BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Globalisasi yang terjadi saat ini telah merambah perekonomian (dunia bisnis) dengan sangat cepat. Dinamika serta kepesatan yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, ternyata telah membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap pranata-pranata hukum, maupun lembaga lainnya (Rahardjo, 2000: 13). Implikasi
terhadap
pranata
hukum
disebabkan
karena
tidak
memadainya perangkat norma yang ada, khususnya dalam hal perjanjian perdagangan antara para pihak yang berlainan negara dalam hal terjadinya sengketa. Hal semacam ini selalu terjadi aplikasi tidak tercapai kesepakatan. Jika para pihak dalam suatu perjanjian datang dari dua negara yang berbeda dan apabila mereka tidak dapat menyelesaikan sengketa yang timbul secara damai, maka tiga persoalan pokok lahir dari “conflict of laws” ini. Pertama, hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang mereka buat. Kedua, badan mana yang berwenang untuk memeriksa atau mengadili perselisihan mereka. Ketiga, apakah suatu putusan pengadilan asing atau arbitrase dapat dilaksanakan di suatu negara salah satu pihak yang bersengketa (Mays, 1996: 1-2).
1
Penelitian Tesis ini mencoba membahas tiga persoalan yang pertama pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi (forum) karena beberapa alasan, sebagai berikut: a. Berbagai pihak mencampuradukkan pengertian pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi (forum). Pilihan hukum dianggap sama pilihan dengan pilihan yurisdiksi (forum) dan demikian sebaliknya. Padahal pilihan hukum berkenaan dengan hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian yang melibatkan dua hukum dari negara yang berbeda, sedangkan pilihan yurisdiksi (forum), adalah mengenai badan mana yang berwenang memeriksa atau mengadili perselisihan yang terjadi. Pilihan yurisdiksi (forum) disuatu negara tidak berarti hukum yang berlaku adalah hukum dari yurisdiksi (forum) yang dipilih tersebut dan demikian juga sebaliknya, di mana pemilihan hukum suatu negara tidak berarti pengadilan negara tersebut yang mempunyai kompetensi memeriksa dan mengadili perselisihan bersangkutan. b. Ketidak jelasan pengadilan mengenai pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi (forum) ini dapat merugikan hubungan ekonomi dan perdagangan internasional suatu negara, karena tidak adanya kepastian hukum. c. Masalah apakah suatu putusan pengadilan asing atau arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia, tampaknya sudah mendapat jawaban yang pasti. Indonesia tidak terikat pada putusan pengadilan asing berdasarkan Pasal 22a.A.B. (Gautama, 1987: 280). Sampai saat ini tidak ada perjanjian antara Indonesia dengan negara lain bagi pelaksanaan keputusan
2
pengadilan asing. Namun, Indonesia mengakui dapat melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1981, Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri. Sesuai dengan Konvensi New York 1958, Indonesia dapat tidak melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri bila perjanjian yang memuat klausula arbitrase Null and Void berdasarkan hukum Indonesia atau pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri tersebut akan bertentangan dengan public policy Indonesia. Pilihan hukum dalam kontrak perdagangan Internasional menjadi penting, karena adanya perbedaan sistem hukum, melaksanakan berbagai konvensi serta mengikuti kemajuan teknologi yang tidak mengenal batas negara, antara lain adalah sebagai berikut: a. Bertambahnya kontrak-kontrak internasional yang dibuat antara pihak Indonesia dan pengusaha asing dalam berbagai bidang, melibatkan berbagai sistem hukum yang berbeda (Juenger, 1999: 1310-1311). Kontrak-kontrak internasional tersebut, antara lain, berupa perjanjian usaha patungan (Joint Venture Agreement) perjanjian waralaba (Franchise Agreement), perjanjian keagenanan (Agency Agreement). b. Pilihan hukum penting dicantumkan dalam kontrak-kontrak internasional tersebut, untuk menghindari conflict of laws (Rachman, 1999: 147), jika terjadi sengketa dikemudian hari dengan maksud membebaskan atau meringankan pengadilan memecahkan masalah mengenai hukum mana
