BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1
Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan kewajiban setiap orang yang berada di suatu Negara dan yang berada diseluruh dunia, oleh karena itu pajak merupakan suatu permasalahan yang umumnya selalu ada dalam setiap aktivitas
kapan dan dimanapun kita
berada. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota masyarakat suatu Negara harus mengetahui segala permasalahan yang berhunungan dengan pajak, baik mengenai azaz-azaznya, jenis atau macam-macam pajak yang berlaku pada setiap Negara, tata cara pembayaran pajak serta hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak. Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah
kontribusi wajib pajak kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifatnya dapat dipaksakan dan dipungut berdasarkan undang-undang, serta tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian pajak dan pandangan para ahli dalam bidang tersebut memberikan berbagai definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan yang sama. Untuk lebih jelasnya dan untuk memahami pengertian tentang apa yang dimaksud dengan pajak, maka dikemukakan beberapa definisi pajak sebagai berikut: Menurut Rochamat Soemitro yang dikutip dalam buku karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) bahwa : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal
5
6
(kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani dalam R. Santoso Brotodihardjo, S.H , (2011:2) dalam buku Ketentuanm Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bahwa: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan ) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapatklan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan.” Menurut Siti Resmi (2013:23) dalam buku Perpajakan bahwa : “Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan
tidak
mendapatkan
imbalan
secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. luran dan rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah negara. luran tersebut berupa uang (bukan barang). 2. Berdasarkan Undang-Undang, Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dan negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeIuaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
7
2.1.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Dasar hukum pemungutan pajak diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2 yang berbunyi “Segala Pajak untuk Keperluan Negara berdasarkan Undang-Undang”. Dasar hukum pajak berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia terdiri dari : 1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007. 2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang No.36 Tahun 2008. 3) Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994. 4) Undang – Undang No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang No. 24 tahun 2000. 5) Undang-Undang No. 18 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penjualan Atas Barang Mewah (PPN & PPn BM) sebagaimana telah beberapakali diubah terakhir dengan UndangUndang No.18 Tahun 2008. 6) Undang – Undang No. 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 34 tahun 2000. 7) Undang – Undang No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 19 tahun 2000.
8
8) Undang – Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2000. 9) Undang – Undang No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 20 tahun 1999. 2.1.3 Fungsi Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:2) ada 2 (dua) fungsi pajak, yaitu: a) Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran – pengeluaran pemerintah b) Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. 2.1.4 Pengelompokan Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:5) jenis pajak dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu menurut sifat, sasarannya dan lembaga pemungutnya. a. Menurut sifatnya 1) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, serta dikenakan secara berulang – ulang pada waktu tertentu. 2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal – hal tertentu atau peristiwa – peristiwa tertentu saja. b. Menurut Sasarannya 1) Pajak Subyektif, adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama – tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya).
Setelah
diketahui
keadaan
subjeknya
baru
9
diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. 2) Pajak objektif, adalah jenis pajak yang dikenakan pertama – tama memperhatikan/melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. c. Menurut lembaga pemungutan 1) Pajak pusat (negara), adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan khusunya Dirjen Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat
dikumpulkan
dan
dimasukkan
sebagai
bagian
dari
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2) Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya sehari – hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Hasil dari pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2.1.5 Tarif Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:9) ada 4 (empat) macam tarif pajak, yaitu: a. Tarif sebanding atau proporsional, yaitu tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya 14 pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. b. Tarif tetap, yaitu tarif berupa jumlah yang tetap terhadap jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. c. Tarif progresif, yaitu tarif persentase yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar
10
d. Tarif degresif, persentase tafir yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
2.1.6 Asas Pemungutan Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:7) terdapat 3 (tiga) asas pemungutan pajak, yaitu : 1. Asas Domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri. 2. Asas Sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3. Asas Kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
2.1.7 Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:2) pemungutan pajak harus memunuhi syarat sebagai berikut: a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan. Undang – Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaanya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada pertimbangan Pajak b. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang – undang (syarat
yuridis)
11
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik Negara maupun warganya. c. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan
sehingga
tidak
menimbulkan
kelesuan
perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat financial)
Sesuai dengan budgeteir, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan sederhana akan memudahkan dalam mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang – undang perpajakan yang baru.
