukungan ekonomi orang tua untuk memungkinkan terjaganya hubungan orang tua dan anak-anaknya, karena orang tua akan lebih fokus perhatiannya kepada anak-anak dan perkembangannya (Abdullah Idi, 2011: 180). Pernyataan oleh Abdullah Idi tersebut, menggambarkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan baik tidaknya perhatian orang tua pada pendidikan anak adalah keadaan ekonomi keluarga. Dengan keadaan ekonomi yang baik, anak memiliki kesempatan untuk terus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, namun sebaliknya keadaan ekonomi keluarga yang kurang dapat menyebabkan terhentinya pendidikan anak. Kendala lainnya yang menyebabkan kurangnya pemberian perhatian orang tua pada pendidikan anak adalah jumlah tanggungan keluarga. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Umar Tirtorahardjo dan La Sulo (2008: 171) bahwa “banyaknya anggota keluarga dan urutan kelahiran seorang anak mempunyai pengaruh terhadap perhatian”. Hal ini berarti, semakin
39
banyaknya jumlah anak dalam keluarga maka akan semakin kecil perhatian orang tua terhadap pendidikan anak. Selain itu, persepsi dari orang tua akan pendidikan juga sangat menentukan keberhasilan pendidikan seorang anak. Bimo Walgito (2010: 99) menyatakan bahwa, “persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yang merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya.” Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pemberian arti terhadap lingkungan disekitarnya oleh seorang individu yang diterima melalui inderanya. Gibson, et al. (2003: 98-101) mendefinisikan persepsi sebagai proses dari
seseorang
dalam
memahami
lingkungannya
yang
melibatkan
pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Lebih lanjut Gibson menyatakan, individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama tetapi memahaminya secara berbeda. Namun kenyataannya adalah bahwa tidak seorangpun melihat realitas, tetapi yang dilakukan adalah menginterpretasikan apa yang dilihat dan menyebutnya sebagai realitas. Mencermati pernyataan tentang persepsi oleh Gibson, dapat dijelaskan bahwa dalam persepsi terdapat tiga komponen yaitu: (1) adanya proses seleksi terhadap stimulan yang berasal dari luar, yang artinya tidak semua rangsangan dari luar akan direspon oleh individu, namun akan diseleksi terlebih dahulu. Hal ini berarti, persepsi seseorang akan menumbuhkan sikap
40
selektifitas terhadap pengaruh yang terdapat di lingkungan sekitarnya, (2) interpretasi, yaitu proses pengorganisasian atau penafsiran informasi, dan (3) reaksi, yang merupakan bentuk tingkah laku akibat interpretasi. Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan, maka persepsi berkenaan dengan tanggapan atau cara pandang seseorang terhadap dunia eksternal atau sesuatu di luar dirinya yang bersifat riil dan merupakan kombinasi dari pancaindera yang dimilikinya. Cara pandang dapat berupa pengetahuan atau pemahaman akan sesuatu. Dengan demikian persepsi orang tua tentang pendidikan anak adalah tanggapan atau cara pandang orang tua terhadap arti pendidikan. Artinya kemampuan orang tua dalam melihat manfaat pendidikan bagi anaknya. Orang tua yang memiliki persepsi yang positif terhadap pendidikan, akan berdampak baik terhadap keberhasilan pendidikan anak, sebaliknya orang tua yang memiliki persepsi yang negatif terhadap pendidikan, dapat menyebabkan terhentinya pendidikan anak. Berdasarkan beberapa kendala-kendala perhatian yang telah dipaparkan tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perhatian orang tua pada anaknya terutama untuk menikmati pendidikan berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan dalam keluarga. Berbagai aspek tersebut, merupakan penentu untuk anak dapat terus bersekolah atau malah berhenti untuk bersekolah.
41
4.