3
yang berlaku. Kalau tidak ada pilihan hukum atau terjadi kekosongan hukum, maka akan timbul masalah hukum negara manakah yang berlaku dalam memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul (Ribstein, 1994: 999). Pada kontrak internasional, khususnya berkenaan dengan perdaganan barang, barang yang sama mungkin dibawa dan dijual beberapa kali, sebelum dikirim kepada pembeli yang terakhir. Semua kontrak yang berkaitan dengan penjualan berang tersebut, mencantumkan pilihan hukum yang sama secara tegas dan jelas, dengan mengabaikan tempat pengangkutan atau pembongkaran barang, tempat tinggal atau kewarganegaraan para pihak atau tempat di mana kontrak dibuat (Day, 1987: 156). c. Dalam bidang perdagangan tertentu, terdapat konvensi yang menetapkan pilihan hukum negara tertentu yang akan berlaku guna mengatur kontrakkontrak internasional yang dibuat oleh para pihak Penerimaan kepada prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat (party autonomy) adalah salah satu keberhasilan teori pilihan hukum. Kebebasan untuk menetapkan pilihan hukum ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan “public policy” negara bersangkutan dan pilihan tersebut tidak dilaksanakan secara sepihak oleh mereka yang mempunyai posisi tawar (barganing power) yang lebih kuat. Pengadilan-pengadilan menghormati pilihan hukum para pihak tersebut, walaupun pengadilan harus menyampingkan hukumnya sendiri. Namun
4
demikian pengadilan adakalanya menyampingkan party autonomy manakala berhadapan dengan adhesion contract atau bidang-bidang bisnis yang menjadi objek peraturan pemerintah, misalnya, perjanjian waralaba (franchise agreement) (Streck, 1994: 862-963). Berdasarkan analisis choice of law yang tradisional atau “traditional vested right approach” di mana dalam perkara yang diajukan terkait penerapan hukum asing, pengadilan pertama-tama harus memutuskan apakah ia mempunyai yurisdiksi untuk mengadili sengketa tersebut. Bila pengadilan memutuskan bahwa ia mempunyai kompetensi untuk mengadili sengketa tersebut, ia harus menentukan hukum mana yang berlaku untuk kasus itu. Penentuan ini dibuat menurut peraturan pilihan hukum dari negara sang hakim. Jika hukum asing yang berlaku, berdasrkan peraturan yang berlaku, maka pengadilan harus menerapkan hukum asing. Berdasarkan analisis “traditional vested rights approach” tersebut dalam pilihan hukum, pengadilan dapat menolak untuk menerapkan hukum asing, jika hal itu bertentangan dengan “public policy” dari negara tersebut, dalam hal ini, berlaku apa yang disebut “act of state doctrine” yaitu menolak berlakunya hukum asing berdasarkan “public policy” (Chow, 1987: 431). Berdasarkan teori ini hukum yang berlaku tergantung kepada pendekatan “statutory” yang mengkategorikan sengketa-sengketa personal, real atau campuran. Di dalam perkara kepentingan-kepentingan personal, maka hukum negara di mana domisilinya berada yang berlaku.
5
Di dalam perkara-perkara nyata yaitu yang terkait dengan sesuatu, berlaku hukum tempat di mana sesuatu itu berada. Dalam “perkara” campuran (“mixed” cases) pengadilan menerapkan hukum asing, bila dianggap tepat, penyelesaian yang semata-mata formal ini berdasarkan kepada idea teoritoriality, sovereignty, and community. Pengadilan mempertimbangkan kedaulatan negara yang eksklusif, karena negara menjalankan yurisdiksi di atas teritorialnya, maka hukum negara tersebut yang mempengaruhi semua property, kontrak dan orangorang di dalam teritorial tersebut (Wani, 1987: 362). Menurut pendekatan “the vested rights”, hak dan kewajiban-kewajiban hukum tergantung pada kejadian dari peristiwa-peristiwa spesifik dan pada tempat kepentingan hukum tertentu. Hak dan kewajiban-kewajiban hukum merupakan suatu rangkaian yang tergantung pada kejadian dari peristiwa terakhir. Umpamanya, hukum dari tempat di mana peristiwa terakhir terjadi, yang mengatur seluruh hak dan kewajiban dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak. Oleh karenanya, hukum menentukan kewajiban dan interpretasi serta