19
BAB II BAHASA, CAMPUR KODE DAN NOVEL A.
Bahasa 1. Bahasa a.
Pengertian Bahasa Bahasa menurut Bloomfield sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.
Sumarsono dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik, bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang sewenang- wenang (arbiter) yang dipakai anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi.1 Sistem bahasa yang dibicarakan adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi . Artinya lambang lambang itu berbentuk bunyi yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep, umpamanya lambang bahasa yang berbunyi (kuda) melambangkan konsep atau makna sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai. Sehingga bisa disimpulkan setiap satuan ujaran bahasa memiliki makna.2 b.
Fungsi bahasa Menurut Wardhaug yang dikutip oleh Abdul Chaer dan Leoni
Agustina dalam bukunnya yang berjudul soiolinguistik Perkenalan Awal dikatakan bahwa fungsi bahasa sebagai alat komunikasi manusia, baik tertulis maupun lisan. Namun fungsi ini sudah mencakup lima fungsi
1
Sumarsono, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: SABDA, 2002) hlm. 18. Abdul chaer, Leoni Agustina, Sosiolinguistik, Perkenalan Awal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hlm. 12 2
19
20
menurut Kinneavy disebut expression, information, exploration, persuasion, dan intertaiment.3 Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap sempit sebab seperti yang dikemukakan oleh Fishman yang dikutip Abdul Chaer dan Leoni Agustina dalam buku Sosiolinguistik bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistk adalah “who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh Karen itu fungsi- fungsi bahasa antara lain, dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicara yang dijelaskan sebagai berikut: 4 Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. sebagaimana, menurut Hallidaday, Finnocciaro, Jacobson menyebutnya fungsi emotif. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap yang dituturkan bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa namun juga memperlihatkan emosi waktu menyampaikan tuturanya, sehingga pendengar dapat menduka si penutur dalam keadaan marah, sedih atau senang. Dilihat dari sudut pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Menurut finnocchiaro dan Halliday menyebutnya fungsi instrumental sedangkan menurut Jagobson menyebutnya fungsi retorikal. Yang dimaksud disini bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu , tetapi 3
Ibid. hlm. 15. Ibid. Hlm. 15, 16, 17
4
21
melakukan kegiatan yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat- kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. Bila dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik , Jacobson dan Finnocchiaro menyebutnya interpersonal sedangkan Halliday menyebutnya interactional. Yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Bila dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial. Finnochiaro dan Halliday menyebutnya representational. Sedangkan Jacobson menyebutnya fungsi kognitif, ada juga yang menyebutnya fungsi denotatif atau fungsi informatif. Disini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan obyek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada pada budaya pada umumnya. Kalo dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metlingual atau metalinguistik yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa. Juga dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk menjelaskan arti bahasa (dalam hal ini kata)itu sendiri.
22
Kalau dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginatif. Halliday, Finnocchiaro dan Jacobson menyebutnya fungsi poetic speech. Dalam hal ini fungsi bahasa sebagai sarana menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang bersifat imaginatif. Fungsi imaginative itu biasanya berupa karya seni seperti: (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya. 2. Kedwibahasaan (Billingalisme) a.
Pengertian Kedwibahasaan (bilingualisme) Pengertian
kedwibahasaan
selalu
berkembang
mulai
dari
pengertian mulai dari pengertian yang ketat sampai pengertian yang longgar. Sebagaimana Menurut Bloomfield dalam bukunya Language yang
dikutip
oleh
Fathur
Rokhman
dalam
bukunya
yang
berjudulSosiolinguistik memberikan batasan kedwibahasaan sebagai gejala penguasaan bahasa seperti penutur jati (native speaker). Batasan ini mengimplikasikan pengertian bahwa seorang kedwibahasaan adalah yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya.5 Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat menggunakan kedua 5
Fathur Rokhman, Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa Dalam Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2013) hlm. 19
23
bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa
disebut
bilingualitas
dalam
bahasa
Indonesia
disebut
kedwibahasawanan.6 b.
