BAB II DASAR TEORI
2.1 Pengertian Batas Darat Batas darat ialah tempat kedudukan titik-titik atau garis-garis yang memisahkan daratan atau
bagiannya
kedalam
dua
atau
lebih
wilayah
kekuasaan
yang
berbeda
[Suhardiman,1994]. Batas wilayah disini dapat berarti batas negara,batas wilayah propinsi, batas wilayah kabupaten, batas wilayah kecamatan, atau batas wilayah desa/kelurahan. Dalam tugas akhir ini batas wilayah yang dimaksud adalah batas wilayah kabupaten. Pengertian tentang batas diatas masih bersifat umum yang memungkinkan dapat terjadi perbedaan penafsiran tentang arti batas yang berlaku di Indonesia dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengan batas. Adapun beberapa istilah tersebut adalah : •
Batas adalah tanda pemisah antara wilayah yang bersebelahan, baik berupa tanda alam maupun buatan
•
Batas Buatan adalah unsur-unsur buatan seperti pilar batas, jalan rel kereta api,saluran irigasi dan sebagainya, yang dinyatakan atau ditetapkan sebagai batas wilayah
•
Batas Wilayah Desa/Kelurahan antara Kecamatan disebut batas wilayah Kecamatan, maka kewenangan dalam penetapan/pemasangan tanda batasnya menjadi tanggung jawab Camat yang bersangkutan dengan memperhatikan Desa/Kelurahan yang berbatasan.
•
Batas Wilayah Desa/Kelurahan antar Kabupaten/Kotamadya/Dati II, disebut batas wilayah
kabupaten/kotamadya/Dati
penetapan/pemasangan Bupati/Walikotamadya
tanda KDH
II,
batas tingkat
maka menjadi
II
yang
kewenangan
dalam
tanggung
jawab
bersangkutan
dengan
memperhatikan Desa/Kelurahan dan Kecamatan yang berbatasan. •
Batas Wilayah Desa/Kelurahan antar Propinsi/Dati I, disebut batas wilayah Propinsi/Dati I, maka kewenangan dalam penetapan/pemasangan tanda batas menjadi tanggung jawab Gubernur KDH tingkat I yang bersangkutan dengan
6
memperhatikan Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten/Kotamadya Dati II yang berbatasan.
Jenis-Jenis Batas Darat Berdasarkan unsur yang digunakan dalam penetapan batas,secara umum batas darat terbagi menjadi tiga jenis yaitu batas alam, batas buatan, dan pilar batas.
Batas Alam
Batas alam merupakan batas yang ditentukan berdasarkan unsur-unsur alam tertentu yang bersifat umum, mudah diketahui masyarakat umum, dan keberadaannya tidak mudah hilang atau musnah karena faktor alam lainnya atau aktivitas manusia. Beberapa unsur alam yang umum digunakan dalam penetapan batas diantaranya sungai,danau, watershed dan sebagainya. Penggunaan bentuk dari unsur alam yang bersifat umum dan dapat mewakili dari suatu garis batas akan memudahkan dalam penegasan batas di lapangan.
Batas Buatan
Batas buatan merupakan batas yang ditentukan berdasarkan unsur buatan yang bersifat umum dan dapat mewakili sebagai tanda batas. Unsur buatan yang dapat digunakan sebagai tanda batas wilayah adalah unsur-unsur buatan yang bersifat umum dan permanen sehingga dapat digunakan sebagai tanda batas wilayah. Beberapa unsur buatan yang dapat digunakan sebagai tanda batas antara lain jalan, jalan kereta api, saluran irigasi, kanal dan lain sebagainya.
Batas Pilar
Batas pilar merupakan unsur buatan yang dibuat khusus untuk menandai batas wilayah. Dilihat dari fungsinya pilar batas terbagi menjadi tiga yaitu Pilar Perapatan Batas, Pilar Kontrol Batas dan Pilar Batas Utama. Yang dimaksud dengan Pilar Perapatan Batas adalah pilar yang berfungsi untuk menandai batas wilayah yang merupakan perapatan dari Pilar Batas Utama. Pilar Kontrol Batas adalah pilar yang berfungsi untuk mengetahui atau mengontrol titik atau garis batas. Sedangkan yang dimaksud Pilar Batas Utama ialah pilar yang berfungsi sebagai tanda batas wilayah dan sebagai titik kontrol. Untuk lebih jelas akan divas pada
7
2.2 Penetapan dan Penegasan Batas Daerah di Darat 2.2.1 Penetapan Batas di Darat Penetapan batas daerah di darat adalah proses penetapan batas daerah secara kartometrik di atas suatu peta dasar yang disepakati. Proses penetapan ini terdiri atas tiga tahapan kegiatan, yaitu : 1. Penelitian dokumen batas 2. Penentuan peta dasar 3. Pembuatan peta batas kartometrik
1. Tahap kesatu : Penelitian dokumen Batas a. Dokumen batas yang perlu diteliti adalah ketentuan peraturan perundangundangan tentang pembentukan daerah yang bersangkutan serta data dan dokumen lainnya yang dianggap perlu. b. Di
samping
ketentuan
peratuaran
perundang-undangan
tentang
pembentukkan daerah yang bersangkutan yang perlu diteliti, data dan dokumen pendukung lainnya yang berguna untuk penetapan batas daerah di darat secara kartometrik yang perlu dipersiapkan antara lain adalah :
Peta rupabumi (topografi) kawasan perbatasan,
Peta administrasi daerah yang telah ada,
Peta batas daerah di darat yang ada,
Dokumen sejarah
2. Tahap Kedua : Penentuan peta dasar a. Peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan batas daerah di darat secara kartometrik adalah peta rupabumi atau peta topografi dengan spesifikasi berikut :
Skala tipikal : 1:500.000(untuk Provinsi) 1:100.000(untuk Kabupaten) 1:50.000(untuk Kota)
Datum
Sistem Proyeksi Peta : TM (Transverse Mercator)
: DGN 95 (WGS 84)
8
Sistem Grid
: UTM (Universal Transverse Mercator) dengan grid geografis dan metrik
b. Apabila menggunakan peta topografi lainnya (misalnya JOG, AMS) maka peta tersebut harus ditransformasikan terlebih dahulu sehingga memiliki spesifikasi seperti di atas c. Tim PPBD dari daerah-daerah yang berbatasan menentukan peta dasar yang akan digunakan untuk penggambaran batas daerah, serta melaksanakan proses transformasi datum maupun koordinat yang diperlukan. 3. Tahap Ketiga : Pembuatan peta batas daerah kartometrik Peta batas daerah kartometrik dibuat sesuai spesifikasi teknis yang ditentukan pada pembuatan peta batas daerah sesuai pada bab 2.3.1 tentang spesifikasi teknis pembuatan peta batas daerah.
