1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Cicero seorang filsuf terkenal dari bangsa Rumawi pernah mengatakan bahwa “Ubi Societas Ibi Ius”, artinya dimana ada masyarakat disitu pasti ada hukum. Masyarakat memerlukan aturan hukum, agar kehidupan menjadi tertib dan tidak ada seorangpun yang dapat diperlakukan dengan tidak adil, yang salah harus tetap dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya. Dalam perkembangannya dewasa ini hukum terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat dan bukan sebaliknya masyarakat yang mengikuti hukum. Hukum bukanlah sesuatu yang dipaksakan keberlakuannya di tengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu perbuatan yang dipaksakan maka sesungguhnya hasilnya pasti tidak akan baik. Didalam hukum Islam, hukum kewarisan yang lazim disebut dengan hukum faraidh merupakan bagian dari keseluruhan hukum Islam yang khusus mengatur dan membahas tentang proses peralihan harta peninggalan dan hak-hak serta kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup. Sekarang ini bidang kewarisan mengalami perkembangan yang berarti, disebabkan oleh kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dan pola pemikirannya bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Diantaranya hukum
1
Universitas Sumatera Utara
2
kewarisan Islam yang mengalami perkembangan dengan adanya ahli waris pengganti yang penerapannya di Indonesia diatur dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Berbeda dalam hal pewarisan menurut hukum adat Gayo, yang mana dalam pembagian warisan tidak dikenal penggantian tempat (plaatsvervulling) yang sangat merugikan pihak dari pewaris, yang akan menjadi pertikaian dikarenakan pembagian harta warisan yang dirasa tidak adil oleh salah satu pihak atau beberapa pihak ahli waris. Sistem pembagian warisan dalam hukum adat Gayo, didasarkan pada sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak sistem pewarisan (patrilineal) yang mana kedudukan anak laki-laki mendapat lebih banyak bahagiannya dari kedudukan wanita didalam pewarisan.1 Dalam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam tiga corak yaitu : a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian). b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari pada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti , 2003, halaman.
23
Universitas Sumatera Utara
3
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi).2 Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya. Proses itu telah mulai dalam waktu orang tua masih hidup.3 Proses pengoperan itu dilakukan pertama sekali secara menurun kepada: anak, cucu, cicit, dan seterusnya, jika tidak ada secara menurun maka dilakukan dengan cara ke atas yaitu: Orang tua, kakek atau nenek, dan seterusnya, jika keatas juga tidak ada maka dilakukan dengan jalan kesamping, yaitu: saudara, anak saudara, cucu saudara, dan seterusnya, jika kesamping juga tidak ada maka berlaku prinsip ahli waris derajat terdekat mendinding ahli waris yang jauh. Tetapi pada kenyataan sebagian adat masyarakat Gayo mengenal suatu istilah patah titi (tidak ada penggantian tempat) yaitu ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pada pewaris, maka harta warisan pewaris tersebut yang seharusnya jatuh kepada cucu sebagai pengganti bapaknya yang penerima warisan, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena dianggap telah putus hubungan.
2 3
Ibit, halaman. 23 R. Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradya Paramita, 1987, halaman.
79
Universitas Sumatera Utara
4
Adapun patah titi sudah sangat dikenal dalam praktek hukum kewarisan adat Aceh pada umumnya dan khususnya pada masyarakat Gayo, bahkan telah menjadi istilah “negatif” bagi anak-anak yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia dari kakeknya. Ungkapan-ungkapan berikut sering terjadi dalam masyarakat adat Aceh berkaitan dengan patah titi: 4
1. “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua pamannya (kakek dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya; 2. “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. Ungkapan seperti itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamannya, namun yang dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan hak kewarisan, akan tetapi tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamannya, hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta kakeknya dengan sebab orang tuannya lebih dulu meninggal dari kakeknya; 3. “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”. Maksudnya adalah, bahwa seorang cucu tidak boleh menuntut hak kewarisan kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.
