33
BAB II AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN YANG DILANGSUNGKAN SECARA ADAT
A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan 1.
Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Mandailing Menurut adat Mandailing, di dalam pernikahan harus memenuhi segala
persyaratan menurut hukum agama (Islam) terlebih dahulu. Hombar lo adat dohot ibadat.66 Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli) dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara perkawinan dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut Islam tidak boleh diabaikan. Menurut Islam haram hukumnya boru na ni oli dibawa oleh bayo pangoli sebelum dinikahkan.67 Untuk melanjutkan niat baik ini tentunya harus dilakukan menurut tata cara yang telah diadatkan, karena perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang selalu dilakukan sejak dari nenek moyang.68 Perkawinan bukan saja merupakan urusan individu dengan individu, namun lebih luas lagi yaitu urusan keluarga dengan
66 Hombar lo adat dohot ibadat merupakan istilah Mandailing yang memiliki arti Adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan. Dalam melakukan acara adat dalam bentuk apapun, masyarakat Mandailing berpedoman kepada Hukum Islam. Lihat Pandapotan Nasution, Op.Cit hlm.329 67 Ibid, hlm 330 68 Ibid, hlm 270
33
Universitas Sumatera Utara
34
keluarga. Jika seorang laki-laki (pemuda) menyampaikan keinginannya kepada orangtuanya ingin mempersunting seorang perempuan untuk dijadikan isteri maka kewajiban bagi orang tua untuk merealisasikan keinginannya itu.69 Seperti yang dikutip Hilman Hadikusuma dari pendapat Ter Haar yang menyatakan: “Perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi.”70 Perkawinan pada masyarakat Mandailing bertujuan untuk memperluas kekeluargaan.
Selain
itu,
perkawinan
juga
mempunyai
tujuan
untuk
melanjutkan/meneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga karena hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan marga. Hal ini yang merupakan sifat religius dari perkawinan adat Mandailing dengan menyatakan bahwa perkawinan tidak hanya mengikat kedua belah pihak saja tetapi mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak. Ada upacara dan ritual yang wajib dilakukan agar supaya selamat baik dalam prosesi perkawinan maupun dalam perjalanan rumah tangga dari pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut.71 2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pengertian perkawinan telah dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
69
Ibid, hlm. 271 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung 1983. Hal.22 71 Dominikus Rato, Op.Cit hlm.29 70
Universitas Sumatera Utara
35
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan ketentuan Tuhan yang Maha Esa.” Berdasarkan pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa unsur-unsur penting yang terkait di dalamnya antara lain: 1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin Ikatan lahir batin ini akan terbina pada suami istri, baik dalam hubungan mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, untuk menciptakan tujuan hidup menjadi keluarga yang bahagia dan kekal. 2. Antara seorang pria dan seorang wanita Terdapat asas monogami relatif, yang menjelaskan bahwa perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan wanita 3. Sebagai suami istri Seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri apabila ikatan perkawinan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah yaitu telah memenuhi syarat material dan syarat formal dari suatu perkawinan. 4. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia Tujuan perkawinan tersebut dapat terwujud apabila ikatan lahir batin harus didasarkan atas kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan. 5. Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa
Universitas Sumatera Utara
36
Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia harus berdasarkan norma masing-masing agama. Perkawinan tersebut haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. B. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan 1.
Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Mandailing Menurut hukum adat, secara umum syarat sahnya suatu perkawinan adalah
apabila telah melalui tiga tahap, yaitu: a. Peminangan Peminangan menurut hukum adat berlaku untuk menyatakan kehendak pihak satu ke pihak lainnya dengan maksud untuk melaksanakan perkawinan. Peminangan lazimnya dilakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Lain hal nya di Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal, dimana pihak wanita melakukan peminangan kepada pihak pria. 72 b. Pertunangan Yang dimaksud dengan pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orangtua pihak pria dengan orangtua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan. 73 Pertunangan dikatakan mengikat apabila ada tanda pengikat yang diberikan oleh pihak kelarga pria kepada pihak keluarga wania. Di beberapa daerah seperti
72 73
Hilman Hadikusuma, Op.Cit hal. 47-48 Ibid
Universitas Sumatera Utara
37
