BAB II BAHAN DAN METODE
2.1 Kondisi Geografis dan Iklim Wilayah Studi Jawa Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan salah satunya adalah sumber daya air. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1500m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai dengan ketinggian 100-1500m di atas permukaan laut, wilayah daratan luas di utara ketinggian 0,10m di atas permukaan laut dan wilayah aliran sungai. Jawa Barat memiliki iklim tropis dengan suhu 90C di Puncak Gunung Pangrango dan 340C di Pantai Utara. Curah hujan rata-rata 200mm per tahun dan di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun. (Pemprov Jabar, 2007) Jakarta merupakan ibu kota negara dengan topografi di sebelah utara cenderung landai dengan ketinggian ±8m di atas muka laut, sedangkan di sebelah selatan kondisi topografi berbukit. Jakarta memiliki iklim tropis bersuhu 250C sampai dengan 380C dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari rata-rata mencapai 350mm dan curah hujan terendah pada bulan Agustus mencapai 60mm.(Wikipedia, 2008) Propinsi Banten memiliki iklim tropis, mengalami musim hujan dan musim panas yang bergantian sepanjang tahun, dengan rata-rata suhu udara adalah 28°C. Daerah di bagian selatan provinsi Banten didominasi oleh perbukitan, sedangkan daerah pantai mendominasi di bagian utara. (Mitra Praja Utama, 2006)
6
2.2 Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari High Resolution Gridded Data Set yang dibuat oleh Climatic Research Unit dan Tyndall Center yang dapat diakses melalui website http://www.cru.uea.ac.uk/data/. Data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. CRU TS 2.1 merupakan data curah hujan historik (time series) bulanan tahun 1901-2002 dengan resolusi 30’ dengan kapasitas data sebesar 410MB. 2. CRU CL 2.0 merupakan data curah hujan klimatologi (rata-rata keadaan umum) bulanan tahun 1961-1990 dengan resolusi 10’ dan kapasitas data sebesar 103MB. Keterangan lebih lengkap dapat dibaca di New, et al (1999) dan New, et al (2000). 3. Tabel stasiun curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Data yang tersedia di CRU meliputi seluruh daratan dunia terkecuali Benua Antartika dan Benua Artik. Data CRU TS 2.1 digunakan sebagai data primer yang merupakan data titik ikat untuk menghasilkan data interpolasi. Data ini terdiri dari data bulanan periode tahun 1901-2002 dengan resolusi 30’ terdiri dari beberapa variabel cuaca yaitu: harian rata-rata temperatur, temperatur minimum dan temperatur maksimum, temperatur diurnal, presipitasi, frekuensi hari basah (wet day), frekuensi hari beku (frost day), kelembapan and tutupan awan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data presipitasi yang disimpan dalam format sebagai berikut: 1. Header Tyndall Centre grim file created on 13.01.2004 at 14:28 by Dr. Tim Mitchell .pre = precipitation (mm) CRU TS 2.1 [Long=-180.00, 180.00] [Lati= -90.00, 90.00] [Grid X,Y= 720, 360] [Boxes= 67420] [Years=1901-2002] [Multi=
0.1000] [Missing=-999]
7
2. Kotak grid Grid-ref= 1, 148
Posisi Grid (X,Y)
3020 2820 3040 2880 1740 1360 980 990 1410 1770 2580 2630 3020 2820 3040 2880 1740 1360 980 990 1410 1770 2580 2630 3020 2820 3040 2880 1740 1360 980 990 1410 1770 2580 2630
Tahun 19012002
3020 2820 3040 2880 1740 1360 980 990 1410 1770 2580 2630 Bulan Januari s.d Desember
Gambar 2.1 Format data CRU TS 2.1