Dari ungkapan di atas menggambarkan bahwa, pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Gayo memunculkan problematika hukum yang membutuhkan penelitian yang lebih mendalam dan sungguh-sungguh, khususnya tentang kenyataan hukum patah titi tersebut dan implikasinya terhadap penerapan prinsip-prinsip hukum kewarisan Islam terhadap hukum adat. 4
Hukum Patah Titi Dalam Kewarisan Aceh, http://konsultasiki.blogspot.com/2012/02/hukum-patah-titi-dalam-kewarisan-adat.html Diakses tanggal, 14 Maret 2012
Universitas Sumatera Utara
5
Hukum adat waris patah titi ini sebenarnya sudah lama diterapkan di dalam masyarakat Gayo, akan tetapi dewasa ini tidak semuanya masyarakat Gayo mau menerapakan hukum waris patah titi ini, karena memilki unsur ketidak adilan dalam hukum waris dan pada umumnya masyarakat Gayo juga beragama Islam dengan sendirinya Hukum Islam mempengaruhi masyarakat adat Gayo yang ada di Kab. Aceh Tengah.
Salah satu nilai hukum kewarisan Islam adalah bahwa peralihan hak kewarisan pewaris kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga kesinambungan garis nasab (keturunan). Sebaliknya pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Gayo cenderung memutuskan hubungan kekerabatan di antara ahli waris, terutama ahli waris garis keturunan ke bawah yaitu cucu.
Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebar luaskan melalui Instruksi Presiden Nomor l Tahun l99l, yang dikeluarkan tanggal 10 Juni l99l yang diikuti Keputusan Menteri Agama Nomor l54 Tahun l99l. Untuk dapat diterapkannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini di dalam Peradilan Agama yang ada di seluruh Indonesia, Dalam KHI diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
6
“Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya” kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 KHI. Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum kewarisan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah dan menghindari sengketa. Dalam kaitannya dengan hal ini, Soepomo dalam bukunya bahkan mengatakan bahwa munculnya institusi pergantian tempat didasarkan pada aliran pemikiran bahwa harta benda dalam keluarga sejak semula memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan turunannya. 5
Jika seorang anak meninggal sedang orangtuanya masih hidup, anak-anak dari orang yang meninggal dunia tersebut akan menggantikan kedudukan bapak atau ibunya sebagai ahli waris harta benda kakeknya. 5
Hukum Patah Titi di Aceh, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. Diakses tanggal, 14 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
7
Namun demikian, KHI juga memberi batasan bahwa harta yang didapat oleh sang cucu bukanlah keseluruhan dari harta yang seharusnya didapat sang ayah, yaitu bagian ahli waris penganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang di ganti pasal 185 ayat 2 KHI. Islam tetap memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim.
Dalam konteks permasalahan ini jelas bahwa pemberlakuan hukum adat waris patah titi yang ada di sebahagian masyarakat Gayo bertentangan dengan KHI maupun hukum perdata yang berlaku. Kendatipun demikian masih ada sebagian masyarakat Gayo yang masih menerapkan patah titi dalam pembagian harta warisan. Terkadang dalam pembagian harta warisan melalui patah titi ini bisa memicu konflik ahli waris yang merasa dirugikan akibat patah titi tersebut.
Ketidak puasan diantara ahli waris yang merasa dirugikan mereka melakukan gugatan ke pengadilan Mahkamah Syar’iyah. Ada yang merasa diuntungkan dengan adanya patah titi ini, karena bagian warisannya bertambah. Selain itu juga ada pihak ahli waris yang ingin menguasai harta tersebut dengan cara serakah.
Dewasa ini perkembangan Hukum Waris patah titi ini lambat laun sudah mulai ditinggalkan sebagian besar masyarakat Gayo dikarenakan perkembangan
Universitas Sumatera Utara
8
zaman dan pada umumnya juga penduduk suku Gayo kabupaten Aceh Tengah memeluk Agama Islam.
