BAB II A. Kajian Teori dan Kerangka Berpikir 1. Hakikat Bahasa a. Pengertian Bahasa Bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenangwenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi (Saddhono, 2009: 13). Secara garis besar, bahasa juga merupakan kombinasi dari repertoire-repertoire yang ada di dalam satu kelompok dan barang kali sebagai perangkat-perangkat repertoire dari bahasa-bahasa yang berkaitan secara formal ataupun fungsional. Jadi, bahasa adalah suatu lambang bunyi yang arbitrer, digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk berinteraksi, yang di dalamnya
terdapat
kode-kode, isyarat-isyarat,
yang penggunaannya
mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Oka & Suparno (1994: 104) mengatakan bahwa “bahasa itu merupakan tingkah laku manusia yang sekaligus juga merupakan kebiasaan manusia”. Menurut Tong (dalam Gong & Shuai 2013:1) “Language is the primary resource and carrier for enacting identity and membership of social groups. Analyzing relations between language and speaker’s identity is insightful to decipher the intrinsic characteristics of language, culture, and society.”. (Bahasa merupakan sumber utama untuk menentukan identitas dan merupakan tanda pengenal dalam kelompok sosial, Bahasa Menganalisis hubungan antara bahasa dan penutur untuk menguraikan karakteristik intrinsik bahasa, budaya , dan masyarakat) . Menurut Arsjad & Mukti (2007: 11), bahasa merupakan sarana berpikir. Manusia dapat berpikir dengan baik karena manusia memiliki bahasa. Bahasa merupakan sarana berpikir yang pertama dan mungkin yang utama. Tanpa bahasa tidak mungkin manusia berpikir secara sistematis, teratur, dan berlanjut. Dalam kaitannya dengan tata cara berbahasa, Nababan (1993: 53) mengatakan bahwa tata cara berbahasa mengatur: (a) apa yang sebaiknya kita katakan pada waktu dan keadaan tertentu; (b) ragam bahasa apa yangsewajarnya kita
6
7
pakai dalam situasi sosiolinguistik tertentu; (c) kapan dan bagaimana kita menggunakan giliran berbicara kita dan menyela pembicaraan orang lain; dan juga (d) kapan kita harus diam, jangan berbicara. b. Fungsi Bahasa Kridalaksana (dalam Chaer, 1994: 33-59) menyebutkan sifat atau ciri-ciri bahasa sebagai berikut: 1) Bahasa sebagai Sistem Sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional. Maksudnya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan (Chaer & Agustina, 2004: 11). Perhatikan deretan kata berikut ini. (a) Kucing itu melompatlah ke meja (b) Kucinglah melompat itu ke meja Sudah jelas bahwa deretan (a) adalah sebuah kalimat bahasa Indonesia karena tersusun dengan benar menurut pola aturan kaidah bahasa Indonesia. Sebaliknya, deretan (b) bukan kalimat bahasa Indonesia karena tidak tersusun menurut pola aturan atau sistem bahasa Indonesia. 2) Bahasa sebagai Lambang Lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata.
Artinya,
hubungan
antara
lambang
dengan
yang
dilambangkannya tidak bersifat wajib, bisa berubah dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang tersebut mengonsepsi makna tertentu (Chaer & Agustina, 2004: 12). Misalnya, lambang bahasa yang berwujud bunyi [kuda] dengan rujukannya, yaitu “seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Begitu juga
8
lambang bunyi [air] dengan rujukannya yaitu „sejenis benda cair yang rumus kimianya “H2O”. 3) Bahasa adalah Bunyi Menurut Kridalaksana (dalam Chaer, 2010: 42), “bunyi adalah kesan pada pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara”. Bunyi pada bahasa atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, tetapi juga tidak semua yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi bahasa. Bunyi yang tidak menyampaikan pesan dan tidak disadari seperti bunyi teriak, bersin, batuk-batuk, dan bunyi orokan bukan termasuk bunyi bahasa, meskipun dihasilkan oleh alat ucap manusia, karena semuanya itu tidak termasuk ke dalam sistem bunyi bahasa. 4) Bahasa Itu Bermakna Bahasa adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan, maka yang dilambangkan adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna. Misalnya, lambang bahasa yang berwujud (rumah); lambang ini mengacu pada konsep „bangunan tempat tinggal manusia yang berdinding dan beratap‟. Kemudian konsep tadi dihubungkan dengan benda yang ada dalam dunia nyata. 5) Bahasa Itu Arbitrer Kata arbitrer bisa diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. “Manasuka berarti seenaknya, asal bunyi, tidak ada hubungan logis dengan kata-kata sebagai simbol dengan yang disimbolkannya” (Alwasilah, 1987: 78). Jadi, yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib
9
antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau
pengertian
yang
dimaksud
oleh
lambang
tersebut.
