24
BAB II KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam Perkawinan/pernikahan dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukunrukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya. Rukun Nikah : 1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah. 2. Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah”
24
Universitas Sumatera Utara
25
(“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”). 3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.” Syarat Nikah : Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri. Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’: “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458).Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya. Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali AnNasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839).51 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al51
Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2)Lengkap, Penerbit: Pustaka Azzam,Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
26
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud), Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain”.52 Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang kuat. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya53. Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya. Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
52
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap, Penerbit: Pustaka Azzam, Jakarta. 53Mausu’ah Masa`ilil Jumhur fil Fiqhil Islami, 2/673, Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/284-285)
Universitas Sumatera Utara
27
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud).54 Syarat keempat:Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’: “Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557).55Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil. Al-Imam At-Tirmidzi Rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284).56 Tentang poligami Allah Swtberfirman : “Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada sikap tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).57
54
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap, Op.Cit.hal.122 55 Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2) – Lengkap,hal.203 56 Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi (1 - 3) Lengkap, penerbit: Pustaka Azzam,Jakarta, hal.75 57 Ibid
Universitas Sumatera Utara
28
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam sikap tidak adil semacam ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang memiliki dua istri, namun dia hanya mementingkan salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat, sementara salah satu sisi badannya condong. (jawa: sengkleh).” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibn Majah, dan dishahihkan alAlbani).58 Meskipun, bukan syarat poligami harus diizinkan istri pertama. Dua hal yang perlu dibedakan, diketahui istri dan izin dari istri. Poligami harus diketahui istri, meskipun tidak diizinkan oleh istri. Hanya saja, sebagian ulama menegaskan, bahwa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di keluarga, membangun ketenangan dan kebahagiaan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak poligami meminta izin istrinya. Sebagaimana yang dinasehatkan Syaikh Sa’d al-Humaid (Fatwa Islam, no. 9479).59 Islam sebagai agama yang sempurna, tidak ketinggalan untuk memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada para wanita untuk menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdullah bin Jibrin (Fatwa Islam no. 1859).60
58
Ibid Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com) 60 Op.Cit Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.58 59
Universitas Sumatera Utara
29
Semua ini dalam rangka mewujudkan keadilan dan bersikap baik kepada sesama. Karena Allah hanya memerintahkan yang adil,Sesungguhnya Allah hanya menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90).61 Abu Hurayrah Ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.62 Firman Allah Swt; ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allahtelah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan 61 62
Ibid Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Universitas Sumatera Utara
30
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yangdemikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah MahaMengetahuisegala sesuatu”.(QS AL Baqarah : 282)63. Nikah Siri Dalam kitab-kitab Fikih tidak dikenal dengan istilah tersebut. Istilah ini lebih popular secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia. Nikah Siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian. Pertama: perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. Kedua: perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang lakiperempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benarbenar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.dan tidak didaftarkan di P3N(Pegawai Pencatat Nikah) Kantor Urusan Agama. Selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah secara fikih, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
63
Op.CitH.M.Atho’muzdhar, Khairuddin, hal.86
Universitas Sumatera Utara
31
Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Nikah siri sah menurut hukum Islam. Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. “ Pernikahan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif, “ ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI Jakarta, (30/5/2006)64 Pada prinsipnya, selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia. Tujuan usaha pembaruan hukum keluarga berbeda antara satu negara dengan negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaruan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di negara 64
MUI Online
Universitas Sumatera Utara
32
bersangkutan, yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih di kalangan Sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Syah. Bahkan untuk kasus Tunisia unifikasi hukum keluarga ditujukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaaan agama. Anderson misalnya menyebut, “Undang-Undang Tunisia berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah dicapai kesepakatan dengan Perancis pada tanggal 1 Juli 1957, termasuk Yahudi sejak tanggal 1 Oktober 1957, kecuali untuk kasus-kasus yang belum ada aturannya dalam Undang-Undang ini, berlaku Rabbinical.
Tujuan kedua, lain dari usaha
pembaruan hukum keluarga Muslim adalah untuk pengangkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun dapat dilihat dari sejarah munculnya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Undang-Undang Perkawinan Mesir dan Indonesia masuk dalam kelompok ini. Tujuan ketiga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.65 Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan
di
dalam
bidang
hukum
keluarga66.
Dewasa
ini
fenomena
perkawinan/pernikahan siri merupakan bukan hal baru dan asing dibicarakan dalam masyarakat pada saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering ada di dalam kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, ibu rumah tangga, praktisi hukum, aktifis dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan 65
Tahir Mahmood, Op.Cit, hal 76 Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. (PT. Rineka Cipta : Jakarta). 1997, hal 98 66
Universitas Sumatera Utara
33
pendapat dan pandangan yang setuju maupun yang menolak keberadaan perkawinan siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek perkawinan siri kian populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek perkawinan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi perkawinan yang mahal, keinginan melakukan perkawinan siri yang dilakukan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya namun tidak di catat Kantor Urusan Agama. Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek perkawinan siri diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun disisi lain juga dampak negatifnya adalah merugikan banyak pihak terutama hak dan kewajiban wanita dan anak-anak. Kata “sirri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah67. Dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
67
Happy Susanto. Nikah Siri Apa Untungnya. (Visi Media : Jakarta Selatan. 2007) hal. 22
Universitas Sumatera Utara
34
keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa68. Kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi-sembunyi dan dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi / dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada. Pekawinan/pernikahan siri juga digolongkan menjadi dua: Perkawinan/pernikahan yang dilakukan tanpa wali (belum meninggal dunia) dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhinya syaratsyarat lainnya tetapi tidak dicatat Kantor Urusan Agama setempat. B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia Secara umum, dalam perspektif fikih islam, perkawinan/pernikahan siri cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Sebaliknya dalam hukum positif nasional, perkawinan siri telah ditegaskan sebagai perkawinan yang ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang perkawinan, baik dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada satu katapun yang menyebut nikah siri. Yang dibahas adalah perkawinan/pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan siri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional.
68
http://destylestary.blogspot.com/2010/11/fenomena-nikah-siri-dalam-prespektif.html diakses pukul 08.30 WIB tanggal 02 Januari 2013
Universitas Sumatera Utara
35
Perkawinan/pernikahan siri dapat ditinjau dari berbagai aspek peraturan perundang-perundangan yang berlaku di Indonesia, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perangkat hukum yang telah diatur dan diakui oleh sistem perundang-perundangan nasional. Secara umum dalam perspektif hukum Islam, perkawinan/pernikahan siri cenderung diperbolehkan, meskipun dapat menjadi tidak sah karena tidak tercapai mashlahat dalam pernikahan karena perubahan hukum. Sementara dalam hukum positif dapat ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal, bahkan tidak ada satu katapun yang menyebutkan eksistensi perkawinan/pernikahan siri. Hal ini suatu indikasi perkawinan siri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional. Perangkat peraturan yang dapat dijadikan kajian untuk menentukan eksistensi perkawinan/pernikahan siri yaitu : 1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Menurut
Undang-Undang
perkawinan
No.1
Tahun
1974,
perkawinan/pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dicatatkan. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturanperaturan yang berlaku” Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menegaskan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Pasal 2 ayat 2 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku artinya pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah.”
