1
BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam cerita-cerita Melayu, tema-tema seperti penghormatan terhadap orang tua, cinta sejati, harga sumpah, kekuatan akal, karma, kepentingan masyarakat, dan toleransi tampil sangat menonjol. Di dalam cerita dengan tema penghormatan terhadap orang tua, terutama ibu, digambarkan tokoh ini memiliki kekuatan yang luar biasa, baik kekuatan cinta, maupun murkanya (Sutarto, melalui Djamaris, 2004:209). Cerita dengan tema kemurkaan tokoh ibu inilah yang tampaknya kemudian berkembang menjadi cerita yang lebih dikenal dengan cerita anak durhaka. Cerita mengenai anak durhaka ini banyak ditemukan di Indonesia. Di Provinsi Riau saja, ditemui cerita “Si Lancang” dari Kabupaten Kampar, “Batang Tuake” dari Kabupaten Indragiri Hilir, “Rawang Tekuluk” dari Kabupaten Kuantan Singingi, “Si Alang” atau “Legenda Pulau Halang Besar dan Pulau Halang Kecil” dari Kabupaten Rokan Hilir, “Manggis Keramat” dari Rokan Hulu, “Si Umbut Muda” dari Kabupaten Siak, dan ”Si Bujang: Asal Mula Burung Punai” dari Kabupaten Pelalawan. Di Sumatera Barat, dikenal cerita “Malin Kundang”. Menurut Djamaris (2004: 206), cerita anak durhaka menjadi topik yang mewarnai legenda-legenda pewarisnya yang memiliki latar belakang keagamaan yang kuat.
2
Salah satu cerita yang berkaitan dengan tema ini adalah cerita “Batu Belah” 1. Cerita ”Batu Belah” ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia, bahkan di luar negeri. Selain terdapat di Provinsi Riau, cerita ini juga ada di Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Sambas (Kalimantan Barat), dan Ambon. Di luar negeri, cerita ini dapat ditemui di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Brunei, dan Malaysia, cerita ini dikenal dengan beberapa istilah, seperti cerita “Batu Belah”, cerita “Batu Batangkup”, atau cerita “Batu Belah Batu Bertangkup”. Sementara di Gayo, Aceh, cerita ini disebut “Atu Belah”, sedangkan menurut Danandjaja (1984), di Ambon cerita ini dikenal dengan nama “Batu Badaung”. Cerita “Batu Belah” (selanjutnya ”BB”) yang dikategorikan sebagai legenda (Djamaris, 2004:198; Fitra: 2007) ini dianggap oleh masyarakat pemilik cerita tersebut, benar-benar pernah terjadi pada masa lalu. Seperti yang dikatakan oleh Danandjaja (1984:66), legenda adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar pernah terjadi. Sebagai upaya untuk memperkuat argumen kebenaran cerita tersebut, masyarakat pemilik cerita menunjukkan sebuah batu yang dipercaya sebagai batu belah yang ada di daerah mereka. Selain itu, di daerah Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Malaysia, Batu Belah dijadikan nama desa. “Kepercayaan” bahwa cerita ini benar-benar terjadi terlihat pula dari penyebutan cerita ini sebagai sejarah. Di dalam kuesioner penelitian berjudul Apresiasi Sastra Murid SMTA Kabupaten Aceh Tengah Daerah Istimewa Aceh (1992:46), Surya Noleh dkk. Istilah “Batu Belah” merujuk kepada cerita “Batu Belah” secara umum, sedangkan secara khusus, di setiap daerah, cerita ini dapat dikenal dengan istilah “Batu Belah Batu Bertangkup”, “Batu Batangkup”, “Atu Belah”, atau “Atu Badaung”. 1
3
mengategorikan cerita ini sebagai cerita bertema sejarah. Hal senada disebutkan pula oleh penulis cerita “BB” versi Gayo yang mengawali ceritanya dengan perkataan sebagai berikut. Menurut sejarah, cerita Batu Belah benar-benar terjadi karena sampai saat ini masih ada buktinya. Batu Belah tempatnya di Isaq, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah (1981:113). Cerita ”BB” yang terdapat di berbagai tempat ini merupakan sebuah cerita rakyat yang menarik untuk dikaji. Sebagai cerita yang dikategorikan bertema anak durhaka, cerita ini berbeda dengan sebagian besar cerita bertema sama, seperti Malin Kundang (Sumatera Barat), Si Lancang, dan Batang Tuake (Riau). Seperti yang disampaikan Djamaris, tokoh-tokoh anak di dalam cerita-cerita bertema anak durhaka tersebut dapat berubah menjadi batu, air, tumbuhan, atau binatang (2004: 206). Hal tersebut dapat dilihat pada cerita ”Malin Kundang” dan ”Si Lancang” yang berubah menjadi batu dan tokoh anak durhaka pada ”Batang Tuake” menjadi elang. Sementara itu, pada sebagian besar cerita ”BB”, hukuman terhadap si anak, seperti yang pada cerita-cerita di atas, tidak ditemukan. Bahkan, pada sebagian besar cerita ”BB” yang dijumpai, anak-anak yang dianggap durhaka tersebut hidup berbahagia di akhir cerita walaupun sebelumnya mereka juga mengalami kesusahan dan penderitaan. Di Indonesia, setelah cerita ”Malin Kundang”, cerita rakyat yang bertema anak durhaka yang terkenal adalah cerita ”BB”. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya resepsi terhadap cerita ini ke dalam berbagai genre. Setakat ini, bentuk transformasi awal cerita rakyat “BB” yang diketahui adalah dalam bentuk naskah berbahasa Gayo, Aceh. Tidak banyak informasi yang diketahui mengenai naskah ini karena seperti yang disebutkan di dalam buku Direktori Edisi Naskah Nusantara (2000:6) yang dieditori
4
Edi S. Ekadjati, dinyatakan bahwa penyalin, waktu penyalinan, dan tempat penyimpanan naskah ini tidak diketahui. Hal tersebut menyebabkan upaya pelacakan terhadap naskah tersebut menjadi lebih sulit. Setelah itu, cerita ”BB” ini ditransformasikan pula ke dalam bentuk syair dengan judul Shaer Batu Belah Batu Bertangkup oleh Alias Rasulun pada tahun 1962. Selain bentuk sastra lama di atas, cerita ”BB” ini juga ditransformasikan ke dalam genre sastra modern, yaitu berbentuk puisi, prosa, dan drama. Karya berbentuk puisi yang didasari cerita ”BB” adalah sajak “Batu Belah” (1937) yang ditulis oleh Amir Hamzah. Cerita rakyat ini juga bertransformasi ke dalam bentuk prosa, yaitu cerita Batu Belah Batu Bertangkup (Abd. Samad Ahmad, 1971), cerita ”Batu Belah” (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1981), cerita anak Batu Belah Batu Bertangkup: Cerita Rakyat di Kepulauan Siantan (Syamsuddin, 1983), “Batu Belah Batu Bertangkup” (Tim Penulis, 1991), Batu Belah Batu Bertangkup (Rejab F.I., 1994), Batu Belah Batu Bertangkup: Cerita Rakyat Indonesia (Suparlan, 1998), “Batu Belah Batu Bertangkup” (Burhanuddin dkk.:1998), “Batu Belah Batu Bertangkup” dalam Berguru kepada Anak dan Sejumlah cerita Rakyat yang Lain (Muda dan Merie, 2003), dan “Batu Batangkup” (Alwi, 2006). Sebuah cerpen yang berjudul ”Ibu, Anaknya, dan Sebongkah Batu” (Fitra, 2007) diakui pengarangnya juga merupakan resepsi terhadap cerita ”BB”. Sementara cerita “Batu Belah Batu Bertangkup” dalam Riau Negeri Tercinta (Ali, 2005) merupakan cerita “BB” yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab-Melayu yang digunakan sebagai materi pelajaran muatan lokal Arab-Melayu di Provinsi Riau.
