TESIS
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (M.H.)
OLEH : NAMA
: TAUFIK
NOMOR MAHASISWA
: 091020078
BIDANG KAJIAN UTAMA
: HUKUM TATA NEGARA
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM RIAU PEKANBARU 2011
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini: Nama
: Taufik
NPM
: 091020078
Program Studi
: Ilmu Hukum
Tempat/Tanggal Lahir
: Simp. 3 Enok, 17 Agustus 1986
Alamat Rumah
: JL. Bersama No. 126 RT 01/RW 09 Tembilahan Hulu
Judul Tesis
: Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Islam
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis ini merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak dibuatkan oleh orang lain serta sepengetahuan saya tesis ini belum pernah ditulis oleh orang lain. Untuk itu bila dikemudian hari Tesis ini terbukti merupakan hasil karya orang lain, atau hasil mencontek Tesis/karya ilmiah orang lain (plagiat), maka gelar Magister Hukum (M.H) yang telah saya peroleh bersedia untuk dibatalkan. Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.
Tembilahan, 30 April 2011 Yang Menyatakan,
TAUFIK
ii
TESIS
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM
NAMA
: TAUFIK
NOMOR MAHASISWA
: 091020078
BIDANG KAJIAN UTAMA
: HUKUM TATA NEGARA
Telah Diperiksa Dan Disetujui Oleh Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Tanggal,
Dr. H. Saifuddin Syukur, SH., MCL
Pembimbing II
Tanggal,
H. Arifin Bur, SH., M.Hum
Mengetahui : Ketua Program Studi
Dr. H. Saifuddin Syukur, SH., MCL
iii
TESIS
AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM
NAMA
: TAUFIK
NOMOR MAHASISWA
: 091020078
BIDANG KAJIAN UTAMA
: HUKUM TATA NEGARA
Telah Dipertahankan Di Depan Tim Penguji Pada Tanggal 21 Juli 2011 Dan Dinyatakan LULUS
TIM PENGUJI Ketua
Sekertaris
Dr. H. Saifuddin Syukur, SH., MCL
H. Arifin Bur, SH., M.Hum
Anggota
Anggota
Prof. Dr. Hj. Ellydar Chaidir, S.H., M.Hum
Efendi Ibnususilo, S.H., M.Hum
Mengetahui : Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Riau
Prof. Dr. H. Syafrinaldi, SH., MCL
iv
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW juga rahmat serta kasih sayang-Nya senantiasa dicurahkan kepada keluarga-Nya, sahabat dan seluruh kaum muslimin dan muslimat dimanapun berada. Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam. Tiap kalimat, kata, dan bahkan huruf memiliki pengertian yang harus ditelaah dan dikaji karena kedalamannya. Tidak ada alasan untuk tidak menjadikan al-Qur’an sebagai landasan sekaligus benteng di setiap lini kehidupan. Selama proses penulisan tesis ini, penulis sadar bahwa pada akhirnya tesis ini masih banyak sekali kekurangannya dan masih jauh dari sempurna. Selama penulisan tesis ini, tidak terlepas dari adanya bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materiil, jasmani maupun rohani, lahir maupun batin. Oleh karena itu, dari lubuk hati yang paling dalam, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. DR. H. Syafrinaldi, SH., MCL. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Riau. 2. Bapak Dr. Saifuddin Syukur, SH., MCL. Selaku Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta memotivasi selama bimbingan hingga diselesaikannya tesis ini. 3. Bapak H. Arifin Bur, SH., M.Hum. Selaku pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta memotivasi selama bimbingan hingga diselesaikannya tesis ini 4. Bapak dan Ibu Dosen serta segenap karyawan Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Riau yang telah banyak membantu selama proses belajar.
v
5. Ibu dan Bapak tercinta atas kasih sayangnya, kesabarannya, doa dan bimbingannya yang selalu mengiringi langkah penulis serta perjuangannya untuk kesuksesan dan kebahagiaan anak-anaknya. Semoga panjang umur. 6. Buat semua teman-teman pascasarjana UIR Pekanbaru kelas Tembilahan, Pak Pohan, Pak Indra Maulana, Bg Dayat, Bg Ijal, Bg Jarot terima kasih buat semua saudarasaudaraku. 7. Buat semua yang ikut mewarnia sejarah perjalanan hidupku. amin...ya Allah.
Serta kepada semua pihak yang telah membantu untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT. Yang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana memberikan balasan sesuai dengan amal salehnya. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT. Jualah kita memohon pertolongan dan perlindungan-Nya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, dan langkah kita senantiasa dalam naungan serta bimbingan-Nya. Amin.
Pekanbaru, 30 April 2011 Penulis,
Taufik
vi
ABSTRAK Fenomena perkawinan beda agama bukan hal yang baru di Indonesia, meskipun Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan yang calon suami atau calon istrinya yang memeluk agama yang berbeda. Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon berbeda agama. Dalam hal ini telah terjadi kekosongan hukum bagi pihak yang ingin melakukan perkawinan. Beberapa cara yang dilakukan sebagai alternatif agar perkawinan keduanya tetap dapat dilaksanakan adalah dengan melakukan perkawinan di luar negeri, atau salah satu pihak meleburkan diri kepada salah satu agama. Namun terjadi permasalahan jika pasangan nikah beda agama di luar negeri ketika kedua pasangan kembali ke Indonesia. Pengaturan Perkawinan di Indonesia mewajibkan adanya pencatatan bagi perkawinan, baik yang dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya pencatatan menimbulkan kembali persoalan apakah perkawinan yang telah dilangsungkan di luar negeri dapat disebut sebagai perkawinan yang sah di Indonesia. Adapun permasalahan yang akan dikemukakan dalam tesis ini adalah bagaimana akibat hukum dari perkawinan beda agama dalam hukum Nasional dan hukum Islam, dan Apa saja persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pasangan yang memilih nikah beda agama. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif terutama untuk mengkaji peraturan perundang-undangan. Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research). Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa salah satu cara yang dilakukan pasangan beda agama adalah melakukan perkawinan di luar negeri atau salah satu harus mengikuti agama salah satu pasangannya. Akan menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari, pernikahan tersebut bisa dikatakan tidak sah dalam hukum Islam walaupun dalam hukum nasional sudah dicatatkan. Adanya pencatatan perkawinan tidak berarti bahwa perkawinan itu sah menurut hukum Islam. Pencatatan hanya merupakan pemenuhan kewajiban administrasi dan memberikan status dalam hidup bermasyarakat. Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat perkawinan tidak sah, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan tidak berhak atas harta warisan. Pasangan yang memilih nikah beda agama juga akan mengalami beberapa persoalan-persoalan yang timbul dimasyarakat, seperti: Split of personality anak, Subjektifitas keagamaan, Kerinduan kesamaan akidah, dan Persepsi negatif masyarakat.
vii
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………….………..
i
SURAT PERNYATAAN ............................................................................
ii
PERSETUJUAN TESIS ..............................................................................
iii
LEMBARAN PENGESAHAN ...................................................................
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………….....
v
ABSTRAK ……………………………………...………………………….
vii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
viii
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………....….………………....
1
B. Masalah Pokok ......………………........………………..
14
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ....................................
14
D. Kerangka Teori ................................................................
15
E. Konsep Operasional …………………………………….
21
F. Metode Penelitian ………………………………………
22
BAB II : TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan ............................
27
1. Pengertian Perkawinan ...............................................
27
2. Pengertian Perkawinan Beda Agama .........................
34
B. Hakikat, Asas, Tujuan Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Islam ........................ viii
35
1. Hakikat Perkawinan ...................................................
35
2. Asas Perkawinan ........................................................
36
3. Tujuan Perkawinan .....................................................
39
C. Syarat dan Larangan Perkawinan ....................................
42
D. Sahnya Perkawinan .........................................................
52
E. Akibat Perkawinan ..........................................................
61
F. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Hukum Nasional dan Hukum Islam .............................................................
62
1. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-Undang
BAB III
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan .................
62
2. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Hukum Islam.
71
3. Pengaturan Perkawinan Beda Agama .........................
76
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Hukum Islam …...........……….....
80
B. Persoalan yang dihadapi dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Hukum Islam ..................... BAB IV
98
: PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................
105
B. Saran ................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
ix
107
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber pokok dari segala peraturan perundang-undangan Negara RI adalah Pancasila dan UUD Tahun 1945. Salah satu sila dari Pancasila dan menempati sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini juga tercantum dalam UUD 1945, salah satu pasal dari UUD 1945 itu menetapkan jaminan negara terhadap pelaksanaan ajaran agama masing-masing.1 Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni: Agama Samawi dan Agama non Samawi; agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Katholik. Keseluruhan agama tersebut memiliki tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horisontal; termasuk didalamnya tata cara perkawinan.2 Ada beberapa hukum perkawinan yang berlaku bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah seperti berikut: 1. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresepeier dalam Hukum Adat (pasal 134 ayat (2) IS). 2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku Hukum Adat. 3. Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku Huwelijke Ordonantie (Kristen Indonesia S. 1933 No. 74). 1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara fiqh munakahat dan undangundang perkawinan, Kencana, Jakarta, 2009, hal. 22-23. 2 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 6.
1
4. Bagi orang Timur Asing. Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan. 5. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka. 6. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 7. Sejak 1 Oktober 1975 berlaku efektif untuk semua golongan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksanaannya.3
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan, akan tetapi tidak selalu bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur di dalam UU NO. 1 Tahun 1974 Lembaran Negara RI. Adapun penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
3
Mphd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; suatu analisis dari uu no.1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal. 55.
2
menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.4 Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.5 Adapun yang sudah menjadi peraturan perundang-undangan negara yang mengatur perkawinan yang ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah: a. Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah Luar Jawa dan Madura. b. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan hukum materiil dari perkawinan. c. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. d. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Sebagian dari materi undang-undang ini memuat aturan yang 4 5
Sudarsono, loc cit. Ibid., hal. 7.
3
berkenaan dengan tata cara (hukum formil) penyelesaian sengketa perkawinan di Pengadilan agama.
Di antara beberapa hukum perundang-undangan tersebut di atas fokus penelitian pada tesis ini lebih diarahkan kepada UU No. 1 Tahun 1974, karena hukum materiil perkawinan keseluruhannya terdapat dalam UU ini. Di samping peraturan perundang-undangan negara yang disebutkan di atas dimasukkan pula dalam pengertian UU Perkawinan dalam bahasan ini aturan atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.6 Salah satu tujuan Syari’at Islam adalah memelihara kelagsungan keturunan melalui perkawinan yang sah menurut agama, diakui oleh Undang-undang dan diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.7 Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 menyebutkan sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”8. Tujuan dari perkawinan adalah: (1) menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai satu tujuan sebagai keluarga yang bahagia, 6
Amir Syarifuddin, op. cit., hal. 20-21. Fuaddudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, 1999, hal. 4. 8 Tihami & Sohari Sahrani (Ed), Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal. 8. 7
4
(2) melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan menyambung cita-cita, (3) menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Tuhan, dan (4) menimbulkan rasa cinta antara suami dan isteri. Maksudnya keduanya saling mempunyai rasa kasih sayang, kasih sayang terhadap anak-anak dan keluarga.9 Seiringan dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang terjadi semakin kompleks. Berkaitan dengan perkawinan, belakangan ini sering tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang dianggap problematis dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai contoh, perkawinan campuran10, perkawinan sejenis11, kawin kontrak, dan perkawinan antara pasangan yang memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. Walaupun perkawinan campuran dan perkawinan bedaagama sama sekali berbeda, bukan tidak mungkin pada saat yang sama perkawinan campuran juga menyebabkan perkawinan beda-agama. Hal ini disebabkan karena pasangan yang lintas negara juga pasangan lintas agama. Selain permasalahan yang berhubungan dengan pengakuan negara atau pengakuan dari kepercayaan/agama atas perkawinan, pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut seringkali menghadapi masalah-masalah lain di kemudian hari, terutama untuk perkawinan beda-agama. Misalnya saja, pengakuan negara atas anak yang dilahirkan, masalah perceraian, pembagian harta ataupun masalah warisan. Belum lagi, dampak-dampak lain, seperti berkembangnya gaya hidup 9
Amini, Kiat Mencari Jodoh, Lentera Basritama, Jakarta, 1997. hal 3. Menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini. 11 Sebagai contoh, lihat http://aruspelangi.pbwiki.com/Profil. Komunitas ini didirikan oleh Arus Pelangi untuk yang mempromosikan dan membela hak-hak dasar kaum lesbian, gay, biseksual, transseksual/transgender 10
5
kumpul kebo atau hidup tanpa pasangan yang terkadang bisa dipicu karena belum diterimanya perkawinan beda-agama. Biasanya, untuk mencegah terjadinya perkawinan beda-agama yang masih belum diterima dengan baik oleh masyarakat, biasanya salah satu pihak dari pasangan tersebut berpindah agama atau mengikuti agama salah satu pihak sehingga perkawinannya pun disahkan berdasarkan agama yang dipilih tersebut. Walaupun demikian, di tengah-tengah masyarakat, pro-kontra pendapat terjadi sehubungan dengan perkawinan beda-agama ini. Salah satu pendapat mengatakan bahwa masalah agama merupakan masalah pribadi sendiri-sendiri sehingga negara tidak perlu melakukan pengaturan yang memasukkan unsur-unsur agama. Namun, di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa perkawinan beda-agama dilarang oleh agama sehingga tidak dapat diterima. Setiap agama, baik itu Islam, Katolik, Protestan, Hindu maupun Budha mempunyai peraturan tentang tata cara perkawinan, syarat-syarat perkawinan atau mengenai larangan perkawinan yang masing-masing agama berbeda-beda. Apabila perkawinan terjadi pada orang yang menganut agama yang sama maka tidak menjadi masalah. Permasalahan terjadi manakala mereka yang berbeda agama hendak melangsungkan perkawinan dan mereka menyadari akan arti iman, karena adanya
cinta
yang
mendalam
ingin
melangsungkan
perkawinan
tanpa
mengorbankan keimanan masing-masing.12 Di kehidupan modern sekarang ini perkawinan bukan saja berakibat pada individu yang melangsungkan perkawinan tapi juga menimbulkan akibat yang luas 12
Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal. 17.
