BAB II DASAR TEORI
2.1 Arti Penting Penentuan Batas Landas Kontinen Kenyataan yang menunjukkan bahwa dengan semakin bertambahnya waktu, jumlah penduduk di seluruh dunia akan semakin bertambah menimbulkan potensi terjadinya kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh keadaan bumi yang relatif tetap dan tidak mengalami pertambahan dalam aspek keruangan dan kewilayahan. Ini berarti kedua aspek tersebut akan menjadi komoditi yang sangat langka di kemudian hari. Dengan kenyataan-kenyataan tersebut maka kasus perebutan wilayah sangat memungkinkan untuk terjadi kelak.
Berbagai macam kasus perebutan wilayah darat telah terjadi di beberapa tempat baik dalam lingkup kecil maupun dalam lingkup yang besar. Beberapa cara penyelesaian juga telah diambil antara pihak yang bersengketa, dari mulai jalan damai sampai dengan jalan peperangan senjata yang mengakibatkan korban jiwa yang tidak sedikit. Dengan melihat contoh yang terjadi pada wilayah darat tersebut, maka segala sesuatu yang mendukung kepastian suatu wilayah atas wilayah laut harus dipersiapkan dan ditentukan dengan jelas dan tegas sehingga memiliki kepastian hukum dan diakui oleh semua pihak.
Landas Kontinen merupakan salah satu dari wilayah laut yang ketentuan penetapannya telah diatur dalam Konvensi Hukum Laut International (UNCLOS) dan telah banyak diratifikasi oleh beberapa negara yang memiliki wilayah laut. Pasal 76 ayat 4 (a) (i) dan ayat 7 dalam konvensi ini menjelaskan bahwa garis batas Landas Kontinen merupakan suatu garis yang ditarik melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari mana laut teritorial diukur dengan cara menarik garis-garis lurus (yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya), dengan menghubungkan titik-titik tetap terluar dengan ketebalan endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan kaki
6
lereng kontinen. Dari definisi tersebut maka aspek geologi dalam menentukan ketebalan endapan juga akan menjadi penting guna penentuan batas Landas Kontinen.
2.2 Landas Kontinen Dalam Perspektif Hukum Internasional Dalam perspektif Hukum Internasional, pengertian Landas Kontinen tercantum dalam Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Landas Kontinen yang semula berasal dari istilah geologi ini mengalami perubahan yang sangat mendasar setelah masuk ke dalam perbendaharaan istilah hukum. Berikutnya akan diuraikan tentang Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS yang juga mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan Hukum Laut Internasional. Pada kenyataannya telah diselenggarakan tiga kali Konferensi PBB tentang Hukum Laut, yaitu pada tahun 1958, tahun 1960 dan terakhir tahun 1982. Hanya saja, penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1960 tidak menghasilkan kesepakatan baru. Dengan demikian, perubahan hasil konferensi dalam bentuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) mengalami perkembangan langsung yang berarti pada tahun 1982 setelah dibahas sebelumnya pada tahun 1958, termasuk di dalamnya perkembangan tentang permasalahan Landas Kontinen.
2.2.1 Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1958 Banyaknya klaim yang dilakukan oleh berbagai negara terkait dengan sumber daya alam laut untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi merupakan pemicu masuknya konsep Landas Kontinen dalam UNCLOS 1958. Oleh karena itu setiap negara berkeinginan untuk memiliki wilayah laut yang seluas-luasnya dengan mengeluarkan pengumuman sepihak atas wilayah laut yang dianggap merupakan bagian dari negara tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik akibat tumpang tindihnya daerah klaim, sehingga untuk mencari penyelesaiannya maka masalah tersebut dibawa ke Konferensi PBB tentang Hukum Laut yang pertama yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss dari tanggal 24 Februari sampai 27 April 1958.
Dalam UNCLOS 1958, klaim negara pantai atas Landas Kontinen diakui mencapai kedalaman hingga 200 meter atau lebih sampai kedalaman air yang memungkinkan
7
eksploitasi sumber-sumber alam dari daerah tersebut (Pasal 1 dan 2). Namun pengertian Landas
Kontinen
berdasarkan
UNCLOS
1958
ini
sebenarnya
mengandung
ketidakpastian yang tinggi, hal ini disebabkan oleh: 1. Tidak adanya penjelasan mengenai acuan penarikan garis kedalaman 200 meter atau lebih, sehingga Landas Kontinen negara yang satu dapat berbeda dengan negara yang lain, walaupun penetapan mengacu pada nilai kedalaman yang sama. 2. Kemampuan setiap negara pantai dalam melakukan eksploitasi sangat beragam, dan hal ini jelas sekali hanya menguntungkan negara-negara pantai yang maju, dalam pengertian menguasai teknologi eksploitasi laut dalam. Di bawah ini disajikan gambar pembagian ruang negara pantai dalam UNCLOS 1958:
Gambar 2.1 Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1958 (Miranti, 2007)
Hal yang menarik dalam konvensi yang diratifikasi oleh Indonesia dengan mengeluarkan UU No.1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia ini, adalah pulau tanpa memandang besar atau kecilnya sepanjang memenuhi kriteria sebuah pulau juga memiliki Landas Kontinen seperti halnya benua. Padahal sebenarnya dari segi geologi pulau tidak memiliki Landas Kontinen, yang memiliki Landas Kontinen hanyalah benua. Ini sesuai dengan namanya (ditinjau dari segi bahasa) yang sama artinya dengan landas benua (continent = benua).
8
2.2.2 Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1982 Pengertian mengenai Landas Kontinen pada UNCLOS 1982 mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76 ayat 1, yang menyatakan bahwa Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar Laut Teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar Laut Teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
Sementara dalam Pasal 76 ayat 2, disebutkan bahwa Landas Kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas-batas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6. Berdasarkan ketentuan ini, maka garis batas terluar Landas Kontinen minimum adalah sejauh 200 mil laut dari garis pangkal, sementara garis batas terluar Landas Kontinen maksimum mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76 ayat 4 hingga 6, dalam hal pinggiran luar tepian kontinen melebihi jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Penentuan garis batas terluar Landas Kontinen apabila pinggiran luar tepian kontinen melebihi jarak 200 mil laut dari garis pangkal, didasarkan pada : 1. Titik tetap terluar dengan ketebalan batu endapan (sedimentary rock) paling sedikit sebesar 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dengan FOS (Ilustrasi mengenai titik tetap terluar tersebut disajikan pada Gambar 2.2), atau 2. Jarak 60 mil laut dari FOS.