Universitas Sumatera Utara
36
2. Kompilasi Hukum Islam Status Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum peradilan agama. KHI dapat dipergunakan sebagai pegangan/pedoman dalam membahas pernikahan dalam sudut pandang hukum positif nasional. KHI menyebut bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban pernikahan yaitu dalam pasal 5 ayat 1 “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat”69, Pada prinsipnya KHI mengharamkan pernikahan siri. Meskipun istilah nikah siri tidak ada disebutkan sama sekali dalam KHI berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya maka dengan jelas sekali menunjuk ketidakbolehan nikah siri. Status Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum Peradilan Agama. Secara konstitusional hadir melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Sehingga Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk positivikasi terhadap hukum Islam yang bermaksud mengembangkan pesan-pesan agama dari nuansa normatif, dari sekedar dicita-citakan (ius constituendum) menjadi hukum yang benarbenar berlaku (ius constitutum). Bagaimana sesungguhnya pengaturan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam ini sehingga dianggap sah, Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
69
Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
37
sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal ini jelas sekali terlihat bagaimana posisi Kompilasi Hukum Islam yang mendukung ketentuan pernikahan harus sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif, jadi erat kaitannya antara ketentuan tentang sah atau tidak pernikahan antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan. Aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini sudah mengantisipasi lebih jauh ke depan dan tidak hanya sekedar membicarakan masalah administratif. Sehingga dalam klausul ini dinyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, yakni dalam hal menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yakni menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, dan klausul yang menyatakan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah jika tidak dicatat dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga pada prinsipnya Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkan adanya praktek nikah siri, meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan ketentuanketentuan yang diatur di dalamnya, maka jelas sekali menunjukan ketidakbolehan nikah siri. C. Perbedaan Antara Perkawinan Siri Dengan Perkawinan Pada Umumnya Perbedaan yang paling nampak antara perkawinan siri dengan pernikahan pada umumnya yaitu menyangkut pencatatan perkawinan kepada pencatat sipil. Hal lain selain tentang pencatatan perkawinan yaitu menyangkut keabsahan perkawinan tersebut. Apabila dalam perkawinan siri keabsahannya hanya menyoal menyangkut agama saja (sah dimata agamaUlama fikih) dan tidak sah dalam hukum positif
Universitas Sumatera Utara
38
Sedangkan perkawinan dalam Undang-Undang. No.1 tahun 1974 sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Perkawinan siri memang memiliki berbagai dampak yang berpengaruh pada masyarakat kita. Dampak negatif dari perkawinan siri antara lain : 1. Tidak kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum 2. Poligami akan meningkat 3. Perselingkuhan merupakan hal yang wajar dan pelecehan seksual terhadap kaum hawa akan meningkat 4. Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin ke Pengadilan. 5. Tanggung jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta lahir Dalam hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.Atas hal yang telah disebutkan diatas, perkawinan siri lebih mendatangkan dampak negatif dan pada dampak positif. Kedudukan dan keabsahan nikah siri dalam prespektif hukum islam, tidak lepas dari pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam. Syarat merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah / tidaknya sesuatu hal yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah sebagai berikut : 1. Syarat umum, terikat larangan perkawinan :
Universitas Sumatera Utara
39
a. Tidak diperkenankan / larangan perkawinan berbeda agama (Q.S. AlBaqarah : 21 ) b. Larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara susunan (Q.S. An-Nisa : 22, 23, 24) 2. Syarat khusus meliputi a. Ada calon mempelai dimana adanya mempelai laki-laki dan wanita dan keridhaan dari masing-masing calon mempelai b. Adanya wali pernikahan Salah satu rukun perkawinan/pernikahan yang menjadi titik perdebatan tentang nikah siri adalah masalah perwalian pentingnya posisi wali tidak bisa ditawartawar lagi hadits Nabi Saw menyebut: “Dari Aisyah Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw besabda. ” Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (HR. Empat Imam Hadits, kecuali An-Nasai).“ Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali (HR. Ahmad dan Imam Empat) dan pada hadits yang berbunyi “Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil)” (HR. Ahmad).70 Namun ada pula beberapa ulama yang cenderung membedakan mempelai perempuan tanpa menggunakan wali. “Janganlah kamu (hai para wali) mengahalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf “ (Al-Baqarah : 232).71 Ulama-ulama seperti Abu Hanifah, Zutar, dan Az-Zuhri cenderung berpendapat bahwa apabila seorang perempuan menikah tanpa wali maka nikahnya
70 71
Tahir Mahmood, Op.Cit, hal 65 Ibid
Universitas Sumatera Utara
40
selama
pasangan
yang
dikawininya
sekufu
(setara)
dengannya.“Al-Quran
menyatakan bahwa” Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqarah : 234).72 Dewasa ini sejumlah kasus lain, perkawinan siri dilakukan melalu wali hakim yang tidak dilegalkan Pengadilan. Wali hakim diperbolehkan asalkan wali nasabnya tidak ada/tidak memenuhi syarat. Dalam perkawinan siri yang dicatatkan tentu wali hakim biasanya para ulama, kyai atau tokoh masyarakat. Mengkaji persoalan hukum perkawinan siri di samping perlu menilik syarat adanya wali juga perlu menilik syarat adanya dua orang saksi karena kedua syarat tersebut adalah bagian dari rukun yang menentukan sah/tidaknya. Disini kita perlu menegaskan kembali bahwa nikah siri, disamping harus ada wali juga diharuskan ada dua orang saksi laki-laki yang adil. Jadi boleh tidaknya nikah siri perlu mengukur rukun yang satu ini. Untuk menilik hukum nikah siri ini sebenarnya disamping memperhatikan rukun perkawinan seperti wali dan saksi dan pengumuman (berita) pernikahan kepada khalayak umum. Ada mahar atau sadaq sebagai bentuk kewajiban yang harus dibayar calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur’an surat An-Nissa ayat 4yaitu : (Berikanlah kepada wanitawanita itu maskawin mereka) jamak dari shadaqah (sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati (Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian 72
Ibid
Universitas Sumatera Utara
41
dari maskawin itu dengan senang hati) nafsan merupakan tamyiz yang asalnya menjadi fa'il; artinya hati mereka senang untuk menyerahkan sebagian dari emaskawin itu kepadamu lalu mereka berikan (maka makanlah dengan enak) atau sedap (lagi baik) akibatnya sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan terhadap orang yang tidak menyukainya. Dan dalam Al-qur’an surat An-Nissa ayat 25 yaitu : (Dan siapa yang tidak cukup biayanya untuk mengawini wanita-wanita merdeka) bukan budak (lagi beriman) ini yang berlaku menurut kebiasaan sehingga mafhumnya tidak berlaku (maka hamba sahaya yang kamu miliki) yang akan dikawininya (yakni dari golongan wanita-wanita kamu yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu) maka cukuplah kamu lihat lahirnya saja sedangkan batinnya serahkanlah kepada-Nya karena Dia mengetahui seluk-beluknya. Dan berapa banyaknya hamba sahaya yang lebih tinggi mutu keimanannya daripada wanita merdeka; ini merupakan bujukan agar bersedia kawin dengan hamba sahaya (sebagian kamu berasal dari sebagian yang lain) maksudnya kamu dan mereka itu sama-sama beragama Islam maka janganlah merasa keberatan untuk mengawini mereka (karena itu kawinilah mereka dengan seizin majikannya) artinya tuan dan pemiliknya (dan berikanlah kepada mereka upah) maksudnya mahar atau maskawin mereka (secara baik-baik) tanpa melalaikan atau menguranginya (sedangkan mereka pun hendaknya memelihara diri) menjadi hal (bukan melacurkan diri) atau berzina secara terang-terangan (serta tidak pula mengambil gundik) selir untuk berbuat zina secara sembunyi-sembunyi. (Maka jika mereka telah menjaga diri) artinya dikawinkan; dalam suatu qiraat dibaca ahshanna artinya telah kawin (lalu
Universitas Sumatera Utara
42
mereka melakukan perbuatan keji) maksudnya berzina (maka atas mereka separuh dari yang berlaku atas wanita-wanita merdeka) yakni yang masih perawan jika mereka berzina (berupa hukuman) atau hudud yaitu dengan didera 50 kali dan diasingkan setengah tahun. Dan kepada mereka ini dikiaskan hukuman bagi budak lelaki. Dan kawinnya hamba sahaya itu tidaklah dijadikan syarat untuk wajibnya hukuman, tetapi hanyalah untuk menunjukkan pada dasarnya mereka itu tidak menerima hukum rajam. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkannya mengawini hamba sahaya sewaktu tak ada biaya itu (ialah bagi orang yang takut akan berzina) `anat artinya yang asli ialah masyaqqat atau kesulitan. Dinamakan zina demikian ialah karena dialah yang menyebabkan seseorang menerima hukuman berat di dunia dan siksa pedih di akhirat (di antara kamu). Ini berarti berbeda bagi orang yang tidak merasa khawatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan, maka tidak halal baginya mengawini hamba sahaya itu. Demikian pula orang yang punya biaya untuk mengawini wanita-wanita merdeka. Pendapat ini juga dianut oleh Syafii. Hanya saja dalam firman Allah, "...di antara wanita-wanitamu yang beriman," menurut Syafii tidak termasuk wanita-wanita kafir sehingga tidak boleh kawin walau ia dalam keadaan tidak mampu dan takut dirinya akan jatuh dalam perbuatan maksiat. (Dan jika kamu bersabar) artinya tidak mengawini hamba sahaya (itu lebih baik bagi kamu) agar kamu tidak mempunyai anak yang berstatus budak atau hamba sahaya. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) dengan memberikan kelapangan dalam masalah itu.73 73
ibid
Universitas Sumatera Utara
43
Beberapa definisi nikah siri yang telah dijelaskan pada bagian pertama, kesemuanya tidak menunjukkan suatu indikasi melanggar syarat suatu perkawinan dan memenuhi rukunnya. Pada definisi pertama dikatakan bahwa nikah siri merupakan pernikahan tanpa tercatat dan tidak ada wali nasab. Pada prinsipnya sepenjang pernikahan tersebut tetap dihadiri wali lainnya dan tidak menyalahi ketentuan atau memenuhi syarat sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka pernikahan tersebut adalah sah menurut islam. Hanya saja pernikahan siri yang mengandung unsur kerahasiaan tersebut bertentangan dengan perintah Nabi Saw, yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan dalam hal diumumkan dan terangterangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia. Sedangkan terkait kedudukan nikah siri dalam perspektif hukum islam, pernikahan dalam islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum islam adalah yang telah sempurna rukunrukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Universitas Sumatera Utara
44
1.