5
Cerita ini ditemui pula dalam genre drama televisi, yaitu legenda “Cinta Batu Belah” (2008). Cerita ‘BB” ini pernah pula menjadi cerita dalam salah satu episode cerita Unyil yang ditayangkan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) (Wenni, 2005). Tahun 2008, cerita “Batu Belah” ini menjadi sebuah sinetron yang juga ditayangkan di TPI (2008). Sebuah film animasi “Batu Belah Batu Bertangkup” (2008) dan sebuah pementasan drama juga dibuat berdasarkan cerita “BB” ini. Jauh sebelumnya, pada tahun 1959 cerita ini pernah pula ditransformasikan ke dalam film “Batu Belah Batu Bertangkup”. Di berbagai daerah, cerita “BB” ini tidak muncul dengan bentuk yang sama persis. Padahal, dengan nama yang sama atau mirip di daerah satu dengan daerah lain, ada kemungkinan cerita “BB” berasal dari satu daerah dan kemudian menyebar (difusi) ke daerah lain. Walaupun penelitian mengenai hal ini belum ditemukan, penyebaran ini memungkinkan terjadi karena secara geografis letak daerah-daerah tersebut tidak berjauhan. Perhubungan antara daerah Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Ambon, Malaysia, Singapura, dan Brunei pun sudah lama terjadi. Daerah-daerah tersebut mempunyai hubungan historis dan kultural yang sudah berabadabad terjalin. Secara umum, cerita “BB” ini berkenaan dengan anak yang tidak patuh kepada ibunya atau membuat susah ibunya. Karena sedih dan kecewa, si ibu memutuskan untuk masuk ke dalam sebuah batu yang berbelah. Akan tetapi, pada kenyataannya, cerita ”BB” muncul dalam bentuk yang bervariasi pada setiap daerahnya. Setiap tempat, mempunyai versi atau varian tersendiri. Cerita “BB” di Aceh dan Sumatera Selatan
6
sangat berbeda dengan cerita “BB” yang ada di Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di dalam cerita “BB” yang terdapat di Aceh, tidak terdapat motif memakan telur tembakul, seperti yang ada di dalam cerita “BB” di Provinsi Riau (Kabupaten Indragiri Hilir), Kepulauan Riau, Malaysia, Brunei, dan Singapura. Kemarahan orang tua si anak, dalam hal ini ayah, terjadi karena si anak atau pada varian lain, si istri, secara tidak sengaja melepaskan belalang yang disimpan di kandang. Sementara itu, di dalam cerita “BB” yang berasal dari Sumatera Selatan, motif memakan telur tembakul juga tidak dijumpai. Perbedaan lain, tokoh yang masuk ke dalam batu belah adalah si anak perempuan, bukan ibunya, seperti pada sebagian besar cerita “BB”. Pada cerita ini, anak yang masuk ke dalam batu tersebut dapat kembali dengan selamat kepada keluarganya. Adapun, cerita “BB”
yang terdapat pada kelima tempat yang disebutkan
terakhir, mempunyai persamaan yang cukup besar. Walaupun demikian, tidak berarti cerita “BB” pada daerah-daerah tersebut benar-benar sama. Asumsi tersebut perlu dibuktikan melalui sebuah penelitian. Pada penelitian ini, dilihat cerita ”BB” yang berasal dari Provinsi Kepulauan Riau yang dibandingkan dengan cerita ”BB” yang ada di Malaysia. Walaupun berbeda negara, secara geografis Provinsi Kepulauan Riau dan Malaysia terletak pada daerah yang berdekatan. Dahulunya, kedua daerah ini termasuk ke dalam satu Kerajaan Melayu2 yang kemudian terpecah akibat Perjanjian London
2
Perjanjian London tahun 1824 yang disepakati pemerintah kolonial Inggris dan Belanda secara politik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam dua wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek)
7
tahun 1824. Dengan demikian, masyarakat kedua daerah ini secara sosial budaya mempunyai kaitan erat, bahkan setelah perjanjian London tersebut dibuat (Mahayana, 2007:1). Situasi yang demikian, membuat cerita “BB” menjadi semakin menarik untuk diteliti. Bagaimana bentuk cerita ”BB” yang hidup di dalam masyarakat Melayu di Provinsi Kepulauan Riau dan Malaysia setelah keduanya berada pada dua negara yang berbeda. Pada penelitian ini, untuk cerita “BB” yang ada di Indonesia, dipilih cerita “BB” yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, yang dibandingkan dengan cerita “BB” yang ada di Malaysia. Kedua cerita itulah yang dijadikan sampel di dalam penelitian ini. Penelitian dengan ruang lingkup sastra banding dimungkinkan pada kedua cerita tersebut. Hal itu disebabkan oleh kedua cerita tersebut berada pada dua negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Malaysia. Selain itu, bahasa yang dipergunakan pada kedua cerita itu berbeda. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup Bertangkup (1983) karya BM Syamsuddin (selanjutnya BBBB BMSy) menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan cerita Batu Belah Batu Bertangkup
(1971) yang ditulis oleh Abd. Samad Ahmad
(selanjutnya BBBB ASA) menggunakan bahasa Melayu Malaysia. Penelitian terhadap kedua cerita “BB” penting dilakukan karena beragamnya versi dan varian di setiap daerah dan juga berbagai transformasi terhadap cerita ini belum diimbangi dengan penelitian terhadap karya-karya tersebut. Sampai saat ini, hanya sedikit pembicaraan mengenai cerita “BB” (lihat daftar pustaka), apalagi dan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris, sedangkan Riau dan Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda (Maman S. Mahayana. 2007. ”Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia”, Makara, Sosial Humaniora, Vol. 11, No. 2, Desember 2007: 48-57)
8
pembicaraan yang berkenaan dengan kajian sastra banding. Setakat ini, satu-satunya tulisan yang berkenaan dengan penelitian sastra banding terhadap cerita “BB” adalah tulisan Ismail Nasution (2008), yaitu “”Batu Belah” dan Puisi “Batu Belah” Amir Hamzah: Kajian Perbandingan“. Di dalam tulisan tersebut diperbandingkan cerita Batu yang Belah yang berasal dari Kayu Agung, Sumatra Selatan dengan puisi “Batu Belah” yang ditulis oleh Amir Hamzah. Sementara itu, penelitian yang secara khusus membahas cerita-cerita “BB” di berbagai daerah di Indonesia belum ditemukan, demikian pula dengan penelitian mengenai cerita “BB” di Indonesia yang dibandingkan dengan cerita “BB” di luar Indonesia. Oleh karena itu, penelitian “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan Sastra” perlu dilakukan. Penelitian ini tidak hanya sekadar mengetahui persamaan dan perbedaan pada kedua cerita yang berasal dari dua negara yang berbeda tersebut, tetapi juga dapat mengetahui mengapa perbedaan tersebut terjadi.