Gambar 2.2 Satu Persen Ketebalan Batu Endapan (Djunarsjah, 2004)
9
Dalam tugas akhir ini hanya akan dibahas mengenai penarikan Landas Kontinen berdasarkan ketebalan batuan sedimen 1%, oleh karena itu pembahasan mengenai batuan sedimen akan dijelaskan juga nantinya.
Kedua pilihan dalam penarikan Landas Kontinen di luar 200 mil laut di atas juga dibatasi lagi oleh ketentuan lain, yaitu: 1. Tidak diperbolehkan melebihi 350 mil laut dari garis pangkal tempat batas Laut Teritorial diukur, atau 2. Tidak diperbolehkan melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 m. Kombinasi kedua ketentuan tersebut dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 2.3 di bawah ini:
Gambar 2.3 Kombinasi Faktor Pembatas Landas Kontinen Lebih Dari 200 M (LPPM, 2004) Dalam Konvensi Hukum Laut III faktor geologi sangat mendominasi dalam penentuan substansi dan ruang lingkup dari Landas Kontinen tersebut. Hal ini terbukti dengan digunakannya istilah-istilah geologi seperti, tepian kontinen (continental margin), lereng kontinen (continental slope) dan lainnya yang secara khusus dibahas pada naskah konvensi dalam pasal 76 sampai 85. Teknik-teknik pengukuran garis batas terluar
10
Landas Kontinen juga menggunakan bantuan dari disiplin ilmu geologi ini. Hal ini memang dapat dimaklumi, oleh karena secara historis konsep Landas Kontinen adalah konsep dalam disiplin ilmu geologi dan dikembangkan oleh para ahli geologi. Demikian pula mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang telah sedemikian pesatnya jika dibandingkan dengan keadaan pada tahun seribu sembilan ratus lima puluhan (pada waktu disepakatinya Konvensi Hukum Laut 1958 termasuk Konvensi tentang Landas Kontinen).
Dengan pendekatan geologi ini, dapatlah diketahui secara lengkap dan rinci mengenai sifat fisik dari lautan pada umumnya, dasar laut, dan tanah dibawahnya pada khususnya. Sementara peran dari aspek yuridis sendiri adalah perumusan dan upaya mempersatukan kesepakatan yang telah dicapai oleh semua pihak serta pemberian kepastian hukum dan rasa keadilan bersama.
Ilustrasi tentang berbagai kemungkinan batas terluar Landas Kontinen berdasarkan UNCLOS 1982 dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini :
Gambar 2.4 Prinsip Penetapan Landas Kontinen Berdasarkan UNCLOS 1982 (IHO, 1993)
11
2.3 Landas Kontinen Dalam Perspektif Geologi Konsep Landas Kontinen dalam pengertian hukum seperti dijelaskan sebelumnya, dibentuk oleh suatu kumpulan peraturan yang sangat berbeda dari pengertian Landas Kontinen berdasarkan konsep geologi. Dalam pengertian geologi yang ditegaskan pada Encyclopedia Americana (International Edition, Volume 7), Landas Kontinen merupakan sebagian dasar lautan atau samudera, yaitu bagian yang dangkal yang ditutupi oleh perairan, yang kedalamannya kurang dari 145-180 meter. Sedangkan bagian lainnya (yang di sebelah luarnya) adalah continental slope, yakni bagian dari dasar laut (ocean floor) yang secara relatif merupakan lereng yang curam sepanjang tepi luar dari bagian yang dangkal tersebut. Bagian yang lebih luar lagi dari dasar laut atau dasar samudera, disebut abyssal floor atau oceanic plain, yakni dasar laut yang terletak pada kedalaman air laut 1800 meter.
Berdasarkan fakta geologi secara umum, topografi dasar laut mulai dari pantai menurun ke dalam laut sampai akhirnya di suatu tempat, topografi tersebut jatuh curam di kedalaman laut. Landas Kontinen biasanya tidak terlalu dalam, sehingga sumbersumber alam di lokasi tersebut dapat dimanfaatkan dengan teknologi yang ada. Dasar laut di banyak tempat dipisahkan dari tanah di pantai oleh lereng kontinen yang menurut istilah geologi merupakan bagian dari kontinen itu sendiri. Lereng kontinen luasnya berkisar beberapa ratus kilometer persegi dan mempunyai kedalaman sekitar 50 sampai 550 meter. Lereng kontinen di beberapa tempat menyimpan deposit minyak dan gas bumi serta sebagai sumber daya alam hayati. Oleh karena itu, banyak negara pantai yang menuntut eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam laut di Landas Kontinen negaranya.
Permukaan bumi didominasi oleh dua bidang utama, yaitu kontinen dan dasar laut dalam. Dua bidang ini dipisahkan oleh tepian kontinen yang terdiri dari landas kontinen (continental shelf), lereng kontinen (continental slope) dan tanjakan kontinen (continental rise). Bentuk tepian kontinen secara geologis dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe Pasifik dan tipe Atlantik.
12
Tepian kontinen tipe Pasifik disebut juga tipe seismik atau tipe aktif. Hal ini disebabkan karena sepanjang jalur yang membatasi tepian kontinen di Pasifik dicirikan oleh tingkat kegiatan gempa bumi yang tinggi dan pergeseran lempeng tektonik yang aktif. Ciri umum tipe Pasifik adalah adanya palung laut (trench) di depan lereng kontinen sebagai jalur kontak antar lempeng kontinen dengan lempeng samudera dan palung tersebut memisahkan tepian kontinen dengan dasar laut dalam (ocean basin). Tepian kontinen tipe Pasifik ini hanya terdiri dari landas kontinen dan lereng kontinen yang mempunyai kemiringan terjal. Tipe Pasifik ini dapat dilihat dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut:
Gambar 2.5 Landas Kontinen Tipe Pasifik (AGI, 1999)
Tepian kontinen tipe Atlantik disebut juga tipe aseismik atau tipe pasif, dengan sifat gempa bumi dan pergeseran lempeng merupakan kebalikan dari tipe Pasifik. Ciri umum tepian kontinen tipe Atlantik adalah dijumpainya lereng kontinen yang landai dan lebar serta berhubungan dengan dataran pantai (coastal plain) yang luas. Tepian kontinen tipe Atlantik tersusun dari landas kontinen, lereng kontinen dan punggungan kontinen. Tipe Atlantik ini dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut :
Gambar 2.6 Landas Kontinen Tipe Atlantik (AGI, 1999) 13
2.3.1 Teori Tektonik Lempeng Landas Kontinen (Continental Shelf) merupakan bagian dari lempeng kontinen yang dibentuk oleh material alamiah yang terdiri dari batuan dasar (basement rock) dan endapan batuan sedimen (sedimentary rock) yang menumpang di atasnya. Pembentukan Landas Kontinen ini berkaitan dengan gerakan kerak dan proses tektonik yang dialami lempeng. Tektonik lempeng memberikan suatu latar belakang untuk memahami asalusul struktur geologi, terutama struktur regional. Analisis tektonik lempeng merupakan dasar yang esensial untuk menafsirkan lingkungan dinamis yang menyebabkan terjadinya pergerakan-pergerakan deformasional.