Definisi Nikah Siri dan Kumpul Kebo Nikah siri atau nikah dibawah tangan dalam pandangan agama Islam
diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi yaitu Rukun nikah. Namun perbedaannya adalah Anda tidak memiliki bukti otentik (secara hukum Indonesia) bila telah menikah atau dengan kata lain tidak mempunyai surat sah (buku nikah) sebagai seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum namun anda tidak memilikinya74. Namun perlu dipikirkan dengan sungguhsungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah siri. Tidak ada salahnya Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin untuk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal, agar mendapat pengakuan secara sah di mata agama dan juga dibenarkan secara hukum di Indonesia. Meskipun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dengan suami sehingga harus berpisah dan juga anda tidak mempunyai bukti kuat secara hukum dan tidak dapat menuntut di muka pengadilan akan kenyataan tersebut. Di samping itu bagi anak-anak pun yang kelak nantinya memerlukan kartu identitas (Akta Kelahiran) dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tuanya tak mempunyai surat-surat resminya. Tuntutan hak waris dan hak asuh anak tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Dengan kenyataan kekurangan inilah sehingga menikah siri itu dihindari.
74
http://infoting.blogspot.com/2012/03/hukum-nikah-siri-dalam-pandangan-islam.html\
Universitas Sumatera Utara
45
Dari perspektif yuridis formal, nikah siri dilarang oleh Undang-Undang, baik Undang-Undang No. 1 tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI). Maka, perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi kriteria kedua hukum positif itu, dianggap tidak sah. Atau sama juga dikatakan pernikahan tersebut dianggap tidak ada.75 Pelarangan ini, secara filosofis bertujuan untuk memberikan kebaikan kepada kedua belah pihak. Yakni, hak dan kewajiban sebagai suami istri akan bisa dijamin di hadapan hukum. Baik hak tentang kepengasuhan, pemenuhan hajat-hajat ekonomi atau nafkah, kebutuhan biologis, kebebasan berkreasi, berkarya, atau hak-hak lain pasca ikatan perkawinan terjadi. Dan, seandainya terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dari salah satu pihak, dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum Islam hasil dari idealisme para ahlinya, belum bisa dimaknai dan diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan harapan para pengarangnya. Karena, dimensi historisitas manusia kadangkala lebih dominan dibanding dengan tujuan diterapkannya hukum Islam. Ini diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor sosial budaya Indonesia berpotensi terhadap adanya keberagaman (pluralisme), faktor sumberdaya manusia yang kurang memahami hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia, atau mungkin faktor politik yang mengitari tumbuh dan berkembangnya hukum Islam.
75
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/11/m3qqe9-dilemanikah-siri-2-terjadinya-bias-pemaknaan
Universitas Sumatera Utara
46
Kesimpulannya, fenomena nikah siri di Indonesia dapat menemukan jalan keluarnya, dengan memberikan pemahaman yang benar tentang hukum positif Islam yang berlaku di Indonesia. Ini bisa dilakukan, dengan melakukan pemberdayaan umat Islam di Indonesia, terutama tentang makna hukum positif dan hukum Islam.Hal-hal tersebut dimaksudkan, agar pengamalan ajaran agama di Indonesia tidak dijadikan obyek kebijakan semata, tetapi juga merupakan tindakan yang bernilai pengabdian untuk umat, bangsa dan negara. Sehingga, pernikahan sebagai institusi perkawinan yang sakral, akan tetap terjaga dan terpelihara oleh umat Islam Indonesia. Dan pada akhirnya, terwujudlah generasi-generasi yang bermartabat sebagai hasil perkawinan yang bermartabat pula. Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan76, Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; 76
Suprapto, Levina., Nikah Sirri, (Bandung: Prestasi Pustaka, 2010), hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
47
misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Keempat, pernikahan siri adalah yang tidak di catat dengan kantor pencatatan perkawinan. Salah satu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah “kumpul kebo” yang terkesan menjadi hal yang biasa dengan anggapan bahwa hal tersebut adalah bagian dari kehidupan modern. “Kumpul kebo” memiliki pengertian perbuatan tinggal bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah. Sementara Kumpul kebo dalam arti hidup bersama dan melakukan hubungan seksual tanpa menikah, merupakan fenomena yang sangat biasa dan dimaklumi secara kultural di negara-negara barat.77 Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pasangan “kumpul kebo”. Oleh karena itu berita seseorang yang menjalani kehidupan “kumpul kebo” akan menjadi gaduh sosial. Namun norma yang menabukan “kumpul kebo” dan sanksi sosial yang mengancampelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar meminimalkan banyaknya pelaku “kumpul kebo”. 2.
Nikah Sirri dan Kumpul Kebo Menurut Islam Hukum Islam dirumuskan oleh Allah Swt. Secara umum tidak lain bertujuan
untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan kemudaratan.Nikah siri adalah perkawinan/pernikahan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan 77
http://digilib.uin-suka.ac.id/1151/
Universitas Sumatera Utara
48
setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia., Suatu perkawinan/nikah siri apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan seperti diatur dalam syari’at Islam, walaupun tidak tercatat, secara syar'i nikahnya sudah dianggap sah. Hanya saja menjadi dianggap tidak ada apabila tidak dicatatkankan sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap–tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.78 Nikah Siri tidak identik dengan istilah kumpulkebo dan hubungan tanpa nikah kumpul diluar nikah seperti gundik-gundik, kumpul kebo, atau kawin kontrak Tidak terpenuhinya ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Persyaratan seperti tersebut dalam Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam berarti perkawinan tidak sah/perkawinan batal demi hukum, adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali.Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa Ra; bahwasanya Rasulullah Saw bersabda yang artinya; “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”( HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy ).79
78
Ibid, hal.6 HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648. 79
Universitas Sumatera Utara
49
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah Saw pernah bersabda: “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. (HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy).80 Abu Hurayrah Ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: ”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”81. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy) Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiat kepada Allah Swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
80
Ibid, hadits ke 2649. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) 81
Universitas Sumatera Utara
50
Meski menurut hukum fikih islam perkawinan siri adalah sah tetapi menurut hukum Negara tidak diakui sehingga bila terjadi permasalahan rumah tangga termasuk bila terjadi perceraian maka hanya bisa diluar jalur hukum Negara alias diselesaikan dengan jalan musyawarah menurut hukum Islam dan penyelesaian kasus gugatan nikah siri,hanya bisa diselesaikan menurut hukum adat. Mengenai kedudukan suami istri menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam bahwa karena perkawinan/pernikahan siri tidak dikenal dan tidak diakui dalam hukum Negara maka ia tidak mempunyai hak dalam hal perlindungan hukum atas perkawinan yang mereka jalani. Hak suami atau istri baru bisa dilindungi oleh undang-undang setelah memiliki alat bukti yang otentik tentang perkawinannya. Persoalan akan muncul, ketika perkawinan/pernikahan yang telah sah (memenuhi syarat dan hukum menurut agama Islam) tetapi tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan Negara. Hal ini akan menimbulkan banyak masalah setelah perkawinan.Inilah yang biasa disebut sebagai dampak perkawinan siri. Tidak dapat dipungkiri perkawinan siri menjadikan kesenangan di depan, membawa petaka dibelakang, berdampak negatif dan hak hukumnya tidak terpenuhi. Sebagian besar ahli hukum mengakui bahwa perkawinan siri adalah sah secara fikih Islam tetapi berdampak negatif terutama terhadap wanita dan anak yang dilahirkan bila terjadi perceraian. Negara sebagai pondasi masyarakat kurang memberikan penekanan terhadap masalah zina dan kumpul kebo, misalnya dalam memberikan hukuman bagi pelaku
Universitas Sumatera Utara
51
maksimal 5 tahun penjara sesuai dengan pasal 484 Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dihukum 5 tahun dan denda Rp,600.000 bagi pelaku kumpul kebo dalam hal maksud dari kumpul kebo hidup serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Disamping itu dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana delik zina dan kumpul kebo hanya masuk pada delik aduan sehingga kerangka hukum bagi pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat, serta juga tidak dijelaskan secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada dalam delik tersebut82 Al-Qur'an dan Hadist hanya memberikan penjelasan terhadap sanksi yang harus dijatuhkan terhadap pelaku zina. Fakta inilah yang mengundang sejumlah kalangan ulama' untuk memberikan pendapat terhadap kriteria delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman. Dan tentunya masih banyak pendapat para ulama' yang menjelaskan tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman, yang jelas orang yang melakukan delik zina dan kumpul kebo didasari suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan. Disamping kriteria, zina dan kumpul kebo, juga mencakup tiga unsur, yaitu unsur formil, materil, dan unsur moril. Pelaku zina dan kumpul kebo yang wajib dijatuhi hukuman adalah mereka yang mampu mempertanggung jawabkan pidananya. Jadi secara garis besar kriteria zina dan kumpul kebo adalah: adanya persetubuhan tanpa nikah, adanya perbuatan yang diharamkan, perbuatan tersebut didasari suka sama suka, perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang mukallaf dan 82
http://digilib.uin-suka.ac.id/1151/
Universitas Sumatera Utara
52
perbuatan tersebut dilarang oleh syara'. Apabila dari segi kriteria,unsur dan syaratsyarat lain ada pada pelaku delik zina akan dijatuhi hukuman had, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bagi pezina muhsan akan dikenakan hukuman rajam sampai mati, hukuman ini diberikan karena pezina muhsan tidak bisa menjaga keihsanan pada dirinya.83 Sedang bagi kumpul kebo (ghairu muhsan) bentuk sanksinya adalah hukuman jilid seratus kali dan pengasingan (taghrib), ditetapkan hukuman jilid adalah untuk memerangi psikologis yang mendorong terjadinya jarimah kumpul kebo (ghairu muhsan). 3.