2.2.2 Penegasan Batas Daerah di Darat Dalam setiap tahap kegiatan penegasan batas daerah di lapangan dilakukan oleh Tim Teknis PPBD Pusat bersama dengan Tim Teknis PPBD Daerah yang saling berbatasan. Tahapan Kegiatan Penetapan dan Penegasan Batas Daerah(PPBD) di Darat meliputi : 1. Tahap Penelitian Dokumen Batas 2. Tahap Pelacakan Batas 3. Tahapa Pemasangan Pilar Batas Daerah 4. Tahap Penentuan Posisi Pilar Batas dan Pengukuran Garis Batas 5. Tahap Pembuatan Peta Batas
Apabila tidak diperoleh kesepakatan terhadap hasil dari setiap tahap kegiatan penegasan batas, akan diselesaikan oleh Tim PPBD Pusat dan dituangkan dalam Berita Acara. 1. Tahap Kesatu : Penelitian Dokumen Batas a. Pada tahap ini masing-masing Tim Teknis PPBD melakukan inventarisasi dasar hukum tertulis maupun dasar hukum lainnya yang berkaitan dengan batas daerah. Dasar hukum lainnya yang berkaitan dengan batas daerah. Dasar hukum penegasan batas daerah di darat antara lain adalah :
9
Staatssblad, nota residen, Undang-undang pembentukkan daerah, atau kesepakatan-kesepakatan yang pernah ada termasuk peta-peta kesepakatan mengenai batas wilayah, peta minit (Minuteplan), Peta Topografi, peta Rupabumi atau peta-peta lain yang memuat tentang batas daerah yang bersangkutan dan Kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan yang dituangkan dalam dokumen kesepakatan penentuan batas daerah. b. Jika tidak ada sumber hukum yang disepakati, maka kedua tim bermusyawarah untuk membuat kesepakatan baru dalam menentukan batas daerah. c. Kedua tim melakukan penelitian/pengkajian terhadap dokumen/ data batas daerah tersebut untuk :
Menentukan dokumen/data yang akan dijadikan dasar dalam melakukan pelacakan di lapangan
Menentukan titik-titik batas yang disepakati
Pembuatan peta kerja pelacakan dan penegasan batas daerah
Menentukan metode pelacakan, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas dan pembuatan peta batas daerah
d. Berdasarkan hasil penelitian dokumen ini dibuat Berita Acara Penelitian Dokumen Batas Daerah untuk dijadikan dasar bagi kegiatan selanjutnya (lihat Formulir Bentuk 01 pada lampiran) e. Berita Acara Penelitian Dokumen Batas Daerah ditandatangani oleh Tim Teknis dan dibuat beberapa rangkap sesuai dengan daerah yang berbatasan ditambah untuk Depdagri dan Arsip Nasional. 2. Tahap Kedua : Pelacakan Batas a. Pelacakan batas dilaksanakan oleh Tim Teknis PPBD b. Teknis pelacakan batas daerah di lapangan mencakup dua kegiatan yaitu penentuan garis batas sementara dan pelacakan garis batas di lapangan.
10
c. Kegiatan penentuan garis batas sementara adalah untuk menentukan garis batas sementara di atas peta yang sudah disepakati sebagai dasar hukum batas daerah. Penentuan garis batas sementara didasarkan pada :
Tanda/Simbol batas-batas yang tertera di peta, baik batas administrasi maupun batas kenampakan detail lain di peta,
Koordinat titik batas yang tercantum dalam dokumen-dokumen batas daerah,
Toponimi (nama geografis) dari objek-objek geografis sepanjang garis batas, baik itu objek alam, objek buatan manusia,maupun objek administratif,
Jika tidak ada tanda-tanda batas yang tertera sebelumnya, maka penentuan garis sementara di atas peta ini dilakukan melalui kesepakatan bersama.
d. Pelacakan garis batas di lapangan.
Pelacakan di lapangan adalah kegiatan untuk menentukan letak batas daerah secara nyata di lokasi sepanjang batas daerah berdasarkan garis batas sementara pada peta atau berdasarkan kesepakatan sebelumnya.
Kegiatan ini merupakan tahap untuk mendapatkan kesepakatan letak garis batas di lapangan, dengan atau tanpa sumber hokum tertulis mengenai batas tersebut.