Menurut teori tektonik lempeng, bumi tidak merupakan kesatuan melainkan terpecahpecah menjadi beberapa bagian yang kemudian disebut lempeng bumi. Lempeng disusun oleh litosfir, yakni material kerak dan selubung yang cukup tegar untuk dapat menahan perbedaan tekanan yang sangat rendah sedemikian rupa sehingga tidak akan sampai mengalir di bawah pengaruh tekanan tersebut. Bagian atas dari individu-individu lempeng adalah kerak bumi, yang berupa kerak benua maupun kerak samudera. Kerak samudera relatif tipis dengan ketebalan sekitar 4-9 km. Kerak itu terutama disusun oleh batuan berkomposisi basaltik dan berdensitas cukup tinggi (densitas rata-ratanya adalah 2,9 g/cm3). Contoh kerak samudera ini adalah kerak pasifik yang menopang samudera Pasifik. Sedangkan, kerak benua relatif tebal, dengan ketebalan sekitar 25-70 km, dan disusun oleh batuan berkomposisi granitik yang berdensitas relatif rendah (densitas rataratanya adalah 2,7 g/cm3). Contoh kerak benua ini adalah kerak Eurasia yang menopang benua Asia dan Eropa. Penggambaran bumi menurut tektonik lempeng dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.7 Pembagian Bumi Menurut Teori Tektonik Lempeng 14
Banyak peristiwa yang terjadi pada batas-batas lempeng dan pada tepi-tepi lempeng. Batas-batas dan tepi-tepi lempeng biasanya merupakan tempat dimana deformasi tektonik berlangsung dengan aktif. Deformasi tektonik lempeng yang ideal dapat digambarkan sebagai kombinasi pergerakan lempeng secara translasi dan rotasi ini dibagi menjadi 3 jenis pergerakan, yaitu: 1.
Konvergensi Pergerakan lempeng ini ditandai oleh pergerakan relatif yang menyebabkan lempeng-lempeng yang berdampingan bergerak saling mendekat. Lempenglempeng konvergen selalu berada dalam kompetensi untuk mendapatkan ruang. Salah satu bentuk pergerakan akibat masalah ruang itu adalah penekukan dan penunjaman salah satu lempeng ke bawah lempeng yang lain. Sebagai akibatnya, batuan yang ada pada lempeng yang menunjam itu akan “tertelan” dan masuk ke dalam bumi melalui proses yang disebut subduksi (subduction). Bentuk pergerakan akibat masalah ruang yang lain adalah tumbukan (collision). Lempeng-lempeng yang bertumbukan dapat dipandang keduanya sama-sama mengambang pada posisi yang sama. Namun, karena lempeng-lempeng itu tidak dapat menempati ruang yang sama, maka akan terjadi pemendekan salah satu atau kedua bagian tubuh lempeng itu, baik pada skala lokal maupun regional. Penggambaran gerak konvergen ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.8 Konvergensi: (a) Benua-Samudera, (b) Samudera-Samudera, (c) Benua-Benua (Press and Siever ,1998)
15
2.
Divergensi Pergerakan lempeng ini ditandai dengan pergerakan relatif yang menyebabkan lempeng-lempeng yang berdampingan bergerak saling menjauh. Pergerakan aktual dari lempeng-lempeng itu mungkin tepat tegak lurus, namun mungkin pula miring. Apabila tidak ada kompensasi, maka pada tempat pemisahan lempeng itu akan terbentuk sebuah retakan raksasa. Namun, kenyataannya, tempat yang seharusnya menjadi retakan raksasa itu tidak ada karena setiap ruang yang kosong akan diisi oleh intrusi batuan beku yang berasal dari dalam bumi. Ketika mendingin, akumulasi batuan intrusi serta batuan vulkanik dan batuan sedimen segar yang terakumulasi di tempat itu akan menjadi bagian dari litosfir. Penggambaran gerak divergen ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.9 Divergensi: (a) Samudera, (b) Benua (Press and Siever ,1998)
3.
Transformasi Pergerakan lempeng ini terjadi pada batas transform yang adalah tempat satu lempeng bersinggungan dengan lempeng lain yang berdampingan dengannya. Zona-zona sesar yang curam dan shear zone mengabsorpsi efek-efek mekanis dari tekanan yang dihasilkan selama terjadinya persinggungan. Material hasil pergesekan itu dapat diakrasikan dari satu lempeng kepada lempeng yang lain, sementara pergerakan lempeng-lempeng itu terus berlangsung, atau dapat pula terkerat-kerat dan hancur. Penggambaran gerak transform ini dapat dilihat pada gambar berikut ini:
16
Gambar 2.10 Transformasi (Press and Siever ,1998)
2.3.2 Terminologi Geologi Batas Landas Kontinen Dalam menentukan batas Landas Kontinen, berikut ini diuraikan beberapa terminologi geologi (khususnya tektonik) yang mengacu pada American Geological Insitute, 1999: a. Kontinen (Continent) Kontinen adalah suatu pengertian dalam teori tektonik lempeng yang mengacu kepada suatu mandala geologi yang mencakup daratan (dry land) dan kelanjutan alamiah daratan hingga ke dasar laut. Kerak/lempeng kontinen (continental crust/plate) dibedakan dari kerak/lempeng lautan berdasarkan posisi dan karakteristiknya. Terutama terlihat jelas di daerah saling berbatasan pada zona subduksi (subduction zone). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.11 berikut :
Gambar 2.11 Daerah Batas Antara Kerak/Lempeng Lautan Dengan Kontinen (AGI, 1999)
17
Daerah kontinen ini dibagi oleh beberapa bagian, yaitu: • Tepian Kontinen/Garis Batas Jalur Kontak (Continental Margin), • Landas Kontinen (Continental Shelf), • Daerah Perbatasan Kontinen (Continental Borderland), • Lereng Kontinen (Continental Slope), • Tanjakan Kontinen (Continental Rise). Untuk lebih jelas beberapa bagian dari kontinen ini, dapat dilihat pada Gambar 2.12 di bawah ini:
Gambar 2.12 Beberapa Bagian Dari Mandala Tepian Kontinen (AGI, 1999)
b. Pulau (Insular) Pengertian pulau dalam sebuah mandala geologi adalah daratan yang muncul tersendiri dari dasar laut dan dapat dipakai sebagai titik acuan dalam admisnistrasi kewilayahan. Beberapa bentuk dari pulau, yaitu : • Insular Shelf (Landas Pulau) • Insular Slope (Lereng Pulau) Penggambaran bentuk pulau dapat dilihat pada Gambar 2.13 berikut ini:
18
Gambar 2.13 Bentuk Pulau (AGI, 1999)
c. Endapan (Deposit) Pengertian endapan adalah material alamiah yang diendapkan dalam sebuah cekungan (basin) geologi menurut kaidah ruang dan waktu. Tipe, bentuk dan waktu pengendapan dapat dipakai sebagai acuan dalam penetapan kelanjutan alamiah suatu daratan hingga ke dasar laut. Beberapa bentuk dari endapan tersebut, yaitu: • Terrigenous Deposit, Sedimen pada laut dangkal yang terdiri dari pengikisan/erosi material yang berasal dari daratan. • Hemipelagic Deposit, Sedimen pada laut dalam yang lebih dari 25% bagiannya lebih kasar daripada sedimen terrigenous, sedimen volcanogenic dan sedimen neritic-asal, yang berdiameter tidak lebih dari 5 mm. Sedimen seperti ini biasanya terakumulasi dekat tepian kontinen dan dataran abyssal yang bersebelahan dengannya. • Pelagic Deposit. Sedimen laut yang bagiannya diperoleh dari kontinen, yang menandakan adanya deposisi suspensi mineral yang terdistribusi melewati air laut yang dalam.