6
bagi pergaulan hidup manusia. Kemajuan komunikasi serta alat transportasi semakin membuka kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk saling mengadakan hubungan, baik antar suku, ras maupun agama. Dari hubunganhubungan ini tidak mustahil akan terjadi perkawinan antar suku, ras dan agama dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Indonesia dikenal dengan masyarakat yang pluralistik atau majemuk, dilihat dari segi etnik, agama, adat istiadat maupun golongan. Karakteristik seperti ini mengakibatkan terjadinya interaksi sosial budaya yang pada gilirannya memunculkan fenomena perkawinan silang antar agama dan budaya, serta etnis maupun golongan yang berbeda.13 Masalah perkawinan merupakan masalah yang komplek, hal ini tidak hanya terjadi antar agama yang berbeda, tetapi juga pada agama yang sama kalau dikaitkan pada hukum yang berlaku baik hukum agama maupun hukum formal di negara kita. Salah satu permasalahan perkawinan adalah masalah perkawinan beda agama. Berbicara mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, tidak akan menarik jika kita tidak menyagkutkan agama. Di zaman yang semakin plural ini pernikahan beda agama kelihatannya semakin banyak dilakukan orang. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu kecocokan dan saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Agama memang memiliki peranan penting dalam sebuah keluarga, karenanya peran agama dalam perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.1/1974 tentang Perkawinan. 13
Narsikun, Poligami Ditinjau dari Segi Agama. Sosial dan Perundang-undangan, Bulan Bintang, Jakarta, 2003, hal. 9.
7
Dalam Islam perkawinan merupakan suatu hal penting dan sakral. Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia di belahan dunia manapun. Begitu pentingnya perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya. Sudah menjadi kenyataan umum bahwa pengaturan masalah perkawinan di dunia tidak menunjukkan adanya keseragaman, keberbedaan itu tidak hanya antara satu agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawianan disebabkan adanya cara berfikir yang berlainan karena menganut mazhab atau aliran yang berbeda. Keadaan dan kondisi di suatu daerah misalkan akan turut mempengaruhi pengaturan hukum (perkawinan) di daerah tersebut. Misalnya di negara Indonesia, bangsa yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain. Keragaman pemeluk agama di Indonesia ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama di Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin dalam hukum keluarga di Indonesia khususnya dalam bidang perkawinan sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi
8
Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Demikianlah ternyata keadaan di suatu negara telah mempengaruhi bagi terbentuknya suatu hukum/aturan di Negara tersebut. Perkawinan (pernikahan) merupakan sarana untuk melahirkan generasi umat manusia yang mempunyai tugas kekhalifahan untuk memakmurkan bumi. Selain itu, pernikahan juga bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang rukun, penuh cinta dan kasih sayang (sakinah, mawaddah wa al-rahmah)." Kehidupan seperti ini merupakan kebutuhan yang telah menjadi fitrah atau naluri setiap manusia. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk pernikahan antar umat yang berbeda agama atau pernikahan lintas agama. Pernikahan lintas agama yang dimaksud adalah pernikahan yang dilakukan antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan orang nonMuslim, baik yang dikategorikan sebagai orang musyrik maupun ahli kitab. Masalah pernikahan lintas agama ini selalu menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama, hal ini karena perbedaan perspektif dalam memahami ayat-ayat atau teksteks agama yang melarang pernikahan orang Muslim dengan orang musyrik. Meskipun pernikahan lintas agama ini tidak diperbolehkan oleh agama Islam dan Undang-Undang, namun fenomena semacam ini terus berkembang. Kita bisa melihat baik dari media masa maupun media elektronik, banyak sekali selebritis yang melakukan pernikahan dengan pasangan yang tidak seagama. Sebagai contoh kasus:
9
1. Pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan aktor Jamal Mirdad. Peristiwa ini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan agama. Lydia Kandou yang beragama Kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Perbedaan agama di antara keduanya tidak menghentikan langkah keduanya menuju mahligai pernikahan, walaupun UU Perkawinan 1974 pasal 2 ayat 1 menghalangi mereka untuk bersatu secara sah. Undang-undang tersebut menyatakan : "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”. Untuk itu, sebuah perkawinan harus disahkan lebih dulu oleh agama yang bersangkutan sebelum didaftar ke Kantor Catatan Sipil. Konsekuensinya, banyak pasangan berbeda agama tidak dapat mendaftarkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil. Karena Undang-undang tersebut, bagi mereka yang akan menikah namun berbeda agama melakukannya secara diam-diam maupun menikah diluar negeri. Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou nekad menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka mati-matian di Pengadilan Negeri. Peristiwa yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu menggemparkan. Tantangan dan kecaman dari agamawan dan masyarakat menghantam secara bertubi-tubi pasangan ini. Ketika mereka berdua memang pada saat itu sedang berada dipuncak karier, liputan berbagai media saat itu membuat peristiwa pernikahan beda agama ini semakin heboh. Tetapi setelah melewati perjuangan panjang dan melelahkan dan didasari cinta yang kuat diantara keduanya, akhirnya dengan bantuan
10
pengacara, pernikahan mereka disahkan juga oleh pengadilan pada tahun 1995. Ibunda Lydia adalah salah seorang menentang habis-habisan pernikahan Lydia yang saat itu berumur 22 tahun dengan Jamal. Karenanya sang ibunda pun pindah dari Jakarta ke Bandung. Lydia tahu bahwa dia menyakiti hati ibunya, maka dua hari sekali Lydia dan Jamal menemui ibunya. Namun dalam kunjungan-kunjungan itu Jamal selalu menunggu di depan rumah. Selama kurang lebih setahun, Jamal rela bolak-balik Jakarta-Bandung dan tidur di mobil, sementara Lydia menginap di rumah sang Ibu. Akhirnya Ibunda Lydia menjadi luluh juga hatinya. Suatu hari, Lydia hendak menginap di rumah Ibundanya, dan tanpa disangka, sang Ibu menyuruh Lydia mengajak Jamal masuk ke dalam rumah. Saat diterima, Jamal pun langsung meminta maaf kepada Ibunda Lydia. Agama dan orangtua bukan masalah satu-satunya yang dihadapi pasangan Lydia Kandou dan Jamal Mirdad ini. Masalah beda budaya juga merupakan masalah yang harus dihadapi keduanya. Lydia yang berdarah ManadoBelanda dan Jamal yang berdarah Jawa membuat mereka harus melakukan penyesuaian diri terhadap karakter dan latar belakang budaya masingmasing. Namun dengan prinsip perbedaan adalah pelajaran buat mereka yang dianggap berharga dan istimewa dan dengan kesabaran dan menghormati perbedaan, pasangan ini dapat melaluinya dengan baik sampai saat ini.
11
2. Perkawinan Agung di Keraton Solo Agustus 1986, yang bersanding memang berbeda agama walau keduanya berdarah Indonesia. Pengantin putri, Gusti Raden Ayu Kus Ondowiyah, putri Paku Buwono XII, beragama Islam, sedangkan pengantin putra, Bandoro Raden Mas Susatya, S.H. beragama Kristen. Keduanya memutuskan untuk tetap pada agamanya masing-masing sehingga jalan tengah dicari:”Kawin di Catatan Sipil”. Mereka kan sudah dewasa kata mertua. Menantu saya itu Sarjana Hukum lagi, pasti sudah berpikir matang-matang, kata Paku Buwono XII menanggapi kawin campur ini. Beda Agama? Bukan persoalan.14
Selain itu, tentunya masih sangat banyak peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media. Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung persoalan-persoalan sosial dan yuridis demikian menurut Dr. Rebecca Liswood dalam bukunya First Aid for The Happy Marriage selanjutnya menurut doktor yang berpengalaman dan mengkhususkan diri dalam bidang perkawinan ini, sesuai dengan pengalaman yang dalam bidang tersebut mengatakan: “Sangat sukar sekali meyakinkan generasi muda untuk merenungkan secara hakiki tentang perkawinan dengan berbeda agama di mana mereka senantiasa akan menghadapi persoalan-persoalan yang sungguh menegangkan dan menentukan. Generasi muda senantiasa menolak dan selanjutnya meyakinkan dirinya bahwa cinta akan dapat mengatasi segala-galanya.”15
14
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat;Menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 55-56. 15 Ibid., hal. 54.
12
Umumnya, selain undang-undang yang berlaku di Indonesia, ajaran agama ternyata sedikit banyaknya juga menjadi "penghalang" pernikahan. Sehingga di antara mereka sebagian besar berinisiatif melakukan perkawinan di luar negeri, atau cara lain yaitu mengadakan perkawinan menurut agama kedua belah pihak. Selain itu banyak juga pasangan yang melaksanakan akad perkawinan lintas agama di Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil mau melaksanakan perkawinan ini berdasarkan kebijakan yang mereka ambil sendiri dengan dasar pemikiran "dari pada mereka hidup bersama di luar perkawinan, lebih baik Catatan Sipil meresmikannya saja". Namun pihak-pihak yang akan melaksanakan akad harus membawa surat dispensasi dari Pegawai Pencatat Nikah atau dari Departemen Agama. Cara-cara di atas dilakukan karena Undang-Undang negara kita tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu" dan Bab VI, mengenai larangan kawin, Pasal 40 ayat (c). Pasal itu berbunyi bahwa "seorang laki-laki Muslim tidak diperbolehkan mengawini perempuan yang tidak beragama Islam"; serta fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah. Pada dasarnya peraturan-peraturan ini, tidak dapat mencegah atau menjawab realitas yang berkembang dimasyarakat, apalagi dengan kenyataan pluralitas dan kemajemukan masyarakatan Indonesia, fenomena pernikahan beda agama semakin banyak ditemukan. Melihat realitas semacam ini
13
Jaringan Islam Liberal yang berpandangan progresif-liberal menyatakan bahwa larangan pernikahan antara agama sudah tidak relevan lagi. Salah satu fenomena hukum yang menarik untuk dikaji bersama di masa modern dan kontemporer ini adalah persoalan pengaturan hukum keluarga di negara-negara muslim, di Indonesia misalkan terjadi kontroversi yang cukup fenomenal atas sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Dalam tulisan ini penulis mencoba mencermati bentuk kontroversi dalam menafsirkan sah atau tidaknya pernikahan beda agama dilihat dari perspektif Islam dan dari sudut pandang perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti fenomena tersebut.
B. Masalah Pokok Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang dikemukakan sebelumnya, maka perumusan masalah yang dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana akibat hukum dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Hukum Islam ? 2. Apa saja persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pasangan yang memilih nikah beda agama ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penulisan ilmiah tentang “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Islam” ini mempunyai beberapa tujuan penelitian:
14
1. Untuk mengetahui dan memberikan pemahaman tentang akibat hukum dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional Dan Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui dan memberi penjelasan mengenai persoalan-persoalan yang akan dihadapi bagi pasangan yang melakukan pernikahan beda agama.
Adapun kegunaan dalam Penulisan ilmiah tentang “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Islam” ini mempunyai beberapa kegunaan penelitian: a. Dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang berguna sebagai sumbangan informasi dalam mengatur perkawinan beda agama di Indonesia dan pemahaman kepada masyarakat tentang pernikahan bagi orang yang berbeda agama dalam UU No.1 Tahun 1974 dan Perspektif Hukum Islam. b. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi masyarakat yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama dan hal-hal apa yang akan dihadapi jika ingin melangsungkan perkawinan beda agama.
D. Kerangka Teori Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat16, artinya bahwa hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, hal ini sesuai dengan pendapat Roscoe Pound, Eugen 16
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004,
hal. 66.