Informasi yang ditampilkan pada header baris pertama hingga baris terakhir adalah atribut dan tanggal pembuatan, variabel iklim (parameter) serta unit pengukuran, kata kunci khusus internal CRU yang dapat kita abaikan, jumlah kotak grid pada masing-masing sumbu, dan jumlah kotak yang berisikan data yang valid, periode data, integer pengali untuk memperoleh nilai yang benar dan nilai yang hilang. Informasi baris pertama pada gambar 2.1 menyatakan bahwa data tersebut berada pada baris pertama dan kolom ke-148 dimana nilai tengahnya berada pada koordinat 73,750LS dan 179,750BB. Variabel X dan Y merupakan posisi kotak grid dimana nilai (X,Y) = (1,1) berada pada 89,750LS dan 179,750BT yang diilustrasikan pada gambar 2.2. Data ini tidak disertakan dengan informasi datum sehingga perlu dilakukan pendefinisian datum terlebih dulu. Dalam penelitian ini digunakan datum yang umum digunakan yaitu WGS 1984. Berdasarkan informasi grid pada gambar 2.2, maka dapat dihitung nilai koordinat tengah tiap kotak grid dengan persamaan:
ϕ i = (0.5 × X i ) − 180.25
(2.1)
λi = (0.5 × Yi ) − 90.25
(2.2)
8
dimana i
= 1,2,3, ..., n;
Xi = Baris ke-i;
λ = Bujur ke-i ϕ = Lintang ke-i
Yi = Kolom ke-i
Gambar 2.2 Informasi data CRU TS 2.1
Angka yang tertera di setiap baris dan kolomnya merupakan data curah hujan yang harus dikalikan dengan integer pengali. Kemungkinan tidak adanya variasi data dalam satu grid box, dikarenakan data yang ada tidak mencukupi, atau area tertentu hanya menerima jumlah presipitasi sedikit pada bulan tertentu, area tersebut jarang menerima presipitasi dalam bentuk yang tersebar rata, jumlah penakar hujan yang sedikit dengan penempatan yang saling berjauhan. Data pada kotak grid bersumber dari tiap stasiun meteorologi di setiap negara, diperoleh murni dari pengamatan stasiun, tidak menggunakan informasi satelit ataupun penginderaan jauh. Data CRU T.S 2.1 digunakan dalam penelitian ini karena memiliki data set iklim yang lengkap secara historik dan spasial serta global yang tidak dimiliki oleh lembaga, organisasi maupun instansi lainnya. CRU TS 2.1 merupakan estimasi terbaik dalam pola spasial iklim pada tiap momen waktu lengkap dari segi spasial maupun temporalnya, namun inhomogenitas kemungkinan muncul pada tiap kotak grid data historik (Mitchell, 2004). Data CRU CL 2.0 digunakan sebagai data sekunder yang merupakan data pembanding dengan data hasil interpolasi yang akan dihasilkan model. Data ini 9
terdiri dari data bulanan periode tahun 1901-2002 dengan resolusi 10’ yang data koordinatnya disesuaikan dengan wilayah studi. Data CRU ini diperoleh dari stasiun meteorologi yang dimiliki lembaga lainnya dan juga merupakan hasil interpolasi data CRU T.S 2.1, sehingga dapat dilihat perbedaan maupun persamaan data dengan hasil interpolasi yang dilakukan dalam penelitian ini. Format penyimpanan data CRU CL 2.0 diilustrasikan pada gambar 2.3. 380.95 -58.417 -58.417 -55.917 -55.75 -55.75 -55.75 -55.583 -55.583 -55.583
-26.583 -26.25 -26.417 -67.25 -67.25 -67.417 -67.583 -67.417 -67.583 -68.083
ϕ
17.1 17.1 17.2 13.3 13.3 13.3 13.2 13.3 13.1 13.2
16.8 16.7 16.8 11.4 11.3 11.4 11.2 11.3 11.1 11.2
19.6 19.6 19.7 9.7 9.6 9.7 9.5 9.6 9.5 9.6
21.9 21.9 21.9 11.8 11.7 11.7 11.6 11.7 11.6 11.6
20.4 20.5 20.5 11.5 11.4 11.5 11.4 11.4 11.4 11.4
18.3 18.4 18.4 8.3 8.3 8.2 8.2 8.2 8.2 8.1
19.4 19.6 19.5 8.4 8.4 8.4 8.3 8.3 8.3 8.3
17.3 17.5 17.4 7.2 7.2 7.2 7.1 7.2 7.1 7.1
20.2 20.4 20.3 7.4 7.4 7.4 7.3 7.4 7.3 7.3
20.2 20.3 20.3 7.4 7.4 7.4 7.4 7.4 7.3 7.4
18.2 18.2 18.3 10.2 10.2 10.2 10.1 10.2 10.1 10
15.9 15.9 16 11.1 11.1 11.1 11 11.1 10.9 10.9
Bulan Januari s.d Desember
λ Gambar 2.3 Format Data Kotak Grid 10’
Tabel curah hujan dari BMG merupakan data lapangan yang digunakan sebagai validasi terhadap data ukuran model.
