BAB I Pengantar
A. Latar Belakang Masalah Hingga sekarang monografi mengenai sejarah gerakan buruh di Indonesia belumlah sesak. Boomgaard pernah mengatakan pada akhir 1990an bahwa sejarah perburuhan bukanlah topik yang populer, terutama di kalangan sejarawan Indonesia, karena dua pokok alasan berikut.1 Pertama, studi mengenai buruh dan hubungan tenaga kerja selalu memiliki cita rasa agak kiri. Semasa Orde Baru yang panjang, orang tentunya akan ragu untuk mengambil studi yang berpotensi memicu reaksi. Sedangkan di masa reformasi ini, meskipun banyak orang mulai berani meneliti topik yang kekiri-kirian, tetap saja, historiografi perburuhan masih jarang. Selain memang dapat memancing reaksi kelompok yang alergi “kiri” yang masih mudah ditemukan di era reformasi, hal ini barangkali juga disebabkan oleh faktor yang kedua: sejarah gerakan buruh tidaklah seheroik dan seberdarah-darah gerakan nasional. Sehingga orang lebih suka menempatkan gerakan buruh di dalam satu kotak dengan sejarah gerakan nasional. Kecenderungan untuk memasukkan sejarah gerakan buruh ke dalam paket sejarah gerakan nasional itu juga terdorong oleh pandangan simplistis yang muncul di banyak historiografi. Yaitu, bahwa gerakan buruh atau serikat buruh memiliki kepentingan yang persis sama dengan partai politik dan bahwa serikat buruh berada di bawah bayang-bayang partai politik. Argumen yang serupa dilontarkan oleh pemerintah kolonial untuk menuduh partai politik menunggangi setiap aksi buruh dan bahwa gerakan buruh memiliki kepentingan politik yang lebih luas. Pandangan ini biasanya bersandar pada fakta bahwa gerakan buruh di Hindia bernuansa nasionalis karena musuh utama mereka, para majikan yang menindas, adalah orang asing yang didukung pemerintah kolonial. Pandangan bahwa serikat buruh hanya sekadar bayangan partai politik tersebut mendapat tentangan dari yang berkebalikan dengannya secara ekstrim. Pandangan ini menyatakan bahwa partai politik, bahkan serikat buruh, tidak memiliki banyak pengaruh terhadap gerakan buruh. Serikat lebih merupakan produk ketimbang inisiator dari sebuah pemogokan. Serikat lebih
1
Peter Boomgaard, “Labour in Java in 1930’s”, Working Paper on Asian Labour, [t.t.], hlm. 2.
1
sering ditarik ke dalam konflik buruh-majikan justru ketika para buruh mendadak mogok.2 Kondisi ekonomi lah yang menggerakkan buruh. Kedua pandangan yang bertolak belakang itu kurang meyakinkan dan langsung menyisakan pertanyaan. Pendapat yang pertama meragukan, sebab sekalipun berafiliasi dengan perkumpulan politik tertentu, serikat buruh memiliki kepentingan yang lebih sempit dari perkumpulan politik itu, yaitu memperbaiki kondisi kerja dan menyejahterakan buruh, terutama yang menjadi anggotanya. Pendapat yang pertama ini membuat sulit untuk menjelaskan mengapa suatu pandangan politik diterima oleh buruh dan mengapa pandangan politik tertentu lebih diterima ketimbang lainnya. Pendapat yang terakhir mengesampingkan peran agitasi dan organisasi. Seolah-olah buruh akan memperjuangkan nasib mereka dengan cara yang sama dan mendapat hasil yang sama pula dengan atau tanpa serikat. Pendapat yang terakhir juga menyulitkan penjelasan atas pertanyaan: mengapa buruh dengan gaji, jam kerja, dan perilaku majikan yang serupa pada waktu dan/atau tempat yang berbeda memiliki cara pandang yang berbeda atas nasib mereka dan bereaksi secara berbeda pula? Perbedaan pandangan mengenai peran serikat tersebut tampaknya disebabkan oleh perbedaan pendapat mengenai apa yang menyebabkan buruh bergerak memperjuangkan nasib mereka. Hal ini pada gilirannya akan menggiring pada perdebatan mengenai apa yang menyebabkan buruh merasa diperlakukan secara tidak adil. Barrington Moore berpendapat bahwa kunci dari aksi populer—baik protes dan demonstrasi maupun pemogokan dan pemberontakan—adalah perasaan yang mendalam mengenai keadilan dan ketidakadilan di antara orang biasa. Menurutnya, jika perasaan moral mereka mengenai keadilan dilukai oleh pemerintah, majikan, atau siapapun yang memiliki kekuasaan, maka legitimasi penguasa itu akan dipertanyakan, dan, pada gilirannya, akan mendorong pembangkangan kolektif atau pemberontakan.3
2
Prabhu Mohapatra, "Asian Labour: Culture, Consciousness and Representations", dalam Prabhu Mohapatra, Andrew Wells, Samita Sen, "Asian Labour: A Debate on Culture, Consciousness and Representation", Working Papers On Asian Labour, 1997, hlm. 15; John Ingleson, “Life and Work in Colonial Cities: Harbour Workers in Java in the 1910s and 1920s”, Modern Asian Studies, Vol. 17, No. 3, 1983, hlm. 456. 3 John Ingleson, In Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1908-1926 (Singapore: Oxford University, 1986), hlm. 7-8.
2
Pertanyaannya kemudian, bagaimana perasaan ketidakadilan buruh itu muncul? Mereka yang terlalu mementingkan peran partai politik cenderung beranggapan bahwa perasaan ketidakadilan itu muncul karena pengaruh ide-ide nasionalis atau marxis yang dianut oleh elitelit
partai
yang
juga
menjadi
elit-elit
serikat
buruh.
