BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1
Pajak Secara Umum
2.1.1 Definisi Pajak Para ahli di bidang perpajakan mendefinisikan pengertian pajak dengan berbagai pendapat yang berbeda antara lain: Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo (2003:1): “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat imbalan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Hersechel M., dan Brock Horace R yang dikutip oleh Sari (2007:2) dalam buku Perpajakan : “Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan”. Pengertian Pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P.J.A Adriani yang diterjemahkan oleh R.Santoso Brotodiharjo, S.H dan dikutip oleh Waluyo (2008:2) dalam bukunya Perpajakan Indonesia : “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.” Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat (1) :
7
8
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkanbahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikutWaluyo (2008:3): 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dan pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment. 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur. 2.1.2 Unsur Pokok Pajak Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak menurut Murtopo (2010:5), memiliki unsur-unsur pokok, yaitu: 1. Iuran rakyat kepada Negara Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.Iuran tersebut berupa uang (bukan barang) dan berdasarkan Undang-undang. 2. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Dapat dipaksakan. 4. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 5. Digunakan untuk membiaya rumah tangga negara,yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
9
2.1.3
Dasar Hukum Pajak Dasar hukum pajak menurut yang tercantum dalam pasal 23A ayat 2 Undang-
undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”, yang berarti bahwa pengertian tersebut telah disetujui rakyat bersama pemerintah yang dituangkan dalam bentuk Undang-undang. Setelah reformasi perpajakan Tahun 1983, ketentuan hukum pajak formal dimuat dalam Undang-undang tersendiri yaitu Undang-undang No.6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.9 Tahun 1994 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan perpajakan disusul dengan Undang-undang No.17 Tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.17 Tahun 2002 tentang badan peradilan pajak dan Undang-undang No.19 tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Keseluruhan Undang-undang diatas memuat ketentuan yang berlaku untuk semua pajak.
2.1.4
Fungsi Pajak Fungsi Pajak menurut Resmi (2009:3) menguraikan bahwa terdapat dua
fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan.Sebagai
sumber
keuangan
Negara,
pemerintah
berupaya
memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan
10
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan lain-lain. 2. Fungsi Regurelend (Pengatur) Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi tranksaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). b. Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan : dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi tidak memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. c. Tarif pajak ekspor 0% (nol persen) dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara. d. Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industri tertentu seperti industri semen, industri rokok, industri baja, dan lain-lain: dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industri tersebut karena
dapat
mengganggu
lingkungan
atau
polusi
(membahayakan
kesehatan).
2.1.5
Pengelompokkan Pajak Menurut Suandy (2005:27) bahwa pajak dibagi menjadi 3 (tiga) bagian
diantaranya adalah sebagai berikut:
11
1. Menurut golongannya a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada kahirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifatnya a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 3. Menurut lembaga pemungutnya a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai. b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas : •
Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
•
Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Reklame, Pajak Hiburan dan Pajak Penerangan Jalan
2.1.6
Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak menurut Adam Smith dalam buku An Inquiri into
the Nature and Cause of the Wealth of Nations yang dikutip Waluyo (2008:13) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut:
12
1. Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang.Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3. Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saat-saat tidak menyulitkan Wajib Pajak; sebagai contoh : pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn. 4. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. Terdapat tiga asas pemungutan pajak menurut Resmi(2009:18) adalah sebagai berikut : 1. Asas Domisilli (Asas Tempat Tinggal) Asas ini menyatakan bahwa Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri.Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia (Wajib Pajak Dalam Negeri) dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya. 2. Asas Sumber Asas ini menyatakan bahwa Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperolehnya.