1.2 Perumusan Masalah Seperti yang dijelaskan pada latar belakang masalah, masyarakat Melayu di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, dan Malaysia mempunyai kedekatan secara historis dan kultural. Setelah terpisah dan berada pada dua negara berbeda, yaitu Indonesia dan Malaysia, perlu diketahui bagaimana bentuk cerita BBBB yang ada dan berkembang pada kedua masyarakat tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut, pada penelitian ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
9
1. sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan Melaka dan berbagai versi cerita ”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang dijadikan objek, serta penulisnya; 2. struktur cerita, yaitu: tema, alur (plot); tokoh dan penokohan (character); latar (setting) cerita BBBB (1983) yang ditulis oleh BM Syamsuddin sebagai sampel cerita ”BB” yang terdapat di Indonesia dan cerita BBBB (1971) Abd. Samad Ahmad sebagai sampel dari cerita ”BB” di Malaysia; 3. persamaan dan perbedaan yang muncul pada cerita BBBB yang ditulis oleh BM Syamsuddin dan cerita BBBB Abd. Samad Ahmad dan penyebabnya.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan Malaka dan berbagai versi cerita ”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang dijadikan objek, serta penulisnya, (2) struktur cerita BBBB BM Syamsuddin dan cerita BBBB Abd. Samad Ahmad, yang terdiri atas tema, alur (plot); tokoh dan penokohan (character); latar (setting), dan (3) persamaan dan perbedaan yang muncul pada cerita BBBB yang ditulis oleh BM Syamsuddin dan cerita BBBB Abd. Samad Ahmad dan penyebabnya.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dibagi atas tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini bertujuan untuk ikut mengembangkan teori sastra banding. Pengembangan
10
tersebut didapat melalui pengetahuan mengenai bentuk-bentuk yang sama dan berbeda yang terdapat pada karya-karya sastra yang dibandingkan, yang ada di beberapa negara yang mempunyai hubungan historis dan kultural yang erat. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah (1) memberikan alternatif penafsiran kepada masyarakat dalam memahami dan mengapresiasi berbagai cerita ”BB”, (2) memperlihatkan
berbagai
macam
versi
cerita
”BB”,
dan
(3)
membantu
menginventarisasi cerita-cerita “BB” dari beberapa daerah di Indonesia dan Malaysia.
1.5 Tinjauan Pustaka Beberapa pembicaraan mengenai cerita rakyat “BB” sudah dilakukan oleh para peneliti atau pengamat sastra. Beberapa penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut. Di dalam tulisan “”Batu Belah” dan Puisi “Batu Belah” Amir Hamzah: Kajian Perbandingan“, Nasution (2008) memperbandingkan cerita Batu Belah yang berasal dari Kayu Agung, Sumatra Selatan dengan puisi “Batu Belah” yang ditulis oleh Amir Hamzah. Pembicaraan difokuskan pada aspek latar dan penokohan, serta motif si ibu melakukan bunuh diri dengan cara masuk ke dalam batu belah. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pada kedua bentuk karya tersebut. Berdasarkan konsep Jost, persamaan-persamaan yang ditemukan menunjukkan bahwa antara cerita Batu Belah dari Kayu Agung dengan puisi Amir Hamzah terdapat organic affinities, yaitu adanya relevansi pada bagian-bagian tertentu dari sastra lisan dengan puisi Amir Hamzah. Berdasarkan konsep giver-receiver (pemberi-penerima) Jost, puisi Amir Hamzah yang terbit pertamakali 1937 dianggap sebagai receiver cerita lisan “Batu
11
Belah” yang sudah ada terlebih dahulu di dalam masyarakat. Walaupun demikian, Nasution tidak dapat memastikan bahwa cerita “Batu Belah” yang berasal dari Kayu Agunglah yang menjadi rujukan Amir Hamzah menulis sajaknya. Hal tersebut mengingat cerita ini ada dan berkembang di berbagai daerah dengan versi yang beragam. Dari tulisan di atas, diketahui bahwa penelitian terhadap cerita “BB” sudah pernah dilakukan dengan kajian sastra banding, yaitu antara cerita “BB” versi Kayu Agung, Sumatera Selatan, dengan sajak “Batu Belah” oleh Amir Hamzah.
Hal tersebut
memperlihatkan bahwa penelitian yang dilakukan ini tidak sama dengan yang dilakukan Nasution. Namun, melalui penelitian Nasution ini diketahui beberapa hal, yaitu (1) ada cerita “BB” versi Kayu Agung, Sumatera Selatan dan (2) sajak “Batu Belah” Amir Hamzah yang merupakan penerima (receiver, istilah Jost) cerita “BB” adalah salah satu bentuk karya transformasi dari cerita “BB” . Di dalam tulisan “Iktibar Batu Belah Batu Bertangkup: Ibu Tidak Boleh Merajuk” (©Fitrah Sdn. Bhd), penulis menitikberatkan pembicaraannya mengenai cerita rakyat “BB” pada dua
hal, yaitu subjek pendidikan dan subjek komunikasi.
Menurutnya, dalam masalah pendidikan terdapat kepincangan yang besar pada karakter ibu dalam kisah ini. Sebagai ibu, perbuatan merajuk atas perbuatan anak (dalam kasus ini sampai sanggup membunuh diri) adalah salah. Penulis mengaitkan ketidaksabaran tokoh ibu dengan kesabaran para nabi dalam menghadapi umatnya. Dia menyatakan bahwa tidak ada komunikasi berdasarkan simpati dan empati antara kedua belah pihak, yaitu pihak si ibu dengan pihak si anak. Dalam komunikasi yang baik, sikap ‘seek to understand then to be understood’ –sikap memahami orang lain terlebih dahulu, barulah
12
orang memahami diri sendiri, sangat perlu-. Dalam cerita ini, si ibu dianggap gagal menyelami perasaan si kakak yang bersimpati pada adiknya yang lapar. Ibu juga dianggap gagal memahami perasaan si adik yang sangat menyukai telur ikan. Dengan demikian, di dalam tulisan ini, penulis mengkritik tokoh si ibu dalam cerita “BB” ini; “kebaikan” tokoh ibu tersebut digugat. Dalam tulisan “Muara Seluruh Arus Budaya Ibu, Kasih, dan Strategi Budaya...”, Putra (2007) mengaitkan sosok ibu di dalam cerita “BB” dan juga dalam sajak “Batu Belah” Amir Hamzah dengan sebuah pergulatan pemikiran dalam budaya lisan. Dia membandingkan sosok ibu di dalam cerita “BB” dengan cerita “Malin Kundang”. Di dalam cerita “Malin Kundang”, ibu tidak dapat sama sekali menerima perubahan sikap anak sehingga dia meminta anaknya dihukum. “Malin Kundang” dianggap sebagai sebuah produk dari sebuah moralitas budaya yang mengharamkan kedurhakaan sebagai landasan perubahan. Di dalam moralitas budaya yang demikian, perubahan hanya mungkin melalui negosiasi. Sementara di dalam cerita “BB”, sosok ibu merupakan martir. Ibu lebih memilih berkorban ditelan batu bertangkup daripada mengutuk anaknya yang sudah berbuat salah pada dirinya. Namun, penulis mengakui sikap ibu dapat saja dianggap tidak dapat menjalankan perannya sebagai negosiator terhadap perubahan. Dalam banyak hal, seorang ibu kerap merupakan subjek yang paling dikorbankan dari setiap transisi kebudayaan. Tulisan ini bermanfaat karena mengungkapkan adanya perubahan pemikiran dan budaya yang terkandung dalam cerita “BB”.
Di dalam buku Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Sastra Nusantara di Sumatera Selatan yang ditulis Zainul Arifin Aliana dkk. (1994) ditemukan bahwa tema
13
cerita ini adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pikir panjang akan mengakibatkan kerugian. Sementara amanat yang ingin disampaikan di dalam cerita tersebut adalah hendaknya orang berhati-hati dalam bertindak agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Sementara nilai budaya yang terdapat di dalam cerita “Batu Belah Batu Bertangkup” adalah nilai (1) kepatuhan terhadap ibu dan (2) cinta kasih. Dengan demikian, terlihat bahwa penelitian ini lebih mengarah pada upaya untuk melihat nilainilai moral yang ada di dalam cerita ”BB”.