19
2.3.3 Jenis Landas Kontinen Berdasarkan tektonik dan iklim, Landas Kontinen dibagi menjadi enam kategori utama [Shepard, 1977], yaitu: a.
Glaciated Shelves Landas Kontinen yang dicirikan oleh endapan dan bentuk-bentuk lahan glacial terutama sejak zaman es (kuarter).
b.
Shelves with Elongate Sand Ridges Landas Kontinen yang dicirikan oleh terdapatnya serangkaian perbukitan pasir (sand ridges) dengan asosiasi endapan penciri berupa ripples sampai sand waves.
c.
Shelves Off Large Deltas Landas Kontinen yang dicirikan oleh berkembangnya delta-delta besar pada paparan akibat pengaruh tektonik dan iklim yang tenang.
d.
Shelves with Coral Reefs Landas Kontinen yang dicirikan oleh endapan karbonat yang melimpah dan terjadi pada laut tropis.
e.
Shelves Bordered by Rocky Banks and Islands Landas Kontinen yang dicirikan oleh kehadiran pulau-pulau atau perbukitan bawah laut pada perbatasan landas dengan lereng kontinen.
f.
Shelves Related to Plate Tectonics Landas Kontinen yang dicirikan oleh lebaran yang sempit dan umumnya terbentuk pada tepian kontinen aktif yang ditandai dengan kehadiran tumbukan antar lempeng di sekitarnya.
Terdapat sedikitnya empat faktor yang mengendalikan karakteristik sedimen yang berupa pola tekstur dan komposisinya pada Landas Kontinen [Bouma et al, 1998], yaitu: a.
Reworking sedimen terdahulu,
b.
Fluktuasi musiman transportasi sedimen,
c.
Topografi dasar laut,
d.
Pola arus laut regional.
Pembahasan berikutnya akan menjelaskan mengenai sedimen ini dan proses pembentukannya menjadi batuan sedimen dengan lebih rinci.
20
2.4 Batuan Sedimen (Sedimentary Rock) Batuan sedimen adalah material padat yang terbentuk dari hasil akumulasi material lain sebagai hasil proses pelapukan fisik, kimiawi dan biologis dari batuan dasar, termasuk pemotongan kulit (shell) atau kerangka cangkang dari organisme laut. Material hasil proses pelapukan secara tetap akan terkikis dari batuan induknya, kemudian mengalami pengangkutan dan diendapkan. Karena proses pelapukan batuan, transportasi dan pengendapan material hasil proses pelapukan terus berlangsung, maka material sedimen dapat dijumpai dimana-mana. Adapun jenis endapan (sedimen) berdasarkan proses terjadinya, yaitu [Hutabarat dan Evans, 1985] : - Sedimen Lithogenous (Fisik) Jenis sedimen ini berasal dari sisa pengikisan batu-batuan di darat. Partikel batubatuan diangkut dari daratan ke laut oleh sungai-sungai. Begitu sedimen mencapai lautan, penyebarannya kemudian ditentukan terutama oleh sifat-sifat fisik dari partikel-partikel itu sendiri, khususnya oleh lamanya partikel tersebut tinggal melayang-layang di lapisan (kolom) air. Partikel-partikel yang berukuran besar cenderung lebih cepat tenggelam dan menetap daripada yang berukuran lebih kecil. Oleh sebab itu, pasir akan segera diendapkan begitu sampai di laut dan cenderung mengumpul di daerah dekat daratan (pantai), sementara endapan lumpur dan tanah liat diangkut lebih jauh ke tengah laut dan kebanyakan akan mengendap pada Landas Kontinen (Continental Shelf) dan karena itu partikel-partikel yang berukuran paling kecil cenderung diendapkan jauh pada dasar laut yang dalam. - Sedimen Biogenous (Biologis) Sisa-sisa rangka dari organisme hidup juga akan membentuk endapan partikelpartikel halus yang dinamakan ooze, yang biasanya mengendap pada daerah-daerah yang letaknya jauh dari pantai. Sedimen yang digolongkan berdasarkan asal dan macam bahan yang telah bergabung dalam kulit/rangka organisme tersebut dibagi menjadi dua tipe utama, yaitu: 4. Tipe Calcareous, terdiri dari: o
Globerigina Ooze, yaitu endapan yang menutupi 35% bagian permukaan dasar laut, yang relatif banyak dijumpai di daerah-daerah panas dunia.
21
o
Pteropod Ooze, yaitu endapan yang menutupi hanya 1% bagian permukaan dasar laut, walaupun terkadang endapan ini telah bercampur dengan ooze dari jenis yang lain.
