1
BAB I PENGANTAR
1.1. Latar Belakang Industri pariwisata disinyalir merupakan pendorong utama perekonomian abad 21 yang mengantarkan puncak gelombang wisatawan ke pasar dunia. Menurut laporan Badan Kepariwisataan Internasional (UNWTO dalam Damanik, 2013: 63) pada tahun 2007, jumlah penduduk dunia yang melakukan aktivitas wisata ke luar batas negara asalnya mencapai 903 juta dari 6.627 miliar penduduk dunia. Berdasarkan rasio ini, dipastikan 1 dari setiap 7 orang penduduk dunia terlibat aktif dalam perjalanan wisata. Mengamati fenomena tersebut, futurolog John Naisbitt (A. Rahiem, 2007: 85) mengkategorikan pariwisata sebagai sektor industri unggulan terbesar dan terkuat yang menyumbang pembiayaan ekonomi global. Semakin derasnya arus wisata global ini membawa dampak dan konsekuensi terhadap kondisi regional maupun nasional. United Nation World Tourism Organization (UNWTO) melansir bahwa ASEAN memiliki tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan mancanegara tertinggi di dunia pada tahun 2013. Pertumbuhan wisatawan ini mencapai 12% jauh di atas rata-rata pertumbuhan global yang hanya mencapai 5%. Kawasan ASEAN menyumbang 7,3% dari total wisatawan mancanegara yang diproyeksi akan mencapai 10,3% pada tahun 2030 (Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementrian Luar Negeri, 2014: 32).
1
2
Seirama dengan lonjakan wisatawan ke ASEAN, jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia naik sebanyak 7,3%. Jumlah wisatawan pada tahun 2013 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 8.044.462 wisatawan menjadi 8.637.275 wisatawan (Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Kementrian Luar Negeri, 2014: 62-63). Merujuk pada data Badan Pusat Statistik tentang jumlah kunjungan wisatawan asing, Yogyakarta merupakan tujuan wisata terbesar ke dua setelah Bali (Badan Pusat Statistik dalam http://www.bps.go.id/, 2015). Sepanjang tahun 2014, Dinas Pariwisata DIY melansir jumlah wisatawan yang datang ke DIY sebanyak 3.346.180 wisatawan dengan peningkatan yang signifikan sebesar 17,9% dibanding tahun 2013 sebanyak 2.837.967 wisatawan (Kedaulatan Rakyat, 2015). Alasan kunjungan wisatawan ke Yogyakarta disinyalir karena daya tarik keragaman potensi alam dan budayanya. Selain itu, faktor kenyamanan, keamanan, keterjangkauan harga dan biaya serta lingkungan budaya lokal merupakan magnet bagi wisatawan (Utamingsih dalam www.antaranews.com, 2013). Kondisi demikian merupakan bukti bahwa budaya yang unik merupakan magnet wisata yang kuat. Kekayaan dan keragaman budaya Indonesia ini dipandang Clifford Geertz sebagai negara multi-bangsa (munticultural nationstate) atau negara dengan kekayaan banyak bangsa (Kimlicka, 2002: 4). Prosfek meningkatnya arus pariwisata merupakan peluang sekaligus tantangan bagi Indonesia khususnya Yogyakarta. Oleh sebab itu, industri pariwisata budaya sangat rentan menyebabkan perubahan tatanan dan gaya hidup masyarakat. Istilah pariwisata sebagai agen perubahan budaya (an agen of
3