Terkait
dengan
penyelesaian
sengketa
kewarisan,
berdasarkan
data
Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berkerjasama dengan IDLO (international development law organization) sepanjang tahun 2007 Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh telah menangani 125 kasus kewarisan dan 292 kasus penetapan ahli waris (bukan penetapan penggantian ahli waris). Namun demikan, dalam kasus yang berkaitan dengan patah titi ini, dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah akan menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, yaitu menghapus hukum adat patah titi yang dikenal oleh masyarakat Aceh yang sekaligus mengakui cucunya sebagai ahli waris pengganti bagi ayahnya yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pada kakek/neneknya. Minimnya penanganan kasus penggantian ahli waris di Mahkamah Syar’iyah, sebut Syahrizal, dikarenakan masih minimnya sosialisasi tentang penggantian ahli waris.6
Pada kenyataannya, penggantian ahli waris merupakan suatu pembaharuan hukum Islam yang cukup besar di Indonesia. Jika aturan hukum ini disosialisasikan dengan baik, pemahaman patah titi tidak lagi mencuat dalam kehidupan masyarakat Gayo, Aceh pada umumnya.
6
Hukum Patah Titi Di Aceh, http://www.idlo.int/bandaacehawareness.htm. Diakses tanggal, 14 Maret 2012.
Universitas Sumatera Utara
9
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan di teliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh hukum waris Islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah? 2. Bagaimana perkembangan hukum patah titi
pada masyarakat Gayo di
Kabupaten Aceh Tengah? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada masalah diatas, maka tujuan penelitian ini yang dilakukan penulis adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh hukum waris islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 2. Untuk mengetahui perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah 3. Untuk menetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
Universitas Sumatera Utara
10
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat menberi mamfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu:
1. Secara Teoritis Dengan adanya penelitian ini dapat membantu kita untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan pemikiran sesuai dengan kebenaran dan fakta yang ada dan yang terjadi dilapangan. 2. Secara Praktis Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermamfaat sebagai masukan untuk para Notaris, masyarakat umum, akademis maupun dalam upaya mempersiapkan peraturan tentang kedudukan ahli waris sebagai pewaris pada masyarakat adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran hukum patah titi pada masyarakat adat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan
hasil
penelusuran
kepustakaan
yang
ada
dilingkungan
Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Unversitas Sumatera Utara menunjukan bahwa penelitian dengan judul pengaruh hukum islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah,
Universitas Sumatera Utara
11
dengan permasalahan pertama bagaimana pengaruh hukum waris islam terhadap hukum waris adat pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan permasalahan kedua bagaimana perkembangan hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah ketiga faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pergeseran hukum patah titi pada masyarakat Gayo di Kabupaten Aceh Tengah yang penelitiannya dilakukan di kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalan belum ada yang membahasnya, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidak benarannya.7
Menurut M. Solly Lubis menyebutkan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, UI Prees, 1986, halaman 6
Universitas Sumatera Utara
12
mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang merupakan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.8
Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul diatas adalah teori yang berkenaan dengan sosiologi hukum yaitu teori yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich. Dalam bukunya berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Dari bukunya tersebut terdapat konsep “living law”, Konsep ini menekankan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan hukum adat . 9
Dalam penjelasan umum Alinea I Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa : “Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis.”10
Pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis (hukum adat). Seperti dijelaskan pada pasal 131 8
M. Solly Lubis, Filsafat dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994, halaman 19 Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan, USU Medan, 2007, halaman.18 10 Penjelasan Umum, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 9
Universitas Sumatera Utara
13
I.S (Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), Mengenai dasar berlakunya hukum adat termasuk juga berlakunya hukum waris adat di Indonesia yaitu :
“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka” Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini berlaku di Indonesia ketika teori ini diperkenalkan oleh Mr. Lodewijk Willem Christian van den Berg. Teori Receptio in Complexu ini telah diberlakukan di zaman VOC sebagaimana terbukti dengan dibuatnya pelbagai kesimpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyelesaikan urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal di dalam wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai Nederlandsch Indie.11
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi 11
Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentangberlakunya-hukum-islam-di.html, diakses tanggal, 17 april 2012
Universitas Sumatera Utara
14
jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam.