2.3 Presipitasi Presipitasi merupakan bentuk air yang turun dari atmosfer mencapai permukaan bumi. Presipitasi bisa dalam bentuk hujan es, hujan air, salju, dan gerimis. Hujan yang paling dominan terjadi di Indonesia adalah hujan air yang dinyatakan dalam curah hujan.
2.3.1 Proses Fisik Presipitasi Proses terjadinya presipitasi diawali pada saat radiasi panas mengakibatkan sejumlah air berubah bentuk menjadi uap (evaporasi) kemudian bergerak menuju atmosfer dan bergerak ke tempat yang tinggi akibat beda tekanan udara, hingga pada ketinggian tertentu akan mengalami kejenuhan dan berlanjut mengalami proses kondensasi. Kondensasi terjadi ketika udara yang dingin menyebabkan kelembapan tinggi, sehingga uap air berubah menjadi tetesan awan. Tetesan ini 10
berukuran sangat kecil kurang lebih 5mikrometer. Menurut Luke Howard (1803), awan dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan bentuknya dan dinamakan dengan bahasa latin, yaitu: 1. Awan berbentuk serat disebut cirrus 2. Awan yang menyerupai lapisan disebut stratus 3. Awan yang menyerupai gumpalan disebut cumulus 4. Awan yang memproduksi hujan disebut nimbus Sedangkan awan berdasarkan ketinggiannya dibagi menjadi: 1. Awan tinggi disebut juga prefix cirro, berada di ketinggian lebih dari 6000m di atas tanah, terdiri dari komposisi kristal es. 2. Awan tengah disebut juga prefix alto, berada di ketinggian 2000m sampai dengan 6000m di atas tanah, komposisi campuran tetesan air dan kristal es. 3. Awan rendah di ketinggian kurang dari 2000m komposisi tetesan air. 4.
Awan vertikal, basis awan berada di bawah ketinggian 2000m dan atapnya bisa meluas hingga lapisan troposfer.