5. Tipe Siliceous, terdiri dari: o
Diatom Ooze, yaitu endapan yang banyak dijumpai di daerah-daerah yang lebih dingin yang bersalinitas rendah, seperti di daerah Lautan Hindia yang terletak pada bagian paling selatan. Endapan ini menutupi 9% bagian permukaan dasar laut.
o
Radiolaria Ooze, yaitu endapan yang menutupi 1-2% permukaan dasar laut.
o
Red Clay Ooze, yaitu endapan yang banyak dijumpai di bagian Timur Lautan Hindia.
- Sedimen Hydrogenous (Kimiawi) Jenis sedimen ini dibentuk dari hasil reaksi kimia dalam air laut. Reaksi kimia yang terjadi di sini bersifat sangat lambat, sehingga untuk membuat bentuk sebuah gumpalan (nodule) yang besar, diperlukan waktu selama berjuta-juta tahun dan proses ini kemudian akan berhenti sama sekali jika nodule telah terkubur di dalam sedimen. Sebagai akibatnya nodule-nodule ini menjadi begitu banyak dijumpai di Lautan Pasifik daripada di Lautan Atlantik. Hal ini disebabkan karena tingkat kecepatan proses sedimentasi untuk mengukur nodule-nodule yang terjadi di Lautan Pasifik lebih lambat jika dibandingkan dengan di Lautan Atlantik.
2.4.1 Karakteristik Sedimen Material sedimen memiliki karakteristik tertentu, beberapa karakteristik yang penting yaitu: • Densitas (Massa Jenis) adalah ukuran yang menyatakan besarnya massa sedimen dalam setiap satuan volume. Komposisi sebagian besar sedimen yang tersebar di bumi kita adalah kuarsa yang memiliki massa jenis sekitar 2.650kg/m3. • Diameter (Ukuran Butir) adalah suatu ukuran yang menggambarkan besar kecilnya material sedimen. Jika kepingan sedimen dianggap sebagai bola, maka parameter penting yang mewakilinya
22
adalah diameter. Diameter dan densitas perlu diketahui supaya dapat memperkirakan besarnya gaya yang diperlukan untuk mengangkat sedimen dari dasar perairan. Berdasarkan ukuran diameter, sedimen dapat digolongkan menjadi : ¾ Lumpur (Mud) yang berdiameter < 0,0625 mm ¾ Pasir (Sand) yang berdiameter 0,0625-1 mm ¾ Kerikil (Gravel) yang berdiameter > 1 mm Klasifikasi di atas mengikuti kriteria Wenworth [Wenworth, 1922], yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Skala Wentworth No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Ukuran 256 mm 64 mm 4 mm 2 mm 1 mm ½ mm ¼ mm 1/8 mm 1/16 mm 1/64 mm 1/256 mm
Jenis Sedimen Boulder Cobbles Pebbles Granules Very Coarse Sand Coarse Sand Medium sand Fine Sand Very Fine Sand Silt Clay
Jenis Batuan Aediment gravel Rock Rudites (conglomerat,breccias) Sediment Sand Rock Sandstones (arenites,wackes) Sediment Mud Rock Lutites (mudrocks)
Beberapa jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 2.14:
Gambar 2.14 Jenis Sedimen
23
• Kecepatan Jatuh Sedimen Kesetimbangan antara kecepatan jatuh dan gaya penggerak sedimen menentukan keberadaan sedimen dalam air. Besarnya gaya yang diperlukan untuk menggerakkan sedimen berbanding lurus dengan besarnya partikel sedimen. Semakin besar diameter sedimen, semakin besar pula gaya yang diperlukan untuk menggerakkannya. Contoh kecepatan jatuhnya/tenggelamnya sedimen ini pada kedalaman 4.000 meter, berdasarkan hasil perhitungan yaitu [Hutabarat dan Evans, 1985]: ¾ Partikel pasir, dengan kecepatan jatuh sedimen sekitar 1,8 hari ¾ Partikel lumpur, dengan kecepatan jatuh sedimen 185 hari ¾ Partikel tanah liat, dengan kecepatan jatuh sedimen 51 tahun
Selain tiga karakteristik di atas, para ahli geologi dan sedimentologi mempunyai beberapa parameter lain untuk menciri sedimen. Parameter-parameter tersebut misalnya: bentuk, porositas, komposisi, dan pengurutan.
2.4.2 Sifat Sedimen Setiap sedimen memiliki sifat tertentu karena adanya pengaruh suatu gaya pada partikelpartikel sedimen. Adapun sifat tersebut, terbagi dalam dua jenis, yaitu: • Sifat Kohesif Sifat kohesif sedimen adalah sifat sedimen yang dipengaruhi oleh gaya yang terjadi akibat interaksi antar-partikel (gaya elektrostatik). Sifat kohesif dimiliki oleh partikel sedimen yang lebih kecil ukurannya dari 0,0625 mm (lumpur) serta dimiliki juga oleh campuran antara partikel sedimen yang sangat halus dan kasar. Partikel sedimen yang sangat halus (lumpur) memiliki berat yang sangat kecil. Ringannya partikel sedimen mengakibatkan gaya yang terjadi karena interaksi antar-partikel menjadi lebih dominan dibanding gaya gravitasi. Sedimen yang kohesif cenderung untuk saling tarik menarik dan bergabung membentuk butiran yang lebih besar yang disebut flok. Peristiwa pembentukan flok disebut sebagai flokulasi. Kecenderungan pembentukan flok meningkat di air yang asin (muara atau laut) dan di perairan yang aktivitas biologisnya tinggi. Flok dapat memiliki diameter yang jauh lebih besar dari pasir namun cenderung memiliki densitas yang lebih rendah. Rendahnya densitas flok
24
disebabkan oleh ruang-ruang kosong yang terbentuk saat flokulasi dan adanya bahanbahan organik. • Sifat Non-Kohesif Sifat non-kohesif adalah sifat sedimen yang sangat dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Semakin besar ukuran butir sedimen (pasir atau kerikil), semakin besar pula gaya gravitasi yang bekerja. Pada umumnya, sifat non-kohesif dimiliki oleh partikel sedimen yang ukurannya lebih besar dari 1 mm (pasir dan kerikil).