Umpamanya, antara [bensin] dengan yang dilambangkan “sejenis bahan bakar sepeda motor”. Kita tidak dapat menjelaskan mengapa “bahan bakar sepeda motor” dilambangkan dengan bunyi [bensin]. Mengapa, misalnya bukan [kecap] atau [gas] atau lambang lainnya. 6) Bahasa Itu Konvensional Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer, tetapi penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya. Kalau misalnya, “binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”, yang secara arbitrer dilambangkan dengan bunyi [kuda], maka anggota
masyarakat
bahasa
Indonesia,
semuanya
harus
mematuhinya. Kalau tidak dipatuhinya, dan menggantikannya dengan lambang lain, maka komunikasi akan terhambat. Bahasanya menjadi tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa Indonesia lainnya; dan berarti pula dia telah keluar dari konvensi itu. 7) Bahasa Itu Produktif Arti produktif adalah “banyak hasilnya”, atau lebih tepat “terus- menerus menghasilkan”. Jika bahasa dikatakan produktif, maka maksudnya, meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidak terbatas, meski secara relatif sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, diambil fonem-fonem bahasa Indonesia /a/, /i/, /k/, dan /t/; maka dari keempat fonem itu dapat dihasilkan satuan-satuan bahasa sebagai berikut: /i/-/k/-/a/-/t/ /k/-/i/-/t/-/a/
10
/k/-/i/-/a/-/t/ /k/-/a/-/i/-/t/ 8) Bahasa Itu Unik Bahasa bersifat unik, maksudnya, setiap bahasa mempunyai ciri khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Misalnya, bahasa Indonesia, keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat morfemis, melainkan sintaksis. Umpamanya, pada kalimat “Dia menangkap ayam”. Jika tekanan diberikan pada kata dia, maka makna kalimat itu adalah bahwa yang melakukan tindakan menangkap ayam adalah dia, dan bukan orang lain. Jika tekanan diberikan pada kata menangkap, maka kalimat itu bermakna yang dilakukan dia bukanlah tindakan lain, melainkan menangkap, bukan mengurung atau menyembelih. Jika tekanan diberikan pada kata ayam, maka makna kalimat itu adalah yang ditangkap oleh dia adalah ayam, bukan kucing atau tikus. 9) Bahasa Itu Universal Selain bersifat unik, bahasa itu juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Ciri-ciri yang universal ini tentunya merupakan unsur bahasa yang paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri-ciri atau sifat-sifat bahasa lain. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciri universal dari bahasa yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan. Jika ciri itu dimiliki oleh sejumlah bahasa dalam satu rumpun atau satu golongan bahasa, maka ciri tersebut menjadi ciri universal. 10) Bahasa Itu Dinamis Tak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu berubah , maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi tidak statis.
11
Karena itulah, bahasa itu disebut dinamis. Menurut Chaer & Agustina (2010: 13), perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja: fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Pada setiap waktu pasti ada kosa kata baru yang muncul, tetapi juga ada kosa kata yang tenggelam, tidak digunakan lagi. Umpamanya, kata kempa, perigi, dan centang-perenang yang dulu digunakan dalam bahasa Indonesia kini tidak digunakan lagi. Sebaliknya, kata-kata seperti riset, kolusi, dan ulang-alik yang dulu tidak dikenal, kini sudah biasa digunakan. 11) Bahasa Itu Bervariasi Setiap bahasa digunakan oleh sekelompok orang yang termasuk dalam suatu masyarakat bahasa. Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Oleh karena itu, karena latar belakang dan lingkungannya yang tidak sama, maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam, di mana antara variasi atau ragam yang satu dengan yang lain seringkali mempunyai perbedaan yang besar. Misalnya, bahasa Jawa yang digunakan di Surabaya tidak persis sama dengan bahasa Jawa yang digunakan di Pekalongan, Banyumas, maupun yang digunakan di Yogyakarta. 12) Bahasa Itu Manusiawi Bahasa itu adalah sistem lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, bersifat arbitrer, bermakna, dan produktif, maka dapat dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa. Alwasilah (1987: 81) mengatakan bahwa “keistimewaan bahasa manusia akan semakin terasa kalau kita membandingkannya dengan komunikasi binatang misalnya”. Meskipun binatang juga mempunyai alat komunikasi, akan tetapi alat komunikasi binatang bukan
bahasa,
masing-masing
binatang
mempunyai
alat
komunikasi yang berbeda-beda. Seperti yang dilaporkan Von
12
Frisch (dalam Chaer, 1994: 56- 57) bahwa lebah madu menggunakan gerak tari tertentu untuk menyampaikan berita adanya sumber madu kepada teman-temannya. Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk mempelajari bahasa manusia. Oleh karena itu, dikatakan bahwa bahasa itu bersifat manusiawi, hanya dimiliki manusia. c. Variasi Bahasa Keraf (1991: 5-7) mengelompokkan variasi bahasa berdasarkan ragamnya, sebagai berikut: 1) Ragam resmi Ragam resmi adalah bahasa yang digunakan dalam situasi resmi. Menurut Joos (dalam Chaer & Agustina, 2010: 70-71), ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yag digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi atau formal sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. 2) Ragam tidak resmi Ragam tak resmi digunakan dalam situasi tidak resmi, seperti pergaulan dan percakapan pribadi. Biasanya digunakan saat berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada saat beristirahat, rekreasi, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa tak baku
2. Hakikat Sosiolinguistik a) Pengertian Sosiolinguitik Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang dan menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat., karena didalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, tetapi sebagai masyarakat sosial (Wijana & Rohmadi 2006: 7). Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio yang berarti sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-
13
kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan, dan linguistik, yaitu yang mempelajari atau membicarakan tentang bahasa. Selain itu ada beberapa definisi yang diberikan tentang sosiolinguistik. “Sosiolinguistik merupakan ilmu antar disiplin antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat” (Chaer & Agustina, 2010: 2). Kridalaksana (dalam Chaer & Agustina, 2010: 3) mengemukakan bahwa sosiolinguitik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. Pada intinya, sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur atau secara operasional lagi, seperti yang dinyatakan Fishman (dalam Saddhono, 2009: 2) “study of who speak, what language, to whom, and when” ( kajian tentang siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada
siapa,
dan
kapan.)