Gambar 2.4 Siklus hidrologi
11
Tetesan awan mengalami proses tumbukan dan penggabungan hingga menjadi tetesan hujan ataupun tetesan es dengan jari-jari kurang lebih 1mm. Pada saat udara mengalami kejenuhan kemudian terkondensasi maka akan turun ke permukaan tanah dalam bentuk umumnya es, saat proses menuju permukaan bumi terjadi perubahan temperatur yang tinggi sehingga menyebabkan partikel es mencair dan turun ke permukaan tanah sebagai curah hujan. Hujan yang turun ke permukaan bumi mengalami beberapa pergerakan seperti masuknya air hujan ke dalam tanah (infiltrasi), mengalir di atas permukaan bumi (air larian), dan masuk ke pori-pori tanah (perkolasi) kemudian menjadi air tanah. (gambar 2.4) Jenis presipitasi bergantung pada kelembapan dan temperatur udara. Frekuensi hujan dipengaruhi relief topografi dan lokasi geografis sumber air. Badai cenderung tejadi di daerah sepanjang pantai dan area lintang selatan dengan suhu sedang dan relief yang landai. Hujan salju terjadi di daerah tinggi pada lintang menengah dan suhu dingin. Hujan yang umum ditemui di daerah tropis diantaranya: 1. Hujan konvektif, terjadi ketika lapisan udara di atas permukaan tanah menjadi lebih panas daripada lapisan udara diatasnya yang memaksa udara panas bergerak ke tempat yang lebih tinggi, hingga mengalami kodensasi, membeku kemudian jatuh sebagai air hujan (gambar 2.5(a)). Hujan ini terjadi dengan intensitas tinggi, berlangsung singkat dan mencakup wilayah yang tidak luas. 2. Hujan frontal, terjadi akibat bergulungnya dua massa udara yang berbeda suhu dan kelembapan (gambar 2.5(c)). Hujan ini biasanya terjadi dengan intensitas rendah. 3. Hujan orografik, biasanya terjadi di daerah pegunungan. Massa udara bergerak menuju puncak gunung hingga terjadi proses kondensasi dan hujan turun.
Setelah
melewati
puncak
atau
melewati
daerah
bayangan,
kemungkinan udara sedikit bergerak sehingga udara yang turun cenderung mengalami pemanasan dan jumah hujan yang turun sangat sedikit seperti yang diilustrasikan pada gambar 2.5(b). Hujan ini merupakan sumber air yang
12
sangat penting bagi kehidupan karena jatuh di hulu DAS yang kemudian akan menjadi pasokan air untuk sungai, danau dan sumber air lainnya.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.5 Hujan konvektif (a), hujan orografik (b), dan hujan frontal (c)
Ketebalan atau ketinggian air hujan adalah banyaknya curah hujan yang mencapai tanah atau permukaan bumi selama selang waktu tertentu dengan kondisi tidak ada yang jumlah air yang hilang karena penguapan, limpasan, infiltrasi atau peresapan, biasanya dinyatakan dalam besaran mm (millimeter). Di Indonesia, istilah presipitasi sama dengan curah hujan karena jarang ditemui salju kecuali di puncak-puncak gunung yang tinggi seperti Puncak Jayawijaya di Irian. Berdasarkan kondisi geografis wilayah studi, maka hujan yang umum terjadi adalah jenis hujan orografik dan konvektif.
2.3.2 Curah Hujan Curah hujan diamati dengan menggunakan alat yang dinamakan penakar hujan (rain gauge). Alat tersebut terdiri dari dua jenis yaitu penakar hujan non rekam dan penakar hujan rekam (gambar 2.6). Alat ini biasanya berupa silinder atau tabung yang terdapat corong pada ujungnya tempat air hujan masuk. Alat penakar hujan rekam terdiri dari tiga jenis sesuai dengan sistem yang digunakan, yaitu titling siphon, tipping bucket, dan kolektor timbang. Pada saat melakukan pengukuran, banyak faktor yang mempengaruhi hasil hitungan seperti kondisi angin, kelembaban, ketinggian, dan sebagainya sehingga mekanisme penempatan alat penakar hujan ini harus baku karena berkaitan dengan periode waktu yang digunakan untuk mengukur. Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi (Prawirowardoyo, 1994):
13
•
Penempatan penakar hujan harus sedemikian rupa sehingga lubang kolektor terletak horizontal
•
Lubang kolektor diletakkan setinggi 120cm dari permukaan tanah
•
Tempat yang digunakan untuk pengamatan harus horisontal
•
Disekeliling tempat pengamatan radius ≥4 kali tinggi alat penakar hujan diberi penghalang seperti tumbuh-tumbuhan
•
Bagian bawah penakar hujan di tanam kuat di dalam tanah.