Dampak Negatif Pernikahan Siri Dalam Keluarga Dan Masyarakat Dengan melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah,
apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satunya tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing dengan akta perkawinan tersebut suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Adapun dampak negatifnya, antara lain84 : Dampak Negatif Pernikahan Siri Pada Keluarga Dan Masyrakat 1.
Dampak Negatif Dalam Keluarga a. Adanya Perselisihan
83
http://digilib.uin-suka.ac.id/1151/ http://ujeberkarya.blogspot.com/2009/09/nikah-siri_16.html
84
Universitas Sumatera Utara
53
Yang dimaksud perselisihan disini adalah pertengkaran/percekcokan yang terjadi dalam keluarga yang melakukan poligami. Percekcokan tersebut terjadi karena adanya ketidak adilan diantara istri pertama ataupun kedua. Percekcokan tersebut terjadi karena salah satu istri dikarenakan nikah siri maka suami tidak mendaftarkan perkawian yang telah dilakukan kepada pejabat yang berwenang. b. Terabaikannya Hak Dan Kewajiban Terabaikannya hak dan kewajiban, seorang suami yang melakukan poligami mengabaikan hak dan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap istri pertamanya. Dikarenakan si suami lebih sering bersama istri mudanya sehingga si suami mengabaikan kewajibannya selaku suami. c. Adanya Keresahan/Kekhawatiran Adanya keresahan/kekhawatiran melaksanakan pernikahan siri, dikarenakan tidak memiliki akta nikah. Mereka khawatir apabila berpergian jauh atau kemalaman dijalan mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka suami istri, sehubungan dengan banyaknya razia. 2.
Dampak NegatifDalam Masyarakat a. Adanya Fitnah Resiko perkawina/pernikahan siri adalah timbulnya fitnah, masyarakat menggap bahwa perkawinan yang dilakuakan secara sirri merupakan upaya dirinya (pasangan yang menikah) untuk menutupi aib seputar kehamilan diluar nikah. Walaupun spekualsi tersebut belum tentu benar adanya.
Universitas Sumatera Utara
54
b. Adanya Anggapan Poligami Poligami, merupakan salah satu kecurigaan yang timbul di dalam masyarakat akibat perkawinan/pernikahan yang dilakuakan secara siri. Masyarakat mengagap bahwa perkawinan siri merupakan upaya untuk menutupi seputar poligami sehingga dengan demikian istri sebelumnnya atau istri pertamanya tidak mengetahui perihal poligami tersebut. Walaupun anggapan tersebut tidak benar adanya. Sementara dampak kumpul kebo juga tidak jauh berbeda dengan nikah siri. Hal ini akan berdampak dikemudian hari, misalnya kedudukan anak tersebut, kedudukan istri setelah bercerai, maupun harta ketika terjadi perceraian ataupun tidak85. Anak luar kawin, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain. Artinya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina. Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak memberi wewenang kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak. Bisa juga ibu dan ayahnya sama-sama masih lajang, sehingga anak disebut anak luar nikah. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah 85
http://www.pa-purwokerto.go.id/index.php/artikel/artikel-hukum/309-nikah-sirri.html
Universitas Sumatera Utara
55
hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata (Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. Pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Putusan kasasi Mahkamah Agung No. 9 K/Pdt/2004, misalnya, menegaskan anak yang diperebutkan adalah anak luar kawin yang dilahirkan dari hubungan penggugat dan tergugat, tetapi hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu. Si ibu diberi hak untuk menguasai, mendidik, dan mengasuh dalam arti seluasluasnya anak luar kawin. Ada banyak putusan pengadilan sejenis, yang menegaskan hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibunya. Putusan Mahkamah Konstitusi juga dinilai akan membuat repot pembagian waris. Dalam praktik selama ini, tidak semua anak luar kawin memperoleh waris. Jika anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya maka si anak juga menjadi ahli waris terhadap ayah biologisnya.
Universitas Sumatera Utara
56
Hasil penelitian pustaka ini menunjukan bahwa anak yang lahir di luar ikatan perkawinan menurut hukum Islam adalah: 1. Hubungan hukum dengan ibunya secara otomatis mempunyai hubungan nasab. (sebagaimana terdapat dalam pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, dan Hadits Nabi yang Bersumber dari Ibnu Umar) . 2. Sedangkan bapaknya boleh tidak mengakui anak luar kawin tersebut dengan cara Lian . (sebagaimana terdapat dalam pasal 101 Kompilasi Hukum Islam, dan Hadits Nabi yang Bersumber dari Ibnu Umar). Menurut Hukum Perdata adalah: Hukum perdata menganut azas yang menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan hukum dengan bapak atau ibunya, apabila bapak atau ibunya memberikan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut, seperti yang terdapat dalam Pasal 280 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2006), hakim agung Abdul Manan, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris. 4.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut
ketentuan fikih islam namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda yakni 86 : (1)hukum pernikahannya; dan 86
Ibid., 10
Universitas Sumatera Utara
57
(2)hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan fikih islam, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamr dan mencaci Rasul Saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturanaturan lain yang telah ditetapkan oleh negara. Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah Swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1)wali, (2)dua orang saksi, dan (3)ijab qabul.
Universitas Sumatera Utara
58
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara fikih Islam walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Pelaku nikah siri“tidak memperoleh perlindungan hukum”, tidak dapat melakukan tuntutan hukum ke Pengadilan/tidak mendapat pelayanan penegakan hukum, seperti : pengaduan minta diceraikan, tuntutan nafkah, tuntutan anak, tuntutan harta warisan dan lain sebagainya karena si Penuntut tidak dapat membuktikan adanya perkawinan yang sah menurut Undang-Undang; 5.
Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan Sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta
bahagia dan kekal. Untuk mewujudkan tujuan yang mulia tersebut, banyak faktor yang harus dipenuhi, salah satu di antaranya adalah adanya legalitas dari negara. Untuk mendapatkan legalitas dari negara, Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan khusus bagi yang beragama Islam, Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengharuskan agar setiap perkawinan yang dilakukan dicatatkan agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat. Bukti autentik bahwa perkawinan telah tercatat adalah dikeluarkannya Buku Nikah oleh instansi yang bewenang (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam).
Universitas Sumatera Utara
59
Demikian halnya bagi pasangan suami isteri yang memiliki Buku Nikah akan merasa aman dan tenteram dalam kehidupan rumah tangganya tanpa ada rasa khawatir .87 Oleh itu, pencatatan perkawinan/pernikahan pada hakikatnya berujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak (suami isteri), termasuk kepastian dan perlindungan hukum terhadap akibat yang ditimbulkan dari perkawinan itu sendiri, yaitu tentang hak dan kewajiban masing-masing secara timbal balik, tentang anak-anak yang dilahirkan, dan hak-hak anak berupa warisan dari orang tuanya kelak. Adapun beberapa hal – hal positif yang didapat dari Penyiaran Pernikahan, antara lain : a. dapat tercegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; b. memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; c. memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. d. istri mendapat perlindungan hukum begitu juga dengan anak-anak. Hal semacam ini tentunya berbeda dengan perkawinan/pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (sirri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia 87
Ibid., 13
Universitas Sumatera Utara
60
tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah. 6.