15
Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch dan lain-lain, dimana aliran pemikiran ini berkembang di Amerika. Menurut Soerjono Soekanto dalam teori ilmu hukum, berlakunya hukum dibedakan kedalam tiga macam, yaitu: secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Berlakunya hukum secara yuridis berdasarkan pada kaidah yang lebih tinggi, terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan, menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya. Dengan demikian, hukum dikatakan berlaku secara yuridis, apabila pembentukannya mengikuti urutan dan tata cara yang ditetapkan.17 Berlakunya hukum secara sosiologis, berintikan pada efektivitas hukum. Dalam hal ini ada dua teori: 1. Teori Kekuasaan, pada teori ini hukum yang berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa dan hal itu terlepas dari masalah apakah masyarakat menerima atau menolaknya. 2. Teori Pengakuan, dalam teori ini hukum berlaku secara sosiologis didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Sedangkan berlakunya hukum secara filosofis, artinya hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi misalnya Pancasila, masyarakat yang adil dan makmur dan seterusnya.18 Suatu kaidah hukum yang berfungsi dengan baik harus memenuhi ketiga macam cara berlakunya hukum tersebut : 17 18
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hal. 53. Ibid., hal. 54.
16
a. Bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati b. Kalau hanya berlaku secara sosiologis maka kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa (Teori Pemaksa). c. Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin hukum tersebut hanya merupakan hukum yang di cita-citakan.19
Agar suatu kaidah hukum atau peraturan yang tertulis, benar-benar berfungsi, senantiasa pula diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor : 1) Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri. Kemungkinannya adalah bahwa terjadi ketidak cocokan dalam peraturan perundangundangan, mengenai kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah, ketidak cocokan antara perundang-undangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan, misalnya antara Undang-undang dengan sistem pemerintahan dan kebiasaan yang sederhana di daerah. Kadangkala ada ketidak serasian antara hukum tertulis dengan hukum kebiasaan dan seterusnya. 2) Mentalitas petugas yang menegakkan hukum atau menerapkan hukum. Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pengacara, petugas pemasyarakatan dan seterusnya. Apabila peraturannya sudah baik akan tetapi mental para penegak hukumnya
19
Ibid., hal. 55.
17
kurang baik, maka akan terjadi gangguan pada system penegakan hukum. 3) Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah hukum. Apabila peraturannya sudah baik mental penegak hukumnya juga baik, akan tetapi fasilitas kurang memadai (dalam ukuran tertentu), penegakan hukum tidak akan berjalan dengan semestinya. 4) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut. Kalau kesadaran hukum dan kepatuhan hukum dan prilaku hukum masyarakatnya kurang mendukung, maka hukum itu juga akan sulit ditegakkan.20
Dengan demikian efektif tidaknya suatu peraturan akan dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut di atas. Agar peraturan berjalan efektif, maka keempat faktor tersebut harus berjalan secara seiring dan serasi saling mendukung.
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada beberapa peraturan, diantaranya adalah : 1. Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan 3. UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama
20
Ibid., hal. 58.
18
4. PP No. 9/1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1/1974 5. Intruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Perkawinan di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam memahami perkawinan beda agama menurut undang-undang Perkawinan ada tiga penafsiaran yang berbeda. Pertama, penafsiran yang berpendapat bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974 pasal 2 ayat 1 pasal 8. Pendapat kedua, bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda agama. Pendapat ketiga, bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, oleh karena itu berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974 maka persoalan
19
perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang perkawinan.21 Menurut Prof. Dr. Hazairin S.H., menafsirkan pasal 2 ayat 1 beserta penjelasanya bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk menikah dengan melanggar hukum agamanya., demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Hindu, Budha.22 Menurut hemat penulis, sejak diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan disahkannya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Itu semua tidak akan menyelesaikan masalah pokok tentang perkawinan beda agama di Indonesia, karena Undang-undang yang dibuat memiliki kepentingan Politik pada saat itu. Para pengamat menilai bahwa disahkannya beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan umat Islam itu adalah salah satu bentuk akomodasi pemerintah terhadap kepentingan mayoritas umat Islam. Politik akomodasi ini dalam banyak hal memberi keuntungan bagi pemerintah, yaitu setidak-tidaknya meredam keinginan umat Islam untuk mendirikan Negara Islam.23
21
Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, (Ed) Chuzaimah T Yanggo & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hal. 17-18. 22 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974, Tintamas, Jakarta, 1986, hal. 2. 23 Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Mizan, Bandung, 1993, hal. 28; Bahtiar Effendi. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Umat Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, 1998, hal. 269-310.
20
E. Konsep Operasional Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami pembahasan tesis ini, maka dibutuhkan batasan tentang terminologi yang terdapat dalam judul dan ruang lingkup penelitian ini. Dalam penulisan tesis ini, melihat luasnya bahasan mengenai perkawinan maka penulis hanya membahas mengenai Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum Nasional Dan Hukum Islam dan juga hal-hal yang akan dihadapi bagi masyarakat yang akan melakukan perkawinan beda agama. 1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.24 3. Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. 4. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai isteri, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
24
Pasal 2 (1) UU No. 1 Tahun 1974.
21
5. Hukum Nasional adalah hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia. 6. Hukum Islam adalah hukum-hukum yang mengatur tentang Perkawinan dalam ajaran agama Islam.
F. Metode Penelitian Dalam bahasa Yunani Methodos atau Metode berasal dari kata Meta yang berarti melalui atau mengikuti dan Hodos yang berarti perjalanan atau arah, jadi Metode berarti cara berpikir menurut sistem atau aturan tertentu.25 Dalam sebuah penelitian metode sangatlah penting, karena dengan adanya metode yang sesuai maka penelitian yang kita lakukan akan lebih terarah, dan hasilnya pun dapat dipastikan lebih baik daripada penelitian yang tidak menggunakan metode sebagaimana mestinya. Dalam penulisan karya ilmiah ini metode penelitian yang digunakan oleh penulis dapat dijabarkan dengan langkah-langkah di bawah ini. 1. Jenis Dan Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan Jenis Penelitian Hukum Normatif atau Penelitian Pustaka (Library Research), disebut penelitian hukum normatif karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan yang lain,26 sedangkan sifat penelitiannya adalah diskriptif analitis. Bersifat deskriptif, karena dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan secara menyeluruh dan sistematis mengenai asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan doktrin 25 26
Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 10. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 13.
22
serta perundangan mengenai perkawinan. Bersifat analitis, karena dari hasil penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek hukum yang mendasari dan mengatur tentang Perkawinan Beda Agama.
2. Obyek Penelitian Persoalan perkawinan beda agama adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia saja, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur, yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai kehidupan yang luhur. Penulis menyadari, bahwa sampai saat ini persoalan nikah beda agama masih menjadi perdebatan. Untuk itulah penulis tertarik mengangkat persoalan ini dalam karya ilmiah yang akan penulis jalani, pada umumnya setiap orang menginginkan pasangan hidup yang seagama. Bukan sengaja membeda-bedakan atau mendirikan dinding pemisah antara agama yang satu dengan agama yang lain, namun diharapkan membangun keluarga berdasarkan satu prinsip tentunya diharapkan akan lebih mudah dan permasalahan perbedaan agama tidak perlu muncul dalam rumah tangga. Namun tidak sedikit pula pasangan yang akan melakukan pernikahan dengan perbedaan keyakinannya, hal itu dapat dimungkinkan karena adanya pergaulan antar manusia yang tiada batas. Dengan alasan tersebut tidak
23
dapat dipungkiri bahwa pernikahan antar agama, menjadi hal yang semakin umum di lingkungan masyarakat.
3. Data dan Sumber Data Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa penulisan kali ini berbentuk Penelitian Hukum Normatif atau Penelitian Pustaka (Library Research).27 Jadi, untuk mengumpulkan dan mendapatkan data digunakan adalah data sekunder yang dapat dikelompokan menjadi dua sumber yaitu : a. Bahan Hukum Primer, yaitu sumber data yang berkaitan langsung dengan pokok permasalahan yang sedang dibahas, adapun yang menjadi data primer adalah UUD 1945, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dan juga Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari orang lain baik dalam bentuk turunan, salinan, yaitu berupa buku-buku, tesis, skripsi, makalah, hasil penelitian, jurnal, artikel, surat kabar dan karya pemikiran orang lain sebagai pemikiran keagamaan yang berkenaan dengan pembahasan dalam penulisan ini.
27
Istilah ini sebagaimana yang digunakan oleh Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 202.
24
4. Analisis Data Dalam penelitian ini, Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif, yaitu metode analisis yang menghasilkan data deskriptif analisis28, sehingga mendapatkan suatu uraian yang sistematis dan menggambarkan kenyataan, menganalisis fenomena yang terjadi di masyarakat yang dinyatakan oleh responden secara tertulis ataupun lisan serta perilakunya yang diteliti dan dipelajari secara utuh. Pengertian analisis dimaksudkan sebagai suatu penjelasan secara logis dan sistematis29, logis sistematis menunjukan cara berpikir deduktif30 dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik melalui peraturan Perundang-undangan, karya ilmiah yang berkaitan dengan judul, hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan, ataupun melalui wawancara sebagai data penunjang. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Dari hasil tersebut maka dapat ditarik suatu
28
Deskriptif, yaitu mengumpulkan data yang ada, menafsirkan dan mengadakan analisa yang interpretative. Sedangkan analisis, yaitu metode yang dimaksudkan untuk pemikiran secara konseptual atau makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang dipergunakan, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan, dengan maksud untuk memperoleh kejelasan makna yang sebenarnya. Lihat, Anton Baker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hal. 63-63. 29 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarta, Bandung, 2003, hal. 192. 30 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari suatu Proposisi Umum yang Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang bersifat Aksiomatik (Self Efident) yang Esensi Kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi.
25
kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
26
BAB II TINJAUAN UMUM A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan adalah prilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia, tetapi juga pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah makhluk Allah SWT yang diberi akan, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.31 Di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat
31
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 1.
27
bersangkutan. Seperti halnya aturan perkawinan bangsa Indonesia bukan saja dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat, tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen, bahkan dipengaruhi budaya perkawinan Barat. Jadi walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, namun dalam kenyataannya bahwa di kalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata-upacara perkawinan yang berbeda-beda.32 Pengertian perkawinan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam kaitannya menyaring berbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum perkawinan. Pengertian perkawinan yang dimaksud adalah menurut : a. Perundang-undangan Di dalam pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 dikatakan bahwa “ Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.33 b. Hukum Adat Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai ‘perikatan perdata’, tetapi juga merupakan 32 33
Ibid., hal. 1-2. Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
28
‘perikatan adat’ dan sekaligus merupakan ‘perikatan kekerabatan dan ketetanggaan’. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan sematamata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Perkawinan dalam arti ‘perikatan adat’, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum itu telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan ‘rasan sanak’ (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan ‘rasan tuha’ (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami, istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tua menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.34 Perkawinan dalam arti ‘perikatan adat’, walaupun dilangsungkan antar adat yang berbeda, tidak akan seberat penyelesaiannya daripada berlangsungnya perkawinan yang bersifat antar agama, oleh karena
34
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 8-9.
29
perbedaan adat hanya menyangkut perbedaan masyarakat bukan perbedaan keyakinan.35 c. Hukum Islam Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masingmasing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu ‘perikatan jasmani dan rohani’ yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Arti dari perikatan jasmani dan rohani ialah suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriyah tetapi juga batiniyah, bukan saja gerak langkah yang sama dalam karya tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdo’a.36 Menurut hukum Islam, lebih dikenal dengan pernikahan. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki).37 Menurut hukum Kristen Katolik perkawinan adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total 35
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 10. Hilman Hadikusuma, loc cit. 37 Tihami & Sohari Sahrani, op. cit., hal. 7. 36
30
dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali. Jadi perkawinan adalah perbuatan yang bukan saja merupakan perikatan cinta antara kedua suami istri, tetapi juga harus mencerminkan sifat Tuhan yang penuh kasih dan kesetiaan yang tidak dapat diceraikan. Menurut hukum Hindu, perkawinan (wiwaha) adalah ikatan antara seorang wanita dan pria sebagai suami istri untuk mengatur hubungan seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak pria yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka Put, yang dilangsungkan dengan upacara ritual menurut agama Hindu Weda Smrti. Menurut hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) keputusan Sangha Agung tanggal 1 januari 1977 pasal i dikatakan ‘Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan cinta kasih (Metta), Kasih sayang (Karuna) dan rasa sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa’38. Jadi, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Perkawinan tersebut diatur sesuai hukum perkawinan yang menetapkan : 1) Syarat-syarat sahnya perkawinan
38
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 11-12.
31
2) Cara/prosedur melangsungkan perkawinan 3) Akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
Berkaitan sistem perkawinan ini kita mengenal bentuk-bentuk perkawinan yaitu: a) Perkawinan monogami yaitu perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-undang Perkawinan. b) Perkawinan poligami ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria, atau bisa disebut dengan perkawinan poliandri. c) Perkawinan eksogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan suku dan ras. d) Perkawinan endogamy ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari suku dan ras yang sama. e) Perkawinan homogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang sama. Contohnya, pada zaman dulu anak bangsawan cenderung kawin dengan anak orang bangsawan juga. f) Perkawinan heterogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan.
32
g) Perkawinan cross cousin ialah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah. h) Perkawinan parallel cousin ialah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara. i) Perkawinan eleutherogami ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.39
Hukum perkawinan (tertulis) yang berlaku di Indonesia bersumber pada beberapa peraturan perUndang-undangan antara lain: (1) Buku 1 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bab IV sampai dengan bab XI (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (3) Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (4) Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (5) Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. (6) Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (pasal 1-170 KHI).
