1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Perhatian peneliti terhadap sektor di luar pertanian belakangan ini sudah cukup banyak. Perhatian tersebut pada dasarnya menseimbangkan sektor pertanian yang selalu esensial di pedesaan.1 Kajian di luar sektor pertanian sebenarnya begitu diperlukan terlebih pada usaha yang mendukung sektor pertanian itu sendiri. Usaha pembuatan alat pertanian yang dalam masyarakat Jawa sering disebut pande besi2, merupakan kegiatan pendorong pertanian yang penting. Namun selama ini kajian mengenai pande besi masih sangat sedikit. Padahal dilihat dari segi fungsional, peran pande besi sangat berarti bagi sektor pertanian khususnya dan juga kehidupan di pedesaan pada umumnya. 1
Kita bisa melihat bila sektor pertanian kerap menjadi tulang punggung perekonomian negara. Pada masa Mataram Islam, Sultan Agung menitikberatkan pertanian sebagai fokus ekonomi kerajaan. Kedatangan Bangsa Eropa di Nusantara pada dasarnya juga dilandasi oleh keinginan untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya dari penjualan komoditas pertanian yakni rempah-rempah. Fokus ekonomi Bangsa Eropa ini bermula dari penguasaan laut melalui VOC, menjadi penguasaan tanah saat kekuasaan berpindah ke Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Pergantian itu semakin menegaskan bila pertanian menjadi fokus penting para penjajah. Beberapa sistem seperti cultuurstelsel pun dicanangkan untuk mencapai hasil sebesar-besarnya dalam mengeksploitasi sektor pertanian. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia fokus pada sektor pertanian berlanjut. Pada masa pemerintahan Orde Baru melalui program swasembada beras atau revolusi hijau, pertanian menjadi fokus utama negara untuk menjawab kesejahteraan penduduk. lihat. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Moderen 12002004. Terjemahan Satrio Wahono, dkk. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesa, 2005), halaman: 97. 2
Dalam masyarakat Jawa Kuno profesi menempa logam ini disebut pande. Adapun ada berbagai macam pande sebagaimana tertulis dalam prasasti seperti pande mas (emas) dan pande esi (besi). Timbul Haryono, Logam dan peradaban Manusia (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), halaman: 30.
2
Sungguh merupakan ironi atau kelalaian, Pande besi sebagai kegiatan penyedia alat pertanian seperti kehilangan dengungnya dalam kajian pedesaan. Entah karena posisinya yang menyelinap diantara industri pertanian atau nonpertanian sehingga tema pande besi menjadi tersamarkan. Selama ini penelitian mengenai sejarah pande besi hanya sebatas selayang pandang, belum ada yang membahasnya secara mendalam.3 Istilah profesi menempa besi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut dengan “pandai besi”.4 Namun dalam kajian ini penulis memilih istilah “pande besi” sebagaimana digunakan oleh masyarakat Jawa secara umum. Hal ini dikarenakan penyebutan pande besi mengandung nilai budaya serta menunjukkan karakter kedaerahan sesuai dengan kajian penulisan ini. Sebagai contoh di Sumatera Barat kegiatan pandai besi disebut dengan “apa basi”.5 Pandai besi di Indonesia, sejatinya sangat kompleks sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Pandai besi mengalami perkembangan sesuai dengan karakteristik kawasan serta kondisi sosial dan budaya. Khusus di pulau Jawa, pande besi menjadi kegiatan yang banyak ditemukan di daerah-daerah pertanian. Berdasarkan letaknya pande besi dapat dibedakan menjadi pandai besi pedalaman yang menyuplai kebutuhan alat pertanian dan pandai besi di pinggiran kota pelabuhan untuk pengadaan alat bagi kapal. Sedangkan menurut 3
Sejauh pelacakan penulis, penelitian mengenai pande besi hanya fokus pada ilmu ekonomi dan antropologi. Pencarian ini dilakukan di beberapa pepustakaan ternama di Yogyakarta serta katalog Perpustakaan Nasional (PNRI). Dalam pelacakan itu dijumpai tidak lebih dari sepuluh buku. 4
Lihat Hasan Alwi, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) halaman: 820. 5 Tim Penulis Museum Negri Provinsi Sumatera Barat (Adhityawarman). Kerajinan Pande Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat, 1995). Halaman: 2.