2.1.8 Sistem Pemungutan Pajak Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2011:7), Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi 3 yaitu : a. Official Assessment System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. b. Self Assessment System
Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding System
Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
12
2.2
Wajib Pajak
2.2.1 Pengertian Wajib Pajak Menurut Siti Resmi (2013:19) bahwa, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan perpajakan. 2.2.2 Hak dan Kewajiban Wajib Pajak Melaksanakan kewajiban pajak terasa mudah jika Wajib Pajak (WP) memahami siklus hak dan kewajiban WP serta membiasakan diri untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengikuti alur siklus tersebut. Setelah Wajib Pajak melaksanakan kewajiban mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), masih terdapat 6 kewajiban pajak lainnya, yaitu: 1) Kewajiban pembayaran pajak 2) Kewajiban pemungutan atau pemotongan pajak 3) Kewajiban pelaporan pajak 4) Kewajiban pembukuan atau pencatatan 5) Kewajiban dalam hal diperiksa 6) Kewajiban memberi data Dalam hal kewajiban pembayaran, ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan: 1. WP wajib membayar sendiri pajak terutang, meliputi: pembayaran angsuran
Pajak Penghasilan (PPh) setiap bulan (PPh Pasal 25) dan
pembayaran kekurangan PPh selama setahun (PPh Pasal 29); 2. WP wajib membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain, meliputi PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15 serta PPh Pasal 26 untuk Wajib Pajak Luar Negeri; 3. WP wajib membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun kepada pihak yang ditunjuk pemerintah;
13
4. WP wajib membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau melalui perangkat desa. Dalam kewajiban pembayaran pajak, juga meliputi kewajiban untuk membayar atau melunasi utang pajak yang timbul karena pemeriksaan pajak. Utang pajak akibat hasil pemeriksaan bisa tercantum dalam: 1) Surat Tagihan Pajak (STP); 2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); 3) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); 4) Surat Keputusan Pembetulan, 5) Surat Keputusan Keberatan, 6) Surat Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Dari semua kewajiban Wajib Pajak tersebut diimbangi dengan 12 (dua belas) hak pokok Wajib Pajak. 1. Hak atas kelebihan pembayaran pajak Di mana jika pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit
pajak, atau dengan kata lain
pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Khusus untuk
Wajib
Pajak
yang
masuk
kriteria
Wajib
Pajak
Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3 bulan untuk PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan diterima. Pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan. Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak melalui dua cara, Pertama Melalui Surat Pemberitahuan (SPT); atau Kedua dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Apabila
Direktorat
Jenderal
Pajak
(DJP)
terlambat
14
mengembalikan kelebihan pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan. 2. hak dalam hal dilakukan pemeriksaan, maka Wajib Pajak berhak: 1) Meminta Surat Perintah Pemeriksaan; 2) Melihat tanda pengenal pemeriksa; 3) Mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan; 4) Meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan SPT; 5) Hadir
dalam
pembahasan
akhir
hasil
pemeriksaan
dalam batas waktu yang ditentukan; dan 6) Meminta review kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait hasil pemeriksaan. 3. Hak untuk mengajukan keberatan, banding atau gugatan, serta peninjauan kembali Di mana berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak, yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutya jika belum puas dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding atau gugatan. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). 4. Hak kerahasiaan Wajib Pajak Wajib Pajak dijamin kerahasiaannya atas: SPT, Laporan Keuangan, data-data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; dan dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya delapan hak-hak lainnya bagi Wajib Pajak meliputi: 5. Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak; 6. Hak untuk penundaan pelaporan SPT Tahunan; 7. Hak untuk pengurangan PPh Pasal 25;
15
8. Hak untuk pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); 9. Hak untuk pembebasan pajak; 10. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak; 11. Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah; dan 12. Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan. Dengan memahami siklus hak dan kewajiban Wajib Pajak, diharapkan setiap Wajib Pajak di Indonesia tidak ragu lagi untuk melaksanakan kewajiban perpajakan sekaligus menikmati hak-haknya.