Dalam
berbahasa,
penutur
akan
memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa dan dalam situasi bagaimana. Dengan demikian, tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur. Pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Faktor-faktor dalam peristiwa pembicaraan tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (Suwito dalam Wijana & Rohmadi, 2006: 6). b) Aspek-aspek yang Dikaji dalam Sosiolinguistik 1) Peristiwa tutur Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu” (Chaer & Agustina, 2004: 47).
14
Hymes mengatakan “suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING”, (dalam Rahardi, 2001: 29-35). Kedelapan komponen itu adalah: a) Setting and Scene Setting dipakai untuk menunjukkan kepada aspek tempat dan waktu dari terjadinya sebuah tuturan. Scene mengacu pada situasi dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. b) Participants Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tutur, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). c) Ends Ends, merujuk pada maksud dan tujuan peristiwa tutur. d) Act Sequence Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. e) Keys Keys mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga disampaikan dengan gerak tubuh dan isyarat. f) Instrumentalities Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan. Seperti alur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.
15
g) Norms Norms mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. h) Genres Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya..
3. Kedwibahasaan Pengertian kedwibahasaan (bilingualisme) secara umum memiliki beberapa definisi yang berbeda, menurut Bloomfield (dalam Saddhono, 2009: 60)
mengemukakan bahwa kdwibahasaan itu gejala penguasaan
bahasa kedua dengan derajat kemampuan yang sama seperti penutur aslinya. Ini berarti bahwa seorang dwibahasaan (billingual) adalah orang yang menguasai dua bahasa dengan sama baiknya. Menurut Mackey dan Fishman (dalam Chaer & Agustina, 2009: 84), yakni “kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian”. Untuk menggunakan dua bahasa seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2). Macmara (2009: 61) berpendapat bahwa kedwibahasaan mengacu pada kepemilikan kemampuan atas sekurang-kurangnya bahasa ibu dan bahasa kedua meskipun kemampuan atas bahasa kedua itu hanya sampai batas
minimum.
Berdasarakan
pendapat-pendapat
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan situasi dan kondisi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi dimana seseorang tersebut berada. Kontak bahasa terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang
16
belajar bahasa kedua di dalam masyarakatnya. Terjadinya kontak bahasa mengakibatkan adanya interferensi dan integrasi. Interferensi menurut Chaer (2010: 66) adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua tataran bahasa, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai tataran leksikon. Tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, /g/, maka konsonan tersebut didahului dengan bunyi nasal. Misal kata Bali diucapkan mBali, kata Depok diucapkan nDepok, dan kata Jambi diucapkan nJambi. Contoh interferensi pada tataran gramatikal, misal penggunaan prefiks ke- seperti pada ketabrak dan kepukul yang seharusnya tertabrak dan terpukul. Integrasi menurut Haugen (dalam Suwito, 1985: 59) sebagai kebiasaan memakai materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Menafsirkan integrasi terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan sistem bahasa penyerapannya, sehingga pemakaiannya telah menjadi umum karena tidak lagi terasa keasingannya. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi dalam segala komponen kebahasaan (fonetik, fonemik, morfofonemik, atau semantik). Hadirnya kata-kata seperti: kursi, bendera, pikir, kabar menunjukkan adanya integrasi unsur-unsur bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata-kata seperti: dandan, cewek, cengeng, umum digunakan dalam bahasa Indonesia, menunjukkan adanya integrasi dari bahasa bahasa daerah/ dialek. Munculnya kata-kata nongkrong, ngobrol, nonton dan sebagainya merupakan gejala integrasi dalam bidang morfologi. Dalam bidang sintaksis sering terdengar struktur seperti rumahnya Dona, dibawa oleh saya, dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang semantik dipergunakan kata-kata serapan seperti: hamil, nara pidana, pria, wanita, dan lain-lain, sebagai subtitusi makna terhadap kata-kata: mengandung, orang hukuman, laki-laki, dan perempuan.