3
kedudukannya khususnya di Jawa, pande besi dapat dibedakan menjadi pande keraton dan pande besi rakyat. Adapun yang menjadi bahasan dalam penelitian kali ini adalah pande besi pedalaman yang tidak lain merupakan pande besi rakyat.6 Di masyarakat pedesaan Jawa, pande besi memang sangat dekat dengan sektor pertanian. Bahkan dapat dikatakan antara pande besi dan pertanian merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Apabila kita melihat daerah pertanian di berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur atau Jawa Barat pande besi selalu ditemukan. Kondisi tersebut terjadi di daerah pertanian yang luas baik pegunungan maupun dataran kerap sekali terdengar tempaan pande besi yang menunjukkan bahwa telah terjadi pembuatan atau perbaikan alat pertanian.7 Kedekatan pandai besi dengan sektor pertanian telah membuat beberapa peneliti memberikan istilah khusus untuk pandai besi. Ann Dunham yang mengkaji tentang pandai besi di nusantara menyebut “petani pandai besi” untuk menegaskan kaitan pande besi dengan sektor agrikultural. Istilah ini berdasarkan fungsi pande besi yang memang menjadi bagian bagi masyarakat pertanian.8
6
Pembedaan “pande besi pedalaman dan pelabuhan” ini meniru pembedaan “kota pedalaman dan kota pelabuhan”. lihat Djoko Suryo. “Kota dan Dinamika Kebudayaan: Proses Menjadi Kota dan Kebudayaan Indonesia Baru” dalam Transformasi Masyarakat Indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern. (Yogyakarta: STPN Press, 2009), halaman 102. 7
Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1967) halaman: 1. 8
S. Ann Dunham, Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1992) halaman: 31.
4
Istilah berikutnya yang muncul berkat keberadaan pande besi dalam kawasan pertanian ialah “industri rakyat pandai besi” oleh Rachmanto.9 Selain menyatakan pandai besi sebagai sebuah industri, istilah tersebut juga menunjukkan bila pandai besi sudah dimiliki rakyat sejak lama. Adapun yang dimaksud pandai besi di sini adalah pande alat pertanian. Apabila ditinjau dari jumlah pekerja, pande besi tergolong dalam jenis industri kerajinan rumah tangga karena memiliki jumlah pekerja antara 2-4 orang.10 Namun begitu, pemakaian istilah “industri” untuk pande besi memerlukan kehati-hatian sebab pada masa tertentu pande besi merupakan pekerjaan sampingan yang dikerjakan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhan lokal. Dalam perkembangannya kemudian pandai besi ada yang melakukan produksi untuk kepentingan pasar. Selain menunjukkan kedekatan dengan sektor pertanian, kedua istilah tadi juga menegaskan jika pande besi memang berakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa. Secara historis, keberadaan kerajinan ini sejalan dengan para empu dalam pembuatan keris pada masa kerajaan. Pande besi juga diyakini memiliki hubungan yang erat dengan pihak kerajaan. Sehingga pada saat itu pande besi diyakini merupakan profesi yang tidak sembarang orang bisa dan boleh melakukan, sebab pande besi dapat memproduksi senjata yang menjadi indikator terjadinya pemberontakan.
9
Rachmanto Widjopranoto, op.cit.,halaman: 1.
10
Ronald Clapham, Pengusaha Kecil dan Menengah Di Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1991) halaman : 5.