2.4.3 Transportasi Sedimen (Sediment Transport) Partikel sedimen yang diam di dasar perairan memiliki sifat bertahan untuk tidak bergerak. Sifat tersebut disebabkan karena pengaruh gaya gravitasi dan gesekan dengan dasar perairan. Namun, sedimen yang ada di daerah pantai hingga daerah laut dalam, secara terus menerus juga mengalami proses transportasi (pengangkutan). Adalah tekanan geser yang terbangkitkan oleh arus dapat menimbulkan gaya angkat dan gaya geser untuk menggerakkan partikel sedimen yang diam, sehingga terangkut dari satu tempat ke tempat yang lain. Pengangkutan sedimen ini terjadi jika tekanan geser dasar lebih besar daripada gaya gravitasi dan gaya gesekan. Gambar 2.15 di bawah ini memperlihatkan proses pengangkutan sedimen tersebut:
Gambar 2.15 Transportasi Sedimen
25
Setiap partikel sedimen memiliki tekanan geser kritis yang sebanding dengan densitas dan diameternya. Tekanan geser kritis itu adalah tekanan geser maksimum yang terjadi pada saat partikel sedimen akan mulai bergerak. Jika partikel sedimen itu bergerak maka yang terjadi adalah erosi. Erosi pada suatu dasar perairan dapat tidak terjadi jika arus yang melewatinya tidak lagi memiliki kapasitas angkut, meskipun tekanan geser dasarnya lebih besar dari tekanan geser dasar kritisnya. Erosi dapat pula tidak terjadi jika material sedimen di dasar perairan tidak lagi tersedia.
Partikel sedimen akan terus bergerak selama gaya angkatnya sama dengan atau lebih besar dari gaya gravitasi yang bekerja. Atau, selama tekanan geser dasar yang bekerja pada partikel sedimen yang bergerak sama dengan atau lebih besar dari tekanan geser dasar kritisnya. Jika tekanan geser dasar yang bekerja pada partikel sedimen yang bergerak lebih kecil dari tekanan geser kritisnya, maka sedimen akan mulai berhenti bergerak. Proses partikel sedimen yang mulai berhenti bergerak, jatuh ke dasar dan kemudian diam di dasar perairan disebut sebagai deposisi. Berkurangnya tekanan geser dasar dapat terjadi karena melambatnya kecepatan arus.
Partikel sedimen bergerak dengan suatu kelajuan tertentu, banyaknya massa sedimen yang terangkut melalui satu satuan luas dalam setiap satuan waktu inilah yang disebut laju angkutan sedimen. Jika konsentrasi sedimen dan kecepatan arus diketahui, maka laju angkutan sedimen dapat dihitung. Laju angkutan sedimen di satu titik pengamatan ditentukan sebagai produk (perkalian) antara konsentrasi sedimen dengan kecepatan arus di titik tersebut. Sedimen yang bergerak ini juga memiliki cara pergerakan yang dibedakan menjadi dua, yaitu: • Angkutan Dasar (Bed Load) adalah cara pergerakan sedimen dengan kontak yang berkesinambungan dengan dasar perairan. Bentuk kontak itu dapat berupa: menggelinding, meluncur atau melompat-lompat. Tinggi angkutan dasar didefinisikan sebagai jarak dari dasar perairan sampai tinggi rata-rata lompatan maksimum partikel sedimen. Partikel sedimen yang kasar (pasir kasar dan kerikil) cenderung bergerak sebagai angkutan dasar.
26
• Angkutan Tersuspensi (Suspended Load) Angkutan tersuspensi adalah cara pergerakan sedimen tanpa kontak dengan dasar perairan. Pada angkutan tersuspensi, partikel-partikel sedimen melayang-layang di kolom air. Partikel sedimen yang halus (pasir halus dan lumpur) cenderung bergerak sebagai angkutan tersuspensi. Penggambaran cara pergerakan sedimen ini digambarkan pada Gambar 2.16 di bawah ini:
Gambar 2.16 Cara Pergerakan Sedimen Total sedimen yang terangkut dalam kolom air merupakan penjumlahan dari angkutan dasar dan angkutan tersuspensi ini yang terakumulasi dengan membentuk lapisan di dasar laut dengan nilai ketebalan dan konsentrasi tertentu. Pengukuran terhadap ketebalan dan konsentrasi ini dapat dilakukan dengan beberapa metode dan salah satu metode tersebut adalah metode seismik. Penjelasan mengenai metode seismik ini juga akan dibahas lebih rinci pada tulisan ini.
Material sedimen yang telah dibahas di atas, setelah diendapkan akan mengalami kompaksi. Lama kelamaan endapan ini akan tersemenkan oleh mineral yang mengkristal di pori-pori antar butiran sehingga membentuk batuan sedimen. Para ahli geologi mengestimasikan bahwa jumlah batuan sedimen hanya sekitar 5% volume dari batuan penyusun kerak bumi atau sekitar 16 km lapisan terluar dari kerak bumi. Tetapi kepentingan dari batuan sedimen ini jauh lebih besar dari jumlahnya yang hanya 5%. Apabila mengambil contoh batuan di permukaan bumi, maka mayoritas terbesar adalah
27
batuan sedimen, karena 75% permukaan bumi ini ditutupi oleh batuan sedimen. Jadi batuan sedimen merupakan lapisan yang relatif tipis yang menyusun kerak bumi bagian terluar, karena batuan sedimen terbentuk di permukaan bumi.
Karena batuan sedimen terakumulasi di permukaan bumi, maka batuan sedimen umumnya menunjukkan proses-proses yang terjadi dimasa lalu pada permukaan bumi. Jadi batuan sedimen dapat menunjukkan kondisi lingkungan dimasa lalu dimana partikel-partikel sedimen tersebut diendapkan, juga mekanisme transportasinya. Selanjutnya batuan sedimen juga dapat mengandung fosil yang merupakan kunci dalam mempelajari keadaan geologi dimasa lalu, sehingga para ahli geologi dapat menceritakan sejarah bumi ini dengan detail.
Batuan sedimen juga banyak yang mempunyai arti ekonomis. Batubara sebagai contoh dikelompokkan dalam batuan sedimen. Juga sumber energi yang penting, minyak bumi dan gas alam dijumpai berasosiasi dengan batuan sedimen. Demikian juga beberapa mineral ekonomis seperti besi, aluminium, mangan dapat dijumpai berasosiasi dengan batuan sedimen.
2.5 Survey Seismik Laut Survey seismik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan konfigurasi batuan bawah permukaan dalam bentuk rekaman, dengan menggunakan gelombang akustik yang merambat pada medium kerak bumi (gelombang seismik). Hasil rekaman yang diperoleh dari survei ini disebut dengan penampang seismik yang dapat dilihat pada Gambar 2.17 berikut:
Gambar 2.17 Penampang Seismik 28
Karakteristik rambatan gelombang seismik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : - Medium Perambatan Sifat-sifat fisika medium sangat mempengaruhi penjalaran gelombang seismik. Sesuai dengan keadaan medium, energi gelombang seismik dapat dibiaskan, dipantulkan, ditransmisikan dan diserap. - Pelemahan (Atenuasi) Gelombang seismik yang menjalar melalui suatu medium akan mengalami pelemahan berupa pengurangan energi. Terjadinya pengurangan energi ini disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan geometris, 2. Penyerapan (Absorpsi), 3. Pemecahan energi pada bidang antar lapisan.