Tipologi Bilingualisme Ketika seseorang memiliki dua bahasa, bahasa Indonesia sebagai
bahasa bahasa inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Kemudian apabila dia berusaha untuk menggunakan bahasa kedua atau bahasa
asing
tersebut
dalam
empat
ketrampilan
berbahasanya
(menyimak, berbicara, membaca, dan menulis), dalam realitas penggunaanya, biasanya seseorang akan menghadapi kesulitan untuk mempraktikan bahasa kedua atau bahasa asing. Misalnya, seorang pelajar mampu memahami apa yang diucapkan oleh penutur asli, tetapi dia sendiri tidak mampu berbicara seperti bahasa orang asing tersebut atau sebaliknya, dia dapat berbicara dengan lancar tetapi ketika mendengar penutur asli berbicara dia tidak paham. Apalagi seseorang mampu membaca bahasa kedua/ bahasa asing dengan baik, tetapi dia tidak mempunyai kemampuan jika disuruh untuk menulis apa yang dia baca. Sehingga peristiwa tersebut dapat digolongkan sebagai tipologi bilingualisme.7
6
Abdul chaer & Leonie Agustina, op, cit, hlm. 85 Achmad HP & Alek Abdullah, Linguistik Umum, (Jakarta: Erlangga, 2013), hlm. 169
7
24
c.
Tipe- Tipe Bilingualisme Ada beberapa tipe bilingualism antara lain:8 1) Equalingualism, dimana seseorang mempunyai kemampuan sama dalam menggunakan dua bahasa yang berbeda. 2) Functional bilingualism, yang dibedakan ke dalam dua cara, yakni intepretasi minimalis dan maksimalis. Dibawah intepretasi minimalis bahwa seseorang dapat bilinguali yang fungsional jika dia mampu menyelesaikan tugas sederhana dalam dua bahasa dengan aturan- aturan tata bahasa dan leksikon yang terbatas. Sedangkan maksimalis adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan tugas- tugas atau kegiatan yang kompleks dengan dua bahasa. 3) Receptive bilingual atau passive bilingual adalah orang yang memahami dua bahasa baik lisan maupun tulisan tetapi tetapi tidak mampu berbicara dan menulis. 4) Productive bilingualsm adalah dimana penutur tidak hanya mampu memahami, tetapi juga mampu berbicara dan mungkin mampu juga menulis dalam dua bahasa. 5) Symmetrical bilingual sama dengan productive bilingualsm tetapi Symmetrical bilingual mengungkapkan kemampuan yang sama dalam dalam dua bahasa.
8
Ibid, hlm. 171, 172
25
6) Assimetrical bilingualism yang menyerupai bentuk lain dari tipe receptive bilingualism, yakni tipe dimana kata-kata yang diucapkan oleh pelajar bahasa asing bisa dipahami, tetapi dia sendiri tidak memahami apa yang dikatakan oleh penutur asli. 7) Incipient bilingualism adalah pengguna bahasa asing potensial, tetapi tidak pernah memiliki motivasi untuk menggunakan atau merasa cukup percaya diri untuk melakukan dalam situasi yang nyata. 8) Ascendant bilingualism dimana penutur memiliki kemampuan yang terus meningkat dalam menggunakan bahasa asing atau bahasa kedua nya. 9) Recesive bilingualism diamana seseorang yang mengalami penurunan dalam menggunan bahasa asing atau bahasa keduanya, Sehingga dapat kita ketahui tentang bilingualisme bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa yang meliputi ketrampilan menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Istilah bilingual yang dipakai di sini merujuk pada proses memproses sekurang- kurangnya satu ketrampilan berbahasa sekalipun dalam tingkatan minimal (minimal degree) dalam bahasa keduanya. Bilingualisme dipengaruhi oleh tingkatan hubungan antara dua kelompok bahasa dan mungkin saja bervariasi dalam tingkatannya pada tiap-tiap individu yang
26
dikenal baik. Mulai dari menyimak sampai berbicara, dan dari membaca sampai menulis.9 3. Interferensi Bahasa Hadirnya alih kode dan campur kode merupakan akibat dari kemampuan anggota masyarakat berbahasa lebih dari satu, selain itu bila dua atau lebih bahasa bertemu karena digunakan oleh penutur dari komunitas bahasa yang sama, maka akan terjadi komponen-komponen tertentu dapat tertransfer dari bahasa yang satu yaitu bahasa sumbe kebahasa lain akibatnya terjadi pungutan bahasa atau interference sebagaimana dituliskan Weinreich proses terjadinya interferensi sejalan sejalan dengan proses terjadinya difusi kebudayaan yang dikenal dalam ilmu sosiologi. Interferensi dapat terjadi pada tingkat fonologi , tata bahasa maupun leksikon.10. Akan tetapi menurut Kunjana Rahardi menuturkan bahwa interferensi muncul bukan karena si penutur mahir dalam menggunakan kode-kodenya bertutur. Sebaliknya, interferensi muncul karena kurang dikuasainya kode- kode itu dalam bertutur.11 Gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah
9
Ibid, hlm. 170 Paul Ohoiwutun, Sosiolinguistik, Memahami Bahasa Dalam Koneks Masyarakat Dan Kebudayaan, (Jakarta : Divisi, 2007), hlm. 72 11 Kunjana Rahardi, op, cit, hlm. 164 10
27
masyarakat. Kedua dari dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga pembelajaran bahasa.12 Penggunaan serpihan kata, frase, dan klausa di dalam kalimat dapat juga dianggap sebagai interferensi pada tingkat kalimat. Perhatian serpihan-serpihan dari bahasa lain yang terdapat dalam kalimat-kalimat bahasa Indonesia berikut:13 a. Mereka akan merried bulan depan b. Nah karena saya sudah kadung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja( nah karena saya sudah benar- benar baik dengan dia, maka saya tanda tangan saja) c. Yah apa boleh buat, better laat dan noit ( Yah apa boleh buat, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. d. Pimpinan kelompok itu selalu mengatakan education is necessary for life ( Pemimpin kelompok itu selalu mengatakan bahwa pendidikan adalah perlu dalam kehidupan). Melihat contoh di atas, timbul pertanyaan tentang apa bedanya interferensi dengan campur kode, sebab contoh tersebut juga bisa dikategorikan sebagai campur kode. Namun contoh di atas adalah kalimat-kalimat bahasa indonesia yang di dalamnya terdapat serpihan dari bahasa Inggris, Jawa, dan Belanda. Oleh karena itu bisa sedikit menjelaskan bahwa campur kode mengacu pada digunakanya serpihanserpihan bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa tertentu, 12 13
Paul Ohoiwutun, op, cit, hlm. 72 Abdul chaer & Leonie Agustina, op, cit, hlm.124
28
sedangkan sedngkan interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain, yang bagi golongan puris dianggap sebagai suatu kesalahan.14 Dilihat dari segi “kemurnian bahasa”, interferensi pada tingkat apapun (fonologi, morfologi, dan sintaksis) merupakan “penyakit”, sebab “merusak” bahasa jadi perlu dihindarkan. Orang-orang berpaham purisme di Indonesia tentu tidak dapat menerima bentuk-bentuk kata jadian seperti ketabrak, kemahalan, tendanisasi, dan, gerejani; dan susunan kalimat “Rumahnya bapak Direktur kebanjiran juga” atau “ hidangan itu dimakan oleh saya”. Begitu juga penggunaan unsur bahasa lain dalam bahasa indonesia dianggap sebagai suatu kesalahan.15 Tetapi interferensi
apabila
dilihat
merupakan
dari
rahmat,
usaha sebab
pengembangan interferensi
bahasa,
merupakan
mekanisme untuk mengembangkan dan memperkaya suatu bahasa untuk mencapai taraf sebagai bahasa yang sempurna untuk digunakan dalam segala bidang kegiatan.16
B.
Campur Kode 1.
Kode Seorang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode
kepada lawan bicaranya. Pengkodean ini melalui suatu proses yang terjadi baik pada pembicara, hampa suara, dan lawan bicara. Kode-kode itu harus 14
Ibid. hlm. 124 Ibid, hlm. 125 16 Ibid, hlm. 126 15
29
dimengerti oleh kedua belah pihak. Kalau yang sepihak memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya, maka ia pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai apa yang seharusnya dilakukan. Tindakan itu, misalnya memutuskan pembicaraan atau mengulangi pertanyaan. 17 Seseorang mengkode dengan bervariasi. Variasi yang dimaksud yakni lembut, keras, cepat, lambat, bernada, dan sebagainya, sesuai dengan suasana hati pembicara. Kalau marah, tentu cepat dan keras, sebaliknya kalau merayu tentu pelan dan lembut. Jadi manusia dapat megubah suaranya, sesuai dengan suasana hati yang tentu akibat stimulus yang datang.18 Kode yang biasanya berupa varian bahasa, pada umumnya ditandai oleh unsur- unsur pokok bahasa menyangkut sistim fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon yang terdapat dalam suatu wacana. Akan tetapi penanda yang paling penting dalam hal ini adalah unsur yang ada pada system fonologi leksikon. Hal ini disebabkan oleh kedua unsur itulah yang paling mudah terjadi perubahan dan tentu saja hal demikian juga terkait dengan hakikat bahasa sebagai system bunyi pertama kali.19 2.