pelaksanaan oleh para pihak atas kontrak yang mereka buat. Adalah sama halnya pada kasus pelanggaran hukum, tempat di mana terjadinya perkara akan menentukan hukum yang berlaku (Wani, 1987: 363). Pengadilan setempat selalu menerapkan hukum nasionalnya secara rasional, di mana prosedur yang berkaitan dengan organisasi dan administrasi pengadilan, merupakan kedaulatannya. Pengadilan juga mengadopsi peraturan prosedur forum bagi peradilan yang efisien dan nyaman. Perlakuan terpisah ini adalah berdasarkan pandangan tradisional menekankan pendekatan teritorial di mana apabila suatu pengadilan mengenal yurisdiksi hukum yang lain, pengadilan memahami akibat hukumnya sendiri, karena untuk menetapkan hukum asing dianggap sebagai pengecilan hukum dari forum sang hakim. Perbedaan prosedur atau substansi menjadi suatu alat yang bermanfaat guna menghindari kekakuan dari “the vested right approach” (Wani, 1987: 364). Kebebasan para pihak menentukan pilihan hukum dihormati, sepanjang tidak melanggar “the public policy provisions of the lex fori”, yaitu ketentuan ketertiban umum dari hukum nasional hakim yang memeriksa perkara tersebut. Pada umumnya ketentuan public policy dalam sistem hukum modern, menentukan bidang-bidang yang termasuk dalam ketertiban umum antara lain, “forein policy, economic, cultural or environmental matters, and public health. Trading with enemy acth, embargos, antiturs prohibitions, insider 6
regulation, foreign currency restrictions, statutory rules prohibiting, the export of objects belonging the cultural heritage of a nations, environmental regulations, and rules prescribing sertain hygienic minimum standards”. Jika suatu kontrak tidak menentukan pilihan hukum yang akan dipergunakan, pengadilan harus membuat keputusan. Dalam hal ini, pengadilan harus mempertimbangkan keseimbangan sosial yang seragam dan dapat diprediksi melawan keadilan individu, perlindungan kepentingan sosial memerlukan keseimbangan dalam pengajuan peraturan yang kaku. Sebaliknya notasi keadilan individu dilihat berdasarkan kasus perkasus (G. Chin Chao, 1996: 162-163). Pendekatan secara tradisional dalam kontrak di mana para pihak tidak dengan jelas menentukan pilihan hukum, pengadilan akan berusaha untuk menerapkan asumsi persetujuan para pihak dengan menentukan antara hukum di mana tempat pembuatan kontrak (the place of contracting) dan hukum tempat pelaksanaannya (place of performance). Peraturan tentang tempat pembuatan kontrak (peraturan lex loci contractus), hanya berlaku sebagai asumsi untuk memimbing pengadilan, karena tidak ada bukti objektif lainnya mengenai party autonomy. 1. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut: a. Apakah putusan Arbitrase telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalam sengketa? b. Bagaimana sikap Pengadilan Indonesia menghadapi masalah pilihan hukum, dan bagaimana sikap putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung? 2. Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan peneliti, penelitian tentang Tinjauan Yuridis Putusan Arbitrase Asing Serta Pelaksanaanya di Indonesia, sampai saat ini belum ada di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, baik untuk S-1 dan S-2, apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian serupa, maka 7
hasil penelitian ini merupakan pelengkap dengan tidak mengacu kepada penelitian
yang
ada,
melainkan
penulis
melakukan
dengan
membandingkan penelitian-penelitian tersebut, sesuai kebutuhan Tesis ini. 3. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara teori dapat menambah wawasan hukum tentang putusan arbitrase asing di Indonesia dalam pelaksanaannya. b. Secara praktis, penyelesaian arbitrase sangat mudah sepanjang menyangkut klausul yang diperjanjikan.
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui
apakah
putusan
arbitrase
telah
memberikan
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat di dalam sengketa. 2. Untuk mengetahui bagaimana sikap Pengadilan Indonesia menghadapi masalah pilihan hukum, dan bagaimana sikap putusan pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.