Gambar 2.6 Rain gauge (a), Tipping bucket (b), Rain gauge dengan menggunakan penghalang angin (Fohrer, 2007)
Tingkat ketelitian curah hujan daerah aliran ditentukan jumlah stasiun pengamatan yang ada di daerah tersebut. Metode pendugaan curah hujan daerah aliran (Bachri, 2007): a. Metode rata-rata Aritmatik, dipergunakan jika curah hujan yang dihasilkan berbagai stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Persamaan umumnya: P =
1 n ∑ Pi n i =1
(2.3)
b. Metode rata-rata Thiessen, digunakan untuk stasiun pengamat curah hujan yang tersebar tidak merata. Persentase basis daerah aliran ini diasumsikan dengan menarik garis poligon Thiessen dari pertemuan garis sumbu antar n
stasiun pengamat. Persamaan umumnya: P = ∑ Pi i =1
Ai A
(2.4)
c. Metode rata-rata Isohiet, merupakan garis yang menghubungkan tempattempat yang mempunyai kedalaman curah hujan yang sama. Metode ini
14
menggunakan isohiet sebagai garis-garis pembagi daerah aliran menjadi daerah-daerah di mana luas daerah ini dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan. Persamaan umumnya: P =
1 n ⎛ P + Pi ⎞ Ai −1 ⎜ i −1 ⎟ ∑ A i =1 2 ⎝ ⎠
(2.5)
2.4 Perapatan Spasial
Perapatan spasial adalah proses perapatan data yang memiliki resolusi tertentu menjadi lebih tinggi resolusinya. Dalam penelitian ini proses perapatan dilakukan dari data dengan resolusi 30’ menjadi data dengan resolusi 10’. Perapatan spasial pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi spasial Inverse Distance Weighted (IDW). Metode ini digunakan berdasarkan saran
Mitchell (2004) kepada seluruh pengguna data dari CRU untuk menggunakan metode dan software berbeda dengan yang digunakan oleh CRU pada proses perolehan data dengan resolusi tinggi. Interpolasi spasial adalah memperkirakan nilai variabel tertentu berdasarkan titiktitik yang tersedia dan diketahui nilai datanya. (Chou, 1997). Prinsip perhitungan IDW bergantung pada jaraknya, semakin dekat jarak titik yang akan diinterpolasi dari titik ikatnya maka semakin besar bobot hitungannya (gambar 2.7) i
Keterangan: = titik grid 30’
dij = titik interpolasi j
= jarak dari titik grid 30’ ke
titik interpolasi Gambar 2.7 Penentuan bobot IDW
Perhitungan IDW dinyatakan dengan persamaan 2.6, persamaan 2.7 dan persamaan 2.8.
15
n
Pj = ∑ α n Pn
(2.6)
i =1 n
∑P r n
Pj =
i =1 n
∑
atau Pj =
i
1
i =1
αi
n
k
ri
k
∑α P i =1 n
n n
∑α i i =1
⎛ d ij 2 ⎞ = exp⎜ − 2 ⎟ ⎜ σ ⎟ ⎠ ⎝
dimana i
(2.7)
(2.8)
= 1,2,…, n = titik ikat
j
= 1,2,…, n = titik yang akan diinterpolasi
P
= nilai curah hujan (mm)
dij
= jarak antara titik ikat dan titik yang akan diinterpolasi k, σ
= konstanta
Gambar 2.8 memperlihatkan grafik perbandingan nilai konstanta terhadap nilai bobotnya pada jarak yang sama. Nilai bobot diperoleh dengan menggunakan persamaan 2.8.