cultural change) mempengaruhi perjalanan orang, adat istiadat, upacara keagamaan serta cara berpikir masyarakat (Yoeti dkk, 2006: 176). Maka dari itu, jika meningkatnya gelombang wisata tidak sinergis dengan perencanaan pariwisata yang matang, dikhawatirkan berdampak negatif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Dampak negatif pariwisata terhadap sosial-budaya menurut United Nation (1993: 146) diklasifikasikan dalam tiga kategori. Pertama, kesenjangan sosial ekonomi, terciptanya kawasan masyarakat lokal dan kawasan wisata yang menjadi pembeda baik pada sisi gaya hidup maupun perekonomian. Kedua, hilangnya identitas budaya, peniruan gaya hidup, cara berpakaian, dan cara pandang masyarakat. Selain itu, dikhawatirkan terjadi perubahan pola-pola (design) tradisional yang mengikuti selera pasar. Identitas budaya bisa hilang karena standar-standar internasional yang diterapkan dalam industri pariwisata. Komersialisasi
tempat-tempat
sakral
keagamaan
berdampak
mengurangi
kesakralan sebuah ritual dan penghormatan terhadap kesucian tempat tersebut. Ketiga, tersedianya fasilitas wisata yang memenuhi kebutuhan wisatawan asing. Penjualan alkohol misalnya, akan memicu masyarakat lokal untuk melakukan peniruan gaya hidup karena ketersediaan barang. Dampak yang paling menghawatirkan dari pengembangan pariwisata yaitu adanya bisnis gelap dan ilegal seperti prostitusi, prostitusi anak, dan penyalahgunaan narkoba. Senada dengan itu, antropolog Nash (1995) memandang pariwisata sebagai aksi pamer di lembah kemelaratan kaum miskin dalam bentuk imperialisme (Damanik, 2007: 5-6). Potjana menambahkan dampak negatif
4
pariwisata ini berpengaruh pula terhadap meningkatnya polusi, pengelolaan limbah yang buruk, kelangkaan sumber daya, serta konflik dan eksploitasi masyarakat lokal (Potjana, 2013: 2). Dampak multi sektor di atas merangsang analisis kritis pro-kontra pariwisata yang holistik, inovatif dan mengutamakan aspek sosial budaya di samping aspek ekonomi. Pengelolaan pariwisata diharapkan lebih berkeadilan, mengutamakan kesejahteraan, konservasi dan pelestarian sehingga dampak negatif pariwisata bisa diredam. Beberapa pakar berpandangan bahwa upaya meminimalisir dampak negatif pariwisata dapat dilakukan melalui pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Murphy, 1985; Timothy, 1999 dalam Tolkach, dan Brian King, 2015: 386-389). CBT merupakan bentuk pariwisata berkelanjutan yang menurut UNWTO merupakan upaya kontrol dan pengaturan terhadap dampak negatif pariwisata (Levy dan Donald, 2010: 2). Ide utama pengelolaan CBT merupakan perencanaan pariwisata untuk menjaga warisan budaya, meningkatkan pelestarian alam dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat (Asker et.all, 2010: 2). Indonesia merupakan tempat yang ideal untuk mengembangkan dan menerapkan CBT (Dhiradityakul dan John, 2013:15). Kekayaan alam, budaya dan etnis merupakan aset yang menjadi daya tarik dan potensi untuk mengembangkan CBT di Indonesia. Dengan demikian, pemanfaatan budaya sebagai daya tarik wisata seyogianya mengedepankan pelestarian citra, identitas dan pendidikan kesadaran budaya. Hal ini sejalan dengan amanat konsideran pertama UndangUndang No.10 tahun 2009 tentang kepariwisataan yang menegaskan bahwa budaya merupakan salah satu sumber daya pembangunan pariwisata nasional.