2.2.3
Dokumen-dokumen Yang Digunakan Penerbitan surat tagihan pajak dengan surat paksa harus berdasarkan bukti
yang menunjukan adanya utang pajak yang masih harus ditagih, maka dari itu diperlukan dokumen-dokumen yang digunakan damalam proses penerbitan surat paksa adalah: 1) Surat Pemberitahuan (SPT) Surat yang digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak
terutang
menurut
ketentuan
peraturan
Undang-undang
Perpajakan. Surat Pemberitahuan Tahunan ada dua jenis yaitu : a. Surat Pemberitahuan Masa Surat yang digunakan untuk memberitahukan pajak terutang dalam satu masa pajak. b. Surat Pemberitahuan Tahunan Surat Pemberitahuan yang digunakan untuk memberitahukan pajak terutang dalam satu tahun pajak. 2) Laporan Pemeriksaan Pajak Laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan. 3) Nota Penghitungan
16
Laporan tentang perhitungan pajak kurang bayar dan besarnya denda harus ditagih berdasarkan pemeriksaan. 4) Surat Tagihan Pajak dan Surat Paksa Surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak atas sanksi berupa denda bunga administrasi.
2.3 2.3.1
Penagihan Pajak Pengertian Penagihan Pajak Pelaksanaan penagihan pajak yang tegas, konsisten dan konsekuen
diharapkan akan dapat membawa pengaruh positif terhadap kepatuhan Wajib Pajak dalam membayarkan hutang pajaknya. Hal ini merupakan posisi strategis dalam meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga tindakan penagihan pajak tersebut dapat menyelamatkan penerimaan pajak yang tertunda. Kegiatan penagihan pajak merupakan ujung tombak dalam menyelamatkan penerimaan Negara yang tertunda, oleh sebab itu seksi penagihan merupakan seksi produksi yang paling dibanggakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam pelaksanaaanya penagihan pajak haruslah dilandaskan pada peraturan perundang – undangan yang berlaku, sehingga mempunyai kekuatan hukum baik bagi wajib pajak maupun aparatur pajaknya. Menurut Anang Mury Kurniawan (2011; 111) penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita (Pasal 1 angka 9 UU No. 19/2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa).
2.3.2 Dasar Penagihan Pajak Dalam buku KUP, Dasar penagihan pajak yaitu: 1)
Pasal 18 ayat (1) UU KUP menyebutkan dasar penagihan pajak adalah:
17
a. Surat Tagihan Pajak(SPT) b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) d. Surat Keputusan Pembetulan , Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. 2)
Pasal 12 UU PBB menyebutkan dasar penagihan pajak adalah : a. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) b. Surat ketetapan pajak c. Surat Tagihan Pajak (SPT) merupakan dasar penagihan pajak.
2.3.3 Tindakan Penagihan Pajak Proses Penagihan Pajak Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas (2010:80) adalah :
Urutan
Tahapan Kegiatan
Waktu
Dasar Hukum
Penagihan
Pelaksanaan Kegiatan
1.
Penerbitan Surat Teguran 7
(tujuh)
hari Pasal 8 s.d 11
atau Surat Peringatan atau sejak saat jatuh Permenkeu surat lain yang sejenis tempo setelah
utang Nomor
pajak
24/PMK.03/2008
penanggung pajak
tidak
melunasi
utang
pajaknya. 2.
Penerbitan Surat Paksa
Sudah
lewat Pasal
7
UU
21(dua
puluh Nomor 19/2000
18
satu) hari sejak dan pasal 15 s.d diterbitkanya Surat
23
peraturan
teguran menteri
atau
surat keuangan nomor
peringatan
dan 24
penanggung
/PMK.03/2008
pajak
tidak
melunasi
utang
pajak 3.
Penerbitan surat perintah Setelah melaksanakan penyitaan
lewat Pasal
12
UU
2x24 jam Surat Nomor 19/2000 Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak dan utang pajak
belum
dilunasi 4.
Pengumuman lelang
setelah waktu
lewat Pasal 14
sejak
26
hari peraturan menteri
tanggal keuangan nomor
pelaksanaan
24/PMK.03.2008
penyitaan
dan
penanggung pajak
tidak
melunasi
utang
pajak 5.