39
Libertus Jehani, Perkawinan, Apa Risiko Hukumnya ?, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal. 2-3.
33
Selain sumber-sumber hukum tertulis di atas, setiap kelompok masyarakat adat Indonesia berlaku juga hukum adat masing-masing. Hukum perkawinan adat tersebut masing-masing punya kekhasan dan coraknya sendiri-sendiri.40
2. Pengertian Perkawinan Beda Agama Yang dimaksud dengan perkawinan beda agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat ketentuan yang secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi hanya mengatur perkawinan campuran yang mempunyai arti berbeda dengan perkawinan beda agama. Dalam pasal 57 disebutkan : Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.41
Karena itu hal ini menjadi tidak jelas apakah perkawinan beda agama dilarang atau diperbolehkan. Dalam pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 ditentukan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya 40 41
Ibid., hal. 3-4. Pasal 57 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
34
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ditentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Perkawinan beda agama, sebagaimana telah dikemukakan, bagi orang Islam di Indonesia dilarang dilakukan karena kemudaratannya lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang dapat diraih. Selain itu, proses pemurtadan sering terjadi dalam perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi Manusia.42
B. Hakikat,
Asas,
Tujuan
Perkawinan
Menurut
Peraturan
Perundang-undangan dan Hukum Islam 1. Hakikat Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah. Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan istri. Sedangkan menurut KUHPerdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat. 42
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 178.
35
2. Asas Perkawinan Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Dalam kaitannya dengan perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi dasar atau prinsip dari pelaksanaan perkawinan. Mengenai prinsip atau dasar perkawinan tersebut telah ada pengaturannya didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ditentukan prinsip-prinsip perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman yang pengaturannya terdapat dalam penjelasan umum dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Azas-azas perkawinan tersebut pada prinsipnya ada 6 macam, sebagaimana termuat adalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b. Dalam Undang-undang Perkawinan dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya tersebut dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perUndangundangan yang berlaku. Pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
36
kehidupan seseorang, sebagai contoh kelahiran dengan akta lahir, kematian dengan akta kematian yang dinyatakan dalam surat keterangan, surat akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. c. Undang-undang Perkawinan mengatur azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari 1 (satu) istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu yang sudah diatur dalam peraturan perUndangundangan dan diputuskan oleh Pengadilan. d. Undang-undang Perkawinan menganut prinsip, bahwa calon suami istri tersebut harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Pada kenyataanya bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubungan dengan masalah tersebut maka Undangundang
Perkawinan
menentukan
batas
umur
untuk
melakukan
perkawinan bagi pria maupun wanita, Bagi pria ditetapkan batas umur 19
37
(sembilan belas) tahun sedangkan bagi wanita ditetapkan batas umur 16 (enam belas) tahun. e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan sejahtera, maka Undang-undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersulit terjadinya perceraian. Untuk melakukan perceraian harus dengan dasar atau alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan dan diputuskan oleh Pengadilan. f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan dengan masyarakat, sehingga dengan demikian maka segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.43
Suatu perkawinan yang dilangsungkan tanpa didasari oleh agama atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dipandang sebagai perkawinan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi pasangan yang tetap hidup bersama seatap dengan tidak didasari oleh perkawinan yang sah maka tak ubahnya pasangan tersebut sebagai pasangan “kumpul kebo” yang tidak mempunyai perlindungan hukum baik bagi mereka ataupun bagi anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang tidak sah tersebut.
43
Sudarsono, op. cit., hal. 7-9.
38
3. Tujuan Perkawinan Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, perkawinan adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, sering dianggap bahwa perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa. Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan penting. Bila dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, maka hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual. Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.44 Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan
44
Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., hal. 28.
39
perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama. Di dalam Al-Quran dan hadits, perkawinan dan anak-anak sangat ditekankan. Allah S.W.T menyatakan dalam Al-Quran: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Rum :21)45
Perkawinan menurut agama Islam mempunyai unsur-unsur ibadah, melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebahagian dari ibadahnya dan berarti pula telah menyempurnakan sebahagian dari agamanya. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Dalam syari’at Islam, perkawinan memiliki tujuan-tujuan tertentu, diantara tujuan itu adalah : 1) Meneruskan keturunan. “ Firman Allah S.W.T : Dan Allah menciptakan dari dirimu untukmu jodoh-jodoh dan menciptakan dari jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki yang baik. (Q.S. An-Nahl : 72) Hai sekalian manusia, bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jenis kelamin yang satu menciptakan dari
45
padanya
jodohnya
dan
mengembangbiakkan
daripada
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, J-Art, Bandung, 2004.
40
keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak . . .” (Q.S. An-Nisa : 1)46
Rasulullah S.A.W., bersabda : “ Kawinilah
olehmu
wanita pecinta dan
peranak,
maka
sesungguhnya aku bermegah-megah dengan banyaknya kamu terhadap nabi-nabi yang lain di hari kiamat.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Hibban)
2) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah. Sesuai dengan hadits dari Abdullah bin Mas’ud : “ Hai sekalian pemuda, barang siapa yang telah sanggup di antara kamu kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi (kepada yang dilarang agama) dan memelihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Maka sesungguhnya puasa itu adalah merupakan perisai baginya.” (H.R. Buchari dan Muslim).47
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri, kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya dan sesama anggota keluarga. Firman Allah S.W.T :
46 47
Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., hal. 28. Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., hal. 29.
41
“ Dan diantara tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah bahwa ia menciptakan untukmu dari dirimu jodoh-jodoh agar kamu cenderung kepadanya dan menjadikan antara kamu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran dan kekuasaan) Allah, bagi kamu berfikir.” (Q.S. Ar-Rum : 21).48
4) Untuk menghormati sunnah Rasulullah S.A.W. Rasulullah S.A.W., bersabda : “ . . . maka barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah ia termasuk (umat) Ku.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sedangkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
C. Syarat dan Larangan Perkawinan Menurut pasal 14 KHI dalam melaksanakan perkawinan harus ada calon suami dan istri, wali nikah, dua orang saksi serta sighat akad nikah.49
48
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, J-Art, Bandung, 2004. Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Suatu Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 72. 49
42
Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan. Ikatan antara seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri, mana kala ikatan tersebut didasarkan pada adanya perkawinan yang sah, untuk sahnya perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Supaya perkawinan dapat dilangsungkan, maka calon mempelai harus memenuhi
syarat-syarat
untuk
melangsungkan
perkawinan.
Syarat-syarat
perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975. Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksananya Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Syarat-syarat Materiil
43
Adalah syarat mengenai orang-orang yang hendak kawin dan ijin-ijin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang. Syarat-syarat materiil ini terbagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Syarat materiil mutlak Syarat yang harus dipenuhi setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan yang terdiri dari: 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon suamiistri (Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Perkawinan)50 2) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Perkawinan)51 3) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan)52 4) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11 Undang-undang Perkawinan), yaitu : a) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 hari. b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci
50
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 42. Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 47. 52 Hilman Hadikusuma, loc. cit. 51
44
dengan sekurang-kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari. c) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka tidak ada waktu tunggu.53
b. Syarat materiil relatif Syarat materiil relatif, adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak dikawini, seseorang yang telah memenuhi syarat materiil mutlak diperbolehkan kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa ia hendak kawin, harus memenuhi syarat materiil relatif, syarat-syarat tersebut adalah: 1) Perkawinan dilarang antara 2 (dua) orang yang : a) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas. b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu-bapak tiri.
53
Sudarsono, op. cit., hal. 47-48.
45
d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, bibi susuan. e) Berhubungan saudara dengan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari 1 (satu) orang. f)
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 Undang-undang Perkawinan).54
2) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-undang Perkawinan). 3) Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 Undang-undang Perkawinan).55
2. Syarat-syarat Formal Syarat-syarat formal terdiri dari formalitas-formalitas yang mendahului perkawinan. Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu: 54 55
Sudarsono, op. cit., hal. 46 Sudarsono, op. cit., hal. 46-47.
46
a.
Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
b.
Penelitian syarat-syarat perkawinan Penelitian
syarat-syarat
perkawinan
dilakukan
setelah
ada
pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut Undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti mengenai: c.
Pengumuman
tentang
pemberitahuan
untuk
melangsungkan
perkawinan. Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatankeberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditanda tangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan.56
Maksud dari persetujuan seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (1) adalah persetujuan dari kedua belah pihak calon pasangan suami istri untuk melangsungkan perkawinan yang diberikan dalam keadaan bebas57 yaitu dengan tidak adanya paksaan, penipuan maupun kekhilafan, persetujuan tersebut menjadi 56 57
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 83. Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 42.
47
landasan untuk membina hubungan suatu rumah tangga. Bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan akan tetapi belum memenuhi umur yang telah ditentukan, mereka harus mendapatkan ijin dari kedua orang tua masing-masing calon suami istri hal ini dikarenakan perkawinan bukan semata-mata hubungan antara calon suami istreri saja tetapi juga mempunyai hubungan antar keluarga. Dengan mengingat banyak hal-hal yang mungkin timbul dikemudian hari setelah adanya suatu perkawinan, baik dari pasangan suami-istri itu sendiri maupun dari keluarga termasuk dari orang tua diharapkan tidak adanya perpecahan dalam perkawinan tersebut disebabkan tidak adanya kecocokan atau tidak adanya persesuaian sebelumnya dikarenakan pelaksanaan perkawinan tersebut bukan kemauan dari salah satu pihak saja, baik hanya kemauan dari pasangan itu sendiri atau kemauan dari keluarga ataupun orang tua semata. Dengan adanya persetujuan perkawinan maka resiko dan tanggungjawab dari perkawinan tersebut dipikul secara bersama-sama. Penentuan batasan umur untuk melangsungkan perkawinan seperti yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (1)58 sangat penting artinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh R. Wirjono Projodikoro, bahwa suatu perkawinan disamping menghendaki kematangan biologis, menghendaki juga adanya kematangan psikologis. Namun apabila ternyata dari pasangan yang akan melangsungkan pernikahan ada yang belum memenuhi persyaratan tentang batasan umur maka perkawinan tetap dapat dilangsungkan dengan pengajuan dispensasi ke Pengadilan 58
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
48
atau Pejabat Lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria sebagai calon suami maupun pihak wanita sebagai calon istri. Waktu tunggu bagi wanita yang akan menikah lagi juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 9, dalam pasal tersebut waktu tunggu bagi wanita yang akan melakukan perkawinan lagi dibedakan menjadi 3 (tiga) macam menurut sebab putusnya perkawinan, yaitu : 1. Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena kematian maka waktu tunggu ditetapkan selama 130 (seratus tiga puluh) hari dihitung sejak kematian suami. 2. Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai maka waktu tunggu ditetapkan selama 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan selama 90 (sembilan puluh) hari dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Masa tunggu bagi wanita yang perkawinannya putus baik karena perceraian ataupun kematian dan dalam keadaan sedang hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.59 Pengaturan dari waktu tunggu bagi seorang janda dimaksudkan untuk menghindari adanya percampuran darah dari anak yang sedang dikandung. Sedangkan syarat perkawinan menurut KUHPerdata adalah syarat material absolut yaitu asas monogami, persetujuan kedua calon mempelai, usia pria 18 tahun dan wanita 15 tahun, bagi wanita yang pernah kawin harus 300 hari setelah
59
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 64-65.
49
perkawinan yang lama putus.60 Sedang syarat material relatif, yaitu larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan, larangan untuk kawin dengan orang yang pernah melakukan zina, larangan memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun. Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang larangan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan di larang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.61
60 61
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 66. Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 13.
50
Perkawinan harus dilaksanakan menurut ketentuan agama masing-masing. Menurut hukum Islam adalah tidak sah perkawinan berlainan agama sebagaimana tersebut dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 221 dan Al-Mumtahanah ayat 10.62 Dari sudut agama Kristen juga dapat dilihat dengan tegas nasihat Alkitab dalam 2 Korintus 6 ayat (14). Demikian juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Perkawinan Antar Agama berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional, Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik dan laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita yang bukan beragama Islam (larangan mutlak).63 Ada 2 (dua) bentuk larangan dalam perkawinan terhadap agama lain menurut pandangan hukum islam; 1) Wanita muslim dilarang nikah dengan laki–laki diluar anggota kelompok/clannya yang bukan muslimnya. Ketentuan ini berdasarkan surat Al Baqarah ayat 221 dan surat Al Mumtahanah ayat 10; 2) Laki-laki muslim dibolehkan kawin dengan wanita di luar anggota kelompok/clannya yang tergolong ahli kitab sesuai dengan Nash AlQur’an Surat Al Maidah ayat 5.64
Bentuk larangan yang kedua ini memberikan kemungkinan perkawinan beda agama. Akan tetapi golongan ahli kitab yang dimaksud di sini yaitu Yahudi dan
62
Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., hal. 35. Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama. 64 Sudarsono, op. cit., hal. 63-64. 63
51
Nasrani, di Indonesia agama Yahudi tidak ada, jadi perkawinan inipun tidak mungkin dilaksanakan. Oleh karena itu ruang untuk melakukan perkawinan beda agama di Indonesia bagi hukum Islam tidak ada. Hal ini disebabkan karena Undang-Undang Perkawinan menghendaki tidak adanya perkawinan antar agama. Undang–Undang Perkawinan hanya mengenal perkawinan satu agama, yaitu perkawinan yang dilangsungkan oleh calon suami – isteri yang seagama yang dilangsungkan menurut hukum agamanya yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1). Dengan demikian perkawinan antar agama tidak diperbolehkan lagi karena tidak sah, tetapi pada kenyataannya masih saja terjadi perkawinan antar agama di negeri ini yang biasanya dilakukan di luar negeri dan setelah itu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil di Indonesia sehingga (seolah-olah) mendapat legalitas atas perkawinannya.