Dalam pembicaraannya mengenai legenda pada buku Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain, Danandjaja mengemukakan cerita “Atu Belah” yang berasal dari Gayo, Aceh. Menurutnya, cerita ini merupakan salah satu contoh yang memperkuat bahwa mite atau legenda (cerita rakyat) berasal dari mimpi seseorang, seperti yang dikemukakan dalam teori poligenesis psikonalisisnya Sigmund Freud. Berdasarkan teori ini, cerita “Atu Belah” merupakan proyeksi seorang perempuan yang mengalami kesukaran dan kekecewaan hidup sehingga berangan-angan untuk kembali ke rahim ibunya, tempat yang dianggap aman. Berdasarkan pendapat aliran Freudian ini, cerita “Atu Belah” menjadi terkenal di Gayo karena perempuan di daerah itu banyak mengalami kesukaran dan kekecewaan (Danandjaja, 1984:64—66). Tulisan Danandjaja ini menganalisis cerita “Atu Belah” dengan teori poligenesis psikonalisis Sigmund Freud yang berbeda dengan teori perbandingan yang digunakan di dalam penelitian ini. Akan tetapi, tulisan Danandjaja ini memberikan pengetahuan mengenai cerita “BB” versi Gayo, Aceh, yang berbeda dengan cerita “BB” yang ada di daerah-daerah lain.
14
Penelitian Bunga Rampai Cerita Rakyat Gayo yang ditulis Kadir dkk. (1982) berisi transliterasi dan ringkasan isi dari 12 naskah berbahasa Gayo. Salah satu naskah tersebut berisi cerita “Atu Belah” yang terdapat di dalam masyarakat Gayo (Ekadjati (ed.), 2000). Kadir dkk. menggubah cerita tersebut dari pantun yang terdiri atas 47 bait. Tiap-tiap bait terdiri atas empat bait dengan berbagai variasi persajakan, yaitu abab, aaab, dan sebait bersajak abcd (Kadir dkk. 1982). Tulisan Kadir dkk. ini sangat bermanfaat karena mengandung informasi mengenai cerita “BB” yang berbentuk pantun. Setakat ini, bentuk ini merupakan bentuk tertulis yang tertua dari cerita “BB”. Selain pembicaraan mengenai cerita ”BB” di atas, ditemukan pula tulisan mengenai cerpen ”Ibu, Anak, dan Sebongkah Batu” yang merupakan transformasi dari cerita ”BB” yang berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Esai itu berjudul “Jenazah “Keranda Jenazah …” (Telaah Buku Kumpulan Cerpen “Keranda Jenazah Ayah”) yang ditulis Gde Agung Lontar dan diterbitkan di Riau Pos, Ahad, 27 Januari 2008. Esai ini memuat pembicaraan mengenai kumpulan cerpen pilihan Riau Pos tahun 2007, yaitu Keranda Jenazah Ayah: Cerpen Pilihan Riau Pos 2007. Pada esai tersebut, dibahas juga cerpen “Ibu, Anaknya, dan Sebongkah Batu” yang ditulis oleh Iggoy el Fitra. Lontar memuji teknik penceritaan yang ada di dalam cerpen ini. Selain itu, dia menyebut cerpen ini merupakan perkawinan dari dua mitos, yaitu ”Batu Belah Batu Bertangkup” dan ”Malin Kundang”.
Selain tulisan-tulisan di atas, beberapa penelitian di bawah ini dianggap dapat memberi konstribusi terhadap penelitian yang dilakukan karena meneliti beberapa cerita rakyat dengan menggunakan teori sastra banding.
15
Di dalam buku Antologi Esai Sastra Banding dalam Sastra Indonesia Modern (2003), Suripan Sadi Hutomo menulis “Cerita Kentrung Djaka Tarub dan Teori Astronout”.
Di dalam tulisan tersebut diperbandingkan cerita-cerita yang bermotif
“pemuda beristrikan bidadari setelah baju bidadari tersebut diambil oleh si pemuda ketika pemiliknya sedang mandi di telaga” yang terdapat pada cerita Jaka Tarub (Jawa), Malem Diwa (Aceh), Lahilote (Gorontalo), Cerita Telaga Bidadari atau Datu Unjun (Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan), Fefo Kakar Ritu atau Tujuh Orang Puri Bersaudara (Tetun, Nusa Tenggara Timur). Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa cerita Fefo Kakar Ritu
memiliki lebih banyak persamaan dengan cerita Lahilote
dibandingkan dengan cerita Jaka Tarub. Hal itu disebabkan (1) Laku Lekik menyusul istrinya ke langit dan (2) Laku Lekik diuji di kerajaan langit. Hutomo sampai pada kesimpulan bahwa di masa lampau terdapat hubungan yang erat antarsuku di Indonesia sehingga terdapat persamaan pada cerita-cerita tersebut. Akan tetapi, dia menemukan bahwa detil cerita berbeda pada setiap daerah. Selain memperbandingkan cerita-cerita bermotif astronout yang ada di Indonesia, Hutomo juga membandingkannya dengan cerita sejenis yang ada di Mindanao, Filipina Selatan, yaitu cerita Dato Umar dan cerita Ha-Goromo di Jepang. Dia menyimpulkan bahwa cerita yang terdapat di Mindanao tersebut mempunyai keterkaitan dengan cerita-cerita yang ada di Indonesia. Hutomo menduga cerita tersebut masuk ke Mindanao melalui Sulawesi Utara (sekarang Gorontalo) atau Halmahera. Akan tetapi, seperti yang disebutkan oleh Roosman (Hutomo, 2003:29), di Mindanao cerita itu sudah diganti dengan nama-nama Islam. Dengan merujuk pada kesamaan rumpun bahasa yang dipergunakan, yaitu bahasa Austronesia yang mempunyai kaitan erat dengan bahasa Jepang, seperti yang
16
disampaikan Matsumoto Nobuhiro (melalui Hutomo, 2003: 30), cerita-cerita seperti ini diperkirakan terdapat di daratan Asia yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara. Lebih lanjut, Hutomo menemukan cerita yang mirip di Thailand Lambantulang. Hutomo tidak hanya membandingkan cerita-cerita tersebut, tetapi juga mengaitkannya dengan teori astronout yang diajukan Eric von Daniken dalam bukunya Erinnerungen und die Zukunft (1968) dan Zuruck zu den Sterken (1969). Teori ini menganggap sastra lisan sebagai ”saksi zaman” atau ”pencatat sejarah”. Dengan demikian, cerita-cerita semotif dengan Jaka Tarub dianggap sebagai sistem proyeksi perkawinan campuran antara manusia bumi dengan wanita dari planet lain yang lebih tinggi kebudayaan dan peradabannya. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa cerita-cerita rakyat dengan motif tertentu pada masing-masing daerah memiliki persamaan secara garis besar, tetapi detil dari cerita tersebut berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan pengaruh geografis dan juga budaya yang masuk pada daerah tersebut. Di dalam tulisan “Cerita Ciung Wanara dalam Perbandingan”3 Titik Pudjiastuti memperbandingkan tiga versi cerita Ciung Wanara, yaitu cerita versi Pleyte (1910), Sajarah Banten (tt), dan
Kiai Djaka Mangoe (tt). Untuk melihat persamaan dan
perbedaan yang terdapat pada ketiga cerita tersebut, Pudjiastuti menggunakan teori strukturalisme. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa secara garis besar ketiga cerita tersebut mempunyai kesamaan. Akan tetapi, detil cerita tersebut berbeda, seperti terlihat pada penamaan tokoh-tokoh, cara Ciung Wanara membalas dendam, dan akhir cerita.