Strategi Sekolah dalam Mengatasi Permasalahan Putus Sekolah Pendidikan merupakan masa depan bangsa sehingga sudah menjadi
kewajiban bagi semua untuk memikul tanggung jawab bersama, baik itu oleh pemerintah, keluarga maupun sekolah dalam menyikapi segala permasalahan pada pendidikan anak, terutama yang terkait dengan putus sekolah. Salah satu upaya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan putus sekolah adalah dengan menerbitkan kebijakan yang populer yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Melalui dana BOS, diharapkan angka putus sekolah terutama pada jenjang sekolah dasar dapat diminimalisir. Upaya menekan angka putus sekolah dapat dilakukan antara lain dengan: (1) memberikan beasiswa; (2) menciptakan layanan pendidikan alternatif bagi siswa yang rentan dan telah putus sekolah; (3) Advokasi tentang pentingnya pendidikan termasuk pendekatan budaya kepada kelompok masyarakat tertentu yang belum memahami pentingnya pendidikan (Mudjito AK, 2008: 5). Terdapat dua penekanan dari pernyataan Mudjito AK terkait dengan upaya mengatasi permasalahan anak putus sekolah tersebut yaitu, upaya kuratif dan preventif. Langkah kuratif diambil bagi anak yang telah mengalami putus sekolah dengan jalan memberikan pendidikan alternatif. Sedangkan upaya preventif, yaitu upaya mengurangi atau pencegahan jangan sampai anak mengalami putus sekolah. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan beasiswa kepada anak yang rentang putus sekolah. Langkah lainya adalah dengan cara melakukan penyuluhan akan arti penting pendidikan untuk anak bagi pihak masyarakat
42
khususnya para orang tua. Langkah ini dapat ditempuh oleh pihak sekolah yang dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dan melakukan komunikasi atau dialog tatap muka dengan orang tua. Melalui kerjasama dan komunikasi yang intens antara pihak sekolah dan orang tua, diharapkan dapat membangkitkan kesadaran orang tua untuk terus menyekolahkan anak-anaknya. Suryosubroto (1998: 55-57) menyatakan “dasar kerja sama sekolah dengan orang tua siswa adalah, karena adanya kesamaan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dan kesamaan tujuan untuk membentuk manusia yang berguna bagi bangsa dan negara”. Adapun tujuan kerja sama sekolah dengan orang tua adalah: (1) saling membantu dan saling mengisi, (2) membantu keuangan dan barang, (3) mencegah perbuatan yang kurang baik, dan (4) membuat rencana yang baik untuk anak. Dari apa yang dikemukakan oleh Suryosubroto dapat diketahui pentingnya kerjasama sekolah dengan orang tua dalam upaya untuk menyukseskan pendidikan anak. Hasbullah (2005: 91-94) menyatakan pada dasarnya cukup banyak cara yang ditempuh untuk menjalin kerjasama antara keluarga dengan sekolah, antara lain: 1) Adanya kunjungan ke rumah anak didik. Kunjungan berdampak positif yaitu: (a) melahirkan perasaan pada anak didik bahwa sekolahnya selalu memperhatikan dan mengawasinya, (b) memberi kesempatan kepada si pendidik melihat sendiri dan mengobservasi langsung cara anak didik belajar, latar belakang hidupnya, dan tentang masalah-masalah yang dihadapinya dalam keluarga, (c) pendidik berkesempatan untuk memberikan penerangan kepada orang tua anak didik tentang pendidikan yang baik, cara-cara menghadapi masalah-masalah yang sedang dialami anaknya, (d) hubungan 43
2) 3)
4)
5)
6)
antara orang tua dan sekolah akan bertambah erat, (e) dapat memberikan motivasi kepada orang tua anak didik untuk lebih terbuka dan dapat bekerja sama dalam upaya memajukan pendidikan anaknya, (f) pendidik mempunyai kesempatan untuk mengadakan interview mengenai berbagai macam keadaan atau kejadian tentang sesuatu yang ingin ia ketahui, dan (g) terjadinya komunikasi dan saling memberikan informasi tentang keadaan anak serta saling memberi petunjuk antara guru dengan orang tua. Diundangnya orang tua ke sekolah. Case conference yaitu rapat atau konferensi tentang kasus. Biasanya digunakan dalam bimbingan konseling. Tujuannya adalah mencari jalan yang paling tepat agar masalah anak didik dapat diatasi dengan baik. Badan pembantu sekolah yaitu organisasi orang tua murid atau wali murid dan guru. Organisasi dimaksud merupakan kerja sama yang paling terorganisir antara sekolah atau guru dengan orang tua murid. Mengadakan surat menyurat antara sekolah dan keluarga, diperlukan terutama pada waktu-waktu yang sangat diperlukan bagi perbaikan pendidikan anak didik, seperti surat peringatan dari guru kepada orang tua jika anaknya perlu giat, sering membolos, sering berbuat keributan, dan sebagainya. Adanya daftar nilai atau rapor, yang dipakai sebagai penghubung antara sekolah dengan orang tua.