D. Sahnya Perkawinan Pengertian perkawinan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan yang bersifat nasional. Dalam kaitannya menyaring berbagai persepsi yang selama ini berkembang dalam membuat pengertian perkawinan yang timbul dari pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan masalah hukum keluarga, khususnya dalam hukum perkawinan. 1. Hukum Adat
52
Erat kaitannya dengan corak konkrit, kontan dan komunalnya bahwa perkawinan65 adalah mempersatukan anggota warganya yaitu antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib, sarana untuk melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya dan juga sarana untuk meneruskan garis keluarga dari suatu persekutuan. 2. Hukum Positif Perkawinan adalah merupakan suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.
Perkawinan menurut agama Islam sendiri adalah suatu proses akad atau ikatan lahir bathin di antara seorang pria dan wanita. Yang menjamin halalnya pergaulan sebagai suami dan istri dan sahnya hidup berumah tangga. Dengan tujuan untuk membentuk keluarga sejahtera, serta atas dasar suatu kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak dan dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama.66 Undang-undang
Perkawinan,
yang
memuat
mengenai
sahnya
perkawinan secara materiil dalam Pasal 2 ayat (1) dan secara formil dalam
65
Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 12. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986, hal. 31. 66
53
Pasal 2 ayat (2), maka secara nasional mengenai sahnya perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.67 Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan sebagai syarat materil suatu perkawinan, menentukan bahwa: ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perUndang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang Perkawinan. Setelah perkawinan dilaksanankan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1), maka untuk selanjutnya dilaksanakan pencatatan perkawinan sebagai syarat formil, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perUndang-undangan yang berlaku.” Diberlakukannya Undang-undang perkawinan yang bersifat nasional ini, secara perlahan telah berpengaruh dalam hal proses perkawinan, apabila ada yang bertentangan dengan ketentuan hukum agama dan ketentuan perUndang-undangan dalam bidang hukum agama. Oleh sebab itulah, hukum adat yang biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan proses perkawinan, semakin banyak ditinggalkan. Kesulitan dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat, serta besarnya pengaruh hukum agama, baik Islam, Nasrani 67
Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cererlang, Yogyakarta, 2000, hal. 13.
54
(Katholik maupun Protestan), ataupun Hindu dan Budha, yang kemudian diserap oleh Undang-undang Perkawinan memperbesar pergeseran pelaksanaan proses perkawinan.68 Walaupun dalam kenyataannya tidak mutlak hukum adat ditinggalkan, karena hukum adat sifatnya fleksibel dan praktis sehingga mampu untuk menerima intervensi dari hukum agama dan menyerap hukum agama tersebut (khususnya hukum agama Islam yang telah lama diserap oleh hukum adat dalam kaitannya dengan perkawinan, sehingga sahnya perkawinan dan syarat perkawinan menurut hukum agama juga telah diresepsi oleh hukum adat). Pada azasnya, Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan antara kedua calon mempelai yang berbeda agama atau keyakinan. Hal ini sebagaimana dimaksud dan diatur Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketegasan pelarangan perkawinan beda agama ditegaskan pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Adanya resepsi hukum adat dalam ke dalam hukum agam (Islam) tidak menimbulkan perubahan yang besar atau drastis bagi seorang pemeluk agama Islam yang juga memegang teguh hukum adatnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang memberlakukan KUHPerdata terhadap dirinya. 68
Bahder Johan Nasution & Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 12.
55
Berdasarkan pada kenyataan sosial seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa perlu kiranya pengkajian ulang terhadap Pasal 2 ayat (1) Undangundang Perkawinan. Oleh karena masih berkembangnya pendapat perkawinan itu tidak hanya urusan duniawi tetapi juga masalah Tuhan. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkawinan gereja (kerkelijk huwelijk) yang merupakan salah satu contoh perkawinan secara agama yang tidak dilampirkan di Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand) sehingga perkawinan tersebut sah menurut agama, tetapi tidak sah menurut Undang-undang terutama pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Perkawinan.69 Untuk itulah, guna menghindari timbulnya persepsi yang berbeda seperti contoh yang dikemukakan di atas. Diusahakan adanya Hukum Negara yang ditetapkan oleh pihak yang berwajib dengan syarat harus sinkron dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan: Bahwa sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan
mempunyai
hubungan
yang
erat
sekali
dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
69
Menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
56
Juga seperti yang tercantum dalam butir ketiga dari penjelasan umum Undang-undang Perkawinan, yang berbunyi: Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. Terlepas dari adanya kelemahan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan seperti yang telah diuraikan di atas. Maka sudah menjadi ketentuan yang pasti, bahwa sahnya suatu perkawinan harus dijalankan dengan agama masing-masing dan kepercayaannya itu. Dalam hal ini terlihat bahwa hukum negara, yaitu Undang-undang Perkawinan telah melakukan suatu bentuk sinkronisasi terhadap hukum agama yang berlaku di masyarakat. Atau dengan kata lain, menyerahkan sepenuhnya persyaratan yang timbul atau yang datangnya dari hukum agama dan kepercayaannya selama tidak bertentangan dengan hukum negara yang ada. Misalnya bagi penganut agama Islam, untuk melangsungkan suatu pernikahan harus memenuhi rukun dan syarat nikah sesuai dengan yang ditentukan dalam agama Islam. Begitu pula untuk pemeluk agama lainnya, apabila segala persyaratan yang timbul dari hukum agama masing-masing terpenuhi, maka hukum negara akan menguatkan atau mengukuhkan perkawinan itu dengan mencatat
57
perkawinan tersebut. Sesuai yang tercantum pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, yaitu pada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bagi yang beragama di luar agama Islam, sebagai suatu syarat administrasi guna mengadakan
suatu
tertib
administrasi
bagi
setiap
perkawinan
yang
dilangsungkan. Sahnya suatu perkawinan yang berdasarkan hukum agama, tidak akan menimbulkan masalah jika kedua mempelai memiliki agama yang sama. Akan tetapi akan timbul masalah jika terdapat perbedaan agama. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut Undang-undang Perkawinan, suatu perkawinan dianggap sah: a. Diselenggarakan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya, artinya perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami istri dan atau keluarganya.70 b. Dilaksanakan menurut tata tertib yang ditentukan oleh hukum masingmasing agama dan kepercayaan. c. Dicatatkan menurut perundang-undangan, dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah dari Kantor Catatan Sipil bagi orang non-muslim pribumi maupun keturunan dan Kantor Urusan Agama (KUA) bagi muslim baik pribumi maupun keturunan.
70
Hilman Hadikusuma, op. cit., hal. 26-27.
58
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu; perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama.71 Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya. Keikut-sertaan pemerintah dalam kegiatan perkawinan adalah dalam hal menyangkut proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan; “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-anaknya termasuk untuk kepentingan harta kekayaan
yang
terdapat
dalam
perkawinan
tersebut.
Pencatatan
perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah, Talak Dan Rujuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Bagi mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan, 71
sehingga
hanya
bersifat
administratif,
karena
sahnya
Wahyono Darmabrata, Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hal.
101.
59
perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya. Adapun tahapan atau proses pencatatan perkawinan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 antara lain; 1) Memberitahukan kehendak dilangsungkannya perkawinan secara lisan amaupun tulisan oleh calon mempelai atau orang tua atau walinya. Pemberitahuan memuat identitas dan disampaikan 10 (sepuluh hari) sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 4 dan 5, PP Nomor 9 Tahun 1975); 2. Setelah semua persyaratan dipenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan
perkawinan
tersebut
menurut
dimasukkan
Undang-undang,
dalam
buku
daftar
maka dan
diumumkan. (Pasal 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975); 3. Setelah
perkawinan
dilangsungkan
kedua
mempelai
harus
menandatangani Akta Perkawinan yang dihadiri dua saksi dan pegawai pencatat perkawinan. Sedangkan yang beragama islam akta tersebut juga ditanda tangani oleh wali nikah. (Pasal 12 dan 13 PP Nomor 9 Tahun 1975); 4. Untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua mempelai masing-masing diserahkan kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti.
60
E. Akibat Perkawinan Perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat di bidang hukum. Akibat hukum tersebut adalah : 1. Timbulnya hubungan antara suami isteri. Dalam hubungannya sebagai suami isteri dalam perkawinan yang sah, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menegakkan rumah tangganya. 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan. Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang – Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. 3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak Akibat hukum terakhir dari perkawinan yang sah adalah adanya hubungan antara orang tua dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal 49 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974.72
Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara agama saja, dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Catatan Sipil, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu Pasal 2 ayat (1) dan
72
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. hal. 22-23.
61
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan. Seperti telah dijelaskan diatas bahwa perkawinan yang sah akan mengakibatkan
anak-anak
yang
dilahirkan
tersebut
menjadi
anak
sah.
Prodjohamidjojo mengatakan; “ Bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahiran akibat dari persetubuhan setekah dilakukan nikah. Sedangkan di dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa; “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.73 Lebih lanjut didalam Pasal 43 Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa; a. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. b. Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.74
F. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Hukum Nasional dan Hukum Islam 1. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Perkawinan beda agama, sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, termasuk dalam pengertian perkawinan campuran,
73 74
Soetojo Prawirohamidjojo, op. cit., hal. 140. Pasal 43 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
62
perkawinan campuran itu sendiri sebelum Undang-undang Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158. Pengertian dari perkawinan campuran dalam Ordononansi Perkawinan Campuran S. 1989 No. 158 pada Pasal 1 disebutkan bahwa : ” Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan.” Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan bahwa : ”Perbedaan agama, suku, bangsa atau keturunan, sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan”, ketentuan tersebut membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan perkawinan beda agama. Berdasarkan uraian di atas, sebelum dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan disahkan, dengan dasar hukum Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158. Sejak tahun 1974, bangsa Indonesia telah mempunyai Undang-undang yang mengatur perkawinan dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Undang-undang yang mengatur masalah perkawinan tersebut adalah Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.
63
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat dirumuskan unsur-unsur dari perkawinan sebagai berikut : a. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita. b. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia. c. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
Pengertian perkawinan, di mana pelaksanaan perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan keTuhanan Yang maha Esa, mempunyai akibat langsung terhadap sahnya suatu perkawinan. Mengenai sahnya perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, secara eksplisit melalui Pasal 2 ayat (1) menentukan: ”perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ketentuan yang sudah jelas ini lebih diperjelas lagi oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 : ”dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya Dari Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
64
dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta atau pastur (bagi Umat Kristen) telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agamanya dan kepercayaannya. Perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya,
kalau
tidak
maka
perkawinan tersebut dapat dikatakan tidak sah. Hukum masing-masing agama menjadi dasar dari sahnya perkawinan, hal tersebut berarti pelaksanaan perkawinan hanya tunduk pada 1 (satu) hukum agama saja, dengan kata lain perkawinan tidak dapat dilaksanakan dengan menggunakan 2 (dua) hukum agama yang berbeda. Perkawinan beda agama termasuk masalah rumah tangga yang banyak mengandung persoalan-persoalan sosial dan yuridis demikian menurut Dr. Rebecca Liswood dalam bukunya “First Aid for The Happy Marriage”
selanjutnya
menurut
doktor
yang
berpengalaman
dan
mengkhususkan diri dalam bidang perkawinan ini, sesuai dengan pengalaman yang dalam bidang tersebut mengatakan: “Sangat sukar sekali meyakinkan generasi muda untuk merenungkan secara hakiki tentang perkawinan dengan berbeda agama di mana mereka senantiasa
akan
menghadapi
persoalan-persoalan
yang
sungguh
menegangkan dan menentukan. Generasi muda senantiasa menolak dan
65
selanjutnya meyakinkan dirinya bahwa cinta akan dapat mengatasi segalagalanya.”75 Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah perkawinan beda agama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 maka tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda agama. Seperti pada penjelasan sebelumnya, sebelum dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 dan setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan campuran diatur secara tegas di dalam Pasal 57, adapun isi dari Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah: ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari kedua peraturan perundang-undangan diatas, yaitu Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sama-sama mengatur tentang perkawinan campuran, namun dalam hal pengertian perkawinan campuran terdapat perbedaan diantara keduanya, di dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158, perkawinan campuran mengatur perkawinan beda agama, suku, bangsa atau
75
Mohd. Idris Ramulyo, loc. cit.