Alih Kode Sebagaimana menurut Suwito yang dikutip oleh Faturrokhman dalam
bukunya yang berjudul Sosiolinguistik menurutnya alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam
17
Mansoer Pateda, Sosiolinguistik, Bandung: Angkasa, 1987), hlm. 83 Ibid, hlm. 83 19 Kunjana Rahardi, Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 23 18
30
masyarakat multilingual. Artinyadi dalam masyarakat multilingual hamper tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa lain. Di dalam alih kode penggunaaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh: (a) masing- masing bahasa masih mendukung fungsi- fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing- masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.20 Sedangkan menurut Abdul Chaer dan Leoni Agustina dalam bukunya yang berjudul “Sosiolinguistik Perkenalan Awal” bahwa berubahnya ragam santai ke ragam resmi atau dari ragam resmi ke ragam santai adalah yang dinamakan peristiwa alih kode21. Memang dalam pengertianya para pakar memiliki definisi masing masih mengenai alih kode. Appel mendefinisikan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi, lalu berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes mengatakan alih kode itu bukan terjadi antar bahasa, tetapi juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dengan demikian alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau mungkin lebih, variasi- variasi bahasa dalam bahasa yang sama atau mungkin gaya- gaya bahasanya dalam suatu masyarakat tutur bilingual. Namun demikian fokus perhatian yang akan diberikan adalah pada
20
Faturrohman, op, cit, hlm. 37 Abdul chaer & Leonie Agustina, op, cit, hlm.107
21
31
pmakaian yang bergantian atas variasi bahasa yang menyangkut penggunaan tingkat tutur, yakni tingkat tutur hormat dan tingkat tutur tidak hormat.22 3. Campur Kode a) Pengertian Menurut Thelander sebagaimana yang dikutip oleh Abdul ChaerdanLeoniAgustina campur kode yaitu apabila dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid caluses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase tersebut tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri.23 Sedangkan Fathur Rohman dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik,“Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa” dalam Masyarakat Multikulturalmenyimpulkan berdasarkan uraian para ahli bahwa campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukan unsur-unsur bahasa satu kedalam bahasa lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip didalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Lalu menurut Achmad HP dan Alex Abdullah dalam bukunya yang berjudul “Linguitik Umum” menyimpulkan uraian dari para pakar. Bahwa campur kode (code mixing) adalah peristiwa penggunaan dua buah kode bahasa atau lebih oleh penutur, dimana salah satu kode yang digunakan hanya berupa serpihan kata (partikel leksikal), kata, 22
Kunjana Rahardi, op, cit. hlm. 21 Abdul Chaer&Leonie Agustina,op. cit.,hlm.114.
23
32
frase, atau juga klausa suatu bahasa lain dalam satu situasi. Salah satu kode bahasa yang digunakan tidak memenuhi syarat gramatika, juga kesantaian penuturnya tanpa ada alasan- alasan seperti pada alih kode.24 b) Bentuk campur kode Perlu diketahui ada beberapa wujud/bentuk-bentuk campur kode antara lain: campur kode berwujud kata, campur kode berwujud kata ulang, campur kode berwujud kelompok kata, campur kode berupa idiom , maupun campur kode berwujud Klausa. Mengacu dari teori diatas, maka akan di uraikan peristiwa campur kode dalam Rubrik Wong Solo Ngudarasa.25 1) Campur kode yang berwujud kata. Sebagai contoh campur kode yang terjadi dalam Rubrik Wong Solo Ngudarasa memiliki berbagai bentuk/ wujud yang bermacam-macam. Salah satunya adalah campur kode yang berwujud kata asing bahasa Inggris. Sebagai contoh perhatikan wacana berikut ini. Soal dugaan
kecurangan MUM SMPT UNS “Harus
dibuktikan dengan data dan fakta”. Sri Yuniwati, 19, Mahasiswa FH.“Idealnya memang pemilihan ketua SM UNS harus diulang, tetapi saya kira disini itu imposible dilakukan” (Rubrik Wong Solo Ngudharasa/1 April 1998/003). 24
Ahmad HP & Alek Abdullah, op, cit hlm. 159. Dewa Putu Wijana & Muhammad Rahmadi, Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 171-177. 25
33
2) Campur kode yang berwujud yang berwujud kelompok kata. Peristiwa campur kode dalam Rubrik Wong Solo Ngudharasa tidak hanya berwujud kata, akan tetapi ada yang berbentuk
kelompok
kata.