Kegiatannya dimulai dari awal yang diketahui kemudian menyusuri garis batas sampai dengan titik akhir sesuai dengan peta kerja
Berdasarkan kesepakatan, pada titik-titik tertentu atau pada jarak tertentu di lapangan dapat dipasang tanda atau patol kayu sementara sebagai tanda posisi untuk memudahkan pemasangan pilar-pilar batas.
e. Dalam melakukan pelacakan batas daerah di lapangan, Tim Teknis dapat mengikutsertakan aparat Kecamatan, Desa/Kelurahan, Tokoh/Pemuka Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah perbatasan dari masingmasing daerah f. Pelacakan
Batas
daerah
di
lapangan
menggunakan
Peta
Batas
Daerah Kartometrik yang dibuat pada proses penetapan batas.
11
g. Berdasarkan hasil pelacakan batas daerah dibuatkan Berita Acara Hasil Pelacakan Batas Daerah yang ditandatangani asli oleh Tim Teknis dan dibuat beberapa rangkap sesuai dengan daerah yang berbatasan ditambah untuk Departemen Dalam Negeri dan Arsip Nasional. h. Hasil Pelacakan Batas Daerah dilaporkan oleh Tim Teknis kepada ketua Tim PPBD dengan sistematika sebagai berikut :
Pendahuluan
Maksud dan Tujuan
Dasar Pelacakan
Pelaksanaan Pelacakan
Lampiran yang berisi : 1. Berita acara hasil pelacakan batas daerah 2. Peta kerja hasil pelacakan 3. Dokumen hasil pelacakan 4. Catatan-catatan lain yang dianggap penting dibuat pada waktu pelacakan.
3. Tahap Ketiga : Pemasangan Pilar Batas Daerah a. Pembuatan dan Pemasangan Pilar Batas Daerah ditujukan untuk memperoleh kejelasan dan ketegasan batas antar daerah di darat sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya. b. Jenis-jenis Pilar Batas adalah :
Pilar Batas Utama (PBU) adalah pilar batas yang dipasang di titik-titik tertentu terutama di titik awal, titik akhir garisbatas, dan atau pada jarak tertentu disepanjang garis batas daerah.
PilarBatas Antara (PBA) adalah pilar batas yang dipasang diantara pilar-pilar batas utama dengan tujuan untuk menambah kejelasan garis batas antara dua daerah, atau pada titik-titik tertentu yang dipertimbangkan perlu untuk dipasang pilar batas antara.
Pilar Acuan Batas(PAB) adalah pilar yang dipasang di sekitar batas daerah dengan tujuan sebagai petunjuk keberadaan batas daerah. Pilar
12
acuan dipasang sehubungan pada batas yang dimaksud tidak dapat dipasang
pilar
batas
utama
karena
kondisinya
yang
tidak
memungkinkan (seperti pada kasus sungai atau jalan raya sebagai batas) atau keadaan tanah yang labil.
c. Ketentuan untuk Kerapatan PBU sesuai dengan criteria berikut ini :
Untuk batas Provinsi yang mempunyai potensi tinggi (tingkat kepadatan penduduk, nilai ekonomi, SDA, nilai budaya, dll), kerapatan pilar tidak melebihi 5 km dan untuk batas Provinsi yang kurang potensi tidak melebihi 10 km.
Untuk batas Kabupaten/Kota yang mempunyai potensi tinggi kerapatan pilar tidak melebihi 3 km dan untuk batas yang kurang potensi kerapatan pilar tidak melebihi 5 km.
d. Pemasangan pilar batas harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
Pada kondisi tanah yang stabil, terhindar dari erosi dan abrasi.
Mudah ditemukan dan mudah dijangkau,
Aman dari gangguan aktivitas manusia maupun binatang
Punya ruang pandang ke langit yang relatif luas(untuk pilar batas yang akan diukur dengan metode GPS)
e. Ketentuan Pemasangan Pilar adalah sebagai berikut :
Sebagai tanda pemisah batas Provinsi dipasang pilar batas tipe “A” dengan ukuran 50cm x 50cm x100 cm di atas tanah dan kedalaman 150 cm di bawah tanah.
Sebagai tanda pemisah batas Kabupaten/Kota dipasang pilar batas tipe “B” dengan ukuran 40cm x 40cm x 75 cm di atas tanah dan kedalaman 100 cm di bawah tanah.
Jika dipandang perlu diantara dua PBU dapat dipasang Pilar Batas Antara (PBA) sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lapangan. PBA pada batas Provinsi, Kabupaten atau Kota dipasang dengan ukuran
13
20cm x 20cm x 25cm di atas tanah dan kedalaman 50 cm di bawah tanah.
Pada setiap pilar dipasang brass tablet pada bagian atas pilar sebagai informasi atas pilar. Selain itu dipasang plak pada tepi pilar yang menghadap ke masing-masing daerah sebagai keterangan tentang pilar batas daerah tersebut
f. Hasil pemasangan Pilar Batas dituangkan dalam Berita Acara Pemasangan Pilar Batas yang ditandatangani asli oleh Tim Teknis PPBD dan dibuat beberapa rangkap sesuai dengan daerah yang berbatasan ditambah untuk Departemen Dalam Negeri dan Arsip Nasional 4. Tahap Keempat : Penentuan Posisi Pilar Batas dan pengukuran Garis Batas a. Penentuan Posisi Pilar Batas
Penentuan posisi pilar batas diukur sesegera mungkin setelah tahap pemasangan pilar batas selesai dilaksanakan
Standar ketelitian untuk koordinat pilar batas (satu simpangan baku) adalah : •
Untuk PBU dan PABU : + 15 cm
•
Untuk PBA dan PABA : + 25 cm
Untuk menghasilkan penentuan posisi dengan ketelitian tersebut, pengukuran posisi PBU/PABU untuk batas daerah Provinsi,Kabupaten dan Kota ditentukan berdasarkan metode survey GPS menggunakan receiver GPS tipe geodetik
Dalam kondisi tertentu, dan dengan persetujuan dari Tim PPBD Pusat koordinat pilar-pilar batas pada suatu segmen garis batas tertentu,dapat ditentukan dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah dari standar ketelitian diatas.