Landasan Terkait Catatan Pernikahan Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan perkawinan/pernikahan pada
lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan perkawinan/pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.
Universitas Sumatera Utara
61
Ketiga,dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakanmukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusanurusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Kelima, pada dasarnya, Nabi Saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy.Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah).88 D. Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Adat Aceh Keluarga adalah satu-satunya jama’ah berdasarkan hubungan darah atau hubungan perkawinan yang diakui Islam.89Keluarga adalah merupakan cermin dari suatu kelompok atau komunitas terkecil, sehingga dalam keluarga tersebut adanya kepala keluarga yang merupakan sebagai imam keluarga.
88
Titik Triwulan dan Trianto, Poligami Perspektif, Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), hal. 2. 89 Joseph Schacht, 1985, Pengantar Hukum Islam, Penerjemah Raden fatah Palembang, Direktorat jenderal Pembinaan Kelembagaan Departemen Agama RI, Jakarta, hal.1
Universitas Sumatera Utara
62
Di sebutkan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 yaitu: Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasingagamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yangberlaku. Pasal 3 (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
Universitas Sumatera Utara
63
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Perkawinan adalah perjanjian berdasarkan hukum Islam dalam UndangUndang No.1 Tahun 1974 dan ia meninggalkan bekas-bekas yang menunjukkan kemajuan. Untuk memperoleh jodoh (pengantin perempuan), pengantin laki-laki mengatur dan menentukan kontrak dengan wali yang sah dari pihak perempuan tersebut dan dia berkewajiban membayar mahar, bukan kepada wali sebagaimana yang berlaku di masa Jahiliyah (dalam adat kebiasaan sebelum Islam), tetapi kepada istri itu sendiri. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia yang mempunyai banyak tahapan sebelum seseorang benar-benar resmi menjadi suami istri maka di Aceh pun demikian pula adanya. Sebelum mempelai resmi menjadi suami istri haruslah terlebih dahulu melewati beberapa prosesi adat yang panjang. Prosesi adat pernikahan di Aceh ini dibagi dalam beberapa tahapan yang kesemuanya wajib dilalui oleh kedua mempelai. Adapun tahapan-tahapan dalam pernikahan adat Aceh. 1. Tahap Melamar (Ba Ranup),Ba Ranup atau tahapan melamar ini sendiri di Aceh di atur dengan adat yang panjang yakni terlebih dahulu jika seorang lelaki yang dinilai sudah cukup dewasa sudah saatnya berumah tangga maka untuk mencari jodoh bagi si lelaki tersebut atau jika seorang lelaki memiliki pilihan sendiri terhadap seorang perempuan untuk menjadi istrinya maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengutus kerabat yang dituakan dan dianggap cakap dalam berbicara (disebut sebagai theulangke) untuk menemui
Universitas Sumatera Utara
64
keluarga sang perempuan untuk menanyakan status sang perempuan apakah yang bersangkutan sudah dipinang atau belum. Jika ternyata yang bersangkutan belum dipinang dan tidak ada ikatan apapun dengan orang lain maka barulah theulangke mengutarakan lamarannya. Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak kemudian pihak keluarga laki-laki mengutus beberapa orang yang dituakan untuk datang ke rumah orang tua pihak perempuan untuk melamar secara resmi dengan membawa sirih dan artinya sebagai simbol penguat ikatan dan kesungguhan. Setelah acara lamaran selesai dan rombongan pelamar telah pulang maka barulah kemudian keluarga yang dilamar yaitu keluarga sang perempuan bermusyawarah dengan anak gadisnya mengenai diterima atau tidaknya lamaran tersebut. 2. Tahap Pertunangan (Jakba Tanda)Jika kemudian lamaran tersebut diterima oleh pihak perempuan maka prosesi selanjutnya adalah keluarga pihak lakilaki akan datang kembali ke rumah orang tua sang perempuan untuk membicarakan hari perkawinannya (disebut peukeong haba) sekaligus juga menetapkan seberapa besar mahar yang diinginkan oleh sang calon mempelai perempuan (disebut jeunamee) dan seberapa banyak tamu yang akan diundang dalam resepsi tersebut. Pada acara yang sama setelah semua musyawarah tentang besarnya mahar, hari perkawinan dan banyaknya tamu yang nanti akan diundang yang dilakukan oleh keluarga kedua calon mempelai mencapai kata sepakat, barulah kemudian dilanjutkan dengan acara berikutnya yakni acara
Universitas Sumatera Utara
65
pertunangan atau yang disebut dengan Jakba Tanda. Dalam acara ini pihak calon mempelai laki-laki akan mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh dan juga barang-barang lainnya, yang diantaranya buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria. Ada kalanya meski kedua pihak telah sampai pada tahap pertunangan perkawinan itu batal karena berbagai hal maka penyelesain dalam pertunangan ini jika ternyata pada akhirnya kedua belah pihak gagal bersanding di pelaminan maka tanda emas yang telah diberikan itu jika yang menyebabkan gagalnya perkawinan (tak jadi menikah) adalah calon mempelai pria maka tanda emas itu akan dianggap hangus tapi jika ternyata penyebabnya adalah calon mempelai wanita maka tanda emas itu harus diganti sebanyak dua kali lipat. 3. Pesta Pelaminan setelah semua tahapan dapat dilalui maka barulah kemudian acara inti pun digelar yaitu pesta perkawinan itu sendiri. Dua prosesi lain dalam adat perkawinan masyarakat Aceh yang juga tak kalah pentingnya yaitu dara baru yang berarti penjemputan secara adat yang dilakukan pihak pengantin laki-laki terhadap pihak pengantin perempuan dan linto baroe yang bermakna sebaliknya. Setelah kedua mempelai melakukan akad nikah dihadapan pak kadi dan telah resmi menjadi sepasang suami istri, pesta pun digelar untuk memberi kesempatan kepada seluruh tamu undangan yang ingin mengucapkan selamat kepada kedua mempelai.Akad harus ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
66
(disahkan) dengan kehadiran dua saksi yang merdeka, yaitu: dua orang lakilaki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Ini memiliki maksud ganda : memberikan bukti adanya perkawinan. Keperluan saksi untuk tujuan kedua lebih rendah dari pada untuk tujuan pertama, sehingga saksi apabila melihat kesalahan hukum, boleh jadi meyakinkan tujuan kedua, tetapi bukan yang pertama. Kontrak ini satu-satunya perbuatan hukum yang relevant dengan menetapkan adanya perkawinan, yaitu apabila khalwah (bersunyi diri antara suami dan isteri, dan dukhul (persetubuhan) sehingga merupakan fakta dapat memiliki efek yang sah manakala perkawinan terakhir, putus (karena suatu sebab), tetapi itu semua tidaklah penting karena berakhirnya. Maka nikah lebih dalam artinya daripada kawan. Sekalipun nikah itu mengandung arti kawan, tetapi lebih inti bahkan arti kawan dalam keseluruhan terkandung dalam nikah itu. Sebelum nikah hendaklah manusia yang melakukannya mengetahui benar dan secara mendalam arti daripada kawan. Maka dalam Islam umpamanya–sebelum kawin hendaklah mengetahui calon pasangannya sekalipun tanpa persahabatan atau pacaran yang melanggar sopan santun dan yang menimbulkan syahwat atau sangkaan yang bermacammacam. Perkawinan di dalam Islam harus berdasarkan suka sama suka dan tidak ada paksaan dari siapapun juga sekalipun ibu-bapa. Tidak boleh pula disebabkan oleh sesuatu problema sebelumnya yang menjadikan pernikahan itu terpaksa dilakukan. Umpamanya yang kerap berlaku dewasa ini
Universitas Sumatera Utara
67
disebabkan oleh pacar-pacar yang akhirnya menyeleweng dan timbul suasana yang sulit diatas. Pada dasarnya secara alamiah perkawinan itu wajib dilakukan. Ternyata soalnya tidak dapat dielakkan, karena tabiat manusia memerlukannya. Semua makhluk melakukan pernikahan untuk berkembang dan melestarikan jenis makluk itu. Sebenarnya menurut kebiasaan pria mencari wanita yang benar-benar wanita, demikian pula wanita mencari pria yang jantan, sebab dasarnya masing-masing adalah penyempurna dari yang lain dan melengkapkan kekurangan masing-masing. Di dalam bahasa Al-Qur’an perbedaan ini didapatkan dalam pemakaian bahasa itu sendiri. Ada perbedaan dalam memakai kata-kata untuk menunjuk kepada pria dan ada pula yang spesial untuk wanita. Bahkan ada kata-kata yang dipakai sebagai wanita dan ada pula yang dipakai sebagai pria sekalipun tidak ada tanpa apa pun yang menunjukkan kewanitaannya atau kepriaannya.90 Perkawinan dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah dan zawa.j91 Kedua kata ini kata yang terpakai dalam kehidupan seharihari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata na-kaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang artinya : Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang. 90
Fuad Mohd.Fachruddin, 1992, Kawin Mut”ah Dalam Pandangan Islam,Pedoman Ilmu jaya, Jakarta, hal.2 91 Amir Syarifuddin, 2003, Garis-garis Besar fiqih, Prenada media, Jakarta,hal.73
Universitas Sumatera Utara
68
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37 yang artinya : Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya : Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmun untuk (mengawini) mantan istri-istri anak angkat mereka. Secara arti kata nikah atau zawaj berarti “bergabung” “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fikih banyak diartikan dengan : akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Para ahli fikih biasa menggunakan rumusan defenisi sebagaimana tersebut diatas dengan penjelasan sebagai berikut : a. Penggunaan lafaz akad untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara lakilaki dan perempuan. b. Penggunaan ungkapan (yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin), karena pada dasarnya hubungan laki-laki dan perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya secara syara’. Diantara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu adalah adanya akad nikah diantara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.