17
4. Kode Kode merupakan bagian penting dari sosiolinguistik, Menurut Suwito (dalam Saddhono, 2009: 59), istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu di dalam hierarki kebahasaan. Kode merupakan bagian dari bahasa. Azhar, dkk. (2011: 15) menuturkan bahwa istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, kode selain mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyumas, Jogja-Solo, Surabaya), varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai) serta varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Fenomena kode oleh Suwito (dalam Saddhono, 2009: 59) dicontohkan dengan menyatakan bahwa manusia adalah makhluk berbahasa, maka yang dimaksud bahasa di sini adalah alat verbal yang dipergunakan oleh manusia untuk berkomunikasi. Namun, sebagai alat komunikasi, manusia tidak hanya mengenal satu bahasa, contohnya bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan sebagainya yang semuanya bagian dari bahasa. Alat komunikasi yang merupakan varian dari bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, dalam bahasa terkandung bermacam-macam kode. Poedjosoedarmo (1976 :22) mengartikan kode sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri yang khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur, dan situasi tutur yang ada. Dalam suatu kode terdapat unsur-unsur bahasa seperti kalimat-kalimat, katakata, morfem, dan fonem. Hanya saja, adanya suatu (cooccurence restriction) yang membatasi pemakaian unsur-unsur bahasa tersebut. Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang secara riil atau secara nyata digunakan untuk berkomunikasi anggotaanggota suatu masyarakat bahasa. Bagi masyarakat multilingual,
18
inventarisasi kode menjadi lebih luas dan mencakup varian-varian dua bahasa atau lebih. Kode-kode yang dimaksud dengan sendirinya mengandung arti yang sifatnya menyerupai arti unsur-unsur bahasa yang lain. Menurut Pateda (1987:83) seseorang yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan bicaranya. Pengkodean ini melaui suatu proses yang terjadi baik pada pembicaraan, hampa udara,dan pada lawan bicara, kode-kode tersebut harus dimengerti oleh kedua belah pihak. Dari pendapat-pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa kode adalah istilah untuk menyeibut bahasa atau ragam bahasa, dalam pebicaraan sesorang tentu mengirimkan kode-kode tertentu kepada lawan bicaranya, dengan kode-kode tersebut maka penutur dan lawan tutur dapat berkomunikasi dengan lancar.
5. Alih kode Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek. Menurut Chaer (2010: 67) alih kode adalah beralihnya penggunaan suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain (bahasa atau ragam bahasa lain). Alih kode dibedakan dari campur kode. Jika alih kode terjadi karena bersebab, campur kode terjadi tanpa sebab. Dalam campur kode, dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam situasi santai. Jika dalam situasi formal terjadi campur kode, maka biasanya terjadi karena ketiadaan ungkapan yang harus digunakan dalam bahasa yang sedang dipakai. Biasanya dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan unsur-unsur bahasa daerah.\ Gal
dalam
Wardhaught
(1992:
103)
mengatakan
bahwa
“codeswitching is a conversational strategy used to establish, cross or destroy group boundaries; to create, evoke or change interpersonal relations with their rights and obligations.” Hal ini menunjukkan bahwa
19
di dalam peristiwa alih kode terdapat penyebab hubungan interpersonal dimana seorang individu mengalihkan bahasa dalam komunikasinya yang didasarkan atas suatu kebenaran ataupun suatu keharusan. Lebih lanjut, Wardhaught (2010: 84), menyatakan bahwa “we will look mainly at the phenomenon of code-switching in bilingual and multilingual situation.” Dari pernyataan tersebut jelas bahwa dalam kedwibahasaan dan aneka bahasa, kita akan menemukan peristiwa alih kode.
Menurut Appel (dalam Chaer 2010: 107) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. menurut Nababan (dalam Saddhono 2009: 77) keadaan kedwibahasaan menyebabkan seseorang saling mengganti kode bahasa atau ragam bahasa yang digunakan, bergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa. Menurut Suwito dalam Saddhono (2009: 64) alih kode adalah peristiwa peralihan kode yang satu ke yang lain. Jadi, apabila seorang penutur mulamula menggunakan kode A (misal bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misal bahasa Jawa), maka peristiwa itu disebut alih kode. Menurut Hymes (dalam Saddhono, 2009: 64) mengatakan bahwa “alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari satu ragam”. Alih kode menurut Nababan adalah pergantian bahasa atau ragam bahasa yang dilakukan pada keadaan atau keperluan berbahasa (1993: 31). Ciri-ciri alih kode menurut Suwito (1985: 69) adalah sebagai berikut. a.
Masing-masing
bahasa
masih
mendukung
fungsi-fungsi
tersendiri sesuai dengan konteksnya. b.
Fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks
20
Suwito (1983: 72-75) menjelaskan beberapa hal tentang fungsi alih kode sebagai berikut. a. Penutur Penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. b. Mitra Tutur Setiap
penutur
ingin
mengimbangi
bahasa
yang
digunakan oleh mitra tutur. Dalam masyarakat multilingual seorang penutur mungkin beralih sebanyak lawan tutur yang dihadapinya. c. Hadirnya Penutur Ketiga Dua orang berasal dari etnik yang sama umumnya saling berinteraksi dengan bahasa keluarga etniknya. Tetapi bila ada orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar belakang kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih ke kode bahasa penutur ketiga untuk netralisasi situasi sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut. d. Pokok Pembicaraan (Topik) Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada dua golongan, yaitu: (1) Pokok pembicaraan yang bersifat formal, dan (2) Pokok pembicaraan yang bersifat informal. 5. Membangkitkan Rasa Humor Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi
21
pelawak, untuk membuat penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah. 6. Sekedar Bergengsi Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi, yang dapat menimbulkan kesan dipaksakan dan tidak komunikatif. Hal ini terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor situasi yang lain, menuntut untuk berbicara bahasa yang berbeda dengan kita yaitu ketika kita berbicara dengan orang asing kita menggunakan bahasa Inggris. Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa yang lain, dapat berupa alih kode intern dan alih kode ekstern. Peristiwa peralihan bahasa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penutur, mitra tutur, situasi, pokok pembicaraan, hadirnya orang ketiga, maksud tertentu dan lain sebagainya Suwito (1985: 69) membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu sebagai berikut. a. Alih kode intern Alih kode intern adalah pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang terjadi antardialek, antarragam, atau antargaya dalam lingkup satu bahasa. b. Alih kode ekstern Alih kode ekstern adalah perpindahan pemakaian bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain yang berbeda. Perpindahan terseibut dapat berupa perpindahan dari satu bahasa daerah ke bahasa daerah lain, perpindahan dari bahasa daerah ke bahasa nasional, perpindahan dari bahasa daerah ke
22
bahasa asing, dan perpindahan dari bahasa nasional ke bahasa asing. Alih kode intern yang biasanya terjadi dalam pembelajaran di sekolah yaitu alih kode ragam resmi dan ragam santai, alih kode ragam resmi dan ragam usaha, alih kode ragam resmi dan ragam beku, serta alih kode ragam santai dan ragam usaha. Sedangkan alih kode ekstern yang sering terjadi yaitu alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, serta alih kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Poedjosoedarmo (1976: 14-20) membagi alih kode menjadi dua macam yaitu sebagai berikut. a) Alih kode sementara Alih kode sementara yaitu pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur berlangsung sebentar. Pergantian itu bisa hanya berlangsung pada satu kalimat lalu pembicaraan kembali lagi ke kode biasanya. b) Alih kode permanen Alih kode permanen adalah alih kode yang sifatnya permanen. Alih kode permanen terjadi apabila penutur secara tetap mengganti kode bicaranya lawan tutur. Tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti kode bicaranya terhadap seseorang lawan bicara secara permanen, sebab pergantian ini biasanya berarti adanya pergantian sikap relasi terhadap lawan bicara secara sadar. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah proses pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang digunakan dari bahasa satu ke bahasa lain, atau dari ragam satu ke ragam lain, atau dari satu kode ke kode lain karena berubahnya situasi
23
6. Campur Kode Menurut Nababan (dalam Saddhono 2009: 62) “ Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu.” Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya saja yang dituruti. Menurut Poedjosoedarmo (dalam Saddhono 2009: 74) menyebutkan campur kode dengan istilah pinjam leksikon, yaitu pemakaian kata-kata dari lain kode. Penyebutan pinjam leksikon ini menjelaskan bahwa campur kode itu merupakan percampuran dengan meminjam kosa kata atau leksikon dari bahasa lain, pionjam leksikon pengertiannya disejajarkan dengan campur kode. Saddhono (2009: 61) mengatakan bahwa campur kode terjadi akibat pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain, untuk itu campur kode mempunyai ciri-ciri, yaitu: (1) adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbal balik antara peranan dan fungi bahasa. Peranan adalah siapa yang menggunakan bahasa itu dan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak dicapai penutur, (2) unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri, melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi, (3) wujud dari komponen tutur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, dan klausa, (4) pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadng bermaksud untuk menunjukkan status sosial dan identitas penuturnya di dalam masyarakat, dan (5) campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masingmasing telah menanggalkan. Sumarsono & Partana (2002: 202) memberi batasan campur kode adalah penyisipan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dalam hal ini penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika
24
sedang memakai bahasa tertentu. Misalnya si A berbahasa Bali, dia memasukkan unsur-unsur dari bahasa Indonesia; ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, dia dengan sengaja memasukkan unsur-unsur bahasa Bali. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu seringkali berwujud katakata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata. Campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode antara lain: 1) Penyisipan Kata Kata-kata sebagai sebuah kode yang disisipkan di dalam kode utama atau kode dasar dari bahasa lain merupakan unsur yang menyebabkan terjadinya campur kode dalam peristiwa berbahasa. Menurut Chaer (1994: 162), “kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti”. 2) Penyisipan Frasa “Frasa adalah kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih, yang masing-masingnya mempertahankan makna dasar katanya, sementara gabungan itu menghasilkan suatu relasi tertentu, dan tiap kata pembentuknya tidak bisa berfungsi sebagai subjek dan predikat dalam konstruksi itu” (Keraf, 1991: 180). Fathurrohman (2013: 6) dalam artikel yang berjudul “Bentuk dan Fungsi Campur Kode dan Alih Kode pada Rubrik „Ah... Tenane‟ dalam Harian Solopos”, dia menemukan kalimat yang mengandung campur kode berbentuk penyisipan frasa pada rubrik. Kalimat yang dimaksud sebagai berikut: “Ndilalah pagi itu Koplo kepingin ngopi. Berhubung maunya ngirit tur praktis, Koplo punya ide. Ia memasukkan kopi, gula, beserta airnya sekaligus ke dalam plastik bening, lalu diikat kuat ujungnya.”. Frasa kepingin ngopi merupakan peralihan dari ragam non baku dialek Jakarta. Campur kode ini termasuk campur kode intern karena terjadi antara bahasa serumpun, yaitu ragam bahasa Betawi dan bahasa Indonesia.