Minangkabau, Toba dan Toraja, tanda pengikat diberikan kedua belah pihak sebagai bukti pertunangan. Alasan dilakukannya pertunangan pada masing-masing daerah pastinya berbeda, tetapi terdapat persamaan umum, diantaranya: a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat. b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara mudamudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu. c. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.74 Dengan adanya pertunangan, berlakulah ketentuan tata tertib adat pertunangan yang antara lain meliputi hal-hal sebagaimana di bawah ini, yaitu: a. Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai. Pada masyarakat parental pemenuhan kewajiban dibebankan kepada orangtua/keluarga yang bersangkutan, sedangkan pada masyarakat patrilineal atau matrilineal beban itu tidak semata-mata menjadi beban orangtua/keluarga, tetapi juga melibatkan anggota kerabat lainnya baik kerabat ayah maupun kerabat ibu. b. Baik pria ataupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunangan, begitu pula orang tua/keluarga dan kerabat kedua pihak dilarang berusaha mengadakan hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan, pertunangan dan perkawinan. Mengadakan hubungan dengan yang lain dengan maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertunangan dan batalnya perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati. c. Selama masa pertunangan kedua pihak harus saling membantu dana dan daya yang diperlukan, terutama dalam rangka persiapan perkawinan. d. Kedua calon mempelai harus saling mengawasi gerak tindak dari calon mempelai yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak perilaku dari mereka, baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan mudamudinya.75 74 75
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit, hal.150-151 Hilman Hadikusuma, Op.Cit hal.61-63
Universitas Sumatera Utara
38
Pertunangan ini sendiri seiring berjalannya waktu akan berlanjut ke tingkat perkawinan. Tetapi tidak jarang pihak-pihak yang telah bertunangan ini membatalkan pertunangan mereka sebelum masuk ke jenjang perkawinan. Latar belakang yang menyebabkan putusnya ikatan pertunangan antara lain adalah dikarenakan sebagai berikut: a. Salah satu pihak atau kedua pihak, baik si pria dan si wanita yang bertunangan ataupun kerabat mereka, mungkir janji, misalnya di dalam masa pertunangan itu terjadi si pria melakukan pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si wanita berlarian untuk kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula apabila salah satu pihak pria atau wanita meninggal dunia. b. Salah satu pihak atau kedua belah pihak, menolak untuk meneruskan pertunangan dikarenakan adanya cacat cela pribadi dari pria atau wania yang bertunangan, misalnya cacat cela pribadi dari pria atau wanita yang bertunangan, misalnya cacat sela sifat watak perilaku budi pekerti dan kesehatannya. c. Salah satu pihak menolak untuk diteruskannya ikatan pertunangan dikarenakan pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang dilamar atau sebaliknya pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak (dapat) dipenuhi oleh pihak yang melamar. d. Terjadinya pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan selama berlakunya masa pertunangan diantara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan kesusilaan maupun yang perbuatannya dapat dituntut berdasarkan KUHPidana.76 Menurut ketentuan hukum adat Mandailing, syarat untuk melakukan pernikahan harus melewati beberapa tahap, yaitu77: a. Proses Peminangan Proses ini terdiri dari beberapa bahagian, diantaranya:
76
Ibid,64-65 Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala) pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB 77
Universitas Sumatera Utara
39
1) Maresek Maresek merupakan proses dimana perkenalan antara orangtua kedua belah pihak. Biasanya proses ini diawali dengan pemberian salipi atau dikenal dengan sirih. Salipi merupakan pertanda dimulainya pembicaraan yang berkaitan dengan adat. Pihak perwakilan dari pria menceritakan bahwa pihak mereka mempunyai niat dan itikad baik untuk memperkenalkan pihak mereka kepada pihak calon mempelai wanita. Menceritakan tentang silsilah keluarga, latar belakang pendidikan calon mempelai pria, dan asal mula bertemunya calon mempelai pria dan wanita. Dalam proses maresek ini, pihak yang maresek yaitu pihak calon mempelai pria akan mempertanyakan apakah calon mempelai wanita sudah dilamar pihak lain. Proses ini merupakan proses yang penting. Karena pada adat Batak Mandailing, apabila wanita telah dilamar oleh pihak lain, tidak dipekenankan lagi bagi pihak calon mempelai pria untuk melamar wanita tersebut. 2) Meminang Apabila proses mempertanyakan calon mempelai wanita tersebut telah dijawab oleh pihak wanita dan tidak ada yang telah melamar sang wanita, maka pihak pria memberitahu niat baik mereka untuk meminang atau melakukan proses pelamaran kepada pihak wanita. 3) Penentuan jumlah/besarnya uang kasih sayang Proses ini merupakan proses menyepakati jumlah besarnya uang kasih sayang tersebut dari kedua belah pihak. Uang kasih sayang merupakan uang yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Uang kasih sayang nantinya akan
Universitas Sumatera Utara
40
dipergunakan sebaik-baiknya untuk melengkapi peralatan dan kebutuhan mempelai wanita dalam acara perkawinan tersebut. 4) Penyerahan uang kasih sayang Proses ini diawali dengan kesepakatan dari para pihak tentang hari dan tanggal penyerahan uang kasih sayang, serta besarnya uang kasih sayang tersebut. 5) Penentuan waktu dan tanggal penyelenggaraan pernikahan Setelah melalui proses diatas, pihak pria dan wanita akan berunding untuk menentukan hari, tanggal, serta dimana pernikahan akan dilaksanakan. 6) Ijab Kabul Proses pernikahan harus sah menurut agama Islam.78 Dengan syarat-syarat berikut ini: 1. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan 2. Kedua mempelai haruslah islam, akil baligh (dewasa dan berakal), sehat baik rohani maupun jasmani. 3. Harus ada persetujuan diantara kedua calon pengantin 4. Ada wali nikah 5. Ada saksi 6. Membayar mahar 7. Ijab qabul79 2. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan Adapun syarat-syarat perkawinan dapat dibagi dalam dua golongan besar, yaitu: 1. Syarat Material, yang terdiri dari : 78
Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala) pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB 79 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.53
Universitas Sumatera Utara
41
a.