5
Pengembangan pariwisata budaya lokal menurut Naisbitt (1994) dipandang sebagai paradoks global dimana semakin besar pengaruh globalisasi, semakin tinggi keinginan untuk menekuni lokalisasi, khususnya seni tradisional (Ariani, 2011: 37). Kejenuhan akan homogenitas global memberi ruang bagi keunikan dan autentitas budaya lokal. Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata internasional memiliki magnet wisata budaya yang masih terjaga. Yogya, akronim dari Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki aset wisata budaya yang sangat melimpah baik aset wisata bendawi maupun non-bendawi. Atraksi dan objek wisata budaya serta produk-produk kebudayaan merupakan daya tarik Yogya sebagai surga bagi beragam wisata budaya (Hampton, 2003: 89). Gerak perjalanan pariwisata D.I.Yogyakarta harus mempertimbangkan berbagai prinsip dan aspek non-komersial. Keberlangsungan ekologi dan sosialbudaya serta perbaikan kualitas hidup masyarakat lokal harus menjadi misi utama pengelolaan pariwisata (Inskeep (1991) dalam Yoeti dkk, 2006: 241). Sejalan dengan itu, Dinas Pariwisata D.I.Yogyakarta dalam Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) memaparkan bahwa CBT merupakan salah-satu prinsip pengembangan kepariwisataan
D.I.Yogyakarta. Pengelolaan CBT
(Community Based Tourism) diharapkan mampu merubah paradigma pariwisata
yang cenderung berorientasi ekonomi menjadi lebih edukatif, berwawasan lingkungan dan memiliki kesadaran untuk memahami perbedaan budaya (cross culture learning). Pengelolaan desa wisata merupakan model pengembangan CBT (Community Based Tourism) yang memberi ruang terhadap keterlibatan
6
masyarakat lokal. Pengembangan desa wisata merupakan bentuk wisata minat khusus yang ikut menambah ragam destinasi dan segmen pasar pariwisata. Untuk memperluas segmen pasar pariwisata Indonesia, Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata mengembangkan wisata minat khusus dan ecotourism melalui program “Visit
Indonesia
Year”
pada
tahun
2009.
Elka
Pangestu
(http://ekonomi.kompasiana.com) menyebutkan bahwa desa wisata merupakan basis utama mata rantai industri pariwisata untuk perkembangan ekonomi kreatif. Wisata minat khusus, dalam hal ini desa wisata, mengarah pada daya tarik budaya lokal yang menjadi tren wisata pada jaman modern. Budaya lokal dan kehidupan masyarakat desa merupakan potensi turistik yang dapat ditransformasikan menjadi potensi wisata. Desa wisata merupakan bentuk pariwisata budaya yang banyak dikembangkan di Indonesia, termasuk Yogyakarta. Perkembangan desa wisata di Yogyakarta mengalami peningkatan sebanyak 43 desa wisata budaya pada tahun 2015. Jumlah ini ditargetkan akan mencapai 50 desa wisata budaya pada tahun 2016 (Wardoyo dalam Antarayogya.com, 2015). Bentuk dukungan dan keseriusan Dinas Pariwisata DIY ditunjukkan dengan dukungan anggaran untuk program pengembangan desa wisata tahun 2016 sebesar Rp.2.287.125.000 (Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah-SKPD, 2015: 17). Berdasarkan capaian kinerja Dinas Pariwisata D.I.Yogyakarta tahun 2012-2013, terdapat 71 desa wisata di DIY yang persebaran terbesarnya berada di Kabupaten Sleman. Jumlah desa wisata di Kabupaten Sleman sebanyak 38 desa wisata terdiri atas 12 kategori mandiri, 13 kategori berkembang dan 13 kategori
7
tumbuh
(Forum
Satuan
Kerja
Pemerintah
Daerah
(SKPD)
Provinsi