5
Sejarah pande besi apabila dicermati lebih dalam lagi sebenarnya sudah sangat tua. Bahkan dapat dikatakan usia pande besi sebanding dengan zaman logam dikenal di suatu wilayah. Apabila dibandingkan dengan kawasan Eropa, keberadaan profesi ini dipastikan sudah ada jauh sebelum tahun Masehi dimulai. Contoh yang paling mudah dari periodesasi ini adalah peperangan-peperangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi. Pada saat itu pande besi berfungsi untuk menyuplai kebutuhan senjata bagi para Gladiator.11 Kondisi demikian juga terjadi di Nusantara yang memiliki ratusan kerajaan. Pada saat itu pande besi memegang peranan penting terutama untuk menyuplai kebutuhan senjata bagi para prajurit. Khusus di Pulau Jawa, keris merupakan senjata yang khas, namun senjata utama yang digunakan oleh orang Jawa bukanlah keris melainkan senjata dengan wujud yang lebih besar seperti pedang, tombak, gada, limpung dan lain-lain.12 Dalam sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti, pande besi juga sudah disebut sebagai salah satu profesi menempa logam. “Sumber kesusastraan Jawa Kuna dan Prasasti yang menyebutkan tentang pandai logam disebut dalam kitab Adiparwa, Tantu Panggelaran, Negara Kertagama antara lain disebut: apande gending, apande wesi, pande mas/ pande kencana, pande dadap. Sedang prasasti Watukura menyebutkan adanya pande mas, kangsawsi, dadap.” 13
11
Lihat wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/gladiator diakses Selasa 20 Juni 2013, Pukul 10.00 WIB. 12
Adapun keris mencerminkan simbol bagi seorang laki-laki, sedangkan bagi wanita simbol tersebut berupa cundrik. Budaya semacam ini biasanya terdapat dalam keluarga bangsawan jawa. 13
Djoko Sukiman, Keris: Sejarah dan Fungsinya (Yogyakarta: Proyek Javanologi, 1983) halaman: 3.
6
Sumber ini menunjukkan bila pande besi yang dahulu disebut apande wesi dan kangsa wsi memiliki usia yang sangat tua. Selain itu pande besi tergolong dalam kegiatan menempa logam yang kedudukannya masuk dalam teras jabatan keraton. Apabila ditinjau dari hubungan dengan pihak keraton pande besi dapat dikategorikan menjadi pande keraton dan pande besi rakyat. Sedangkan menurut produk yang dihasilkan pande besi dapat dibedakan menjadi pande pusaka atau pande senjata, pande pisau, pande alat pertanian, pande roda dan lain sebagainya.14 Seiring perkembangan zaman pande besi di pedesaan Jawa berkembang sesuai dengan teknologi dan kebutuhan dalam wilayah tersebut. Pande besi di pedesaan berkembang menjadi pande alat pertanian, alat pertukangan dan alat rumah tangga yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sampai pande besi tersebar di pedesaan, sejarah perkembangan pande besi ini belum banyak yang membahas secara mendalam. Pada umumnya pande besi di pedesaan memiliki sisi yang belum banyak diketahui orang, terlebih mengenai asal-usulnya. Kondisi demikan mungkin berlaku bagi seluruh kerajinan pande besi di pedesaan. Tantangan ini semakin memperbesar minat penulis untuk mengkaji lebih dalam keberadaan pande besi di pedesaan. Keterbatasan sumber serta minimnya informasi membuat kisah pande besi ini menjadi misteri dan setidaknya diperlukan usaha untuk mengungkap misteri itu.
14
Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00-21.00 WIB di rumah Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
7
Selanjutnya untuk mengetahui lebih jauh dinamika pande besi ini penulis memilih tempat penelitian di sebuah pedesaan bernama “Jodog” yang dikenal sebagai salah satu kawasan pande besi di Kabupaten Bantul. Menurut penduduk sekitar kawasan ini pernah memiliki lebih dari 40 unit usaha pande besi. Selain itu produk pande besi di kawasan ini juga dikenal bagus dan rapi, berbeda dengan pande besi di kawasan lain. Pemilihan Jodog sebagai tempat penelitian didasari oleh beberapa macam faktor. Pertama, Jodog pernah memiliki pande besi yang jumlahnya cukup banyak. Kedua, Jodog merupakan kawasan pedesaan yang kompleks karena dekat dengan pasar, sawah, jalan raya, serta beberapa pusat pemerintahan sehingga memungkinkan kita melihat perjalanan pande besi di tengah perkembangan zaman. Ketiga, Jodog belum pernah menjadi objek penelitian sejarah atau ilmu humaniora lain.15 Adapun Jodog yang dimaksud dalam penelitian ini sebenarnya merupakan nama sebuah kawasan yang pada masa Kasultanan Ngayogyakarta berupa kelurahan Djodoglegi.16 Pada tahun 1946, Djodoglegi dilebur dengan dua kelurahan yakni Krekah dan Bantoelan menjadi sebuah kelurahan baru bernama Gilangharjo. Sejak saat itu, kawasan Djodoglegi menjadi wilayah Kelurahan Gilangharjo,
Kecamatan
Pandak,
Kabupaten
Bantul,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta. Namun begitu, sampai sekarang kawasan yang dahulu merupakan
15
Penelitian mengenai kawasan ini sebelumnya fokus pada kajian ilmu ekonomi, yakni analisiis produksi serta pendapatan para perajin pande besi. Keterangan lebih lanjut lihat bagian tinjauan pustaka, halaman 11. 16
Rijksblad van Ngayogyakarta, over het jaar 1927.