Sebaliknya,
mereka
yang
mengesampingkan peran partai dan serikat akan menunjuk hal-hal yang mendasar bagi buruh seperti upah dan jam kerja sebagai pendorong munculnya perasaan ketidakadilan. Gagasan nasionalisme atau marxisme itu tidak terpahami oleh sebagian besar buruh di Jawa yang buta huruf. Ekonomi dan masalah-masalah mendasar terkait pekerjaan tentu memiliki andil yang besar di dalam kemunculan perasaan ketidakadilan para buruh. Namun, hal itu bukan satusatunya dan tidak selalu menjadi faktor penentu. Bukankah ukuran adil tidaknya upah, fasilitas kerja, dan perlakuan majikan bisa berbeda-beda antar kelompok buruh apalagi antar pribadi buruh karena berbagai faktor seperti pengalaman hidup, pengetahuan, dan alam pikir? Seorang buruh bergaji tinggi dan memiliki banyak fasilitas bisa saja menganggap bahwa ia masih belum mendapatkan gaji dan fasilitas yang sepantasnya dan dengan demikian ia merasa diperlakukan secara tidak adil oleh perusahaan. Begitu juga sebaliknya, seorang buruh tidak terampil bisa saja menerima dan menganggap pantas gaji yang rendah dan fasilitas yang minim dari perusahaan. Jadi gaji, fasilitas, dan perlakuan majikan yang sama dari suatu perusahaan bisa dihayati secara berbeda-beda oleh masing-masing buruh. Serikat buruh boleh jadi penting di dalam memberi penyadaran mengenai ketidakadilan dan memberi bentuk gerakan buruh. Mengecilkan peran serikat buruh oleh karena gagasan komunisme atau nasionalisme tidak terpahami sebab mayoritas buruh tidak terdidik atau buta huruf terlalu menyederhanakan. Kiranya serikat tidak perlu sampai membuat anggota memahami teori Karl Marx atau Ernest Renan untuk mendorong mereka menyadari ketidakadilan yang menimpa mereka serta mengetahui siapa dan berkebangsaan apa yang berlaku tidak adil. Dari tulisan-tulisan yang muncul di organ serikat maupun dalam laporan mengenai pertemuan-pertemuan, dapat diketahui bahwa agitasi serikat disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan membumi. Namun agitasi serikat juga bukanlah satu-satunya faktor pendorong dan tidaklah cukup untuk memahami kemunculan perasaan tidak adil di
3
kalangan buruh. Jelas, ada banyak faktor lain yang juga berperan penting dalam membidani perasaan ketidakadilan buruh, mendorongnya untuk beraksi, apalagi membentuk mode perjuangannya. Selain faktor lingkungan dalam pekerjaan—mode pekerjaan, jam kerja, upah, fasilitas kerja, dan relasi kerja buruh-majikan—dan serikat, pelbagai masalah perkotaan yang menjadi tempat buruh hidup juga perlu diperhatikan. Studi-studi menyangkut gerakan buruh perkotaan yang ada masih belum memberi tempat yang pantas bagi pengaruh lingkungan perkotaan. Padahal, perkotaan kolonial yang tengah berkembang dengan pesat dan memiliki dampak yang cukup dahsyat pada penduduknya itu bukan tidak mungkin memiliki dampak yang signifikan pada gerakan buruh. Sebab itu studi ini bermaksud mencari tahu peran lingkungan kota. Tidak hanya dalam mendorong munculnya perasaan ketidakadilan, melainkan juga dalam membentuk gaya hidup, mode perjuangan, dan identitas para buruh. Lingkungan dalam dan luar tempat kerja saling mempengaruhi. Prabu Mohapatra mengatakan bahwa banyak studi mengenai serikat buruh dan hubungan industrial tidak memuaskan karena mengabaikan perembesan masalah kerja ke sektor lain kehidupan pekerja dan bagaimana isu-isu kerja tumpah ke dalam lingkungan keluarga, distrik, dan kota-kota. Tetapi penelitian ini juga ingin menekankan yang sebaliknya: bagaimana pengalaman buruh pada sektor lain kehidupan mereka merembes ke tempat kerja dan bagaimana isu-isu perkotaan tumpah ke dalam lingkungan kerja.4 Hal ini tentunya akan memperluas area penyelidikan pada pekerja: dari lingkungan dalam (persoalan kerja) dan keorganisasian serikat buruh ke lingkungan luar (pelbagai masalah perkotaan, seperti migrasi ke kota, kepadatan penduduk, gaya hidup, ruang-ruang publik, intelektual perkotaan, tempat tinggal, tata kota, pakaian, hiburan, media massa, transportasi, etnisitas, pendidikan, relasi sosial di kota dan seterusnya). Buruh kereta api diambil sebagai studi kasus penelitian ini karena dua hal. Pertama, sifat urban dari perkeretaapian. Kedua, buruh kereta api dan serikat mereka merupakan gerakan buruh yang paling besar, dinamis, aktif, dan radikal, tetapi hingga sekarang belum ada buku utuh (setidaknya di Indonesia) tentangnya.
4
Prabhu Mohapatra, op. cit., hlm. 15-16. Sayangnya Mohapatra juga tidak memberi gambaran yang memadai mengenai apa saja yang ia maksud dengan lingkungan luar, serta mengapa dan bagaimana hal itu berpengaruh terhadap lingkungan dalam.
4
B. Ruang Lingkup dan Pertanyaan Penelitian Studi ini berfokus pada pengaruh kota-kota kolonial yang tengah berkembang beserta pelbagai masalah di dalamnya terhadap radikalisasi buruh kereta api. Namun tidak semua kota kolonial yang mana terdapat buruh kereta api akan diteliti. Penelitian ini hanya akan berfokus pada buruh kereta api di kota-kota Jawa, terutama di mana terdapat cabang VSTP. Kota-kota itu mencakup semua kota praja5 dan beberapa kota besar dan kecil lainnya—sekalipun proporsinya tidaklah sama.6 Rentang waktu 1914 hingga 1926 diambil karena pada masa inilah proses radikalisasi buruh kereta api sesungguhnya bermula dan berakhir. 1914 dianggap sebagai permulaan radikalisasi yang sesungguhnya karena pada masa inilah VSTP memiliki program perjuangan buruh yang jelas dan cukup lengkap, serta berupaya merealisasikan program-program itu dengan pelbagai cara yang bisa dilakukan (baik yang halus maupun yang kasar). 1926 dianggap sebagai akhir karena ketika itu pemerintah mengeluarkan pelbagai macam aturan yang menindas gerakan buruh dan banyak aktivis VSTP ditangkap. Buruh menjadi sulit bergerak dan takut bergabung dengan serikat. Meskipun begitu pembahasan dalam tesis ini juga akan seringkali mundur pada tahun-tahun sebelum rentang waktu tersebut untuk memberi penjelasan mengenai perusahaan dan buruh kereta api, perjalanan serikat buruh kereta api, dan sejumlah hal terkait pengkotaan. Berangkat dari penjelasan di atas, studi ini berupaya menjawab dua pertanyaan penelitian berikut: Mengapa buruh kereta api berjuang dan semakin radikal dalam perjuangan mereka untuk memperbaiki nasib? Siapa di antara buruh kereta api yang radikal dan seperti apakah proses radikalisasi itu berlangsung? Dalam hal apakah radikalisasi itu dipengaruhi oleh pengkotaan di Jawa?