Sebelum pengukuran dimulai,maka harus diketahui paling sedikit sebuah titik referensi geodesi nasional yang terdekat dengan daerah perbatasan,
14
yang koordinatnya diketahui dalam Sistem Referensi Nasional yaitu Datum Geodesi Nasional 1995 atau DGN- 95. b. Pengukuran Garis Batas
Pengukuran garis batas hanya dilaksanakan kalau dianggap perlu, dan dilaksanakan terhadap segmen garis batas yang dianggap penting dan ditetapkan secara bersama oleh daerah-daerah yang berbatasan.
Pengukuran Garis Batas dimaksudkan untuk menentukan koordinat horizontal dan vertical titik-titik batas yang berbentuk patok-patok pada jarak tertentu sehingga dapat digambarkan bentuk garis batas sepanjang batas daerah.
Peralatan yang digunakan dapat berupa alat ukursudut (Theodolit, Total station), alat ukur jarak (pita ukur, EDM) dan receiver GPS.
Teknik dan metode pengukuran garis batas di setiap titik-titik perapatan patok-patok batas dapat dilaksanakan menggunakan metode terestris seperti polygon, pengikatan kemuka atau pengikatan ke belakang, sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang berbatasan, sedangkan untuk mengukur posisi vertical titik-titik pada garis batas dapat dilakukan dengan menggunakan cara tachimetri.
Semua pengukuran menggunakan minimum dua titik ikat yangsudah diketahui koordinatnya dan koordinat titik-titikpada garis batas dihitung berdasarkan koordinat titik-titik ikat tersebut.
Data hasil pengukuran metode terestris dihitung menggunakanmetode hitungan yang umum digunakan seperti Metode Bowditch untuk pengukuran polygon. Perhitungan posisi vertical pada pengukuran situasi dilakukan berdasarkan hitungan rumus tachimetri.
Data yang berupa deskripsi Pilar-pilar Batas dan titik-titik pada garis batas tersebut didokumentasikan bersama buku ukur bersama berita acara kesepakatan batas daerah yang ditandatangani oleh kedua pihak yang berbatasan.
15
5. Tahap ke-lima: Pembuatan Peta Batas Daerah Peta batas daerah dapat dibuat berdasarkan : •
Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada
•
Pemetaan terestris, atau
•
Pemetaan fotogrametris
2.3 Spesifikasi Teknis 2.3.1 Pembuatan Peta Batas Daerah 1. Jenis Peta Batas Jenis peta batas berdasarkan prosedur pembuatannya terdiri dari : a. Peta Hasil Penetapan Batas Peta batas hasil penetapan batas adalah peta yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dengan tidak melakukan pengukuran di lapangan b. Peta Hasil Penegasan Batas Peta batas hasil pengukuran adalah peta yang dibuat dengan peta dasar yang ada ditamabah dengan data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. c. Peta Hasil Verifikasi Peta batas hasil verifikasi adalah peta batas yang telah dibuat oleh daerah dan hasilnya dilakukan verifikasi oleh Tim PPBD Pusat sebelum ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri.
2. Proses Pembuatan Peta Proses pembuatan peta batas daerah dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a. Penurunan/kompilasi dari peta-peta yang sudah ada :
Peta batas daerah dapat diperoleh dari peta-peta yang ada seperti peta-peta dasar, peta pendaftaran tanah, peta blok atau berdasarkan foto udara, citra satelit dan lain-lain.
Prosesnya dapat dilakukan secara kartografis manual atau digital dan jika perlu diadakan penyesuaian skala, peralatan (seperti Pantograph) atau metode yang sesuai dapat digunakan.
16
Detail yang digambarkan adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan batas daerah seperti lokasi pilar-pilar batas, jaringan jalan, garis pantai, perairan dan detail yang menonjol lainnya.
Pada cara digital, peta sumber tersebut digitasi dan dipilih melalui layar komputer untuk digambarkan kembali oleh plotter.
b. Pemetaan Terestris Metode ini merupakan rangkaian pengukuran menggunakan alat ukur sudut, jarak dan beda tinggi yaitu : 1. Prisma dan pita ukur Prinsip pengukuran metode ini adalah memanfaatakan garis tegak lurus yang ditentukan oleh prisma dan pengukuran jarak oleh pita ukur. Tahapan pengukurannya adalah :
Pembuatan kerangka titik Bantu (x,y)
Pengukuran detail menggunakan prisma dan pita ukur
Penggambaran
2. Tachimetri Prinsip pengukuran metode ini adalah mengukur sudut horizontal (azimuth magnetik), sudut miring(zenith) dan jarak optis melalui pembacaan skala rambu ukur menggunakan theodolit. Tahapan pengukurannya adalah :
Pembuatan kerangka titik kontrol (x,y,h)
Pengukuran poligon dan detail situasi/detail
Proses hitungan
Penggambaran
3. Total Station Alat yang digunakan adalah total station yang dilengkapi dengan fasilitas pengukuran, perhitungan dan penggambaran secara otomatis/elektronis sehingga dapat dilakukan secara cepat dan mudah. Tahapan pengukuran dan penggambaran sama dengan metode Tachimetri.