D.I.Yogyakarta, 2014). Kondisi desa wisata kategori tumbuh di Kabupaten Sleman memerlukan perhatian dan pembinaan ekstra dari segi manajemen dan sumber daya manusia. Banyak desa wisata kategori tumbuh mengalami vakum akibat salah pengelolaan serta terbatasnya manajemen dan sumber daya manusia (N. Dewi dalam sindonews.com, 2013). Senada dengan kondisi di atas, Forum Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Provinsi DIY (http://bappeda.jogjaprov.go.id) mengungkapkan bahwa salah satu isu strategis pengembangan kepariwisataan D.I.Yogyakarta berkaitan dengan rendahnya peran serta dan sadar wisata masyarakat. Masyakarat belum sepenuhnya terlibat (build-in) dalam perkembangan industri pariwisata. Yogantoro (okezone.com, 2013) mengungkapkan bahwa salah satu kendala pengelolaan
desa
wisata
berkaitan
dengan
upaya
pengembangan
dan
memberdayakan masyarakat sesuai dengan potensinya. Artinya, pengembangan desa wisata tidak luput dari upaya meningkatkan dan memberdayakan sumber daya lokal. Peningkatan mutu sumber daya manusia yang tepat merupakan upaya yang wajib dipenuhi. Menyoal hal tersebut, keterlibatan pemuda dalam pengelolaan CBT di desa wisata diharapkan mampu meningkatkan inovasi dan produktifitas pariwisata. Di samping itu, pemuda sebagai sumber daya produktif dan inovatif seyogianya menjadi bagian dari aktor pengelola CBT di desa wisata. Selain itu, keterlibatan generasi muda merupakan mata rantai keberlangsungan dan regenerasi desa wisata. Melalui upaya ini, pemuda dilibatkan dalam
8
pembangunan kawasan pedesaan serta diberikan akses untuk meningkatkan kemampuan dan pengalamannya. Jika upaya ini dilakukan secara berkelanjutan, peningkatan kapasitas pemuda akan sejalan dengan pembangunan masyarakat pedesaan sehingga arus migrasi pemuda ke kota dapat di tekan. Sejalan dengan upaya di atas, Indonesia memiliki peluang besar pembangunan dengan lebih dari 62 juta kaum muda yang mewakili 26% dari total penduduk. Artinya 1 dari setiap 4 penduduk Indonesia merupakan generasi muda. Kondisi demikian digambarkan oleh Bank Dunia sebagai fenomena bonus demografi (The United Nations Population Fund-UNFPA Indonesia, 2014: 12). Wacana bonus demografi Indonesia pada tahun 2030 memungkinkan sumber daya produktif berkontsibusi positif terhadap pembangunan nasional. Pemuda harus diberikan akses dan ruang untuk berpartisipasi dalam berbagai sektor termasuk sektor pariwisata. Berangkat dari analisis di atas, penting kiranya menganalisis partisipasi pemuda dalam mengembangkan CBT di desa wisata. Desa Wisata Pentingsari (Dewi Peri) dipilih sebagai lokus yang sukses dalam pengelolaan desa wisata berbasis masyarakat. Komite Kode Etik Pariwisata Dunia atau World Commitee on Tourism Ethics-United Nation World Tourism Organization (WCTEUNWTO) menganugrahkan Dewi Peri sebagai Best Practise on Thourisme Ethic at Local Level. David Villers (Ketua WCTE-UNWTO) mengungkapkan bahwa pengembangan Dewi Peri sudah sesuai dengan prinsip-prinsip kode etik pariwisata
dunia
(Pemerintah
http://www.slemankab.go.id, 2011).
Kabupaten
Sleman
dalam
9
Dewi Peri memiliki potensi besar sebagai konsep wisata terintegrasi yang memadukan kearifan lokal, kondisi sosial-budaya dengan topografi alam pedesaan yang masih terjaga. Melitah besarnya potensi dan prestasi yang dimiliki Dewi Peri, regenerasi pengelolaan desa wisata merupakan hal yang mutlak dilakukan. Maka dari itu, yang menjadi tantangan beberapa desa wisata ke depan yaitu keberlangsungan dan proses regenerasi. Analisis tersebut memantik ketertarikan peneliti untuk mendalami kajian tentang aktivitas pariwisata berbasis masyarakat kaitannya dengan partisipasi pemuda serta terciptanya ketahanan sosial budaya. Berangkat
dari
latar
belakang
tersebut,
peneliti
mencoba
mendalami
ketertarikannya melalui suatu penelitian berjudul “Partisipasi Pemuda dalam Mengembangkan Pariwisata Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, D. I. Yogyakarta)”.