13
3. Asas Kebangsaan Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.
2.1.7
Sistem Pemungutan Pajak Ada tiga sistem pemungutan pajak, berikut yang dikemukakan oleh
Mardiasmo (2003:7) mengenai ketiga sistem pemungutan pajak tersebut yaitu: 1. Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memeberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus. b) Wajib Pajak bersifat pasif. c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri. b) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang member wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
14
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, yaitu pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
2.1.8
Jenis-jenis Pajak Berikut ini merupakan jenis-jenis pajak dalam Undang-undang Perpajakan
yang dikutip oleh Murtopo (2010:5): 1. Pajak
Pertambahan
Nilai
(PPN)
dan
Pajak
Penjualan
atas
Barang
Mewah(PPnBM) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean.Orang pribadi, perusahaan maupun pemerintah yang mengkonsumsi BKP atau JKP dikenakan PPN. Pada saat membeli atau memperoleh BKP atau JKP akan dipungut PPN oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak di ukadan disebut dengan Pajak Masukan, pembeli berhak menerima bukti pemungutan pajak berupa faktur pajak. Sedangkan pada saat menjual atau menyerahkan BKP atau JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran.Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak. Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak tergolong mewah adalah : a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi;atau d. barang tersebut untuk menunjukkan status; e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
15
2. Pajak Penghasilan (PPh) Pembahasan mengenai Pajak Penghasilan akan dibahas lebih lanjut pada sub bab 2.1 Laporan Tugas Akhir. 3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan pajak pusat namun demikian hamper seluruh realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. 4. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.Seperti halnya PBB, BPHTB realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. 5. Bea Materai Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaries serta kwitansi pembayaran, surat berharga dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal di atas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
2.1.9
Surat Pemberitahuan (SPT)
2.1.9.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa : “Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, Objek Pajak dan/atau bukan Objek Pajak dan/atau harta dan kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Pengaturan SPT tersebut selanjutnya dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
16
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor Tahun 2007 dan aturan pelaksanaannya pada tingkat di bawahnya seperti Peraturan Menteri Keuangan. Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. 2.1.9.2 Bentuk, Isi, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) 1. Jenis dan Bentuk Surat Pemberitahuan (SPT) Jenis SPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 181/PMK 03/2007 (lampiran 6) meliputi : a. SPT Tahunan Pajak Penghasilan, yaitu SPT untuk satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; b. SPT Masa, yaitu SPT untuk suatu Masa Pajak yang terdiri dari : •
SPT Masa Pajak Penghasilan
•
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
•
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
Dari jenis SPT baik SPT Tahunan maupun SPT Masa berbentuk sebagai berikut : a. Formulir kertas (handcopy) ; atau b. E-SPT yaitu data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan Direktorat Jenderal Pajak. 2. Isi Surat Pemberitahuan (SPT) a. SPT Tahunan Suatu SPT terdiri dari SPT induk dan lampirannya sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Untuk data dasar (formal) SPT paling sedikit memuat:
17
1. Nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat Wajib Pajak 2. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan 3. Tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak Disamping data dasar (formal) juga terdapat data materiil mengenai: 1. Jumlah peredaran usaha; 2. Jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak ; 3. Jumlah Penghasilan Kena Pajak ; 4. Jumlah pajak yang terutang ; 5. Jumlah kredit pajak ; 6. Jumlah kekurangan atau kelebihan pajak ; 7. Jumlah harta dan kewajiban; 8. Tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan 9. Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak. b. SPT Masa Dalam SPT Masa disamping data dasar berisi pula data materiil untuk SPT Masa Pajak Penghasilan yang memuat data berikut: 1. Jumlah Objek Pajak, jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar; 2. Tanggal pembayaran atau penyetoran; dan 3. Data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
2.1.9.3 Aplikasi e-SPT (Elektronik Surat Pemberitahuan) Aplikasi e-SPT atau disebut dengan Elektronik SPT(Direktorat Jenderal Pajak diunduh pada www.pajak.go.id) adalah aplikasi yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak untuk kemudahan dalam menyampaikan SPT. Kelebihan aplikasi e-SPT adalah sebagai berikut:
18