3
http://staff.ui.ac.id/internal/131635535/publikasi/CeritaCiungWanaradalamPerbandingan.pdf
17
”Analisis Perbandingan Struktur dan Nilai Budaya Dongeng Issunbooshi dengan Dongeng Jaka Kendil” (2007) ditulis oleh Ni Luh Putu Sulastri. Pada skripsinya, Sulastri membandingkan dongeng Issunbooshi yang ada di Jepang dengan dongeng Jaka Kendil yang ada di Jawa. Dia mendapati bahwa kedua dongeng ini mempunyai perbedaan pada latar, tetapi sama dari segi tema, yaitu mengenai kegigihan yang membawa keberhasilan. Adapun nilai budaya yang terdapat pada kedua dongeng tersebut adalah kepercayaan dan rasa bersyukur terhadap Tuhan, nilai kebijaksanaan, kasih sayang orang tua terhadap anak, rasa hormat pada orang tua, suka menolong, dan balas budi. Adapun nilai budaya berani meminta maaf terdapat pada dongeng Jaka Kendil, tetapi tidak ada pada dongeng Issunbooshi. Suharyanto meneliti ”Perbandingan Cerita Rakyat Indonesia-Korea Jaka Tarub dan Bidadari dengan Seonyeo Wa Namukaun” (2010). Dia menyimpulkan bahwa kedua cerita ini mempunyai kesamaan karena tokohnya memperistri bidadari. Tidak hanya itu, persamaan lainnya adalah pesan moral kedua cerita tersebut, yaitu ”sesuatu yang diawali dengan kebohongan tidak akan berakhir dengan baik”. Akan tetapi, terdapat pula perbedaan pada kedua cerita ini, yaitu penokohannya, alur, dan juga latarnya. Pemaparan beberapa penelitian di atas menunjukkan dua hal. Pertama, menunjukkan orisinalitas penelitian yang dilakukan. Artinya, setakat ini belum ada yang meneliti “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan”. Kedua, penelitian-penelitian yang disebutkan di atas dapat dijadikan masukan (input) bagi penelitian ini. Penelitian mengenai cerita rakyat dari beberapa daerah atau negara di atas, misalnya, bermanfaat untuk melihat cara memperbandingkan struktur cerita yang dilakukan antara satu cerita dengan cerita lainnya.
18
1.6 Kerangka Teori Penelitian ini berada dalam ruang lingkup perbandingan sastra yang dibantu teori struktural semiotik. Perbandingan sastra dipergunakan karena ingin mengetahui persamaan dan perbedaan yang ada pada cerita “BB” yang ada di Indonesia dan Malaysia. Hal tersebut dilakukan karena kedua karya sastra ini berasal dari dua negara yang berbeda, yaitu Indonesia dan Malaysia serta menggunakan bahasa yang berbeda pula, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Malaysia. Sementara itu, teori strukturalisme semiotik dipergunakan untuk meneliti struktur dan makna tanda-tanda yang terdapat pada kedua karya sastra. Dengan teori ini, dapat diungkapkan struktur dan tanda-tanda yang terdapat di dalam cerita BBBB di Indonesia dan Malaysia. Melalui penganalisisan dengan penggunaan teori struktural semiotik, unsur-unsur pada kedua cerita dapat diketahui untuk kemudian dibandingkan.
1.6.1 Sastra Banding Istilah sastra banding muncul pertama kali di Perancis pada tahun 1816. Istilah ini berasal dari sebuah antologi pengajaran sastra yang berjudul Cours de Litterature Comparee. Di Jerman, sastra banding disebut dengan istilah
vergleichende
literaturgesichte yang muncul di dalam buku Moriz Carriere (1854). Sementara di Inggris istilah comparative literature diperkenalkan oleh Matthew Arnold pada tahun 1848 (Bassnett, 1995:12). Berbagai pendapat dikemukakan para ahli berkenaan dengan ruang lingkup penelitian yang disebut sastra banding ini. Remak (1990:1) menyatakan bahwa sastra
19
banding merupakan kajian yang membahas karya sastra dengan karya sastra lain di luar batas negara. Dia juga memperbolehkan penelitian sastra yang dikaitkan dengan ilmu di luar sastra, seperti seni, filsafat, sejarah, politik, ekonomi, dan agama. Sementara itu, Nada (1999:9 melalui Damono, 2005: 4) menganggap penelitian sastra banding hanya diperbolehkan antarkarya sastra saja dengan penekanan adanya unsur kesejarahan dan perbedaan bahasa yang ada di antara karya-karya yang dibandingkan. Dalam perkembangannya, terdapat dua mazhab sastra banding yang terkenal, yaitu mazhab Eropa dan Amerika. Mazhab Eropa menekankan pada penelitian antarkarya sastra saja. Adapun mazhab Amerika berpendapat bahwa di dalam sastra banding diperbolehkan memperbandingkan sastra dengan disiplin bidang lain, seperti seni, filsafat, dan bidang-bidang lain (Damono, 2005: 10). Berkaitan dengan ruang lingkup penelitian sastra banding ini, berdasarkan pendapat François Guyard4, Owen Aldrige5, lebih rinci, Clements (melalui Damono, 2005: 8), mengajukan lima pendekatan yang dapat dipergunakan dalam sastra banding, yaitu (1) tema/mitos, (2) genre/bentuk, (3) gerakan/zaman, (4) hubungan-hubungan sastra dengan bidang seni dan disiplin ilmu lain, dan (5) pelibatan sastra sebagai bahan perkembangan teori yang terus-menerus bergulir. Sementara, Francois Jost (1974: viii—ix) mengajukan empat
bidang dalam
kajian sastra banding, yaitu (1) relasi analogi dan pengaruh, (2) gerakan dan trend (3)
4
Francois Guyard menyatakan bahwa pendekatan dalam sastra banding adalah sejarah hubunganhubungan sastra antarbangsa. Di dalamnya, terdapat survei mengenai pertukaran gagasan, tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa, di antara dua atau beberapa sastra (melalui Damono, 2005:7) 5 Owen Aldridge beranggapan bahwa sastra sebagai studi mengenai gejala sastra dari perspektif lebih dari satu sastra suatu bangsa atau hubungannya dengan satu atau lebih disiplin intelektual (melalui Damono, 2005:7)
20
genre dan bentuk, dan (4) motif, tipe, dan tema. Kategori yang pertama, relasi analogi dan pengaruh, merujuk pada penunjukan adanya pertalian atau jalinan organik satu karya dengan karya lain. Penelitian diarahkan pada pengaruh satu karya terhadap karya yang lain, yang berkaitan dengan analogi antara beberapa karya, baik sebagai penerimapemberi (giver-receiver) atau pertalian hubungan sebab-akibat. Pada kategori ini, termasuk pula aspek sastra interdisipliner, yaitu sejumlah koneksi antara sastra dengan domain budaya lain, seperti filsafat, psikologi, sosiologi, linguistik, musik, dan seni lukis. Pada kategori kedua, yaitu gerakan dan trend, meneliti studi mengenai gerakan dan trend -seperti Renaissans, Baroque, Klasisme, Romantisme, Realisme- yang mencirikan peradaban Barat dalam frase perkembangan. Gerakan dan trend ini terutama akan terlacak pada karya-karya penulis yang dominan (andal) yang karya-karyanya selalu mencerminkan semangat zaman (Zeitgeist). Kategori ketiga adalah genre dan bentuk. Pada kategori ini analisis karya sastra dilihat dari sudut pandang bentuk (form) lahir dan batin, genre karya. Kategori terakhir ini menggabungkan studi tentang tema dan motif. Akan tetapi, tema dan motif juga bisa berbentuk abstrak dan konseptual murni. Tema dan motif dapat terkait dengan topik seperti patriotisme, pemberontakan, persahabatan, dan kematian. Sastra banding muncul disebabkan kekhawatiran adanya pandangan sempit mengenai sastra nasional. Oleh karena itu, sastra bandingan bertujuan untuk menghapus pandangan sempit sastra nasional dan untuk menghilangkan anggapan bahwa satu sastra nasional lebih baik dari satu sastra nasional lainnya (Wellek dan Warren, 1990: 51). Di sisi lain, sebelumnya, penelitian sastra bersifat monodisipliner, yaitu terpusat pada karya sastra saja. Penelitian yang seperti ini cenderung sebatas meningkatkan keterampilan
21
berbahasa, mengembangkan kosakata, atau mencari tema-tema kemanusiaan yang universal. Hal tersebut dapat mengalienasi karya sastra terhadap ilmu-ilmu lain. Sastra banding dianggap sebagai solusi terhadap kelemahan tersebut. Melalui penelitian sastra banding diharapkan sastra akan lebih dekat dengan disiplin ilmu sosial lainnya dan dapat mengembangkan cara pandang yang utuh dan luas terhadap realitas (Rokhman, 2003: 4-6).