Universitas Sumatera Utara
69
c. Menggunakan kata, yang berarti menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan itu mesti dengan menggunakan kata na-ka-ha dan za-wa-ja, oleh karena dalam awal Islam disamping akad nikah itu ada lagi usaha yang membolehkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan itu, yaitu pemilikan seseorang laki-laki atau seseorang perempuan atau disebut juga “perbudakan”. Bolehnya hubungan kelamin dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi menggunakan kata “tasarri”.92 Ada beberapa hal dari rumusan tersebut diatas yang perlu diperhatikan : a. Digunakannya kata “seseorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat. b. Digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istrilah “hidup bersama”. c. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tanggal yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.
92
Ibid, hal.80
Universitas Sumatera Utara
70
d. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Fiqih yang mengatur hal ihwal perkawinan ini disebut fiqhmunakahat. Munakahat itu termasuk dalam lingkup muamalat dalam artian umum, yang mengatur hubungan antara sesama manusia. Masuknya munakahat itu ke dalam lingkup muamalat karena ia memang mengatur hubungan antara suami dengan istri dan antara keduanya dengan anak-anak yang lahir, dalam kehidupan keluarga menurut keridhaan Allah. Dengan demikian kajian tentang perkawinan ini begitu luas karena menyangkut hal ihwal hubungan-hubungan tersebut, menurut yang dikehendaki oleh agama Islam. Dalam pandangan Islam pernikahan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut : a. Allah
menciptakan
makhluk
ini
dalam
bentuk
berpasang-pasangan
sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zuriyat ayat 49 yang artinya : Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
Universitas Sumatera Utara
71
b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surat AlNajm ayat 45 yang artinya : Dan dialah yang menciptakan berpasangpasangan laki-laki dan perempuan. c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surat Al-Nisa’ ayat 1 yang artinya : Hak sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu diri; dan daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat dari kebesaran Allah dalam surat Al-Rum ayat 21 yang artinya : Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.93 Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan/pernikahan itu maka perkawinan/pernikahan itu adalah perbuatan yang lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunat menurut pandangan jumhur ulama. Hal ini berlaku secara umum. Namun karena ada tujuan mulia yang hendak dicapai dari perkawinan 93
Fuad Mohd.Fachruddin Op.Cit. hal.28
Universitas Sumatera Utara
72
itu dan yang melakukan perkawinan itu berbeda pula kondisinya serta situasi yang melengkapi suasana perkawinan itu berbeda pula, maka secara rinci jumhur ulama menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berikut: a. Sunat bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan. b. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk perkawinana, namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya. c. Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, ia khawatir akan terjerumus ke tempat maksiat kalau ia tidak kawin. d. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini perkawinan itu akan merusakan kehidupan pasangannya. e. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
Universitas Sumatera Utara
73
Ada beberapa tujuan dari disyari’atkan perkawinan atas umat Islam. Diantaranya adalah : a. Untuk mendapatkan anak keturunan bagi melanjutkan generasi yang akan datang. b. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang. Ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dorongan seseorang perempuan waktu memilih laki-laki menjadi pasangan hidupnya. Yang pokok diantaranya adalah : karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang laki-laki;
karena
kekayaannya;
karena
kebangsawanannya
dan
karena
keberagamaannya. Diantara alasan yang banyak itu, maka yang paling utama untuk dijadikan motivasi adalah karena keberagamaannya. Menurut pengertian sebagian fukaha, perkawinan ialah : “Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau semakna keduanya.94 Pengertian itu dibuat hanya melihat dari segi saja ialah kebolehan hukum, dalamhubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari. Dapat terjadinya perceraian, kurang 94
Zakiah Daradjat, 1995, Ilmu Fiqih jilid 2, PT.Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, hal.37
Universitas Sumatera Utara
74
adanya keseimbangan antara suami isteri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan bukan saja dari segi kebolehan hubungan tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya. Jika kita menyadari hal itu maka pengertian perkawinan diatas harus diperluas sehingga dapat mencakup pelaksanaan, tujuan dan akibat hukumnya. Pengertian seperti ini kita dapati para ahli hukum Islam Mutaakh Khiriin seperti yang ditulis oleh Muhamad Abu Ishrah bahwa Nikah atau Ziwaj ialah : “Aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”. Dari pengertian yang kedua ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta tujuan mengadakan
hubungan
pergaulan
yang dilandasi tolong-menolong.
Karena
perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah swt. Tegasnya, perkawinan ialah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih-sayang dengan cara yang diridhai Allah Swt. Kalau pelaksanaan perkawinan itu merupakan pelaksanaan hukum agama, maka perlulah diingat bahwa dalam melaksanakan perkawinan itu oleh agama ditentukan unsur-unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan masing-masing rukun memerlukan syarat-syarat sahnya.
Universitas Sumatera Utara
75
1. Rukun perkawinan a.
Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yakni mempelai lakilaki dan mempelai perempuan.
b.
Adanya wali
c.
Adanya 2 orang saksi
d.
Dilakukan dengan shighat tertentu
2. Syarat dua mempelai Syarat dua mempelai itu ialah : a.
Syarat pengantin pria
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasar ijtihad para ulama, ialah : (1) Calon suami beragama Islam (2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki (3) Orangnya diketahui dan tertentu (4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon isteri (5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon isteri serta tahu betul calon isterinya halal baginya (6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu (7) Tidak sedang melakukan Ihram (8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri (9) Tidak sedang mempunyai istri empat
Universitas Sumatera Utara
76
Pernikahan dapat membentuk suatu masyarakat, maka dalam pernikahan tersebut tercakup pula ikut sertanya masyarakat yang dimulai dari uni terkecilnya yaitu keluarga. Adapun fungsi keluarga dalam masyarakat adalah sebagai berikut : a. Wadah anggota masyarakat b. Sumber kebutuhan hidup sehari-hari lahir dan batin c. Tempat pendidikan dan kebudayaan, yang merupakan salah satu dari catur pusat pendidikan d. Pusat rohaniah dalam menjalankan syari’at agama (ibadah) e. Pusat kegiatan ekonomi Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur berpendapat bahwa menikah itu hukumnya sunah, sedangkan golongn Zahiri mengatakan bahwa menikah itu wajib. Para ulama maliki Muta’akhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib untuk sebagian orang dan sunah untuk sebagian lainnya dan mubah bagi golongan lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran terhadap kesusahan atau kesulitan dirinya.95Perbedaan pendapat ini disebabkan permasalahan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis berikut serta hadis-hadis lainnya yang berkenaan dengan masalah ini, apakah harus diartikan kepada wajib, atau sunah, atau mungkin mubah.