Jika mereka
berpegang terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.12
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Hazairin. Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie bertentangan dengan jiwa UUD ’45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.13
Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Secara tegas UUD ’45 menyatakan bahwa “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
12
Teori Receptie, http://agendapamel.wordpress.com/islamic-studies/christiaan-snouckhurgronje-teori-receptie/, diakses tanggal, 17 April 2012 13 Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentangberlakunya-hukum-islam-di.html, diakses tanggal, 17 april 2012
Universitas Sumatera Utara
15
Demikian dinyatakan dalam pasal 29 (1) dan (2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia.14
Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti Thalib. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario, hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.15
Kalau Teori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya. Dalam Teori Receptie, hukum Islam tidak dapat diberlakukan jika bertentangan dengan hukum adat. Teori Receptie A Contrario mendahulukan berlakunya hukum Islam daripada hukum adat, karena hukum adat baru dapat dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Teori Receptie in complexu maupun Teori Receptie, didalam masyarakat nampaknya masih silang pendapat. Ada yang menyatakan bahwa Teori Receptio in complexu lebih mendekati kenyataan karena hukum agama akan berlaku bagi mereka yang memeluk agama yang dianutnya, hal ini terlihat bagi mereka yang beragama
14
Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentangberlakunya-hukum-islam-di.html, diakses tanggal, 17 april 2012 15 Teori Berlakunya Hukun Islam, http://master-masday.blogspot.com/2011/05/teori-tentangberlakunya-hukum-islam-di.html 17 april 2012
Universitas Sumatera Utara
16
Islam melaksanakan hukum Islam seperti pelaksanaan perkawinan yang harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan.
Dipihak lain pendukung Teori Receptie yaitu C. Van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang indonesia asli adalah hukum adat bukan hukum agama, sebab hukum agama merupakan hukum pendatang yang masuk ke Indonesia.
Inilah teori resepsi yang disebut Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, karena mengajak orang Islam untuk tidak mematuhi dan melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul dengan dalih hukum adat tidak melarangnnya.
Dengan demikian berlakunya sistem hukum adat di Indonesia tergantung kepada daerahnya masing-masing sesuai adat dan kebiasaan mereka. Hal ini juga ditegaskan oleh Soepomo yang mengatakan bahwa : “Hukum Adat merupakan hukum yang melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hukum yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara.”16
16
Soepomo, Op. Cit, halaman, 80
Universitas Sumatera Utara
17
Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian kita ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu ada seorang anggota masyarakat meninggal dunia.17
Seorang
manusia lazimnya selaku anggota keluarga yang masih hidup,
mempunyai tempat dalam keluarga dengan disertai berbagai hak-hak dan kewajiban terhadap orang-orang anggota keluarga dan terhadap barang-barang yang berada dalam keluarga tersebut.
Dengan kata lain ada perhubungan hukum antara seorang manusia itu disatu pihak dan dunia luar dan sekitaranya di lain pihak sedemikian rupa bahwa saling mempengaruhi dari kedua belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan oleh masing-masing pihak.
Apabila seorang anggota keluarga itu pada suatu waktu meninggal dunia maka dengan sendirinya maka muncullah pertanyaan, apakah yang akan terjadi dengan perhubungan-perhubungan hukum itu, hukum ini mempunyai hubungan sangat erat pada waktu si anggota keluarga meninggal.
Walaupun demikian seorang anggota keluarga yang meninggal itu sudah dimakamkan, perhubungan-perhubungan hukum itu tidaklah lenyap begitu saja,
17
R Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1980, halaman.
7
Universitas Sumatera Utara
18
bukankah seorang anggota keluaraga tersebut masih sanak saudara yang ditinggalkan, apakah itu ayah atau ibunya, kakek atau neneknya atau juga anak-anaknya.