1.6.2 Teori Struktural Semiotik Seperti yang sudah disampaikan di atas, penelitian teori sastra banding ini didukung teori lain, yaitu teori struktural-semiotik. Seperti yang disampaikan Damono (2005:2) bahwa teori sastra banding tidak menghasilkan teori sendiri. Oleh karena itu, teori apa pun dapat dipergunakan sesuai dengan objek dan tujuan penelitian. Di dalam penelitian ini, teori pendukung tersebut adalah teori struktural semiotik. Teori strukturalisme menganggap sebuah karya sastra terdiri atas unsur-unsur yang terjalin erat yang membentuk sebuah struktur (Pradopo, 2001:97). Makna sebuah karya sastra didapat melalui totalitas unsur-unsurnya tersebut (Hawkes, 1978: 17—18). Senada dengan pendapat di atas, Teeuw (1988:135) menyatakan bahwa pendekatan strukturalisme berupaya memahami karya sastra dengan memperhitungkan strukturstruktur atau unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai suatu jalinan yang utuh. Menurutnya, penggunaan pendekatan struktural dalam analisis dimaksudkan untuk membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterjalinan dan keterkaitan semua unsur karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh.
22
Stanton (1965:12-34) mengemukakan bahwa yang disebut struktur cerita itu terdiri atas unsur-unsur tema (theme), fakta cerita (fact of story), yang mencakup alur (plot);
tokoh dan penokohan (character); latar (setting), dan sarana-sarana sastra
(literary devices) yang terdiri atas pusat pengisahan (point of view), gaya bahasa dan nada (style and tone), simbol (symbol), ironi (irony), dan sebagainya. Untuk keperluan penelitian ini, unsur yang dibahas adalah tema, alur, tokoh dan penokohan, serta latar. Stanton (1965:4) menyebut tema sebagai arti pusat, ide pusat, atau ide pokok. Lebih lanjut, dia mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Alur adalah cerita yang berisi urutan peristiwa dan tiap peristiwa itu dihubungkan berdasarkan hubungan sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain dan apabila dihilangkan dapat merusak jalan cerita (Stanton, 1965: 14). Hal senada diungkapkan Forster (1970: 93) yang menyatakan alur sebagai peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Untuk melihat alur, Stanton (1965:14) melakukannya melalui pembabakan peristiwa yang disebut episode. Abrams (1981:20) menyatakan bahwa tokoh cerita dimaksudkan untuk orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Adapun latar (1981:175) adalah landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
23
Seperti yang dinyatakan oleh Teeuw (1991:61), pendekatan struktural ini memang bukan tugas utama atau tujuan akhir sebuah penelitian karya sastra, tetapi analisis ini merupakan prioritas pekerjaan pendahuluan (Teeuw, 1983:61) apabila hendak menganalisis sebuah karya sastra dari sudut apapun. Oleh karena itu, penelitian terhadap struktur ini dilanjutkan dengan penelitian semiotik yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari teori struktural. Hal tersebut disebabkan, karya sastra dianggap sebagai struktur tanda yang memiliki makna (Junus, 1981:17). Semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeion, yang berarti ‘tanda’. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda, sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi yang memungkinkan tanda itu mempunyai arti (Pradopo, 1995:119). Menurut Saussure (melalui Nöth, 1990: 60) tanda memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifié; signifier) dan petanda (signifiant; signified). Penanda (signifier, expression) adalah apa yang digunakan untuk merepresentasikan tanda, sedangkan petanda (signified/concept, content) adalah makna yang direpresentasikan oleh tanda itu. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda ini, dikenal istilah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang mempunyai hubungan yang alamiah berupa persamaan antara penanda dan petandanya. Indeks merupakan tanda yang hubungannya bersifat kausalitas antara penanda dan petandanya, sedangkan pada simbol, hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbitrer (Pradopo, 1995:120). Pemberian makna pada tanda tersebut, tergantung pada sistem, aturan, dan konvensi yang berlaku pada masyarakat. Oleh karena itu, pemberian makna pada tanda yang ada di dalam karya sastra hendaknya memperhatikan konvensi bahasa, konvensi
24
sastra, kerangka kesejarahan, dan relevansinya dengan sosial budaya masyarakat (Pradopo, 2000: 47). (a) Konvensi Bahasa Karya sastra bermedium bahasa. Sebelum menjadi bagian dari karya sastra, bahasa ini sudah memiliki arti (meaning) yang ditentukan oleh konvensi masyarakatnya (Teeuw, 1988: 96). Pada tataran ini, bahasa berada pada sistem semiotik tingkat pertama (ein primäres modellbildendes system; primary order semiotics) (Lotman melalui Teeuw, 1988: 99). Bahasa yang sudah mempunyai arti inilah yang dieksplorasi oleh sastrawan di dalam karyanya. Walaupun kemudian dijumpai penggunaan bahasa yang menyimpang dari arti yang umum, pemaknaan terhadap kata tersebut masih dapat dirunut ke dalam konvensi bahasa yang disepakati masyarakatnya. Seperti yang dikemukakan Teeuw (1988: 97) bahwa sistem kemaknaan bahasa itu bersifat lincah, luwes, dan penuh dinamika sehingga memberi peluang bagi pemanfaatannya secara kreatif.