1.2 Permasalahan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan terdahulu, berikut rumusan masalah dalam penelitian: 1. Bagaimana partisipasi pemuda dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, D. I. Yogyakarta? 2. Bagaimana kontribusi partisipasi pemuda dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat terhadap ketahanan sosial budaya wilayah di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, D. I. Yogyakarta?
10
1.3 Keaslian Penelitian Seiring perkembangan jaman, penting kiranya melakukan sebuah penelitian terintegrasi guna menjawab tantangan mendatang. Penelitian terdahulu tentang partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata dijadikan acuan pengkajian yang inovatif. Peneliti menggabungkan variabel yang berbeda dari penelitian sebelumnya tentang partisipasi pemuda, pengembangan pariwisata budaya berbasis masyarakat serta peningkatan ketahanan sosial budaya wilayah. Penelitian ini penting dilakukan mengingat besarnya potensi pariwisata budaya di Indonesia. Selain itu, tersedianya sumber daya manusia sebagai bonus demografi merupakan model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Analisis dua variabel ini diharapkan menjadi pendorong meningkatkan ketahanan sosial budaya wilayah. Berikut beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait partisipasi, pariwisata berbasis masyarakat (CBT), desa wisata dan ketahanan sosial budaya:
12
Tabel 1. 1. Penelitian Terdahulu yang Terkait dengan Penelitian yang Dilaksanakan No 1.
2.
3.
4.
Kompetensi Peneliti Sulaiman, (2012), Politik Lokal dan Otonomi Daerah. Kontogeorgop oulos dkk, (2013), Tourism Planing & Development. Breugel, (2013), Social and Cultural Sciences
Judul dan Lokasi Penelitian Pengembangan Desa Wisata Berbasis Community Based Tourism di Desa Wisata Candirejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Success Factors in Community Based Tourism in Thailand: The Role of Luck, External Support, and Local Leadership.
Mengetahui pengembangan Desa Wisata Candirejo berbasis Community Based Tourism (CBT) serta manfaatnya bagi masyarakat Desa Candirejo. Mengetahui pengelolaan CBT di Tahiland serta menganalisis studi kasus projek CBT di Mae Kampong (komunitas CBT di Thailand),
Community-based tourism: Local participation and perceived impacts ( A comparative study between two communities in Thailand).
Mengetahui partisipasi masyarakat lokal dalam CBT, mengetahui jenis partisipasi masyarakat lokal dalam proyekproyek CBT untuk pengembangan pariwisata.
Lucchetti, V.G. & Front Xavier, (2013), Pariwisata.
Community Based Tourism: Critical Success Factors
Mengetahui dampak dan pelaksanaan CBT terhadap kehidupan masyarakat di Ccaccaccollo Peru yang terkenal dengan poyek tenun dan penjualan tenun untuk wisatawan.
Fokus Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Perbedaan Penelitian
Metode eksploratif kualitatif
Desa Wisata Candirejo mengalami peningkatan sosial ekonomi. Secara keseluruhan masyarakat tidak terpengaruh oleh budaya wisatawan.
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Metode penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Teknik studi kasus gabungan dari 30 penelitian dan studi lapangan di Mae Kampong.
Penentu kesuksesan pengelolaan CBT di Tahiland diantaranya yaitu keuntungan kondisi geografis, dukungan eksternal dan kepemimpinan transformasional.
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Metode yang digunakan berbeda Lokasi penelitian berbeda
Studi komparasi antara proyek CBT di Mae La Na dan Koh Yao Noi dengan pendekatan metode campuranmixed methods. Metode kuantitatif dan metode kualitatif
Penentu utama keberhasilan CBT yaitu partisipasi masyarakat/ partisipasi aktor lokal dan dampak pariwisata yang dikelola. CBT membawa dampak positif terhadap masyarakat lokal baik dari segi sosial, ekonomi maupun lingkungan.