1. Penyampaian SPT dapat dilakukan secara cepat dan aman, karena lampiran dalam bentuk media CD/disket. 2. Data perpajakan terorganisir dengan baik. 3. Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis. 4. Penghitungan dilakukan secara cepat dan tepat karena menggunakan sistem komputer. 5. Kemudahan dalam membuat Laporan Pajak. 6. Data yang disampaikan WP selalu lengkap, karena penomoran formulir dengan menggunakan sistem komputer. 7. Menghindari pemborosan penggunaan kertas. 8. Berkurangnya pekerjaan-pekerjaan klerikal perekaman SPT yang memakan sumber daya yang cukup banyak. 2.1.10 Surat Setoran Pajak (SPP) dan Surat Ketetapan Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 14 bahwa : “Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.” Sedangkan Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2008 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 15 adalah sebagai berikut : “Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi meliputi Surat Pajak Ketetapan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil.” 2.2
Pajak Penghasilan Secara Umum Dengan makin pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil
pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi di berbagai bidang, maka perlu dilakukan perubahan undang-undang guna meningkatkan fungsi dan peranan dalam
19
rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah mengalami beberapa perubahan hingga berakhir pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Perubahan Undang-undanng Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal, yaitu keadilan, kemudahan atau efisiensi administrasi dan produktivitas penerimaan Negara serta tetap memperhatikan sistem Self Assessment.
2.2.1
Pengertian Pajak Penghasilan Pengertian Pajak Penghasilan menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 1 menyebutkan bahwa : “Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.” Sedangkan pengertian Pajak Penghasilan menurut PSAK 46 Revisi 2010 : “Pajak penghasilanadalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas laba kena pajak entitas.” 2.2.2
Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat
yang berpenghasilan atau penghasilan yang diterima atau yang diperoleh dalam tahun pajak.Dasar hukum Pajak Penghasilan adalah Undang-undang tahun 1983 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan yaitu: 1) UU Nomor 7 Tahun 1991 2) UU Nomor 10 Tahun 1994 3) UU Nomor 17 Tahun 2000
20
4) UU Nomor 36 Tahun 2008 Undang-undang Pajak Penghasilan ini dilandasi falsafah pancasila dan UUD 1945 yang didalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan. 2.2.3
Subjek Pajak dan Wajib Pajak Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan, yang menjadi Subjek Pajak adalah: a. 1) Orang Pribadi Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. 2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak b.
Badan,yaitu: Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komoditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontra investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
c. Bentuk Usaha Tetap Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang bertempat di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
21
2.2.4
Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri. Menurut Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 Pasal 2 ayat 2, Subjek pajak
dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mmpunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintahan yang memnuhi kriteria: •
Pembentukannya berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
•
Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD;
•
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
•
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari atau dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan yang bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentu usaha tetap di Indonesia.
22
2.2.5
Tidak Termasuk Subjek Pajak Yang tidak termasuk subjek pajak berdasar Pasal 3 Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008 adalah sebagai berikut: a. Kantor perwakilan negara asing; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara bersangkutan memberikan timbal balik; c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat; 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional sebagaimana yang dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.2.6
Objek Pajak Objek Pajak menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang termuat
dalam Pasal 4 ayat (1) adalah : “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan bentuk apapun.”
23
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; 2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan; 3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya; 4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan hutang dan hadiah. Berikut contoh-contoh penghasilan tersebut dapat diperjelas dalam Pasal 4 ayat (1) dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008: a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya
b.
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
c.
Laba usaha
d.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada persero, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. Keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
peleburan,
pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan bentuk apapun; 4. Keuntungan karena pengalihan harta beruapa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
24
sepanjang tidak ada hubungan dengan uasaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e.
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f.
Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan lain karena jaminan pengembalian uang;
g.
Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h.
Royalti;
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.
Keuntungan karena pembebasan utan, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n.
Premi asuransi;
o.
Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggota yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.
Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q.
Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r.