Sebagai
contoh
perhatikan
kalimat/tuturan berikut ini. Soal harapan pasca kerusuhan “semoga pemerintah segera memperbaiki” Ny. Haryono, 43, warga Laweyan.“Untuk ini saya sarankan agar pejabat- pejabat itu tahu dirilah sedikit. Kalau rakyat sudah tak mau, mbok ya ngerasa”. (Rubrik Wong Solo Ngudharasa/ 18 Mei 1998/043) 3) Campur kode yang berwujud kata ulang Peristiwa
campur
kode
dalam
Rubrik
Wong
Solo
Ngudharasa yang berwujud kata ulang. Peristiwa campur kode yang bewrwujudmayoritas campur kode ke dalam/ bersumber bahasa Jawa. Soal harapan warga tiga setelah kerusuha “Wali Kota harus turun ke jalan “Joko Wiyoso, Warga Nusukan.“Susah mencari makan di Solo, saya pernah mencari rokok saja harus mubengmubeng (berkeliling) kota Solo” Rubrik Wong Solo Ngudharasa/ 3 Juni 1998/062)
34
4) Campur kode berwujud idiom Peristiwa campur kode dalam Rubrik Wong Solo Ngudharasa ada juga yang berwujud idiom-idiom yang dimanfaatkan biasanya idiom dalam bahasa Jawa. Yang sebagai contoh berikut: Soal nasik Naker Nganggur akibat kerusuhan “Semoga PEMDA turuntangan” Sunardiono L. Ireng, PNS.“Lagi pula orang bawah bingung dengan omongan orang- orang atas sana, mikir kehilangan kerjaan aja mumet kok. Selain itu kesabaran juga amat diperlukan mengatasi hal ini dan jangan emosi, ana rembug padha dirembug dan jangan saling hantam”. (Rubrik Wong Solo Ngudharasa/20 Mei 1998/048) 5) Campur kode yang berwujud klausa Peristiwa campur kode dalam Rubrik Wong Solo Ngudharasa ada juga yang berwujud klausa. Sebagai contoh perhatikan kalimat berikut ini: Soal bentrokan aparat dengan mahasiswa “Wah medeni tenan kok mas” Sunarji, 40 warga Kentingan.“Selama ini kalau ada bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan, wah medeni tenan kok mas”. (Rubrik Wong Solo Ngudharasa/22 April 1998/017) Mengacu urain di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa campur kode yang terjadi dalam Rubrik Wong Solo Ngudharasa memiliki wujud bermacam- macam. Ada yang berwujud kata,
35
kelompok kata, kata ulang, idiom, maupun bentuk klausa. Selain itu unsur bahasa asing yang dimanfaatkan oleh penulis menyebabkan peristiwa campur kode bukan bahasa jawa saja tetapi juga bahasa Inggris maupun bahasa Arab.26 Selain bentuk-bentuk campur kode yang telah dijelaskan di atas terdapat campur kode berupa Baster sebagaimana dikutip oleh Irsyad Afrianto dalam sebuah tulisan di bog nya bahwa bentuk campur kode Baster menurut Harimurti adalah Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda membentuk satu makna .27
c) Faktor penyebab campur kode Sebagaimana dikutip oleh Fathur Rokhman alasan penyebab terjadinya campur kode meurut Suwito baik campur kode bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat keluar antara lain: (a) identifikasi peranan, (b) identifikasi ragam, (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini, ketiga faktor saling bergantungan dan tidak jarang bertumpang tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan,
26
Ibid, hlm. 178 http://wwwirsyadafrianto.blogspot.co.id/2009/10/alih-kode-dan-campur-kode.html. Diakses 14 juni 2015, pukul 14 30 27
36
nampak karena campur kode menandai sikap dan hubunganya terhadap orang lain dan sikap hubungan terhadapnya.28 Sedangkan campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur- unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.29
C.
Novel 1.