2.5.1 Metode Survey Seismik Dalam survey seismik dikenal dua metode, yaitu: • Metode Seismik Pantul (Refleksi) Dengan metode ini struktur dari formasi bawah permukaan dipetakan lewat perhitungan waktu yang dibutuhkan oleh gelombang seismik. Seismik refleksi meliputi pengukuran dua kali waktu perjalanan gelombang seismik, dari sumber dan dipantulkan kembali ke penerima dengan batas kontras antar lapisan di
bawah
permukaan sebagai bidang pantulnya. Variasi dalam waktu pemantulan dari tempat satu dengan tempat lainnya dipermukaan biasanya mengindikasikan ciri-ciri struktur lapisan dibawahnya. Berikut merupakan penggambaran dari metode ini:
Gambar 2.18 Metode Seismik Pantul
29
Kekuatan dari batas kontras antara dua lapisan dapat dideterminasi dengan amplitudo dari sinyal pantul. Sinyal pantul dapat dideteksi dipermukaan dengan menggunakan susunan hidrophone dengan frekuensi tinggi. Setiap formasi lapisan yang berbeda karakteristik fisikanya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula gelombang yang dihasilkannya.
Selain itu metode ini juga memungkinkan untuk menghasilkan peta struktur dari beberapa horizon geologi, tetapi horizon tersebut biasanya tidak dapat diidentifikasi tanpa informasi geologi seperti yang dihasilkan pada sumur pemboran. Data refleksi yang dihasilkan dari metode ini juga dapat digunakan untuk mendeterminasi kecepatan rata-rata dari gelombang seismik antara sumber gelombang dengan reflektor (bidang pantulan). Dengan metode ini juga, dapat dipetakan beberapa bentuk atau kenampakan seperti antiklin, sesar, salt dome, dan reefs. Beberapa kenampakan tersebut biasanya berasosiasi dengan akumulasi gas dan minyak. . • Metode Seismik Bias (Refraksi) Metode seismik refraksi didasarkan kepada pengukuran waktu perjalanan dari gelombang seismik yang dibiaskan di batas antara lapisan bawah permukaan, dengan kecepatan yang berbeda. Energi seismik yang ada dihasilkan atau didapatkan dari sumber gelombang seismik yang dibawa oleh kapal survey. Gambar metode refraksi ini digambarkan di bawah ini:
Gambar 2.19 Metode Seismik Bias
30
Dalam metode refraksi, instrumen yang mendeteksi rekaman sinyal seismik, berada pada posisi yang jaraknya dari titik penembakan lebih besar dibandingkan dengan kedalaman horizon yang akan dipetakan, atau dapat dikatakan, semakin jauh jarak antar dua titik dipermukaan dalam metode refraksi, akan menghasilkan kedalaman horizon yang lebih besar dibawah permukaan. Gelombang seismik harus mengalami perjalanan horizontal yang besar di sepanjang bumi, dan waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan sejauh jarak dari sumber ke penerima, memberi informasi tentang kecepatan dan kedalaman dari formasi bawah permukaan, sepanjang penyebarannya. Metode refraksi cocok untuk digunakan pada struktur yang cepat rambatnya pada lapisan tersebut sangat cepat, seperti dibagian atas atau bagian bawah dari batu gamping. Metode refraksi juga berguna dalam memetakan atau melihat kenampakan diapirik seperti kubah garam. Selain itu aplikasi dari seismik refraksi yang utama adalah untuk mendeterminasi kedalaman dari batuan dasar dan juga struktur batuan dasar. Didasarkan pada ketergantungan dari kecepatan seismik dalam elastisitas dan kerapatan dari material yang dilalui energi, survey seismik refraksi menampilkan atau meliputi pengukuran dari kekuatan material dan selain itu dapat membantu menaksir kematangan batuan dan kualitasnya.
Walaupun metode refraksi tidak memberikan banyak informasi atau data sebanyak metode refleksi, dan tidak memberikan kenampakan struktur yang sejelas dan seseksama metode refleksi, metode ini dapat menampilkan data kecepatan dari lapisan refraksi, dan juga metode ini memungkinkan untuk mencakup area yang diberikan, lebih cepat dan lebih ekonomis dibandingkan dengan metode refleksi.
2.5.2 Pengolahan Data Seismik Pengolahan data seismik (pantul) terdiri dari beberapa tahapan. Adapun tujuan utama pengolahan data seismik [Van Der Kruk, 2001] adalah: •
Meningkatkan signal to noise ratio (S/N),
•
Memperoleh resolusi yang lebih tinggi dengan mengadaptasikan bentuk gelombang sinyal,
31
•
Mengisolasi sinyal-sinyal yang diinginkan (mengisolasi sinyal refleksi dari gelombang-gelombang permukaan),
•
Memperoleh gambaran yang realistik dengan koreksi geometri,
•
Memperoleh informasi-informasi mengenai bawah permukaan.
Sementara skema dari pengolahan data seismik (pantul) tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.20 di bawah ini:
Gambar 2.20 Skema Pengolahan Data Seismik Berikut ini secara singkat merupakan penjelasan dari tiap-tiap tahapan dari skema di atas: 1. Field Tape Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format tertentu. Magnetic tape yang digunakan biasanya adalah tape dengan format : SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D dan SEG-Y. 2. Demultiplex Data seismik direkam yang tersimpan dalam format multiplex dalam pita magnetik lapangan sebelum diproses terlebih dahulu harus diubah susunannya. Data yang tersusun berdasarkan urutan pencuplikan disusun kembali berdasarkan receiver atau channel (demultiplex). Proses ini dikenal dengan demultiplexing. 3. Gain Recovery Akibat adanya penyerapan energi pada lapisan batuan yang kurang elastis dan efek divergensi sferis maka data amplitudo (energi gelombang) yang direkam mengalami
penurunan
sesuai
dengan
jarak
yang
ditempuh.