66
keturunan, sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan
campuran
hanya
perbedaan
kewarganegaraannya
saja,
perkawinan beda agama tidak termasuk bagian yang diatur, baik di Pasal 57 maupun di pasal-pasal yang lain di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya, pada Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu ”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Chiristen Indonesia S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijke S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Dengan berdasarkan pada pasal tersebut, ada 2 (dua) pandangan mengenai segi keberlakuannya, yaitu : 1) Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan,
berdasarkan
Pasal
66
Undang-undang
Perkawinan, perkawinan beda agama yang sebelumnya diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158, dinyatakan tidak berlaku lagi. 2) Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama tetap berdasarkan pada
67
Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158, karena perkawinan beda agama tidak diatur di dalam Undang-undang Perkawinan.
Sebagai pedoman untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama seperti tersebut diatas, dengan melihat pasalpasal dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, hal ini mengisyaratkan bahwa Undang-undang menyerahkan kepada masingmasing
agama
untuk
menentukan
cara-cara
dan
syarat-syarat
pelaksanaan perkawinan tersebut (disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh negara), jadi suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Selain melihat dari Pasal 2 ayat (1), untuk mengetahui kejelasan permasalahan perkawinan beda agama dapat dilihat juga dalam Pasal 8. Dapat diketahui dari Pasal 8, Undang-undang Perkawinan melarang pelaksanaan perkawinan bagi 2 (dua) orang yang berhubungan darah baik garis keturunan lurus kebawah atau keatas maupun garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, susuan serta saudara dari istri atau
68
bibi atau kemenakan serta mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Sesuai dengan permasalahan yang penulis rumuskan, pasal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Nomor 1974, yang meyatakan: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”,76 dari ketentuan Pasal 8 huruf (f) tersebut dapat dilihat bahwa disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan-peraturan lainnya, juga ada larangan-larangan yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya. Di lain pihak, hukum Islam secara tegas melarang perkawinan beda agama, hal tersebut berdasar pada ayat-ayat suci Al-Quran, yaitu : a) Surah Al-Mumtahanah ayat (10) : ”Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang
76
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, op. cit., hal. 149.
69
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana.” b) Surah
Al-Baqarah
menikahkan
ayat
orang-orang
(221) musyrik
:“Dan
janganlah
(dengan
kamu
wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” Dengan demikian maka, dengan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan suatu perkawinan, dan perkawinan beda agama dipandang dari hukum Nasional dan hukum agama Islam pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, maka perkawinan beda agama tidak sah. Sehingga
70
perkawinan beda agama menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak sah, karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut berakibat tidak sahnya pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil.
2. Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Hukum Islam Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tenteram akan dapat terwujud, bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama, maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tata krama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya. Perkawinan beda agama, sebagaimana telah dikemukakan, bagi orang Islam di Indonesia dilarang dilakukan karena kemudaratannya lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang dapat diraih. Selain itu, selain itu proses pemurtadan sering terjadi dalam perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi Manusia.77
77
Neng Djubaedah, loc. cit.
71
Selanjutnya di dalam pasal 44 KHI ada dinyatakan bahwa : seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.78 Dalam rangka memilih seorang calon suami atau istri, agama Islam menganjurkan hendaknya di dasari oleh norma agama atau moral. Di mana dalam hal ini, seseorang calon tersebut haruslah berahklaq mulia dengan tidak mendasarkan pada materi atau derajat semata-mata.
Pendasaran ini telah disabdakan oleh Rasulullah S.A.W : ”Janganlah
kamu
kawini
perempuan-perempuan
itu
karena
kecantikannya, karena kecantikannya itu mungkin akan menghinakan mereka. Dan janganlah kamu kawini mereka itu sebab harta bendanya, mungkin karena harta bendanya itu mereka jadi sombong, namun kawinilah mereka itu karena dasar agama. Sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang mempunyai agama lebih baik kamu kawini dari pada mereka itu.”
Hukum Islam melarang mutlak perkawinan beda agama bagi wanita Islam. Para ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang lelaki non muslim.
78
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, op. cit., hal. 153.
72
Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut : Surah Al-Mumtahanah ayat (10) : ”Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orangorang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana.”
Surah Al-Baqarah ayat (221) : “ Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
73
Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya.”79
Firman Allah di atas menegaskan kepada para wali untuk tidak menikahkan wanita Islam dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, artinya wanita Islam mutlak haram kawin dengan laki-laki selain Islam baik laki-laki musyrik atau Ahlulkitab. Dengan begitu dapat ditegaskan bahwa satu syarat sahnya perkawinan seorang wanita Islam, ialah pasangannya harus pria Islam Namun bagi pria Islam masih terdapat perbedaan pendapat diantara para ahli hukum Islam. Perbedaan pendapat tersebut dapat digolongkan : a. Melarang secara mutlak b. Memperkenan secara mutlak c. Memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu.
Terdapatnya perbedaan pandangan tentang perkawinan beda agama, antara pria Islam dengan perempuan non Islam dikarenakan ada perbedaan dalam hal pendasarannya. Pendasaran dari Al-Quran yang memperkenankan secara mutlak dapat dilihat di dalam surat Al-Maidah ayat (5) dikatakan bahwa seorang pria yang beragama Islam boleh atau halal kawin dengan seorang wanita yang masih berpegang teguh dengan kitab-kitab Allah sebelum kerasulan Muhammad S.A.W, atau kawin dengan wanita ahli kitab sebelum kitab Al-Quran diturunkan. Jadi tegasnya, yang boleh dikawini
79
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, J-Art, Bandung, 2004.
74
seorang pria Muslim adalah wanita-wanita yang berpegang teguh kepada kitab-kitab Zabur, Taurat, Injil dan Al-Quran atau wanita-wanita yang memeluk agama Yahudi, Nasrani atau Islam. Sedangkan pendapat para ahli yang melarang secara mutlak seorang pria melakukan perkawinan beda agama dengan mendasarkan pada sejarah Khulafaurrasyidin Sayyidina Umar Bin Khatab. Di mana Khulafaurrasyidin Sayyidina Umar Bin Khatab tidak menyenangi terjadinya pernikahan antara Muslim dengan ahli kitab, bahkan beliau pernah menyuruh sahabat-sahabat nabi yang beristrikan ahli-ahli kitab untuk menceraikannya, selanjutnya beliau menganggap Nshoral Arab (orang-orang Arab yang beragama Nasrani) tidak termasuk ahli kitab seperti yang dimaksud oleh Allah dalam surat Al-Maidah ayat (5), karena mereka hakekatnya telah menyimpang dari ajaran kitab asli, dan mereka telah musyrik. Memperkenankan dengan syarat-syarat tertentu bagi pria Muslim mendasarkan pada pendapat Yusuf Al-Qardlawi, kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu : 1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi. 2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina). 3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Untuk itulah perlu
75
dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh, harbiyah dilarang dikawini.
Sedangkan
dalam
Al-Quran
dan
tafsirnya,
kelompok
penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyampaikan suatu pandangan bahwa dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan ”Ahlulkitab” dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki ”Ahlulkitab” dan laki-laki lainnya.
3. Pengaturan Perkawinan Beda Agama Meskipun perkawinan beda agama telah banyak terjadi di Indonesia, namun sampai saat ini masalah tersebut masih menjadi perdebatan antara boleh atau
tidaknya
dilaksanakan
perkawinan
beda
agama.
Undang-undang
Perkawinan sendiri belum memberikan jawaban atas permasalahan tersebut, hal ini dikarenakan belum diaturnya secara tegas mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-undang Perkawinan, begitu juga dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Departemen Agama, sebagai pusat dalam hal keagamaan belum juga memberikan jalan keluar menyangkut permasalahan perkawinan beda agama, karena belum adanya kata sepakat dari para ahli Hukum Islam tentang halal atau tidaknya perkawinan beda agama tersebut.
76
Undang-undang
Perkawinan
No.
1
Tahun
1974,
menyerahkan
sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan dilarang atau diperbolehkannya perkawinan beda agama tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan. Sebelum diberlakukan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan, sudah ada beberapa peraturan yang mengatur masalah perkawinan yang berlaku bagi masing-masing golongan dalam masyarakat. Dengan berpedoman Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu : ”Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Chiristen Indonesia S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regelling op de gemengde Huwelijke S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”80 Maka peraturan-peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum adanya Undang-undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Timbul suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-undang Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan, dimana Pasal 57 menegaskan :
80
Pasal 66 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
77
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” Pemasalahan yang diatur dalam Pasal 57 adalah perkawinan yang para pihak berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda dalam hal agamanya. Sedangkan peraturan tentang perkawinan campuran sebelum Undang-undang Perkawinan diberlakukan diatur dalam Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa : ” Yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan.” Dalam Pasal 7 ordonansi tersebut juga menegaskan bahwa : ”Perbedaan agama, bangsa atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan itu. Jadi ketentuan tersebut membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan perkawinan beda agama.” Melihat permasalahan tersebut diatas, yang tidak berlaku itu adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada sejauh hal-hal itu telah diatur dalam Undang-undang yang baru ini. Jadi bukanlah peraturan perundangan itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai.” Dengan melihat kenyataan yang ada, bahwa perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan Kantor Catatan Sipil ternyata memberikan wadah bagi
78
pencatatan perkawinan beda agama, maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang bersangkutan. Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, begitu juga dengan perkawinan beda agama. Dalam perkawinan beda agama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak tidak berbeda dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya perbedaan agama dari masing-masing pihak. Setelah terpenuhinya syarat-syarat dari perkawinan tersebut, maka Kantor Catatan Sipil akan melakukan proses pencatatan serta mengeluarkan akta perkawinannya. Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia masih berpedoman pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Perkawinan, jo Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Sedangkan peraturan yang lama yaitu Ordonansi Perkawinan Campuran S. 1898 No. 158 masih terjadi silang pendapat, boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk pelaksanaan perkawinan beda agama.
79
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Akibat Hukum dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Hukum Islam Keaneka-ragaman masyarakat di Indonesia, yang menyatu dalam pergaulan hidup bersama serta ditunjang dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang, menyebabkan terkikisnya jurang pemisah dalam interaksi antar manusia dengan manusia yang lain. Dalam pergaulan hidup mayarakat tersebut sering kali mereka mengadakan perbuatan hukum, antara lain saling mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, tidak terkecuali perkawinan beda agama.81 Masalah perkawinan bukan sekedar merupakan masalah pribadi dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan masalah yang berkaitan dengan keagamaan yang erat sekali hubungannya dengan kerohanian seseorang. Sebagai masalah keagamaan, karena setiap agama mempunyai aturan sendiri-sendiri tentang perkawinan, maka pada prinsipnya perkawinan diatur dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dari ajaran agama yang dianut. Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan ini juga menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan dapat dianggap juga sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya, dimanapun juga pengaruh 81
Zakiyah Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Semarang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hal. 71.
80
agama yang paling dominan terhadap peraturan-peraturan hukum adalah di bidang hukum perkawinan. Perkawinan merupakan sesuatu peristiwa hukum yang sangat penting, sama pentingnya dengan peristiwa-peristiwa hukum lainnya, seperti kelahiran, kematian, perceraian dan sebagainya. Perkawinan merupakan gejala universal dan merupakan kebutuhan manusia yang asasi untuk membentuk keluarga dan penerus keturunan. Perkawinan telah terpola berdasarkan adat, agama maupun kepercayaan masyarakat.82 Untuk menjembatani pola-pola perkawinan yang beraneka ragam tersebut di atas, sekaligus memberikan landasan hukum yang dapat dijadikan pegangan bagi berbagai bangsa dan golongan yang ada di Indonesia, maka pemerintan telah mengatur perkawinan secara nasional dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni dalam Pasal 2 ayat (1) mengatur bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya dan perundang-undangan
tiap-tiap yang
perkawinan
berlaku.
Setiap
tersebut warga
dicatatkan Negara
menurut
hendaknya
melaksanakan setiap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebab semua peraturan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk kepentingan masyarakat demikian juga dalam hal perkawinan. 82
Departemen Dalam Negeri, Bahan Ajar Pencattan Perkawinan dan Perceraian Dalam Kerangka Sistem Admintrasi Kependudukan, Pusdiklat Kependidikan dan Pembangunan Depdagri, Jakarta, 2006, hal. 1.
81
Undang-undang secara eksplisit melalui Pasal 2 Ayat (1) menentukan: "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Ketentuan yang sudah jelas ini bahkan diperjelas oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal yang bunyinya: "dengan perumusan pada Pasal 2 Ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kecercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945; yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini". Hannah dan Abraham Stone berpendapat bahwa, “ jika mereka ingin menikah hanya karena sudah mencapai hubungan yang romantik dan merasa saling tertarik antara satu dengan lainnya, memang bagi mereka tidak memikirkan sedikit pun kemungkinan bahaya dan bencana yang mesti mereka hadapi dalam kehidupan rumah tangga mereka kelak”.83 Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini, pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang lingkupnya kecil dan sempit, seperti pembatasan golongan, suku, ras dan agama. Namun hubungan antar manusia telah berkembang begitu pesatnya, sehingga menembus dinding-dinding yang sebelumnya menjadi pemisah bagi kelangsungan hubungan mereka. Adakalanya apa yang terjadi di lingkungan masyarakat belum sepenuhnya diatur secara tegas oleh perangkat
83
Mohd. Idris Ramulyo, op. cit., hal. 59.