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Tingkat keberhasilan CBT terdiri atas empat aspek utama yaitu perencanaan, kemitraan, kapasitas masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan kredit mikro yang tersedia untuk kegiatan produksi masyarakat.
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Sumber: Diolah Peneliti, 2016.
11
13
Lanjutan Tabel 1. 1. No 5.
Kompetensi Peneliti Hesdriyantoro , (2014), Ketahanan Nasional.
6.
Rosida, (2014), Ketahanan Nasional.
7.
Urmila Dewi, (2014), Kajian Pariwisata.
Judul dan Lokasi Penelitian
Fokus Penelitian
Metode Penelitian Metode deskriptifkualitatif.
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya di Desa Wisata Brayut Pandowoharjo Kec. Sleman, Kab. Sleman D. I. Yogyakarta Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan Kawasan Ekowisata dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Masyarakat Desa (Studi di Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran, Kec. Patuk, Kab. Gunung Kidul, DIY.
Memahami pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan desa wisata dan kendala yang dihadapi serta implikasinya terhadap ketahanan sosial budaya. Mengetahui bentuk partisipasi pemuda, mengatasi kendala dan mengidentifikasi upaya pemuda dalam mengembangkan kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran serta implikasinya terhadap ketahanan masyarakat desa.
Metode deskriptif kualitatif.
Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Tabanan, Bali. Penelitian dilakukan di tiga desa wisata, yaitu Desa Wisata Candikuning, Desa Wisata Kukuh dan Desa Wisata Jatiluwih.
Mengkaji pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata, mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, mengkaji strategi pengelolaan sumber daya pariwisata yang mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata
Metode analisis deskriptif kuantitatif, (statistik deskriptif).
Hasil Penelitian
Perbedaan Penelitian
Proses pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan Desa Wisata Brayut dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap sosialisasi konsep dan partisipasi masyarakat, tahap transformasi kemampuan dan tahap kemandirian dalam mengelola desa wisata.
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Peran pemuda dalam mengembangkan kawasan ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran meliputi pengelolaan ekowisata, dukungan masyarakat, sarana prasarana dan penggunaan lahan. Kendala yang dihadapi pemuda yaitu; peran yang belum maksimal, keterbatasan anggaran dan infrastruktur, kondisi lingungan dan kebijakan pemerintah serta kurangnya dukungan berbagai pihak. Adapun upaya yang dilakukan berupa peningkatan peran, anggaran dan infrastruktur, pelestarian SDA, advokasi dan kemitraan. Tingkat pemahaman masyarakat lokal atas keberadaan desa wisata cukup baik, partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata tergolong partisipasi semu, faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat yaitu motivasi, mutu modal, pemahaman, kepemimpinan, komunikasi, sosial budaya dan faktor manajemen. Pengelolaan sumber daya pariwisata harus berpedoman pada kemitraan dan tri hita karana (faksafah berdasarkan agama Hindu)
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Metode penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Metode penelitian berbeda Lokasi penelitian berbeda
Sumber: Diolah Peneliti, 2016.
12
14
Lanjutan Tabel 1. 1. No 8.
9.
Kompetensi Peneliti Yulianto, (2015), Perencanaan Kota dan Daerah.
Lestari, (2016), Ketahanan Nasional.
Judul dan Lokasi Penelitian Modal Sosial Masyarakat dalam Pengembangan Pariwisata di Desa Wisata Pentingsari dan Sambi Kabupaten Sleman
Partisipasi Pemuda dalam Mengembangkan Pariwisata Berbasis Masyarakat untuk Meningkatkan Ketahanan Sosial Budaya di Desa Wisata Pentingsari, Sleman, D. I. Yogyakarta.