Namun,
diingatkan oleh Pradopo (2000: 47) bahwa penggunaan kata yang terlalu jauh dari arti yang diketahui oleh masyarakat membuat karya tersebut menjadi kurang komunikatif. (b) Konvensi Sastra Ketika berada dalam sebuah karya sastra, arti bahasa (meaning) tersebut akan memperoleh makna tambahan yang disesuaikan dengan sistem dan konvensi sastra sebagai sistem semiotika tingkat kedua (ein sekundäres modellbildendes system; secondary order semiotics) (Lotman melalui Teeuw, 1988: 99). Pada tataran ini, yang dicari adalah makna (significance) bahasa yang didapatkan melalui tempat dan fungsi bahasa tersebut di dalam struktur karya sastra (Pradopo, 2000: 48). Makna tambahan ini,
25
seperti istilah yang diajukan Preminger (1974; 980--981), biasanya juga bersumber dari arti kata tersebut (Pradopo, 1995:121). Dalam perwujudannya di dalam karya sastra, terlihat penyimpangan penggunaan bahasa dari konvensinya yang dikenal dengan istilah defamiliarisasi atau deotomatisasi (Teeuw, 1983: 4). Pembaca, termasuk peneliti, bertugas untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi di dalam karya sastra tersebut sehingga dapat dipahami dengan baik. Selain konvensi sastra yang diungkapkan di atas, perlu pula diperhatikan genre karya sastra yang diteliti. Secara garis besar, karya sastra dibagi atas beberapa jenis-jenis sastra (genre), seperti puisi, prosa, dan drama. Genre puisi terdiri atas ragam puisi lirik, pantun, syair, soneta, balada, dan sebagainya. Sementara genre prosa terdiri atas cerpen, novel, dan roman sebagai ragam utama (Pradopo, 2001: 73). Untuk puisi, konvensi yang harus diperhatikan adalah yang berkenaan dengan bahasa kiasan, sarana retorika, gaya bahasa, ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Konvensi lain yang terdapat pada puisi adalah konvensi visual yang terdiri atas bait, baris sajak, enjambement, sajak (rima), tipografi, dan homologue. Sementara pada prosa, yang kerap disebut juga dengan cerita rekaan, konvensi yang harus diperhatikan adalah plot, penokohan, latar, dan pusat pengisahan (Pradopo, 2001, 74). Adapun untuk drama konvensinya adalah plot, karakter, dan tema yang disebut sebagai struktur dan dialog, suasana hati (mood), dan spektakel (spactacle) yang merupakan bagian dari tekstur drama (Kernodles melalui Soemanto, 2002:15). (c) Kerangka Sejarah; Hubungan Intertekstual Sebuah karya sastra haruslah dipandang sebagai respon atau jawaban terhadap karya sastra sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983: 65). Oleh karena itu, sebuah karya
26
sastra dapat dipahami secara lebih baik apabila dihubungkan atau dibandingkan dengan karya sastra lain yang ditanggapi tersebut. Pernyataan ini sesuai pula dengan pendapat Julia Kristeva, (melalui Teeuw, 1988:145) yang menyatakan bahwa setiap teks sastra harus dibaca dengan latar belakang teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang benar-benar mandiri. Kristeva (melalui Culler, 1977:139) mengemukakan bahwa setiap karya sastra merupakan mosaik kutipankutipan, penyerapan, dan transformasi dari teks lain. Memahami sebuah karya sastra dengan menghubungkannya dengan karya sastra lain, seperti yang diterangkan di atas, menggunakan prinsip intertekstual. Sebuah karya dipahami sebagai bagian dari konteks rangkaian sejarah sastra (Pradopo, 1995: 167). Pada intertekstual, karya yang lebih awal ada atau yang menjadi latar karya lain disebut sebagai hipogram (Riffaterre, 1978: 11), sedangkan karya yang lahir sesudahnya disebut karya transformasi. Sebuah karya sastra yang dianggap mempunyai hubungan intertekstual tidak selalu harus mempunyai kesamaan karena seperti yang disampaikan Julia Kristeva via Teeuw (1988:145—146) hubungan ini dapat pula dalam arti penyimpangan dan transformasi model teks; pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi. Lotman menyatakan bahwa ada kecenderungan pengarang tradisional mengikuti konvensi dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Sementara pengarang modern berusaha menyimpanginya. Sistem artistik yang dilakukan oleh pengarang tradisional disebut estetika identitas dan estetika yang diikuti pengarang modern disebut estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1988:26—27; Abdullah, 1991:100). Oleh karena
27
itu, sebuah hubungan intertekstual dapat berupa afirmasi, negasi, atau inovasi (Abdullah, 1991:105) terhadap apa yang direspon pengarang. Dengan menyandingkan karya-karya yang berhipogram, makna dari karya-karya tersebut dapat diketahui secara lebih baik (Pradopo, 2000: 55). Menurut Pradopo (1983:32) dalam perbandingan secara intertekstual ini, dapat diperbandingkan baik masalah yang ditampilkan struktur penceritaan maupun gaya ataupun teknik pengekspresiannya.
(d) Relevansi Sosial Budaya Untuk memahami sebuah karya sastra, perlu diperhatikan latar sosial budaya ketika karya tersebut muncul. Hal tersebut disebabkan, seperti yang diungkapkan Teeuw (1983: 4, 8), karya sastra tidak terlahir dari kekosongan budaya. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan mengenai latar sosial budaya dari karya tersebut yang secara tidak langsung terungkap dalam sistem bahasanya (1988: 100). Pradopo (2000: 59) menyatakan bahwa latar sosial budaya tersebut dapat dilihat di dalam karya sastra tersebut. Latar tersebut akan tercermin dari tokoh, sistem kemasyarakatan, kebiasaan, adat-istiadat, pergaulan, kesenian, dan benda-benda budaya yang ada di dalam karya tersebut. Pengetahuan mengenai latar sosial budaya ini sangat membantu pembaca untuk memahami karya sastra. Karya yang mempunyai latar sosial budaya yang berbeda akan memperlihatkan tindakan-tindakan yang berbeda dari tokoh-tokohnya. Pemahaman terhadap latar inilah yang memungkinkan pembaca “mengerti” tindakan tokoh Pariyem seperti yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Selain itu,
28
latar sosial yang berbeda ini akan memunculkan cerita yang yang dianggap mempunyai kesamaan, tetapi tetap mempunyai perbedaan. Hal tersebut terlihat pada contoh cerita bertema inces, Oedipus yang berasal dari Yunani dan Sangkuriang dari Sunda yang dibahas oleh Damono (2005: 54--60) ketika menulis mengenai “Membandingkan Dongeng”. Pada cerita Oedipus, tokoh tersebut berhasil menikahi ibunya sendiri, tetapi di dalam cerita Sangkuriang hal itu tidak terjadi. Hal tersebut tidak terlepas dari latar sosial budaya yang berbeda dari kedua cerita tersebut.
1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode Penelitian Secara umum, metode penelitian yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan demikian, penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari objek yang diamati (Moleong, 1998:3). Penelitian dengan metode ini bertujuan menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data yang sedalam-dalamnya. Penelitian dengan metode ini tidak mengutamakan besarnya populasi sehingga dengan data yang sedikit atau terbatas pun, penelitian ini dapat dilakukan (Denzin dan Lincoln melalui Hariwijaya, 2007:71). Secara khusus, penelitian ini akan menggunakan metode perbandingan sastra yang dibantu oleh teori struktural- semiotik. Hal tersebut disebabkan sastra merupakan fenomena yang universal, sekaligus individual (Chamamah-Soeratno, 2001:10). Sebagai fenomena yang universal, sastra dapat diteliti dengan menggunakan metode umum. Akan tetapi, sebagai fenomena individual, sastra juga harus diperlakukan secara khusus. Oleh karena itu, penelitian sastra membutuhkan sebuah metode yang khusus pula.