Mencermati pendapat Hasbullah terlihat bahwa ada enam cara yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah untuk melakukan kerjasama dengan orang tua. Pada umumnya cara-cara tersebut bertujuan untuk membangun kesadaran orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya. “Hubungan yang positif antara sekolah dan rumah merupakan salah satu kontribusi penting bagi prestasi murid di sekolah” (Wlodkowski, J. R & Judit H. J, 2004: 95). Dengan prestasi yang baik, kemungkinan besar anak untuk menyelesaikan pendidikannya terutama pada jenjang sekolah dasar.
44
B. Kajian Peneltian yang Relevan 1.
Penelitian Slamet Widiyono (2007) yang berjudul “Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Desa Sawangan dan Banyuroto, Sawangan Magelang”. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa
partisipasi
masyarakat
Desa
Sawangan
dalam
pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun masih rendah. Masyarakat Desa Sawangan memiliki pemahaman yang lebih baik akan arti penting pendidikan bagi anaknya. Masyarakat Desa Banyuroto kurang memperhatikan pendidikan anaknya. Selain karena latar belakang pendidikan orang tua yang rendah, pada umumnya masyarakat Desa Banyuroto harus merantau untuk mencari nafkah bagi keluarganya. 2.
Tutut Faridawati (2011) dengan judul penelitian “Pengaruh Fasilitas Belajar Dan Perhatian Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Atas SD Negeri Ngepringan 2 Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen Tahun 2011”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fasilitas Belajar (x1) dan perhatian orang tua (x2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar matematika siswa (Y). Untuk uji diperoleh angka sebesar 0,482 artinya bahwa prestasi belajar matematika siswa dipengaruhi oleh fasilitas belajar dan perhatian orang tua sebesar 48,2% dan sisanya 51,8% dipengaruhi oleh variabel lain.
3.
Penelitian yang dilakukan oleh Gigih Mulpratangga (2011) dengan judul “Pengaruh Perhatian Orang Tua dan Kemandirian Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas V SD Negeri 2 Rejosari Tahun Ajaran 2010/2011”. Hasil
45
penelitiannya menunjukkan bahwa: (a) Ada pengaruh yang signifikan antara perhatian orang tua terhadap prestasi belajar pada siswa kelas V SD Negeri 2 Rejosari tahun ajaran 2010/2011”. (b) Ada pengaruh yang signifikan antara kemandirian belajar terhadap prestasi belajar pada siswa kelas V SD Negeri 2 Rejosari tahun ajaran 2010/2011”. (c) Ada pengaruh yang signifikan antara perhatian orang tua dan kemandirian belajar secara bersama-sama berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa kelas V SD Negeri 2 Rejosari 2010/2011” . Penelitian ini lebih berfokus pada perhatian orang tua terhadap pendidikan anak di sekolah dasar. Aspek yang diteliti meliputi perhatian orang tua dalam proses pendidikan anak di sekolah yang dilihat berdasarkan bentuk-bentuk perhatian orang tua pada pendidikan anak. Hubungan perhatian orang tua dengan putus sekolah dan kendala-kendala yang dihadapi orang tua dalam memberikan perhatian pada pendidikan anaknya. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat strategi dari pihak sekolah untuk meningkatkan perhatian orang tua pada pendidikan anak yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan putus sekolah.