Penjualan atau pelelangan Setelah barang sitaan
lewat Pasal
26
UU
waktu 14 (empat Nomor 19/2000 belas ) hari sejak dan
pasal
28
19
pengumuman lelang
peraturan menteri dan keuangan nomor
penanggung
24/PMK.03.2008
pajak
tidak
melunasi
utang
pajaknya
2.4
Surat Teguran
2.4.1 Pengertian Surat Teguran Menurut Erly Suandi (2011:171) bahwa, Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
2.4.2 Pelaksanaan Surat Teguran Menurut Rudy Suhartono dan Wirawan B Ilyas dalam buku KUP (2010;140) bahwa Penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau Surat lain yang sejenis merupakan awal tindakan penagihan pajak sehingga hal tersebut menjadi pedoman tindakan penagihan pajak berikutnya yaitu penyampaian Surat Paksa dan sebagainya. Sesuai pasal 8 ayat (2) UU PPSP, Surat Teguran / Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penganggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Pasal 1 angka 10 UU PPSP menyebutkan bahwa Surat Teguran, Surat peringatan atau surat lain yang sejenis adalah Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya.
2.4.3 Penentuan Tanggal Jatuh Tempo
20
Dalam buku KUP oleh Rudy Suhartono dan Wirawan B. Ilyas (2010;140) Penentuan tanggal jatuh tempo dalam penerbitan Surat Teguran sangat penting karena tanggal jatuh tempo menunjukkan timbulnya utang pajak dan juga mulai timbulnya wewenang melakukaan penagihan pajak. 1. STP, SKPKB, SKPKBT, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu satu bulan setelah tanggal diterbitkan. 2. Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang – undangan perpajakan, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan 3. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak 4. SKPKB, SKPKBT, STP, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali dalam Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan / atau Bangunan, yang menyebabkan jumlah Bea yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak. 5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemerikasaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan 6. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan SKPKB/SKPKBT, jangka waktu pelunasan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
21
2.4.4 Penerbitan Surat Teguran Dalam buku KUP Pelaksanaan penagihan pajak dilakukan dengan menerbitkan Surat Teguran oleh Dirjen Pajak. Keputusan Dirjen Pajak yang menyetujui penanggung pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak mengakibatkan tidak adanya upaya penagihan pajak kecuali penanggung pajak tidak menepati keputusan tersebut. Penerbitan Surat Teguran harus dilakukan dengan mempertimbangkan upaya hukum Wajib Pajak karena upaya hukum keberatan dan banding atas utang pajak mulai tahun pajak 2008 menyebabkan tertangguhnya jatuh tempo dengan syarat
Wajib
Pajak
tidak
menyetujui
sebagian
atau
seluruhnya
atas
SKPKB/SKPKBT dalam pembahasan akhir, adalah sebagai berikut: 1. Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan ternyata tidak mengajukan permohonan keberatan atas ketetapan hasil pemeriksaan tersebut, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan.
Tujuan menunggu jatuh tempo
pengajuan
bulan
keberatan
3(tiga)
sejak
diterbitkannya
SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak mempunyai hak mengajukan permohonan keberatan. 2. Apabila wajib pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang terutang dalam pembahasan akhir dan tidak mengajukan upaya
permohonan
banding
atas
keputusan
keberatan
SKPKB/SKPKBT, surat teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan banding. Tujuan menunggu jatuh tempo pengajuan keberatan 3(tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan atas keberatan SKPKB/SKPKBT karena dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak masih mempunyai hak mengajukan permohonan banding
22
3. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Wajib Pajak mengajukan: a. Permohonan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan
Keputusan Keberatan (jatuh tempo keputusan
keberatan adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan keputusan tersebut) b. Permohonan banding atas Keputusan Keberatan sehubungan dengan SKPKB/SKPKBT,Surat Teguran disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo berdasarkan putusan banding (jatuh tempo putusan banding adalah 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan tersebut) 4. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan (1 bulan setelah tanggal penerbitan SKPKB/SKPKBT) 5. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB/SKPKBT, Surat Teguran disampaikan setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. Surat Teguran dalam rangka penagihan pajak atas utang Pajak Bumi dan Bangunan dan atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau Surat Keputusan Pembetulan,
Surat
Keputusan
Keberatan
atau
Putusan
Banding
yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah disampaikan kepada Wajib Pajak setelah 7(tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo.