Pada umumnya di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan, oleh karena sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar dari sistem sosial suku-suku atau kelompok-kelompok etnik.18
Maka dalam hal ini, disetiap masyarakat dibutuhkan suatu aturan hukum yang mengatur bagaimana cara-cara kepentingan-kepentingan dalam masayarakat itu dapat diselamatkan, agar masyarakat itu dapat diselamatkan juga selaku tujuan dari segala aspek hukum.
Dalam asas hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya.19
Sistem pewarisan yang ada di masyarakat Gayo pada umumnya menganut sistem pewarisan patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik berdasarakan garis bapak, dimana kedudukan pria lebih banyak pengaruhya dari pada kedudukan wanita dalam hal pembagian harta warisan.
18
Soerjono Soekanto dan Yusuf Usman, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta: Gahalia Indonesia, halaman. 25-26. 19 Muhammda Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, halaman. 313
Universitas Sumatera Utara
19
Sebaliknya dalam praktek kewarisan adat Gayo tidak diakui istilah pengantian tempat (plaatsvervulling) tersebut. Bahkan status cucu tidak dapat menggantikan posisi orang tuanya yang lebih dulu meninggal dalam hal mewarisi harta kakek atau neneknya.
2. Konsepsi Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memilki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan. Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsepsi diartikan juga sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirangkaikan kerangka konsepsi sebagai berikut: a. Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta warisan dari generasi kegenerasi berikutnya 20
20
Hilman Hadikusuma, Op. Cit, halaman. 211
Universitas Sumatera Utara
20
b. Hukum waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik materi maupun yang immateril, sehingga jelas manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.21 c. Subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seorang yang meninggalkan harta warisan sedangkan ahli waris adalah seorang atau beberapa orang yang menerima harta warisan 22 d. Para waris ialah anak termasuk anak dalam kandungan ibunya jika lahir hidup; tetapi tidak semua anak adalah ahli waris, kemungkinan para waris lainya seperti anak tiri, anak angkat, anak piara, waris balu, waris kemenakan, dan anggota kerabat dan waris lainya. Kemudian berhak tidaknya para waris pengganti seperti cucu, ayah-ibu, kakek-kakek, waris anggota kerabat dan waris lainya. Kemudian berhak tidaknya para waris tersebut di pengaruhi oleh sistem kekerabatan bersangkutan dan mungkin juga karena pengaruh agama, sehingga antara daerah yang satu dan yang lain terdapat perbedaan.23 e. Para waris adalah semua orang yang (akan) menerima penerusan atau pembagian warisan baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang berhak mewarisi maupun yang bukan ahli waris tetapi mendapat warisan. Jadi ada waris yang ahli waris dan waris yang bukan ahli waris. Batas antara keduanya sukar di tarik garis 21
Badruzzaman Ismail, Asas-Asas Dan Perkembangan Hukum Adat, Banda Aceh: Gua Hira, 2003, halaman. 167 22 Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, CV. Rajawali, 1983, halaman 228 23 Hilman Hadikusuma , Op. Cit, halaman 67
Universitas Sumatera Utara
21
pemisah, oleh karena ada yang ahhli waris di suatu daerah sedang di daerah lain ia hanya waris, begitu pula ada yang di suatu daerah sebagai waris tetapi tidak mewarisi sedangkan di daerah lain ia mendapat warisan.24 f. Ahli waris penganti adalah ahli waris yang “menggantikan” kedudukan seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris pasal 185 KHI. g. Patah titi adalah putusnya hubungan kewarisan antara cucu dengan kakek dikarenakan ayah atau ibu meninggal terlebih dahulu dari pewaris yaitu kakek. h. Suku Gayo adalah suku yang mendiami daerah dataran tinggi Gayo atau sering disebut Tanoh Gayo, komunitas masyarakatnya untuk saat ini yang banyak mendiami di lima kabupaten di Aceh yaitu Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Gayo Lues. Pada dasarnya suku bangsa Gayo terdiri dari tiga bagian atau kelompok, Gayo Lut mendiami daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah, Gayo Lues mendiami daerah Gayo Lues dan Aceh Tenggara serta Gayo Blang mendiami sebagian kecamatan di Aceh Tamiang.25
G. Metodologi Penelitian
1. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan perkembangan hukum waris adat yang ada pada masyarakat Gayo
24
Ibit.Cit, halaman . 67 Suku Gayo Takengon, http://acehpedia.org/Suku_Gayo Diakses tanggal, 14 Maret 2012
25
Universitas Sumatera Utara
22
di Kabupaten Aceh tengah, serta menganalisis masalah-masalah yang timbul yang berhubungan dengan hal tersebut secara terperinci dan kritis selanjutnya mencoba menarik kesimpulan dan memberikam masukan berupa saran. Bahan-bahan penelitian ini akan diperoleh secara kuesioner atau angket, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hak yang ia ketahui. Untuk memperkuat bahan-bahan penelitian ini maka dilakukan wawancara kepada Camat, Kepala Desa, dan masyarakat berkompoten dalam masalah ini di kabupaten Aceh Tengah, Provensi Nangro Aceh Darusalam.