Pengertian Novel Kata novel berasal dari bahasa Itali novella yang secara harfiah berarti„sebuah barang baru yang keci‟, dan kemudian diartikan sebagai„cerita pendek dalam bentuk prosa‟.30 Sedangkan Menurut Semi,
28
Fathur Rokhman, op. cit., hlm. 38-39. Ibid., hlm. 39. 30 Burhan Nurgiyanto, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), hlm. 9. 29
37
novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.31 Novel
adalah
prosa
rekaan
yang
menyuguhkan
tokoh
dan
menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengungkapkan aspek-aspek kemausiaan yang mendalam dan menyajikan secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.32 Sedangkan menurut Yunus, definisi novel adalah meniru “dunia kemungkinan”. Semua yang diuraikan di dalamnya bukanlah dunia sesungguhnya, tetapi kemungkinan- kemungkinan yang secara imajinasi dapat diperkirakan bisa diwujudkan. Tidak semua hasil karya sastra harus ada dalam dunia nyata, namun harus dapat diterima nalar. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.33 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah salah satu bentuk karya sastra prosa yang melukiskan kehidupan dalam bentuk cerita yang menampilkan kisah para tokoh yang
31
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1998), hlm. 32. Panuti Sudjiman, Bunga Rampai StilistikaI, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1998), hlm. 53. 33 Umar Yunus, Stilistik: Pendekataan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat, (Yogyakarta: Unit Penerbitan Sasatra Asia Barat, 1989), hlm. 91. 32
38
dikemas dalam rangkaian peristiwa menyerupai asli serta di dalamnya mengandung pesan moral kepada para pembacanya. 2.
Ciri- ciri dan Jenis Novel Untuk dapat membedakan sebuah karya sastra yang berbentuk novel, maka peneliti perlu mengetahui ciri-ciri serta jenis novel, sehingga mengenal sebuah novel, roman atau cerita pendek yang sebagaimana ciriciri menurut Zaidan Hendi dalam bukunya yang berjudul Kesusastraan Indonesia (warisan yang perlu diwariskan), berikut:34 a) Sajian cerita lebih panjang dari crita pendek dan lebih pendek dari pada roman. Biasanya cerita dalam novel dibagi atas beberapa bagian. b) Bahan cerita diangkat dari keadaan yang ada pada masyarakat dengan ramuan fiksi pengarangnya. c) Penyajian terita berlandas pada alur pokok atau alur utama yang menjadi batang tubuh cerita dan dirangkai dengan beberapa alur penunjang yang bersifat otonom (mempunyai latar tersendiri). d) Tema sebuah novel terdiri atas tema pokok (tema utama) dan tematema bawahan yang berfungsi mendukung tema pokok tersebut. e) Karakter para tokoh bermacam- macam karena beberapa tokoh utama mempunyai karakter berbeda. Demikian juga karakter para perilaku lainya. Selain itu, dalam novel dijumpai pula para tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis ialah tokoh yang digambarkan
34
Zaidan Hendy, Kesusastraan Indonesia (Warisan yang Perlu diwariskan), (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 225.
39
berwatak tetap sejak awal sampai akhir. Bila ia berwatak jahat, sampai akhir cerita digambarkan terus menerus jahat. Tokoh dinamis sebaliknya, suatu ketika ia berwatak jahat, pada waktu lain berwatak baik. Berdasarkan isi dan tujuan serta maksud pengarang yang mendominasi novel yang ditulisnya, menurut Suharianto novel dapat dibedakan atas tujuh jenis, sebagai berikut: 35 1) Novel bertendens adalah novel yang mempunyai tujuan tertentu. Misalnya bertujuan mendidik, untuk membukakan mata masyarakat atas kepincangan- kepincangan dalam kehidupan. 2) Novel sejarah adalah novel yang mengisahkan peristiwa sejarah walaupun mengandung unsur kesejahteraan, namun novel ini juga diwarnai dengan pendapat dan pemikiran pengarang. 3) Novel adat adalah novel yang bertujuan menginformasikan adat istiadat suatu daerah yang terjadi. Pengarang lebih memperhatikan adat sehingga ceritanya diwarnai masalah adat daerah tempat cerita. 4) Novel anak- nakak adalah novel yang menceritakan kehidupan anakanak. Baik persoalan maupaun pengungkapan diusahakan dengan daya pikir anak- anak. 5) Novel politik adalah novel yang berlatar belakang masalah politik di dalam isinya. Pengarang bermaksud memperjuangkan gagasan politik guana mencapai cita- cita polotiknya.
35
Suharianto, Dasar- Dasar Teori Sastra, (Surakarta: Widya Duta, 1982), hal 43
40
6) Novel psikologis adalah novel yang lebih menekankan pada aspek pengembangan
jiwa
tokohnya.