17
3. Pengesahan Peta Peta batas yang telah diverifikasi oleh Tim PPBD Pusat dan disetujui oleh Kepala Daerah yang berbatasan dicetak minimal tujuh rangkap untuk mendapatkan pengesahan Menteri Dalam Negeri. 4. Penyimpanan Dokumen Batas a. Berita Acara Penelitian Dokumen Batas Daerah b. Berita Acara Pelacakan Batas Daerah dan Data Survei Pelacakan Lokasi Pamasangan Pilar Batas Batas Daerah c. Berita Acara Penetapan/pemasangan pilar batas daerah d. Peta Batas Daerah e. Dokumen lainnya yang berkaitan dengan kegiatan penegasan batas disimpan di :
Daerah yang berbatasan
DEPARTEMEN DALAM NEGERI
ARSIP NASIONAL
2.3.2 Pilar Titik Batas Daerah Jenis Pilar batas Pilar batas daerah di darat terdiri dari tiga jenis yaitu :
Pilar Batas Utama (PBU) adalah pilar batas yang dipasang di titik-titik tertentu terutama di titik awal, titik akhir garisbatas, dan/atau pada jarak tertentu disepanjang garis batas daerah.
PilarBatas Antara (PBA) adalah pilar batas yang dipasang pada garis batas diantara dua PBU yang berurutan dengan tujuan untuk menambah kejelasan garis batas antara dua daerah, atau pada titik-titik tertentu yang dipertimbangkan perlu untuk dipasang pilar batas antara dengan spasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lapangan.
18
Garis Batas PBU
PBA
PBA PBU
PBU
PBA PBU Gambar 2.1 Contoh kedudukan PBU dan PBA
Pilar Acuan Batas(PAB) adalah pilar yang dipasang di sekitar batas daerah dengan tujuan sebagai petunjuk keberadaan batas daerah. Pilar acuan dipasang sehubungan pada batas yang dimaksud tidak dapat dipasang pilar batas utaman karena kondisinya yang tidak memungkinkan (seperti pada kasus sungai atau jalan raya sebagai batas) atau keadaan tanah yang labil.
PABA Garis Batas
PABU
PABA
PABU
PABU
PABU
PABA Gambar 2.2 Contoh kedudukan PABU dan PABA
1. Kriteria Lokasi Pilar a. Pada kondisi tanah stabil b. Aman dari gangguan manusia maupun binatang c. Mudah ditemukan d. Mudah dijangkau e. Punya ruang pandang ke langit yang relatif luas (untuk pilar batas yang akan diukur dengan metode GPS) 19
2. Spasi tipikal antar PBU Spasi tipikal antar PBU/PABU seperti pada tabel 2.1 dibawah ini. Tabel 2.1 Spasi tipikal PBU/PABU: Spasi tipikal antar PBU atau PABU Kawasan batas Berpontesi
Kawasan batas kurang
tinggi
berpotensi
3-5 km
5-10 km
1-3 km
3-5 km
Batas Propinsi Batas Kabupaten atau Kota
3. Dimensi dan Warna Pilar Batas a). Pilar batas tipe A Pilar dipakai sebagai tanda pemisah batas Propinsi, dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm dan kedalaman 150 cm warna PUTIH b). Pilar batas tipe B Pilar ini dipakai sebagai pembatas Kabupaten/kota dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 75 cm dan kedalaman 100 cm. Warna PUTIH c). Pilar batas antara Pilar ini merupakan pilar perapatan dari pilar PBU yang sudah ada, dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm dan kedalaman 50 cm warna PUTIH 4. Penomoran Pilar Batas Untuk setiap segmen garis batas, pilar batas darat di lapangan diberi nomor secara berurutan sebagai berikut : a. Untuk PBU
: PBU-ZZZZ
b. Untuk PBA
: PBA-ZZZZ
c. Untuk PABU
: PABU-ZZZZ
d. Untuk PABA
: PABA-ZZZZ
Dimana : ZZZZ adalah Nomor Urut Pilar
20
Keberadaan lokasi pilar (yaitu Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya) diinformasikan melalui informasi tepi (plak).
5. Bentuk dan Ukuran Pilar Batas a). Pilar batas tipe A Pilar dipakai sebagai tanda pemisah batas Propinsi, dengan ukuran 50 cm x 50 cm x 100 cm dan kedalaman 150 cm. Seperti pada gambar 2.3 dibawah ini :
Gambar 2.3 Pilar tipe A untuk Propinsi
21
b). Pilar batas tipe B Pilar ini dipakai sebagai pembatas Kabupaten/kota dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 75 cm dan kedalaman 100 cm. Seperti pada gambar 2.4 dibawah ini :
Gambar 2.4 Pilar tipe B untuk kabupaten
22
c). Pilar batas antara Pilar ini merupakan pilar perapatan dari pilar PBU yang sudah ada, dengan ukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm dan kedalaman 50 cm. Seperti pada gambar 2.5 dibawah ini :
Gambar 2.5 Pilar batas antara
6. Informasi Pilar Batas Setiap pilar batas dilengkapi dengan informasi atas pilar(brass tablet) dan informasi tepi ( plak ). Seperti pada gambar 2.6 dibawah ini :