Syarat Material Absolut
Adapun syarat-syarat yang menyangkut pribadi seseorang yang wajib diperhatikan di dalam melaksanakan perkawinan disebut syarat material absolut yang terdiri dari : 1) Asas monogami 2) Persetujuan antara kedua calon suami istri 3) Memenuhi syarat umur minimal 4) Izin dari orang tertentu di dalam melakukan perkawinan.80 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.” Namun, walaupun demikian Undang-Undang Perkawinan tidak menutup kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin pengadilan, apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Istri tidak dapat memberikan keturunan Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan dalam bentuk apapun.
80
Ibid, hlm. 6-7
Universitas Sumatera Utara
42
Untuk melangsungkan perkawinan, syarat umur minimal adalah pria sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan wanita mencapai umur 16 tahun dan harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan bagi seorang yang sudah mencapai umur 21 tahun tidak perlu lagi mendapat izin dari kedua orang tuanya.81 Mengenai tenggang waktu bagi seorang perempuan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 yaitu: a. Waktu tunggu bagi seorang janda, ditentukan sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari. Apabila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil, tunggu ditetapkan sampai melahirkan. b. Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang perkawinannya putus karena perceraian sedang antara janda tersebut dan bekas suaminya belum terjadi hubungan kelamin. Jadi, perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran darah antara bayi yang sudah ada di dalam rahim ibunya atau diduga bakal timbul dalam rahim ibunya sehingga dapat ditentukan dengan mudah siapa ayah biologisnya. 81
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003. hlm.53
Universitas Sumatera Utara
43
b. Syarat Material Relatif Syarat material yang bersifat khusus (relatif) memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi para pihak untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan) yaitu: 1) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah ataupun ke atas. 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri. 4) Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. 5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 7) Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain.82 2. Syarat Formal83 Syarat
Formal memuat tentang cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan yang erat kaitannya dengan penegasan terhadap perkawinan yang akan dilangsungkan oleh kedua calon suami istri. Hal ini seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: a. Harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan. b. Setelah pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan harus ada pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan tentang akan dilangsungkannya perkawinan.
82 83
Ibid hlm 62-63 Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 hlm.6
Universitas Sumatera Utara
44
c. Perkawinan harus dapat dilaksanakan setelah lewat 10 hari pemberitahuan diumumkan kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dengan persetujuan Camat atau Bupati. d. Perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi dan bila hendak dilaksanakan di luar ketentuan di atas harus ada pemberitahuan terlebih dahulu.84 Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa “perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.” Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: (1) Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang-Undang Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan85 sebagaimana menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.
84 85
Sudarsono, Op.Cit hlm.15-17 Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm.88
Universitas Sumatera Utara
45
Pengertian perkawinan dengan melihat Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UndangUndang Nomor 1 tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” saja akan tetapi juga merupakan “perbuatan keagamaan”. Perbuatan hukum ditandai dengan dilaksanakannya pencatatan perkawinan, dan sebagai perbuatan keagamaan ditandai dengan dilaksanakannya perkawinan menurut ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai.86 Perkawinan di Indonesia, terdiri dari perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan maupun sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama87 dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.88
86
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/VOL10S2012%20Trusto%20Subeti.pdf diakses tanggal 1 November 2012 jam 9.14WIB 87 Pada tahun 1953, Departmen Agama menetapkan 13 (tiga belas) kitab fikh yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: (1) Al-Bajuri, (2) FathalMu’in, (3)Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Syar’iyyat Utsman Ibn Yahya, (4)al-Mahalli, (5) Fath al-Wahab, (6) Tuhfat, (7) Tagrib al-Musytaq, (8) Qawanin al Syari’yyat Utsman Ibn Yahya, (9) Qawanin al-Syar’iyyat Shadaqat Di’an, (10) Syamsuri fi al Fara’id, (11) Bugyat al-Mustarsyidin,(12) al Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, dan (13) Mugni al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65tahun Prof.Dr.Bustanul Arifin,S.H), Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2005, hlm.33 88
Ibid,hlm 69
Universitas Sumatera Utara
46
Seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yaitu: a. Harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan. b. Setelah pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan harus ada pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan tentang akan dilangsungkannya perkawinan. c. Perkawinan harus dapat dilaksanakan setelah lewat 10 hari pemberitahuan diumumkan kecuali dalam hal-hal tertentu yang harus dengan persetujuan Camat atau Bupati. d. Perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi dan bila hendak dilaksanakan di luar ketentuan di atas harus ada pemberitahuan terlebih dahulu.89 Perkawinan yang sah dilakukan menurut syarat-syarat yang berlaku. Hukum positif di bidang perkawinan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 sehingga untuk sahnya suatu perkawinan harus didasarkan pada ketentuanketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Lebih lanjut dalam penjelasannya disebutkan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: 1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa
89
Sudarsono, Op.Cit hal. 15-17
Universitas Sumatera Utara
47
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jelas terlihat bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut tata cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.90 Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu syarat yang diakuinya suatu perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Bagi mempelai pria dan wanita dan petugas agama yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975.91 Peraturan pelaksana UU No.1 tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dalam Pasal 2 antara lain menyebutkan bahwa: 1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat (KUA daerah di mana perkawinan dilaksanakan) 90
Hilman Hadikusuma, Op,Cit hal.88 Abdurrahman, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1978,hal 15-16 91
Universitas Sumatera Utara
48
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.92 Dengan adanya Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan oleh 2 (dua) instansi pemerintah, yaitu: 1. Kantor Urusan Agama (KUA), bagi mereka yang beragama Islam 2. Kantor Catatan Sipil (KCS) bagi mereka yang bukan beragama Islam Menurut Suidus Syahar yang menyatakan bahwa pada hakekatnya tujuan dari Pencatatan perkawinan antara lain: a. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang berkepentingan mengenai perkawinannya sehingga memudahkannya dalam melakukan hubungan dengan pihak ketiga. b. Agar lebih terjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara. c. Agar ketentuan Undang-Undang yang bertujuan membina perbaikan sosial lebih efektif. d. Agar norma keagamaan dan adat serta kepentingan umum lainnya sesuai dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.93 Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, karena terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban perkawinan. Oleh karena itu dalam Pasal 7 ayat (3) 92
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal.75 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Alumni, Bandung,1981 hal 108 93
Universitas Sumatera Utara
49
KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah, tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat, maka dalam hukum positif dianggap tidak sah, karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No.1 tahun 1974).94 Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan gender. Perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.95 Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai perlindungan negara kepada pihakpihak dalam perkawinan, dan juga untuk menghindari kecenderungan dari inkonsistensi penerapan ajaran agama dan kepercayaan secara sempurna/utuh pada perkawinan yang dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan tersebut.96 Negara mengatur syarat-syarat perkawinan sebagai upaya positifisasi norma ajaran agama
94
Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor.1 tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam,Jakarta: PT.Bumi Aksara, 2002, hlm.224 95 M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta, Lentera Hati,2006,hlm.216 96 Putusan MK Nomor 46/PUU-IIV/2010 tanggal 27 Pebruari 2012, hlm.40
Universitas Sumatera Utara
50
atau kepercayaan dalam hukum perkawinan. Syarat-syarat perkawinan yang dirumuskan oleh negara, yang pemenuhannya menjadi syarat pencatatan nikah sekaligus syarat terbitnya Akta Nikah, dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lainnya yang terkait dengan perkawinan dan administrasi kependudukan.97 C. Tata Cara Melangsungkan Perkawinan 1.
Sistem dan Bentuk Perkawinan Adat Mandailing Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (etimologi) dilihat dari keharusan dan
larangan mencari calon istri bagi seorang pria, perkawinan itu dapat berlaku dengan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat hukum adat bertali darah dan atau dengan sistem eleutherogami sebagaimana berlaku di kebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam.98 Oleh karena itu, sistem perkawinan pada masyarakat hukum adat di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Sistem Endogami Pada sistem ini, seseorang hanya diperbolehkan kawin dalam keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini hanya ada di daerah Toraja, namun sebenarnya sistem ini tidak sesuai dengan sistem kekerabatan di daerah itu yaitu parental atau bilateral b. Sistem Eksogami Pada sistem ini seseorang harus kawin dengan orang dari luar suku keluarganya. Sistem ini terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. c. Sistem Eleutherogami Pada sistem ini tidak dikenal adanya larangan-larangan atau keharusankeharusan kawin dengan kelompok tertentu. Larangan-larangan yang ada 97 98
Ibid Hilman Hadikusuma, Op,Cit, hal.61-63
Universitas Sumatera Utara
51
hanyalah yang berkaitan dengan ikatan darah atau kekeluargaan yang dekat. Sistem ini terdapat di daerah Aceh, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, Minahasa, Ternate, Irian Barat, Bali, Lombok, Bangka-Belitung, Kalimantan dan seluruh Jawa Madura.99 Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat Indonesia berbeda, terdapat pula berbagai bentuk perkawinan yang berbeda pula, yaitu perkawinan jujur pada masyarakat patrilineal, perkawinan semanda dalam masyarakat matrilineal dan perkawinan mentas pada masyarakat parental/bilateral. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Mandailing adalah perkawinan manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan.100 Ada beberapa variasi dalam bentuk perkawinan ini, yaitu: 1. Perkawinan ganti suami Terjadinya perkawinan ganti suami (leviraat huwelijk) ini dikarenakan suami wafat maka istri harus kawin dengan saudara suaminya yang wafat. Namun pembayaran uang jujur tidak diperlukan lagi karena istri masih tetap berada dalam lingkungan kerabat suaminya. 2. Perkawinan ganti istri Terjadinya perkawinan ganti istri (vervolg huwelijk) ini adalah kebalikan dari perkawinan leviraat yaitu dikarenakan istri wafat maka suami kawin dengan saudara istrinya yang wafat itu. Pembayaran uang jujur juga tidak diperlukan lagi karena jujur telah diberikan ketika mengambil istri yang wafat. 99