23
2.5
Surat Paksa
2.5.1 Pengertian Surat Paksa Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau sejenisnya. Menurut pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Adapun Ciri-ciri Surat Paksa yaitu : 1) Surat Paksa berkepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “. 2) Surat Paksa mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada hakim atasan. 3) Yang dapat ditagih dengan Surat Paksa, semua jenis pajak pusat dan pajak daerah yang terdiri dari: pajak pusat, pajak daerah, kenaikan, denda (bukan denda pidana), bunga dan biaya. Kekuatan hukumnya dinyatakan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak surat paksa yang merevisi Undang-Undang lama No.19 Tahun 1997. Undang-Undang penagihan pajak dengan surat paksa ini mengatur tenang tindakan penagihan yang meliputi pemberitahuan surat teguran, penyitaan, dan pelelangan yang dilaksanakan oleh juru sita pajak. Dalam undangundang ini surat paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian surat paksa langsung dapat dilaksaanakan dan ditindak lanjuti sampai pelelangan barang penunggak pajak tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
2.5.2 Sifat Surat Paksa Selain memiliki ciri – ciri seperti diatas, Surat Paksa juga memiliki sifat tersendiri yaitu sebagai berikut :
24
1. Berkekuatan hukum yang sama dengan grosse putusan Hakim dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta banding lagi pada Hakim atasan 2. Berkekuatan hukum yang pasti 3. Mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan menagih bukan pajak (biaya-biaya penagihan) 4. Dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan atau penyanderaan. Apabila pajak yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu (2 x 24 jam) sesudah tanggal pemberitahuan Surat Paksa kepada penanggung pajak, pejabat segera menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, setelah disita, bila penanggung pajak pajak belum juga melunasi utang pajaknya, maka lewat 14 hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) Pejabat membuat pengumuman lelang 14 hari setelah pengumuman lelang Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya, maka kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Lelang Negara supaya dilaksanakan lelang.
2.5.3 Penanggung Pajak 1.
Dalam menjalankan hak dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak diwakili, dalam hal : a.
Badan oleh pengurus
b.
Badan dalam pembubaran atau pailit oleh orang atau Badan yang dibebani dengan pemberesan
c.
Suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya
d.
Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampuannya.
2.
Wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan
25
Direktur Jenderal Pajak, bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. 3.
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.
4.
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
Apabila Jurusita Pajak tidak menemukan Wajib Pajak dengan berbagai alasan, maka harus berupaya untuk menemukan apa yang disebut sebagai penanggung pajak. Wajib Pajak 1.
Badan
Penanggung Pajak 1.
Pengurus, yang
termasuk
orang
nyata-nyata
ikut
berwenang dalam menentukan kebjaksanaan atau mengambil keputusan dalam perusahaan 2.
Badan
dalam
pembubaran 2.
atau pailit 3.
Warisan yang belum dibagi
Orang
atau
Badan
yang
dibebani dengan pemberesan 3.
Salah
seorang
ahli
waris
pelaksana wasiat atau yang mengurus
harta
peninggalannya 4.
Anak yang belum dewasa 4.
Oleh
atau orang yang berada dalam
pengampuannya
pengampuan
wali
atau
26
2.5.4 Pelaksanaan Surat Paksa Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau sejenisnya. Menurut pasal 1 angka 12 Undang-Undang Penagihan Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
2.5.4.1 Tinjauan Umum Tentang Penerbitan dan Pelaksanaan Surat Paksa Dalam rangka menjalankan prosedur penerbitan surat paksa pajak berdasarkan peraturan perpajakan dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, maka dalam pelaksanaanya harus berdasarkan teori-teori mendasar.
2.5.4.2 Seksi-Seksi Terkait Tahapan dalam penerbitan surat paksa melibatkan beberapa seksi. Berikut ini seksi yang terkait adalah: 1) Seksi Pajak Penghasilan Orang Pribadi Seksi ini bertugas melakukan urusan atau penatausahaan dan pemeriksaan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi untuk memantau dan menyusun laporan
pembayaran
serta
melakukan
verifikasi
atas
surat
pemberitahun masa dan tahunan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi. 2) Seksi Pajak Penghasilan Badan Seksi ini bertugas melakukan penatausahaan dan pemeriksaan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan tahunan, memantau dan menyusun laporan
pembayaran
serta
melakukan
verifikasi
atas
Surat
27
Pemberitahun (SPT) masa dan tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan. 3) Seksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Seksi ini bertugas melakukan penatausahaan dan pemeriksaan Surat Pemberitahuan (SPT) masa dan tahunan, pemantauan dan penyusunan laporan perkembangan pengusaha kena pajak dan kepatuhan pelaporan surat pemberitahuan. 4) Seksi Tatausaha Perpajakan Seksi ini bertugas melakukan tatausaha wajib pajak, penerimaan dan pengadministrasian Surat Pemberitahuan (SPT) serta keterangan pajak, yang bertugas untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) adalah subseksi ketetapan dan arsip wajib pajak. 5) Seksi Penagihan Seksi ini bertugas melakukan urusan tata usaha piutang pajak dan penagihan atas tunggakan pajak.