Fokus Penelitian Mengetahui kondisi modal sosila masyarakat di Desa Wisata Pentingsari dan Sambi, keberhasilan pengembangan pariwisata di Desa Wisata Pentingsari dan Sambi serta hubungan modal sosial terhadap keberhasilan pengembangan desa wisata. Mengetahui partisipasi pemuda dalam mengembangkan CBT di Desa Wisata Pentingsari dan kontribusinya terhadap ketahanan sosial budaya wilayah.
Metode Penelitian Metode deduktif kualitatif dan kuantitatif.
Metode deskiptif campuran konkuren (concuren mixed methodes).
Hasil Penelitian Modal sosial Pentingsari lebih tinggi dibandingkan Sambi. Keberhasilan pengembangan desa wisata di Pentingsari lebih tinggi dilihat dari peran serta, kelembagaan, manfaat dan objek wisata. Tingkat modal sosial masyarakat mempengaruhi keberhasilan pengembangan desa wisata.
--
Perbedaan Penelitian Variabel penelitian berbeda Fokus penelitian berbeda Metode penelitian berbeda Lokasi penelitian sama
--
Sumber: Diolah Peneliti, 2016.
13
14
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dipaparkan terdahulu, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1.
Untuk mengkaji partisipasi pemuda dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, D. I. Yogyakarta.
2.
Untuk merumuskan kontribusi partisipasi pemuda dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat terhadap ketahanan sosial budaya di Desa Wisata Pentingsari, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, D. I. Yogyakarta.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini berkaitan dengan upaya memperoleh informasi dan data mengenai partisipasi pemuda dalam pengembangan CBT terhadap ketahanan sosial budaya di Desa Wisata Pentingsari. Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun empiris (praktis). Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberi sumbangsih sebagai berikut: 1. Menghasilkan temuan-temuan baru yang berguna dalam mengembangkan pola pemberdayaan pemuda dalam kegiatan pariwisata, khususnya model pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism-CBT). 2. Memberikan sumbangsih dan memperkaya wawasan tentang pola penguatan ketahanan sosial budaya pada masyarakat pedesaan terutama di kawasan desa wisata.
15
3. Menghasilkan temuan baru tentang konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism-CBT) yang berketahanan sosial budaya. 4. Luaran ilmiah dari penelitian ini berupa laporan Tesis maupun jurnal ilmiah nasional atau internasional yang terakreditasi. Secara
praktis,
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
sumbangsih sebagai berikut: 1. Bagi Pemuda dan Masyarakat: 1) Meningkatkan motivasi dan partisipasi untuk melestarikan kondisi sosialbudaya dan tradisi lokal sebagai potensi pariwisata. 2) Meningkatkan ketahanan sosial budaya wilayah melalui pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat (Community Based Tourism-CBT) berdasarkan potensi sosial, budaya dan alam. 2. Bagi Program Studi Ketahanan Nasional: 1) Sumbangsih bagi kajian pemberdayaan pemuda dalam pengembangan pariwisata budaya berbasis masyarakat sebagai sarana penguatan ketahanan sosial budaya wilayah. 2) Memberikan kontribusi akademis terhadap kualitas kajian ketahanan nasional khususnya ketahanan sosial budaya.
16
3. Bagi Pihak dan Instansi terkait: 1) Sebagai masukan bagi pemangku kebijakan dan pihak terkait dalam menentukan kebijakan terkait pemberdayaan pemuda khususnya dalam sektor pariwisata. 2) Menjadi masukan dan koreksi bagi pemangku kebijakan dan pihak terkait dalam mengembangkan pariwisata berdasarkan potensi sosial budaya di masyarakat. 3) Sebagai bahan pertimbangan dan sumber analisis bagi pemangku kebijakan dan pihak terkait dalam melestarikan nilai-nilai sosial budaya untuk memperkuat ketahanan sosial budaya masyarakat khususnya pemuda.