C. Kerangka Pikir Hak untuk memperoleh pendidikan yang layak merupakan salah satu hak asasi manusia yang utama. Pemerintah pada umumnya maupun orang tua bertanggung jawab secara penuh atas pendidikan anak. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ayat 7 yang menyatakan bahwa “orang tua dari anak usia belajar
46
berkewajiban memberikan pendidikan dasar bagi anaknya.” Hal ini berarti orang tua dituntut memberikan perhatian pada pendidikan anak terutama pada pendidikan dasar khususnya pada jenjang sekolah dasar. Penelitian tentang Perhatian Orang Tua Pada Pendidikan Anak Di Sekolah Dasar ini, difokuskan pada beberapa permasalahan yaitu: terkait dengan perhatian orang tua dalam proses pendidikan anak di sekolah. Perhatian orang tua akan pendidikan anak adalah kepedulian orang tua pada pendidikan anak di sekolah dasar, sebagai salah satu bentuk kesadaran orang tua pada pendidikan anak. Mengingat perhatian orang tua akan memberi pengaruh pada perilaku dan segala aktivitas pendidikan anak yang secara langsung juga akan berpengaruh terhadap keberlangsungan sekolah anak. Anak dengan perhatian yang kurang dari orang tuanya akan mempunyai kemungkinan untuk mengalami putus sekolah. Perhatian orang tua dapat dilihat dari bentuk-bentuk perhatian orang tua meliputi perhatian dalam kegiatan belajar, pemberian motivasi dan pemenuhan fasilitas sekolah anak. Dengan adanya perhatian orang tua terhadap kegiatan belajar anak akan menumbuhkan prestasi belajar anak di sekolah. Pemberian motivasi bertujuan untuk memberikan dorongan kepada anak untuk terus bersekolah hingga selesai. Hal ini dikarenakan dengan perhatian serius dari orang tua terhadap pendidikan anaknya akan dapat menjadi motivasi atau pendorong bagi anak untuk terus bersekolah hingga selesai khususnya di sekolah dasar. Pemenuhan fasilitas sekolah terkait dengan pemenuhan sarana prasarana sekolah, sehingga anak menjadi nyaman dan memiliki semangat yang tinggi untuk terus bersekolah.
47
Dalam memberikan perhatian terhadap pendidikan anaknya, terdapat kendala-kendala yang dihadapi orang tua. Yang dimaksud dengan kendalakendala perhatian dalam penelitian ini adalah, segala bentuk hambatan yang menyebabkan tidak atau kurangnya orang tua dalam memberikan perhatian terhadap pendidikan anaknya, yang mana berbagai kendala tersebut sangat mempengaruhi untuk keberlangsungan pendidikan anak untuk meneruskan ke jenjang berikutnya. Peran sekolah sangatlah penting dalam mengatasi permasalahan putus sekolah. Untuk itulah harus ada strategi dari pihak sekolah, yaitu segala cara atau upaya pihak sekolah yang dapat meningkatkan perhatian orang tua pada pendidikan anaknya guna mengatasi permasalahan putus sekolah. Strategi lebih ditujukan untuk memotivasi para orang tua untuk lebih memperhatikan anakanaknya, terutama dalam mendampingi dan memotivasi anak untuk belajar di rumah serta melengkapi segala kebutuhan sarana dan prasarana sekolah anak. Dengan begitu, diharapkan jumlah anak yang mengalami putus sekolah akan berkurang.
D. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir yang telah diuraikan, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1.
Terkait dengan bentuk-bentuk perhatian orang tua terhadap pendidikan anak: a. Bagaimanakah perhatian yang diberikan orang tua terhadap kegiatan belajar anak?
48
b. Bagaimanakah motivasi yang diberikan oleh orang tua terhadap pendidikan anak? c. Bagaimanakah perhatian orang tua terhadap pemenuhan fasilitas pendidikan anak? 2.
Terkait dengan hubungan antara perhatian orang tua dengan anak putus sekolah di sekolah dasar: a.
Bagaimanakah kecenderungan perhatian orang tua terhadap kegiatan belajar anak dengan putus sekolah di sekolah dasar?
b.
Bagaimanakah kecenderungan pemberian motivasi dengan putus sekolah di sekolah dasar?
3.
Terkait dengan kendala-kendala perhatian orang tua pada pendidikan anak: a.
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh orang tua dalam memberikan perhatian pada pendidikan anak di sekolah dasar?
4.
Terkait dengan strategi pihak sekolah untuk mengatasi permasalahan anak yang putus sekolah terkait dengan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak? a.
Upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pihak sekolah untuk mengatasi permasalahan anak yang putus sekolah terkait dengan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak?
b.
Hal-hal apakah yang menjadi penghambat bagi pihak sekolah dalam menjalankan upayanya untuk mengatasi permasalahan anak yang putus sekolah terkait dengan perhatian orang tua terhadap pendidikan anak?
49