Imbalan bunga sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan;dan
s.
Surplus Bank Indonesia. Sedangkan yang menjadi Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap
Resmi (2009:86) yaitu, berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah: 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai oleh Bentuk Usaha Tetap.
25
2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, dan pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh oleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. Bagi Wajib Pajak dalam negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia.Sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri, yang menjadi obejek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
2.2.7
Tidak Termasuk Objek Pajak Yang dikecualikan dari objek pajak dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : a.
1) Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah garis keturunan lurus satu deraja, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b.
Warisan
c.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
d.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah;
26
e.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
f.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1.
Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
2.
Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
g.
Iuran yang diterima atau diperoleh dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
i.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
j.
Dihapus;
k.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1.
Merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
2. l.
Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan,
27
yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengmebangan, dalam jangka waktu paling lama 4(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan menteri Keuangan; dan n.
Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.2.8
Jenis Pajak Penghasilan Ada beberapa jenis pajak penghasilan yang termuat di dalam Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (1) dan (2) Pajak Penghasilan final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang tidak bersifat final. Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi, atau usaha tertentu yang diatur dalam UU No.36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) dan (2). 2. Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. 3. Pajak Penghasilan Pasal 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipunguut oleh bendaharawan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dengan pembayaran untuk penyerahan barang dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah
28
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 4. Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 5. Pajak Penghasilan Pasal 24 Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak terutang atau yang dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak Dalam Negeri. 6. Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. 7. Pajak Penghasilan Pasal 26 Pajak Penghasilan Pasal 26 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atau dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia yang pemenuhannya dapat dilakukan sendiri ata melalui pemotongan oleh pihak yang wajib membayar atas Wajib Pajak Luar Negeri.
2.3 Pajak Penghasilan Pasal 23 2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 Pajak Penghasilan Pasal 23 menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah :
29
“Pajak yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi maupun badan), dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraa kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.” Pajak Penghasilan Pasal 23 ini dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. 2.3.2 Dasar Hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 Yang menjadi dasar hukum Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pasal 23 UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah diubah dengan UU No.10 tahun 1994, diubah kembali dengan UU No.17 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan UU No.36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa tersebut di bawah ini dengan nama dan bentuk apapun dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkannya. Ketentuan ayat ini mengatur pemotongan atas pajak penghasilan yang termasuk objek Pajak Penghasilan Pasal 23 dengan nama dan bentuk apapun dibayarkan atau terutang oleh perusahaan atau bentuk usaha tetap yang berada di Indonesia dan dipotong oleh pihak wajib membayarnya atau pemberi kerja. Selain itu juga terdapat keputusan Direktorat Jendral Pajak yang menujang terhadap pelaksanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yaitu Keputusan Dirjen Pajak KEP-50/PJ/1994 Tahun 1994 tentang penunjukkan wajib pajak dalam negeri tertentu sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23. Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-559/KMK/04/2000 yang diganti terakhir dengan keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ/1997 Tahun 2002 tentang Pajak Penghasilan Pasal 23 atas jasa lain yang atas imbalannya dipotong pajak penghasilan berdasarkan pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-undang No.36 Tahun 2008. Peraturan Menteri Keuangan No.244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain (lampiran 6)
30
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 Undang-undang No.36 Tahun 2008.