8
desa Djodoglegi tetap dikenal dengan sebutan Jodog. Sebutan ini sebenarnya tidak terlepas dari keberadaan pasar tradisional yang sejak dahulu juga dikenal dengan sebutan Pasar Jodog. Karena hal serupa, julukan pande besi di kawasan ini juga disebut dengan pande besi Jodog.17 Di luar kisah Jodog yang begitu panjang, sejarah pande besi di kawasan ini juga masih menjadi misteri. Beberapa perajin di kawasan ini sebenarnya tidak tahu banyak tentang awal mula pande besi. Namun demikian ada keterangan legendaris yang menyatakan bila kawasan ini dahulu dibuka oleh dua empu Kerajaan Majapahit pada abad ke-15 M. Selanjutnya, keterangan yang lebih muda menyatakan bila pada masa Kasultanan Yogyakarta desa Jodog (Djodoglegi) merupakan pusat pande besi di Bantul sebelah barat.18 Menurut keterangan masyarakat, pande besi di Jodog merupakan cikal bakal pande besi bagi kawasan di sekitarnya. Hal ini dapat diketahui dari garis keturunan para perajin pande besi yang ada di sekitar Jodog selalu memiliki hubungan dengan penduduk di kawasan ini. Selain itu, keterangan pada masa Kasultanan juga menunjukkan bila pande besi di kawasan ini masih berhubungan dengan pande besi keraton Kasultanan Yogyakarta di Nginto-into, Godean. Pada saat itu Jodog membantu Nginto-into dalam menyuplai kebutuhan senjata.19
17
Arsip Desa Gilangharjo. Kelurahan Gilangharjo terjadi dari penggabungan tiga kelurahan: 1) Krekah: Lurah Imo Ijoyo (1934-1946), 2) Bantoelan: Lurah Atmo Sumarto (1933-1946), serta 3) Djodoglegi: Lurah Darmo Rejo (1930-1946). 18
Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00 WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul. 19
Wawancara dengan Djawadi, Rabu, 13 Juni 2012 pukul 20.00 - 21.00 WIB di rumah Bapak Djawadi, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
9
Penelitian ini semakin menarik dengan menelusuri awal mula pande besi di pedesaan seperti Jodog. Namun karena minimnya sumber penelitian serta keinginan untuk menyajikan perjalanan pande besi secara cukup panjang, penelitian ini mengambil periode mulai dari masa Kolonial sampai Kemerdekaan. Pande besi Jodog pada tahun 1930an, rkembangan pande besi pun mencapai puncaknya pada tahun 1970. Kegemilangan pande besi di Jodog pada akhirnya mengalami penurunan secara berkala mulai tahun 1990an. Pada saat itu pande besi harus bersaing dengan produk-produk buatan pabrik. Selain itu generasi penerus juga nampak enggan untuk meneruskan usaha turun-temurun ini. Mereka lebih memilih pekerjaan di luar pande besi, misalkan menjadi sopir, bengkel, guru dan lain sebagainya. Hingga pada akhir tahun 1990-an pande besi Jodog berkurang cukup drastis. Kondisi ini terus terjadi sampai sekarang, hingga pande besi hanya menyisakan empat unit usaha.20 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian Pande besi di Jodog pada tahun 1930 sampai 1990 telah melewati berbagai zaman, yakni Kolonial, Jepang dan masa Kemerdekaan. Penelitian pada rentang tahun ini memungkinkan kita melihat lebih jauh dinamika pande besi di Jodog yang sekaligus menjadi permasalahan utama skripsi ini. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan penelitian diajukan.
20
Wawancara dengan Darto, Selasa, 12 Juni 2012, pukul 20.00 - 21.00 WIB di rumah Bapak Darto, Pandean Gilangharjo Pandak Bantul.