C. Tinjauan Pustaka Menurut Priyatna Abdurrasyid dalam bukunya, Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, Suatu Pengantar, beliau mengatakan sebagai berikut: (Abdurrasyid, 2002: 10)
8
Arbitrase adalah salah satu mekanisme alternatif penyelesaian sengketaapa yang merupakan bentuk tindakan hukum yang diakui oleh undangundang di mana salah satu pihak atau lebih menyerahkan sengketanya ketidak samafahamannya, ketidak sepakatannya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang (arbiter) atau lebih (arbiter-arbiter-majelis) ahli yang profesional, yang akan bertindak sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak tersebut terdahulu untuk sampai kepada putusan yang final dan mengikat. Oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase adalah hukum prosedur dan hukum para pihak (“law of procedure” dan “law of the parties”) selain putusan arbiter yang final dan mengikat, dikenal pula pendapat mengikat (“binding opinion” “bindend adves”). Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 angka 1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut : 1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian; 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis; 3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.
9
D. Landasan Teori Pada penelitian ini penulis menggunakan landasan teori pilihan hukum dan pilihan forum yang pembahasannya tersebut telah disampaikan oleh Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia (1965), kurang lebih selama tiga puluh tahun yang lalu. Kurang lebih empat puluh tahun belum ada perubahan yang mendasar mengenai doktrin Pilihan Hukum, dari the Traditional Vested Right Approach sampai pendekatan Brainerd Currie mengenai Governmental Interest Analysis Approach. Para akademisi, hakim dan pengacara mengedepankan secara bergantian hukum yang berlaku (bila tidak ada pilihan hukum para pihak), dari hukum sang hakim (lex fori), hukum menurut tempat di mana kontrak dibuat (lex loci contractus), sampai hukum dari pihak yang mempunyai
hubungan
paling
karakteristik
(the
most
characteristic
conection). Berkembangnya teknologi yang memungkinkan transaksi melalui dunia maya dalam E-commerce, masalah pilihan hukum dan pilihan forum menjadi kembali menarik. Lawrence M. Friedman mengatakan, berbicara mengenai sikap, pandangan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kita memasuki dunia budaya hukum. Pilihan hukum dan pilihan forum yang diputuskan oleh para pihak yang membuat perjanjian dipengaruhi oleh berbagai faktor: Dari posisi tawar yang lemah sampai dengan alasan-alasan praktis. Dipermulaan Abad 19 berkembang positivism. Aliran ini menjalar kesemua cabang ilmu sosial termasuk ilmu hukum. Kaum positivis menganggap bahwa yang sebenarnya dinamakan hukum hanyalah norma-
10
norma yang telah ditetapkan oleh negara. Namun, baik John Austin maupun Hans Kelsen, dua-duanya pembela Positivism mengakui bahwa akhirnya hukum yang ditetapkan oleh alat-alat kekuasaan negara saja tidak cukup. Austin mengatakan bahwa hakim dapat berada dalam situasi di mana hukum positif tidak memberi petunjuk dan saran, maka dalam keadaan itu ia harus bertindak sebagai legislator dan menciptakan ketentuan baru yang menurut keyakinannya benar. Sama dengan pikiran Austin, Kelsen mengakui bahwa hukum positip tidak mencakup semua jawaban terhadap bermacam-macam kasus yang datang ke depan pengadilan. Namun ia membedakan dua keadaan, yaitu: 1. Bisa terjadi ketika seseorang mengajukan gugatan ganti rugi atau tuntutan terhadap pihak lain, hakim menemukan hukum positip ternyata diam menghadapi apakah tuntutan terhadap pihak lain, hakim menemukan hukum positip ternyata diam legislator harus diartikan sebagai penolakan dari gugatan tersebut. Menurut dia, tidak seorangpun dapat dituntut oleh pengaturan orang yang diharuskan oleh aturan-aturan hukum positip. Namun, Kelsmen menambahkan, bahwa hukum positip tentu boleh memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengabulkan gugatan tersebut berdasarkan pertimbangan yang menurut hakim amat diperlukan. 2. Dapat pula terjadi persoalan yang diajukan tercakup dalam aturan-aturan hukum, namun peraturan tersebut samar-samar atau mempunyai arti ganda sehingga penerapannya tidak jelas dan penuh keragu-raguan. Dalam hal ini, dua atau tiga penafsiran dimungkinkan dan mendatangkan hasil yang
11