C. Tujuan Penelitian Pemerian sebelumnya sebenarnya telah memberi gambaran bahwa studi ini tidaklah sekadar bermaksud melukiskan apa yang terjadi di mana dan kapan serta bagaimana hal itu terjadi, melainkan juga soal mengapa sesuatu berlaku. Dengan demikian studi ini bertujuan
5
Batavia, Mr. Cornelis, Buitenzorg, Cirebon, Sukabumi, Bandung, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Magelang, Madiun, Mojokerto, Surabaya, Kediri, Blitar, Pasuruan, Malang, dan Probolinggo. 6 Antara lain Yogyakarta, Surakarta, Cilacap, Purwokerto, Banten, Sidoarjo, dan lain-lain.
5
untuk menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi radikalisasi buruh dan membentuk karakter gerakan buruh perkotaan. Secara lebih khusus, studi ini bertujuan menjelaskan pengaruh lingkungan kota kolonial perempat pertama abad keduapuluh pada munculnya ketidakpuasan, radikalisasi, dan karakter gerakan buruh kereta api. Studi ini diharapkan mampu memberi sumbangan untuk memahami kekuatan-kekuatan penggerak di kalangan pekerja kereta api dan trem serta gerakan buruh perkotaan pada umumnya. Dengan demikian studi ini diharapkan dapat memberi sumbangan tidak hanya terhadap penelitian mengenai gerakan buruh kereta api tetapi juga gerakan buruh perkotaan secara umum. Karena juga menyangkut banyak masalah perkotaan, meskipun hanya yang berdampak pada gerakan buruh, maka barangkali studi ini juga dapat memberi sumbangan terhadap studi tentang masalah-masalah perkotaan yang berpengaruh terhadap penghuninya.
D. Tinjauan Pustaka Sejauh yang saya ketahui, belum ada monografi yang sama persis dengan penelitian ini. Sebagaimana telah disinggung di muka, studi mengenai buruh kereta api, atau gerakan buruh perkotaan lainnya, umumnya masih berada di dalam “kotak” gerakan politik atau gerakan nasional. Tiga historiografi yang populer di kalangan awam dari Ruth T. McVey, Takashi Shiraishi, dan Soe Hok Gie (The Rise of Indonesian Communism,7 Zaman Bergerak,8 dan Di Bawah Lentera Merah9) bisa dijadikan contoh untuk ini. Buku-buku itu sering menyebut serikat buruh di dalamnya, termasuk serikat buruh kereta api. Namun umumnya terkait dengan aktivitas politik pemimpin atau sebuah partai yang dianggap berafiliasi dengannya. Hal yang sama juga berlaku pada studi tokoh-tokoh pergerakan. Seperti studi mengenai tokoh yang juga berperan penting bagi serikat buruh kereta api, VSTP: Dewi Yuliati mengenai peran Semaoen
7
Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1968). Karangan ini membahas perkembangan PKI hingga 1926 dan hubungannya dengan komunis Internasional. 8 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997). Mengupas kemunculan dan pertumbuhan radikalisme rakyat bumiputra serta memetakan dengan baik ideologi-ideologi yang berada di belakang setiap gerakan rakyat. 9 Baca Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah (Yogyakarta: Bentang Pustaka 1999). Berfokus pada pemberontakan 1926.
6
dalam pers dan radikalisasi Sarekat Islam10 dan Fritjof Tichelman mengenai perjalanan politik Sneevliet di Asia dan Eropa.11 Juga Anak Bangsawan Bertukar Jalan-nya Budiawan yang melukiskan biografi politik dan pemikiran Soerjopranoto.12 Tetapi ini bukan berarti bahwa historiografi mengenai gerakan buruh tidak ada. Di antaranya, yang telah dibukukan, bisa disebut karangan In search of Justice-nya John Ingleson, Sejarah Gerakan Buruh Indonesianya DN Aidit,13 tugas akhir S2 Bambang Sulistyo untuk UGM yang kemudian diterbitkan dengan tajuk Pemogokan Buruh, sebuah Kajian Sejarah,14 dan sebuah buku kumpulan tulisan bertajuk Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa.15 Dari yang telah disebut di atas, In search of Justice merupakan yang terdekat dengan tugas akhir ini. In search of Justice mengkaji pengalaman buruh secara umum di Jawa sejak 1908 hingga 1926.16 Mencakup buruh pada sektor modern ekonomi perkotaan—buruh transportasi, pegadaian, industri logam, buruh percetakan dan seterusnya—dan pabrik gula. Karena juga mengkaji buruh pabrik gula, buku ini sebenarnya tidak sepenuhnya diletakkan dalam bingkai perkotaan. Meskipun Ingleson mengatakan bahwa pabrik gula letaknya berada
10 Dewi Yuliati, Semaoen, Pers dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang (Semarang: Bandera, 2000). 11 Fritjof Tichelman, Henk Sneevliet (1988-1942): Een politieke biografie (Amsterdam: Kritiese Biblioteek Van Gennep, 1974). 12 Budiawan, Anak Bangsawan Bertukar Jalan (Yogyakarta: LKiS, 2006). Buku yang diangkat dari tesis pascasarjana sejarah UGM ini pada dasarnya merupakan biografi Soerjopranoto. Namun demikian, karena Soerjopranoto yang pada masanya dijuluki Raja Mogok adalah seorang pemimpin gerakan buruh terkemuka, terutama yang tergabung dalam PFB (Personeel Fabrieksbond), karangan Budiawan ini begitu banyak membahas persoalan buruh. Mulai dari gagasan, strategi, dan aksi buruh perkebunan hingga konflik kubu Soerjopranoto dengan kelompok komunis, termasuk para pemimpin serikat buruh kereta api. 13 DN Aidit, Sedjarah Gerakan Buruh Indonesia (Jakarta: Jajasan Pembaruan, 1952). Menceritakan perjalanan gerakan buruh di Indonesia hingga awal-awal tahun pasca-kemerdekaan. 14 Bambang Sulistyo, Pemogokan Buruh, sebuah Kajian Sistoris (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995). Penelitian Bambang ini membahas gerakan buruh pabrik gula yang tergabung ke dalam Personeel Fabriek Bond (1918-1921) pimpinan Soerjopranoto. 15 Erwiza Erman dan Ratna Saptari (ed.), Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa (Jakarta: KITLV-Jakarta, NIOD, dan YOI, 2013). Artikel-artikel di dalam buku ini membahas keterlibatan atau dilibatkannya buruh perkotaan (mulai dari buruh pelabuhan hingga penarik becak) dalam proses dekolonisasi Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan. 16 Buku ini, baik dari segi objek analisa maupun kesimpulannya, mencakup tiga artikel yang ditulis Ingleson sebelumnya: “Bound Hand and Foot”, “Life and Work in Colonial Cities”, dan “Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java”. “Bound Hand and Foot” membahas pemogokan buruh kereta api pada 1923. “Life and Work in Colonial Cities” membahas buruh pelabuhan di Semarang. Sedang “Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java” lebih berupa ringkasan In Search of Justice. John Ingleson, “Bound Hand and Foot: Railway Workers and the 1923 Strike in Java”, Indonesia, no. 31, April 1972, ; “Life and Work in Colonial Cities: Harbour Workers in Java in the 1910s and 1920s”, Modern Asian Studies, Vol. 17, No. 3, 1983 ; “Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java”, Pacific Affairs, Vol. 54, No. 3, Musim Gugur, 1981.