Surojo Wignjodipuro, Op.Cit hal.159-160 H. Pandapotan Nasution ,Op.Cit, hal.330
100
Universitas Sumatera Utara
52
3. Perkawinan mengabdi Terjadinya perkawinan mengabdi (dienhuwelijk) terjadi karena ketika diadakan pembicaraan lamaran, ternyata pihak pria tidak dapat memenuhi syarat-syarat permintaan dari pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki atau kedua pihak tidak menghendaki perkawinan semanda lepas. Oleh karena itu, setelah perkawinan suami akan terus menerus bertempat di kediaman atau berkedudukan di pihak kerabat istrinya. Uang jujur tidak perlu dilunasi karena pihak laki-laki tersebut telah melunasinya dengan mengabdi kepada kerabat isterinya. Bentuk pengabdian ini misalnya membantu pekerjaan mertua dalam pertanian, perdagangan, atau mengurus adik-adik isteri sampai mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri. 4. Perkawinan ambil beri Terjadinya perkawinan ambil beri (ruilhuwelijk) adalah perkawinan yang terjadi di antara kerabat yang sifatnya simetris, yaitu pada suatu masa kerabat A mengambil istri dari kerabat B dan pada amsa yang lain kerabat B mengambil istri dari kerabat A. Ini dilakukan di Lampung, Ambon, Sulawesi Selatan bagian Timur, Pulau Sawu, dan Irian Barat. 5. Perkawinan ambil anak Terjadinya perkawinan ambil anak (inlifhuwelijk) adalah perkawinan yang terjadi dikarenakan hanya mempunyai anak wanita (tunggal) maka anak wanita itu mengambil pria (dari anggota kerabat) untuk menjadi suaminya dan
Universitas Sumatera Utara
53
mengikuti kerabat istri untuk selama perkawinannya guna menjadi penerus keturunan pihak istri.101 2. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat Mandailing Di dalam perkawinan adat Mandailing ini terdapat beberapa larangan untuk melakukan perkawinan. Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang menarik garis kekeluargaan dari pihak ayah mengenal bentuk perkawinan eksogami. Misalnya, bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Batak yang mengharuskan adanya perbedaan klan antara calon mempelai laki-laki dengan perempuan sehingga laki-laki menarik pihak perempuan untuk masuk dalam klannya. Masyarakat patrilineal memiliki ciri mempertahankan kelangsungan generasi keluarganya. Oleh karena itu dikenal beberapa larangan perkawinan, yaitu larangan kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan kawin timbal balik antara dua keluarga yang walaupun berbeda klan tetapi telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan (asymmetrisch commubium) di antara dua keluarga yang bersangkutan.102 Pada masyarakat Mandailing, tidak diperbolehkan melakukan perkawinan apabila pihak pria dan wanita memiliki marga yang sama. Perkawinan ini dilarang dalam adat batak Mandailing karena dianggap berasal dari satu keturunan yang sama. Hal ini akan dibahas dalam markobar atau dikenal sebagai sidang adat yang biasanya dilakukan setelah ijab kabul atau akad nikah yang dilakukan menurut hukum Islam. Di dalam markobar yang biasanya dihadiri raja-raja adat akan diperbincangkan
101 102
Hilman Hadikusuma, Op.Cit hal.76 R. Otje Salman Soemadiningrat, Op.Cit, hal.177
Universitas Sumatera Utara
54
jalan tengah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah adat ini. Perkawinan semarga ini menurut keputusan ketua adat, pada dasarnya dapat disahkan, dengan cara pihak keluarga yang akan melangsungkan pernikahan secara adat diharuskan membayar denda. Denda berupa seekor kerbau yang harus dipotong dan dibagikan kepada masyarakat adat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.103 Terdapat juga aturan lain dimana apabila salah satu mempelai tidak memiliki marga, maka mereka akan diberikan marga. Apabila pihak perempuan yang tidak memiliki marga, maka diberikan marga sesuai dengan marga ibu dari pihak lakilaki.104 Upacara pemberian marga pada pihak mempelai yang tidak bermarga bervariasi. Terdapat pembagian acara sebagai berikut: a. Apabila upacara besar yang dilakukan tetap harus memotong seekor kerbau b. Apabila upacara kecil yang dilakukan, mempelai diperbolehkan memberikan ulos dan amplop sebagai gantinya.105 3.
Sistem dan Bentuk Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam pelaksanaan perkawinan di tengah masyarakat, dikenal beberapa istilah
yang menjadi model perkawinan, yaitu: 1. Perkawinan Monogami
103 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala), pada hari Rabu, 18 Juli 2012,jam 11.00WIB 104 Ibid 105 Hasil wawancara dengan konsultan adat Mandailing, Bapak Ursan Lubis (gelar: Sutan Singasoro), pada hari Kamis, tanggal 2 Agustus 2012, pukul 12.30 WIB
Universitas Sumatera Utara
55
Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya. 2. Perkawinan Poligami Perkawinan Poligami adalah sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama. Perkawinan bentuk poligami ini merupakan lawan dari monogami. 3. Perkawinan Bigami Perkawinan Bigami adalah bentuk perkawinan, dimana seorang laki-laki mengawini dua perempuan/lebih dalam masa yang sama dan semuanya bersaudara. 4. Perkawinan Poliandri Perkawinan Poliandri adalah bentuk perkawinan, dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan.106 Menurut penjelasan dari Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan material. b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan. c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. 106
Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami,Wihdah Press, Yogyakarta, 2004, hal 23-29
Universitas Sumatera Utara
56
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan. f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalah kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.107
d.