23
DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
BATAS PROPINSI D.I. ACEH – SUMUT
PBU - 0015 DILARANG MERUSAK DAN MENGGANGGU TANDA INI
Tampak muka satuan dalam cm
Tampak belakang
Gambar 2.6 Plak untuk pilar batas tipe A dan tipe B
2.3.3 Survei dan Pemetaan 1. Sistem Referensi Koordinat titik acuan a. Koordinat dari semua pilar batas, titik acuan, maupun titik batas harus dinyatakan dalam system referensi koordinat nasional, yang pada saat ini adalah system Datum Geodesi Nasional 1995( DGN 95) dengan parameter ellipsoid referensinya ( WGS 1984) sebagai berikut :
a (setengah sumbu panjang) = 6378137 m
penggepengan (f) = 1/298,257
b. Semua koordinat pilar batas, titik acuan, maupun titik dasar dan titik batas dinyatakan dalam sistem koordinat geodetik( Lintang, Bujur) dalam datum DGN 95 dan juga dalam sistem koordinat proyeksi peta UTM ( x,y) dalm zone kawasan yang bersangkutan. c. Koordinat selalu dinyatakan berikut deviasi standar untuk setiap komponen koordinatnya 2. Keranga referensi koordinat titik acuan a. Pengukuran semua pilar batas dan titik acuan harus terikat secara langsung atau tidak langsung dengan minimal satu titik kerangka geodetic nasional yang terdekat yang koordinatnya(j,l,h) diketahui dalam system DGN 95, atau dengan satu titik kerangka geodetic global IGS yang terdekat. Titik kerangka geodetik nasional yang dapat digunakan adalah kerangka dasar GPS nasional adalah seperti yang diberikan pada tabel 2.2
24
Tabel 2.2 Titik Kerangka geodetik nasional Titik
Instansi
GPS
Pembangun
Spasi tipikal antar titik
Lokasi Ibukota Propinsi dan kota-kota
Orde-0
Bakosurtanal
besar
200 - 1000 km
Orde-1
Bakosurtanal
Ibukota kabupaten dan kodya
100 - 200 km
Pemukiman, diluar kawasan Orde-2
BPN
hutan
10 - 15 km
Pemukiman, diluar kawasan Orde-3
BPN
hutan
1 - 2 km
b. Pilar batas dan titik acuan juga dapat diikatkan secara langsung ke suatu titik stasiun tetap GPS Indonesia atau ke suatu titik kerangka GPS global, yaitu kerangka IGS yang terletak di sekitar Indonesia.
3. Penentuan Posisi Pilar Batas Utama, PBU atau PABU a. Dilaksanakan dengan metode survey GPS, menggunakan minimal receiver GPS tipe geodetik satu frekuensi dan sebaiknya menggunakan receiver GPS tipe geodetik dua frekuensi Lama pengamatan tipikal disesuaikan dengan jenis receiver yang digunakan dan panjang baseline (jarak antara PBU/PABU ke titik ikat GPS yang digunakan) seperti pada tabel 2.3 dibawah ini. Tabel 2.3 Tabel Hubungan lama pengamatan dan panjang baseline pada pengukuran posisi pilar batas PBU Panjang Baseline (Jarak antara PBU/PABU
Lama Pengamatan Tipikal
dengan titik ikat)
Satu frekuensi
Dua frekuensi
1 - 3 km
15 menit
10 menit
3 - 5 km
20 menit
15 menit
5 - 10 km
30 menit
20 menit
10 - 20 km
2 jam
1 jam
20 - 100 km
4 jam
2 jam
100 - 200 km
6 jam
3 jam
200 - 500 km
12 jam
6 jam
25
b. Pada survey GPS, penentuan koordinat PBU/PABU relatif terhadap titik ikatnya dapat dilakukan secara radial c. Pada survey GPS, seandainya titik ikat GPS(nasional atau global) relatif jauh dari daerah lokasi pilar-pilar batas utama berada, maka untuk efisiensi survey, suatu titik ikat GPS local dibangun di sekitar lokasi survey dan koordinatnya ditentukan relative terhadap titik ikat GPS(nasional atau global ) yang sudah ada tersebut. Koordinat PBU/PABU selanjutnya ditentukan relative terhadap titik ikat local tersebut. d. Pada survey GPS, perhitungan koordinat PBU/PABU sebaiknya dilaksanakan dangan data fase yang ambiguitas fasenya telah ditetapkan ke nilai integernya. e. Perangkat lunak komersial untuk pengolahan data survey GPS dapat digunakan untuk penentuan koordinat pilar batas. f. Perangkat lunak ilmiah untuk pengolahan data survey GPS hanya digunakan untuk kasus penentuan titik ikat GPS local dari titik ikat GPS nasional atau titik IGS yang relatif berjarak jauh ( dalam orde ratusan atau ribuan km) g. Koordinat PBU/PABU diberikan dalam dua sistem yaitu :
Koordinat geodetic (Lintang, Bujur, tinggi ellipsoid) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya.
Koordinat UTM(x,y) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya.