Pengarang
bermaksud
menginformasikan pengetahuan mengenai sifat dan watak manusia pada umumnya, pergolakan- pergolakan pikiran, hubungan antara perbuatan manusia dengan watak- watak dasar. 7) Novel percintaan adalah novel yang membicarakan masalah hubungan antara laki- laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari- hari. Berdasarkan jenis- jenis novel diatas, novel Ayat- Ayat Cinta Karya Habiburrahman EL Shirazy termasuk dalam novel percintaan. 3. Usur- Unsur Novel a) Tema Tema adalah dasar cerita merupakan sasaran atau tujuan dan hal yang penting dalam sebuah cerita. b) Ketegangan dan pembayangan (suspense) Suspense adalah cara menyususun cerita sehingga pembaca selalu ingin tahu apa yang terjadi. c) Alur (plot) Alur adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama. Pada prinsipnya suatu cerita berusaha bergerak dari suatu permulaan (beginning) melalui suatu pertengahan (middle) menuju akhir (ending). d) Tokoh dan laku Pegarang dalam membuat cerita harus dapat menyajikan orang (tokoh)yang sanggup memainkan gerak tertentu, gerak terarah dan
41
wajar, gerak yang logis. Dalam mengenalkan tokoh, pengarang dapat memberikan gambaran psikologis, uraian fiksi dan lain sebagainya. e) Pelukisan tokoh. Pelukisan tokoh adalah penggambaran para pelaku dalam cerita mengenai rupa, pribadi atau watak para tokoh. f) Konflik Konflik adalah hambatan, rintangan yang dihadapi para tokoh dalam suatu cerita. Konflik bisa terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitar, suatu ide dengan ide lainya dan seseorang dengan kata hati. g) Kesegaran dan Atmosfir Kesegaran dan atmosfir adalah usaha agar cerita bisa hidup dn menarik. Pembaca harus dapat merasakan bersama- sama dengan pelaku segala hal yang dialaminya. h) Latar Latar merupakan unsur tempat dan ruang dalam suatu cerita. i) Logika Logika adalah hubungan yang terdapat antar tokoh dengan tokoh, pelaku dengan pelaku, dan tokoh dengan latar. j) Jarak Istilah jarak biasanya dipergunakan dalam pengertian taraf kerenggangan yang digunakan untuk memandang para tokoh dalam suatu cerita.
42
k) Skala Skala adalah jumlah relatif dari detil- detil usaha yang boleh dijalankan pada bagian- bagian yang beraneka ragam dalam suatu cerita. l) Kelanjutan Kelanjutan adalah lajunya kecepatan yang memuat bagian cerita yang beraneka ragam itu bergerak, mulai dari rangkaian sampai pada adegan yang dilaporkan. m) Gaya Gaya dipergunakan oleh pengarang untuk menujukan cara sang pengarang mengatur serta menata bahan-bahanya untuk menyajikan efek. Gaya ini berkaitan dengan penyusunan kata atau penyusunan bahasa.36 4. Ragam Bahasa a) Pengertian Bahasa dalam praktik pemakaianya, pada dasarnya memiliki bermacam- macam ragam. Sebagaimana dikutip oleh FaturRokhman menurut Kartomiharjo menyebutkan bahwa ragam bahasa adalah piranti untuk menyampaikan makna sosial atau artistik yang tidak dapat disampaikan melalui kata-kata dengan makna harfiah, sedangkan menurut Kridalaksana menyebutkan ragam bahasa adalah variasi 36
160.
Henry Guntur Tarigan, Prinsip- Prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Angkasa, 1986), hlm.