10
Mengapa pande besi dapat merebak sampai di setiap sudut kawasan Jodog, siapa yang mengawali pande besi ini, kapan pande besi ini dimulai, serta seperti apakah perjalanan pande besi di kawasan ini? Selanjutnya secara geografis, penelitian ini dilakukan di kawasan pedesaan bernama Jodog yang terletak di Kelurahan Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jodog terdiri dari beberapa daerah tingkat dusun, yakni Pandean, Banaran, Jangkang, Dukunan, Jodog Kidul, Jodog Lor, Jodoglegi, Kadisoro, Nopaten dan Karangasem. Namun demikian tidak semua dusun tersebut terdapat pande besi. Adapun hanya dusun Banaran dan Nopaten yang diketahui tidak terdapat kerajinan pande besi. Kawasan Jodog pada rentang waktu 1930 sampai 1990 mengalami perkembangan yang sangat berarti khususnya dalam hal pande besi. Pada tahun 1930an muncul pande besi-pande besi baru yang menandakan pande besi menjadi profesi pokok sebagian penduduk di kawasan ini. Seiring perkembangan dalam sektor pertanian, pande besi merebak di kawasan ini dan menjadi profesi andalan yang terbukti mampu mengangkat nama Jodog. Pande besi nampak mengalami penurunan yang berarti setelah profesi ini mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh keturunan para perajin pande besi. Diketahui mulai tahun 1990an gejala kemunduran dalam pandai besi ini terjadi. Hingga pada rentang tahun ini pula pande besi berkurang cukup banyak. C. Tujuan Penelitian Pedesaan yang kerap dikonotasikan kuno atau “ketinggalan”, pada kenyataanya memiliki industri rumahan yang dapat dikatakan “maju” sejak lama.
11
Kajian mengenai pandai besi ini diharapkan dapat menampakkan sisi lain dari pedesaan khususnya di Jawa. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat melengkapi tema kajian tentang sejarah pedesaan di Indonesia. Keberadaan pandai besi di pedesaan makin tergerus oleh industri besar di perkotaan. Barang-barang hasil produksi pabrik tersebut biasanya jauh lebih murah dibanding produksi lokal. Melihat kondisi tersebut muncul kekhawatiran apabila pada suatu saat industri pandai besi yang diwariskan turun-temurun ini tidak dapat meneruskan usahanya lagi. Maka tujuan dari penulisan ini tidak lain ialah men-dokumentasi-kan industri pandai besi, khususnya pandai besi di Jodog. Selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu menarik minat masyarakat umum untuk membaca sejarah dan menghargai sejarah. Hal ini bisa dimulai dari sejarah lokal disekitar tempat tinggal kita masing-masing, karena pada saat ini banyak orang yang tidak mengetahui sejarah asal muasal tempat tinggalnya. D. Tinjauan Pustaka Kajian mengenai pandai besi di Jodog sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh beberapa mahasiswa ekonomi pada tahun 1990an. Namun dalam kajian sebelumnya mereka menggunakan metode kwantitatif dalam meneliti pande besi. Beberapa penelitian tersebut ialah: (1) Peranan Industri Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul oleh Tan Yulianto.21 (2) Pengaruh Industri Kecil Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa 21
Tan Yulianto, Peranan Industri Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga: Studi Kasus di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. Skripsi. (STIE Kerjasama Yogyakarta, 1994)
12
Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul karya Hari Kusdaryanto.22 Serta (3) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Industri Pandai Besi oleh Ririn Pamungkasih.23 Dari ketiga karya tersebut semua dikerjakan menggunakan metode wawancara dan kuesioner. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan metode sejarah sehingga diperoleh gambaran perkembangan pande besi di Jodog. Sedangkan penelitian sebelumnya lebih bersifat praktis, yakni dengan menganalisis faktor produksi terhadap penghasilan para perajin pande besi. Secara ilmu sejarah, penelitian ini merupakan yang pertama bagi kawasan Jodog, oleh karena itu perlu dilihat beberapa penelitian mengenai pande besi di tempat lain. Karya yang sangat bagus sebagai tinjauan adalah buku berjudul Penelitian Keadaan dan Peranan Industri Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian. Buku karya Rachmanto Widjopranoto ini memberi banyak sekali informasi mengenai industri pande besi di pedesaan Jawa serta peran pande besi pada tahun 1967. Penelitian yang mengambil tempat di Kelurahan Segaran, Kecamatan Delanggu, Jawa Tengah ini memuat penelusuran sejarah pande besi, akan tetapi perhatian pada sejarah pande besitersebut hanya sebatas selayang pandang. Penelitian yang diadakan oleh Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial ini 22
Hari Kusdaryanto, Pengaruh Industri Kecil Pande besi Dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Desa Gilangharjo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul. Tugas Akhir. (Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa APMD, 1995) 23
M.A. Ririn Pamungkasih, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Industri Pandai Besi: studi kasus dusun Karangasem, Gilangharjo, Pandak, Bantul. Skripsi.(STIE Kerjasama Yogyakarta, 1998)
13
lebih menekankan pengaruh pande besi terhadap daerah pertanian di Kelurahan Segaran.Adapun buku ini sangat membantu dalam memberikan gambaran industri pande besi. Selain itu buku ini juga dapat menjadi perbandingan pande besi di Jodog pada tahun 1960-an.24 Selanjutnya, skripsi mahasiswa Ilmu Sosiatri, Teguh Purwanto. Skripsi dengan judul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Tenaga Kerja Pedesaan pada Kerajinan Pande besi ini diselesaikan pada tahun 1987.25 Penelitian ini mencoba menganalisa faktor yang mendorong kesediaan warga pedesaan untuk bekerja sebagai pande besi. Adapun ada tiga faktor yang diteliti, yakni faktor keberadaan sektor pertanian, faktor perkembangan komunikasi dan yang terakhir faktor tradisi. Tulisan ini mengambil tempat di dusun Koripan, Desa Kranggan, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Dalam skripsi ini juga diceritakan kondisi kerajinan pandai besi Koripan dengan cukup jelas, mulai dari kehidupan perajin, proses produksi, penghasilan, pemasaran dll. Keberadaan karya ini akan sangat membantu guna mencari celah permasalahan tentang pande besi. Selain itu, tulisan ini menjadi perbandingan agar penelitian nanti tidak mengikuti pola kajian antropologi. Kemudian, buku karya S. Ann Dunham, selaku ibu Barack Obama, presiden terpilih Amerika Serikat dapat menjadi tinjauan wajib saat hendak
24
Rachmanto Widjopranoto, Penelitian Keadaan dan Peranan Industri Rakyat Pandai Besi di Suatu daerah Pertanian (Yogyakarta: Balai Penelitian dan Peninjauan Sosial, 1967) 25
Teguh Purwanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterlibatan Tenaga Kerja Pedesaan Pada Kerajinan Pande besi (Kasus Koripan di pedesaan Jawa). Skripsi. (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Jurusan Sosiatri. 1987)
14
meneliti pandai besi. Buku berjudul Pendekar-Pendekar Besi Nusantara ini membicarakan pedesaan dengan pandai besinya secara menarik.Ia menentang pendapat Boeke dan Clifford Geertz yang mengatakan bahwa penduduk pedesaan tidak mempunyai kemampuan organisasi dan disiplin kerja, serta kerajinan berbasis pedesaan ini sudah hampir punah di Jawa dan sekarang hanya menempati posisi marginal. Sebaliknya Ann membuktikan bahwa masih ada kerajinan di pedesaan indonesia yang selalu bertahan dan berkembang. Dalam buku ini Ann menamakan pandai besi secara unik yakni “petani pandai besi”. Buku ini akan sangat membantu untuk mengetahui lebih jauh tentang pandai besi, termasuk juga teori-teori tentang pedesaan.26 Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat, menjadi buku menarik yang dapat kita tinjau. Buku ini merupakan hasil dokumentasi budaya dari Museum Negri Provinsi Sumatera Barat, Adhiyawarman. Dalam buku setebal 28 halaman ini memuat gambaran peralatan pandai besi beserta hasil produksinya. Di kawasan Sumatera Barat, kerajinan pandai besi ini disebut “apa basi”. Berdasarkan informasi warga diceritakan bahwa ilmu menempa besi ini dibawa oleh bangsa asing (penjajah) yang datang ke daerah ini berabad-abad lalu. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya alat perkakas terutama “landasan” yang dapat dibuat di dalam negeri. Kajian pendokumentasian budaya tentang pandai besi ini sebenarnya cukup lengkap, bahkan sejarah asal-usul pandai besi di kawasan ini