2.3.3 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Penunujukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ/1994 (lampiran 2).Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Waluyo (2008:187) terdiri atas : 1. Badan pemerintah. 2. Subjek Pajak badan dalam negeri. 3. Penyelenggara kegiatan. 4. Bentuk usaha tetap. 5. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya. 6. Orang pribadi sebagai Wajjib Pajak dalam negeri tertentu yang ditujuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23, yaitu : a. Akuntan, arsitek, dokter, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas; b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa. 2.3.4
Subjek Pajak yang Dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 Penerima penghasilan atau subjek pajak yang penghasilannya dipotong Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23 dalam Undang-undang Perpajakan No. 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Wajib Pajak PPh Pasal 23) terdiri atas : 1. Wajib Pajak dalam negeri (orang pribadi dan badan) 2. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
31
2.3.5
Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan
yang
dikenakan
Pajak
Penghasilan
(PPh)
Pasal
23
Murtopo(2010:165)(selanjutnya disebut Objek PPh Pasal 23) sesuai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu: 1. Dividen; 2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; 3. Royalti; 4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21; 5. Sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai pajak penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) UU PPh; 6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
2.3.6
Objek yang Dikecualikan dari Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh pasal 23 menurut
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut : 1.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2.
Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha hak opsi;
3.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, Koperasi, BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan
32
b. Bagi perseroan terbatas, BUMN, BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. 4.
Dihapus;
5.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasul pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
6.
Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7.
Dihapus;dan
8.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
2.3.7
Tarif dan Dasar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 menetapkan tarif
sebagai berikut : 1.
Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas : a. Dividen; b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; c. Royalti; d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e.
2.
Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas : a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
33
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultasi, danjasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Jasa lain yang dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008(lampiran 3) pada tabel 2.1.Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasulan tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang sebenarnya. Tabel 2.1 Jasa Lain sebagai Objek PPh Pasal 23
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jenis Jasa
Jasa penilai (appraisal); Jasa aktuaris; Jasa akuntansi, pembukuan , dan atestasi laporan keuangan; Jasa perancang (design); Jasa pengeboran (drailing) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT) ; Jasa penunjang di bidang penambangan migas dan panas bumi; Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas; Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara: Jasa penebangan hutan; Jasa pengolahan limbah; Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services) Jasa perantara dan/atau keagenan; Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI; Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI; Jasa pengisian suara (dobbing) dan/atau sulih suara; Jasa mixing film; Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan; Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan.atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
Tarif PPh Pasal 23 (bagi WP ber-NPWP)
Tarif PPh Pasal 23 (bagi WP yang tidak berNPWP)
2% (dua persen)
4% (empat persen)
34
19
20 21 22 23 24 25 26 27
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Jasa perawatan/perbaikan//pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi; Jasa maklon; Jasa penyelidikan dan keamanan; Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer; Jasa pengepakan; Jasa penyediaan tempat dan/ata waktu dalam media massa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi; Jasa pembasmian hama; Jasa kebersihan atau cleaning service; Jasa katering atau tata boga.
2% (dua persen)
4% (empat persen)
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 2.4
Jasa Teknik Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa KonsultanSebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (terdapat pada lampiran 4). Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : 1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik; 2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau
35
3. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa. 2.5
Tata Cara Pelaksanaan Perhitungan, Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Berikut ini merupakan saat terutang, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23 Mardiasmo (2008:29) : 1.
Saat Terutang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.Adapun yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang dianutnya.
2.
Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambatlambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3.
Pelaporan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak Berakhir.Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong. Sejak tanggal 1 Januari 2009, dengan diberlakukannya Undang-undang Pajak
Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 23 ayat (4) menyebutkan Pemotong Pajak tidak dilakukan atas : 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
36
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi; 3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) 4. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i; 5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; 6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur jaminan dan.atau yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
2.5.1
Pelaksanaan Perhitungan dan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 Pada saat pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23, hal-hal yang perlu
dilakukan oleh pemotong pajak dan pihak yang dipotong pajak antara lain: a. Perhitungan pajak dilakukan oleh kedua belah pihak dimana pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 (penerima hasil) mencantumkan perhitungan pada kontrak, sedangkan pihak pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 (pemberi hasil) melakukan perhitungan ketika akan atau sedang melakukan pembayaran atas jasa yang dipakainya. b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak pemotong dilakukan pada saat membayarkan penghasilan jasa yang telah dipakainya. c. Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah diisi lengkap kepada pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. d. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut diterima oleh pihak yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 sebagai arsip.