7
di pinggir kota serta para pekerjanya memiliki akses ke intelektual dan fermentasi politik perkotaan, ia juga mengakui bahwa pekerjaan pabrik gula bukanlah pekerjaan perkotaan karena masih terkait dengan tanah.17 Barangkali karena itu ia membedakan antara “workers in modern sector of the urban economy” dengan “workers in the sugar factories” dan, ketika membahas pertentangan buruh-majikan-pemerintah dan antar kelompok buruh, membagi “Conflict in the Cities” dan “Conflict in the Sugar Factories” ke dalam bab yang berbeda.18 Karena dalam kajiannya melingkupi hampir semua serikat buruh pratigapuluhan, In Search of Justice tentunya juga membahas serikat buruh kereta api, VSTP. Pembahasan mengenai VSTP dalam buku ini hampir sama—bahkan sama secara harfiah dalam banyak bagian—dengan “Bound Hand and Foot”, karangan Ingleson lain yang terlebih dahulu dimuat dalam jurnal Indonesia. Meskipun berfokus pada pemogokan 1923, “Bound Hand and Foot” ini juga membahas VSTP pra-1923. Dengan demikian, sekalipun tidak berfokus pada buruh kereta api, In Search of Justice memiliki cukup banyak kesamaan dan cukup membantu penelitian untuk tesis saya ini. Namun demikian, barangkali karena luasnya ruang lingkup studi, masih banyak hal penting mengenai buruh kereta api yang belum tercakup dalam penjelasan Ingleson. Gambaran mengenai strategi perusahaan-perusahaan kereta api untuk memperoleh keuntungan dengan menekan beaya operasional (dalam hal ini menyangkut aturan dan penerapan aturan terkait upah, pangkat, tunjangan, fasilitas kerja buruh, pensiun, libur, jam kerja, izin, dan seterusnya), besarnya kekuasaan perusahaan dan atasan Eropa (yang begitu tampak dalam pelbagai macam hukuman, sikap gila hormat, dan tindak kekerasan), posisi pemerintah di dalam konflik, dan pandangan buruh terhadap semua hal itu, masih terasa kurang lengkap untuk menjelaskan rasa ketidakadilan di kalangan buruh kereta api. In Search of Justice sejatinya sudah menaruh perhatian pada pengaruh lingkungan perkotaan, sebagaimana tampak pada babak “Urban Workforce”. Seperti disampaikan dalam kata pengantarnya, bab ini ada karena "pertumbuhan serikat buruh pada 1910an dan 1920an harus dilihat dari kacamata perubahan sosial dan ekonomi pekerja perkotaan dan perubahan
17
John Ingleson, In Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1908-1926 (Singapore: Oxford University), hlm. 155-156. 18 Ibid., “Conflict in the Cities” (bab IV) hlm. 94-149 dan “Conflict in the Sugar Factories” (bab V) hlm. 155-203.
8
persepsi individual maupun kolektif tentang dunia". Sayangnya, bagian ini pun berfokus pada apa yang telah disebut di muka sebagai “lingkungan dalam”. Hampir seluruh bab ini dihabiskan untuk menjelaskan sistem perekrutan buruh, upah, dan kondisi kerja buruh yang buruk. Sedangkan gaya hidup, yang dibahas dalam sub-bab Work, Leisure, and Pleasure, hanya mendapat tempat yang sempit (dua halaman). Pada bagian ini secara singkat dibahas masalah Lebaran, Muludan (perayaan kelahiran nabi Muhammad), alkoholisme, prostitusi, dan sedikit kesenangan lainnya. Banyak masalah-masalah perkotaan penting yang dapat menentukan standar hidup, kesadaran, dan gerakan buruh, sangat kurang atau malah tidak dibahas. Prabu Mohapatra, yang terinspirasi oleh studi Ingleson tersebut, juga menulis bahwa banyak studi mengenai serikat buruh dan hubungan industrial tidak memuaskan karena mengabaikan perembesan masalah kerja ke sektor lain kehidupan pekerja dan sebaliknya. Tetapi Prabu sendiri tidak memberi gambaran mengenai apa saja sektor lain kehidupan pekerja di kota yang ia maksud, serta mengapa hal itu dipengaruhi dan mempengaruhi urusan pekerjaan.19 Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, studi buruh dalam tesis ini sepenuhnya berada dalam bingkai pengkotaan dan berfokus pada buruh kereta api. Khususnya pada pemerian pengaruh timbal balik antara kondisi kerja dan pelbagai macam persoalan perkotaan terhadap gerakan radikal buruh-buruh kereta api. Sebab itu, sekali lagi, di sini akan ditinjau pengaruh pelbagai persoalan perkotaan pada buruh-buruh kereta api, mulai dari urbanisasi hingga fasilitas umum, dari pemukiman hingga akses pengetahuan, dari intelektual perkotaan hingga relasi sosial di kota, dan seterusnya.
E. Kerangka Konsep Buruh berarti orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.20 Sedangkan Oxford Advanced Learner’s Dictionary mengartikan buruh (worker) sebagai orang yang bekerja pada sebuah perusahaan atau industri, khususnya
19 20
Prabhu Mohapatra, loc. cit. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. 227.