26
S. Ann Dunham. Pendekar-pendekar Besi Nusantara, Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia. (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1992)
15
juga turut ditelusuri. Buku ini dapat dijadikan perbandingan untuk mengetahui perkembangan pandai besi yang terjadi di Jodog.27 E. Sumber dan Metode Penelitian Kuntowijoyo, dalam Metodologi Sejarah mengatakan jika “sejarah pedesaan ialah sejarah yang secara khusus meneliti tentang desa atau pedesaan, masyarakat petani dan ekonomi pertanian. Sejarah pedesaan harus selalu dapat mengembalikan permasalahan kepada desa dan pedesaan, atau kepada ekonomi agraria di pedesaan”.28 Secara tematik penelitian mengenai pande besi ini masuk dalam kategori sejarah pedesaan. Dalam hal ini pande besi merupakan bagian dari desa yang juga sangat dekat dengan sektor pertanian. Lebih lanjut lagi Kuntowijoyo menjelaskan sebuah subtema dalam sejarah pedesaan yakni sejarah ekonomi pedesaan.29 Subtema ini sebenarnya merupakan sejarah mikro dari sejarah ekonomi indonesia. Namun yang perlu digarisbawahi, penelitian mengenai pande besi kali ini tidak hanya mengkaji tentang permasalahan ekonomi, melainkan juga kehidupan sosial dalam masyarakat pandai besi. Maka dari itu tema penulisan sejarah ini lebih tepat disebut sebagai sejarah sosial ekonomi pedesaan. Selain kategori sejarah, hal yang lebih sering dipertanyakan dalam setiap penelitian ialah mengenai metode dan sumber penelitian. Penelitian pande besi
27
Tim Penulis Museum Negeri Provinsi Sumatera Barat (Adhityawarman). Kerajinan Pandai Besi di Sumatera Barat (Sumatera Barat, 1995) 28 Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003) halaman: 74 – 75. 29
Ibid.,halaman: 91-99.
16
Jodog ini menggunakan metode sejarah, yakni dengan beberapa tahapan meliputi (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sumber), (4) interprestasi (analisis dan sintesis), (5) penulisan. Sedangkan mengingat objek penelitian merupakan sejarah pedesaan yang sedikit sekali meninggalkan sumber tertulis, maka sumber penelitian ini akan lebih banyak menggunakan sumber sejarah lisan, yaitu dilakukan dengan wawancara. Adapun untuk mengetahui seluk beluk sejarah lisan perlu dibaca beberapa artikel tentang sejarah lisan yang ada dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi nomor 13 bulan Maret 1991. Dalam buku tersebut ada tiga tulisan yang sangat mengena untuk pande besi ini. Pertama, karya Adaby Darban, Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya. Kedua, Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan oleh Sartono Kartodirjo. Dan terakhir Sejarah LisanuntukSejarah Sosial karya Djoko Suryo.30 Selanjutnya sebuah buku terjemahan M. Nursam mengenai teori dan metode sejarah lisan, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan karanganPaul Thompson31. Buku yang tergolong baru ini menjelaskan secara rinci mengenai tatacara penelitian sejarah lisan, kisah pengalaman penulis, serta cara mensikapi narasumber. Berbagai pengalaman wawancara yang Thompson lakukan di Inggris ia ceritakan dengan jeli, sehingga banyak sekali pengetahuan sejarah lisan dalam
30
Adaby Darban, “Beberapa Catatan Lapangan Penelitian Sejarah Lisan di Pedesaan dan Sekitarnya”; Sartono Kartodirdjo, “Pengalaman Kolektif sebagai Obyek Sejarah Lisan”; dan Djoko Surjo, “Sejarah Lisan untuk Sejarah Sosial” dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan”. dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan edisi nomor 13 Bulan Maret 1991. 31
Paul Thompson, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan (Yogyakarta: Ombak, 2012).