25
3) Penyisipan Klausa Chaer (1994: 231) mengatakan bahwa “klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif”. Menurut Keraf (1991: 181), yang dimaksud klausa adalah suatu konstruksi yang sekurang-kurangnya terdiri atas dua kata, yang mengandung hubungan fungsional subjek-predikat, dan secara fakultatif dapat diperluas dengan beberapa fungsi lain seperti objek dan keterangan-keterangan lain
4) Penyisipan Ungkapan atau Idiom Idiom adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan suatu maksud dengan arti kiasan. Contoh: “Kesabaran amat diperlukan dalam mengatasi kesalahpahaman dan jangan emosi, ana rembug padha rembug dan jangan saling hantam”. Tuturan kalimat tersebut mengalami peristiwa campur kode ke dalam yang berwujud ungkapan atau idiom bahasa Jawa, yaitu ana rembug pada rembug (ada masalah dibicarakan bersama). 5) Penyisipan Bentuk Baster Bentuk baster, yaitu suatu bentuk bahasa akibat adanya penggabungan kata dasar (asal bahasa Indonesia) dengan kata tambahan (bahasa Inggris), misalnya kata dasar sosial + imbuhan isasi = sosialisasi. Contoh: “Rencana acara seminar itu seharusnya segera disosialisasikan”.
7. Persamaan dan Perbedaan Alih kode dan Campur kode Hill & Hill (dalam Chaer & Agustina, 2004: 114) mengatakan bahwa “tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode”. Menurut Chaer & Agustina (2004: 114), perbedaan yang bisa dilihat cukup nyata antara alih kode dan campur kode, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi
26
masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, dengan sebab-sebab tertentu.Campur kode di lain adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kodekode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihanserpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan keotonomian sebagai sebuah kode Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh, penutur dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, misalnya bahasa Jawa. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan. Seperti penelitian Hamzah.yang berjudul “Penggunaan Kode Bahasa oleh Guru dalam Pengajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah Menengah Atas”.
didapat suatu kesimpulan bahwa “Guru menyisipkan unsur-unsur bahasa Jawa seperti serpihan kata dan frasa bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia yang ia gunakan dalam pembelajaran di kelas, sehingga timbul tuturan guru dalam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan”. Thelander (dalam Chaer & Agustina, 2004: 115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode, yakni bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausaklausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi-fungsi itu sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.
8. Masyarakat Tutur Masyarakat menurut Chaer (1994: 59), diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang banyaknya relatif), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama. Menurut Chaer & Agustina (2010: 36) mengutip simpulan Fishman 1976), “masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-
27
anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta normanorma yang sesuai dengan penggunaannya”. Jadi, bisa disimpulkan bahwa masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa (Chaer & Agustina, 2004: 36). Dengan demikian, jika ada sekelompok orang yang merasa samasama menggunakan bahasa Jawa, maka bisa dikatakan mereka adalah masyarakat penutur bahasa Jawa. Begitu juga dengan sekelompok orang yang merasa sama-sama menggunakan bahasa Sunda, mereka bisa dikatakan masyarakat penutur bahasa Sunda. Misalnya, pada penelitian Sukoyo yaitu “Alih Kode Dan Campur Kode Pada Tuturan Penyiar Acara Campursari Radio Pesona Fm”. masyarakat tutur yang dijadikan objek penelitiannya adalah penyiar radio yang terbiasa menggunakan dan merasa sama-sama menggunakan bahasa Jawa, maka, bisa dikatakan penyiar adalah masyarakat penutur bahasa Jawa. Penelitian Hanifa,“Pemilihan Kode dalam Masyarakat Dwibahasa: Masyarakat Jawa di Daerah Jatibening Bekasi” juga menggambarkan bahwa masyarakat tutur bahasa jawa merupakan sekelompok orang yang samasama menggunakan bahasa jawa walaupun bukan di lingkungan mereka.