9
seseorang yang bekerja secara fisik daripada mengorganisasi sesuatu atau mengelola orang.21 Pemerintah kolonial, dalam sensus 1930, mendefinisikan buruh sebagai orang-orang yang memiliki pendapatan dari pekerjaan selain agrikultur atau perkebunan.22 Pengertian buruh yang digunakan di sini adalah kombinasi dari ketiga hal itu: buruh adalah seseorang yang mendapat upah dengan cara bekerja pada seseorang, perusahaan, atau industri di luar pekerjaan agrikultur atau perkebunan. Sebagaimana kondisi perburuhan secara umum, buruh-buruh perusahaan kereta api dan trem tidaklah homogen. Paling tidak ada dua macam buruh yang perlu dibedakan di sini, yaitu buruh terampil dan tidak terampil. Buruh terampil adalah buruh yang memiliki keahlian tertentu seperti juru tulis, tenaga administratif, teknisi, masinis, dan kondektur. Mereka adalah pekerja yang bergaji agak tinggi dan memiliki banyak jaminan kerja. Buruh tidak terampil terbagi menjadi pegawai tetap dan buruh harian. Buruh tidak terampil yang menjadi pegawai tetap, meskipun bergaji rendah, masih relatif lebih aman, masih mendapat fasilitas dari perusahaan. Buruh kasar harian mengisi kasta terendah dalam suatu perusahaan, memiliki upah yang sangat rendah, dan sama sekali tidak memiliki keamanan kerja. Maksud dari istilah radikal adalah sangat keras atau berusaha keras menuntut perubahan (yang mendasar). Seorang yang radikal berarti seorang yang berupaya keras (dengan berbagai cara, halus maupun kasar) untuk menuntut atau melakukan perubahan. Dengan begitu radikalisasi buruh kereta api berarti upaya atau proses peradikalan buruh kereta api. Beberapa contoh dari sikap radikal buruh kereta api adalah menuntut secara terus-menerus dan terkadang disertai ancaman untuk meningkatkan upah, pemboikotan, pemogokan, perusakan properti perusahaan, dan penggelinciran kereta api. Kata “kota” di dalam kajian ini tidak hanya mengacu pada lingkungan fisik buatan manusia, yaitu tempat-tempat yang oleh pemerintah kolonial pada masa itu dikategorikan sebagai kota—ada 77 daerah di Jawa yang oleh sensus penduduk tahun 1920 dikategorikan sebagai kota (8 kota berpenduduk di bawah 10.000, 43 kota di atas 10.000, 14 kota di atas
21
“A person who is employed in a company or industry, especially sb who does physical work rather than organizing thing or managing people”. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th edition (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 1761. 22 John Ingleson, “Worker Consciousness and Labour Unions in Colonial Java”, Pacific Affairs, Vol. 54, No. 3, Musim Gugur, 1981, hlm. 487-488.
10
25.000, 6 kota di atas 50.000, dan 6 kota di atas 100.000).23 Sebab itu kata pengkotaan, yang akan kerap disebut, bukan sekadar berarti perkembangan fisik maupun urbanisasi. Kota di sini merujuk pada semua yang bersifat perkotaan atau semua yang muncul di kota-kota dan umumnya ada di kota-kota, mencakup mulai dari pekerjaan hingga gaya hidup. Dengan demikian pengkotaan di sini bukanlah berarti perubahan dari desa menjadi kota, melainkan suatu proses menuju atau semakin bersifat perkotaan. Dalam artian tersebut pengkotaan memang seringkali dekat dengan istilah modernisasi— jika kata modern tidak dipahami sebagai hasil akhir atau tujuan yang jelas, melainkan lebih sebagai sebuah proses meninggalkan atau mentransformasikan hal-hal yang telah dianggap tradisional menjadi yang lebih sesuai dengan semangat zamannya, kekinian, tetapi mungkin masih akan berubah, dan tanpa ujung yang jelas.24 Modernitas identik dengan kata “kemajuan” yang digandrungi orang pada masa yang diteliti ini, meliputi begitu banyak hal mulai pakaian ke jabatan, dari cara berkomunikasi dengan atasan ke persoalan pengobatan. Namun istilah tersebut tidak bisa menggantikan pengkotaan karena memang tidak mesti berati apa yang tengah berlaku, digandrungi, atau umumnya berada di kota. Dalam Indonesian City, Nas membedakan lima definisi (dengan demikian juga perspektif) kota. Yaitu sebagai lingkungan material buatan manusia, pusat produksi, komunitas sosial, komunitas budaya, dan sebuah masyarakat yang dikuasai atau terperintah.25 Dalam tesis ini saya bermaksud menggunakan kelima definisi tersebut untuk dapat menangkap kompleksitas perkotaan yang berpengaruh terhadap gerakan buruh. Definisi kota sebagai lingkungan material akan memberi ruang bagi analisa aspek morfologi yang mencakup arsitektonis, ruang,
23 Gavin W. Jones and Pravin M. Visaria, Urbanization in large developing countries: China, Indonesia, Brazil, and India: International studies in Demography (New York: Clarendon Press, 1997), hlm. 161; W.F. Wertheim, op. cit., hlm. 144; Johan Silas, “Perjalanan Panjang Perumahan di Indonesia dalam dan sekitar abad XX”, dalam Freek Colombijn dkk (ed.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 8. 24 Geertz mengatakan bahwa yang mungkin merupakan sifat-hakekat modern ialah “sebagai suatu proses, suatu runtutan kejadian yang mentransformasikan bentuk tradisional kehidupan, yang stabil dan penuh di dalam dirinya sendiri, menjadi bentuk yang penuh resiko, adaptatif, dan berubah-ubah tanpa putus”. Clifford Geertz, After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, a. b. Landung Simatupang, After the Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog (Yogyakarta: LKiS, 1998), hlm. 208. 25 Peter JM Nas, “Introduction: A General View on the Indonesian Town”, dalam Peter JM Nas (ed.), The Indonesian City: Studies in Urban Development and Planning (Dordrecht: Doris Publications, 1986) [Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 117], hlm. 14-16.
11
dan lingkungan dalam kaitannya dengan latar belakang sosio-ekonomi dan budaya pada saat itu. Definisi kota sebagai pusat produksi akan melihat mode produksi di kota-kota berikut perubahan dan dampaknya. Definisi kota sebagai komunitas sosial di sini akan memberi tempat bagi analisa terhadap relasi kekuasaan di dalam masyarakat. Definisi kota sebagai lingkungan budaya akan mengarahkan perhatian terhadap etnisitas, di samping fokus kepada bagaimana orang-orang mengelola hidup mereka di kota dan persepsi mereka terhadap kota. Definisi kota sebagai sebuah masyarakat yang dikuasai/terperintah akan memberi perhatian terhadap perencanaan kota dan bagaimana kota dikelola oleh sebuah sistem kekuasaan lokal. Istilah “etnis” dan “ras” beserta subjek yang mengacu pada dua istilah itu akan seringkali muncul di dalam tesis ini. Kedua kata tersebut termasuk dalam masalah etnisitas yang, menurut Eriksen, berarti berkaitan dengan klasifikasi masyarakat dan hubungan antar kelompok—yang memandang dirinya atau dipandang yang lain berbeda.26 Kalau ras membedakan atau dibedakan berdasarkan ciri-ciri fisik, etnis lebih pada segi budaya. Pembedaan di antara dua kata itu tetap berguna meskipun batas antara ras dan etnis seringkali kabur, karena kelompok etnis cenderung memiliki sebuah mitos tentang asal-usul, yang mengaitkan etnisitas dengan keturunan, dengan demikian merupakan konsep yang sama dengan ras. Istilah etnis memang bisa memiliki arti serupa masyarakat atau sekelompok orang. Namun, ketika etnis-etnis tertentu disebutkan dalam tesis ini, saya tidak bermaksud bahwa sekelompok orang tersebut benar-benar memiliki garis demarkasi budaya yang dengan jelas membedakan mereka dengan kelompok lain. Dalam etnisitas, kata Eriksen, masalahnya memang berpusat pada perbatasan kelompok.27 Terlalu banyak perbedaan budaya antarkelompok di dalam suatu kategori etnis, taruhlah Jawa, dan terlalu banyak persamaan antara etnis tersebut dengan yang lain, misalnya Sunda atau Madura atau Bali. Fakta historis menunjukkan adanya etnis-etnis sejauh ada kelompok-kelompok yang menyebut dirinya atau disebut yang lain sebagai etnis tertentu.