Gambar 2.8 Grafik Perbandingan Konstanta dengan Bobot
16
Berdasarkan gambar 2.8 dapat dikatakan bahwa semakin besar nilai konstanta maka semakin besar nilai bobot.. Adapun jarak yang digunakan dalam perhitungan adalah jarak geodesik dengan persamaan sebagai berikut:
[
d ij = a cos −1 cos δ i cos δ j cos(λi − λ j ) + sin δ i sin δ j
]
(2.9)
dimana i = 1,2,…, n ; n = jumlah titik ikat j = 1,2,…, n ; n = jumlah titik yang akan diinterpolasi dij = jarak antara titik ikat dan titik yang akan diinterpolasi a = 6378 km 2.5 Tahapan Perapatan Spasial
Hal pertama yang dilakukan dalam perapatan spasial yaitu pemilihan dan plotting titik-titik koordinat grid 30’ yang berada di wilayah studi yaitu pada koordinat 1050BB-1090BB dan 5,50LS-80LS yang ditunjukkan pada tabel 2.1 dan gambar 2.3. Selanjutnya, ditentukan titik-titik yang akan diinterpolasi yaitu titik-titik grid 10’ seperti pada gambar 2.10 dan tabel 2.2.
Gambar 2.9 Plot Titik grid 30’
17
Tabel 2.1 Tabel koordinat titik ikat (titik grid 30’) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
λ 105.25 105.25 105.25 105.25 105.75 105.75 105.75 105.75 105.75 106.25 106.25 106.25 106.25
ϕ -6.75 -5.75 -5.25 -4.75 -6.75 -6.25 -5.75 -5.25 -4.75 -7.25 -6.75 -6.25 -5.75
No 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
λ 106.75 106.75 106.75 107.25 107.25 107.25 107.25 107.75 107.75 107.75 107.75 108.25 108.25
ϕ -7.25 -6.75 -6.25 -7.75 -7.25 -6.75 -6.25 -7.75 -7.25 -6.75 -6.25 -7.75 -7.25
No 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
λ 108.25 108.25 108.75 108.75 108.75 109.25 109.25 109.25 109.75 109.75 109.75
ϕ -6.75 -6.25 -7.75 -7.25 -6.75 -7.75 -7.25 -6.75 -7.75 -7.25 -6.75
Gambar 2.10 Plot titik-titik yang akan diinterpolasi
Tahap selanjutnya adalah penentuan dan pendefinisian titik ikat untuk setiap titik yang akan diinterpolasi (gambar 2.11). Kemudian proses interpolasi dengan menggunaan persamaan 2.6 dan 2.7 pada setiap titik interpolasi per bulan dan per tahunnya dengan menggunakan proses looping pada MATLAB.
18
Tabel 2.2 Tabel koordinat titik yang akan diinterpolasi (titik grid 10’) No
Lintang
Bujur
No
Lintang
Bujur
No
Lintang
Bujur
No
Lintang
Bujur
1
-7.917
108.083
48
-7.25
108.417
95
-6.75
106.583
142
-6.417
108.25
2
-7.917
108.25
49
-7.25
108.583
96
-6.75
106.75
143
-6.417
108.417
3
-7.917
108.417
50
-7.25
108.75
97
-6.75
106.917
144
-6.25
105.917
4
-7.75
107.917
51
-7.25
108.917
98
-6.75
107.083
145
-6.25
106.083
5
-7.75
108.083
52
-7.25
109.083
99
-6.75
107.25
146
-6.25
106.25
6
-7.75
108.25
53
-7.083
106.583
100
-6.75
107.417
147
-6.25
106.417
7
-7.75
108.417
54
-7.083
106.75
101
-6.75
107.583
148
-6.25
106.583
8
-7.75
108.917
55
-7.083
106.917
102
-6.75
107.75
149
-6.25
106.75
9
-7.75
109.083
56
-7.083
107.083
103
-6.75
107.917
150
-6.25