9. Hakikat Pramuka a) Pengertian Pramuka Gerakan Pramuka Indonesia adalah nama organisasi pendidikan nonformal
yang
menyelenggarakan
pendidikan
kepanduan
yang
dilaksanakan di Indonesia. Pramuka merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka pasal 4 menyebutkan bahwa :
28
Gerakan pramuka bertujuan untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. Sedangkan menurut AD/ART gerakan Pramuka tahun 2009 pasal 5 menyebutkan bahwa “Gerakan Pramuka berfungsi sebagai penyelenggara pendidikan nonformal di luar sekolah dan di luar keluarga sebagai wadah pembinaan serta pengembangan kaum muda dilandasi Sistem Among, Prinsip Dasar dan Metode Kepramukaan”. Dalam PEMENDIKNAS no 63 tahun 2014 tentang pendidikan kepramukaan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dalam hal ini kepramukaan dapat dijadikan sebagai kegiatan pelengkap pendidikan sekolah dan pendidikan dalam keluarga, mengisi kebutuhan peserta didik yang tidak terpenuhi oleh kedua lingkungan pendidikan serta mengembangkan pengetahuan, minat serta bakat yang dimiliki oleh peserta didik. Kegiatan kepramukaan haruslah dapat dirasakan oleh peserta didik sebagai sesuatu yang menyenangkan, menarik, menantang, dan tidak menjemukan sehingga diharapkan peserta didik
dapat
berkembang
kemantapan
mental,
fisik,
pengetahuan,
keterampilan dan rasa sosial serta emosionalnya. Penggolongan usia dalam gerakan pramuka dari umur 7 sampai 25 tahun untuk peserta didik dan digolongkan menjadi 4 golongan yaitu (1) siaga (2) penggalang (3) penegak (4) Pandega. Berdasarkan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab II Pasal 4 Keppres RI Nomor 24 Tahun 2009 tentang Tujuan Gerakan Pramuka disebutkan Tujuan Gerakan Pramuka mendidik dan membina kaum muda Indonesia dengan tujuan agar mereka menjadi : a. Manusia berkepribadian, berwatak, dan berbudi pekerti luhur yang: 1) Beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, kuat mental, dan tinggi moral;
29
2) Tinggi kecerdasan dan mutu keterampilannya; 3) Kuat dan sehat jasmaninya. b. Warga negara Republik Indonesia yang berjiwa Pancasila, setia dan patuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna, yang dapat membangun dirinya sendiri secara mandiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara, memiliki kepedulian terhadap sesama hidup dan alam lingkungan, baik lokal, nasional, maupun internasional b) Prinsip Dasar Kepramukaan Prinsip dasar Kepramukaan adalah asas yang mendasari kegiatan Kepramukaan dalam upaya membina watak peserta didik. (Lemdikacab Surakarta, 2014: 13) Prinsip Dasar yang terdapat dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab IV Pasal 10
Tahun 2013 tentang Prinsip Dasar
Kepramukaan, yakni : (1) Prinsip Dasar Kepramukaan adalah : a. iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan alam seisinya; c. peduli terhadap diri pribadinya; d. taat kepada Kode Kehormatan Pramuka. (2) Prinsip Dasar Kepramukaan berfungsi : a. norma hidup seorang anggota Gerakan Pramuka; b. landasan Kode Etik Gerakan Pramuka; c.landasan sistem nilai Gerakan Pramuka; d. Pedoman dan arah pembinaan kaum muda anggota Gerakan Pramuka; e. Landasan gerak dan kegiatan Gerakan Pramuka mencapai sasaran dan tujuannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka menerapkan Prinsip Dasar Kepramukaan adalah hakekat Pramuka, baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan, makhluk sosial, maupun individu yang menyadari bahwa pribadinya taat pada perintah Tuhan, mengakui bahwa manusia tidak
30
dapat hidup sendiri, merasa wajib peduli dengan lingkungannya, dan selalu berusaha untuk taat pada Satya Darma Pramuka. c) Metode Kepramukaan Metode Kepramukaan adalah cara memberikan pendidikan watak kepada peserta didik melalui kegiatan Kepramukaan yang menarik, menyenangkan dan menantang, yang disesuaikan kondisi, situasi dan kegiatan peserta didik. (Lemdikacab Surakarta, 2014: 15) Metode Kepramukaan yang terdapat dalam Anggaran Dasar Gerakan Pramuka Bab IV Pasal 11 Tahun 2013 tentang Metode Kepramukaan, yakni : Metode Kepramukaan merupakan cara belajar progresif melalui : a. pengamalan Kode Kehormatan Pramuka; b. belajar sambil melakukan; c. sistem berkelompok; d. kegiatan yang menantang dan meningkat serta mengandung pendidikan yang sesuai dengan perkembangan rohani dan jasmani peserta didik; e. kegiatan di alam terbuka; f. sistem tanda kecakapan; g. sistem satuan terpisah untuk putera dan untuk puteri; h. sistem among.