43
bahasa menurutpemakaian yang berbeda- beda menurut topik yang dibicarakan dan menurut media pembicaraanya.37 b) Jenis dan fungsi ragam bahasa Ragam bahasa dapat dibincangkan berdasarkan fungsinya dalam masyarakat multibahasa. Secara umum, dikenal lima ragam bahasa. Seperti bahasa vernakular, bahasa baku, bahasa perantara atau lingua franca, pijin, dan kreol. Ragam bahasa dalam negara-negara multilingual dapat muncul sebagai akibat agam bahasa dalam negaranegara multilingual dapat muncul sebagai akibat agam bahasa dalam negara-negara multilingual dapat muncul sebagai akibat perubahan politik dan sosial di negaraperubahan politik dan sosial di negara yang bersangkutan.38 Sehingga akan diuraikan kelima ragam bahasa tersebut, meliputi:39 1) Bahasa Baku Ragam bahasa ini biasanya sudah melewati proses kodifikasi, yaitu tahap pembakuan tata bahasa, ejaan, dan kosa kata. Pembakuan tersebut biasanya dicapai melalui penyusunan kamus bahasa tersebut. Ragam bahasa ini lazim dinamakan bahasa standar atau bahasa baku, yang lebih sering ditemukan dalam bahasa tulis dari dapa bahasa lisan. Namun tidak menutup kemungkinan dalam berberapa situasi ragam bahasa baku juga
37
Fathur Rokhman, op, cit. hlm. 15 Kushartanti, Untung Yuwono,Multamia RMT Lauder, Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) hlm. 60, 61 38
39
44
digunakan. Misalnya saat berpidato atau dalam acara ritual yang dinilai lebih bergengsi (prestigious). Ragam bahasa baku juga secara politis sering berfungsi sebagai bahasa resmi atau bahasa nasional, seperti bahasa Indonesia di negara kita. 2) Vernakular Vernakular merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki ragam status resmi. Biasanya vernakular tidak mengalami proses kodifikasi. Ragam ini biasa dipakai dalam percakapan seharari-hari sebagai lambang solidaritas. Bisa juga dikatakan bahwa vernakular bukan ragam resmi dalam konteks tertentu. Lebih jelasnya sebagai contoh vernakular adalah bahasa daerah yang digunakan dalam percakapan sehari-hari dirumah untuk komunikasi dengan anggota keluarga lain. 3) Lingua Franca Lingua Franca lebih populer dartikan sebagai “bahasa perantara”. Ragam bahasa ini biasanya muncul dalam kedaan darurat dan digunakan sebagai bahasa untuk bertahan hidup (survive).Lingua Franca digunakan apabila kedua peserta tutur bukanlah penutur asli bahasa tersebut. Bahasa ini digunakan sebagai “titik temu” dan pihak yang memiliki dua bahasa yang benar-benar berbeda dan keduanya tidak dapat berkomunikasi menggunakan satupun diantara bahasa yang mereka kuasai. Sebagai contoh seseorang penutur jati bahasa Jawa bertemu dengan
45
penutur jati bahasa Sunda yang menanyakan lokasi di Jawa Barat, sehingga untuk memudahkan menggunakan bahasa Indonesia, hal tersebut dikategorikan lingua Franca. 4) Pijin (pidgin) Pijin merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Biasanya ragam bahasa ini ditemukan banyak sekali di negaranegara dunia ketiga yang dulunya merupakan daerah jajahan atau koloni. Ragam bahasa ini tumbuh karena ada dua pihak yang ingin berkomunikasi satu sama lain tetapi sangat berbeda bahasanya. Mereka tidak menggunakan bahasa ketiga sebagai bahasa perantara, tetapi mereka menggabungkan dua bahasa mereka. Ragam bahasa ini biasanya digunakan sebagai alat komunikasi antara imigran dan orang-orang lokal atau penduduk asli sehingga keduanya dapat saling mengerti tanpa harus mempelajari bahasa dari kelompok lain. Ada lebih dari seratus pijin di dunia kebanyakan pijin dipengaruhi bahasa- bahasa Eropa, pada umumnya Inggris, Spanyol, dan Prancis. Contoh pijin yang paling terkenal adalah pijin Melanesia, seperti Tok Pisin di Papua New Guinea yang sekarang sudah beralih ke kreol, Bislama di Vanuatu, dan pijin di Solomon Island. Bahasa pijin ini dipengaruhi bahasa Eropa seperti Inggris, Jerman, Portugis dan Melayu.
46
5) Kreol Secara historis pijinyang dipakai dari waktu kewaktu dan dari generasi ke generasi berikutnya suatu saat menjadi kreol. Pada saatorang dewsa menggunakan pijin sebagai bahasa perantara, sekelompok anak cucu mereka memperoleh dan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pertama (bahasa ibu). Untuk anak cucu tersebut bahasa itu tidak lagi disebut pijin, melainkan kreol. Karena itu kreol itu sering diartikan “bahasa pijin yang memiliki penutur asli”. Pada masyarakat tersebut terdapat pergeseran atau penamaan yang berbeda terhadap bahasa yang dipakai: pijin untuk generasi tua dan kreol untuk generasi muda. Menurut sikap, penutur mencangkupi sejumlah corak bahasa dimana pemilihanya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak bicara atau mitra tutur. Sikap berbahasa ini diantaranya dipengaruhi oleh umur dan kedudukan mitra tutur, tingkat keakraban tutur antar penutur pokok persoalan yang dibicarakan (hendak disampaikan) serta tujuan penyampaian informasi. Ragam bahasa dalam hal ini berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentuyang menggambarkan sikap kita yang resmi, santai, dingin, hangat atau yang lain. Sedangkan perbedaan berbagai gaya tersebut tercermin dalam kosa kata yang digunakan penutur ketika dengan mitranya.