82
peraturan-peraturan yang sudah ada, dalam kaitannya dengan masalah perkawinan dapat diambil sebagai contoh masalah perkawinan beda agama. Ada beberapa akibat hukum dari perkawinan beda agama, antara lain: 1. Perkawinan Tidak Sah Permasalahan yang timbul dari perkawinan beda agama ini adalah belum diatur secara tegas mengenai dapat atau tidaknya perkawinan beda agama dilaksanakan. Hal ini akan menimbulkan keragu-raguan bagi pasangan yang akan melaksanakan perkawinan beda agama, keraguaraguan ini timbul karena belum adanya kepastian hukum bagi pasangan yang akan melaksanakan penikahan beda agama. Semakin luas dan terbukanya hubungan antar manusia tersebut mempunyai dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, salah satu dampak tersebut dapat kita lihat dalam masalah perkawinan, di mana terhadap masalah perkawinan sering terjadi perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama di Indonesia dalam kenyataanya sudah sering terjadi, terutama pada masyarakat perkotaan yang heterogen, dan ternyata perkawinan beda agama sejak dahulu hingga sekarang masih menimbulkan persoalan, baik dibidang sosial maupun dibidang hukum. Perkawinan beda agama, adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagai istri, yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
83
Perkawinan beda agama, sebagaimana telah dikemukakan, bagi orang Islam di Indonesia dilarang dilakukan karena kemudaratannya lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang dapat diraih. Selain itu, proses pemurtadan sering terjadi dalam perkawinan beda agama dengan dalih Hak Asasi Manusia.84 Di dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sendiri tidak diatur tentang perkawinan beda agama, karena perkawinan tersebut tidak dibenarkan ajaran agama, yaitu ada halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami dan calon istri berbeda agama, hal ini sesuai dengan yang dikehendaki pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 Undang-undang Perkawinan.85 Ketentuan secara tegas dilarang atau tidak dilarangnya perkawinan beda agama, tidak dapat ditemukan dalam Undang-undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya. Dengan tidak adanya ketegasan perkawinan beda agama dalam aturan-aturan
perkawinan
di
Indonesia,
di
mana
aturan-aturan
perkawinan masih menyerahkan sepenuhnya persoalan perkawinan kepada agama, maka perkawinan mutlak dilakukan menurut agamanya masing-masing. Kalau memang terjadi perkawinan beda agama, hukum mana yang berlaku, ini juga tidak jelas dalam Undang-undang Perkawinan.86
84
Neng Djubaedah, loc cit. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Alalisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004, hal. 194. 86 Soedharyo Soimin, op. cit., hal. 97. 85
84
Apabila ditinjau dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang pada intinya memberi suatu pengertian bahwa tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, maka suatu perkawinan mutlak harus dilakukan menurut agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan dan apabila tidak demikian maka perkawinan menjadi tidak sah. Tidak adanya perkawinan yang dilangsungkan diluar hukum agama dan kepercayaannya maka aturan-aturan perkawinan dari agama berlaku untuk setiap pelaksanaan perkawinan. Dengan demikian maka menurut penulis perkawinan beda agama menurut hukum nasional, dengan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sehingga lembaga agama diberikan wewenang untuk mengesahkan suatu perkawinan, dan perkawinan beda agama dipandang dari hukum agama Islam pada dasarnya tidak diperkenankan untuk dilaksanakan, maka perkawinan beda agama tidak sah. Sehingga perkawinan beda agama menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak sah, karena tidak memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut berakibat tidak sahnya pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Catatan Sipil.
85
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab dua diatas, dalam hukum Islam deskripsi kehidupan suami-istri yang tenteram akan dapat terwujud, bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama, maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan
ibadah,
pendidikan
anak,
pengaturan
tata
krama
makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.
Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah S.A.W : ”Janganlah
kamu
kawini
perempuan-perempuan
itu
karena
kecantikannya, karena kecantikannya itu mungkin akan menghinakan mereka. Dan janganlah kamu kawini mereka itu sebab harta bendanya, mungkin karena harta bendanya itu mereka jadi sombong, namun kawinilah mereka itu karena dasar agama. Sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang mempunyai agama lebih baik kamu kawini dari pada mereka itu.” Dari sudut pandang Hukum Islam ada tiga pendapat tentang perkawinan beda agama yaitu : a. Pendapat Pertama Hukum Islam melarang mutlak perkawinan beda agama bagi wanita Islam. Para ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang lelaki non muslim.
86
Hukum ini didasarkan kepada dalil-dalil sebagai berikut : Surah Al-Mumtahanah ayat (10) : ”Hai orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka: maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suamisuami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana.”
Surah Al-Baqarah ayat (221) : “ Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah
87
mengajak ke sorga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
perintah-Nya
kepada
manusia,
supaya
mereka
mengambil pelajaran.”87
b. Pendapat Kedua Dikenal adanya perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, alasannya yaitu yang diatur oleh Allah dalam surah Al-Maidah ayat 5, mempertahankan laki-laki muslim menikah dengan wanita-wanita Ahlul Kitab termasuk di dalamnya Yahudi dan Kristen. Apabila wanitanya yang Muslim, laki-lakinya Yahudi atau Kristen, tetap ditolak.88
c. Pendapat Ketiga Pendapat ketiga ini merupakan pendapat tengah, sebagai jalan keluar antara
kedua
pendapat
tersebut
di
atas.89
Yaitu
dengan
memperkenankan syarat-syarat tertentu. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenis mu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
87
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 60-61. 88 Mohd. Idris Ramulyo, op.cit., hal. 63. 89 Mohd. Idris Ramulyo, loc cit.
88
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.90
Pernikahan beda agama pada saat sekarang ini memang masih menjadi perdebatan, terutama mengenai pernikahan yang dilakukan oleh seorang pria muslim dengan perempuan non muslim dikarenakan ada perbedaan dalam hal pendasarannya. Pendasaran dari Al-Quran yang memperkenankan secara mutlak dapat dilihat di dalam surat Al-Maidah ayat (5) dikatakan bahwa seorang pria yang beragama Islam boleh atau halal kawin dengan seorang wanita yang masih berpegang teguh dengan kitab-kitab Allah sebelum kerasulan Muhammad S.A.W, atau kawin dengan wanita ahli kitab sebelum kitab Al-Quran diturunkan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka menurut penulis jelaslah bahwa sistem hukum Indonesia dan Hukum Islam tidak membenarkan adanya perkawinan beda agama. Dalam Islam perkawinan semacam itu memang pernah terjadi pada awal Islam di Mekkah. Akan tetapi hubungan itu tidak berlangsung lama, setelah ada perintah Allah kepada orang Islam untuk hidup mandiri di Madinah, dengan selalu meletakkan prilaku berdasarkan aqidah yang benar yaitu aqidah Islam. Dalam perintah kemandirian itu, Allah juga memerintahkan untuk memutuskan hubungan perkawinan yang telah terjadi dengan orang non Islam. Adapun bagi yang belum melangsungkan perkawinan, dilarang 90
Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama?, Qultum Media, Depok, 2009, hal. 44.
89
melangsungkan perkawinan dengan orang-orang musyrik. Disebutkan bahwa pernikahan yang telah terlanjur berlangsung telah dibatasi hanya sampai tahun ke 6 hijriah. Ini didasarkan pada keterangan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 10. Artinya : “. . . Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana.”91
Larangan menikah dengan orang musyrik selain surat Al-Baqarah ayat 221, kejelasannya juga terdapat dalam surah Al-Mumtahanah ayat 10 ini. Dengan keterangan yang sudah jelas inilah, maka haram hukumnya menikah dengan orang musyrik ataupun ahlulkitab dalam ajaran Islam.92 Pernikahan yang dilakukan dengan orang berlainan agama dikhawatirkan akan mengakibatkan, selain mengancam keimanan juga akan mengancam kelangsungan generasi Islam dan keluarga Muslim. Ancaman hilangnya kekuatan dan generasi Islam di masa depan sangat
91 92
QS. Al-Mumtahanah: 10. Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, op. cit., hal. 55
90
mungkin terjadi, jika pernikahan antara orang muslim dengan non muslim tidak dilarang.93
2. Pencatatan Perkawinan Selain masalah tidak sahnya perkawinan beda agama, perkawinan beda agama mempunyai akibat yuridis lain mengenai pencatatan perkawinan. Akibat yuridis dari perkawinan beda agama mengenai masalah pencatatan, dalam sebuah perkawinan hal ini sangatlah penting, karena pencatatan perkawinan tersebut berdampak terhadap sah atau tidaknya suatu perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan agama tertentu, kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang, perkawinan itu belum sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya suatu perkawinan secara yuridis dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Tentu saja hal ini menimbulkan implikasi hukum dan sosial yang beragam, misalnya anak-anak yang lahir dianggap bukan keturunan yang sah karena perkawinan tidak dicatat.94
93
Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, op. cit., hal. 55-56. Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis, Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 140. 94
91
3. Harta Pusaka Di samping itu akibat yang tidak kalah rumitnya dari beberapa akibat hukum di atas adalah waris beda agama.95 Ayat yang biasanya digunakan sebagai landasan hukum adalah Q. 4:141 yang menjelaskan bahwa Islam melarang waris beda agama. Mengenai hak kewarisan antara suami istri dan anak-anaknya seandainya
keabsahan
perkawinan
pasangan
beda
agama
tidak
dipersoalkan dan dianggap perkawinan tersebut adalah sah termasuk status anak-anaknya juga dianggap sah, namun hak kewarisan diantara mereka tidak ada karena perbedaan agama menggugurkan hak saling mewaris. Menurut penulis bila persolaan kewarisan dilihat dari aspek keadilan, maka larangan perkawinan beda agama jelas lebih melindungi hak kewarisan masing-masing. Hal ini disebabkan anak-anak tidak mungkin beragama kembar, karena agama adalah masalah keyakinan. Konsekuensinya anak-anak hanya akan seagama dengan salah satu dari kedua orang tuanya dan/atau bisa menganut agama lain yang dianut oleh kedua orang tuanya. Apabila ada anak yang seagama dengan bapak atau ibunya saja, maka ia hanya akan mendapatkan hak kewarisan dari bapak atau ibunya saja yang seagama, sehingga ia akan berhadapan dengan saudaranya yang beda agama. Hal ini karena menimbulkan masalah keadilan, yaitu
95
Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, op.cit., hal. 66.
92
anak yang seagama akan mendapatkan hak kewarisan sedangkan saudara kandungnya yang beda agama tidak mendapatkan hak kewarisan. Di atas telah disinggung mengenai keturunan, yaitu hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. Sedangkan anak-anak lainnya, yakni anak yang mempunyai ibu dan bapak, yang tidak terikat dengan perkawinan sah, dinamakan anak tidak sah atau anak luar kawin. Penentuan hubungan perdata sangat penting bagi status anak luar karena salah satu akibat adanya hubungan perdata tersebut adalah hak mewaris dari anak luar kawin terhadap kedua orang tua biologisnya. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Adapun yang digantikan adalah hak dan kewajiban dalam bidang hukum kekayaan, artinya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya. Ini berarti bahwa antara si anak dan ibunya ada hubungan hukum antara seorang ibu dengan anak sah atau hanya sah terhadap ibunya. Undang-Undang Perkawinan juga menyatakan hal yang sama mengenai hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ibunya sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya.
93
Ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang perkawinan tersebut ternyata juga sejalan dengan ketentuan yang ada dalam, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dengan demikian berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, maka anak yang lahir di luar perkawinan hanya berhak mewaris dari ibunya. Hal ini karena menurut penulis perkawinan beda agama adalah perkawinan yang tidak sah, sehingga status anak yang lahir dari perkawinan tersebut adalah tidak sah sehingga dapat dipersamakan dengan anak luar kawin, maka dia pun hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja sehingga hanya berhak mewaris dari ibunya. Namun anak luar kawin tetap bisa mewaris apabila bapak biologisnya mengakuinya. Hak waris aktif anak-anak luar kawin diatur dalam Pasal 862 sampai dengan Pasal 866 dan Pasal 873 ayat (1) KUH Perdata. Kedudukan anak luar kawin diakui sebenarnya sama dengan kedudukan ahli waris lainnya. Dengan demikian anak luar kawin diakui juga mempunyai hak-hak yang dimiliki seorang ahli waris, hal yang membedakan hanyalah bagian yang ia terima tidak sama dengan anak sah. Besarnya bagian warisan dari anak-anak luar kawin tergantung dari derajat hubungan kekeluargaan daripada ahli waris yang sah.