17
buku ini. Pada bagian akhir buku ini terdapat contoh kendali wawancara yang dapat membantu kita untuk menyusun pertanyaan dengan lebih tepat dan mendalam. Selain beberapa buku tadi, Kuntowijoyo dalam Pengantar Ilmu Sejarah32 juga menyinggung sedikit mengenai sejarah lisan. Dalam buku ini Kuntowijoyo menjelaskan kita tentang berbagai hal yang harus dipersiapkan dalam penelusuran sejarah lisan. Mulai dari belajar sebanyak-banyaknya sampai pada tatacara untuk menghormati hak interview. Untuk menghormati hak narasumber kita harus menanyakan apa hasil wawancara tersebut dapat didengar oleh banyak orang. Namun untuk penelitian pande besi ini bersifat netral sehingga semua hasil wawancara dapat diketahui oleh banyak orang. Temporal 1930-an sampai 1990-an dalam penelitian ini jelas bukan temporal yang mudah untuk menggali informasi dengan metode wawancara. Pasalnya, narasumber yang dipilih harus sesuai dan memenuhi kriteria usia tertentu. Adapun untuk mendapatkan gambaran yang memadai diperlukan juga sumber sekunder dari pustaka yang berisi tentang pande besi sezaman yang terjadi di kawasan lain sebagai pembanding pada masa itu. Selain itu dalam penggalian sejarah lisan ini dibutuhkan pula bukti-bukti fisik seperti napak tilas, foto dan beberapa dokumen yang berhubungan dengan pande besi Jodog. Penelitian ini selain mengandalkan sumber lisan juga mengusahakan sumber-sumber tertulis seperti arsip dan pustaka. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten Bantul sebenarnya merupakan sumber yang sangat penting, 32
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2005) halaman: 98.
18
namun dokumen yang ada di tempat ini kurang lengkap. Kebanyakan data yang tersedia dari BPS Bantul merupakan data mutakhir, yakni tahun 1990-an. Demikian juga yang kami peroleh di Badan Kearsipan Kabupaten Bantul, pelayanan serta data yang tersedia tidak seperti yang kami harapkan. Selanjutnya, titik cerah kembali terbuka saat mendapatkan beberapa berkas data dari Badan Kearsipan dan di BPS Provinsi Yogyakarta. Beberapa data tentang peralatan tani, serta perkembangan teknologi pertanian tersebut sudah cukup membantu untuk penelitian ini. Selain itu, secara tidak sengaja penulis menemukan tulisan tentang pandai besi dalam naskah kuno yang tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Naskah yang sudah ditransliterasi ke huruf cetak ini berisi tentang sejarah empu keris sejak masa Majapahit. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi menjadi empat bab pokok yang disusun secara kronologis. Pada Bab pertama yang merupakan pengantar menunjukkan alasan penelitian ini penting untuk dilakukan. Latar belakang penelitian, permasalahan, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka serta sumber dan metode penulisan terdapat dalam bab ini. Dalam Bab kedua merupakan kajian yang lebih mendalam mengenai kawasan Jodog dan sekitarnya. Pada bab ini terdapat tinjauan lingkungan geografi beserta kondisi masyarakat Jodog. Bagaimana hubungan dan kedudukan kawasan ini dengan pemerintah lokal serta segi-segi historis yang menjadi kepercayaan masyarakat di sini. Selain itu juga disampaikan cerita legendaris kawasan ini yang tentu masih berhubungan dengan awal mula pande besi.
19
Pada Bab ketiga yang ditandai dengan munculnya pande besi-pande besi baru menandakan bila pande besi benar-benar sudah menjadi profesi pokok sebagian masyarakat di Jodog. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian yakni munculnya pande besi-pande besi baru, penyebaran industri pande besi, sertapola pewarisan. Pembagian ini sebenarnya dilakukan secara kronologis, yakni mulai dari tahun 1930-an sampai 1950-an. Pada Bab ke-empat membahas ketika Jodog menjadi pusat pande besi. Pembahasan dalam bab ini dilakukan mulai dari merebaknya pande besi di Jodog pada tahun 1960-an, masa ke-emasan pande besi pada tahun 1970-an, modernisasi pande besi tahun 1980-an, serta tantangan dan kemunduran pande besi pada tahun 1990-an. Modernisasi pande besi itu ditandai oleh masuknya listrik pada tahun 1983 serta mekanisasi pertanian yang membuat beberapa budaya seperti aliran kepercayaan dan sesaji dalam pande besi berubah. Selain itu, merebaknya produksi alat tani dari pabrik juga membuat pande besisemakin menerima tantangan dan harus memilih menentukan nasibnya kelak. Penelitian ini ditutup dengan tahun 1990-an sebab pada tahun ini pande besi di Jodog mengalami penurunan jumlah yang cukup besar. Akhirnya tibalah pada bagian akhir penulisan ini yang ada pada Bab kelima. Pada bab ini memuat kesimpulan yang menandakan awal harapan kami, kajian pandai besi ini dapat menarik minat pemuda khususnya di Jodog untuk lebih mengenal sejarah lokal tempat tinggal mereka.