95
Slamet Abidin, H. Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat, CV. Pustaka Setia, bandung, hal.31
Universitas Sumatera Utara
77
Islam mempunyai sesuatu karakter sosial yang mendasar, dan keluarga adalah inti masyarakatnya.96 Islam cenderung memandang keluarga sebagai sesuatu yang mutlak baik dan mendekati suci. Di samping memberikan ketentraman dan dukungan timbal balik dan saling pengertian antara suami isteri, fungsi yang jelas dari keluarga adalah memberikan saluran kultural dan legal yang dapat diterima dalam memuaskan naluri seksual maupun untuk membesarkan anak sebagai generasi baru. Namun Islam mempunyai peranan yang lebih hakiki, bagi keluarga. Dalam sistem keluarga itulah kaum Muslim mendapatkan pembinaan agama, mengembangkan watak moralnya, menegakkan hubungan sosialyang akrab, dan memelihara kesetiaan, baik kepada keluarga maupun kepada masyarakat pada umumnya. Sistem dukungan dalam keluarga (finansial, sosial, maupun emosianal) samalah artinya dengan menegakkan ketenangan pikiran dan keamanan yang diperlukan bagi perjalanan hidup. Ini terutama penting bagi para anggota yang bergantung secara sosial, yakni anak, orang tua, orang dewasa menunggal (khususnya wanita), maupun orang sakit dan orang cacat. Keluarga dalam Islam meliputi inti keluarga (suami, istri, dan anak mereka). Dan varitas-varitas yang meluas yang mencakup semua kerabat (ahl). Ada hukumhukum khusus yang mengatur hubungan keluarga, yang detail-detailnya di luar bahasan kita sekarang. Suami dan istri adalah unsur pokok dalam pembentukan keluarga. Hubungan mereka dalam perkawinan digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai dua kualitas pokok: 96
Abd.Al-Rahim ‘Umran, 1997, Islam & KB, PT.Lentera Basritama, Jakarta, hal.11
Universitas Sumatera Utara
78
cinta (birahi, persahabatan, pertemanan) di satu sisi, dan rahmah (pengertian, kedamaian, toleransi, dan saling memaafkan) disisi lain, dalam tujuan menyeluruh berupa ketenteraman. Al-Qur’an menyebutkan yang artinya : Dan di antara tandatanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di anatara kamu kasih dan sayang. (QS. Ar-Rum :21). Ayat ini sering dikutip dalam menggambarkan salah satu tujuan kehidupan rumah tangga. Dimulai dengan merujuk ke kesatuan asal suami dan istri, yang merupakan suatu pengukuhan tentang persamaan dan basis bagi keselarasan di anatara mereka. Maka kemudian menyusul dengan sendirinya ketentraman yang akan didapatkan oleh suami dan istri. Ayat kunci ini menyimpulkan dengan merujuk kepada hubungan sosial di dalam keluarga, yang berkisar dari cinta dan kelembutan kepada pengertian, sayang, dan belas kasih. Tidak ada ekspresi yang lebih baik tentang hubungan antara dua makhluk manusia yang hidup bersama-sama dalam ikatan perkawinan yang diberkati. Hubungan seperti ini dinilai demikian tingginya sehingga Allah menjadikannya sebagai bagian dari tanda-tanda-Nya, dan memanglah demikian adanya. Perkawinan/pernikahan adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga Islam. Nabi Muhammad Saw memuji institusi sebagai bagian dari sunah beliau. Kehidupan menunggal secara permanen atas kehendak sendiri bukanlah cara Islam. Hal ini dilarang dengan tegas oleh Nabi. Beberapa sahabat Nabi, dalam gairah mereka untuk beribadah secara tulus tanpa putus-putusnya, hendak menggunakan
Universitas Sumatera Utara
79
baju wol kasar (wol dalam bahasa Arab adalah shuf, dan dari satu lahir kata shufi, meninggalkan seks (dikebiri); berpuasa terus-menerus, dan sebagainya. Ketika hal ini disampaikan kepada Nabi, beliau menjadi marah dan mencela orang-orang yang bersangkutan dalam kata-kata yang tidak ramah. Suatu pendirian yang ditimbulkan oleh khayalan mereka bahwa kewanitaan itu identik dengan kelemahan tubuh dan akal, dan bahwa kejantanan adalah identik dengan kekuatan dan kecerdasan. Sebenarnya tabi'at manusia pada laki-laki maupun wanita adalah sama. Allah swt. memberikan kepada wanita-wanita sebagaimana memberikan pula kepada laki-laki, kemampuan yang cukup untuk memikul segala tanggung jawab, sehingga kedua jenis itu dapat melaksanakan tugas-tugas insan yang umum dankhusus. Karena inilah hukum-hukum Syari'at Islam menempatkan kedua jenis itu pada satu bingkai. Laki-laki menjual dan membeli, mengawinkan dan mengawini, berbuat salah dan dihukum, mendakwa dan menjadi saksi. Perempuan demikian pula menjual dan membeli, mengawinkan dan mengawini, berbuat salah dan dihukum serta mendakwa dan menjadi saksi.Kalau diteliti keadaan laki-laki dan perempuan tentu dapatdilihat bahwa mereka dalam hidup ini merupakan pendiri perusahaan atau pabrik, yang tugas buruhnya dibagi-bagi dalam segi dan tulang punggungnya tidak lain kedua jenis itu bersama-sama, masing-masing menjalankan tugasnya dalam perusahaan itu dan dalam menjalankan tugas tersebut mempunyai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, pengurusan dan pandangan.
Universitas Sumatera Utara
80
Kalau Al-Qur’an telah memberikan garis-garis umum dimana laki-laki dan perempuan sama-sama berjalan diatas garis itu, dan dimana nampak bahwa kedudukan wanita pada umumnya adalah sama dengan kedudukan laki-daki, sedang kedua kedudukan itu membentuk suatu cara hidup, yang umum dalam hal tugas, tuntutan pertanggung jawaban dan pelaksanaannya, maka Al-Qur’an pun mengakui kedua kedudukan itu. Dalam membicarakan hal ini Al-Qur’an sama-sama menyebutkan para pembangun laki-laki dan para pembangun perempuan demikian pula para pengrusak baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu menunjukkan dengan jelas bahwa kedua jenis itu sejak dahulu merupakan kekuatan yang mendorong, memberi arah dan menghasilkan. Mungkin menghasilkan kebaikan dan perbaikan, dan mungkin pula menghasilkan keburukan dan kerusakan. Pena-pena ahli sejarah yang tak terlupakan mencatat perbaikan para pembangun laki-laki dan perempuan dan mencatat pengrusakan para pengrusak laki-laki dan perempuan. Karena itu, kedudukan laki-laki dan wanita dalam syari'at Al-Qur’an sesuai dengan kedudukan sejarahnya dalam Al-Qur’an. Dalam sejarah yang dikisahkan oleh Al-Quranul Karim tentang orang-orang dahulu yang kita hafal sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw. terdapat beberapa contoh yang jelas menunjukkan bahwa kedudukan sejarah wanita seperti kedudukan sejarah laki-laki. Laki-laki mempunyai kepercayaan kepada Allah, kemurnian pendapat, kepandaian mengurus, kecerdasan pandangan, kekuatan menangkap tanda dan alamat, kemampuan mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi dan pelaksanaan berbagai urusan atas dasar yang kuat. Maka wanitapun mempunyai itu
Universitas Sumatera Utara
81
semua yang bisa mempertahankan kedudukannya, bahkan kadang-kadang melebihi kedudukan saudaranya yang laki-laki. Nikah di bawah tangan menurut hukum Islam, maka dapat diambil suatu pelajaranyaitu syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam tersebut ialah : 1. Harus ada calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan yang telah akil dan baliq. 2. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin tersebut. 3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan. 4. Harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil. 5. Harus ada mahar (emas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki kepada istrinya. 6. Harus ada ijab dan kabul antara calon pengantin tersebut. Ijab artinya pernyataan kehendak dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh walinya, dan kabul pernyataan kehendaknya (penerimaan) dari calon pengantin pria kepada calon pengantin wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab dengan pernyataan kabul tersebut. 7. Menurut tradisi semenjak dulu selesai mengucapkan akad nikah dalam bentuk formal ijab dan kabul, diadakan walimah atau pesta perkawinan, menurut kemampuan para mempelai. Kewajiban dalam Pergaulan Suami-Isteri disebutkan dalam pasal97: Pasal 67 97
Markaz al-risalah, 2004, Hak-Hak Sipil Dalam Islam, Al-huda, Jakarta, hal.97
Universitas Sumatera Utara
82
1. Suami dan isteri haruslah bergaul menurut cara yang ma’ruf (baik), yaitu saling mencintai, bergaul baik, serta memberi bantun lahir dan batin, antara satu dengan yang lain. 2. Suami wajib memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, yaitu makan/minum, pakaian dan tempat kediaman, sesuai dengan kedudukan suami menurut kadar kesanggupannya. Pasal 68 1. Suami adalah pemimpin terhadap istri, keluarga dan rumah tangganya. Kedudukannya sebagai pemimpin tidaklah memberikan hak istimewa yang lebih baginya daripada istrinya. 2. Suami harus memberikan kebebasan kepada istrinya untuk belajar ilmu pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi diri, keluarga, Nusa dan Bangsanya. Pasal 69 Suami dan istri wajib saling memelihara kehormatan dan menyimpan rahasiarumah tangga. Pasal 70 Suami dan istri memikul kewajiban untuk mengasih, mendidik dan memelihara anak-anaknya, baik mengenai pertumbuhan jasmaninya atau rohani dan kecerdasannya. Pasal 71
Universitas Sumatera Utara
83
1. Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, harulah mengatur giliran dengan adil kepada istri-istrinya itu. 2. Persetujuan istri-istri dapat memberi kebebasan kepada suami untuk mengatur giliran itu menurut kebijaksanaannya. Pasal 72 1. Apabila suami yang mempunyai istri lebih dari seorang akan berangkat ke luar negerinya atau akan pindah negeri, karena pekerjaan, pencaharian atau lainnya, sedang ia tidak sanggup membawa serta semua istrinya, maka boleh membawa seorang dari istri-istrinya dengan dengan persetujuan istri-istri yang lain. 2. Bila tidak mendapat persetujuan antara istri-istri itu, hendaknya diadakan undian antara mereka; istri yang menang dalam undian itulah yang dibawa oleh suami untuk berangkat keluar negerinya. 3. Waktu yang terpakai selama perjalanan pulang-pergi, menjadi hak istri yang berangkat bersama suami, dan tak wajib diganti bagi istri yang tinggal. 4. Istri-istri berhak menuntut, supaya diadakan giliran menurut lamanya waktu yang sudah dimufakati antara pihak-pihak yang bersangkutan, bila suami akan membawa serta isterinya dalam berangkat keluar negeri atau pindah. Bahagian Kewajiban Suami disebut dalam pasal: Pasal 73 Suami wajib memberi nafkah bagi istri dan anak-anaknya, baik istri itu kayaatau miskin, baik Muslim, Yahudi ataupun Nasrani.