Undang-undang Perkawinan menganut asas Monogami. Hal ini sesuai dengan Ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”. Namun ketentuan tentang adanya asas monogami ini bukan hanya bersifat limitatif saja, karena dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan dimana pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri 107
Penjelasan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat dilihat di http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_74.htm , diakses pada hari Minggu tanggal 30 September 2012, pukul 18.43 WIB
Universitas Sumatera Utara
57
pertama tentunya dengan izin pengadilan. Hal ini erat kaitannya dengan berbagai macam agama yang ada yang dianut oleh masyarakat karena ada agama yang melarang untuk berpoligami dan ada agama yang membenarkan atau membolehkan seorang suami untuk melakukan poligami. Khusus yang beragama Islam, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama (Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam) dan yang beragama selain Islam harus mendapat izin dari Pengadilan Negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu. Adapun syarat yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi, jika tanpa izin dari Pengadilan Agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini secara jelas ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan bahwa seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, wajib mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Pengadilan. Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang Pengadilan Agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
58
Persetujuan secara lisan ini nantinya si istri akan dipanggil oleh Pengadilan dan akan didengarkan oleh majelis hakim, tidak hanya istri tetapi suami juga akan diperlakukan hal yang sama. Kemudian pemanggilan pihak-pihak ini dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.108 Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istriistrinya dan anak-anak dengan memperlihatkan: 1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja. 2. Surat keterangan pajak penghasilan. 3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.109 Adapun proses dalam acara pengadilan agama dimana dalam pemeriksaan pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan. Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterima surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.110 Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari satu maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang. 108
A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2003.hal.65 109 Pasal 41 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 110 Pasal 42 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
59
4. Larangan Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang:111 a. Berhubungan darah dari garis keturunan lurus keatas dan kebawah; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan dan saudara susuan dari bibi atau paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin; Larangan-larangan perkawinan yang dirumuskan dalam Pasal 8 tersebut di atas adalah larangan-larangan perkawinan yang sifatnya untuk selama-lamanya. D. Akibat Hukum Perkawinan 1.
Terhadap Hubungan Suami Isteri Dengan menggunakan sistem jujur, suatu perkawinan menurut adat Batak
Mandailing, pembayaran uang jujur mengakibatkan akibat hukum terhadap suami dan istri, yang mana istri diwajibkan masuk ke klan suaminya. Tentang kedudukan 111
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta. Hal 142-145
Universitas Sumatera Utara
60
seorang janda terhadap kerabat mendiang suaminya dalam masyarakat Batak, di dalam pertimbangan hukum putusan RVJ 148/489 disebutkan bahwa menurut adat Batak, seorang janda ada tiga kemungkinan, yaitu: a. Kawin lagi dengan salah seorang dari karib mendiang suaminya (leviraat huwelijk) b. Tetap tinggal tidak kawin dalam lingkungan keluarga mendiang suaminya dengan demikian dia berhak atas anak-anaknya. c. Dengan melakukan tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara si janda dengan keluarga mendiang suaminya.112 Perkawinan yang dilaksanakan secara sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Akibat perkawinan terhadap suami istri, diantaranya: 1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 30) 2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1) 3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2) 4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. 5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka. 6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia. 112
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana,Medan. Hal.19
Universitas Sumatera Utara
61
7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu dengan kemampuannya. 8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. 2. Terhadap Anak yang Lahir Dari Perkawinan Dalam hukum adat, dikenal adanya 2 (dua) macam dasar keturunan, yaitu: a. Keturunan asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak kandung b. Keturunan tidak asli, yang dalam hal ini ialah anak-anak angkatnya.113 Masyarakat mandailing mengelompokkan diri dalam beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang. Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyang sendiri yang membuat masyarakat Mandailing menjadi kesatuan dari beberapa marga yang berlainan asalnya. Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai sekarang masih banyak disimpan oleh masyarakat Mandailing sebagai warisan turun-temurun yang dipelihara baik-baik.114 Bagi masyarakat Mandailing, diharapkan kelahiran keturunan laki-laki agar dapat meneruskan marga, sehingga marga tidak terputus di garis keturunan perempuan. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal)115 Dalam hukum adat, anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak sah jika ibu yang mengandungnya mempunyai suami pada saat melahirkannya. Walaupun suami ibunya tersebut bukan orang tua biologisnya dan tidak dipersoalkan masalah 113
A. Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, 1989, hal.71 http://duakoto.wordpress.com/2007/12/26/marga-marga-mandailing/ diakses pada tanggal 3 Agustus 2012 jam 11.45 WIB 115 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala), pada hari Rabu, 18 Juli 2012,jam 11.00WIB 114
Universitas Sumatera Utara
62
tenggang waktu kawin dan waktu melahirkan. Jikapun terjadi si ibu yang melahirkan tidak punya suami, maka seorang anak tersebut hanya dapat mewaris harta peninggalan ibunya dan jika anak itu yang wafat, maka harta peninggalannya hanya diwarisi ibunya dan keluarga ibunya. Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 terdapat beberapa akibat perkawinan terhadap anak. Diantaranya: a. Kedudukan anak 1) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42) 2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja. (Pasal 43 ayat (1)). Menurut Putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 menyatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.116 Sehingga ayat tersebut harus dibaca “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubngan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”117
116 117
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, hlm.37 Ibid, hlm.35
Universitas Sumatera Utara
63
Menurut Chatib Rasyid dalam kajian yuridis terhadap Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, bahwa yang dimaksud majelis dengan frasa “anak di luar perkawinan” bukan anak hasil zina melainkan anak hasil nikah sirri. Hubungan perdata yang diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak bertentangan dengan nasab, waris, dan wali nikah. Hak yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fikih antara lain, berupa hak menuntut pembiayaan pendidikan atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak untuk menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris, wali nikah, atau hak perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsipprinsip munakahat sesuai fikih.118 b.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anakanak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45) 2) Anak wajib menghormati orang tua dan kehendaknya yang baik. 3) Anak yang dewasa wajib memelihara orangtua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46)
c.