26
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism (second edition) (London: Pluto Press, 1993), hlm. 4. 27 Ibid., hlm. 11.
12
Kata “ras”, meskipun tidak diberi tanda kutip, dalam karangan ini selalu dimaksudkan dalam tanda kutip karena memiliki nilai deskriptif yang meragukan. Eriksen berpendapat bahwa setidaknya ada dua alasan yang kuat untuk ini. Pertama, terdapat terlalu banyak kawin silang dalam sejarah manusia sehingga berbicara mengenai perbatasan ras yang jelas tidaklah bermakna. Kedua, distribusi ciri fisik keturunan tidak diikuti oleh batas yang jelas. Dengan kata lain, seringkali ada variasi yang lebih besar di dalam sekelompok rasial daripada variasi sistematis antara dua kelompok.28 Pada masa kolonial Belanda, masalah ras ini menjadi lebih politis dan batasannya tentu menjadi lebih kacau lagi. Orang-orang Jepang dimasukkan ke dalam Eropa, sedang Cina di kelompokkan bersama Arab dan India sebagai Timur Asing. Namun demikian konsep ras dalam tesis ini masih relevan sejauh menjelaskan ras sebagai konstruksi budaya, tidak peduli ia mencerminkan realitas biologis atau tidak. Ras bahkan menjadi penting karena memiliki konsekuensi yang tidak sepele terhadap yang dikategorikan. Di samping etnisitas, tampaknya juga perlu dijelaskan soal kelas. Kelas sosial mengacu pada sistem peringkat sosial dan distribusi kekuasaan. Kelas sosial yang dimaksud di sini lebih luas ketimbang pandangan Marxis. Kelas sosial tidak hanya terbagi ke dalam pemilik alat-alat produksi dan yang tidak, tetapi juga diferensiasi pendapatan. Kelas sosial perlu dibedakan dengan etnisitas. Masyarakat kolonial yang multi etnis bisa saja dibuat hierarki sesuai dengan keanggotaan etnis. Namun yang demikian bukanlah peringkat kelas: hal itu mengacu pada hubungan antar etnis atau ras, bukan pencapaian status atau kekayaan, meskipun hal yang disebut terakhir ini bisa menjadi konsekuensinya. Etnisitas tidak perlu mengacu pada peringkat dan bisa lebih egaliter. Baik etnisitas maupun kelas dianggap penting bagi tesis ini karena keduanya membuat diferensiasi dalam masyarakat yang diteliti. Konsekuensi dari keduanya juga dapat mendorong radikalisasi buruh. Dalam masalah-masalah tertentu, salah satunya bisa lebih menonjol tetapi bukan berarti lebih penting ketimbang yang lain. Dengan demikian tesis ini agak berbeda dengan pandangan Colombijn yang menyangkal pendapat sementara sejarawan bahwa masyarakat kolonial terpecah oleh diferensiasi etnis. Menurutnya pemisahan kelas bahkan
28
Sekarang tidak ada lagi sarjana serius yang percaya bahwa karakteristik keturunan dapat menjelaskan variasi kultural. Neo-Darwinis kontemporer bahkan berpandangan bahwa orang-orang di mana pun memiliki kemampuan bawaan yang sama. Ibid., hlm. 5.
13
lebih penting ketimbang etnisitas.29 Perbedaan pandangan ini bukan disebabkan penyangkalan mentah-mentah pendapat berikut bukti yang di bawa Colombijn. Melainkan karena tesis ini melihat diferensiasi dalam konteks yang lebih luas. Colombijn melihat diferensiasi itu hanya pada pembagian ruang untuk perumahan, sedangkan tesis melihatnya dalam banyak hal, selain pembagian ruang untuk perumahan: pembagian ruang di sektor lain, seperti pembagian ruang tunggu kereta api, toilet, dan tempat serta tempat lainnya; diferensiasi pendapatan, cuti, dan pesangon pekerja; penerimaan dan perlakuan murid sekolah; hukum dan hak warga masyarakat; bahkan dalam wacana kolonial (yang tidak mesti direalisasikan, termasuk wacana perumahan). Lagi pula, sekalipun banyak Cina, Indo, atau Eropa yang tinggal di lingkungan Pribumi, hal itu tetap tidak menghilangkan kesenjangan etnisitas di antaranya dan membuat mereka berbaur sama sekali sebagai seorang yang sekelas. Perlu ditekankan, diferensiasi etnis atau ras di sini tidak seekstrim konsep ekonomi majemuknya Furnivall, bahwa tidak terjadi kontak diantara Pribumi, Timur Asing (khususnya Cina), dan Eropa kecuali dalam bidang material dan ekonomi.30 Sebab bisa jadi dalam pertemuan antara pembantu dan majikan, bawahan dan atasan perusahaan, pengutang dan rentenir, pembeli dan penjual, bahkan pertemuan orang-orang di jalanan terjadi kotak budaya, meskipun tidak secara intens. Bukankah kontak tiga kelompok itu sempat membentuk apa yang disebut-sebut sebagai budaya indisch? Tidaklah mudah memasukkan penelitian ini secara utuh ke dalam satu kategori sejarah. Paling kurang ada empat kategori sejarah yang bersinggungan dengan tesis ini, yaitu sejarah sosial, kota, politik, dan mentalitas. Ini menjadi semakin membingungkan karena adanya definisi yang berbeda-beda dari sejumlah begawan sejarah untuk setiap kategori tersebut— meskipun terkadang ada juga titik-temunya. Juga karena tidak adanya batasan yang hitamputih, kategori-kategori tersebut sering kali tumpang tindih.