29
Chamamah-Soeratno (1994:14--16) mengemukakan bahwa karya sastra memiliki sifat khusus dilihat dari sisi bahannya, yaitu bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-hari. Pemakaian bahasa yang berbeda tersebut pada hakikatnya dalam rangka fungsi sastra sebagai sarana komunikasi untuk menyampaikan informasi yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula. Penelitian “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan Sastra” ini menggunakan metode perbandingan. Seperti yang dikemukakan Damono (2005:2), dalam penelitian yang menggunakan sastra banding, metode ini merupakan langkah utama. Azas yang dipergunakan adalah bandingmembandingkan. Hal yang dibandingkan tersebut adalah struktur dari dua karya sastra yang dipilih, yaitu cerita BBBB BMSy dengan BBBB ASA. Adapun unsur yang dibandingkan tersebut adalah plot, tokoh, latar, dan tema. Unsur
yang dibandingkan
disesuaikan
dengan
teori
pendukung
yang
dipergunakan. Di dalam penelitian ini, teori pendukung yang dipergunakan adalah teori struktural-semiotik. Berdasarkan teori ini, karya sastra adalah sebuah struktur yang bermakna (Pradopo, 1995: 141). Makna didapat melalui totalitas unsur-unsur karya tersebut (Hawkes, 1978: 17--18). Berkenaan dengan hal tersebut, langkah-langkah yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan sejarah berdiri dan runtuhnya Kesultanan Malaka dan berbagai versi cerita ”BB” di Indonesia, sinopsis cerita BBBB yang dijadikan objek, serta penulisnya. Sejarah Melaka diungkap untuk mengetahui sejarah pemisahan daerah Melayu yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya kedua cerita BBBB. Penyebutan
30
beberapa versi cerita BBBB dimaksudkan untuk menempatkan kedua cerita ini sebagai bagian dari berbagai cerita BBBB yang ada. Kedua, menganalisis struktur cerita-cerita BBBB, baik ditulis BM Syamsuddin maupun yang ditulis oleh Abd. Samad Ahmad. Analisis difokuskan untuk menemukan plot, tokoh, latar, dan tema yang membentuk cerita-cerita tersebut. Langkah ini perlu dilakukan untuk mengetahui struktur kedua cerita BBBB sehingga kemudian dapat dibandingkan. Metode yang dipergunakan untuk menemukan hal di atas adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik yang diajukan Riffaterre (1978: 5—6). Pada pembacaan heuristik karya dibaca berdasarkan struktur bahasanya. Sementara pada pembacaan hermeneutik, karya dibaca berdasarkan konvensi sastranya (Pradopo, 1995:135). Pada cerita rekaan (cerkan), seperti yang menjadi objek kajian pada penelitian ini, pembacaan heuristik yang dilakukan adalah pembacaan ”tatabahasa” ceritanya, yaitu pembacaan cerita dari awal sampai akhir cerita. Pembacaan dengan cara ini dapat dipermudah dengan membuat sinopsis cerita. Dalam hal ini, cerita yang berplot sorot balik dapat dibaca berplot lurus. Dengan demikian, bagian-bagian yang berurutan dari cerita tersebut dapat diterangkan (Pradopo, 2001: 84).
Setelah pembacaan secara heuristik, pembacaan dilanjutkan dengan pembacaan hermeneutik atau disebut juga retroaktif. Pada pembacaan ini, karya dibaca kembali secara bolak-balik (retroaktif) dan kemudian diberi penafsiran (hermeneutik). Pada tahap ini, karya sastra dibaca sebagai bagian dari sistem semiotik tingkat kedua sehingga yang didapatkan adalah makna (significance) dari karya tersebut.
31
Ketiga, menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan unsurunsur yang terdapat pada cerita-cerita tersebut. Setelah struktur kedua karya sastra itu dapat diungkap, persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada cerita BBBB BM Syam dan BBBB ASA dideskripsikan satu per satu, terutama yang berkaitan dengan struktur plot, tokoh, latar, dan tema. Pada bagian ini, dijelaskan pula penyebab terjadinya persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada cerita-cerita BBBB tersebut. Keempat, membuat kesimpulan dari penelitian ini. Setelah mengetahui beberapa persamaan dan perbedaan pada cerita BBBB yang berasal dari Indonesia dan Malaysia di atas, dibuat simpulan terhadap makna yang didapat melalui analisis kedua cerita tersebut.
1.7.2 Populasi dan Sampel Di dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh cerita rakyat “BB” dalam berbagai genre dan versi yang ada selama ini, baik yang terjangkau oleh penulis ataupun tidak. Populasi cerita rakyat “BB” dikumpulkan sebanyak mungkin melalui studi kepustakaan dan internet. Dari populasi tersebut, teridentifikasi beberapa cerita ”BB” dari berbagai genre dan versi sebagai berikut. a. satu puisi, yaitu sajak ”Batu Belah” yang ditulis Amir Hamzah dalam kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi; b. sebelas teks cerita ”BB” bergenre prosa. Dua dari cerita tersebut menggunakan tulisan Arab-Melayu;
32
c. satu cerita drama “Bangsawan Batu Belah Batu Bertangkup” ditulis oleh Lenny Erwan; d. dua lagu yang berkisah tentang cerita “BB”, yaitu lagu ciptaan Mohd. Syed bin Ahmad dan lagu yang dinyanyikan oleh grup band Malaysia Poetical Kingdom dari Malaysia; e. satu film “Batu Belah Batu Bertangkup” yang disutradarai oleh Jamil Sulong dari Malaysia; f. sinetron dengan judul “Batu Belah”. Sinetron ini ditayangkan di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI); dan g. sebuah cerita animasi “Batu Belah Batu Bertangkup” versi (tokoh) burung berasal dari Malaysia yang dibuat oleh Adi Lukman bin Saad. Dari cerita-cerita ”BB” dan transformasinya tersebut di atas, dipilih dua cerita sebagai sampel, yaitu: 1. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup: Cerita Rakyat di Kepulauan Siantan Karya BM Syamsuddin (1983) Cerita BBBB yang ditulis BM Syamsuddin ini diperuntukkan bagi anak-anak. Hal tersebut terlihat dari tulisan “bacaan anak” yang tertera di bagian sudut kanan atas pada lembar halaman judul buku (cover). Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1983. 2. Cerita Batu Belah Batu Bertangkup Karya Abd. Samad Ahmad (1971) Cerita BBBB karya Abd. Samad Ahmad ini pertama kali dicetak pada tahun 1963 oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Setelah itu, dengan penerbit yang sama, pada tahun 1969, terbit cetakan kedua, disusul cetakan ketiga pada tahun
33
1971. Terakhir diketahui bahwa cerita ini kembali dicetak oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia pada tahun 1999. Akan tetapi, pada penelitian ini, cerita BBBB yang digunakan sebagai sampel adalah cerita BBBB yang terbit pada tahun 1971. Di dalam sekapur sirih (Se-kapor Sireh) dan pendahuluan yang terdapat pada buku tersebut, tidak disebutkan kalau terdapat perubahan pada buku-buku terbitan 1963, 1969, dan 1971 tersebut. Kedua sampel ini yang menjadi sumber data bagi penelitian ini. Kedua karya ini dipilih sebagai sampel disebabkan hal-hal sebagai berikut. 1. Kedua cerita BBBB ini dianggap memiliki unsur cerita yang lebih lengkap dibandingkan dengan cerita-cerita ”BB” lainnya. Cerita dimulai ketika keluarga ini masih memiliki ayah sampai kedua tokoh anak ini mulai memperoleh kesenangan hidup. 2. Cerita-cerita BBBB yang dipilih sebagai sampel ini termasuk cerita ”BB” yang sudah lama dicetak, yaitu tahun 1983 untuk cerita BBBB BMSy dan 1971 untuk cerita BBBB ASA. 3. Cerita-cerita
BBBB
ini
ditulis
oleh
pengarang-pengarang
yang
diakui
kepengarangannya di negara masing-masing. Oleh karena itu, karya-karya mereka dianggap bermutu dan dapat mewakili cerita-cerita ”BB” lainnya.
1.8 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi atas lima bab. Bab I Pengantar berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
34
Di dalam bab II dideskripsikan latar belakang sejarah Kesultanan Melaka, ceritacerita Batu Belah Batu Bertangkup yang ada di Nusantara, dan pengarang BBBB. Pada bab III dikemukakan struktur cerita BBBB karya BM Syamsuddin (Indonesia) dan Abd. Samad Ahmad (Malaysia). Bab IV berisi penjelasan mengenai persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan yang terdapat pada cerita-cerita BBBB yang berasal dari negara yang berbeda tersebut. Di dalam bab V ini, dimuat simpulan terhadap penelitian berjudul “Cerita Batu Belah Batu Bertangkup di Indonesia dan Malaysia: Kajian Perbandingan Sastra”. Pada bagian ini disampaikan pula saran-saran yang dirasa perlu untuk penelitian selanjutnya.