94
Dalam kasus perkawinan beda agama, sepanjang tidak ada pihak ketiga yang memperkarakan keabsahan perkawinan mereka, maka anakanak mereka menjadi ahli waris yang sah. Tetapi apabila ada pihak ketiga yang memperkarakan ke Pengadilan dan dapat membuktikan bahwa perkawinan mereka tidak sah, maka anak-anak mereka hanya dapat mewaris dari ibunya saja sebagai ibunya dan tidak berhak mewaris kepada bapaknya. Berkaitan dengan ahli waris, berdasarkan ketentuan Pasal 832 KUH Perdata: Menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dari suami atau istri yang hidup terlama menurut peraturan-peraturan berikut ini. Jadi asas dalam Pasal 832 KUH Perdata bahwa menurut undangundang, untuk dapat mewaris orang harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Hubungan darah tersebut dapat sah atau luar kawin, baik melalui garis ibu maupun garis bapak. Hubungan darah yang sah adalah hubungan yang ditimbulkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah maksudnya adalah sah menurut ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selanjutnya ahli waris menurut Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa :
95
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi ahli waris. Pengertian beragama Islam dalam hal ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa : Ahli waris dipandang beragama Islam dilihat dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Menurut penulis berdasarkan pengertian ahli waris menurut Pasal 832 KUH Perdata dan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI), terdapat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Persamaannya adalah adanya unsur hubungan darah dan hubungan perkawinan, sedangkan perbedaannya adalah adanya unsur agama. Unsur agama yang dimaksud menurut ketentuan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah yang berhak menjadi ahli waris (yang beragama Islam) harus beragama Islam (seagama dengan pewaris). Sehingga dengan demikian apabila antara pewaris dengan ahli waris tidak seagama (biasanya ahli warisnya non-muslim), maka tidak saling mewaris atau bukan ahli waris dari pewaris yang beragama Islam.
96
Hal tersebut dipertegas oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Juli 2005 (21 Jumadil Akhir 1426H) a. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antar orang-orang yang beda agama (antara muslim dengan nonmuslim); b. Pemberian harta antar orang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.96
Ada beberapa hal yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk mendapatkan harta waris, di antaranya adalah perbedaan agama, dalam sebuah hadits Rasulullah Saw bersabda: Seorang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim. (Bukhari dan Muslim)
Hadits selanjutnya di katakan: Tidak ada saling waris mewarisi antara dua pemeluk agama yang berbeda. (Bukhari dan Muslim)
96
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama
97
Disamping hadits di atas, para ulama' madzhab fikih juga sepakat bahwa perbedaan agama adalah merupakan salah satu penghalang dari mendapatkan harta waris. Oleh karenanya menurut penulis dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam. Namun demikian apabila pewaris tidak beragama Islam (non-muslim), sedangkan ahli warisnya tidak seagama dengan pewaris (non-muslim), maka tetap berhak mewaris. Hal tersebut didasarkan pada hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 832 KUH Perdata maupun Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. Persoalan yang dihadapi dari Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Nasional dan Hukum Islam Dalam uraian bab dua penulisan telah jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Walaupun demikian pada pokoknya perkawinan beda agama ini tidak diinginkan oleh pembentuk undangundang. Hal tersebut terlihat dari isi Pasal 1 mengatakan, perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang diberkahi dan kekal berdasarkan
98
Ketuhanan Yang Maha Esa dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Kemudian Bagir Manan selanjutnya mengemukakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sah menurut agama, yang mempunyai akibat hukum yang sah pula.97 Dengan demikian dapat diketahui bahwa suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan kepercayaan, maka perkawinan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum. Namun apabila ketentuan tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dan Paraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ternyata mengandung ketidakjelasan mengenai saat sahnya perkawinan kaitannya dengan pencatatannya. Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Sesuai dengan UUD 1945, maka perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya meskipun tidak dicatatkan dengan kata lain untuk sahnya suatu perkawinan hanya ada satu syarat yaitu jika dilakukan menurut ketentuan hukum agama, sedangkan pencatatan perkawinan menurut Pasal 2 ayat (3) tidak lain hanyalah syarat administratif saja. Dengan demikian pada satu pihak ditentukan bahwa pencatatan perkawinan hanyalah bersifat administratif saja, sedangkan di lain pihak
97
Neng Djubaedah, op.cit., hal. 157.
99
menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidak hanya syarat administratif saja akan tetapi merupakan syarat lain yang menentukan sahnya suatu perkawinan yaitu hukum agama. Adapun mengenai persoalan yang muncul akibat pernikahan beda agama adalah memudarnya ikatan rumah tangga yang telah dibina sekian lama. Dari hari kehari suasana hubungan serasa semakin kering. Padamulanya, terutama sewaktu masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele. Bisa diatasi oleh cinta. Akan tetapi, lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja mengangu. Bayangkan saja, ketika seorang suami pergi umrah atau haji, adalah suatu kebahagiaan jika istri dan anaknya bisa ikut bersamanya. Akan tetapi, alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih ke gereja. Salah satu kebahagiaan seorang ayah adalah menjadi imam sholat berjamaan bersama anak istri. Begitu pun ketika ramadhan tiba, suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi, keinginan itu sulit terpenuhi oleh pasangan berbeda agama. Di zaman yang semakin plural ini, pernikahan beda agama kelihatannya semakin bertambah. Terlepas dari persoalan teologis dan keyakinan agama, perlu diingat bahwa tujuan berumah tangga itu untuk meraih kebahagiaan. Untuk itu, kecocokan dan Saling pengertian sangat penting terpelihara dan tumbuh. Bahwa karakter suami-istri masing-masing berbeda, itu suatu keniscayaan. Misal saja perbedaan usia, perbedaan kelas sosial, dan perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi. Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia perbedaan agama
100
menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suamiistri, tetapi juga keluarga besarnya. Jadi, perlu dipikirkan matang-matang ketika perbedaan itu mengenai keyakinan agama. Masalah akan semakin terasa terutama ketika pasangan itu telah memiliki anak. Orangtua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya kristen dia ingin anaknya memeluk kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orangtua sebagi suami-istri, justru menjadi sumber perselisihan. Orangtua saling berebut menanamkan pengaruhnya. Pernihakan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Sebagai contoh ritual berpuasa dan beribadah, semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah sholat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukar-menukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang. Jadi, sepanjang pengamatan penulis secara psikologis, pernikahan beda agama menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti pernikahan satu agama akan terbebas dari masalah. Bayangkan, bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut dan meninggal, tak ada yang diharapkan, kecuali untaian doa dari anaknya. Dan
101
mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman. Dampak psikologis orangtua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentunya kurang bagus bagi anak. Konsekuensi lain dalam praktik rumah tangga, jika suami dan istri berbeda agama, bisa berujung pada terlepasnya salah satu keyakinan dari keduanya.98 Secara umum menurut penulis, perkawinan beda agama sangat berpotensi menimbulkan persoalan-persolan hukum tersendiri, baik kepada pasangan suami istri itu sendiri maupun kepada pihak luar/ketiga. Persoalanpersoalan tersebut antara lain : 1. Split of Personality Anak Dalam sebuah keluarga beda agama pembentukan kepribadian anak lebih kompleks. Anak yang lahir dari orangtua yang berbeda agama dan keyakinan, berpotensi menghadapi sekurang-kurangnya dua arah pembentukan yang bisa saja tidak singkron. Bisa dibayangkan, seorang anak yang memang berada pada fase-fase pembentukan kepribadiannya akan menghadapi pilihan ganda. Bisa saja anak itu menghadapi dua kendali yang menginginkan untuk sama-sama dipatuhi.
98
Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, op.cit., hal. 66.
102
Saya kira cukup beralasan, apabila para penentang nikah beda agama mengaharmkan hal ini. Mengingat generasi yang akan dilahirkan mengalami disorientasi iman, anak-anak yang dilahirkan akan memiliki problem kejiwaan keagamaannya. Resiko tinggi yang akan dialami bagi pasangan nikah beda agama ini adalah anak-anaknya akan mengalami keterpecahan kepribadian (split of personality).
2. Subjektivitas Keagamaan Pasangan beda agama dalam perjalanan rumah tangga akan mengalami subjektivitas-subjektivitas yang sangat alami dan wajar dimiliki oleh para penganut agama. Saat itu akan melahirkan keinginan untuk bertanya, berdialog, berdiskusi, atau bahkan memprovokasi dengan sikap kritis. Superioritas ini akan menjadi batu sandungan dan aral besar, ia akan melakukan ajakan (dakwah) paksa kepada pasangannya untuk memihak dan pindah agama (konversi). Perpindahan agama dalam pasangan beda agama amat mungkin terjadi.
3. Kerinduan Kesamaan Akidah Pada prinsipnya agama dan keyakinan itu mengarahkan kepada ketenangan dan kedamaian, pasangan beda agama akan dihadapkan pada perasaan rindu untuk seagama dan seibadah hal ini sangat wajar. Seorang muslimah yang menikah dengan suami yang tidak seiman atau seagama akan mengalami kerinduan kepada keindahan sholat berjamaah,
103
mengikuti acara-acara ritual agama secara bersama-sama dalam satu keluarga utuh. Begitu juga sebaliknya jika seorang suaminya yang beragama Islam.
4. Persepsi Negatif masyarakat Dalam suatu komunitas dan kehidupan sosial sulit bagi kita untuk menghindari penilaian, kecaman, kritik, dan penolakan. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas menolak pernikahan beda agama, tentu pasangan-pasangan ini akan menghadapi masalah. Pada awalnya, mereka akan menjadi bahan berita dan bisik-bisik tetangga. Hal ini akan membutuhkan mental dan kesiapan untuk menjawab serta menghadapi dengan ekstra hati-hati dan lapang dada.
104
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah di kemukakan di atas, dapatlah di ambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Kedudukan perkawinan beda agama dalam sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan istri) menganut agama yang sama. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Sedangkan dalam hukum Islam, perkawinan beda agama dilarang setelah ada perintah Allah kepada orang Islam untuk hidup mandiri di Madinah. Hal ini didasarkan pada keterangan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 10 dan surat Al-Baqarah ayat 221, jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri, jadi perkawinan beda agama tidak sah menurut hukum Nasional dan Hukum Islam. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap pencatatan perkawinan. Disamping itu, akibat pernikahan beda agama yang tidak kalah rumitnya adalah Apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Waris Islam, maka anak yang lahir dari perkawinan beda agama tidak mempunyai hak untuk
105
mendapatkan harta waris apabila tidak seagama dengan pewaris yang dalam hal ini pewaris beragama Islam.
2.
Pasangan pernikahan beda agama juga menghadapi persoalan yang akan muncul baik itu mengenai persoalan teologis dan keyakinan agama ataupun berdampak psikologis terhadap orangtua dan anak. Memudarnya ikatan rumah tangga yang disebabkan oleh tidak samanya ritual agama yang dianut masing-masing. Persoalan-persoalan yang akan timbul antara lain: Split of personality anak, Subjektifitas keagamaan, Kerinduan kesamaan akidah, dan Persepsi negatif masyarakat.
B. Saran 1. Pemerintah harus mengatur mengenai perkawinan beda agama secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak menimbulkan kekosongan hukum, yang berakibat kebingungan masyarakat yang terkait dengan permasalahan perkawinan beda agama. 2. Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang akan menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting bahwa tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda agama
106
DAFTAR PUSTAKA A. Buku – buku Ahmad Nurcholish & Mohammad Monib, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Ahmad Sukarja, Perkawinan Berbeda Agama Menurut Hukum Islam, (Ed) Chuzaimah T Yanggo & Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996. Amini, Kiat Mencari Jodoh, Lentera Basritama, Jakarta, 1997. Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Suatu Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2006. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan, Kencana, Jakarta, 2009. Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. Anton Baker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990. Bahder Johan Nasution & Sri Warijati, Hukum Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama, Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Fuaddudin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, 1999.
107
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No 1/1974, Tintamas, Jakarta, 1986. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 2007. Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, PT. Remaja Rosdakarta, Bandung, 2003. Libertus Jehani, Perkawinan, Apa Risiko Hukumnya ?, Forum Sahabat, Jakarta, 2008. Lili Rasidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991. _______, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. _____, Hukum Perkawinan Islam; Suatu Alalisis dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004. Mohammad Monib & Ahmad Nurcholis, Kado Cinta bagi Pasangan Nikah Beda Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008. Narsikun, Poligami Ditinjau dari Segi Agama. Sosial dan Perundang-undangan, Bulan Bintang, Jakarta, 2003. Nasrul Umam Syafi’i & Ufi Ulfiah, Ada Apa Dengan Nikah Beda Agama?, Qultum Media, Depok, 2009.
108
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat; Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Nurdin Ilyas, Pernikahan yang Suci, Berlandaskan Tuntunan Agama, Bintang Cererlang, Yogyakarta, 2000. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer; Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Kencana, Jakarta, 2010. Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Jakarta, 1983. Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1986. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Sudirman Tebba (ed), Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Mizan, Bandung, 1993. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya. Tihami & Sohari Sahrani (Ed), Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Rajawali Pers, Jakarta, 2009. Wahyono Darmabrata, Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, Gitama Jaya, Jakarta, 2003. Zakiyah Alatas, Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Semarang, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.
109
B. Peraturan Perundang – undangan Undang – Undang Dasar 1945 Buku 1 dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bab IV sampai dengan bab XI Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (pasal 1-170 KHI).
110