29
Freek Colombijn, Under Construction: The politics of urban space and housing during the decolonization of Indonesia, 1930-1960 (Leiden: KITLV, 2010) [Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, vol. 246], hlm. 15-17. 30 JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, a. b. Samsudin Berlian, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (Jakarta: Freedom Institute, 2009), hlm. 253.
14
Sejarah sosial mencakup secara luas studi sejarah kemasyarakatan, termasuk di dalamnya sejarah gerakan sosial, institusi sosial, peristiwa sosial, demografi, dan urbanisasi.31 Sejarah kota tidak kalah luasnya. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, ia seluas sejarah sosial sendiri. Sejarah kota mencakup pelbagai hal mengenai kota, penghuninya, dan peristiwa yang terjadi di kota. Memang ada upaya untuk membatasi sejarah kota dengan hanya berfokus pada gejala kekotaan yang khas.32 Tetapi, apa yang disebut sebagai gejala kekotaan itu pun seringkali berupa gejala sosial yang juga menjadi fokus sejarah sosial. Lagi pula, kota adalah juga bentukan masyarakat yang terkait dengannya. Sejarah politik pun memiliki definisi beragam. Jika definisi yang tradisional umumnya hanya mencakup hal-hal yang berkaitan dengan negara dan pemerintahan,33 yang baru jauh lebih luas: tentang kekuasaan secara umum.34 Sejarah mentalitas memiliki cakupan yang lebih luas lagi. Ia berfokus pada alam pikir, ideologi, etos, mitos, dan nilai-nilai yang mempengaruhi proses sejarah tertentu.35 Ia menjadi demikian luas karena tampaknya setiap kelompok dalam suatu waktu memiliki alam pikirnya sendiri. Setiap peristiwa boleh dikata juga memiliki ide-ide yang melatarbelakanginya. Tesis ini bisa saja dikelompokkan ke dalam setiap salah satu dari keempat kategori tersebut atau sekaligus keempat-empatnya. Ia dapat dikategorikan sebagai sejarah sosial karena mengkaji gerakan sosial, khususnya gerakan buruh. Ia bisa dikatakan sebagai sejarah kota karena berfokus pada buruh perkotaan (salah satu kelompok penduduk kota) dan pelbagai masalah perkotaan yang berpengaruh terhadap gerakannya. Kalau sejarah politik bukan sekadar sejarah negara dan orang-orang besar, tetapi sejarah kekuasaan, maka tesis ini dapat pula dipandang sebagai sejarah politik. Sebab, bagi yang setuju dengan Foucault, kekuasaan bukanlah milik seperangkat institusi, melainkan ada di mana saja dan kapan saja, termasuk
31 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 157-159; Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 307310. 32 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (edisi kedua) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm. 63-64. 33 Sebenarnya juga sejarah gereja, perang, dan hubungan antar bangsa. Paradigma yang tradisional juga menganggap politik adalah sejarah itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu tokohnya yang terkenal, Sir John Seely: “History is past politics, politics is present history”. Peter Burke, “ Overture: the New History, its Past and its Future” dalam Peter Burke (ed.), New Perspectives on Historical Writing (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1992), hlm. 3. 34 Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 73 dan 76. 35 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 170-171.
15
dalam kehidupan sehari-hari.36 Tesis ini adalah juga soal pergelaran kekuasaan—tidak hanya oleh majikan dan pemerintah, tetapi juga buruh dan siapa saja yang terkait—sekaligus perlawanannya—yang tampaknya juga dapat dikatakan pergelaran kekuasaan atau tandingan. Tesis ini dapat pula dikelompokkan ke dalam sejarah mentalitas karena juga berkaitan perubahan alam pikir buruh perkotaan dan ide serta ideologi yang turut membentuk sikap radikal buruh. Akan tetapi sejarah sosial dan sejarah perkotaan boleh dikata adalah yang paling dekat dengan tesis ini. Sebab tulisan ini tidaklah secara khusus membahas relasi kekuasaan dan mentalitas. Tetapi bila tesis ini memang harus dikelompokkan ke dalam satu kategori sejarah yang telah ada, akan lebih tepat kalau ia dimasukkan ke dalam sejarah sosial. Sebab fokus utama studi ini adalah gerakan buruh, bukan proses perkembangan kota. Masalah perkotaan dilihat sebagai penyebab atau necessary condition, meskipun, karena bukan membahas satu peristiwa, kadang-kadang juga merupakan sufficient condition. Lagi pula, sebagaimana ditulis Hobsbawn, studi perkotaan juga dapat dimasukkan ke dalam sejarah sosial.37 Dari segi unit spasial, penelitian ini tidak termasuk dalam sejarah nasional, pada satu kutub, maupun sejarah lokal, pada kutub lain. Penelitian mengenai buruh kereta api di kotakota di Jawa ini tidak dapat golongkan sebagai sejarah lokal, karena boleh dikata terlalu “makro” untuk kajian sejarah lokal. Selain itu juga tidak terutama bertujuan mengungkapkan keunikan setiap kota yang diteliti ataupun menunjukkan persamaannya. Bukan pula sejarah nasional karena tidak bermaksud menggeneralisasi fenomena yang diteliti sebagai fenomena nasional yang berlaku pada semua kota di Indonesia. Tesis ini berada di tengah-tengah kedua kutub itu, kalau boleh dibilang demikian. Penelitian ini, bagaimanapun, lebih bersifat rekonstruktif ketimbang dekonstruktif—jika hal ini juga perlu ditegaskan. Sebab, sejauh yang saya ketahui, belum ada yang sama persis dengan penelitian ini untuk didekonstruksi. Namun hal itu tidak urung membuat penelitian ini mengandung sifat dekonstruktif dalam arti yang luas, karena objek studi ini juga bersinggungan dengan penelitian lain, seperti penelitian mengenai gerakan buruh, gerakan nasional, tokoh pergerakan, gerakan komunis, pers, dan studi perkotaan. Dengan demikian
36
Michael Walzer, “The Politics of Michel Foucault”, dalam David Couzens Hoy (Ed.), Foucault: A Critical Reader (Oxford: Blackwell, 1986), 53-55. 37 EJ Hobsbawn, “From Social History to the History of Society”, Daedalus, no. 100, 1971, hlm. 98.
16
barangkali tidak jarang akan ditemukan dalam penelitian ini bagian-bagian yang tampak membongkar argumen dalam penelitian lain.
F.