berbeda; petunjuk apakah yang tersedia bagi hakim untuk menentukan mana yang benar? Dari sudut hukum positip, kata Kelsen, tidak ada suatu metode atau suatu kriteria yang dapat menjadi pedoman untuk memilih mana yang benar dari semua kemungkinan tersebut. Menurut Kelsen, tidak ada suatu metode atau suatu kriteria yang dapat menjadi pedoman untuk memilih mana yang benar dari semua kemungkinan tersebut. Menurut Kelsen dalam hal ini, dalam kerangka yang diizinkan oleh norma, semua kontruksi dari norma yang ada secara hukum adalah tepat, tanpa memperdulikan apakah hal ini tidak masuk akal, tidak sesuai atau bahkan mendatangkan hasil yang absurd. Teori Austin yang menekankan kepada hanya keyakinan sendiri dan teori Kelsen yang memberikan pengertian negatif kepada norma, namun menurut Edgar Bodenheimer dalam “Jurisprudence” (1962), tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya dari hukum yang hidup. Kesalahan utama dari aliran hukum positip, kata Bodenheimer selanjutnya ialah pembatasan diri kepada apa yang disebutnya sumber-sumber hukum formal seperti yang diumumkan oleh legislatif,
konfensi,
keputusan
pengadilan
atau
lembaga-lembaga
administratif. Padahal, hakim sebagai organ dari hukum harus melakukan penafsiran sesuai dengan akal dan semangat dari suatu sistem hukum. Namun, kalau kita menoleh kembali kepada pendirian kaum positivis yang mengatakan bahwa jika hukum formal tidak memberikan keputusan, maka hakim akan menciptakan hukum menurut pertimbangan yang dianggapnya perlu. Dalam hal ini, seperti dikatakan oleh John Austin (1790-
12
1859), putusan-putusan pengadilan seringkali bergantung kepada apakah hakim secara politis konservatip. Liberal, atau radikal, apakah ia percaya kepada tradisi atau pembaharuan, apakah ia kawan dari pemilik modal atau buruh, apakah ia memuaskan pemerintah yang kuat atau yang lemah, atau kepada apapun saja, termasuk kepentingan sendiri. Pada sisi lainnya digunakan keberadaan lembaga Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase adalah extra judicial atau peradilan semu (quasi judicial), sedangkan pengadilan negeri (state court) berperan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Oleh karena itu, meskipun undang-undang memeberi wewenang kepada arbitrase untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra judicial yang melekat pada arbitrase. Akibatnya, walaupun ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 UndangUndang Arbitrase secara eksplisit mengakui penerapan jurisdiksi arbitrase, tetapi absolut, tidak selamanya benar. Menurut M. Yahya Harahap (Harahap, 2002: 17) dalam memahami Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase ada pendapat yang mengatakan: “asal dalam perjanjian terdapat klausula arbitrase, dengan sendirinya lahir kewenangan absolut arbitrase untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari perjanjian, tanpa mempedulikan jangkauan atau ruang lingkup sengketa yang disebut dalam rumusan klausula arbitrase. Pendapat yang bercorak generalisasi dan absolut itu adalah keliru atau tidak selamanya benar”. Mengapa demikian? Oleh karena, baik di dalam teori maupun praktik arbitrase dikenal beberapa format isi klausula arbitrase
13
(Harahap, 2002: 69). Isi klausula arbitrase dapat dirumuskan dalam dua bentuk, yaitu: pertama, bersifat umum (Harahap, 2002: 70-71), atau kedua, secara rinci. Klausula arbitrase yang dirumuskan secara rinci juga dapat disusun dalam dua bentuk, yakni: 1. terinci sekali secara menyeluruh, dan 2. terinci mengenai pokok-pokoknya saja. Masing-masing rumusan klausula arbitrase tersebut dimuka memiliki konsekuensi hukum yang berbeda-beda terhadap lahirnya jurisdiksi arbitrase. Oleh sebab itu, kaidah Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan absolut. Karena tidak selalu atau belum tentu setiap perjanjian arbitrase akan melahirkan jurisdiksi arbitrase. Semuanya sangat tergantung apakah sengketa yang terjadi itu termasuk jenis sengketa yang disebut dalam klausula atau tidak. Apabila sengketa yang terjadi termasuk dalam ruang lingkup yang disebut atau dirinci dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah arbitrase. Sedangkan sebaliknya, apabila sengketa yang terjadi itu berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, maka yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Negeri. Padahal pemahaman serta opini yang terbentuk di masyarakat selama ini setiap klausula arbitrase otomatis langsung mewujudkan jurisdiksi absolut tanpa mempedulikan bentuk klausula yang disepakati.
14