Kekuasaan orang tua 1) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua 118
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2012
Universitas Sumatera Utara
64
2) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 47) 3) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah kawin. Kekuasaan orang tua terhadap diri anak adalah kewajiban untuk memberi pendidikan dan penghidupan kepada anaknya yang belum dewasa dan sebaliknya, anak-anak dalam umur berapapun juga wajib menghormati dan segan kepada bapak dan ibunya. Apabila orang tua kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau menjadi wali, maka hal ini tidak membebaskan mereka dari kewajiban memberi tunjangan-tunjangan dengan keseimbangan sesuai pendapatan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak mereka (Pasal 298 KUH Perdata) Pasal 47 memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini memberi batasan kekuasaan orang tua terhadap anaknya karena ada kemungkinan dicabutnya kekuasaan orangtua tersebut. Meskipun demikian, alasan yang dapat dipergunakan untuk mencabut kekuasaan orang tua dengan keputusan pengadilan adalah dalam hal: 1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. 2. Ia berkelakuan buruk sekali119 Pencabutan atau pemecatan kekuasaan orang tua terjadi dengan putusan hakim atas permintaan: a. Orang tua yang lain 119
Ibid. hlm. 149
Universitas Sumatera Utara
65
b. Keluarga c. Dewan Perwakilan d. Kejaksaan Disamping pencabutan atau pemecatan, maka orangtua yang melakukan kekuasaan orangtua dapat dibebaskan dari kekuasaan orangtua atas permintaan dari Dewan Perwakilan atau tuntutan Jaksa dengan alasan sebagai berikut: 1. Tidak cakap 2. Tidak mampu menunaikan kewajibannya memelihara dan mendidik anakanaknya (Pasal 319 (a) ayat 1 KUH Perdata) Terdapat perbedaan dari pencabutan kekuasaan dengan pembebasan kekuasaan orang tua itu sendiri. Diantaranya: 1. Pencabutan mengakibatkan hilangnya hak penikmatan hasil,sedangkan pembebasan tidak. 2. Pencabutan dilakukan atas permintaan dari orangtua yang lain, keluarga sedarah sampai derajat ke empat, Dewan Perwakilan dan Jaksa, sedangkan Pembebasan hanya diminta oleh Dewan Perwakilan dan Jaksa. 3. Pencabutan dapat dilakukan terhadap orangtua masing-masing meski ia tidak nyata melakukan kekuasaan orangtua, asal belum kehilangan kekuasaan orang tua. 120
120
http://shootjustice.blogspot.com/2009/02/iii-kekuasaan-orang-tua-ouderlijke.html pada tanggal 12 September 2012, pukul 15.03 WIB
diakses
Universitas Sumatera Utara
66
3.
Terhadap Harta Benda yang diperoleh Sebelum Maupun Selama Perkawinan Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan.
Hal ini diatur dalam pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan. a. Harta bawaan Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami dan isteri. Artinya seorang suami atau isteri berhak sepenuhnya untk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya masing-masing. Tetapi bila suami isteri menentukan lain yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan misalnya, maka penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian pula bila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.121 b. Harta bersama Sesuai dengan definisi ayat (1) Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang disebut harta bersama ini ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pecaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat.