Jadi, metode kepramukaan merupakan cara memberikan pendidikan watak kepada peserta didik melalui kegiatan pramuka yang masih berkaitan dengan Prinsip Dasar Kepramukaan. Dengan kata lain Metode Kepramukaan pada hakikatnya tidak bisa lepas dari Prinsip Dasar Kepramukaan. Keterkaitan keduanya terletak pada pelaksanaan dari Kode Kehormatan Pramuka. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa gerakan pramuka salah satunya menjunjung tinggi Nasionalisme , salah satu caranya adalah menghargai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Menurut Fishman (dalam Sumarsono, 2013: 165) “Nasionalitas adalah sekelompok orang yang merasa sebagai suatu satuan sosial (sosial unit) yang berbeda dengan kelompok lain.tetapi tidak didasarkan atas ukuran lokal (wilayah)”. Peranan bahasa dalam nasionalisme itu sangat gamblang, bahasa akan menjadi masalah bagi nasionalisme dua bidang, yaitu administrasi
31
pemerintahan dan pendidikan.Fishman juga menjelaskan bahwa “bahasaibu itu merupakan suatu aspek jiwa” atau inti nasionalitas. Penelitian yang relevan dilakukan oleh
Dian Astutik Wulandari
yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMA Negeri 1 Sentolo tahun 2011”. Ada perbedaan masalah yang diteliti dalam penelitian di atas dengan penelitian ini yaitu dalam penelitian Dian Astutik Wulandari masalah yang diteliti adalah masalah campur kode, sedangkan masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah masalah alih kode dan campur kode. Selain itu, ada hal yang juga membedakan antara penelitian ini dan Hasil penelitian Dian Astutik Wulandari yang berjudul “Campur Kode dalam Tuturan Latihan Kepramukaan di SMA Negeri 1 Sentolo 2013” sebagai berikut: (1) adanya variasi campur kode dalam penelitian terseibut yaitu campur kode bahasa (bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris), campur kode ragam (ragam beku dengan ragam resmi, ragam beku dengan ragam santai, dan ragam resmi dengan ragam santai), (2) campur kode wujud unsur kebahasaan dalam latihan kepramukaan yaitu campur kode wujud kata dan campur kode wujud frase, dan (3) fungsi pemakaian campur kode adalah untuk mempertegas, meminta ketegasan, memberi semangat, dan menunjukkan makna yang tepat
B. Kerangka Berpikir Bahasa salah satu kebutuhan manusia sebagai alat komunikasi dan alat interaksi, baik dilaksanakan dengan sesama manusia ataupun dengan lingkungannya. Dengan bahasa seseorang dapat mengungkapkan pikiran, ide, perasaan, dan kemauannya kepada orang lain. Bahasa juga memiliki peranan dalam menjunjung nasionalisme. Peran bahasa dalam menjunjung nasionalisme juga terdapat dalam pendidikan non formal yaitu gerakan Pramuka, melalui Trisatya dan Dasa Dharma, Gerakan pramuka terbentuk dari berbagai organisasi kepanduan dari seluruh Indonesia dan
32
dari berbagai latar belakang bahasa, budaya, ras daerah masing-masing yang berikrar menjadi satu kepanduan tanpa membedakan itu semua. Penggunaan bahasa dalam gerakan pramuka banyak dipengaruhi dan di dominasi oleh bahasa Ibu dari berbagai daerah, salah satu sebabnya adalah bergabungnya seluruh pandu menjadi satu, dan mempengaruhi bahasa yang ada didalam organisasi Kepramukaan, sehingga berdampak terhadap penggunaan bahasa pada gerakan pramuka di setiap daerah masing-masing yang mempengaruhi terjadinya alih kode dan campur kode. Alih kode dan campur kode penggunaan bahasa dalam kepramukaan terdapat dalam setiap gugus depan pramuka. Salah satu gugus depan tersebut adalah SMA Negeri 1 Purwodadi. Peserta didik dan pembina berinteraksi menggunakan bahasa jawa dan istilah kepramukaan yang diadopsi dari bahasa jawa. Hal itu digunakan didalam latihan kepramukaan dikarenakan bahasa yang lebih dimengerti oleh peserta didik. Sehingga dalam berkegiatan muncul terjadinya alih kode dan campur kode. Untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan faktor penyebab alih kode dan campur kode dalam pelaksanaan kegiatan kepramukaan dapat dilihat dari gambar berikut.
33
Penggunaan Bahasa di SMA Negeri 1 Purwodadi
Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka
Bahasa Indonesia
Bahasa asing
Alih kode
Bahasa Jawa
Campur kode
1. Bentuk alih kode dan campur kode yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler pramuka 2. Faktor-faktor penyebab pemakaian alih kode dan campur kode dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka. 3. Dampak dari alih kode dan campur kode yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler Pramuka SMA Negeri 1 Purwodadi Kabupaten Grobogan Gambar 1. Kerangka berpikir