2.5.2
Pelaksanaan Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23 menurut Suandi (2005:148), sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan 251/KMK/64/1995 dan Peraturan
37
Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 (lampiran 5), pajak yang telah dipotong selama sebulan takwim dijumlah kemudian disetor dengan Surat Setoran Pajak (SSP) adalah sebagai berikut : 1. Nama, Alamat dan NPWP diisi sesuai dengan data pemotong sebagai penyetor pajak; 2. Surat Setoran Pajak (SSP) ditandatangani oleh pemotong sebagai penyetor pajak; 3. Surat Setoran Pajak (SSP) dibuat 5 (lima) rangkap terdiri dari : a. Lembar ke-1
: untuk arsip Wajib Pajak (selaku pemotong pajak
sebagai bukti pembayaran);
2.5.3
b. Lembar ke-2
: untuk KPP melalui KPKN;
c. Lembar ke-3
: untuk dilaporkan oleh pemtong pajak ke KPP;
d. Lembar ke-4
: untuk Bank Persepsi/ Kantor Pos dan Giro
e. Lembar ke-5
: untuk arsip Wajib Pungut atau pihak lain.
Pelaksanaan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 Pelaporaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dapat menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 atau 26 dengan melampirkanMardiasmo (2008:36) : 1. Daftar bukti pemotongan PPh Pasal 23 lembar ke-2 ; 2. Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-3; 3. Bukti pemotongan PPh Pasal 23 lembar ke-2.
2.6 Sanksi Adapun sanksi administrasi yang akan dikenakan terhadap pemotong pajak sesuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 7 ayat (1) apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3)atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Pasal 3 ayat (4). Berikut sanksi administrasi berupa denda sebesar :
38
1. Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN 2. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Lainnya 3. Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Badan 4. Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Sanksi administrasi yang sering dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sanksi terkait dengan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan pajak. Seperti diketahui, atas keterlambatan pembayaran pajak akan dikenakan Pasal 9 ayat (2a) Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007, di atur bahwa pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 2.7 Akuntansi Pajak 2.7.1 Pengertian Akuntansi Pajak Akuntansi Pajak menurut Waluyo (2011:190) tercipta karena adanya suatu prinsip dasar yang diatur dalam undang-undang perpajakan dan pembentukannya terpengaruh oleh fungsi perpajakan dalam mengimplementasikan sebagai kebijakan pemerintah.Sisi akuntansi komersial sebagai prinsip-prinsip dasar yang digunakannya bersifat netral (tidak memihak) terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh akuntansi.Oleh karena itu, prinsip-prinsip dasar akuntansi dapat digunakan atau berlaku bagi akuntansi pajak, hanya memang terdapat karakteristik dan tujuan pelaporan keuangan fiskal yang berbeda. Sedangkan menurut Supriyanto (2011:2) menjelaskan bahwa Akuntansi Pajak berasal dari dua kata yaitu akuntansi dan pajak. Akuntansi adalah suatu proses pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran suatu transaksi keuangan dan diakhiri dengan suatu pembuatan laporan keuangan, sedangkan Pajak adalah iuran atau
39
pungutan wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin Negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Maka dari itu Akuntansi Pajak adalah : “Suatu proses pencatatan, penggolongan dan pengikhtisaran suatu transaksi keuangan kaitannya dengan kewajiban perpajakan dan diakhiri dengan pembuatan laporan keuangan fiskal sesuai dengan ketentuan dan peraturan perpajakan yang terkait sebagai dasar pembuatan Surat Pemberitahuan Tahunan” 2.7.2 Akuntansi Pajak Penghasilan Menurut PSAK No. 46 Akuntansi Pajak Penghasilan sesuai PSAK No. 46 menurut Waluyo (2011:19)bertujuan mengatur perilaku akuntansi untuk Pajak Penghasilan, yaitu cara mempertanggungjawabkan konsekuensi pajak pada periode berjalan dan periode mendatang untuk : 1. Nilai tercatat aset yang diakui pada neraca perusahaan atau pelunasan nilai tercatat kewajiban yang diakui pada neraca perusahaan. 2. Transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan tersebut.