121
http://www.lnh-apik.or.id/fact%20-%20pemisahan%20harta%20perk.htm tanggal 12 September 2012 pukul 16.48 WIB
diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
67
Pada dasarnya berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri, meskipun masih terdapat variasi, misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang lelaki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama.122 Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri. Adapun untuk mengetahui luas batas-batas harta bersama ini disamping penting untuk kedua belah pihak suami-isteri, juga penting untuk pihak ketiga sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No.1/1974, maka luasnya harta bersama: 1. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang diatas terdaftar atas nama salah seorang suami atau isteri, maka harta yang atas nama suami atau isteri dianggap sebagai harta bersama. 2. Kalau harta itu diusahakan dan telah dialihkan namanya keatas nama orang lain, jika harta yang demikian dapat dibuktikan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan, maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami isteri. 3. Adanya suatu kaedah bahwa adanya harta bersama istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama, yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama masa perkawinan. Rumusan kaedah ini belum
122
M.Yahya Harahap, Op.Cit hal.117
Universitas Sumatera Utara
68
memenuhi suatu keseimbangan yang adil berdasarkan kepatutan, rumusan itu menguntungkan isteri. 4. Harta atau rumah yang dibangun atau dibeli sesudah terjadi perceraian dianggap harta suami isteri jika biaya pembangunan atau pembelian barang tersebut diperoleh dari hasil usaha bersama selama perkawinan. 5. Harta yang dibeli baik oleh suami atau isteri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami isteri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan. 6. Barang yang termasuk harta bersama suami isteri: a. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri. b. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami-isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai. 7. Jika seorang suami meninggal dunia dan sebelum meninggal dunia mereka telah mempunyai harta bersama, kemudian isterinya kawin lagi dengan lakilaki lain, keadaan seperti ini harta bersama tetap terpisah antara suami yang telah meninggal dengan isteri yang akan diwarisi oleh keturunan-keturunan mereka dan ada/tidak ada hak anak keturunan yang lahir dari perkawinan isteri dengan suaminya yang kedua. Demikian juga sebaliknya jika isteri yang
Universitas Sumatera Utara
69
meninggal maka harta bersama yang mereka peroleh terpisah dari harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan suami dengan isteri yang kedua. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan menurut UU Perkawinan No.1 tahun 1974, diantaranya: 1. Timbul harta bawaan dan harta bersama 2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan unuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36). Mengenai luas harta bersama dengan jelas telah ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) yang hanya diperlukan satu syarat, yaitu harta itu diperoleh selama perkawinan. Oleh karena itu, menurut M. Yahya Harahap yang termasuk harta bersama suami-istri adalah: 1. Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan, termasuk penghasilan yang berasal dari barang-barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan harta bersama itu sendiri. 2. Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai.123 Menurut Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, untuk melindungi istri
123
M. Yahya Harahap, Pembahasan Undang-Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan 1975. Hlm 121
Universitas Sumatera Utara
70
terhadap kekuasaan suami yang sangat luas atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si istri, dapat dilakukan pemisahan kekayaan yang dituangkan dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat secara tertulis oleh kedua calon mempelai atau persetujuan bersama.124 Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan tidak menyebutkan secara spesifik hal-hal yang dapat diperjanjikan, kecuali menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melangar batas-batas hukum dan kesusilaan. Hal ini berarti semua hal asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut termasuk tentang harta sebelum dan sesudah kawin, atau setelah bercerai.125 Pemisahan kekayaan lewat perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam. Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat para pihak dan pihak ketiga terhitung tanggal mulai dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawai pencatat perkawinan menurut Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan dan Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam. Isi perjanjian tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung kecuali ada persetujuan kedua belah pihak untuk merubah dan tidak
124
http://www.lnh-apik.or.id/fact%20-%20pemisahan%20harta%20perk.htm tanggal 12 September 2012 pukul 16.48 WIB 125 Ibid
diakses
pada
Universitas Sumatera Utara
71
merugikan pihak ketiga, menurut Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan.126 Jika terjadi pelanggaran mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perjanjian perkawinan, isteri berhak meminta pembatalan perkawinan atau mengajukannya sebagai alasan gugatan cerai di Pengadilan Agama (Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam). Harta perkawinan dalam hukum adat menurut Ter Haar, dapat dipisah menjadi empat macam, sebagai berikut: a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan. b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan. c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama. d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.127 Dalam hukum adat Mandailing, apabila perkawinan telah dilaksanakan, otomatis bersatulah harta istri dan harta suami seperti yang dikenal dengan istilah harta bersama.128 Sedangkan untuk harta bawaan adalah semua harta warisan yang berasal dari bawaan suami atau bawaan istri sebelum melangsungkan perkawinan. Jenisnya dapat berupa barang yang tidak bergerak maupun bergerak, mungkin berasal 126
Ibid http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Harta%20Bersama%20art.pdf diakses tanggal 6 Desember 2012 jam 9.26 WIB 128 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala), pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB 127
Universitas Sumatera Utara
72
dari bagian harta pustaka atau warisan dari orangtua atau kerabat masing-masing suami atau istri, bisa juga berasal dari pemberian atau hibah dari anggota kerabat, tetangga, sahabat atau berupa hibah wasiat, termasuk hak-hak pakai dan hutang piutang lainnya yang dibawa oleh masing-masing suami atau istri ke perkawinan mereka.129 Pada masyarakat patrilineal yang melaksanakan perkawinan jujur, istri ikut dan tunduk pada hukum kekerabatan suaminya, maka yang disebut harta bawaan adalah barang-barang yang dikuasai suami dan dimilikinya adalah harta penunggu atau harta penanti suami.130
129
Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala), pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB 130 Hasil wawancara dengan tokoh adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala), pada hari Sabtu, 8 Desember 2012,jam 11.00WIB
Universitas Sumatera Utara