2. Metode Pendekatan
Ditinjau dari sudut tujuan penelitian maka penelitian ini mengunakan metode yuridis sosiologis (empiris). Yuridis sosiologi (empiris) berarti penelitian ini mempelajari bahan pustaka dan data yang terdapat dari hasil wawancara dan di bandingkan dengan undang-undang yang berlaku sekarang.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam. Kecamatan Bebesen yang luas wilayahnya 47,19
Universitas Sumatera Utara
23
Kmଶ yang terdiri dari 28 desa dengan jumlah penduduk 34.264 pada tahun 2010.26
Dikarenakan luasnya wilayah di kecamatan Bebesen tersebut maka diambilah 3 (tiga) desa sebagai sampel adalah:
1. Desa Kemili 2. Desa Bebesen 3. Desa Belang Gele Ketiga desa tersebut merupakan desa yang masih kuat dalam menegakan hukum adatnya dan merupakan desa yang tertua yang ada sebelum adanya pemekaran desa, dibandingkan desa-desa lain yang ada di dalam Kabupaten Aceh Tengah.
4. Populasi dan Sampel
Populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat Gayo yang telah melakukan pembagian harta warisan di Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam.
Dalam penelitian ini diambil dari 1 (satu) kecamatan dan dari kecamatan tersebut diambil 3 (tiga) desa dan setiap desa diambil 10 (sepuluh) orang sampel dalam satu keluarga yang mewakili 1 (satu) orang. Dengan demikian jumlah sampel ada 30 (tiga puluh) orang dari 3 (tiga) desa tersebut yang telah melakukan pembagian harta warisan baik dengan hukum adat maupun hukum Islam.
26
Kasi Pemerintahan Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah
Universitas Sumatera Utara
24
Untuk kelengkapan data dalam penulisan ini, maka dilakukan wawancara dengan narasumber lainnya sebagai tambahan data yaitu:
1. Tokoh-tokoh masyarakat Gayo 2. Ketua MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) Kab. Aceh Tengah 3. Ketua Mahkamah Syar’iyah Kab. Aceh Tengah 4. Aparat Desa
5.
Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapat data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen, maupun peraturan Perundang-undangan, yang berkaitan dengan hukum waris adat pada masyarakat Gayo. b. Study Lapangan (Faild Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan masyarakat dan pemerintah yang berada dalam kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Nangro Aceh Darusalam.
Universitas Sumatera Utara
25
6. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hukum waris adat pada masyarakat Gayo. b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.
Universitas Sumatera Utara
26
7.
Analis Data
Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi
data
sekunder
dan
data
primer.
Untuk
selanjutnya
dilakukan
pengelompokkan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, disamping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata.
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Selanjutnya dilakukan klasifikasi data menurut jenisnya dalam bentuk persentase.
Kemudian data yang telah disusun secara sistematik dalam bentuk persentase dianalisis sehingga dapat diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam pelaksanaan warisan di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. Selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode induktif sebagai jawaban dari masalah yang telah dirumuskan.
Universitas Sumatera Utara