Metode dan Sumber Penelitian Sebagai studi historis, secara garis besar karangan ini akan tuntas setelah melalui tiga
tahap berikut. Pertama, sesudah memilih tema urbanisasi dan radikalisasi buruh kereta api dalam kurun 1908 hingga 1926, penulis berupaya mengumpulkan berbagai sumber, baik yang primer maupun yang sekunder, yang berkaitan dengan topik tersebut. Untuk itu akan digunakan sejumlah arsip dan terbitan resmi, baik oleh pemerintah maupun perusahaan kereta api. Selain itu studi ini akan menggunakan brosur dan terbitan serikat serta cukup banyak surat-surat kabar sejaman sebagai sumber. Di samping majalah buruh kereta api, Soewara SSBond yang milik SS-Bond) serta De Volharding (yang berbahasa Belanda) dan Si Tetap (Melayu) yang menjadi organ VSTP, juga surat-kabar lain baik yang berbahasa Belanda maupun Melayu. Persoalan yang segera muncul dalam meneliti buruh perkotaan, terutama buruh rendahan, adalah bahwa kehidupan dan persoalan mereka jarang menjadi fokus perhatian sehingga sumber-sumber yang tersedia, terutama dari pemerintah, tidaklah begitu banyak. Pemerintah kolonial tampaknya memang tidak banyak memberi perhatian pada Pribumi perkotaan. Hal itu tercermin, misalnya, dalam memori serah-terima jabatan residen-residen di Jawa. Memorimemori itu hampir tidak memberi tempat bagi pembahasan permasalahan perkotaan dan penghuninya. Sebaliknya, masalah pertanian dan pengairan hampir selalu menjadi fokus pembahasan. Demikian pula ketika membahas masalah matapencaharian, buruh non-agraris hampir tidak menjadi perhatian, sebaliknya, pertanian dan perkebunan selalu menjadi fokus. Buruh perkotaan baru menjadi perhatian oleh aparat pemerintahan ketika pemogokan atau ancaman pemogokan yang dianggap serius muncul. Media massa dan organ serikat sangat membantu dalam menutupi kekurangan laporan resmi aparat pemerintah mengenai kehidupan dan keluhan buruh. Organ serikat, Si Tetap, cukup biasa menolak kiriman kabar dari para buruh (baik yang terampil maupun yang tidak) karena terlalu banyak setiap edisinya. Kabar itu umumnya berisi keluhan yang membentang
17
luas, mulai dari pengeluaran mereka untuk hidup dibanding upah, kecemburuan pada kelompok pekerja lain, dan kekerasan yang dilakukan atasan hingga masalah pakaian dan seragam kerja, kesulitan Pribumi untuk buang air, penerangan, kursi, dan buffet. Dari sana pula kita bisa mengetahui perasaan buruh akan kondisinya sendiri, seperti perasaan pahit bahwa kehidupan mereka “lebih buruk ketimbang kuda” dan kesedihan karena kebiasaan rekanrekannya berhutang hanya untuk bersenang-senang. Dalam batas tertentu cerita dan keluhankeluhan semacam itu juga tersebar di surat kabar-surat kabar dan organ-organ gerakan lain. Singkatnya, surat kabar sezaman membuat penelitian mengenai buruh kereta api ini mungkin dilakukan. Namun perlu dikatakan bahwa menggunakan surat kabar sebagai sumber bukan tanpa masalah. Surat-surat kabar lama yang tersedia di Perpustakaan Nasional jauh dari lengkap dan seringkali kondisinya terlalu buruk untuk dapat dibaca. Di samping itu, sebagaimana arsip, koran-koran itu tak jarang memuat kabar yang bias bahkan bohong. Kabar bohong itu, misalnya, bisa diketahui dari sangkalan dan koreksi dari redaksi atau penulis lain dalam koran yang sama (sebagaimana cerita dalam Si Tetap tentang alat tulis yang tidak disediakan atasan) atau dari sangkalan dengan bukti-bukti yang kuat dari koran lain (sebagaimana berita dalam banyak surat kabar Eropa tentang Semaoen yang melarikan diri karena kondisi buruk serikat dan demi keamanan dirinya sendiri). Berbeda dengan surat kabar zaman sekarang yang ideologinya seragam, yaitu keuntungan, koran-koran zaman kolonial cenderung mewakili ideologi dan kelompok tertentu. Hal ini memang seringkali membuat bias dalam pemberitaan, tetapi juga mempermudah pengecekan silang “kebenaran” berita yang disajikan. Kedua, setelah terkumpul, data-data dari berbagai sumber tersebut perlu dianalisa. Datadata tersebut akan dipilah-pilah, dilakukan pengecekan silang, diintepretasi, diklarifikasi, dikategorisasi, dan ditetapkan relasi-relasi antar kategori tersebut. Ketiga, yang terakhir, adalah menyajikan hasil analisa tersebut ke dalam sebuah tulisan.
G. Sistematika Penulisan Karangan ini dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama pengantar—berisi latar belakang masalah, ruang lingkup penelitian dan rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,
18
kerangka konseptual, metode dan sumber penelitian, dan sistematika penulisan—dan bab terakhir penutup—berisi kesimpulan. Bab kedua sampai dengan lima memberi penjelasan mengenai kondisi kerja dan masalah-masalah perkotaan, serta bagaimana hal itu berpengaruh pada mentalitas dan gerakan buruh. Bagian ini didekati secara tematis, karena pendekatan kronologis dianggap tidak cocok dan hanya akan membingungkan. Sebab itu runtutan bab kedua hingga keenam, demikian pula sub-sub dan isinya, tidak disusun secara kronologis, melainkan berdasarkan tema-tema pembahasannya. Bab kedua menjelaskan urbanisasi yang tengah melanda kota-kota di Hindia dan hal-hal yang menyebabkan perubahan mentalitas penghuninya, terutama buruh-buruh kereta api dan serikat mereka. Sebab itu juga dibahas masalah pendidikan, kemunculan intelektual perkotaan, media cetak, serta akses pengetahuan secara umum. Bab ketiga membahas kondisi kerja buruh-buruh kereta api yang dibentuk oleh relasi buruh (dan serikatnya) dengan majikan dan pemerintah—juga kondisi perkotaan. Bab ini membahas masalah upah dan fasilitas kerja, juga jaminan keamanan buruh, kekuasaan dan kewenangan perusahaan dan atasan pada pegawainya, posisi pemerintah dalam semua hal ini, serta reaksi buruh kereta api. Bab keempat membahas ruang kota yang dihuni dan menjadi bagian dari aktivitas buruh di luar tempat kerja. Pada bab ini dibahas masalah kondisi pemukiman tempat tinggal buruh (baik di perumahan dinas maupun di kampung) dan ruangruang publik, juga dampak dari hal-hal tersebut pada kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan pandangan buruh mengenai kondisi hidupnya. Bab kelima membahas persoalan etnisitas, kelas, dan ideologi dalam kaitannya dengan sikap permusuhan dan persekutuan di antara kelompok baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja buruh.
19