2.7.2.1 Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 23 Menurut PSAK No. 46 Pada akuntansi komersial maupun akuntansi pajak yang berkaitan denngan pencatatan PPh Pasal 23 tidak terdapat perbedaan. Mengingat terdapat PPh Pasal 23 yang sifat pengenaannya final atau pengenaannya tidak bersifat final, maka pencatatan PPh Pasal 23 yang tidak bersifat final akan dicatat pada kedua belah pihak. 2.7.2.2 Cara Perhitungan dan Jurnal Pajak Penghasilan Pasal 23 Secara umum perhitungan PPh Pasal 23 yaitu tarif dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
40
a. Cara Perhitungan : •
Cara menghitung PPh Pasal 23 atas penghasilan sebagaimana disebutkan dalam PPh Pasal 23 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut : PPh Pasal 23 = 15% x Penghasilan Bruto
•
Cara menghitung PPh Pasal 23 atas penghasilan sebagaimana disebutkan dalam PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c nomor 1 adalah sebagai berikut : PPh Pasal 23 = 2 % x Penghasilan Bruto
b. Jurnal : •
Jurnal untuk Wajib Pajak Pemotong (Pemberi Hasil) Tabel 2.2 Jurnal Pemotong Saat Pemotongan dan Penyetoran Keterangan Pada Saat Pemotongan
Pada Saat Penyetoran
Uraian Hutang
Debit
Kredit
Xxx PPh Pasal 23
xxx
Kas / Bank
Xxx Xxx
PPh Pasal 23
Xxx
Kas/ Bank
Sumber : Akuntansi Pajak, Waluyo (2008:193) •
Jurnal untuk Wajib Pajak Dipotong (Penerima Hasil) Tabel 2.3 Jurnal Wajib Pajak Dipotong Saat Pemotongan dan Pembayaran Keterangan Pada Saat Pemotongan
Uraian
Debit
Kas/ Bank
Xxx
PPh Pasal 23
xxx
Pendapatan Pada Saat Penyetoran
PPh Terutang PPh Pasal 23
Sumber : Akuntansi Pajak, Waluyo (2008:193)
Kredit
Xxx Xxx xxx
41
•
Contoh Soal :
PT. Maju Terus membayar bunga kepada PT. Nakula sebesar Rp. 200.000.000,- atas pembayaran tersebut dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto. Perhitungan : PPh Pasal 23 Terutang = Rp. 200.000.000,- x 15 % = Rp.30.000.000,•
Ayat Jurnal yang dibuat oleh PT. Maju Terus (pemberi hasil)
Tabel 2.4 Jurnal PT. Maju Terus (Pemberi Hasil) Keterangan Pada Saat Pemotongan
Pada Saat Penyetoran
Uraian
Debit
Hutang
Kredit
Rp. 200.000.000 PPh Pasal 23
Rp. 30.000.000
Kas / Bank
Rp.170.000.000 Rp. 30.000.000
PPh Pasal 23
Rp. 30.000.000
Kas/ Bank
Sumber: Akuntansi Pajak, Waluyo (2008:194) •
Ayat Jurnal yang dibuat oleh PT Nakula (penerima hasil) Tabel 2.5 Jurnal PT. Nakula (Penerima Hasil) Keterangan Pada Saat Pemotongan
Uraian
Debit
Kas/ Bank
Rp 170.000.000
PPh Pasal 23
Rp 30.000.000
Pendapatan Pada Saat Penyetoran
PPh Terutang
Kredit
Rp200.000.000 Rp
PPh Pasal 23
Sumber: Akuntansi Pajak, Waluyo (2008:194)
30.000.000 Rp 30.000.000