BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Peran penerimaan pajak sangat penting bagi pembangunan nasional, karena
pajak merupakan salah sumber utama penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan agar terwujudnya Tujuan negara Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mewujudkan masyarakat adil, makmur, merata material dan spiritual, yang dapat diwujudkan melalui pembangunan nasional secara bertahap, terencana, dan berkelanjutan. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Menurut Mardiasmo (2007; 1) Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Sedangkan menurut Waluyo (2011; 2) Pajak merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat
1
2
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhu-bungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak pribadi maupun badan. Sedangkan penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh pemerintah yang bersumber dari pajak yang diberikan oleh wajib pajak pribadi maupun badan. Salah satu diantara jenis pajak yang diberlakukan di Indonesia adalah pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada objek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Pajak penghasilan yang berlaku bagi pegawai/karyawan adalah pajak penghasilan (PPh) pasal 21. PPh pasal 21 merupakan pajak terutang atas penghasilan yang menjadi kewajiban wajib pajak untuk membayarnya. Penghasilan yang dimaksud berupa gaji, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3
Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Mangonting (2003; 9) menyatakan bahwa banyak orang baik secara pribadi maupun kelompok merasa enggan untuk membayar pajak. Keengganan ini bisa jadi disebabkan karena tidak adanya kontra prestasi langsung yang diberikan akibat pembayaran tersebut, bisa juga karena pajak itu oleh mereka dianggap sebagai beban sehingga ada usaha-usaha untuk menguranginya. Untuk perusahaan besar, mengatur jumlah pajak seminimal mungkin akan sangat bermanfaat bagi mereka, karena ada aliran kas (cash flow) yang nantinya dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan lainnya, dalam artian untuk pengeluaran-pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan pokok perusahaan. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 terdapat beberapa perubahan yang menyangkut Pajak Penghasilan pasal 21. Perubahan tersebut adalah berupa besarnya pengurangan penghasilan bruto yang diperolehkan, besarnya pengenaan pajak dan besarnya tarif pajak, dan perubahan yang terbaru besarnya penghasilan tidak kena pajak yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dan diubah dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak. (Sumber: kemenkeu) Mulai 1 Januari 2015, Wajib Pajak Orang Pribadi akan mendapatkan kenaikan
4
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar 48% atau setara dengan Rp11.700.000,-
menjadi
Rp36.000.000,-
setahun,
dari
sebelumnya
sebesar
Rp24.300.000,- dan diundangkan tanggal 29 juni 2015. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Besarnya PTKP Sebelumnya dengan yang Berlaku Saat Ini PTKP Wajib Pajak Orang Pribadi Tambahan untuk WP Kawin Tambahan untuk Tanggungan Tambahan Apabila Penghasilan Istri digabung dengan Suami
Sebelumnya Rp 24.300.000,Rp 2.025.000,Rp 2.025.000,Rp 24.300.000,-
Sekarang Rp 36.000.000,Rp 3.000.000,Rp 3.000.000,Rp 36.000.000,-
Sumber: Pajak.go.id (2015)
Peningkatan PTKP ini mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2015 sehingga akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut, Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk Masa Pajak Juli s.d. Desember 2015 dihitung dengan menggunakan PTKP baru, SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2015 yang telah dilaporkan dengan menggunakan PTKP lama, harus dilakukan pembetulan dengan menggunakan PTKP baru. (Sumber: Pajak.go.id)
Kenaikan PTKP ini tentu berdampak tidak hanya pada penerimaan pajak itu sendiri tetapi juga pada perekonomian secara luas. Adanya perubahan tersebut dimungkinkan terjadi penurunan atau kenaikan pajak terutang, sehingga perlu
5
diperhitungkan timbulnya perubahan beban perusahaan, apabila pajak tersebut ditanggung oleh perusahaan.(Yusuf, Casmadi, dan Indrawati; 2013) Menurut Cao and Xiaohui (2009) menyatakan bahwa Pajak Penghasilan perusahaan menempati status yang sangat penting dalam membayar pajak perusahaan, dan memiliki ruang besar untuk perencanaan pajak. Perencanaan pajak untuk pendapatan biasanya lebih sulit daripada perencanaan pajak untuk pemotongan, terutama dengan pajak capital gain, secara praktis tidak mungkin untuk mengubah pendapatan wajib pajak menjadi pendapatan bebas pajak (Robert; 1996). Menurut Zain (2007; 87) perencanaan Pajak Penghasilan karyawan dapat dilakukan dengan memaksimalkan pengurang-pengurang (maximizing deduction), ialah pengalihan pemberian dalam bentuk natura ke bentuk tunjangan-tunjangan yang dapat dikurangkan sebagai biaya sesuai prinsip dapat dipajaki (taxable) dan dapat dikurangkan (deductible) yang dianut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Menurut Noor, syazwani, and Mastuki (2010) menyatakan sebagian besar perusahaan melakukan perencanaan pajak dengan tujuan untuk mengurangi pajak penghasilan mereka karena mereka merasa beban pajak penghasilan yang besar akan mengurangi keuntungan mereka. Dalam praktek bisnis umumnya perusahaan mengidentikkan pembayaran pajak sebagai beban, sehingga berusaha meminimalkan beban untuk mengoptimalkan laba. Biaya dan laba selalu berbanding terbalik, semakin tinggi biaya maka akan semakin rendah laba yang diperoleh. Demikian sebaliknya semakin rendah biaya