4. Penentuan Posisi Pilar Batas Antara,PBA atau PABA a. Dapat ditentukan dengan menggunakan metode survey GPS ataupun metode polygon. b. Posisi PBA atau PABA ditentukan relative terhadap satu atau beberapa PBU atau PABU nya yang terdekat c. Metode survey GPS yang dapat digunakan untuk penentuan posisi pilar batas antara (PBA) adalah metode static singkat (rapid static) d. Seandainya digunakan metode survey GPS singkat untuk penentuan posisi PBA/PABA, maka survey GPS cukup dilaksanakan dengan menggunakan
26
receiver GPS tipe geodetik satu frekuensi dan receiver GPS tipe geodetic dua frekuensi boleh digunkan seandainya tersedia. e. Lama Pengamatan tipikal disesuaikan dengan jenis receiver GPS yang digunakan dan panjang baseline ( jarak antara PBA/PABA ke titik PBU/PABU yang digunakan sebagai titik ikat ) seperti pada tabel 2.3. Tabel 2.3 Hubungan lama pengamatan dan panjang baseline pada pengukuran posisi pilar batas PBA/PABA. Panjang Baseline ( Jarak antara
Lama Pengamatan Tipikal
PBA/PABA dengan titik ikat)
Satu frekuensi
Dua frekuensi
1 - 3 km
15 menit
10 menit
3 - 5 km
20 menit
15 menit
5 - 10 km
30 menit
20 menit
f. Penentuan
koordibnat
PBA/PABA
relative
terhadap
titik
ikatnya
(PBU/PABU) dapat dilakukan secara radial. g. Perhitungan koordinat pilar batas PBA/PABA sebaiknya dilaksanakan dengan data fase yang ambiguitas fasenya telah ditetapkan ke nilai integernya. h. Perangkat lunak komersial untuk pengolahan data GPS, dapat digunakan untuk penentuan koordinat PBA/PABA. i. Seandainya digunakan metode polygon untuk penentuan posisi PBA/PABA, maka spesifikasi teknis untuk sistem peralatan yang harus digunakan seperti pada tabel 2.4 Tabel 2.4 Spesifikasi alat pengukur sudut dan jarak untuk penentuan posisi pilar PBA/PABA sebagai berikut : Pengukur sudut
alat ukur theodolit 1"
Pengukur jarak
alat ukur EDM ( Electronic Distance Measurement ) atau pita ukur
j. Seandainya digunakan metode poligon untuk penentuan posisi PBA/PABA, maka spesifikasi teknis untuk strategi pengamatan yang harus digunakan seperti pada tabel 2.5
27
Tabel 2.5 Spesifikasi teknis untuk penentuan posisi pilar dengan metode poligon Selisih bacaan B dan LB dalam pengukur sudut
< 10"
Jumlah seri pengamtan suatu sudut ( minimum)
2 seri
Seisih ukuran sudut antar sesi
< 5"
Pengecekan kesalahan kolimasi
sebelum pengamatan
jumlah
pembacaan
untuk
satu
ukuran
(minimum )
jarak
5 kali (untuk EDM ) 2 kali (untuk pita ukur) di
awal
dan
akhir
jaringan
Sudut jurusan
Pengamatan matahari Teknik pengadaan sudut jurusan
atau dari 2 titik GPS
k. Seandainya digunakan metode poligon untuk penentuan posisi PBA/PABA, maka spesifikasi teknis untuk strategi pengolahan data yang harus digunakan seperti pada tabel 2.6 Tabel 2.6 Spesifikasi teknis untuk strategi pengolahan data dengan metode poligon hitung Metode pengolahan data
perataan
kuadrat
terkecil
metode
parameter atau metode bowdicth < 10 Vn
Salah penutup sudut
dimana n adalah jumlah titik poligon
Salah penutup linier jarak
< 1/6000
l. Koordinat PBA/PABA diberikan dalam dua sistem yaitu :
Koordinat geodetik (Lintang, Bujur, tinggi ellipsoid) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya.
Koordinat UTM(x,y) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya
5. Pengukuran Garis Batas a. Pengukuran garis batas hanya dilaksanakan kalau dianggap perlu, dan dilaksanakan terhadap segmen garis batas yang dianggap pengitng dan ditetapkan secara bersama oleh daerah-daerah yang berbatasan
28
b. Seandainya dilaksanakan, pengukuran garis batas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti :
Metode terestris (seperti poligon)
Metode fotogrametris (termasuk metode small format fotogrametri) untuk garis batas alam yang nampak dari udara, seperti sungai dan jalan raya
Metode survey GPS singkat atau GPS kinematik untuk medan garis batas yang relative terbuka
c. Seandainya digunakan metode polygon atau metode survey GPS singkat atau GPS kinematik maka pengukuran garis batas harus terikat kedua ujungnya pada dua pilar pembatasnya,baik itu PBU/PABU maupun PBA/PABA. 6. Pemetaan Situasi Garis Batas a. Pemetaan situasi garis batas hanya dilaksanakan kalau dianggap perlu, dan dilaksanakan terhadap segmen garis batas yang dianggap penting dan ditetapkan secara bersama oleh daerah-daerah yang berbatasan b. Peta garis batas daerah di darat yang diturunkan dari pemetaan situasi, dibuat dengan spesifikasi berikut : Skala
: 1 : 1000
Datum
: DGN 95
Ellipsoid referensi
: WGS 1984
Sistem proyeksi peta
: TM (Traverse Mercator )
Sistem grid
: UTM (Universal Traverse Mercator), dengan grid geografis dan metric
Cakupan
: koridor selebar 100 m ke kiri dan 100 m ke kanan dari garis batas
Interval Kontur
: 0.5 m
c. Seandainya dilaksanakan pemetaan situasi dapat dilakukan dengan metode terestris ( seperti tachimetri ) ataupun metode fotogrametris (termasuk metode small format fotogrametri ). d. Pada pemetaan situasi dengan metode terestris, pengolahan data polygon dapat dilakukan dengan metode Bowdicth, sedangkan perhitungan posisi
29
horinsontal dan vertical dari objek yang akan dipetakan dilakukan berdasarkan hitungan rumus-rumus ilmu ukur tanah yang umum digunakan 7. Penentuan Posisi Pilar Titik Acuan a. Penentuan koordinat titik acuan harus dilaksanakan dengan metode survey GPS yaitu secara diferensial menggunakan data fase, relative terhadap suatu titik ikat GPS yang telah diketahui koordinatnya b. Metode survey GPS harus dilaksanakan menggunakan minimal receiver GPS tipe geodetik satu frekuensi dan sebaiknya menggunakan receiver GPS tide geodetik dua frekuensi c. Lama pengamatan tipikal disesuaikan dengan jenis receiver yang digunakan dan panjang baseline (jarak antara titik acuan ke titik ikat GPS yang digunakan). d. Penentuan koordinat titik acuan dapat dilakukan secara radial, baik langsung maupun tidak langsung, ari suatu titik kerangka GPS nasional yang terdekat atau kalau tidak dengan satu titik kerangka geodetic global IGS yang terdekat. e. Perhitungan koordinat titik acuan sebaiknya dilaksanakan dengan data fase yang ambiguitas fasenya telah ditetapkan ke nilai integernya. f. Perangkat lunak komersial untuk pengolahan data GPS, dapat digunakan untuk penentuan koordinat titik acuan. g. Perangkat lunak ilmiah untuk pengolahan data survey GPS hanya digunakan untuk kasus dimana titik acuan diikatkan langsung ke salah satu titik IGS di dalam dn di sekitar Indonesia. h. Koordinat titik acuan diberikan dalam dua sistem yaitu :
Koordinat geodetik (Lintang, Bujur, tinggi ellipsoid) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya.