Untuk menghilangkan efek ini maka perlu dilakukan pemulihan kembali energi yang hilang sedemikian rupa sehingga pada setiap titik seolah-olah datang
32
dengan jumlah energi yang sama. Proses ini dikenal dengan istilah Automatic Gain Control (AGC) sehingga nantinya menghasilkan kenampakan data seismik yang lebih mudah diinterpretasi. 4. Editing dan Muting Editing adalah proses untuk menghilangkan semua rekaman yang buruk. Muting adalah proses untuk menghilangkan sebagian rekaman yang diperkirakan sebagai sinyal gangguan seperti ground roll, first break dan lainnya yang dapat mengganggu data. 5. Koreksi Statik Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh topografi (elevasi shot dan receiver) sehingga shot point dan receiver seolah-olah ditempatkan pada datum yang sama. 6. Dekonvolusi Dekonvolusi dilakukan untuk memperbaiki bentuk wavelet yang kompleks akibat pengaruh noise. Dekonvolusi merupakan proses invers filter. Bumi merupakan low pass filter yang baik sehingga sinyal impulsif diubah menjadi wavelet yang panjangnya sampai 100 ms. mengakibatkan
turunnya
resolusi
seismik
Wavelet yang terlalu panjang karena
kemampuan
untuk
membedakan dua event refleksi yang berdekatan menjadi berkurang. 7. Analisis Kecepatan Tujuan dari analisis kecepatan adalah untuk menentukan kecepatan yang sesuai untuk memperoleh stacking yang terbaik. Pada grup trace dari suatu titik pantul, sinyal refleksi yang dihasilkan akan mengikuti bentuk pola hiperbola. Prinsip dasar analisa kecepatan pada proses stacking adalah mencari persamaan hiperbola yang tepat sehingga memberikan stack yang maksimum. 8. Koreksi Dinamik Koreksi ini diterapkan untuk mengoreksi efek adanya jarak offset antara shot point dan receiver pada suatu trace yang berasal dari satu CDP (Common Depth Point).
33
9. Stacking Stacking adalah proses penjumlahan trace-trace dalam satu kumpulan data yang bertujuan untuk mempertinggi signal to noise ratio (S/N). Proses ini biasanya dilakukan berdasarkan CDP yaitu trace-trace yang tergabung pada satu CDP dan telah dikoreksi NMO kemudian dijumlahkan untuk mendapat satu trace yang tajam dan bebas noise inkoheren. Gambar 2.21 di bawah ini merupakan proses stacking tersebut:
Gambar 2.21 Stacking 10. Migrasi Migrasi adalah suatu proses untuk memindahkan kedudukan reflektor pada posisi dan waktu pantul yang sebenarnya berdasarkan lintasan gelombang. Hal ini disebabkan karena penampang seismik hasil stack belumlah mencerminkan kedudukan yang sebenarnya, karena rekaman normal incident belum tentu tegak lurus terhadap bidang permukaan terutama untuk bidang reflektor yang miring. Gambar 2.22 di bawah ini menyajikan gambar penampang seismik sebelum dan setelah migrasi:
Gambar 2.22 Penampang Seismik Sebelum dan Setelah Migrasi
2.5.3 Seismik Stratigrafi Seismik stratigrafi merupakan dasar pendekatan secara geologi untuk menginterpretasi data seismik. Pada pelaksanaan interpretasi seismik stratigrafi, pengamatan/evaluasi yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut [Peter dan Mitchum, 1977]:
34
• Analisis penampang horizon seismik (seismic sequence analysis) Pekerjaan analisis sekuen seismik didasarkan pada pengenalan satuan-satuan stratigrafi yang disusun oleh strata yang secara genetik saling berkaitan. Satuan itu dinamakan sekuen pengendapan (depositional sequence). Batas atas dan batas bawah sekuen pengendapan adalah bidang ketidakselarasan atau bidang keselarasan yang korelatif dengan bidang ketidak-selarasan itu. Interval waktu yang direpresentasikan oleh strata penyusun sekuen pengendapan mungkin berbeda dari satu tempat ke tempat lain, namun semuanya itu masih berada pada batas-batas tertentu, yaitu dalam selang waktu yang besarnya merupakan selisih antara dua bidang keselarasan yang menjadi pembatasnya. Sekuen pengendapan, karena disusun oleh strata yang secara genetik saling berkaitan, memiliki nilai kronostratigrafi (stratigrafi berdasarkan urutan waktu) tersendiri. Karena itu, sekuen pengendapan merupakan kerangka ideal untuk analisis stratigrafi. • Analisis fasies seismik (seismic facies analysis) Pekerjaan analisis fasies seismik mencakup penelusuran dan penafsiran geometri, kesinambungan, amplitudo, frekuensi, dan interval velocity refleksi-refleksi seismik yang ada dalam sekuen pengendapan serta pengenalan bentuk eksternal dan asosiasi fasies seismik. Bila fasies-fasies seismiknya telah dapat dicandra dan dipetakan, maka proses dan lingkungan pengendapan fasies tersebut akan dapat ditafsirkan. Setelah itu, litologi dari setiap fasies seismik juga akan dapat ditafsirkan. • Analisis perubahan relatif muka air laut (relative change of sea water face analysis) Pekerjaan analisis perubahan relatif muka air laut mencakup pembuatan diagram kronostratigrafi, pembuatan diagram siklus perubahan muka air laut berdasarkan data regional, serta pembandingan diagram siklus perubahan muka air laut regional dengan diagram perubahan muka air laut global. Kemiripan siklus regional dengan siklus global sangat penting artinya dalam analisis seismik stratigrafi karena memungkinkan diprediksikannya umur strata, waktu terbentuknya ketidakselarasan, jenis litofasies, dan lingkungan purba. Perbedaan antara kurva regional dengan kurva global
mengindikasikan
saat-saat
terjadinya
mengindikasikan adanya kekeliruan analisis.
35
proses
deformasi
lokal
atau
2.5.4 Peralatan Survei Seismik Beragam peralatan diperlukan untuk mendapatkan hasil penggambaran lapisan sedimen yang ada di dasar laut. Secara umum peralatan tersebut terdiri dari beberapa bagian, yaitu : • Sumber gelombang seismik, contoh: sparker, boomer, air-gun dan water gun. Gambar 2.23 berikut ini merupakan gambar dari air-gun:
Gambar 2.23 Air Gun • Alat penerima (streamer), terdiri dari beberapa elemen yang terpisah yang dihubungkan satu sama lain. Ada empat macam elemen yang terdapat dalam suatu sistem streamer, yaitu: elemen aktif (active elements), alat peredam (damping device), pemberat (weight stand) dan sensor tekanan (pressure sensor). Gambar 2.24 di bawah ini merupakan gambar dari streamer tersebut:
Gambar 2.24 Streamer • Alat pemrosesan data, terdiri atas Pre amplifier, Amplifier dan Filter. • Alat perekam.
36