106.917
10
-7.583
107.583
57
-7.083
107.25
104
-6.75
108.083
151
-6.25
107.083
11
-7.583
107.75
58
-7.083
107.417
105
-6.75
108.25
152
-6.25
107.25
12
-7.583
107.917
59
-7.083
107.583
106
-6.75
108.417
153
-6.25
107.417
13
-7.583
108.083
60
-7.083
107.75
107
-6.75
108.583
154
-6.25
107.583
14
-7.583
108.25
61
-7.083
107.917
108
-6.75
108.75
155
-6.25
107.75
15
-7.583
108.417
62
-7.083
108.083
109
-6.583
105.25
156
-6.25
107.917
16
-7.583
108.583
63
-7.083
108.25
110
-6.583
105.583
157
-6.25
108.25
17
-7.583
108.75
64
-7.083
108.417
111
-6.583
105.75
158
-6.083
105.917
18
-7.583
108.917
65
-7.083
108.583
112
-6.583
105.917
159
-6.083
106.083
19
-7.583
109.083
66
-7.083
108.75
113
-6.583
106.083
160
-6.083
106.25
20
-7.417
106.583
67
-7.083
108.917
114
-6.583
106.25
161
-6.083
106.417
21
-7.417
106.75
68
-7.083
109.083
115
-6.583
106.417
162
-6.083
106.583
22
-7.417
106.917
69
-6.917
106.25
116
-6.583
106.583
163
-6.083
106.75
23
-7.417
107.083
70
-6.917
106.417
117
-6.583
106.75
164
-6.083
106.917
24
-7.417
107.25
71
-6.917
106.583
118
-6.583
106.917
165
-6.083
107.083
25
-7.417
107.417
72
-6.917
106.75
119
-6.583
107.083
166
-6.083
107.25
26
-7.417
107.583
73
-6.917
106.917
120
-6.583
107.25
167
-6.083
107.417
27
-7.417
107.75
74
-6.917
107.083
121
-6.583
107.417
168
-5.917
106.083
28
-7.417
107.917
75
-6.917
107.25
122
-6.583
107.583
169
-5.917
107.083
29
-7.417
108.083
76
-6.917
107.417
123
-6.583
107.75
170
-5.75
105.083
30
-7.417
108.25
77
-6.917
107.583
124
-6.583
107.917
171
-5.75
105.25
31
-7.417
108.417
78
-6.917
107.75
125
-6.583
108.083
172
-5.75
105.583
32
-7.417
108.583
79
-6.917
107.917
126
-6.583
108.25
173
-5.75
105.75
33
-7.417
108.75
80
-6.917
108.083
127
-6.583
108.417
174
-5.583
104.917
34
-7.417
108.917
81
-6.917
108.25
128
-6.417
105.917
175
-5.583
105.083
35
-7.417
109.083
82
-6.917
108.417
129
-6.417
106.083
176
-5.583
105.25
36
-7.25
106.417
83
-6.917
108.583
130
-6.417
106.25
177
-5.583
105.417
37
-7.25
106.583
84
-6.917
108.75
131
-6.417
106.417
178
-5.583
105.583
38
-7.25
106.75
85
-6.917
108.917
132
-6.417
106.583
179
-5.583
105.75
39
-7.25
106.917
86
-6.917
109.083
133
-6.417
106.75
180
-5.417
104.917
40
-7.25
107.083
87
-6.75
105.25
134
-6.417
106.917
181
-5.417
105.083
41
-7.25
107.25
88
-6.75
105.417
135
-6.417
107.083
182
-5.417
105.25
42
-7.25
107.417
89
-6.75
105.583
136
-6.417
107.25
183
-5.417
105.417
43
-7.25
107.583
90
-6.75
105.75
137
-6.417
107.417
184
-5.417
105.583
44
-7.25
107.75
91
-6.75
105.917
138
-6.417
107.583
185
-5.417
105.75
45
-7.25
107.917
92
-6.75
106.083
139
-6.417
107.75
46
-7.25
108.083
93
-6.75
106.25
140
-6.417
107.917
47
-7.25
108.25
94
-6.75
106.417
141
-6.417
108.083
19
i
Dij
j
Gambar 2.11 Penentuan titik ikat untuk setiap titik yang akan diinterpolasi
20