Universitas Sumatera Utara
84
Pasal 74 1. Menurut Syafi’i suami yang kaya wajib membayarkan nafkah untuk seorang istri dua cupak beras tiap-tiap hari, suami yang miskin secupak*) beras dan suami yang menengah secupak setengah, serta lauk pauknya. 2. Menurut Madzhab yang lain, nafkah itu tidak ditentukan kadarnya, melainkan sekedar mencukupi untuk istri. Pasal 75 Selain dari memberi makanan, suami wajib memberi pakaian, tempat kediaman, perkakas rumah, alat kebersihan dan khaam (pembantu). Bahagian III. Kewajiban Istri Pasal 76 Kewajiban istri ialah mematuhi suami dalam hal-hal yang berhubungan antara keduanya sebagai suami istri. Pasal 77 a. Istri menyelenggarakan keperluan sehari-hari, serta mengatur urusan rumah tangga menurut semestinya. b. Menurut Syafi’i dan Hambali, istri tidak berkewajiban menyelenggarakan demikian itu hanya kewajiban terhadap suami saja. Pasal 78 a. Istri dianggap nusyuz, jika ia dengan tanpa alasan yang sah menyangkal kewajiban-kewajiban sebagai dimaksud dalam pasal 76.
Universitas Sumatera Utara
85
b. Selama istri tetap dalam nusyuznya, maka kewajiban nafkah dan tempat kediaman atau suami untuk istri itu tidak berlaku lagi. c. Kewajiban itu berlaku kembali sesudah istri insyaf dan kembali dari sikap nusyuznya.Sesungguhnya
istri
adalah
mitra
hidup
yang
saling
mengkikatkan diri dengan seorang pria (suami) secara adil untuk hidup bersama, yang bersendikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbal balik. Allah Swt berfirman, dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara-cara yang makruf. Rasulullah Saw telah ditanya sebagian kaum Anshar, katanya: "Kami sudah biasa menunggangi unta kami, namun kini unta itu menyulitkan kami, dan punggungnya tidak mau ditunggangi, padahal telah makan tanaman dan kurma. Sabda Rasul kepada sahabatnya: "Berdirilah kalian!" Maka berdirilah mereka. Kemudian beliau masuk ke kebun sedang unta itu ada di pojok. Rasulullah Saw berjalan menuju unta itu, lalu orang-orang Anshar berkata: "Ya Nabiyullah, unta itu benar-benar menjadi seperti anjing, dan kami khawatir kalau Anda diterkamnya. "Tidak apa-apa," jawab Rasul. Setelah unta itu melihat Rasulullah Saw, dia datang kepada beliau, lalu sujud dihadapannya. Karena itu, Rasulullah Saw memegang jumbul bulu kepalanya dalam keadaan sujud yang lebih rendah daripada sebelumnya, sehingga bisalah kalau beliau mau menungganginya. Maka sahabat berkata kepada beliau: "Ya Nabiyullah, hewan ini tidak- berakal, dia sujud kepada Anda, sedang kami berakal, maka tentu lebih patut kalau kami sujud kepada Anda." jawab Rasul: "tidaklah pantas bagi seseorang sujud kepada orang lain. Kalaulah sujud seseorang kepada orang lain itu pantas, tentu
Universitas Sumatera Utara
86
akan menyuruh wanita sujud kepada suaminya, karena haknya sangat besar atas istrinya. Demi Dzat yang nafsuku di tangan (kekuasaan)-Nya, sekiranya dari Ujung kaki sampai Ujung rambut suami itu penuh dengan najis muntah dan nanah, kemudian isterinya menghadapinya dengan menjilatnya, itu belumlah berarti dia telah melaksanakan hak suaminya.” (HR. Ahmad).98 Mulai dari kejadian itulah orang-orang musyrik beserta simpatisan mereka, mensujudkan untanya kepada Rasulullah Saw, dan meninggalkan sabdanya: "Tidaklah pantas bagi seseorang sujud kepada orang lain." Mereka ini lebih jahat daripada orang-orang yang mengikuti perkara mutasyabihat dan meninggalkan perkara muhkamat. Salah satu fenomena abad ke 20 di dunia Muslim adalah adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan)99. Pertama pembaruan dalam bentuk Undang-uandang kedua dengan dekrit, seperti Yaman selatan dengan dekrit raja 1942100, dan Syria tahun 1974101, ketiga ada Negara yang melalui ketetapan Hakim yaitu Sudan102 dan unifikasi hukum
yang tanpa
memandang agama seperti di Tunisia103.Sampai tahun 1996 di negara Timur Tengah 98
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, 1991, Fatwa-Fatwa Rasulullah SAW Jilid I, Pustaka Panjimas , Jakarta,hal.177 99 H.M.Atho’muzdhar, Khairuddin, 2003, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Modern, Ciputat Press, Jakarta, hal 1 100 Kirana Gupta, 1992, Polygamy –Law Reform In Modern Muslim States; A Study In Comparative, Dalam Islamic And Comparative Law-Review,Vol Xii, No 2, hal.127 101 J.N.D. Anderson, 1955, The Syrian Law Of Personalstatus,Dalam Bulletin In The School Of Oriental And African Studies, No.17, hal 34 102 Tahir Mahmood, 1972, Family law reform in Muslim WorldThe Indian Law Institute, new Delhi, hal 64. 103 J.N.D. Anderson, 1955, The Tunisian Law Of Personal Status,Dalam International And Comparative Law Quarterly, No.7, hal 266
Universitas Sumatera Utara
87
misalnva hanya tinggal lima negara yang belum memperbaharuai hukum keluarga, bahkan negara-negara ini pun sedang dalam proses pembuaatan draft, yakni Emirat Arab, Saudi Arabia, Qatar, Bahrain dan Oman104. Usaha pembaruan ini dimulai Turki pada tahun 1917, dengan lahirnya Ottoman Law of Family Right105.Perkawinan dalam perspektif masyarakat aceh sama seperti yang diajarkan dalam fikih Islam kendatipun kebanyakan masyarakat Aceh belumtersosialisasikan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
104
Dawoud El-Alami Dan Doreen Hinchcliffe, 1996, Islamic Marriage And Divorce Laws Of The Arab World, London,The Hague, Boston:Kluwer Law International, hal 4 105 Qanun Qarar al-Huquq al-‘Ailah al-Utbmaniab,1917,Ottoman Law of Family Rights.
Universitas Sumatera Utara