Koordinat UTM(x,y) berikut nilai standar deviasi untuk setiap komponen koordinatnya.
30
2.4 Global Positioning System (GPS) GPS pada awalnya dimulai dari pengembangan sistem satelit angkatan laut Amerika Serikat seperti LORAN dan TRANSIT DOPPLER (Navy Navigation Satellite System). Dan setelah beberapa tahun kemudian baru sukses diluncurkan. Secara lugas GPS adalah system radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit. Formalnya NAVSTAR GPS (NAVigation Satellite Timming and Ranging GPS). GPS didisain dan dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US DoD) sebagai keperluan strategi militer terutama penentuan posisi di muka bumi. Walaupun pada awalnya GPS hanya diperuntukkan untuk keperluan militer, masyarakat sipil pun diperbolehkan menggunakan fasilitas GPS secara gratis cukup dengan mempunyai peralatan penerima sinyal GPS (Receiver GPS). Masa percobaan dilakukan dari tahun 1978 sampai dengan 1994 yang semua system satelitnya beroperasi penuh. Hingga tahun 1983, masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan mengizinkan penggunaan GPS untuk pesawat sipil setelah terjadi insiden penembakan pesawat Korean Airlines, penerbangan 007 yang dianggap "nyasar" melintasi perbatasan Uni Soviet. Sejak saat itu, GPS mulai disiapkan untuk dipergunakan oleh kalangan sipil secara internasional, terutama untuk kalangan penerbangan dan kelautan. Lonjakan pesat industri GPS pertama terjadi di tahun 1991 saat terjadinya Perang Teluk. Pada saat itu, Pentagon memesan 10.000 unit dan 3.000 unit perangkat GPS nonmiliter dari Trimble Navigation dan Magellan Systems. Satelit GPS bisa dianalogikan sebagai stasiun radio di angkasa yang diperlengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal gelombang, yang kemudian sinyal ini diterima oleh receiver GPS di permukaan bumi. Tujuan utama GPS adalah untuk mewujudkan sistem penentuan posisi di darat, laut, dan udara. Pada perkembangan selanjutnya, perangkat GPS terus dikembangkan semakin baik, andal, dan terjangkau harganya.
2.4.1 Metode Penentuan Posisi dengan GPS Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan kebelakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya diketahui. Dimana posisi satelit diketahui kemudian dihitung posisi pengamat, dengan mengukur jarak
31
antara satelit dan pengamat. Dalam hal ini terdapat tiga parameter posisi pengamat. Pengukuran jarak dari satelit ke receiver dapat dilakukan melalui pengamatan Pseudorange dan Carrier Phase. Karena jarak yang diperoleh dari pengukuran mengandung kesalahan waktu akibat ketidaksinkronan antara jam satelit dan receiver, maka kesalahan waktu tersebut harus diketahui besarnya agar jarak hasil pengukuran bebas dari kesalahan tersebut, sehingga dengan demikian terdapat empat parameter yang harus dipecahkan untuk dapat menghitung posisi pengamat. Keempat parameter tersebut yaitu tiga parameter posisi pengamat dan satu parameter kesalahan waktu. Untuk itu diperlukan minimal empat buah persamaan yang diperoleh dari pengukuran jarak keempat buah satelit secara umum. Metode differential positioning minimal membutuhkan 2 receiver, ketelitian yang diperoleh bisa sampai ke fraksi millimeter. Hal ini disebabkan atara lain karena differencing process dapat mengeliminir atau mereduksi efek-efek dari berbagai kesalahan dan bias. Selain itu, posisi titik juga ditentukan relative terhadap monitor station. Aplikasi utama yang biasa digunakan pada metode ini adalah survey geodesi, geodinamika dan seismik maupun navigasi yang berketelitian tinggi. Pada gambar berikut ini adalah visualisasi differensial positioning.
Gambar 2.7 Penentuan posisi secara differensial
Ketelitian posisi yang diperoleh dari survai GPS mempunyai tingkat ketelitian yang berbeda-beda dari yang sangat teliti (orde millimeter) sampai orde meteran. Tingkat ketelitian tersebut secara umum bergantung pada empat faktor yaitu ketelitian data yang digunakan, geometri pengamatan, strategi pengamatan yang
32
digunakan, dan strategi pengolahan data yang diterapkan. Selengkapnya dapat dilihat pada buku Penentuan Posisi dengan GPS dan Apikasinya,Abidin,2000. Adapun metode yang dipakai dalam penentuan posisi pilar batas kabupaten Bandung ini adalah metode diferensial menggunakan data Fase dan code dengan moda radial. Dalam hal ini metode yang dipilih adalah statik geodetik. Gambar di bawah ini adalah moda yang dipakai dalam Survey GPS untuk penentuan posisi pilar batas kabupaten Bandung.
Titik rover Titik base
Gambar 2.8 Moda radial pengamatan penentuan batas daerah
33