6
maka akan semakin tinggi keuntungan yang didapatkan. Oleh karena itu umumnya pihak manajemen merasa wajib untuk menekan biaya seoptimal mungkin, termasuk dalam pembayaran pajak. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi pihak manajemen untuk memahami segala konsekuensi fiskal dari setiap transaksi maupun setiap keputusan bisnis dan manajerialnya, apabila mereka bermaksud untuk memaksimumkan keuntungan yang dapat diraih oleh pihak perusahaan. Keuntungan tersebut, harus diperoleh dengan mematuhi perundang-undangan perpajakan baik pajak pusat maupun daerah. Sebagai wajib pajak, setiap perusahaan harus mematuhi dan melaksanakan kewajiban pajaknya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Alternatif upaya dalam penghematan pajak yang harus dibayar oleh perusahaan, dilakukan dengan memanfaatkan pemahaman mendalam mengenai peraturan-peraturan perpajakan yang ada, melakukan kajian, analisis, maupun perencanaan mengenai setiap kegiatan yang menyebabkan konsekuensi fiskal dalam perusahaan. Hal ini sering disebut sebagai Perencanaan Pajak atau tax planning. Perencanaan Pajak dilakukan dengan harapan memperoleh penghematan pada pajak, sehingga perusahaan mengalami peningkatan laba bersih setelah pajak. Peluang melakukan penghematan pada Pajak Penghasilan yang dikenakan pada laba perusahaan atau PPh pasal 25 salah satunya dapat dilakukan pada biaya-biaya yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan di antaranya adalah pada PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima oleh karyawan.
7
Zain (2007; 53) mengungkapkan ada 3 (tiga) metode yang dapat dipilih oleh perusahaan dalam menerapkan pemungutan PPh pasal 21 karyawan. Metode pertama, besarnya PPh pasal 21 dapat dipotong langsung dari gaji yang diterima oleh karyawan. Sedangkan metode kedua yang dapat diterapkan adalah dengan memberikan tunjangan tambahan yang berupa Tunjangan Pajak. Sedangkan metode yang ketiga adalah dengan memberikan tambahan pada penghasilan bruto karyawan sebesar pajak yang harus ditanggung karyawan, hingga akan menambah Penghasilan Kena Pajak (PKP) karyawan, sehingga PPh pasal 21 menjadi lebih besar, metode ini sering dikenal dengan sebulan metode Gross Up. PT Dwi Eltis Konsultan adalah perusahaan yang bergerak dibidang konsultan Kontruksi. Kewajiban perpajakan PT Dwi Eltis Konsultan antara lain adalah berkaitan dengan pajak penghasilan baik perorangan maupun badan. Sesuai dengan PER- 31/PJ/2009 Pasal 3 huruf amengenai Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 21 dan/atau Pajak PPh Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi bahwa pegawai adalah orang pribadi yang merupakan salah satu penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Perhitungan PPh 21 karyawan PT Dwi Eltis Konsultan menggunakan metode net, cara ini sangat menguntungkan bagi karyawan karena mengakibatkan take home pay yang diterima karyawan akan lebih besar, tetapi bagi perusahaan cara ini kurang menguntungkan karena biaya PPh 21 yang dikeluarkan oleh perusahaan tidak bisa diakui dalam fiskal dan harus di koreksi positif. Oleh karena itu strategi perpajakan menjadi mutlak untuk mencapai laba perusahaan yang
8
optimal, strategi dan perencanaan yang baik dan benar tentu saja harus legal, akan mampu mendorong perusahaan untuk dapat bersaing dengan perusahaan lain (Hidayat dan Edi; 2006). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan mengambil judul “ Analisis PPh Pasal 21 Sebelum Dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 Tekait Kebijakan Pajak Pegawai Pada PT Dwi Eltis Konsultan”.
1.2
Identifikasi Masalah Masalah dalam hal ini kebijakan pajak pegawai pada PT Dwi Eltis Konsultan.
Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015. 2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan tentang PPh terutang antara perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015. 3. Bagaimana kebijakan perusahaan dalam terkait PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015.
9
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai Analisis PPh
Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 Tekait Kebijakan Pajak Pegawai Pada PT Dwi Eltis Konsultan. Sedangkan tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor
36
Tahun
2008
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
122/PMK.010/2015 Terkait Kebijakan Pajak Pegawai Pada PT Dwi Eltis Konsultan. 2. Untuk mengetahui signifikan tidaknya perbedaan tentang PPh terutang antara perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015. 3. Untuk mengetahui kebijakan perusahaan dalam menanggung beban PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan mempunyai kegunaan antara
lain :
10
1.4.1 Kegunaan Akademis 1. Bagi Penulis Laporan skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang perbedaan perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 Terkait Kebijakan Pajak Pegawai Pada PT Dwi Eltis Konsultan. 2. Bagi Peneliti Lain Laporan skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan tambahan informasi serta dapat pula dijadikan referensi sebagai bahan acuan tambahan dalam penelitian sejenis.
1.4.2 Kegunaan Praktis Laporan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sejauhmana perbedaan perhitungan PPh Pasal 21 Sebelum dan Sesudah UU Nomor 36 Tahun 2008 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada PT Dwi Eltis Konsultan Jl. Wastukencana No. 5H
bandung 40117 pada tanggal 24 Februari 2016.