2.5.4.3 Tata Cara Pemberitahuan Surat Paksa Tata cara pemberitahuan Surat Paksa diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang - Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oeh juru sita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak yang dituangkan dalam berita acara.
2.5.4.4 Pemberitahuan Surat Paksa 1)
Penanggung pajak ditempat tinggal tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan
2)
Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha penanggung pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai
28
3)
Salah seorang ahli waris atau pelaksanaan
wasiat atau yang
mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak meninggalk dunia dan harta warisan belum dibagi 4)
Para ahli waris apabila penanggung pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
2.5.4.5 Penolakan Terhadap Surat Paksa Penolakan Terhadap Surat Paksa dapat dilakukan oleh Penanggung Pajak dengan alasan yaitu sebagai berikut: 1) Ada kalanya Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa dengan berbagai alasan. Apabila alasan penolakan adalah karena kesalahan Surat Paksa itu sendiri, maka penyelesaiannya adalah seperti yang telah diuraikan pada butir 5 di atas. 2) Apabila
Jurusita
setelah
memberikan
keterangan
seperlunya
Penanggung Pajak atau wakilnya tetap menolak maka Salinan Surat Paksa tersebut dapat ditinggalkan begitu saja pada tempat kediaman atau tempat kedudukan Penanggung Pajak atau wakilnya, dengan demikian Surat Paksa dianggap telah diberitahukan atau disampaikan (Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Pasal 10 Ayat 11).
2.5.4.6 Penentangan Terhadap Surat Paksa Surat Paksa dapat ditentang apabila : 1.
Surat Paksa tidak dapat disampaikan atau diberitahukan oleh seorang petugas Jurusita Pajak yang telah disumpah.
2.
Surat Paksa dikirim melalui pos, sekalipun tercatat
3.
Surat Paksa tidak ditandatangani oleh yang berwenang, dalam hal ini oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) apabila wajib pajak atau penanggung pajak menemukan salah satu
29
unsur formil sebagaimana tersebut di atas, maka ia berhak untuk menentang (menolak) Surat Paksa tersebut. 4.
Jurusita Pajak belum disumpah di hadapan pejabat.
Dalam beberapa hal Hakim Pengadilan Negeri masih diperlukan peran sertanya, antara lain: 1. Jika ada concursus atau bersamaaan kepentingan antara fiskus dan kreditur lain terhadap wajib pajak atau penanggung pajak mengingat kepentingan semua pihak. 2. Jika ada gugatan tentang barang-barang yang telah disita fiskus terhadap pihak ketiga yang bukan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Begitu juga jika nantinya seiring dengan pelaksanaan sanksi penyanderaan badan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 yang telah di ubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan Surat Paksa.
2.5.4.7 Prosedur Penerbitan Surat Paksa Prosedur penerbitan surat paksa antara lain : 1.
Kantor Pelayanan Pajak akan melakukan penagihan terhadap wajib pajak dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKBT), SK Pembetulan, SK keberatan, Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali.
2.
Apabila wajib pajak masih belum melunasi kewajiban pajaknya, wajib pajak bisa melakukan Permohonan Angsuran atau Penundaan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah terbit.
3.
Jika wajib pajak tidak membayar hutang pajaknya 7 (tujuh) hari setelah jatuh tempo, wajib pajak akan diberikan pemberitahuan surat teguran dengan jatuh tempo 21 hari.
30
4.
Apabila dalam 21 hari sejak tanggal surat teguran dikeluarkan tidak dilunasi, maka akan diterbitkan surat paksa.